Ternyata bangunan
itu seluruhnya dibuat dari kayu jati, dari
papan-papan tebal
dan tiang-tiang yang besar-besar. Pangeran
Muda termenung
sebentar, kemudian terlintas dalam
pikirannya bahwa jalan
satu-satunya adalah lolos lewat genting.
Seperti seekor bajing
Pangeran Muda memanjat salah sebuah tiang.
Akan tetapi,
dengan kecewa ia menyadari bahwa loteng
bangunan itu pun
dibuat sama kuatnya dengan dindingnya.
Mungkin bangunan
itu khusus dibuat untuk menyekap orang,
demikian pikir
Pangeran Muda sambil duduk di lantai.
Setelah terduduk
beberapa lama, ia pun bangun kembali lalu
dengan
mengerahkan tenaga memukul salah satu di
dinding bangunan
itu dengan tinjunya. Akan tetapi, itu pun
sia-sia. Tak ada
pilihan lain bagi Pangeran Muda kecuali
menunggu siang hari
dan menunggu nasib selanjutnya dengan siap
siaga.
Selagi duduk di lantai itu terdengarlah di
luar burung
prenjak, kucica, dan kutilang mulai
bernyanyi. Ayam berkokok
bersahut-sahutan. Bersamaan dengan masuknya
cahaya dari
luar, terdengarlah palang pintu dipatahkan
orang dari luar.
Pintu bangunan itu terbuka lebar-lebar dan
di ambangnya
berdirilah Mang Ogel sambil tersenyum, kedua
tangannnya
memegang kendali.
"Nah, makanya jangan mengganggu
gadis-gadis. Kau
masih terialu muda, Anom. Mang Ogel tidak
menyangka,
bahwa orang yang pendiam seperti Anom bisa
cekatan seperti
itu mencuri hati seorang putri. Sekarang
segera keluar dari
tempat ini."
Pangeran Muda segera berdiri, lalu berjalan
dan melompat
di punggung si Gambir. Mang Ogel memecut
kudanya,
Pangeran Muda mengikuti dari belakang sambil
berseru,
"Mang, sudahkah kau urus utang-utang
kita dengan pemilik
penginapan itu? Sudahkah kaubayar makanan
kuda?"
"Bagaimana akan mengurus uang, mengurus
satu orang
bangsawan muda pun hampir menjadi putih
kepala Mang Ogel
hehehe."
"Betul, Mang, kalau belum dibayar
marilah kita kembali."
"Sudah! Sudah! Pelayan-pelayan
kekasihmu itu sudah
membayarnya," sambil menjawab begitu
Mang Ogel memacu
kudanya dijalan besar itu seperti seorang
yang sedang dikejarkejar
siluman. Pangeran Muda terpaksa meniru agar
tidak
ketinggalan. Orang-orang yang berpapasan
berloncatan ke
tepi sambil memaki-maki, ayam beterbangan
sambil berkotek,
debu mengepul di udara, sedang dari
kuda-kuda mereka
membersit bunga-bunga api.
Ketika mereka melewati gerbang kota, para
penjaga
terkejut dan berteriak-teriak memanggil
mereka Akan tetapi,
Mang Ogel cuma melambaikan tangan sambil
berseru,
"Bangsawan-bangsawan kalian sangat
ramah hehehe terima
kasih hehehe." Baru setelah jauh sekali
dari kota itu Mang
Ogel mengekang kendali kudanya, dan Pangeran
Muda pun
dapat menyusulnya.
"Sekarang terangkanlah kepada Mang
Ogel, apa yang
terjadi hingga Mang Ogel terpaksa mematahkan
palang pintu
orang. Sungguh-sungguh Anom ini nakal
rupanya, sungguh
Emang tidak menyangka hehehe."
Pangeran Muda menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi
dan sambil mengangguk-anggukkan kepala Mang
Ogel
mendengarkannya.
"Mengapa kau tidak lari, Anom?"
"Bagaimana saya bisa lari, Mang,
dinding dan seluruh
bagian bangunan itu memang dibuat untuk
menyekap orang,"
jawab Pangeran Muda.
"Maksud Mang Ogel, mengapa sebelumnya
kau tidak ambil
langkah seribu. Tidakkah di padepokan
diajarkan, bagaimana
kau harus lari?"
"Soalnya saya tidak mau disangka
berbuat sesuatu yang
tidak saya lakukan. Saya mengharapkan
diadakannya
pengadilan, supaya masalahnya menjadi
terang."
"Engkau terlalu beradab, Anom, sedang
orang-orang di sini,
walaupun mereka kaya ternyata bukan saja
tidak beradab,
tetapi cukup buas hehehe."
"Bagaimana kau tahu, Mang?" tanya
Pangeran Muda.
Mang Ogel mulailah bercerita, "Begitu
banyak tadi malam
Emang minum tuak, hingga dunia ini menjadi
begitu meriah.
Tapi, seperti juga dunia yang meriah secara
dipaksa, segala
kegembiraan itu lenyap dengan segera. Dalam
hal Emang,
tidur pulas segera tiba. Yang terakhir Emang
ingat adalah
bahwa kita sedang bercakap-cakap dijalan dan
Emang sedang
melihat bunga kenanga terselip di ikat
kepalamu, Anom."
"Itu tidak sengaja, Mang. Rupanya bunga
yang malang itu
terselip ketika orang menaburkannya kepada
saya," ujar
Pangeran Muda.
"Bukan orang itu, Anom, maksudmu orang
yang cantik itu
hehehe memang putri-putri kota itu rupanya
senang bikin
susah orang, main lempar-lemparan segala,
hingga terjadi
main sekap-sekapan," sambung Mang Ogel.
"Saya sendiri tidak main
lempar-lemparan, Mang. Saya
lewat di bawah panggung dan orang itu
menaburkan bunga
kenanga. Celakanya saya tidak tahu sekuntum
terselip di ikat
kepala saya."
"Orang cantik itu maksudmu, hehehe, dan
tentang terselip
atau diselipkan tidak Emang persoalkan
hehehe. Baiklah,
mukamu tidak usah berubah warna kalau kau
tidak berbuat
apa-apa hehehe. Sekarang marilah Emang
melanjutkan
dongeng Emang. Nah, entah berapa lama Emang
tertidur di
balai-balai di tepi jalan itu. Baru Emang
bangun ketika
perasaan dingin menggigilkan seluruh tubuh
Emang. Ketika
Emang membukakan mata yang terlihat di
langit hanyalah
tebaran berjuta bintang, sedang jalan-jalan
telah sunyi, hanya
pelita-pelita berkelap-kelip di tepinya.
Emang sungguhsungguh
geram kepadamu yang tega meninggalkan Emang
kedinginan di tepi jalan ketika itu. Lalu
Emang bangkit dan
berjalan ke penginapan. Setiba di sana,
apakah yang Emang
lihat?
"Lima orang gulang-gulang, seorang
emban tua dan
seorang putri cantik sedang menangisimu,
Anom. Begitu
Emang datang, putri itu berlari menubruk
Emang, kemudian
menyalahkan Emang sambil memujimu, lalu
menangis, lalu
bicara hehehe. Sampai Emang jadi bingung,
padahal bangun
sempurna pun Emang belum. Dari perkataannya
yang
dicampur air mata, dari pujian yang dicampur
penyesalan,
pendeknya dari perkataan-perkataan yang
seperti ngelindur
yang didengar oleh orang yang setengah bangun
ketika itu,
diambillah kesimpulan, bahwa Anom diculik
dan disiksa orang
dan Emang harus segera menolong.
"Kata Emang, Anom itu bukan orang
biasa, yang
mengganggunya harus bertanggung jawab. Kata
putri itu
justru yang menangkapnya pun orang yang
tidak biasa, yaitu
Raden Bagus Wiratanu, putra sulung
Tumenggung Wiratanu
yang menjadi penguasa kota. Jadi, Emang
harus bertindak
dengan segera, sebelum hal-hal yang lebih
jelek terjadi. Kalau
begitu, Emang harus mengetahui sebabnya
terlebih dahulu
mengapa Anom sampai disekap. Kalau Anom
bersalah, kata
Emang, sepantasnya Anom disekap dan Emang
tidak akan
membantunya. Bahkan kalau Anom lari, Emang
akan
membantu menangkapnya. Dan apakah yang
terjadi hehehe
Putri itu menangis keras-keras dan
mengatakan dialah yang
bersalah dan minta diampuni. Bersalah
bagaimana? tanya
Emang. Nah, jawabnya tepat: Sekuntum kenanga
dilemparkannya kepada Anom, lalu menyangkut
di ikat kepala.
Itulah yang menyebabkan Anom disekap."
"Bukan sekuntum Mang, entah berapa
puluh kuntum yang
ditaburkannya di kepala saya," sela
Pangeran Muda.
"Soalnya putri itu mengatakan sekuntum
dan dengan
sekuntum saja engkau babak belur dan disekap
bukan? Hche
he."
"Baiklah, teruskan, Mang."
"Siapa yang main sekap hanya lantaran
sekuntum
kenanga?" tanya Emang.
"Raden Bagus Wiratanu," jawabnya.,
"Wah, Raden Bagus ini tidak bagus,
rupanya," kata Emang.
"Memang suka bikin gara-gara dan
sekarang pun entah apa
yang dilakukannya terhadap kesatria yang
Emang iringkan
itu," ujarnya.
'Apa yang mungkin dilakukannya?" Emang
bertanya dengan
cemas.
"Mungkin Anom disiksa, di samping itu,
di lapangan di
sebuah hutan yang tidak jauh dari rumah
putri itu beberapa
orang badega sedang membuat salib dari kayu.
Putri itu sudah
mengira esok pagi salib itu diperuntukkan
bagimu. Rupanya
engkau akan disate atau diapakan oleh
orang-orang yang
tidak beradab itu, Anom. Mendengar itu,
Emang pun segera
pergi, minta ditunjukkan tempat kau disekap.
Di perjalanan
Emang sempat melihat salib itu, dengan
beberapa orang
sedang bekerja di sana, mempersiapkan
pembakaranmu
hidup-hidup, rupanya. Dan kisah selanjutnya
kau sendiri
mengetahui," kata Mang Ogel menutup
bicaranya.
"Hampir saya lupa dan akan memukul
orang-orang itu,
Mang," kata Pangeran Muda sambil
menarik napas panjang,
menekan kegeraman yang meluap dengan
tiba-tiba.
"Anom, kau ini terlalu patuh hehehe.
Kalau kau dipukul di
tempat tersembunyi, mengapa tidak
membalas?" ujar Mang
Ogel seraya mengerling pada Pangeran Muda.
"Seandainya, saya bernama Mang Ogel,
sudah saya makan
orang-orang itu di tempat terbuka ataupun
tertutup!"
sambung Pangeran Muda sambil menahan
kegeramannya.
Perasaan sedih mulai menusuk hatinya. Bukan
sedih karena
tidak dapat melawan ketika dianiaya, tetapi
sedih menemukan
kenyataan bahwa ada orang-orang yang buas
seperti Raden
Bagus dengan anak-anak buahnya. Rupanya Mang
Ogel
melihat kesedihan yang membayang pada wajah
Pangeran
Muda karena kemudian ia berkata,
"Engkau seorang calon
puragabaya, Anom, janganlah pengalaman itu
dianggap luar
biasa. Bagi seorang puragabaya penderitaan,
penghinaan, dan
tugas berat adalah bagian dari hidupnya.
Untuk segalanya itu,
puragabaya dianugerahi kehormatan dan
kemuliaan oleh
rakyat dan sang Prabu. Jadi, lupakanlah, dan
bahkan
bersyukurlah karena engkau telah dapat
mengendalikan
perasaan dan terutama mengendalikan tubuhmu
yang sangat
berbahaya itu."
"Terima kasih, Mang. Nasihatmu
mendinginkan hati saya.
Ingatkan saya nanti, bahwa saya akan
menyerahkan sajen
bagi para guriang karena saya telah lolos
dari bahaya itu,"
sambung Pangeran Muda.
'Anom, pengekangan diri seorang puragabaya
pun ada
batasnya. Seandainya jiwanya terancam, bukan
saja dia boleh
mempertahankan diri, tetapi bahkan
diharuskan baginya
berbuat demikian, asal saja semuanya dapat
dipertanggungjawabkan."
"Saya pun tahu akan hal itu, Mang.
Seandainya, mereka
mempergunakan senjata tajam, saya telah
melawan mereka.
Akan tetapi, tidak ada di antara mereka yang
mempergunakan
senjata, jadi saya berkewajiban untuk
mengendalikan diri."
"Anom, mereka tidak mempergunakan
senjata tajam
karena akan menyiksamu keesokan harinya.
Jadi, janganlah
menyangka mereka itu beradab. Dari
gulang-gulang putri yang
mengantarkan Emang mencarimu, Emang mendapat
penjelasan bahwa Raden Bagus ini memang
benar-benar
berandal. Banyak pemuda dan bahkan
orang-orang tua yang
menjadi korbannya, dan itu kebanyakan karena
cemburunya.
Ia mencintai putri yang menyelipkan kuntum
kenanga di
kepalamu itu hehehe. Nama putri itu Mayang
Cinde, boleh kau
catat di hatimu hehehe."
Pangeran Muda tidak menyahut. Dilihatnya
dari jauh
kelompok pohon yang sangat hijau di
tengah-tengah padang
yang mereka lalui. Pangeran Muda tengadah.
Matahari sudah
tinggi, kuda-kuda perlu minum dan di bawah
kelompok pohon
itu tentu ada mata air yang baik. Tampaknya
Mang Ogel pun
berpendapat begitu karena setiba di dekat
tempat itu ia pun
mengekang kendali kudanya.
SEMENTARA kuda-kuda minum dan mengunyah
dedak dari
kantong-kantong kecil masing-masing,
Pangeran Muda duduk
di rumput menghadapi santapan yang telah
disediakan oleh
Mang Ogel untuk makan pagi. Mereka minum air
dari kulit
kukuk kecil dan mencicipi dendeng bakar
dengan nasi merah.
Setelah itu, mereka makan buah-buahan yang
dibawa dari
Kuta Kiara yang baru mereka tinggalkan.
Setelah selesai makan, dan ketika Mang Ogel
sedang
memeriksa alas kaki si Gambir, suara
kedatangan
penunggang-pe-nunggang kuda terdengar
gemuruh
mendekati tempat mata air itu. Kedua
pengembara itu
menyangka ada rombongan lain yang juga
hendak memberi
minum kuda, tetapi sangkaan itu meleset.
Setelah dekat tampak bahwa penunggang kuda
terdepan
adalah Raden Bagus Wiratanu. Di belakangnya
kira-kira
sepuluh orang pemuda lain mengiringkannya,
semuanya putra
bangsawan-bangsawan belaka, karena tak
seorang pun di
antara mereka memakai pakaian penggawa dan
membawa
senjata panjang. Sebagaimana dilazimkan,
putra-putra
bangsawan berpakaian hijau muda dengan
sulaman benang
emas atau perak, sedang senjata mereka
dilazimkan senjatasenjata
kecil yang mudah disembunyikan, kalau mereka
kebetulan menghadiri upacara-upacara di mana
banyak
wanita. Persenjataan mereka yang sederhana
itu tidaklah
berarti bahwa putra-putra bangsawan kurang
berbahaya
daripada gulang-gulang atau jagabaya.
Sebaliknya, mereka
jauh lebih berbahaya karena persenjataan
yang sederhana
mendapat imbangan kemampuan berkelahi yang
tinggi.
Diadatkan bagi para bangsawan untuk mendidik
putra-putra
mereka menjadi prajurit-prajurit yang
tangguh agar kalau
terjadi perang atau huru-hura, mereka
langsung dapat
diangkat menjadi perwira-perwira oleh sang
Prabu.
Pikiran-pikiran tentang bahaya itulah yang
memenuhi
kesadaran Pangeran Muda ketika rombongan
penunggang
kuda itu turun dari punggung kuda
masing-masing dan
berjalan berpencar-pencar ke arah kedua
pengembara itu.
"Wah, rupanya mereka tidak puas kalau
kau hanya babakbelur,
Anom. Bagaimana kalau kau coba hasil
latihanmu di
Padepokan itu?"
"Tidak Mang, kita harus berusaha
menghindarkan
perkelahian," ujar Pangeran Muda
setengah berbisik.
"Anom, tapi Anom telah disiksa dan
setelah melarikan diri
terus dikejar. Kau berhak melawan, Anom.
Jangan biarkan
bangsawan-bangsawan yang kurang ajar
itu!" kata Mang Ogel
mulai panas demi melihat pendatang-pendatang
mulai
membuat lingkaran mengelilingi mereka.
"Sabar, Mang, kau seharusnya lebih
sabar daripada saya
yang lebih muda!"
"Sambal! Saya bukan puragabaya. Kalau
ada orang main
pukul seenak perutnya dan
membelalak-belalakkan matanya
ke semua arah, pendeta pun akan menendang
dupanya.
Anom, mereka harus diajar!"
"Diam, Mang, biarlah saya yang
bicara," kata Pangeran
Muda sambil memegang tangan Mang Ogel.
"Saya sedih melihat bekas-bekas pukulan
mereka di seluruh
tubuhmu, Anom."
"Cuma kulitnya yang luka, Mang. Tak ada
otot yang sakit,
saya berusaha menghindarkan diri dan mereka
memukuli saya
dalam gelap," ujar Pangeran Muda.
Sementara itu, lingkaran
makin mengecil.
"Baiklah," kata Mang Ogel menjadi
tenang. "Tapi carilah
tempat yang baik, kalau-kalau mereka akan
mengeroyok kita
nanti. Mundurlah, dan marilah kita berdiri
membelakangi
pohon besar ini, agar mereka tidak dapat
menyerang dari
belakang," kata Mang Ogel melanjutkan.
Pangeran Muda menyadari akan perlunya
kesiapsiagaan.
Maka mereka pun mundur, mendekati pohon
besar yang
tumbuh di tepi mata air itu. Ketika itu
pengepung-pengepung
telah amat dekat, dan salah seorang yang
membawa tambang
memutar-mutarnya di udara hingga anginnya
terasa menyibak
Pangeran Muda.
"Begundalnya yang ini rupanya yang
mematahkan palang
pintu itu. Dia harus mengganti palang pintu
jati itu bukan?"
kata Den Bagus sambil berpaling kepada
kawan-kawannya.
Kawan-kawannya tertawa, dan salah seorang di
antaranya
berkata, "Rupanya kepiting ini mau ikut
dibakar, Den Bagus."
Rupanya perkataan itu dianggap lelucon yang
lucu oleh
kawan-kawannya yang tertawa pula
terbahak-bahak.
"Sekalian menyalakan api,
bolehlah," kata Den Bagus
sambil tersenyum.
"Heh, Paman," kata Den Bagus pula
kepada Mang Ogel.
"Kesatria asuhanmu ini pintar juga
rupanya. Ia berpakaian
pendeta untuk dapat melakukan
rencana-rencana asmaranya.
Sungguh suatu cara yang hebat, Paman. Akan
tetapi, di Kuta
Kiara akal-akal busuk macam itu tidak
disukai dan harus
dibayar." Kawan-kawan Den Bagus
tertawa, tetapi dalam cara
yang hambar.
"Janganlah mengganggu kami. Kami tidak
bermaksud jelek
kepada siapa pun. Dan kalau semalam terjadi
sesuatu, hal itu
karena salah paham. Bunga itu kebetulan
jatuh di kepala saya
dan terselip di sana tanpa saya sadari.
Tentu Saudara-saudara
tidak akan menyalahkan saya. Sedang mengenai
apa yang
terjadi terhadap diri saya akibat dari
kesalahpahaman itu, saya
dapat mengerti dan bersedia melupakannya
dengan setulustulus
hati saya," kata Pangeran Muda.
"Pengecut! Kalau perkataannya itu
benar, kita harus
menghukumnya karena kita tidak sudi kota ini
diinjak oleh
pengecut seperti kesatria yang kita hadapi
sekarang ini. Kalau
perkataannya itu tidak benar, kita harus
menghukumnya lipat
dua; pertama, sebagai pendusta, kedua,
sebagai pengecut!"
kata Raden Bagus, kemudian ia meludah ke
tanah
menunjukkan penghinaannya.
'Jangan mengganggu kami. Juragan-juragan
tidak tahu
siapa kami ini," kata Mang Ogel.
'Apa kau, kodok? Kepiting? Kau harus
membayar karena
golokmu telah mematahkan palang pintu
terongko."
Mendengar cacian itu, Mang Ogel berpaling
kepada
Pangeran Muda yang tetap tenang.
"Katakanlah, Anom, bahwa kita dari
Padepokan Tajimalela."
'Janganlah mengganggu kami, kami dari
Padepokan
Tajimalela sedang menuju daerah Kutabarang,
menuju Puri
Anggadipati," kata Pangeran Muda dengan
harapan para
bangsawan itu mengerti apa yang dimaksudkan.
"Hahaha! Kepala Udang! Kepala Kepiting!
Mula-mula
berdusta katanya kenanga terselip sendiri,
kemudian
pengecut, sekarang berdusta pura-pura
menjadi puragabaya!"
Den Bagus tertawa terpingkal-pingkal.
"Hah?" seru kawan-kawannya
keheranan, lalu yang
seorang sambil tertawa berkata,
"Puragabaya macam apa?
Dipukul bukannya melawan, malah melindung-lindungkan
tangannya ke seluruh tubuh. Den Bagus, orang
macam ini
memang cocok untuk upacara pembakaran
mayat."
Sambil berkata kemudian orang itu bergerak
mendekati,
diikuti oleh kawan-kawannya. Mang Ogel
membuka pakaian
hitam yang melindungi pakaian putih yang ada
di dalamnya.
Mang Ogel memperlihatkan ikat pinggang sutra
perak yang
menjadi tanda bahwa ia adalah puragabaya
juga dalam
gayanya sendiri. Penunjukan itu
diharapkannya agar
mengurungkan maksud buruk para bangsawan
muda itu. Akan
tetapi, demi melihat hal itu, tertawa
pulalah Den Bagus
dengan kawan-kawannya.
"Kawan-kawan, rupanya kita bertemu
dengan badut
sandiwara. Lihat, kepiting gemuk ini memakai
ikat pinggang
puragabaya, tapi bentuknya agak lain. Heh,
Mang, kapan kau
main sandiwara terakhir sekali?"
"Yang mengherankan, pemain-pemain
sandiwara ini punya
kuda-kuda yang bagus sekali, Kawan!"
"Heh! Mungkin kuda-kuda ini curian!
Kita perlu
menyerahkannya kepada jagabaya, tapi tentu
saja setelah
menggoreng pencuri-pencurinya!"
"Kami minta untuk terakhir sekali,
janganlah mengganggu
kami. Kami tidak bertanggung jawab akan apa
yang terjadi,"
kata Pangeran Muda sambil bersiap-siap
karena lingkaran
makin dekat.
"Kata-katanya persis seperti yang biasa
diucapkan oleh
tokoh puragabaya dalam sandiwara-sandiwara
keliling!"
"Sambal!" kata Mang Ogel.
"Tenang, Mang Ogel," bisik
Pangeran Muda.
Ketika itu Den Bagus memberi isyarat kepada
kawankawannya
agar penangkapan dimulai.
Pangeran Muda tidak punya pilihan lain,
kecuali melawan.
Walaupun demikian, dicamkan dalam hatinya
bahwa
seandainya terpaksa melawan, ia akan
berusaha agar tidak
ada yang terluka oleh perlawanannya itu.
Sambil tertawa-tawa, kesepuluh orang pemuda
itu, kecuali
Den Bagus, berkeliling sambil menyodorkan
tangannya ke
muka. Mulutnya tak henti-hentinya berbunyi,
seolah-olah
mereka hendak menangkap ayam. Ketika mereka
sudah
mendekat, Pangeran Muda meringankan
badannya, lalu
melompat melalui kepala mereka sambil
bersiap-siap dengan
kakinya. Seperti digerakkan oleh tenaga yang
sama, Mang
Ogel menangkap dua tangan lalu sambil
menarik kedua orang
yang ditangkap tangannya, dilipatnya kedua
tangan itu ke
arah dadanya.
Dengan gerakan pertama itu Pangeran Muda
sudah berada
di luar kepungan, sementara Mang Ogel
terlindung oleh tubuh
dua orang pemuda yang menggeliat-geliat
kesakitan.
"Jangan ganggu kami! Mang Ogel,
lepaskanlah mereka
kalau mereka berjanji tidak akan
mengganggu," kata
Pangeran Muda sambil berdiri dekat Den
Bagus.
Akan tetapi, Den Bagus bukannya menjadi
sadar,
sebaliknya malah ia naik pitam. Seperti
banteng luka ia
menghambur hendak menghantam muka Pangeran
Muda
dengan tinju. Pangeran Muda yang selalu
siaga,
menggerakkan tangannya secara naluriah.
Ketika tangan itu
menangkap sikut dan pergelangan Den Bagus
serta
menariknya, kedua kakinya bergerak seirama
dalam satu
lingkaran. Dengan gerakan yang selaras ini,
tenaga Den Bagus
yang didorong oleh amarah itu bukan saja
tidak menemui
sasaran, bahkan terlempar jauh ke belakang
Pangeran Muda.
Begitu kerasnya lemparan itu, hingga tubuh
Den Bagus
terbanting terjungkir-jungkir ke atas
semak-semak di dekat
mata air.
Sementara itu, dua orang bangsawan muda yang
lain
menyerang Pangeran Muda secara serempak dari
kiri dan
kanan. Pangeran Muda hanya sedikit
menggeserkan tubuhnya
ke sebelah kiri, seraya tangan kirinya
menyentuh sikut
penyerang yang datang dari arah kiri. Orang
yang tinjunya
dibelokkan ini tidak dapat lagi
mempertahankan
keseimbangannya, kakinya yang kanan
terperosok dan ketika
ia hendak jatuh, kawannya yang menyerang
dari kanan
dengan tinjunya yang berdesing, menghantam
rusuknya
dengan tidak sengaja. Orang yang malang itu
tidak dapat
bangun lagi, menggelepar-gelepar di bawah
pohon.
Kawan yang merubuhkannya bangkit dan
mencari-cari
Pangeran Muda. Akan tetapi, baru saja tampak
olehnya dan ia
hendak melangkahkan kakinya, Mang Ogel sudah
menangkap
tengkuknya, lalu membalikkan kepalanya ke
samping,
memandang ke wajah Mang Ogel yang melotot
kepadanya.
Orang itu berteriak karena tulang lehernya
berderak.
'Jangan terlalu keras, nanti kudaku
lari!" kata Mang Ogel
sambil membanting orang itu ke sebelah
kirinya, menyambut
penyerang baru. Suatu tabrakan yang keras
tidak dapat
dihindarkan dan dua tubuh bergedebuk jatuh
tidak bangkit
lagi.
Sementara itu, Pangeran Muda diserang
bersama dari
empat arah. Badan serta seluruh anggota
tubuhnya bergerak
mengikuti irama serangan lawan. Makin banyak
dan makin
cepat serangan, makin cepat pula gerakan
kaki dan
tangannya. Bagai seekor burung garuda yang
lahap dan ingin
menangkap mangsa, kaki Pangeran Muda seolah
tidak
berpijak tampaknya. Dengan putaran-putaran
yang indah tapi
berbahaya'ia membagikan hentakan kaki dan
hantaman sisi
tangannya. Dalam sekejap telah
bergelimpangan keempat
penyerang itu.
"Kubunuh kau! Kubunuh kau!" teriak
Den Bagus, dan
dengan muka yang berlumuran darah karena
duri-duri dalam
semak, ia menghambur dengan badik di tangan.
Pangeran
Muda menunggu dengan siaga dan ketika badik
itu sudah
sejengkal lagi dari dadanya, Pangeran Muda
mengibaskannya
dengan tangan kiri ke sebelah kanan, sambil
memutar tumit
kiri dan memindahkan kaki kanan ke belakang.
Sekali lagi Den
Bagus melesat, sekarang tidak menerobos
semak, tapi
langsung masuk ke dalam kolam tempat air
tertampung.
Suara gedebur dan cipratan air pun
tersemburlah ke atas.
"Heh, jangan mandi dulu! Kan kita belum
selesai, dan itu
bukan tempat mandi, tempat minum kuda!"
seru Mang Ogel
sambil melihat Den Bagus yang berusaha
bangun dari kolam
seraya batuk-batuk.
"Saudara, bawa kepada ibunya, katakan
anak itu jatuh
masuk kolam," kata Mang Ogel kepada dua
orang bangsawan
muda yang beku ketakutan melihat segala yang
telah terjadi
itu. Dengan takut-takut, kedua orang itu
turun ke dalam
kolam, menyelamatkan Den Bagus yang hampir
mati
tenggelam.
Segalanya telah selesai bagi Pangeran Muda
dan Mang
Ogel. Seraya melangkahi badan lawan yang
bergelimpangan
dalam semak dan di atas rumput, mereka
menuju kuda
masing-masing, kemudian melompatinya dan
melecutnya ke
arah padang terbuka. Mereka tak pernah
berpaling ke arah
mata air itu, dan tidak berapa lama
hilanglah mereka dari
pandangan kedua bangsawan yang memapah Den
Bagus.
Mereka lenyap di kaki langit.
Bab 11
Ramalan
Ketika matahari hampir condong ke barat,
kedua
penunggang kuda itu telah dapat melihat
menara-menara
benteng Anggadipati dari jauh. Si Gambir
seperti masih ingat
tempat kelahirannya, ia berlari
melonjak-lonjak sambil kadangkadang
meringkik. Kuda Mang Ogel yang pendek dan
gemuk
dengan susah payah mengejar dari belakang
Pangeran Muda
tidak memedulikan Mang Ogel yang
berteriak-teriak minta
ditunggu, dipacunya si Gambir hingga seperti
terbang larinya.
Baru setelah tiba di bawah bayangan salah
satu menara,
Pangeran Muda mengekang kendali. Tak lama
kemudian telah
berdiri pula kuda Mang Ogel di sampingnya.
Sementara Pangeran Muda memandang dengan
penuh
kerinduan pada benteng tempat kelahirannya,
tiba-tiba dari
atas menara berteriaklah seorang
gulang-gulang kepada
temannya.
"Anom datang! Anom datang!"
katanya sambil berlari-lari
turun dari atas menara. Kawan-kawannya yang
melihat
Pangeran Muda ikut berteriak-teriak, kemudian
tukang
trompet meniup trompet tiramnya keras-keras,
dan terheranheran-
lah rakyat yang sedang berada di pasar dalam
benteng
itu. Setelah mereka tahu apa yang terjadi,
berlarianlah rakyat,
laki-laki perempuan, orang tua, dan
anak-anak bersama
gulang-gulang menghambur dari gerbang
benteng mengeluelukan
Pangeran Muda yang baru datang.
Dalam sekejap, kedua pendatang itu sudah
dikerumuni oleh
rakyat dan para gulang-gulang yang dengan
gembira bersorak
sorai karena pangerannya yang telah dua
tahun meninggalkan
benteng sekarang sudah ada di tengah-tengah
mereka. Sambil
berebutan menjabat tangan Pangeran Muda atau
memegang
kendali si Gambir, tak henti-henti mereka
bercakap-cakap satu
sama lain sambil memandang Pangeran Muda.
Mereka
keheranan, betapa dalam dua tahun Pangeran
Muda sudah
begitu berubah. Kalau waktu meninggalkan
Benteng
Anggadipati baru seorang anak, sekarang
sudah seorang
pemuda yang berbadan kukuh dan lampai.
Pangeran Muda sendiri berusaha menjabat
tangan rakyat
yang banyak dikenalnya. Yang jauh dari kuda
dilambainya,
anak-anak kecil diusapnya. Akan tetapi,
Pangeran Muda tidak
turun dari kuda, ia takut rakyat akan
melihat bekas-bekas
darah lawan-lawannya pada kemeja putih di
balik pakaian
perjalanannya. Di samping itu, kalau
Pangeran Muda turun,
mungkin orang-orang akan menahannya untuk
tinggal
beberapa lama di tengah-tengah mereka. Maka
tetaplah
Pangeran Muda duduk di pelana, sambil
menyuruh si Gambir
berjalan perlahan-lahan dalam rombongan yang
bergerak
menuju ke arah pendapa, yang berada tidak jauh
dari
lapangan benteng dan pasar itu.
Sambil duduk di atas pelana dan tak
henti-hentinya
menyambut tangan rakyat yang memberinya
salam atau
melambai mereka yang berdesak-desak dari
pintu dan tingkap
rumah, Pangeran Muda memandang kembali
dengan saksama
bangunan-bangunan, lapangan, dan orang-orang
yang telah
begitu akrab dikenalnya. Kecintaannya akan
tempat
kelahirannya tergugah kembali dan bersama
perasaan itu
terbit pula rasa bangganya. Pangeran Muda
bangga karena
walaupun kecil, kotanya merupakan salah satu
tempat yang
paling beradab di daerah kerajaan.
Orang-orangnya ramahtamah
dan rajin-rajin, suka akan pengetahuan dan
keindahan.
Jalan-jalannya teratur dan bersih, sementara
masyarakat
hidup dengan tertib. Tidak pernah Pangeran
Muda melihat
bangsawan-bangsawan muda memacu kuda dalam
kota dan
menakutkan para pedagang atau pejalan kaki,
seperti
beberapa kali dilihatnya dalam Kuta Kiara
yang baru saja
dikunjunginya. Demikian juga, di daerah
kekuasaan Wangsa
Anggadipati, Pangeran Muda tidak dapat membayangkan
adanya gerombolan pemuda seperti dipimpin
oleh Raden
Bagus Wiratanu.
Rupanya Mang Ogel melihat juga perbedaan
yang sangat
mencolok antara Benteng Anggadipati dengan
Kuta Kiara.
"Ayahanda adalah seorang besar, Anom.
Hanya orang
besar yang dapat memimpin kotanya menjadi
begini
menyenangkan."
"Ayahanda sangat cinta pada kota iya,
Mang. Setelah
putra-putrinya, maka yang menjadi bahan
renungannya
adalah bagaimana agar kotanya baik dan
menyenangkan bagi
penghuninya. Itulah sebabnya kota ini
menarik begitu banyak
pendatang, hingga Ayahanda meluaskannya.
Mang Ogel tadi
melihat dinding benteng yang masih baru. Itu
khusus didirikan
untuk menampung warga kota yang berlebihan.
Demikian
juga halnya kampung-kampung di sekeliling
benteng yang
termasuk kekuasaan Ayahanda. Kampung-kampung
ini banyak
dijadikan tempat tinggal oleh orang-orang
yang datang dari
daerah-daerah kerajaan yang jauh-jauh.
Mereka senang
tinggal di kampung-kampung itu karena
keamanan kampung
terjaga dengan baik. Perampok tidak berani
menyentuh
kampung-kampung itu bukan karena rakyatnya
bersenjata,
tetapi para gulang-gulang dan jagabaya
setiap malam
berkeliling di atas kuda. Mang Ogel dapat
melihat, bagaimana
jalan-jalan padang itu terang benderang oleh
obor-obor
mereka."
"Saya senang dengan Ayahanda,
Anom."
"Beliau juga menyatakan senang
kepadamu, Mang."
"Beliau orang yang sangat dalam."
"Apa maksud Emang?" tanya Pangeran
Muda.
"Beliau banyak menguasai ilmu-ilmu
mulia, dan itu dengan
mudah dapat kita lihat dari sinar mata,
tutur kata, dan tingkah
laku beliau."
"Mungkin, Mang. Saya tidak banyak
membandingbandingkan
Ayahanda dengan orang lain," jawab
Pangeran
Muda sambil tersenyum. Sementara
bercakap-cakap demikian,
tak henti-hentinya Pangeran Muda melambaikan
tangan atau
memberi salam pada tangan-tangan yang
diulurkan oleh
rakyat dan gulang-gulang yang
mengelu-elukannya.
Tak lama kemudian tampaklah pendapa dan para
keluarga
yang siap mengelu-elukan kedatangan Pangeran
Muda di
sana. Si Gambir dipercepat jalannya,
kemudian Pangeran
Muda turun dari pelana untuk menghormati
orang tua dan
para anggota keluarga lainnya. Setiba di
hadapan mereka,
Pangeran Muda pun menghaturkan sembah.
Ayahanda
merangkulnya, sementara Ibunda menitikkan
air mata
kegembiraan. Ayunda memegang tangannya dan
memandangnya keheranan.
"Adikku, kau jauh lebih tinggi dari
Ayahanda sekarang,
padahal umurmu...”
"Tujuh belas, Ayunda," kata
Pangeran Muda sambil
tersenyum.
Mang Ogel yang sedang bercakap-cakap dengan
Ayahanda
berpaling dulu dan berkata,
"Latihan-latihan dan makanan
padepokan sangat sehat dan mempercepat
tumbuhnya rohani
maupun jasmani, Tuan Putri."
Sambil memasuki ruangan dalam istana, di
mana Pangeran
Muda disambut oleh isi istana—para
gulang-gulang,
panakawan, dan para emban—mereka terus
bercakap-cakap.
Setelah mereka duduk untuk beberapa lama di
ruangan
tengah istana, dan setelah air sejuk
dikelilingkan dengan
berbagai macam buah-buahan, para bangsawan
bersantaplah.
Pangeran Muda duduk diapit oleh Ibunda dan
Ayahanda,
sedang Mang Ogel duduk dekat Ayunda. Ketika
itulah
Ayahanda menyampaikan kabar gembira, yaitu
bahwa Ayunda
telah dipinang oleh Pangeran Rangga Wesi,
masih keponakan
sang Prabu. Ayahanda menjelaskan, mereka
bertemu ketika
putra Mahkota berkenan berkunjung ke Benteng
Anggadipati.
"Pernahkah Putra Mahkota datang?"
tanya Pangeran Muda
dengan penuh perhatian.
"Ya, anakku. Beliau berkenan dengan
kota kita ini. Beliau
pun mengetahui bahwa engkau menjadi calon
puragabaya.
Begitu banyak pengetahuan beliau tentang
semua bangsawan,
hingga nama kudamu pun diketahui beliau."
Mendengar penjelasan itu, heran dan kagumlah
Pangeran
Muda. Ingin sekali Pangeran Muda bertemu dan
bertanya,
bagaimana sampai Putra Mahkota mengetahui
nama si
Gambir.
"Dari mana mereka tahu tentang hamba,
Ayahanda?"
"Itulah yang mengherankanku, tetapi
tentu saja seorang
Putra Mahkota yang mendapat pendidikan
sebaik-baiknya
akan memiliki kemampuan yang sebaik-baiknya
pula dalam
banyak hal. Beliau sangat ramah dan
"menyenangkan. Kita
tahu, anakku, banyak putra-putra bangsawan
yang berandal
dan menjadi pengganggu ketenteraman
masyarakat. Mereka
seharusnya malu oleh kehalusan perangai
Putra Mahkota."
"Hamba pun ingin sekali berkenalan
dengan Pangeran
Rangga Wesi, Ayahanda."
"Ia anak muda yang halus, anakku. Ia
pun sangat ingin
bertemu dengan engkau, bahkan berpesan
kepada kakakmu,
agar—kalau sempat —kau berkunjung ke Pakuan
Pajajaran
untuk menemuinya."
"Sayang sekali, hamba sangat sibuk,
bahkan libur sekarang
pun hanya sepuluh hari lamanya, empat hari
terambil oleh
perjalanan. Tapi tak apalah karena seperti
sering Ayahanda
katakan, bukan mencari ilmu namanya kalau
tidak prihatin,"
kata Pangeran Muda.
"Anakku, janganlah terganggu makanmu.
Kakanda, jangan
ganggu dia. Dia tentu kelelahan dan harus
banyak makan."
"Hamba makan sangat rakus, Ibunda. Ini
sudah piring
ketiga," kata Pangeran Muda sambil
memegang tangan
Ibunda yang ketika itu mulai lagi
bercakap-cakap dengan
Mang Ogel tentang Padepokan Tajimalcla.
"Bagaimana pelajaranmu, anakku?"
"Rata-rata, Ayahanda. Banyak calon yang
lebih baik
daripada hamba, tetapi hamba yakin hamba
tidak akan
ketinggalan benar."
"Aku percaya padamu, anakku."
Selesai bersantap dan ketika isi istana
mengundurkan diri
untuk beristirahat, datanglah lima orang
bangsawan muda,
sahabat-sahabat Pangeran Muda yang telah
lama
ditinggalkannya.
"Apa kabar, Ginggi? Bagaimana lukamu
dulu itu Galih? Nah,
ini dia tukang sihir kita, mana batu
cincinmu?"
"Selamat datang, Anom. Selamat datang
puragabaya!" kata
mereka memberi salam. Mereka pun
bercakap-cakap tentang
berbagai hal dengan gembira, hingga akhirnya
mereka
membuat perjanjian bahwa esok harinya,
pagi-pagi benar
mereka akan berangkat ke padang perburuan,
untuk
menggembirakan Pangeran Muda.
Keesokan harinya, setelah mohon diri kepada
orangtuanya,
Pangeran Muda pun berangkatlah dengan lima
bangsawan muda itu, diiringi oleh lima belas
pencalang dan
beberapa puluh ekor anjing
PADANG perburuan terletak antara huma dan
ladang
palawija penduduk dengan rimba raya yang
terbentang seperti
tidak habis-habisnya. Dengan melalui jalan
kampung,
rombongan melewati perhumaan, kemudian masuk
ke dalam
padang rumput dan alang-alang yang
diselang-seling oleh
semak-semak. Karena adanya peraturan
Ayahanda yang
mewajibkan para pemburu membunuh babi hutan
sebelum
memburu binatang-binatang lain, perburuan babak
pertama
dilaksanakan terhadap binatang hama ini.
Rakyat petani
sangat bersenang hati dengan adanya
perburuan besarbesaran
itu, dan dari kampung-kampung itu pun
berbondongbondonglah
mereka membawa senjata masing-masing sambil
menuntun dua atau tiga ekor anjing setiap
orangnya. Maka
rombongan pun gemuruhlah, seakan-akan hendak
pergi
berperang layaknya.
Setelah berpuluh-puluh babi hutan dapat
dibunuh, dan
setelah binatang-binatang itu disembelih dan
dikumpulkan di
suatu tempat, pergilah rombongan menuju padang
yang lebih
dekat ke dalam rimba, di mana kijang,
menjangan, banteng,
dan badak berada. Pangeran Muda melarikan si
Gambir pelanpelan,
sambil berusaha agar berjalan menentang arah
angin.
Matanya nyalang mengawasi padang yang
seolah-olah
berbatasan dengan kaki langit. Tiba-tiba
seorang pencalang
melarikan kudanya mendekati Pangeran Muda
lalu menunjuk
ke suatu tempat di tepi langit. Karena sudah
biasa, mata
Pangeran Muda dapat melihat sekelompok besar
menjangan
dan kijang sedang beristirahat. Para bangsawan
dan
pencalang pun berundinglah mengatur
pengepungan,
kemudian dibagi-bagi-lah rombongan yang akan
menghalau
binatang-binatang itu ke daerah semak-semak
supaya mudah
dikepung. Setelah perundingan selesai, para
pemburu yang
berkuda pun berangkatlah, sedang yang tidak
berkuda
berjalan atau berlari-lari mengikuti.
Tak berapa lama kemudian kelompok menjangan
itu pun
telah terkurung oleh kepungan pemburu yang
berbentuk
setengah lingkaran. Binatang-binatang ini
digiring ke arah
semak-semak rambat, agar kuda-kuda mudah
mengejarnya
dan para pemburu dapat menombak atau
memanahnya.
Semua anjing sementara ditahan, agar tidak
terlalu cepat
menakutkan binatang yang mulai kebingungan.
Kemudian,
setelah lingkaran cukup kecil, dilepaslah
anjing-anjing itu.
Ramailah salak mereka menghalaukan
binatang-binatang yang
ketakutan itu ke arah hutan rambat. Tidak
berapa lama para
pemburu telah melepaskan anak panah dan
tombak mereka.
Dalam keributan itu, Pangeran Muda melihat
rusa yang
besar sekali. Tanduknya sangat panjang. Pangeran
Muda
memacu si Gambir ke arah binatang yang
sedang mencoba
melarikan diri itu. Akan tetapi, karena si
Gambir—seperti juga
menjangan itu—mendapat kesukaran dalam
melintasi hutan
tumbuhan rambat itu, jarak antara pemburu
dengan yang
diburu tidak banyak berubah. Kedua-duanya
makin lama
makin jauh ke tengah hutan rambat dan menuju
rimba raya
yang menjulang di hadapan mereka.
Karena takut kehilangan binatang buruannya,
Pangeran
Muda memacu si Gambir sambil berseru-seru
memberikan
semangat kepada beberapa ekor anjing yang
dengan susah
payah mengikuti dari belakang. Akan tetapi,
si Gambir yang
telah berusaha keras itu kakinya tersangkut
tumbuhan rambat
dan jatuh, dengan terlebih dahulu
melemparkan Pangeran
Muda berguling-guling ke depan. Karena
menganggap bahwa
di atas pelana kuda lebih sukar daripada
berlari, Pangeran
Muda tidak berpaling lagi pada si Gambir.
Pangeran Muda
terus berlari, melompat-lompat, makin lama
makin dekat ke
arah binatangyang kelelahan itu. Dalam suatu
jarak jangkauan
tombak, Pangeran Muda berhenti, lalu
melontarkan
senjatanya. Rusa yang sedang kebingungan
tiba-tiba
dikejutkan oleh tusukan senjata itu di dekat
lehernya. Karena
terkejut dan kesakitan ia melompat dan
berhasil melintasi
rumpun tumbuhan rambat yang sangat tinggi.
Pangeran Muda dengan memindahkan
tombak-tombak lain
dari tangan kiri ke tangan kanannya, terus
berlari melompatlompat;
semangatnya naik, karena yakin, binatang
yang
bertanduk indah itu akan didapatnya. Ia
terus berlari dan
bertari, hingga akhirnya binatang itu masuk
ke dalam rimba.
Pangeran Muda makin bersemangat, karena
yakin, akhirnya
binatang itu akan tersesat di antara
pohon-pohon rimba yang
lebat itu.
Akan tetapi, ternyata hutan yang dimasukinya
tidak terlalu
lebat, bahkan seperti sebuah taman yang
besar ditumbuhi
oleh pohon-pohonan besar yang indah. Di
bawah pohonpohonan
terhampar lumut hijau atau keemasan yang
tebal
dan lembut di bawah telapak kaki.
Dengan dituntun oleh bekas jejak rusa di
atas lumut itu,
dan dengan melihat binatang itu berkelebatan
di antara
pohon-pohon yang besar, Pangeran Muda terus
berlari dengan
tombak siap di tangan kanan, sedang di
tangan kiri tiga
batang lagi sebagai persediaan. Akan tetapi,
tiba-tiba
Pangeran Muda terhenti, di hadapannya
terbentang sebuah
danau yang besar dan airnya jernih sedang
rusa itu tidak
tampak lagi, mungkin telah rubuh dan
terbaring di dalam
semak di tepi danau itu.
Pangeran Muda menajamkan matanya melihat ke
dalam
semak-semak, yang samar-samar tampaknya
karena kabut
kebetulan meliputi bagian hutan itu. Berulang-ulang
Pangeran
Muda menengadah ke langit, merasa kesal
karena kabut
mengganggu usahanya dalam mencari binatang
buruannya.
Dalam pada itu tampak oleh Pangeran Muda
bianglala yang
sangat indah, seolah-olah turun ke permukaan
danau yang
ada di hadapannya. Ketika itu bertiuplah
angin semilir dan
ketika kabut yang tergantung di permukaan
danau itu
tersibak, Pangeran Muda melihat pemandangan
yang
memesonakan.
Di tengah-tengah danau itu terdapat sebatang
pohon yang
terapung. Di atas batang pohon besar yang
terapung itu
duduklah tiga orang putri yang cantik,
sedang di ujung batang
itu, tidak jauh dari mereka berdirilah
seorang kesatria yang
sangat tampan, memegang galah yang menjadi
pendayung.
Mereka berlayar di atas batang pohon itu,
putri-putri
bernyanyi kecil sambil mencelupkan kaki
mereka yang indah
ke dalam air yang jernih. Sementara itu, di
seberang danau, di
semak-semak yang berbunga-bunga seperti
sebuah taman,
tampak pula beberapa putri cantik dengan
beberapa kesatria
sedang bercengkerama. Melihat pemandangan
yang sangat
cantik itu hampir tidak dapat dikejapkan
mata Pangeran Muda.
Pangeran Muda memerhatikan satu per satu
putri-putri dan
kesatria-kesatria itu. Putri-putri itu
mengenakan pakaian yang
tidak pernah ditemukan macamnya di daerah
mana pun. Kain
yang dipakai mereka begitu halusnya, hingga
seolah-olah tidak
ditenun dari kapas atau sutra, tetapi dari
awan yang diwarnai
oleh cahaya bianglala. Para kesatrianya
berpakaian gagah
pula, dengan kain-kain putih, ikat-ikat
pinggang keemasan
atau keperak-perakan, sementara ikat kepala
mereka tidak
pernah ditemukan pula macamnya.
Selagi Pangeran Muda terbelalak memerhatikan
mereka,
salah seorang putri yang sedang berlayar
melihat ke arahnya.
Tampak putri itu terkejut dan berseru,
"Manusia!" Dalam
sekejap, kabut menutupi mereka dan ketika
angin bertiup
menghalau kabut itu dan memperlihatkan danau
kembali, para
kesatria dan putri-putri itu gaib dari sana.
Sadarlah Pangeran
Muda bahwa makhluk-makhluk yang baru
dilihatnya bukan
manusia, tetapi para bujangga dan pohaci
yang turun dari
Buana Padang dan bercengkerama di hutan
larangan yang
telah dimasuki dengan tidak sengaja.
Sadar akan hal itu Pangeran Muda pun
terpukaulah.
Kemudian sayup-sayup terdengar olehnya salak
anjing-anjing
pemburu, dan tak berapa lama kemudian
terdengarlah para
pemburu lain dengan cemas berseru-seru,
"Pangeran! Anom!
Ahooooooy! Huuuuuuuuuh! Anom!"
Dengan gontai, Pangeran Muda melangkah
kembali dari
tepi danau itu, berjalan ke arah suara
kawan-kawannya. Tak
lama kemudian bermunculanlah mereka dan
dengan gembira
berlari ke arah Pangeran Muda. Akan tetapi,
ketika sudah
dekat, tertegun dan memandang ke dalam mata
Pangeran
Muda dengan penuh pertanyaan, "Apa yang
terjadi, Anom?"
Sambil berpegang pada bahu Ginggi karena
kedua lututnya
gemetar seolah-olah tak mampu mengusung
berat badannya,
Pangeran Muda berkata, "Ginggi, saya
melihat makhlukmakhluk
suci."
"Pangeran, di mana?"
"Di atas danau itu." Ginggi
melihat ke atas danau yang
lengang.
"Mereka sudah tiada. Saya telah
mengusik mereka dengan
tidak sengaja, Ginggi," kata Pangeran
Muda. "Sekarang,
marilah kita pulang."
Kelima bangsawan muda dengan Pangeran Muda
di
tengah-tengah mereka, melangkah tanpa
bercakap-cakap dari
hutan yang indah dan hening itu.
"Hutan ini suci," bisik Girang.
"Marilah segera kita keluar."
Mereka pun melangkah
tergesa-gesa, tapi berusaha tidak berisik.
Setiba di tepi hutan itu, para pemburu
berjingkrak-jingkrak
dengan gembira di suatu tempat. "Ada
apa?"
"Rusa besar ini, Anom telah
menombaknya!"
Ternyata rusa besar itu rubuh, tetapi di
tempat yang sangat
tidak disangka-sangka, yaitu di tepi hutan
larangan itu.
Barangkali binatang memiliki pancaindra yang
lebih halus,
hingga mereka tidak berani memasuki atau
mati di hutan yang
suci itu. Walaupun Pangeran Muda gembira
dengan
ditemukannya binatang itu, kegembiraannya
diseliputi
perasaan yang aneh, perasaan yang digugah
oleh
pengalamannya yang luar biasa itu.
MALAM harinya para pemburu mengadakan pesta.
Acara
makan besar dan minum tuak dilakukan dengan
segala bunyibunyian
dan tari-tarian di gelanggang. Pangeran Muda
sendiri
tidak menggabungkan diri dengan rakyat yang
bersukaria itu,
tetapi bersama bangsawan-bangsawan muda
lainnya
mengerumuni seorang tukang pantun buta yang
biasa
menghibur isi istana.
Ketika babak pertama dari acara pantun itu
selesai dan
tukang pantun sedang beristirahat sambil
makan hidangan
yang disajikan untuknya, Pangeran Muda
bertanya,
"Bagaimana musim ini, Mang Wentar?
Banyakkah orang yang
mengundangmu untuk bernyanyi?"
"Banyak sekali, Anom, hingga kadang-kadang
Emang
kewalahan."
"Kalau begitu, Emang akan cepat kaya,
Mang Wentar."
"Kekayaan akan membuat Emang malas dan
mungkin
besar kepala, Anom. Hanya menyanyilah yang
akan membuat
Emang bahagia dan awet muda."
"Jadi, dengan banyaknya yang mengundang
Emang sangat
berbahagia dan akan awet muda, Mang?"
tanya Pangeran
Muda.
"Saya dengar Mang Wentar baru saja
kawin lagi, Anom,
padahal baru satu tahun ditinggalkan oleh
bibinya," ujar
Ginggi.
"Anom, belum tentu banyak menyanyi
menyebabkan
Emang berbahagia. Emang hanya berbahagia
kalau Emang
menyanyikan cerita-cerita yang baik.
Sayangnya sekarang
banyak sekali orang kaya dan
bangsawan-bangsawan yang
meminta cerita-cerita yang jelek, kasar
bahkan kurang ajar."
Mendengar penjelasan itu, keherananlah
bangsawanbangsawan
muda yang berbaring sambil makan buah-buahan
di sekeliling tukang pantun buta itu.
"Cerita-cerita kurang ajar bagaimana,
Mang?" tanya
seorang di antara mereka.
"Begini, Juragan-juragan. Ada
cerita-cerita yang baik, yang
menarik bagi orang-orang yang halus budinya,
misalnya cerita
Munding Laya Dikusumah, Lutung Kasarung, dan
sebagainya.
Tapi banyak pula cerita-cerita yang jelek,
yang Emang tidak
mau menyebutkannya. Dalam cerita-cerita ini
banyak terjadi
adegan-adegan perkelahian, adegan-adegan
tidak senonoh,
lelucon-lelucon kasar. Dan sialnya, justru
bagian-bagian yang
jelek inilah yang menarik kebanyakan
pendengar sekarang,
sedang hal-hal yang lebih halus dan lebih
berharga untuk
mendapat perhatian, tidak mereka pedulikan.
Itulah sebabnya
uban Emang tumbuh di kepala," kata
orang buta itu sambil
tersenyum.
"Eh, Mang Wentar," kata Ginggi,
"pernahkah Emang
menyanyikan kisah di mana ada tokoh yang
bertemu dengan
bujangga dan pohaci?"
"Pernah, beberapa kali. Nah, tokoh yang
bertemu dengan
makhluk-makhluk suci ini biasanya nasibnya
aneh. Ia
mendapatkan sesuatu yang terbaik di dunia
ini, tetapi
sekaligus juga mendapatkan yang terjelek.
Kadang-kadang
Emang berpikir, apakah kita harus kasihan
kepada tokoh itu
atau harus turut gembira. Sungguh
aneh," katanya.
Mendengar cerita orang tua itu para
bangsawan muda
melihat pada Pangeran Muda yang mendengarkan
dengan
penuh perhatian.
"Apakah Emang suka meramalkan nasib
seseorang, Mang?"
tanya salah seorang sahabat Pangeran Muda,
lalu
melanjutkan, "bagaimana nasib salah
seorang dari kamu yang
bertemu dengan bujangga dan pohaci, apakah
juga akan
mendapatkan hal terbaik dan terjelek
sekaligus?"
"Tidak tahu, Emang bukan tukang ramal
atau nujum,
apalagi tukang sulap atau sihir. Emang
adalah tukang pantun
yang cuma bisa bernyanyi dan memetik
kecapi."
Kemudian orang tua itu menjentik kawat-kawat
kecapi
dengan jari-jarinya yang lincah-terampil,
dan menyanyilah ia
dengan merdunya tentang kerajaan zaman
dahulu kala,
tentang putri cantik jelita dan pangeran
cendekia.
Bab 12
Pengadilan
Setelah bersama-sama mendengarkan nyanyian
tukang
pantun itu, para bangsawan muda membuat
perjanjian lagi.
Mereka merencanakan acara mengail di danau
yang berada
tidak jauh dari Puri Anggadipati, dan malam
itu juga
perbekalan disiapkan. Mang Ogel yang tertarik
oleh acara itu
bersedia pula untuk menggabungkan diri
dengan anak-anak
muda itu. Akan tetapi, esok harinya,
pagi-pagi sekali suatu
perintah datang dari Pakuan Pajajaran,
meminta agar
Pangeran Muda segera kembali ke Padepokan
Tajimalela.
Pesan ini sangat mengejutkan dan merisaukan
hati
Pangeran Muda. Bukan saja baru dua hari
Pangeran Muda
berada di tengah-tengah keluarganya, tetapi
datangnya
perintah dari Pakuan Pajajaran dan dari
bangsawan yang tidak
dikenalnya sungguh menimbulkan kecemasannya.
Akan tetapi,
karena tidak ada pilihan lain, setelah
menggagalkan segala
rencana, hari itu juga Pangeran Muda dan
Mang Ogel
berangkat meninggalkan Puri Anggadipati.
"Janganlah berkecil hati, Anom. Tak ada
kesalahan yang
kaulakukan," kata Mang Ogel.
"Saya berlindung pada Sunan Ambu dan
Sang Hiang
Tunggal yang Maha Mengetahui. Seandainya
memang saya
akan diadili karena kejadian di Kuta Kiara
itu, saya merasa
bahwa saya sudah cukup berusaha menahan
diri, Mang."
'Anom, mungkinkah di antara mereka ada yang
meninggal
karena pukulan-pukulanmu?" tanya Mang
Ogel.
"Saya kira tidak, Mang. Saya tidak
pernah memukul mereka
dalam arti yang sebenarnya. Mereka rubuh dan
terpukul oleh
tenaga mereka sendiri. Akan tetapi, saya
tidak yakin, apakah
di antara mereka ada yang terluka parah atau
tidak. Yang
saya yakin, saya telah mengendalikan
anggota-anggota badan
saya sebaik-baiknya."
"Mudah-mudahan saja tidak ada yang
tewas di antara
mereka itu," kata Mang Ogel.
"Kalau sampai ada yang
meninggal, sukar bagi kita untuk
mempertahankan diri di
muka pengadilan, Anom."
"Pernahkah ada peristiwa seperti yang
kita alami, Mang?"
"Selama Emang ada di padepokan, baru
dua kali."
"Apakah ada yang dipecat dari kedudukan
sebagai calon?"
"Selama Emang di padepokan belum ada,
tetapi
sebelumnya pernah ada yang dipecat dan
dibunuh karena
terpaksa. Namanya menurut kabar Raden
Jaya."
Pangeran Muda tidak mengatakan apa-apa lagi,
dan
perjalanan yang panjang dan sepi pun
dilanjutkan, hingga
pada hari keempat sampailah mereka di
Padepokan
Tajimalela.
SEJAK saat pertama Pangeran Muda memijakkan
kaki
kembali di padepokan, terasa bahwa seluruh
padepokan
bersuasana murung. Dari Eyang Resi hingga ke
para
panakawan kelihatan bersedih dan cemas. Di
samping
suasana murung itu dalam lingkungan
padepokan itu terdapat
hal yang tidak biasa, yaitu kehadiran tiga
orang puragabaya
yang sengaja datang dari Pakuan Pajajaran.
Mereka itu adalah
Rangga Sena, Girang Pinji, dan Geger Malela.
Mereka
mendapat tugas untuk melakukan acara
pengadilan terhadap
Pangeran Muda.
Malam itu, dalam ruangan tertutup dan hanya
berdua
dengan Eyang Resi, Pangeran Muda menjelaskan
apa-apa
yang terjadi. Tak ada satu hal pun yang
disembunyikan atau
dipalsukan. Pangeran Muda memberikan segala
kisah kejadian
dari permulaan ke akhirnya selengkap-lengkapnya.
"Baiklah, marilah sekarang kita
bersembahyang bersama,
mudah-mudahan Sunan Ambu melindungi kita.
Eyang yakin,
kau tidak bersalah. Eyang kenal
kepadamu."
Kemudian mereka pun pergilah ke dalam candi
dan dalam
kesunyian malam itu, guru dan murid
melakukan sembahyang
yang khusyuk.
Keesokan harinya acara pengadilan pun
dilaksanakan.
Seluruh isi padepokan diperintahkan untuk
hadir dalam
ruangan besar yang biasa dipergunakan untuk
belajar atau
latihan. Para calon duduk berjajar
bersaf-saf, dan Pangeran
Muda dipersilakan duduk paling depan,
didampingi oleh Mang
Ogel yang bertindak sebagai salah seorang
saksi.
Berjajar menghadapi meja panjang dan
menghadap pada
para calon duduklah empat orang anggota
peradilan, yaitu
Eyang Resi Tajimalela, puragabaya Geger
Malela, Rangga
Sena, dan Girang Pinji. Setelah doa-doa
dipanjatkan dan
ruangan hening kembali. Puragabaya Geger
Malela
menjelaskan secara resmi maksud kedatangan
mereka ke
padepokan. Ia menjelaskan bahwa atas dasar
pengaduan dari
Tumenggung Wiratanu, penguasa Kuta Kiara,
ketiga
puragabaya itu ditugaskan oleh sang Prabu
untuk melakukan
pemeriksaan dan langsung melakukan
pengadilan kalau
segalanya menjadi jelas. Setelah memberikan
penjelasan
demikian, mulailah Geger Malela mengeluarkan
kotak lontar
yang kemudian diserahkan kepada Rangga Sena
untuk
membacanya.
Rangga Sena mulai mengambil beberapa helai
lontar,
kemudian ia mulai berkata, 'Akan saya
bacakan keterangan
tertulis dari Tumenggung Wiratanu, sebagai
pengantar bagi
pengaduannya. Keterangan tersebut adalah
sebagai berikut:
Ø Pada suatu hari ke Kuta
Kiara datang seorang calon
puragabaya dengan seorang panakawannya.
Calon
puragabaya itu berbadan lampai berisi dengan
rambut
tebal agak ikal, terurai hingga ke
pundaknya. Pada ikat
kepalanya yang berwarna gading diikatkan
pula
serangkai mutiara, menandakan bahwa ia
seorang
putra bangsawan tinggi. Pakaian calon
puragabaya
yang berwarna putih dilindunginya dengan
pakaian
berwarna hitam. Pakaian luar ini
dikancingkannya
dengan rapat, hingga sukar bagi orang yang
melihatnya
untuk mengetahui bahwa ia adalah seorang
calon
puragabaya.
Ø Calon ini bersama
panakawannya datang ke Kuta Kiara
dengan cara memacu kuda mereka, hingga
banyak
pedagang yang tumpah dagangannya dan bahkan
ada
anak yang luka karena jatuh tersenggol oleh
orangorang
yang ketakutan.
Ø Pada malam harinya kedua
orang pendatang ikut
menyaksikan upacara mengelu-elukan Nyai Sang
Hiang
Sri di lapangan kota. Kedua orang ini ikut
menari,
minum tuak, dan mabuk-mabuk.
Ø Setelah kelelahan menari,
mereka menggabungkan diri
dengan bangsawan-bangsawan muda Kuta Kiara,
dan di
tempat mereka berkumpul itu sang calon telah
berusaha menarik perhatian seorang putri
bangsawan
setempat. Karena kecakapannya bermain
kata-kata,
putri itu tertarik kepadanya, walaupun telah
lama
berkenalan dengan seorang putra bangsawan
setempat.
Beberapa orang pemuda setempat
memperingatkan
dengan isyarat bahwa tingkah laku calon
puragabaya
itu kurang senonoh dan dapat menyebabkan
kemarahan dari bangsawan-bangsawan muda
setempat. Akan tetapi, calon itu tidak
memedulikan
peringatan itu, bahkan secara sengaja
menyelipkan
bunga di kepalanya yang didapatnya dari
putri yang
telah dicumbunya itu.
Ø Tingkah laku calon
puragabaya tersebut dengan
sendirinya sangat menyinggung perasaan
bangsawanbangsawan
muda setempat yang kemudian
menahannya dan membawanya ke suatu tempat
dengan maksud memberinya pelajaran
sopan-santun
setempat. Karena hari telah larut dan
penjelasanpenjelasan
yang perlu diberikan masih banyak, para
bangsawan bermaksud memberikan
penjelasanpenjelasannya
keesokan harinya, dan untuk malam hari
itu memutuskan untuk menahan calon di tempat
tahanan setempat.
Ø Kemudian ternyata
panakawannya, dengan
mempergunakan linggis dan kapak, merusak
palang
pintu tempat tahanan yang terbuat dari jati.
Mereka
pun melarikan diri dan bersembunyi di suatu
sumber air
di tengah-tengah padang yang terbentang
antara Kuta
Kiara dan Kutabarang.
Ø Para bangsawan muda Kuta
Kiara yang kehilangan
tahanannya pagi itu juga mencari kedua orang
itu, dan
sekira waktu hangat-berjemur mereka
mendapatkan
kedua orang itu sudah bersiap-siap menyergap
mereka.
Walaupun dengan gagah berani
bangsawan-bangsawan
muda berusaha menangkap kedua orang yang
harus
dihadapkan ke pengadilan Kuta Kiara, mereka
gagal
dan hanya dua orang yang selamat tanpa
mendapat
cedera. Yang delapan orang semuanya cedera,
bahkan
mungkin ada yang akan cacat seumur hidup. Di
antara
yang cedera itu adalah:
• Seorang rusak mukanya karena dibantingkan
ke
dalam semak-semak duri kemudian
ditenggelamkan di
mata air, dan kalau tidak ditolong oleh
kedua temannya
mungkin jiwanya tidak tertolong.
• Dua orang terkilir pergelangan tangannya.
• Seorang patah rusuknya.
• Seorang terkilir tulang lehernya.
• Yang seorang patah tulang selangkanya,
akibat
diadukan dengan kepala kawannya yang
kehilangan gigi
depannya.
• Sisanya babak belur dan memar karena
dibanting
ke atas tanah dan semak-semak.
• Semua korban ditinggalkan begitu saja di
dekat
mata air itu tanpa tanggung jawab sedikit
pun."
Setelah membacakan
keterangan itu, Rangga Sena menarik
napas panjang, lalu
berkata, "Berdasarkan kejadian-kejadian
yang dilukiskan di atas,
Tumenggung Wiratanu dengan
dukungan penuh seluruh
bangsawan Kuta Kiara memohon
keadilan kepada sang
Prabu, dalam surat beliau yang dibawa
oleh para utusan.
Demikian bunyinya:
Paduka Yang Mulia, yang
disembah di seluruh Pajajaran,
Kami yang bertanda tangan
atas nama rakyat Kuta Kiara yang
juga dapat dianggap
mewakili seluruh rakyat Pajajaran,
dengan ini menyatakan
keprihatinan dan kecemasan kami oleh
adanya kejadianyang
sangat bertentangan dengan apaapayang
dijunjung tinggi oleh
masyarakat yang beradab,yaitu
dengan terjadinya
penganiayaan terhadap orang baik-baik
yang dilakukan oleh pihak
tertentu.
Seandainya penganiayaan
itu dilakukan oleh perampok atau
mereka yang dianggap hina
dalam masyarakat kita, kami tidak
akan terlalu berkecil
hati. Akan tetapi, dalam peristiwa
penganiayaan tersebut,
seorang calon puragabaya telah
menjadi pelakunya. Dalam
peristiwa itu, orang yang
seharusnya menjadi
pelindung rakyat yang lemah, justru
melakukan tindakan yang
hanya dapat diperbuat oleh seorang
perampok atau penjahat.
Seandainya peristiwa itu
berlalu tanpa peradilan, kami
sangat cemas, masyarakat
akan kehilangan kepercayaan dan
penghargaan pada lembaga
kepuragabayaan yang selama ini
menjadi lambang kehalusan
budi dan keperkasaan, dan
menjadi kebanggaan rakyat
Pajajaran. Didorong oleh
keprihatinan dan
kecemasan itulah kami menjerit dan
memohon agar orang yang
menodai kesucian kepuragabayaan
itu mendapat hukuman yang
setimpal.
"Demikian isi surat pengaduan itu, yang
ditandatangani
oleh berpuluh-puluh bangsawan dan saudagar
serta rakyat
biasa dari Kuta Kiara," kata puragabaya
Rangga Sena sambil
meletakkan kotak-lontar di atas meja di
hadapannya.
Kemudian ia duduk, sementara puragabaya
Geger Malela
bangkit kembali.
"Selain keterangan dan surat pengaduan
resmi, sang Prabu
dan kami telah pula mendengarkan keterangan
lisan dari para
utusan yang dipimpin oleh Tumenggung
Wiratanu sendiri. Dari
keterangan-keterangan lisan itu kami menarik
kesimpulan
bahwa peristiwa itu melibatkan kita semua ke
dalam suatu
masalah yang sungguh-sungguh dan harus
segera mendapat
penyelesaiannya. Kami mengharapkan agar
tertuduh
Anggadipati dan saksi Ogel memberikan
penjelasan yang
sebenarnya, hingga kami tidak usah
diperlambat dalam
menetapkan keputusan."
Setelah berkata demikian, Geger Malela
memandang
kepada Pangeran Muda, lalu berkata,
"Bangkit dan
berkatalah."
Pangeran Muda bangkit, lalu menjelaskan
apa-apa yang
terjadi sesuai dengan yang dialaminya.
Setelah diceritakannya
apa-apa yang terjadi sejak mereka menghadiri
upacara hingga
perkelahian, ia pun duduk kembali.
Begitu ia duduk, Mang Ogel bangkit dan
berkata, "Ada yang
terlewat, Eyang Resi."
"Katakan," kata Geger Malela.
"Waktu kami datang, kami tidak menaiki
kuda kami. Waktu
kami meninggalkan Kuta Kiara memang kami
memacu kuda
karena kami takut dikejar oleh
bangsawan-bangsawan muda
yang menyekap Anom," kata Mang Ogel.
"Baik," kata Geger Malela sambil
memberi isyarat kepada
Girang Pinji untuk melakukan
pencatatan-pencatatan.
"Masih ada tambahan lain?" tanya
Geger Malela pula.
"Bukan tambahan, tetapi usul, Kakanda
Geger Malela," kata
Pangeran Muda seraya bangkit.
Geger Malela memberi isyarat agar Pangeran
Muda
mengajukan usulnya. Pangeran Muda pun
berkatalah kembali,
"Eyang Resi, Kakanda para puragabaya,
sebenarnya hamba
tidak dapat memberikan penjelasan yang
selengkaplengkapnya
karena sebagian dari keseluruhan peristiwa
yang
telah menyangkut hamba secara langsung tidak
hamba
saksikan. Hamba tidak, mengetahui apa yang
terjadi ketika
hamba berada dalam terongko, dan hamba pun
tidak tahu apa
yang dilihat dan dibicarakan oleh Mang Ogel
dengan Putri
Mayang Cinde dalam usaha menolong hamba itu.
Berdasarkan
hal-hal itu hamba mengusulkan untuk menjelaskan
persoalan
dan sebelum menetapkan keputusan, saksi
ditambah dengan
Putri Mayang Cinde."
"Adikku Anggadipati, apa yang
kauusulkan telah menjadi
pertimbangan kami sebelum kami berangkat ke
Padepokan
Tajimalela, dan sekarang seorang di antara
kami, yaitu
Rangga Gempol sedang berada di Kuta Kiara;
pertama, untuk
meneliti pemuda-pemuda dengan siapa kau
terlibat dalam
perkelahian; kedua, untuk secara langsung
mendapat
penjelasan-penjelasan lisan dari Putri
Mayang Cinde."
"Eyang Resi, Kakanda para puragabaya,
hamba
beranggapan bahwa para bangsawan muda itu
akan
memberikan keterangan yang memberatkan
hamba. Apakah
pengaduan Tumenggung Wiratanu belum dianggap
cukup
sebagai tuduhan terhadap hamba?"
Geger Malela segera menjawab pertanyaan
Pangeran Muda
yang salah mengerti, "Adikku, Rangga
Gempol tidak akan
bertanya secara langsung kepada
bangsawan-bangsawan
muda itu. Ia hanya akan meminta keterangan
lisan dari Putri
Mayang Cinde. Sedang mengenai
bangsawan-bangsawan
muda itu, justru Rangga Gempol akan mencari
keterangan
dari rakyat biasa. Rangga Gempol akari
menyelidiki apakah
mereka itu tergolong pemuda-pemuda yang tahu
sopan
santun, suka akan ketertiban, dan taat pada
asas-asas
kesatriaan. Seandainya mereka demikian, hal
itu akan
memberatkanmu, sebaliknya, seandainya
keterangan yang
didapat oleh Rangga Gempol tidak demikian,
hal itu akan
meringankanmu."
"Tapi apakah jaminan bahwa Juragan
Rangga Gempol akan
bertanya kepada rakyat yang tidak
memihak?" tiba-tiba Mang
Ogel bertanya dan tidak dapat menahan dirinya.
"Tentu saja Rangga Gempol akan berusaha
mendapatkan
keterangan yang benar. Ia pun tidak akan
menunjukkan
dirinya sebagai puragabaya. Ia akan menyamar
sebagai
pengembara yang sedang singgah,"
demikian Geger Malela.
Kemudian setelah menyadarinya bahwa tidak
ada lagi orang
yang akan berkata, Geger Malela menarik
napas panjang, lalu
berkata, "Dari pembicaraan kita, dapat
ditarik kesimpulan
bahwa keterangan-keterangan yang diperlukan
belum
terkumpul semuanya. Oleh karena itu,
keputusan pun tidak
akan dapat diberikan sekarang. Kita akan
menunggu
keterangan-keterangan yang didapat oleh
Rangga Gempol dan
kita akan mengadakan acara sekali lagi
sebelum menjatuhkan
keputusan."
Setelah berkata demikian, Geger Malela
mempersilakan
Eyang Resi untuk memberikan petuah, tetapi
Eyang Resi tidak
berkenan. Beliau malah mengajak seluruh
hadirin untuk
bersembahyang bersama untuk memohon petunjuk
pada Sang
Hiang Tunggal, agar keputusan yang akan
ditetapkan sesuai
dengan tuntutan keadilan. Maka seluruh
hadirin pun pergilah
ke candi dan dengan khusyuk mengadakan
sembahyang
bersama di sana.
KEESOKAN harinya acara-acara latihan dan
pelajaran
rohani mulai diadakan lagi. Para calon
melanjutkan kembali
pelajaran-pelajaran ketangkasan, meniru ular
dan bajing,
mengarungi arus sungai, melompati
jurang-jurang, mendaki
tebing yang curam dan menuruninya, dengan
mempergunakan tambang atau tidak. Akan
tetapi, sebagai
orang yang masih ada dalam persoalan,
Pangeran Muda tidak
ikut serta. Dengan ditemani oleh Mang Ogel,
Pangeran Muda
hanya menyaksikan apa-apa yang dilakukan
oleh kawankawannya
di bawah pimpinan Pamanda Rakean, Anapaken,
dan Pamanda Minda.
Dengan melihat latihan itu, makin
tergugahlah hasrat
Pangeran Muda untuk menguasai ilmu yang
berbahaya tetapi
suci itu. Akan tetapi, kesadarannya bahwa ia
sedang
dipersoalkan segera mengecutkan hatinya.
Pangeran Muda
sangat menyesal, mengapa ia tidak dapat
menghindarkan
kejadian-kejadian yang tidak diinginkan itu.
Padahal untuk
melarikan diri sebenarnya mudah sekali.
Sebenarnya dengan mudah Pangeran Muda dapat
meloloskan diri dari bangsawan-bangsawan
muda itu, yaitu
ketika ia dengan Mang Ogel disergap
sekembali dari upacara
mengelu-elukan Nyai Sang Hiang Sri di Kuta
Kiara itu. Sayang
sekali keterkejutan dan kebingungan
menyebabkannya telah
terlibat dalam kedudukan yang sulit, di mana
ia disekap dalam
terongko. Pangeran Muda pun menyesal,
mengapa ia
memberikan minum pada kuda-kuda mereka,
padahal secara
samar-samar ia punya firasat bahwa mata air
itu berada dalam
jangkauan pengejar-pengejar, sedang tapak
kaki kuda mereka
jelas sekali terlukis di jalan pasir yang
menghubungkan Kuta
Kiara dengan Kutabarang, tempat mereka tuju
sebelum Puri
Anggadipati. Di sampingku, Pangeran Muda pun
sangat
menyesal, mengapa mereka tidak merawat para
korban
sebelum pergi. Akan tetapi, segalanya sudah
berlalu dan
sekarang Pangeran Muda hanya dapat berdoa,
mudahmudahan
Sang Hiang Tunggal menetapkan yang
sebaikbaiknya
bagi semua.
'Jangan terlalu berkecil hati, Anom. Apa pun
yang terjadi
kau masih sangat muda," kata Mang Ogel
membesarkan hati
Pangeran Muda yang termenung di sampingnya
sambil
memerhatikan kawan-kawannya melakukan
latihan.
"Saya telah menyerahkan semuanya kepada
Sang Hiang
Tunggal, Mang," kata Pangeran Muda
sambil tersenyum, lalu
mengikuti calon-calon lain yang setelah
selesai melakukan
perkelahian menuju tempat lain.
MALAM itu juga acara peradilan dilanjutkan,
tetapi tidak
langsung dengan penjelasan-penjelasan
tambahan oleh
puragabaya Rangga Gempol yang sudah tiba.
Para
puragabaya dengan Eyang Resi melakukan rapat
khusus
terlebih dahulu, yang tidak dihadiri oleh
para calon, tetapi
hanya dihadiri oleh para pelatih. Para calon
sendiri berkumpul
seperti biasa di ruang belajar. Mereka tidak
banyak bercakapcakap,
semuanya tampak merasa cemas akan nasib Pangeran
Muda. Sikap para calon lain itu
sungguh-sungguh
mengharukan Pangeran Muda dan secara tulus
tergugahlah
rasa terima kasih yang tidak diucapkan
kepada mereka itu.
Tak lama kemudian pintu dari ruangan kecil
tempat Eyang
Resi dan para puragabaya berunding pun
terbukalah. Maka
heninglah semua calon dan
panakawan-panakawan yang
hadir. Setiap orang memerhatikan
pembesar-pembesar kepuragabayaan
yang mengambil tempat duduk masing-masing di
ruangan besar. Pangeran Muda dengan saksama
memerhatikan air muka mereka, tetapi sukar
sekali dibaca,
apa yang mereka pikirkan dan rasakan.
Umumnya air muka
mereka memperlihatkan ketenangan, kedamaian
yang biasa
memancar dari air muka para pendeta dan
puragabaya.
Kemudian Geger Malela mulai berkata,
menjelaskan bahwa
bahan-bahan baru telah didapat oleh Rangga
Gempol yang
dua hari dua malam berada di Kuta Kiara
untuk mencarinya.
Setelah itu, ia memberikan isyarat kepada
Rangga Sena untuk
membuka kotak lontar dan membacakan
keputusan
pengadilan puragabaya itu. Rangga Sena pun
mulai
mengambil beberapa helai lontar dari
kotaknya, dan setelah
dijajarkan di atas meja panjang, ia mulai
mengambil sehelai
dari yang paling kanan, diikuti oleh
pandangan mata seluruh
calon yang dengan tegang memerhatikan
perbuatannya.
Kemudian mulailah Rangga Sena membaca.
"Lembaga Kepuragabayaan sejak
pendiriannya yang
diresmikan oleh Yang Mulia Prabu
Niskalawastu suwargi tetap
berpegang pada asas-asas dan tujuan serta
cita-cita yang
sama, yaitu agar anak negeri Kerajaan
Pajajaran mendapat
jaminan yang pasti dan dapat diandalkan
dalam mencapai
kebahagiaannya.
Ø Setiap puragabaya adalah
pribadi-pribadi yang
menyerahkan seluruh hidupnya untuk menjadi
jaminan
agar anak negeri kerajaan merasa aman,
tenteram,
tertib, terbebas dari rasa cemas, takut dan tertekan
dalam mencari kebahagiaannya. Oleh karena
itu,
menjadi seorang puragabaya berarti menjalani
kehidupan yang penuh pengorbanan yang
dilakukan
dengan tulus ikhlas karena yakin bahwa
berkorban bagi
sesama hidup adalah perbuatan yang mulia.
Ø Berdasarkan asas-asas di
atas, maka setiap perbuatan
yang bertentangan dengan tujuan Lembaga
Kepuragabayaan dan bertentangan dengan
sifat-sifat
seorang puragabaya, dikutuk sekeras-kerasnya
dan
harus dijatuhi hukuman yang
seberat-beratnya, kalau
perbuatan-perbuatan yang demikian dibiarkan,
akan
berarti bahwa anak negeri Kerajaan Pajajaran
kehilangan jaminan yang tertinggi untuk
mendapat
kebahagiaan dalam hidup mereka.
Ø Maka dengan selalu
memohon petunjuk Sang Hiang
Tunggal dan berpegang pada asas-asas
kepuragabayaan, kami anggota-anggota
Peradilan
Puragabaya yang terdiri dari lima orang,
yaitu Resi
Tajimalela, puragabaya Geger Malela,
puragabaya
Rangga Sena, puragabaya Girang Pinji, dan
puragabaya
Rangga Gempol, setelah melakukan perundingan
dengan saksama dan memeriksa segala bahan
lisan dan
tulisan yang dapat dikumpulkan sebelum,
selama, dan
sesudah acara pengadilan, menetapkan hukuman
terhadap Pangeran Anggadipati, kedudukan
sebagai
calon puragabaya, yaitu dengan mengharuskan
terhukum melakukan tugas-tugas kepanakawanan
di
padepokan, yaitu dalam bentuk-bentuk
pekerjaan
mencari kayu bakar, membersihkan ruangan
belajar
dan kamar-kamar para calon, membersihkan
senjata
dan membantu pekerjaan-pekerjaan dapur,
serta
mengurus kuda. Perbuatan-perbuatan itu
diharapkan
akan mendidiknya untuk lebih berendah hati
kepada
rakyat Pajajaran yang menjadi majikannya,
dan
menyebabkan menyesali apa-apa yang telah
diperbuatnya yang tercela ditinjau dari
asas-asas
kepuragabayaan.
Sebelum Rangga Sena selesai membaca,
beberapa orang
calon yang duduk berdekatan dengan Pangeran
Muda
merangkulnya karena tidak dapat menahan rasa
gembiranya
setelah jelas bahwa Pangeran Muda tidak
dipecat sebagai
calon. Pangeran Muda sendiri berulang-ulang
mengucapkan
syukur di dalam hati dan dua titik air mata
menghangati
pipinya.
Setelah ruangan tenang kembali, Rangga Sena
melanjutkan
pembacaan keputusan itu.
"Keputusan hukuman itu dijatuhkan di
antaranya
berdasarkan
pula hal-hal yang memberatkan terhukum,
yaitu:
Ø Perbuatannya membahayakan
wibawa dan
kehormatan Lembaga Kepuragabayaan dan
puragabaya-puragabaya secara pribadi.
Ø Perbuatannya dapat
menimbulkan kecemasan dan
keti-daktenteraman hati anak negeri Kerajaan
Pajajaran.
Ø Perbuatannya telah
menyebabkan beberapa orang
menderita cedera, di antaranya cedera yang
akan
menyebabkan si korban tidak dapat melakukan
pekerjaan sebaik sebelum cedera itu
diderita.
"Hal-hal yang meringankan terhukum
adalah:
Ø Terhukum adalah seorang
yang patuh dan hormat
pada pelatih dan Pimpinan Padepokan, dapat
bergaul dengan calon-calon lain dan mau
membantu dalam pekerjaan-pekerjaan yang
baik,
yang dapat memperlancar rencana-rencana di
padepokan.
Ø Perbuatannya dilakukan
untuk pertama kalinya dan
atas perbuatannya, terhukum sudah menyatakan
penyesalannya.
Ø Perbuatan itu
dilakukannya setelah berusaha
dengan sekuat tenaga untuk menghindarkannya.
"Demikianlah keputusan kami," kata
Rangga Sena,
kemudian ia membaca beberapa perkataan lain
yang lenyap
ditelan oleh gemuruhnya kegembiraan para
calon. Setelah
upacara selesai dan setiap orang mengucapkan
selamat
kepada Pangeran Muda, sembahyang bersama
dilakukan
kembali di candi. Setelah selesai, karena
malam sudah larut,
para calon langsung menuju pemondokan
masing-masing.
Selagi berjalan menuju pemondokan dengan
beberapa
calon lain, Pangeran Muda mendengar langkah
orang yang
mengikuti. Ternyata puragabaya Rangga Gempol
menyusulnya, kemudian berjalan di
sampingnya.
"Anggadipati, gadis itu titip pesan
kepadaku, ia minta maaf
akan perbuatannya yang menyusahkanmu
itu," katanya.
"Terima kasih akan jerih-payah
Kakanda," ujar Pangeran
Muda.
'Adakah pesan dari Raden Bagus Wiratanu,
Kakanda?" kata
Rangga yang suka berlelucon.
"Wah, sayang saya tidak sempat
berbincang-bincang
dengannya. Saya hanya memerhatikannya dari
jauh. Mungkin
dia akan titip tinju bagimu, Anggadipati,
seandainya dia tahu
saya akan berkunjung ke sini," jawab
Rangga Gempol yang
suka pula berlelucon. Akan tetapi, ia
bersungguh-sungguh
kembali, lalu berkata, "Saya bertanya
kepada mereka, tetapi
dari gerak-geriknya dan dari keterangan yang
diberikan oleh
berpuluh-puluh rakyat tentang bangsawan muda
itu, saya
yakin anak muda itu kurang baik kelakuannya.
Dari
keterangan rakyat, saya mendapat kesan
perkelahianperkelahian
dengan orang asing juga dengan
bangsawanbangsawan
muda dari kota-kota lain sering dilakukan
oleh
gerombolan Raden Bagus Wiratanu itu. Di
samping itu,
dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana
bangsawanbangsawan
muda itu dengan seenaknya saja melarikan
kuda
mereka di tengah-tengah rakyat yang sedang
sibuk."
"Eh, Anggadipati, ia akan dendam
kepadamu karena
perbuatanmu telah menyebabkan mukanya rusak
dan pasti
oleh karena itu, Putri Mayang Cinde makin
tidak senang
kepadanya. Bahkan, orangtua Putri Mayang
Cinde sekarang
sudah memutuskan untuk pindah ke Kutabarang,
tidak tahan
lagi ia hidup di Kuta Kiara setelah kejadian
itu. Kau perlu minta
maaf kepada orangtua yang menjadi repot itu,
Anggadipati,"
katanya sambil tersenyum.
Pangeran Muda tidak berkata apa-apa.
Kemudian Rang-galah
yang menyela.
"Kalau perlu, Anom bersedia menambah
hukumannya,
Kakanda Rangga Gempol," katanya sambil
tertawa.
"Menambah bagaimana?" tanya Rangga
Gempol sungguhsungguh.
"Di samping membersihkan lantai asrama,
candi, dan ruang
belajar, Anggadipati bersedia mencuci kaki
Mayang Cinde
setiap pagi dan sore, demikian tadi katanya
kepada saya,"
kata Rangga sambil tertawa.
Semua tertawa, dan mereka pun tibalah di
tempat
pemondokan.
Bab 13
Putra Mahkota
Semenjak pengadilan selesai. Latihan-latihan
dan
pendidikan rohani dijalankan kembali seperti
biasa. Pangeran
Muda, di samping belajar, juga membantu
pekerjaan para
panakawan, sesuai dengan keputusan
pengadilan puragabaya
itu. Hukuman itu dilaksanakan bukan saja
dengan tabah,
tetapi bahkan dengan kegembiraan.
Pertama, karena di masa kanak-kanak sering
sekali
Pangeran Muda ingin membantu
panakawan-panakawan di
Puri Anggadipati, walaupun hal itu tidak
pernah terpenuhi
berhubung terlarang bagi seorang bangsawan
melakukan
pekerjaan-pekerjaan jasmani, selain berburu
dan berperang.
Kedua, ternyata hukuman macam itu memperkaya
rohaninya
karena dengan bergaul lebih dekat dengan
para panakawan,
Pangeran Muda jadi lebih mengenal mereka.
Pangeran Muda
merasakan apa yang menjadi perasaan mereka,
ikut
memikirkan apa yang menjadi masalah mereka,
ikut berhasrat
membantu mencapai cita-cita mereka.
Sebelumnya rakyat
kecil adalah orang asing bagi Pangeran Muda,
padahal
menurut perintah agama maupun perintah
kerajaan, mereka
ini dititipkan oleh Sang Hiang Tunggal dan
sang Prabu kepada
para bangsawan. Bagaimana para bangsawan
dapat melayani
orang-orang kecil ini seandainya mereka
tidak kenal pada
suka-duka mereka? Sekarang barulah Pangeran
Muda
menyadari bahwa cerita-cerita tentang
bagaimana sang Prabu
sering menyamar dan hidup beberapa waktu di
antara rakyat
bukanlah khayalan. Sang Prabu yang bijaksana
tentu
menyadari bahwa hidup di tengah-tengah
masyarakat kecil
merupakan sesuatu yang berharga bagi beliau
sebagai raja
yang harus menjadi bapak mereka. Sedang bagi
seorang raja,
mengenal anak negerinya adalah kewajiban yang
dibebankan
oleh Sang Hiang Tunggal. Itulah sebabnya
Pangeran Muda
bersyukur karena telah dihukum. Maka selama
enam bulan
Pangeran Muda menjalankan hukuman itu dengan
tabah dan
gembira.
Pada suatu hari, setelah latihan
perkelahian, pengeroyokan,
dan ketangkasan, para calon dikumpulkan di
lapangan, dan
Eyang Resi yang tidak biasa hadir, hari itu
keluar dari dalam
candi dan langsung berbicara kepada mereka,
"Anak-anakku, latihan di padepokan
untuk gelombang
pertama sudah dianggap selesai. Kalian sudah
diperlengkapi
dengan ketangkasan dalam mengatasi
rintangan-rintangan
alam, seperti sungai-sungai, jurang-jurang,
hutan-hutan, dan
rawa-rawa. Yang lebih penting lagi, kalian
sudah dilengkapi
dengan penguasaan gerak dengan berbagai
polanya, hingga
kalian akan menjadi prajurit-prajurit yang
sukar dikalahkan.
Kalian akan ditakuti oleh mereka yangjahat,
tetapi kalian pun
adalah calon-calon pendeta yang akan menjadi
sumber
kedamaian bagi anak negeri kerajaan. Akan
tetapi, segala ilmu
yang kalian dapat selama ini belumlah
benar-benar kalian
kuasai karena kalian belum menghayati
penggunaannya dalam
kehidupan sehari-hari di dunia luas. Seperti
juga keharusan
yang dijalani oleh calon-calon yang
terdahulu, kalian akan
dilepaskan ke dunia luas untuk waktu tiga
tahun lamanya,
sebelum kalian dipanggil kembali, untuk
melanjutkan
pendidikan tingkat yang lebih tinggi di
padepokan ini.
"Minggu depan upacara akan dilakukan,
dan kalau Sang
Hiang Tunggal menghendaki, Putra Mahkota
akan hadir
menyaksikan upacara pelepasan kalian."
Demikian penjelasan Eyang Resi yang diterima
dengan
gembira oleh para calon kecuali Jante.
Pangeran Muda yang
keheranan bertanya kepada Jante, mengapa
berita itu
menyebabkannya berkecil hati. Akan tetapi,
Jante tidak
memberikan penjelasan. Ia hanya mengatakan
bahwa
Pangeran Muda tidak akan dapat membantu
menyelesaikan
masalahnya. Pangeran Muda tidak mendesak
dengan
pertanyaan-pertanyaan karena Pangeran Muda
tahu, Jante
adalah orang yang sangat tertutup. Jadi,
Pangeran Muda
membiarkannya murung seorang diri.
Pada hari yang ditetapkan datanglah
rombongan Putra
Mahkota ke padepokan. Rombongan terdiri dari
Putra Mahkota
dikawal oleh empat orang puragabaya yang
mereka kenal,
yaitu puragabaya Geger Malela, Rangga Sena,
Girang Pinji,
dan Rangga Gempol. Di samping itu, datang
pula beberapa
orang bangsawan muda dan beberapa panglima
jagabaya
serta prajurit-prajurit. Mereka disambut
dengan upacara
sederhana oleh seluruh isi padepokan.
Selama itu, perhatian Pangeran Muda tertuju
pada Putra
Mahkota, yang ternyata sangat jauh dari apa
yang
dibayangkannya. Putra Mahkota yang sebaya
dengannya
adalah pemuda yang ramah dan sangat
sederhana. Dalam
pakaian maupun tindak-tanduk tidaklah tampak
ia berbeda
dengan pangeran-pangeran lain yang
menemaninya. Satu hal
saja yang membedakannya dengan mereka, yaitu
senjata kecil
yang disandang di pinggangnya, yang dikenal
dengan nama
Kiai Tulang Tong-gong Pajajaran, sebuah
badik indah yang
sarungnya terbuat dari kayu berukir emas.
Setelah upacara sederhana itu, Putra Mahkota
bergaul
dengan bebas dengan para calon. Pada
kesempatan
mengobrol, Pangeran Muda sempat bertanya,
apakah
Pangeran Rangga Wesi, calon iparnya ikut
serta?
"Rangga Wesi yang mana? Sahabat saya
yang bernama
Rangga Wesi dengan menyesal tidak dapat
menggabungkan
diri karena ia seorang murid yang baik dan
harus
menyelesaikan pelajarannya sebagai calon
pejabat kerajaan.
Oh, iya, ia menitipkan salam kepada seorang
yang bernama
Anggadipati, seorang calon puragabaya,"
kata Putra Mahkota.
"Hambalah Anggadipati, Yang
Mulia," ujar Pangeran Muda.
"Kalau begitu, saya berhadapan dengan
orang yang
berkepentingan, syukurlah, ia ingin sekali
bertemu dengan
Saudara."
"Saya pun sangat ingin bertemu
dengannya, Yang Mulia."
"Ia anak yang baik, Anggadipati. Ia
mengemban
kebangsawanannya dengan tabah, dan
orang-orang tua
berkata baik tentangnya," kata Putra
Mahkota.
"Hamba senang sekali mendengar hal itu,
Yang Mulia,
karena ia adalah calon ipar hamba. Ia
bertunangan dengan
Ayunda Ringgit Sari."
"Oh, iya, hampir saya lupa. Jadi, kau
adik Ayunda Ringgit
Sari? Maaf saya lupa, maklum banyak sekali
bangsawan yang
harus dikunjungi dan karena banyaknya,
sering tertukar satu
sama lain. Saya pun harus menyampaikan salam
kepada
ayahanda Anggadipati. Beliau sangat
bijaksana," kata Putra
Mahkota, lalu beliau melanjutkan percakapan
beliau tentang
Pangeran Rangga Wesi.
"Bagaimanapun kebangsawanan adalah
beban bagi kita
semua, Anggadipati. Kiranya kau pun telah
merasakannya
sekarang. Semula saya menyangka seorang
bangsawan
adalah seorang yang memiliki hak istimewa
dalam
masyarakat. Ia terhormat, berwibawa,
dimuliakan. Ya. Akan
tetapi ternyata kemudian, segala kemuliaan
yang diberikan
oleh masyarakat kepada bangsawan tidaklah
diberikan cumacuma.
Sang Hiang Tunggal memilih sekelompok kecil
manusia
yang disebut bangsawan untuk mengabdi kepada
masyarakat
yang banyak itu. Dan pelaksanaan pengabdian
ini bukanlah
suatu tugas yang ringan. Saya pun mendengar,
tiga orang
bangsawan muda telah menjadi korban dalam
latihan-latihan
di sini. Baru dalam melatih diri sudah jatuh
sebagai korban,
apalagi kalau sudah melaksanakan tugas yang
sebenarnya.
"Akan tetapi, sebagai orang yang
beriman kepada Sang
Hiang Tunggal, kita usung beban
kebangsawanan kita ini
dengan tabah, gembira, dan rasa syukur.
Karena dengan
kebangsawanan kita itulah, kita akan
menyumbangkan hal-hal
yang baik bagi kehidupan ini. Bayangkan,
kalau kita bukan
seorang bangsawan, saya yakin, kita tidak
akan dapat berbuat
apa-apa. Kita yang hanya biasa mempergunakan
otak serta
senjata tidak mungkin dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan
yang biasa dilakukan oleh rakyat banyak,
seperti bercocok
tanam, membuat kerajinan yang indah-indah
dan sebagainya.
Anggadipati, arti hidup kita terletak pada
pengabdian kita
kepada masyarakat, dan hal itu kita lakukan
sebagai seorang
bangsawan, yaitu golongan yang harus
menguasai ilmu
kenegaraan dan ilmu kepanglimaan. Akan
tetapi, sebagai
puragabaya tugasmu lain dengan
bangsawan-bangsawan lain.
Engkau harus menjadi seorang pahlawan dan
pendeta
sekaligus. Itu adalah tugas yang sangat
berat dan oleh karena
itu, saya menaruh hormat kepada kalian. Dan
marilah, kalau
kau sudah lulus dari pendidikan ini, kita
bahu-membahu
melaksanakan tugas kita, memberi arti kepada
hidup kita yang
sebenarnya sangat singkat ini," kata
Putra Mahkota sambil
tersenyum.
Mendengar obrolan Putra Mahkota itu,
terpukaulah Pa-'
ngeran Muda. Putra Mahkota sebaya dengannya,
tetapi jelas
pengetahuannya tentang berbagai hal jauh
melebihinya. Rasa
hormat Pangeran Muda makin tinggi juga,
sementara itu keramahtamahan
dan kesederhanaan Putra Mahkota tidak
mengilhamkan perasaan lain, kecuali perasaan
cinta dan
keinginan mengabdi. Pangeran Muda
berkesimpulan, Sang
Hiang Tunggal telah memberikan cahaya lain
ke dalam mata
Putra Mahkota, hingga dengan pandangannya
yang lembut
dan ramah itu menjadi lembutlah hati mereka
yang
berhadapan dengannya.
Rupanya demikian juga kesan calon-calon
puragabaya yang
lain terhadap Putra Mahkota, yang
kehadirannya di padepokan
menjadi buah bibir mereka untuk beberapa
lama.
MALAM itu juga upacara selesainya latihan
gelombang
pertama dilakukan dengan disaksikan
rombongan Putra
Mahkota. Sore itu para panakawan dan para
calon dengan
dipimpin oleh keempat puragabaya
mempersiapkan
gelanggang untuk upacara itu.
Gelanggang itu dibuat di tengah-tengah lapangan
yang
dikelilingi oleh candi dan bangunan-bangunan
lain di
padepokan. Gelanggang itu berbentuk
lingkaran kecil yang
bergaris tengah kira-kira tujuh langkah. Di
luar lingkaran itu
diletakkan kayu-kayu bakar banyak sekali,
yang telah diperciki
dengan minyak kelapa. Hanya di suatu tempat
dibuat celah
kecil untuk jalan keluar atau masuk ke dalam
lingkaran itu.
Ketika malam turun, dan setelah sembahyang
bersama
dilakukan, kedua belas orang calon
diperintahkan untuk duduk
di sekeliling lapangan, bersama-sama dengan
rombongan
Putra Mahkota. Setelah segalanya siap, Eyang
Resi maju ke
muka, lalu berkata, "Putra Mahkota yang
kami muliakan, para
bangsawan dan rombongan para calon, suatu
saat yang
penting dalam pendidikan akan segera kita
lalui, yaitu di mana
para calon akan memperlihatkan hasil didikan
yang mereka
dapatkan di padepokan ini. Satu per satu
calon akan
dimasukkan ke dalam gelanggang. Mereka harus
berusaha
keluar dari gelanggang secepat mungkin,
setelah dapat
meloloskan diri dari puragabaya yang akan bergiliran
menjadi
penghalang mereka. Dalam usahanya tersebut,
setiap calon
diperkenankan mempergunakan segala ilmu yang
didapatnya
di padepokan, termasuk pukulan-pukulan atau
tendangantendangan
yang mematikan." Setelah berkata
demikian, Eyang
Resi mengundurkan diri dan duduk di samping
Putra Mahkota.
Maka terdengarlah Pamanda Anapaken berseru,
"Rangga!"
Majulah Rangga ke depan, bersamaan dengan
itu berdiri
pula puragabaya Rangga Gempol. Rangga
diperintahkan untuk
memasuki gelanggang, demikian juga puragabaya
Rangga
Gempol dipersilakan. Setelah mereka berada
di dalam
lingkaran itu, mereka memberi hormat kepada
Putra Mahkota
dan Eyang Resi. Tak lama kemudian Pamanda
Anapaken
berseru kepada Mang Ogel yang segera datang
membawa
obor. Dengan obor yang berkobar-kobar, Mang
Ogel berjalan
di depan para hadirin, kemudian setelah
memberi hormat
kepada Putra Mahkota dan Eyang Resi, ia
berjalan dengan
obor itu ke arah gelanggang Kayu bakar yang
bertumpuktumpuk
mengelilingi gelanggang itu disulutnya, dan
dalam
sekejap berko-bar-kobarlah api dari kayu
kering yang telah
disiram minyak kelapa. Rangga dan puragabaya
Rangga
Gempol yang berada di tengah-tengah
gelanggang hanya dari
pundak ke atas saja tampak di antara
lidah-lidah api yang
keemasan dan merah itu. Mereka berhadapan di
sana, dan
setelah mendengar seruan Pamanda Anapaken,
"Mulai!"
Rangga pun mulailah dengan serangan, dalam
usahanya
keluar dari lingkaran api itu, melalui celah
yang kecil di mana
tidak ada api menyala.
Perkelahian yang singkat tapi seru itu diakhiri
dengan
loncatan Rangga keluar gelanggang dengan
melalui celah itu.
Para hadirin bertepuk, sementara Rangga
terduduk kelelahan.
Kemudian berturut-turut calon-calon
dipanggil, dan setelah
melalui perkelahian yang menegangkan, mereka
umumnya
berhasil keluar dari gelanggang yang
dikelilingi api itu, dalam
waktu yang tidak terlalu lama.
Kemudian terdengarlah Pamanda Anapaken
berseru,
"Anom!"
Pangeran Muda pun memasuki gelanggang
melalui celah
yang tidak berapi. Ketika itu puragabaya
Geger Malela
digantikan oleh puragabaya Rangga Sena yang
mengikuti
Pangeran Muda memasuki gelanggang itu.
Setiba di dalam,
mereka bersiap-siap, kemudian seruan
"Mulai!" terdengar dari
luar. Maka bersiap-siaplah Pangeran Muda.
Ternyata puragabaya Rangga Sena tidak
berdiri di muka
celah tempat meloloskan diri. Puragabaya itu
berdiri di suatu
tempat dekat celah itu, seolah-olah
mempersilakan Pangeran
Muda untuk melompat keluar dari lingkaran
api itu. Pangeran-
Muda segera menyadari bahwa itu hanyalah
pancingan, dan
karena itu tidak mempergunakan kesempatan
yang berbahaya
itu, tetapi langsung mendekati puragabaya
itu dari samping
dan menyerangnya dengan gerakan mendorongnya
ke dalam
api. Akan tetapi, begitu tangan Pangeran
Muda terjulur,
tangan itu ditangkap dan ditarik hingga tubuh
Pangeran
Mudalah yang hampir terlempar ke dalam api.
Untung
Pangeran Muda waspada, berat badannya
dibelokkan dan
diarahkan ke tubuh puragabaya itu. Pangeran
Muda maju
menyerang mempergunakan tarikan tangan
puragabaya itu.
Lawan yang waspada sedikit mundur dan
menepuk sikut itu
dalam rangka menjatuhkan Pangeran Muda.
Dengan tepukan
itu, Pangeran Muda terdorong dekat sekali ke
dalam api.
Panas api menjilat-jilat pipinya. Sementara
itu, dengan cepat
puragabaya Rangga Sena menyerangnya dari
muka, dengan
gerakan melebar, tidak memberi kesempatan
pada Pangeran
Muda untuk meloloskan diri ke tengah-tengah
gelanggang
kembali. Diserang demikian Pangeran Muda
tidaklah gugup.
Diperlihatkannya gerakan-gerakan seolah-olah
ia sedang
kebingungan. Gerakan-gerakan ini menyebabkan
puragabaya
Rangga Sena lebih bersemangat menyerangnya
dan mulai
melakukan gerakan yang tujuannya menjatuhkan
Pangeran
Muda ke dalam api. Serangan yang bersemangat
ini
merupakan kelemahan, dan dengan serudukan
lurus, gerakanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gerakan yang menghalangi dan mengurung dari
puragabaya
Rangga Sena dapat ditembus.
Karena serudukan lurus tidak akan dapat
ditahan, Rangga
Sena terpaksa menghindar dengan menangkap
tangan
Pangeran Muda serta membantingnya. Akan
tetapi, bantingan
ini dilakukannya di tengah-tengah
gelanggang, hingga
Pangeran Muda bebas menghadapi celah tempat
keluar. Akan
tetapi, segera Rangga Sena menyadari
kesalahannya, dan
dengan lompatan sudah berada dekat Pangeran
Muda dan
berusaha mengisi tempat antara Pangeran Muda
dengan celah
itu. Sekarang Pangeran Mudalah yang
melakukan gerakangerakan
menghalangi. Ternyata, usaha keluar tidak
menjadi
lebih mudah, walaupun Pangeran Muda sekarang
berdiri
membelakangi celah tempat lolos itu. Setiap
gerakan
meloloskan diri akan memberi kesempatan pada
Rangga Sena
untuk melakukan serangan yang tidak akan
dapat dihindarkan
kecuali dengan masuk ke dalam api. Maka
berpikirlah
Pangeran Muda dengan keras.
Akhirnya, diputuskanlah untuk melakukan
serangan
kembali, dengan tujuan mendesak Rangga Sena
ke suatu
tempat di samping celah itu. Pangeran Muda
melakukan
serangan lurus, yang dihindarkan dengan
lompatan ke
samping oleh Rangga Sena. Ia kemudian
berusaha mendekati
celah itu. Pangeran Muda yang sudah
meramalkan hal itu
segera menutupnya. Sekarang mereka
berhadap-hadapan
kembali, tetapi Pangeran Muda sekarang
berdiri dengan celah
itu di sampingnya. Rangga Sena sadari telah
terpancing, ia
mulai bergerak ke tengah-tengah gelanggang
agar dapat
menghadapi Pangeran Muda yang terpaksa akan
membelakangi celah itu kembali. Akan tetapi,
baru saja ia
melangkah satu langkah, dengan secepat kilat
Pangeran Muda
melompat, meloloskan diri ke luar
gelanggang.
Seperti juga sebelumnya, para hadirin
bertepuk, sementara
Pangeran Muda kelelahan di luar gelanggang.
Rangga Sena
keluar dari gelanggang, mengulurkan tangan
dan ketika
mereka bersalaman puragabaya itu berkata
dengan tulus,
"Kau licin sekali, Anggadipati."
"Terima kasih atas pujian itu,
Kakanda."
"Saya tidak memuji, hanya mengatakan
yang sebenarnya."
"Tetap saja saya berterima kasih."
Upacara itu pun dilanjutkan, dan para calon
keluar masuk
gelanggang, kadang-kadang keluar dengan
pakaian yang
terbakar, kadang-kadang dengan rambut yang
hangus, tetapi
semua dapat mengatasi rintangan dalam waktu
yang singkat.
Bab 14
Putri Yuta Inten
Setelah upacara yang bersifat ujian pertama
itu dilampaui,
tak banyak yang dikerjakan oleh para calon
puragabaya di
padepokan itu. Sambil menunggu panggilan
dari Pakuan
Pajajaran untuk menerima tugas-tugas dalam masyarakat,
kadang-kadang para calon pergi berburu,
kadang-kadang
melakukan latihan ketangkasan, dan
sebagainya. Latihanlatihan
ini dilakukan tanpa dipimpin oleh
pelatih-pelatih
mereka karena para pelatih ini sudah
terlebih dahulu
mendapatkan cuti besar dan kembali kepada
keluarga mereka
masing-masing. Demikian juga sebagian dari
panakawan
termasuk Mang Ogel. Mereka yang dibutuhkan
tenaganya dan
tidak atau belum beristri, tinggal di
padepokan itu melakukan
tugas biasa melayani Eyang Resi, dan para
calon.
Kemudian, pada suatu hari, panggilan itu pun
tibalah
dibawa oleh puragabaya Geger Malela. Dalam
surat panggilan
itu ditetapkan, setiap calon akan diberi
tugas menjadi
pengawal-pengawal pribadi sejumlah bangsawan
tinggi.
Ditetapkan pula bangsawan-bangsawan mana
yang akan
dikawal oleh calon-calon itu. Di antara
bangsawan tinggi yang
akan diberi pengawalan itu termasuk Ayahanda
Pangeran
Anggadipati, yang menurut puragabaya Geger
Malela
sekarang diberi tugas di Pakuan Pajajaran
karena sang Prabu
sangat berkenan dengan usaha-usaha yang
dilakukan oleh
Ayahanda dalam meningkatkan kesejahteraan
daerahnya.
Keterangan itu sungguh-sungguh sangat
membuat gembira
hati Pangeran Muda. Pertama, karena Ayahanda
telah
mendapat kehormatan untuk mendampingi sang
Prabu di
Pakuan Pajajaran; kedua, karena dengan
penugasannya di
Pakuan Pajajaran, akan lebih mudah bagi
Pangeran Muda
untuk bertemu dengan beliau.
"Anggadipati, kau dapat memilih untuk
menukar calon
majikanmu dengan ayahmu," ujar
puragabaya Geger Malela.
"Maksud saya, saya tidak berkeberatan
kalau kau menjadi
pengawal pribadi ayahmu, Pangeran
Anggadipati," lanjutnya.
"Lebih baik tidak, Kakanda," kata
Pangeran Muda setelah
termenung sebentar, "pertama,
pengalaman saya tidak akan
bertambah; kedua, Ayahanda belum tentu setuju,
ketiga, saya
sudah ditetapkan untuk mengawal bangsawan
lain; keempat,
Rangga akan senang sekali menjadi pengawal
Ayahanda."
"Kalau begitu, terserahlah," kata
puragabaya Geger Malela.
Setelah pengumuman tentang penugasan itu
selesai, pada
malam harinya para calon mengadakan
pertemuan perpisahan
dengan Eyang Resi dan para panakawan yang
tinggal.
Demikian juga, puragabaya Geger Malela
dengan
panakawannya ikut menggabungkan diri dalam
acara
perpisahan itu. Dalam acara perpisahan itu,
walaupun untuk
sementara, Eyang Resi memberikan berbagai
nasihat, di
antaranya beliau berkata,
"Anak-anakku, walaupun engkau belum
secara resmi
menjadi puragabaya engkau akan dimuliakan
dalam
masyarakat. Segala kebutuhanmu, seperti
makanan dan
pakaian, bahkan kuda-kuda serta senjata yang
akan diurus
oleh kerajaan. Engkau adalah golongan
bangsawan yang
dimanjakan oleh masyarakat karena mereka
benar-benar
membutuhkan kalian. Kalau mereka menghormati
dan
mencukupi segala kebutuhanmu secara
berlimpah-limpah, hal
itu bukan berarti bahwa mereka tidak
memiliki pamrih. Mereka
berpamrih kepada kalian semua, yaitu agar
kalian semua
dapat memusatkan segala perhatian kalian
untuk menjadi
jaminan keamanan, ketertiban, dan
kesejahteraan. Kalian
adalah jaminan atau puraga bagi kebahagiaan
masyarakat.
Oleh karena itu, sesuaikan segala tutur-kata
dan tingkah-laku
kalian pada pamrih mereka itu.
"Andaikata kalian tidak dapat
menyesuaikan diri dengan
kedudukan kalian, adalah hak masyarakat
untuk mencabut
segala kehormatan dari kalian, dan bahkan
untuk
menuntutkan hukuman bagi kalian. Eyang
mendoakan,
mudah-mudahan kalian dapat memenuhi
kewajiban kalian
yang berat dan mudah-mudahan Eyang tidak
akan menerima
pengaduan-pengaduan yang tidak perlu dari
masyarakat
melalui sang Prabu."
Demikianlah nasihat terakhir Eyang Resi yang
ditutup pula
dengan harapan, mudah-mudahan setelah tiga
tahun berlalu,
mereka akan dapat kembali tanpa kekurangan
suatu apa.
Setelah beramah tamah dan melakukan
sembahyang
bersama, mereka pun kembalilah ke asrama
untuk beristirahat
karena keesokan paginya semua calon harus
meninggalkan
padepokan, dan secepat mungkin berada di
tempat mereka
bertugas.
MALAM itu di ruangannya Pangeran Muda dengan
Jante
tidak segera tidur. Mereka
berbincang-bincang tentang
berbagai hal. Pada suatu kali Jante berkata,
"Anom, kalau kau
tidak tergesa-gesa hendak tiba di puri
ayahmu, kau dapat
singgah dulu di tempatku. Itu akan
menyenangkan; pertama,
kita dapat jalan bersama; kedua, ingin
sekali saya
memperkenalkan keluargaku kepadamu."
Usul itu diterima dengan gembira oleh
Pangeran Muda,
bukan saja karena Pangeran Muda berkenalan
dengan
keluarga sahabatnya itu, tetapi ia pun ingin
berkelana dahulu
sebelum tiba di rumah. Oleh karena itu,
keesokan harinya
ketika para calon terpencar-pencar mengambil
arah masingmasing,
Pangeran Muda dengan Jante terus memacu kuda
mereka berdampingan ke arah timur laut.
Di suatu padang yang luas, di sebuah mata
air, mereka
menghentikan kuda mereka untuk memberi
kesempatan
kepada binatang-binatang itu beristirahat
dan minum setelah
berlari sepanjang pagi. Pangeran Muda dengan
Jante
membuka bekal, dan sambil makan mereka
bercakap-cakap.
"Geger Malela bermaksud membunuhku,
Anom, untung
saya waspada," kata Jante tiba-tiba.
Pangeran Muda sangat
terkejut mendengar perkataan sahabatnya itu.
Belakangan ini
memang kata-kata Jante sering
mengejutkannya, di samping
itu kemurungan Jante menimbulkan tanda tanya
pula. Pernah
Pangeran Muda bertanya, apa yang menyebabkan
sahabatnya
itu murung, tapi Jante tidak memberikan
keterangan apa-apa.
Dan sekarang, tiba-tiba keluarlah perkataan
Jante yang sangat
mengejutkan itu.
"Jante, tidak mungkin," kata
Pangeran Muda.
"Dalam ujian itu saya didesaknya,
hingga bajuku terbakar.
Saya yakin ia akan sangat bersenang hati
kalau saya masuk ke
dalam api," katanya. Pangeran Muda
dengan keheranan
menggeleng-gelengkan kepala mendengar
perkataan
sahabatnya itu. "Anom, kau jangan
terlalu percaya pada
puragabaya-puragabaya itu
Belum, selesai Jante berkata, Pangeran Muda
telah
menyela, "Tapi, Jante, untuk apa mereka
mencelakakan
engkau?"
"Anom engkau terlalu sederhana,
pikiranmu masih kanakkanak,"
ujar Jante, sungguh-sungguh.
"Tapi mereka orang baik-baik, bahkan
orang-orang
budiman yang dipilih dari beratus-ratus
orang baik lainnya
untuk menjabat tugas kepuragabayaan itu.
Jante, saya heran,
mengapa engkau bisa berpikir begitu, itu
tidak adil."
Mendengar perkataan Pangeran Muda demikian,
Jante diam
lalu menunduk. Tak lama kemudian berkata
pulalah ia, "Anom,
lebih baik tidak terlalu percaya kepada
manusia."
'Jante!" seru Pangeran Muda keheranan
dan terkejut oleh
perkataan kawannya yang biasanya pendiam
itu.
"Kau boleh percaya atau tidak kepadaku,
dalam latihanlatihan
perkelahian, para pelatih sering sekali
kelihatan hendak
mencelakakanku," katanya pula.
'Jante! Tidak mungkin, buat apa mereka
mencelakakanmu?"
"Untuk apa mereka memukulmu hingga
babak belur?"
'Jante, bukan kau saja yang kena pukulan
dalam latihan,
saya pun entah berapa puluh kali menderita
memar."
"Engkau sendiri tidak merasakan, orang
sekelilingmu sering
bermaksud jahat."
'Jante, tapi semuanya itu tidak terbukti,
kau dihantui oleh
khayalanmu sendiri. Jante, bacalah
mantra-mantra agar
khayalan-khayalanmu yang tidak berdasar itu
meninggalkan
hatimu. Jante, saya sungguh-sungguh minta
kepadamu agar
kau membaca mantra-mantra itu," kata
Pangeran Muda
dengan sedih.
Mendengar perkataan Pangeran Muda itu, Jante
terdiam
dan tidak meneruskan percakapannya kembali
sampai mereka
berada di atas kuda masing-masing.
Selama itu Pangeran Muda termenung-menung,
memikirkan percakapannya dengan kawannya
itu.
Bagaimanapun juga belakangan ini kawannya
itu banyak
memperlihatkan tingkah yang aneh-aneh.
Pertama, ia sangat
murung; kedua, suka menyendiri, dan
akhirnya, percakapanpercakapannya
sering tiba-tiba mengejutkan dan tidak masuk
akal.
Sebelumnya telah terpikir oleh Pangeran Muda
untuk
memberitahukan hal itu kepada Eyang Resi.
Pangeran Muda
beranggapan Jante sedang menghadapi suatu
masalah berat
yang disembunyikan kepada orang lain, bahkan
kepada
Pangeran Muda sendiri. Dalam kehidupan
sehari-hari di
padepokan, kecuali sangat pendiam, Jante
tidak pernah
memperlihatkan keanehan-keanehan lain. Akan
tetapi, bagi
kawan semangannya, yaitu Pangeran Muda,
keanehankeanehan
tingkah-laku dan tutur-kata Jante lebih
tampak.
Walaupun demikian, kejanggalan-kejanggalan
itu belum
pernah begitu menonjol seperti yang terjadi
dalam
percakapannya di dekat mata air itu. Dengan
adanya
percakapan itu, Pangeran Muda menjadi lebih
yakin, ia harus
segera memberitahukan hal Jante ini kepada
Eyang Resi. Akan
tetapi, sayang sekali kesempatan ini tidak
akan didapat,
sekurang-kurangnya dalam tiga tahun yang
akan datang. Oleh
karena itu, Pangeran Muda hanya merasa
prihatin akan
penderitaan sahabatnya itu.
Sementara Pangeran Muda termenung-menung
demikian,
kuda mereka terus berlari di padang yang
luas itu. Beberapa
kali mereka melewati kampung-kampung kecil
yang ada
sepanjang jalan antara hutan-hutan sekitar
Padepokan
Tajima-lela dan hutan-hutan yang harus
ditempuh di hadapan
mereka. Akan tetapi, sepanjang jalan itu
Jante tidak bercakapcakap
lagi. Ia pun seperti termenung-menung.
Kemudian, ketika mereka bercakap-cakap
kembali, hal
lainlah yang menjadi buah pembicaraan. Akan
tetapi, dalam
percakapan itu pun ada perkataan Jante yang
mengejutkannya. Pada suatu kali Jante
berkata, "Dunia ini
penuh dengan kejahatan, tipu-daya,
kelicikan, dengki, dan
lain-lain semacamnya."
"Kalaupun itu benar, bukankah hati
manusia dapat
mengatasinya dengan kasih sayang?" ujar
Pangeran Muda
sambil mengingat-ingat kembali wejangan
Eyang Resi.
"Anom, sebenarnya tak ada orang yang
percaya akan kasih
sayang. Mereka yang mengajarkan kasih sayang
adalah orang
yang munafik."
'Jante!" sekali lagi Pangeran Muda
terkejut, kemudian
melanjutkan, 'Jante, tapi bukankah kita
hidup selama ini
karena kasih sayang orang? Pertama kasih
sayang orangtua
kita, kemudian panakawan-panakawan kita,
lalu guru, dan
pelatih-pelatih kita, setelah itu
pangeran-pangeran yang lebih
berkuasa dari kita. Jante, tanpa kasih
sayang itu kita tidak
akan seperti begini sekarang."
"Tapi mengapa kita mempelajari ilmu
yang berbahaya, dan
tidak ada gunanya kecuali untuk
membunuh?"
'Jante, kita belajar di padepokan bukan
untuk menjadi
pembunuh. Berulang-ulang Eyang Resi
menyatakan kepada
kita bahwa kita belajar agar kita dapat melaksanakan
kasih
sayang kita dengan lebih baik. Barangkali
kau ingat semboyan
kita, 'Kekuatan tanpa kasih sayang adalah
kezaliman, sedang
kasih sayang tanpa kekuatan adalah
kelemahan'. Kita belajar
di padepokan agar kasih sayang kita
berkekuatan."
"Kalau begitu, kau pun mengakui, kita
tidak bisa hidup
tanpa kekuatan," ujar Jante.
"Kita dapat hidup tanpa kekuatan, tapi
hidup kita tidak
akan sempurna. Kita mungkin akan
menderita."
'Jadi, kau mengakui bahwa dunia ini penuh
dengan
kejahatan hingga kita harus memiliki
kekuatan."
"Jante, kejahatan adalah suatu yang
nyata di dunia ini,
akan tetapi kasih sayang pun demikian juga.
Seandainya
kejahatan begitu kuat, bukankah para petani
tidak akan
bercocok tanam seperti sekarang?"
sambil berkata demikian,
Pangeran Muda memandang huma-huma dan
palawija yang
luas bagai lautan di sekeliling mereka.
"Dan bukankah keamanan, ketertiban, dan
kemakmuran
Pajajaran membuktikan, kasih sayang lebih
kuat daripada
kejahatan? Sekurang-kurangnya di Pajajaran
kasih sayang
lebih kuat, dan kewajiban kitalah untuk
menjaga agar kasih
sayang lebih kuat daripada kejahatan, dan
untuk itu kita
belajar di padepokan."
Jante tidak berkata apa-apa, tetapi dari
cahaya matanya
tampak, dia belum dapat diyakinkan oleh
Pangeran Muda.
Pangeran Muda sangat merasa prihatin dan
bermaksud akan
menerangkan hal itu kepada Eyang Resi segera
setelah ada
kesempatan.
TAK LAMA kemudian, sayup-sayup tampaklah
kelompok
rumah-rumah yang sangat besar jumlahnya. Di
antara
rumahrumah itu tampak beberapa buah menara
yang tinggi.
Dan setelah kedua penunggang kuda lebih
dekat ke tempat
itu, Pangeran Muda menyadari, mereka akan
memasuki
sebuah kota. Gerbang kota itu diperkuat
dengan benteng yang
bermenara, dan di atas menara itu tampaklah
beberapa
gulang-gulang membawa tombak-tombak panjang
yang
paruhnya berkilat-kilat di bawah sinar
matahari. Sebelah
kanan gerbang kota berdinding batu-batu dan
tanah liat,
sedang di sebelah kirinya, selain dinding
terdapat pula sungai
yang melingkar, yang dapat melindungi kota
itu dari serangan
darat seandainya peperangan terjadi.
"Kota ini sangat kuat, walaupun
kecil."
"Medang, Anom. Kita sudah tiba, ayahku
seorang yang
berbakat untuk menjadi panglima. Beliaulah
yang
merencanakan dinding dan bentuk-bentuk
menara ini," kata
Jante yang selama ini terdiam.
"Oh, kalau begitu saya harus
membereskan pakaian
dahulu."
"Tidak usah. Mereka akan tahu kita baru
saja menempuh
perjalanan yang jauh."
"Tidak, Jante," ujar Pangeran
Muda. "Lebih baik kita
menyimpang dulu ke mata air itu.
Bagaimanapun juga saya
tidak mau menghadap keluargamu dengan
pakaian dan
rambut yang begini kusut masai."
"Baiklah, Anom, kalau memang engkau
seorang pesolek.
Keluargaku tidak pernah terlalu ambil pusing
tentang caracara
orang berdandan." Sambil berkata
demikian, Jante
membelok ke kelompok pohon-pohonan yang
hijau di tengahtengah
padang itu. Setiba di sana mereka segera
turun.
Pangeran Muda mencuci muka, tangan dan kaki,
lalu
mengganti pakaian perjalanan yang kotor
dengan pakaian
kesatriaan yang bersih dan pantas. Jante
memandangnya,
sambil juga membersihkan diri dan menyisir
rambutnya yang
tebal dan panjang itu.
"Raden!" tiba-tiba terdengar suara
orang berseru dan
ketika Pangeran Muda melihat ke arah suara
itu tampaklah
beberapa orang petani berlarian menuju
Jante. ' Jasik, Misja,
bagaimana, baik-baik?"
"O, Raden, hampir Paman tidak
mengenalmu lagi. Raden
begitu tinggi dan besar sekarang!" kata
Jasik, sementara para
petani itu memegang tangan Jante.
"Ini kawanku, Jasik, Pangeran
Anggadipati, ia berlibur di
Medang untuk beberapa hari denganku, sebelum
kami pergi
ke Pakuan Pajajaran untuk bertugas."
"Apakah Raden sudah menjadi puragabaya
sekarang?"
"Belum, Jasik. Kami masih dalam
latihan. Latihan yang
sekarang dilakukan di luar Padepokan
Tajimalela," ujar Jante.
"Oh," kata orang-orang itu, sambil
dengan kagum
memandang Jante yang tersenyum kepada
mereka. Baru
ketika itulah Pangeran Muda melihat
kelembutan dari air muka
Jante. Biasanya ia murung sahaja. Melihat
hal itu, agak
legalah Pangeran Muda. Mudah-mudahan cuti
yang dilakukan
di kampung halamannya akan mampu memperbaiki
tingkah
laku Jante yang selama ini sangat
mencemaskan Pangeran
Muda.
"Jasik, Pangeran Anggadipati seorang
pemburu. Kalian
dapat membawa beliau pada suatu kali."
"Oh, senang sekali Pangeran Muda,
senang sekali," kata
Jasik seraya membungkuk-bungkukkan badannya
sambil
tersenyum.
"Tapi tidak ada waktu, Paman. Lain
kali, kalau ada umur,
kita akan berburu di hutan-hutan Medang
ini."
"Sekarang marilah kita pergi dulu,
sebentar lagi waktu
makan siang tiba," kata Jante.
Mereka pun menaiki kuda masing-masing,
diikuti oleh para
petani yang berjalan kaki di belakang
mereka. Tak lama
kemudian mereka telah melewati gerbang kota.
Jante
disambut dengan gembira oleh para
gulang-gulang dan
jagabaya setempat yang ternyata sangat hormat
kepadanya.
Dan setelah beberapa saat tertahan di sana,
mereka pun
melanjutkan perjalanan menuju istana tempat
ayah Jante
tinggal.
AYAH Jante bernama Raden Banyak Citra. Dalam
pergaulannya yang beberapa saat saja jelas
bagi Pangeran
Muda, orang tua itu adalah seorang ayah yang
keras. Di
samping sangat teguh berpegang pada
asas-asas agama dan
kebangsawanan, beliau sangat keras membina
kehormatan
keluarga. Putra-putra beliau yang laki-laki
digembleng untuk
menjadi kesatria-kesatria yang sederhana,
tabah, keras, dan
berani di kemudian hari. Dapat dipahami
kalau Jante berwatak
keras, tabah, berani di samping pendiam.
Ketika mereka menghadap, orang tua itu
sebentar saja
menerima mereka. Berbeda dengan Ayahanda
Anggadipati
yang suka berbincang-bincang dengan Pangeran
Muda,
bahkan kadang-kadang berlelucon, ayah Jante
adalah seorang
pendiam dan jarang tersenyum. Hubungan ayah
dan anak
lebih berupa hubungan antara panglima dan
prajurit daripada
hubungan ayah dan anak. Untuk bertemu dengan
beliau,
Jante harus memberi tahu terlebih dahulu.
Dan pertemuanpertemuan
dengan orang tua itu hanya terjadi di ruang
makan
atau di ruang pemujaan, pagi atau senja.
"Waktu saya masih kanak-kanak, kami
lebih jarang
bertemu. Di samping tidak banyak urusan,
Ayah pun sibuk
melaksanakan tugas-tugas dari Pakuan
Pajajaran. Akan tetapi,
itu tidak berarti bahwa saya tidak diawasi.
Setiap kesalahan
yang saya lakukan di belakang Ayah mendapat
hukuman yang
berat dan pelaksanaan hukuman dilakukan oleh
Ayah sendiri,"
demikian ujar Jante ketika Pangeran Muda
menyatakan bahwa
mereka sukar untuk bertemu dengan ayah
Jante.
Sebaliknya, keluarga wanita Jante sangat
ramah dan tidak
bersifat resmi. Ibu Jante, atau lebih
tepatnya bibinya yang
sekarang menjadi istri ayahnya dan dengan
tulus ikhlas serta
penuh kasih sayang mencintai Jante sebagai
anak sulungnya,
adalah seorang wanita yang lembut dan
budiman. Ketika Jante
datang, wanita itu merangkulnya dengan
berurai air mata
karena gembira. Demikian juga adik-adik
Jante yang
kebanyakan wanita, semuanya memperlihatkan
kelembutan
dan keramahan. Hanya adik Jante yang
laki-laki, yaitu yang
berumur sepuluh tahun mulai memperlihatkan
kesungguhTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sungguhan dan sifat keras seperti ayahnya
dan seperti Jante
sendiri. Anak ini Banyak Sumba namanya.
Adik Jante yang langsung adalah seorang
gadis berumur
kira-kira enam belas tahun, namanya Yuta
Inten. Gadis ini
pun, seperti ibunya, berwatak ramah dan
lembut. Gerak-gerik
serta tutur katanya begitu wajar, hingga
ketika untuk pertama
kali Pangeran Muda bertemu dengannya,
ingatan Pangeran
Muda langsung terkenang pada banyak putri
bangsawan lain
yang tingkah laku serta tutur katanya
dibuat-buat hingga
kadang-kadang menggelikan tapi juga
mengesalkan. Yuta
Inten sangat berbeda dengan gadis-gadis
seperti itu, gerakgeriknya
yang ringan walaupun tidak dapat dikatakan
lincah,
tutur katanya yang keluar dari watak yang
sebenarnya
memperlihatkan bahwa walaupun gadis itu
masih muda,
hanya jauh lebih dewasa dari kebanyakan
gadis-gadis
sebayanya. Mungkin hal itu disebabkan
tanggung jawabnya
yang besar, yaitu tanggung jawab sebagai
kakak perempuan
yang terbesar bagi lima orang adiknya.
Mungkin juga karena
memang sudah wataknya demikian. Akan tetapi,
apa pun
alasannya, Pangeran Muda merasa hormat
kepada gadis ini.
Ini berbeda dengan sikapnya terhadap banyak
gadis lain.
Hanya satu kali Pangeran Muda melihat gadis
ini
mengalami kebimbangan, yaitu ketika untuk
pertama kali
mereka bertemu berdua di taman dekat
pendapa. Ketika
Pangeran Muda mengucapkan selamat pagi,
gadis itu tampak
gagap sebelum membalas, sedang warna pipinya
yang gading
tiba-tiba menjadi merah muda. Kegugupan
gadis itu bagi
Pangeran Muda merupakan suatu hal yang
menyebabkan
renungan. Apakah gadis itu menganggapnya
sebagai orang
luar biasa, hingga menyebabkannya gugup?
Pikiran.macam itu
menyebabkan Pangeran Muda senang. Tapi
kemudian
Pangeran Muda pun terkejut dengan
perasaannya sendiri. Ia
bertanya dalam hati, mengapa ia harus
gembira kalau gadis
itu gugup? Mengapa ia harus gembira kalau
gadis itu
menganggapnya sebagai orang yang luar biasa
dan sangat
terhormat? Bukankah ia akan tetap saja
bernama Anggadipati,
tidak berubah oleh sikap gadis itu
kepadanya? Dengan pikiranpikiran
seperti itu, akhirnya Pangeran Muda menjadi
bingung
sendiri dan memutuskan untuk berhenti
memikirkan hal-hal
seperti itu.
Renungan-renungan itu datang kepada Pangeran
Muda
pada suatu tengah hari, ketika seluruh isi
puri sedang
istirahat, dan Pangeran Muda
berbaring-baring di ruangan
yang disediakan khusus untuknya. Ketika
Pangeran Muda
hendak membaringkan diri, dari arah taman
terdengarlah
suara gadis bersenandung. Pangeran Muda
bangkit seperti
digerakkan oleh tenaga tersembunyi. Pangeran
Muda berjalan
ke arah jendela yang menghadap ke taman,
lalu membukakan
tabirnya sedikit. Di sana, di bawah pohon
tanjung duduk Yuta
Inten sambil merenda pakaian yang
dipegangnya,
bersenandung menidurkan adiknya yang kecil
yang terbaring
dalam ranjang rotan kecil yang disandarkan
pada batang
pohon tanjung itu.
Sebentar-sebentar Yuta Inten bangkit dari
pekerjaannya
dan sambil bersenandung perlahan-lahan
menggoyangkan
ranjang rotan itu. Pangeran Muda
memerhatikannya,
merenung wajahnya, tangannya, dan seluruh
diri gadis itu
dengan saksama dan tidak mengejapkan mata.
Ketika pada
suatu kali gadis itu menjulurkan tangannya
menggoyangkan
ranjang rotan itu, tiba-tiba napas Pangeran
Muda terhenti.
Pangeran Muda tiba-tiba berdoa,
mudah-mudahan jari-jari
gadis yang tirus-tirus itu belum dihiasi
oleh cincin
pertunangan. Pangeran Muda memejamkan mata,
kemudian
membukanya kembali dan langsung meneliti
jari-jari gadis itu
satu per satu. Beberapa cincin yang
indah-indah menghiasi
jari-jari gadis itu, tetapi tidak ada
sebentuk cincin yang ditakuti
oleh Pangeran Muda. Pangeran Muda menarik
napas panjang,
kemudian mulai memerhatikan lagi gadis itu
sambil
mendengarkan suaranya yang merdu. Ketika
gadis itu berdiri
dan memanggil emban untuk mengambil ranjang
rotan itu
serta membantu membereskan barang-barang
alat sulam,
Pangeran Muda merasa kecewa.
Pangeran Muda bangkit dari tempatnya
mengintip dan
dengan tidak sengaja sikutnya menyentuh
jambangan perak
tempat menyimpan pisau-pisau pangot.
Jambangan itu jatuh
ke atas lantai batu dengan suara yang
nyaring sekali, dan
Pangeran Muda melihat, bagaimana gadis itu
terkejut dan
memandang ke arah jendela. Sikap berdirinya
dan cahaya
matanya mengingatkan Pangeran Muda pada
pohaci yang
dilihatnya di telaga larangan, sewaktu
Pangeran Muda tersesat
dan memergoki makhluk-makhluk suci itu
sedang
bercengkerama di sana.
Setelah terkejut sejenak, gadis itu berjalan
tergesa, sambil
berulang-ulang memandang ke arah jendela.
Pangeran
Mudalah sekarang yang risau. Siapa tahu
gadis itu telah
menyangka Pangeran Muda mengintipnya selama
ini.
Mungkinkah pula ia dapat melihat bayangan
Pangeran Muda di
balik tabir yang tipis itu? Alangkah geram
Pangeran Muda
terhadap dirinya sendiri. Mengapa seorang
kesatria mengintipintip
seorang putri bangsawan seperti seorang
pengecut?
Dengan kerisauan itu, Pangeran Muda
membaringkan
badan di atas ranjang. Ia gemas terhadap
dirinya sendiri yang
telah membiarkan dirinya ditemukan gadis itu
sedang
mengintip. Bagaimanakah kalau hal itu
menyebabkan gadis itu
tidak hormat lagi kepadanya? Dan bagaimana
pula
perasaannya setelah mengetahui Pangeran Muda
mengintipnya? Mungkinkah ia marah, atau
mungkinkah ia
malah senang hati? Tiba-tiba hati Pangeran
Muda jadi lega
dan penuh harapan. Mudah-mudahan gadis itu
bersenang
hati. Oh, hal itu mungkin dapat diketahui
nanti, di saat acara
makan bersama. Maka gelisahlah Pangeran Muda
di atas
ranjang itu, tak sabar menunggu saat makan
bersama yang
akan dilakukan di ruangan tengah.
"Anom, apakah yang sedang
kaulamunkan?" tiba-tiba suara
Jante didengarnya. Pangeran Muda terlompat
dari ranjangnya
dan dengan gagap mempersilakan Jante duduk.
"Kau mudah terkejut sekarang,
Anom," kata Jante,
setengah bermain-main setengah
bersungguh-sungguh.
"Engkau ... engkau datang tanpa
mengetuk dulu, Jante, itu
bertentangan dengan tata krama
kesatriaan," kata Pangeran
Muda bermain-main.
'Anom, saya mengetuk pintu berulang-ulang,
dan karena
kau tidak menyahut, saya perlahan-lahan
membuka pintu
karena menyangka kau tidur. Ternyata kau
sedang
membelalak, memandangi langit-langit kamar.
Saya yakin, kau
melihat gambar gadis yang tidak dapat
kulihat di sana," kata
Jante pula.
Mendengar kata-kata itu, panas rasanya
seluruh wajah dan
daun telinga Pangeran Muda, "Tidak
kusangka kau suka
berlelucon, Jante. Di padepokan kau sangat
pendiam," kata
Pangeran Muda, menekan getaran dalam
suaranya sendiri.
"Soalnya di sana kau tak pernah
melamun. Saya bukan
orang yang usil, Anom, kecuali kalau ada hal
yang menarik
hati saya," kata Jante, sekarang
bersungguh-sungguh. Sekali
lagi wajah dan daun telinga Pangeran Muda
terasa panas,
keringat pun mulai meremang Hati Pangeran Muda
bertanyatanya,
mungkinkah Jante sudah mengetahui, bahwa ia
memerhatikan adiknya, Yuta Inten? Apakah
yang
diperbuatnya kalau memangjante sudah tahu?
"Sakitkah engkau, Anom?" tiba-tiba
Jante bertanya setelah
memerhatikan Pangeran Muda. Pandangan Jante
yang
biasanya tidak pernah menggelisahkannya,
sekarang terasa
begitu tajam, hingga Pangeran Muda
seolah-olah telanjang di
hadapan pandangan mata itu.
"Tidak, Jante, saya agak lelah,"
kata Pangeran Muda
berdusta.
"Oh," kata Jante keheranan.
"Maaf saya mengganggu
istirahatmu."
"Oh, tidak, saya senang kau datang ke
kamarku, Jante,"
ujar Pangeran Muda, berkata secara
serampangan saja.
Jante termenung sambil memandangnya, lalu
berkata,
"Adakah sesuatu yang salah denganmu,
Anom?"
Pangeran Muda terkejut oleh pertanyaan itu.
Ia baru
menyadari kembali bahwa Jante adalah seorang
yang sangat
tajam mata hatinya. Walau tafsirannya
tentang isi hati orang
sering sekali jelek dan berat sebelah,
perasaannya dengan
mudah dapat menangkap kalau ada perubahan
dalam hati
orang lain. Itulah sebabnya Pangeran Muda
makin gugup.
Kesadarannya bahwa ia gugup, menambah pula
kegugupan
Pangeran Muda. Akhirnya, berkatalah ia,
"Saya ... saya
terkejut Jante, jadi ... saya gugup. Izinkan
saya minum dulu."
Pangeran Muda segera minum, dan ketenangannya
perlahan-lahan kembali. Walaupun begitu,
keheranan Jante
akan tingkah lakunya tidaklah jadi reda; ia
tetap mengawasi
gerak-gerik dan air muka Pangeran Muda.
Pangeran Muda
segera mengajaknya bercakap-cakap tentang
berbagai hal lain
yang diharapkan akan mengalihkan perhatian
Jante. Dan
beberapa saat kemudian, mereka pun telah
bercakap-cakap
tentang berbagai hal dan membuat berbagai
rencana yang
akan mereka laksanakan selama Pangeran Muda
berada di
Medang.
DI ANTARA rencana-rencana itu termasuk rencana
berburu,
mengelilingi wilayah yang berada di bawah
kekuasaan
Medang, memancing di telaga dalam hutan,
berkunjung ke
rumah keluarga bangsawan-bangsawan setempat,
dan
sebagainya. Acara mengunjungi rumah-rumah
bangsawan
setempat sangat tidak disukai Jante, tetapi
kedua orang muda
itu melakukannya juga karena Raden Banyak
Citra
mengusulkan hal itu kepada mereka. Ternyata,
usul ayahnya
oleh Jante selalu dianggap perintah.
Kalau tidak ada acara dengan Jante, biasanya
Pangeran
Muda tidak bepergian. Ia berjalan-jalan di
lorong-lorong atau
di taman istana itu sambil setengah
mengharapkan dapat
bertemu dengan Yuta Inten. Seandainya pagi
hari tidak
berjumpa, Pangeran Muda dengan tidak sabar
menunggu
senja, ketika acara makan bersama dilakukan
oleh seluruh
keluarga. Dalam acara makan malam itu,
Pangeran Muda tidak
pernah berani memandangnya secara langsung,
apalagi
bercakap-cakap. Ia hanya berani mencuri
pandang lewat
sudut matanya. Pada suatu kali, ketika ia
mencuri pandang,
tampak Yuta Inten pun sedang melirik ke
arahnya. Keduanya
dengan segera berpaling ke arah lain, tetapi
semenjak itu
Pangeran Muda tidak dapat duduk tenang lagi.
Hatinya
bertanya apakah Yuta Inten sering mencuri
pandang ke
arahnya? Apakah itu cuma kebetulan saja?
Kiranya ketika ia termenung-menung demikian,
seorang
pelayan menyodorkan baki penganan kepadanya.
Pangeran
Muda tidak melihat dan tidak mendengar orang
itu berulangulang
menawarkan makanan itu, hingga akhirnya
Jante
menepuk bahunya. Dengan terkejut dan
tergagap-gagap,
Pangeran Muda segera mengambil sesuatu dari
baki itu dan
meletak-kanya di atas piring di hadapannya.
Akan tetapi,
pelayan itu tetap berdiri di sana, dan
Pangeran Muda
keheranan memandangnya. Pelayan itu
tersenyum sambil
menunjuk ke atas piring yang ada di hadapan
Pangeran Muda.
Ternyata yang diambil oleh Pangeran Muda
bukanlah buahbuahan
melainkan pisau untuk mengeratnya. Pangeran
Muda
makin gugup juga karenanya.
"Ketika Ayah semuda Anom, Ayah pun
pernah menjadi
seorang pelamun, Anom. Cita-cita yang tinggi
memenuhi
kesadaran kita, hingga kita sering lupa akan
dunia sekeliling."
Pangeran Muda bertanya-tanya dalam hati,
apakah orang
tua itu telah menduga isi hatinya, dan oleh
karena itu
menolong Pangeran Muda di saat dia sangat
malu? Sementara
itu, Raden Banyak Sumba, adik laki-laki
Jante dengan berani
akan tetapi sopan bertanya kepada ibunya.
"Ibunda, kalau begitu Ayunda Yuta Inten
tidak luar biasa,"
katanya.
"Tidak luar biasa bagaimana?"
tanya ibunya, agak
keheranan. Sementara itu, Yuta Inten
menegakkan kepalanya
dan dengan cemas memandang kepada adik
laki-lakinya yang
duduk di samping Pangeran Muda.
"Ibunda mengatakan bahwa belakangan ini
Ayunda Yuta
Inten juga suka melamun dan lupa pada
apa-apa yang terjadi
di sekelilingnya. Menurut pendapat hamba,
Ayunda Yuta Inten
sedang banyak memikirkan cita-cita yang
tinggi, seperti yang
dikatakan oleh Ayahanda tadi. Di samping
itu, Ayunda sudah
hampir enam belas tahun usianya, jadi tidak
jauh berbeda dari
usia Kakanda Anggadipati yang sudah delapan
belas tahun."
Raden Banyak Citra tersenyum mendengar
perkataan
putranya, sedang istri beliau tertawa agak
keras. Yuta
Intenlah yang tampak menderita. Ia
menundukkan kepalanya,
seakan-akan wajahnya akan disurukkan ke atas
piring yang
dihadapinya. Sebaliknya, suatu perasaan yang
tidak dapat
diberinya nama, apakah itu kegembiraan atau
harapan, atau
kebahagiaan, tiba-tiba meluap dalam hati
Pangeran Muda.
Walaupun begitu, kepalanya ditundukkannya
juga ke atas
piringnya sendiri. Malam harinya, ketika
Pangeran Muda
berada di kamarnya, tidur lambat sekali
datangnya. Kantuk
tidak menutupkan kelopak matanya karena
hatinya
digelisahkan oleh berbagai macam pikiran,
khayalan, dan
perasaan. Dan setelah berguling ke kanan-ke
kiri di atas
ranjang itu, terdengarlah dari padang-padang
di luar benteng
Medang ayam-ayam jantan berkokok bersahutan.
KEESOKAN harinya tidak ada acara yang
direncanakan
dengan Jante. Jante mengirim pesan lewat
Banyak Sumba
bahwa ayahnya memberinya tugas untuk
mengerjakan
beberapa surat. Oleh karena itu, kalau
hendak keluar,
Pangeran Muda dapat meminta ditemani oleh
beberapa
panakawan atau gulang-gulang. Pangeran Muda
berpesan,
Jante tidak usah terlalu memikirkannya dan
dimintanya pula
agar Banyak Sumba menemaninya, dan tidak
usah dikirim
gulang-gulang atau panakawan lain.
Maka, setelah pergi ke kamar Jante, Banyak
Sumba kembali
ke kamar Pangeran Muda. Ketika ia tiba
kembali di kamar
Pangeran Muda, Pangeran Muda sedang
berdandan. Ketika
langkah anak itu terdengar, Pangeran Muda
berkata
kepadanya, "Adinda, tunggulah sebentar,
Kakanda berpakaian
dulu. Kita akan melihat-lihat kota."
Anak itu duduk menghadap jendela, menunggu.
Dari sudut
kamar, dengan melalui bayangan dalam cermin
Pangeran
Muda memerhatikan wajah anak laki-laki itu.
Wajahnya
lonjong, hidungnya lurus sedang matanya
besar-besar dan
hitam, tepat seperti wajah kakaknya, Yuta
Inten. Hanya
rambutnya yang berbeda. Rambut Yuta Inten
halus, tebal, dan
warnanya agak muda. Banyak Sumba berambut
hitam dan
agak ikal. Seraya memerhatikan wajah anak
laki-laki itu,
selesailah Pangeran Muda berdandan.
"Mari kita pergi," kata Pangeran
Muda sambil memegang
tangan anak itu yang berdiri sambil
tersenyum dan
memandang kepadanya dengan kagum.
"Ke manakah kita akan pergi,
Kakanda?" anak itu bertanya.
"Keliling kota," ujar Pangeran
Muda.
"Baik, empat orang gulang-gulang telah
siap mengawal
kita," kata Banyak Sumba.
"Adinda, tidak usah ada pengawal,"
kata Pangeran Muda.
"Tapi itu tidak baik, Kakanda,"
kata Banyak Sumba.
"Adinda, Kakanda seorang calon
puragabaya, artinya
Kakanda seorang sama dengan seorang ditambah
empat
gulang-gulang. Jadi, gulang-gulang yang
empat itu tidak
perlu," ujar Pangeran Muda seraya
tersenyum.
"Bukan begitu, Kakanda; gulang-gulang
itu bukan untuk
keamanan, tetapi hanya untuk kehormatan
saja. Seorang
bangsawan harus punya pengiring. Makin
banyak
pengiringnya, makin terhormat, demikian kata
Ayahanda."
"Adinda, seorang calon puragabaya sudah
dihapus kebangsawanannya.
Kakanda adalah seorang pendeta sekarang,
jadi gulang-gulang itu tidak diperlukan.
Biarlah gulang-gulang
itu mengerjakan hal-hal lain, jangan menjadi
susah karena
Kakanda," kata Pangeran Muda mendesak
karena sebenarnya
ia ingin bercakap-cakap dengan anak itu
dengan leluasa.
Banyak Sumba rupanya dapat diyakinkan. Maka
mereka
pun pergilah. Sambil berjalan menurutkan ibu-jari
kaki dalam
lorong-lorong di kota itu, Pangeran Muda
bercakap-cakap
tentang itu dan ini. Pada suatu kali ia pun
bertanyalah,
"Adinda, tadi malam dalam acara makan
bersama engkau
berkata, bahwa Ibunda pernah mengatakan
Ayunda Yuta
Inten suka bermimpi atau melamun. Apakah
yang dikatakan
beliau itu, atau bagaimana Ibunda berkata
ketika itu?"
"Kakanda, Ayunda marah kepada hamba
tadi pagi, dan
melarang hamba berbicara tentang soal
melamun itu. Ayunda
mengatakan, hamba telah mempermalukannya di
depan tamu,
di depan Kakanda "
"Mengapa Ayunda malu oleh
Kakanda?" tanya Pangeran
Muda memancing-mancing.
"Saya pun bertanya begitu pada Ayunda,
jawabnya, karena
Kakanda seorang tamu dan seorang
kesatria."
"Bagaimana pendapatmu tentang
jawabannya itu?"
"Saya tidak berkata apa-apa, tetapi
saya tetap tidak merasa
bersalah. Dan ketika Ayunda meminta supaya
hamba tidak
sekali-kali lagi berkata seperti itu dalam
acara makan, saya
mengatakan ya."
"Kalau begitu, kau tidak berjanji
kepada Ayunda untuk tidak
berkata di luar acara makan. Jadi,
ceritakanlah kepada
Kakanda, bagaimana sampai Ibunda mengatakan
bahwa
Ayunda Yuta Inten suka melamun."
Anak itu pun berceritalah, "Menurut
Ibunda, yang sering
dikatakan beliau kepada Ayunda, belakangan
ini Ayunda
sering termenung-menung. Di samping itu,
banyak kesalahan
yang dilakukan Ayunda, hingga akhirnya
Ibunda sering
mengatakan kepada Ayunda bahwa Ayunda itu
suka melamun
dan lupa akan apa yang terjadi di
sekelilingnya.”
"Adikku, pernahkah kau melihat Ayunda
melamun dan lupa
akan sekeliling? Atau, pernahkah kau melihat
kejadian yang
menyebabkan Ibunda mengatakan Ayunda suka
melamun?"
Setelah termenung, berkatalah anak itu,
"Tidak, Kakanda."
Kemudian anak itu melanjutkan, "Adakah
obatnya?"
Mendengar pertanyaan itu, sungguh-sungguh
terpukau hati
Pangeran Muda. Oleh karena itu, ia tidak
dapat menjawab
dengan segera. Hanya setelah beberapa saat
ia berkata
dengan ragu-ragu, "Kau tahu, Kakanda
pun suka melamun
belakangan ini. Justru Kakanda ingin
mengetahui, adakah
obatnya untuk itu."
Ketika mereka bercakap-cakap demikian,
mereka sudah
berjalan melewati gerbang rumah bangsawan
yang besar.
Mereka berjalan langsung menuju lapangan
yang terbuka di
tengah kota Medang, tempat penduduk
sekeliling kota
berjualan. Tempat itu sudah ramai sekali walaupun
hari masih
pagi. Orang-orang kampung, peternak, atau
petani sudah
memenuhi tempat itu dengan berbagai hasil
bumi dan
kerajinan. Pangeran Muda dapat melihat
bagaimana berbagai
macam buah-buahan seperti labu, mangga,
rambutan, salak,
manggis, pepaya, dan sebagainya digelar
orang di lapangan
itu. Di suatu tempat tertentu dipajangkan
pula hasil
peternakan, ayam-itik, kambing-domba,
sapi-kerbau, dan lainlain.
Sedang ikan-ikan dari sungai ada juga dijual
orang di
sana, berdampingan dengan sayur-mayur. Di
samping itu,
terdapat pula kerajinan rakyat, dari tanduk,
gading, kulit-kulit
buah-buahan yang keras, kulit binatang, dan
sebagainya.
Sambil berjalan-jalan melihat-lihat suasana
lapangan itu,
Pangeran Muda terus bercakap-cakap tentang
berbagai hal
dengan anak itu. Suatu perasaan, semacam
kegembiraan
tergugah dalam hati Pangeran Muda, hanya
karena adanya
anak itu di sampingnya. Terasa oleh Pangeran
Muda bahwa
dengan berdekatan dengan anak itu, serasa
dekat pula
Pangeran Muda dengan Yuta Inten yang selama
ini menjadi
penghuni hatinya. Bagaimanapun juga Pangeran
Muda
akhirnya menerima kenyataan bahwa Yuta Inten
telah
menempati hatinya, dan masalah-masalah lain,
ingataningatan
lain, terdesak keluar dari kesadarannya.
Ketika mereka tiba di tempat orang-orang menjual
beraneka warna bunga-bungaan, tiba-tiba anak
itu berkata,
"Itu Ayunda sedang membeli bunga."
Sambil berkata
demikian, anak itu menuntun Pangeran Muda
berjalan ke arah
kakaknya.
Akan tetapi, Pangeran Muda yang tidak
bersiap untuk
bertemu menahan tangan anak itu dan dengan
perlahan-lahan
dan ragu-ragu berkata, "Lebih baik kita
tidak
mengganggunya."
"Kita tidak akan mengganggunya,
Kakanda," kata anak itu.
"Lebih baik Ayunda tidak tahu kita ada
di sini."
"Mengapa?" tanya anak itu,
kemudian anak itu
melanjutkan. "Oh ya, Ayunda malu oleh
Kakanda," katanya.
"Malu?" tanya Pangeran Muda.
"Pernahkah Ayunda
mengatakan hal itu kepadamu?"
"Ya, pada suatu kali hamba melihat
Ayunda mengintip dari
jendela ke arah bangunan rumah bagian barat
tempat
Kakanda berada. Hamba datang dari
belakangnya dan
bertanya, apa yang sedang dikerjakannya. Ia
terkejut dan
mengatakan bahwa ia sedang memeriksa, apakah
Kakanda
ada di jendela atau tidak. Kalau tidak ada,
ia akan lewat
taman.”
'"Mengapa tidak lewat saja?' tanya
hamba. Jawabnya, kalau
Kakanda ada di sana, ia malu."
Sambil bercakap-cakap demikian, dengan tidak
sadar, kaki
Pangeran Muda melangkah mengikuti rombongan
para emban
yang mengiringkan Yuta Inten yang sambil
membawa bungabungaan
berjalan kembali menuju istana.
Pada suatu saat pandangan Yuta Inten bertemu
dengan
pandangannya. Pangeran Muda menghentikan
langkahnya,
sedang Yuta Inten cepat-cepat berpaling ke
arah lain.
Kemudian sambil menundukkan kepala dan
menghentikan
percakapannya dengan para emban, Yuta Inten
melanjutkan
perjalanan. Rupanya para emban menyadari
adanya
perubahan tiba-tiba pada majikannya. Mereka
melihat ke arah
Pangeran Muda yang dengan cepat berpura-pura
seolah-olah
ia tidak melihat adanya rombongan gadis itu.
Akan tetapi,
dengan sudut matanya, Pangeran Muda sempat
melihat
seorang emban tua yang diketahui bertindak
sebagai
pengasuh dan pengawal pribadi Yuta Inten
tersenyum ke
arahnya.
Setelah rombongan lenyap dari pandangan
Pangeran Muda
dan memasuki gerbang istana, Pangeran Muda
yang hampir
lupa pada Banyak Sumba yang ada di
sampingnya segera
memegang bahu anak itu dan membimbingnya
kembali ke
arah lapangan. Di sana Pangeran Muda memilih
badik kecil
yang bersarung dan bergagang gading serta
berhiaskan
permata. Pangeran Muda membeli senjata kecil
yang indah
itu, lalu menghadiahkannya kepada Banyak
Sumba yang
gembira sekali menerimanya.
MALAM harinya Pangeran Muda tak dapat tidur.
Segala
kejadian yang dialaminya di rumah keluarga
Jante dan
percakapannya dengan Banyak Sumba
terus-menerus mengisi
kesadarannya. Di samping itu, kerinduan dan
harapan
bergalau mengisi hatinya, menyebabkan rasa
pengap di
dadanya. Dan ketika malam semakin larut dan
serta
keresahan tidak reda juga, Pangeran Muda
akhirnya bangun
dari ranjangnya, dan seperti digerakkan oleh
tenaga rahasia,
ia berjalan menuju tempat pakaian.
Diambilnya pakaian malam calon puragabaya
yang
berwarna hitam, diambilnya pula tutup kepala
yang juga
berwarna hitam. Setelah semua lengkap
dikenakannya, pintu
kamar dibukanya perlahan-lahan. Pangeran
Muda pun telah
berada di lorong-lorong yang samar-samar
diterangi lampulampu
kecil di dalam ruangan yang besar itu.
Dengan hatihati,
Pangeran Muda melangkah, menghilangkan suara
dari
alas-kaki kulitnya yang halus. Ruangan telah
sunyi belaka,
hanya kadang-kadang tampak gulang-gulang
yang mengantuk
duduk di bangku di salah satu mulut lorong
atau di pintu yang
menuju lapangan kecil di dalam lingkungan
benteng istana itu.
Pada suatu tikungan lorong tiba-tiba
Pangeran Muda
bertemu dengan empat orang gulang-gulang
yang sedang
ber-jaga-berkeliling. Pangeran Muda segera
melompat ke tepi
lorong, mencari sudut kelam tempat
menyembunyikan diri. Di
tempat itu ditutupnya muka dengan kain hitam
yang ditarik
dari tutup kepala. Maka, tinggal hitam mata
Pangeran Muda
saja yang tidak terlindungi oleh pakaian
hitam calon
puragabaya itu. Dengan tidak menyadari bahwa
ada
seseorang yang sedang bersembunyi, keempat
gulang-gulang
itu pun lewatlah sambil bercakap-cakap
perlahan.
Setelah berjalan kembali beberapa saat,
tibalah Pangeran
Muda di pintu yang menuju kaputren. Akan
tetapi, pintu itu
tertutup, sedang di dekatnya dua orang
gulang-gulang
penjaga duduk sambil bercakap-cakap.
Pangeran Muda
terpaksa berhenti dan berpaling ke taman
bunga yang
terdapat di depan kaputren itu. Pangeran
Muda berjalan di
taman itu beberapa saat, kemudian tibalah di
bawah dinding
benteng kaputren. Seperti seekor bajing
dengan mudah
Pangeran Muda memanjati benteng yang tinggi
itu, kemudian
menuruninya dan dalam sekejap telah berada
di taman
kaputren.
Setelah berjalan mengendap-endap di dalam
taman itu,
tibalah pula Pangeran Muda di bangunan
kaputren yang
sangat indah. Bangunan itu terbuat dari kayu
jati bercampur
dengan kayu cendana. Sungguh cocok kalau
bangunan itu
diperuntukkan bagi putri keluarga Banyak
Citra.
Akan tetapi, mendekati bangunan kaputren itu
tidaklah
mudah. Pertama, lampu-lampu besar dipasang
di sekeliling
kaputren hingga sukar sekali Pangeran Muda
menemukan
bayangan untuk melindungkan diri. Kedua, di
sekitar kaputren
ternyata banyak sekali gulang-gulang yang
berjaga. Terpaksa
Pangeran Muda harus menunggu hingga
gulang-gulang itu
lengah dan menjauhi jendela-jendela besar
yang masih
terbuka di bangunan kaputren itu. Akan
tetapi, ternyata
gulang-gulang itu sangai patuh dan taat
melaksanakan tugas,
hingga tak ada seorang pun yang meninggalkan
tempatnya. Di
samping itu, begitu serombongan
gulang-gulang bersiap
meninggalkan tempat, rombongan lain segera
tiba
menggantikannya. Jadi, tidak ada kesempatan
bagi Pangeran
Muda untuk mendekati jendela-jendela itu.
Selelah berpikir sejenak, timbullah akal
dalam hati
Pangeran Muda. Di tepi taman bunga ditanam
pohon-pohonan
yang agak besar, seperti tanjung,
sedap-malam, kenanga,
cempaka dan semacamnya. Pohon-pohon inilah
yang dapat
digunakan oleh Pangeran Muda untuk mengintip
ke dalam
jendela-jendela itu. Maka dengan sigap
dipanjatlah sebatang
pohon terdekat. Dari sana Pangeran Muda
memandang ke
dalam, tetapi jendela pertama tidaklah
menampakkan Yuta
Inten. Yang dilihatnya hanya beberapa orang
emban sedang
mengerjakan tugas mereka senja itu, yaitu
membereskan
pakaian-pakaian dan alat-alat perhiasan
lainnya. Setelah
berpindah tempat dan berada di pohon lain,
Pangeran Muda
pun memandang ke dalam salah satu ruangan
lain.
Akan,tetapi, hanya emban-emban saja yang
dilihatnya. Maka
pindahlah Pangeran Muda ke pohon lain lagi.
Melalui jendela
yang ketiga ini Pangeran Muda menemukan Yuta
Inten sedang
duduk di depan cermin sambil menjalin
rambutnya yang
panjang menjadi dua buah untun besar. Di
ruangan itu emban
tua yang menjadi pengawal-pribadinya sibuk
menyiapkan dan
membereskan tempat tidur mereka. Ketika
perempuan tua itu
berjalan ke arah Yuta Inten, ia berkata,
"Sebagai seorang
wanita, apalagi yang berkedudukan tinggi
seperti kau, anakku,
tidaklah pantas untuk memperlihatkan perasaan.
Janganlah
kauperlihatkan bahwa kau terpengaruh oleh
kehadirannya di
dekatmu. Bertindaklah tenang, bahkan
bertindaklah seolaholah
kau tak acuh."
Mendengar perkataan orang tua itu,
meluncurlah Pangeran
Muda pada cabang pohon yang menjulur
mendekat ke arah
jendela. Ia berusaha meringankan tubuhnya
dan berpegang
pada cabang-cabang lain agar cabang
tempatnya berada tidak
terlalu mendapat tekanan.
"Sudah telanjur, Emak. Saya sudah
sering kelihatan gugup
olehnya, sekurang-kurangnya begitulah
perasaan saya. Ia
sering memerhatikan saya dengan sudut
matanya dan
pandangannya itu mau tidak mau menggugupkan
saya," suara
Yuta Inten terdengar dengan jelas.
Angin bertiup menggoyangkan lampu-lampu dan
bayanganbayangan
pun bergerak-geraklah. Emban tua itu berjalan
ke
arah jendela, lalu menutupkan kedua daunnya,
dan Pangeran
Muda beradalah dalam kegelapan. Ia turun,
tetapi tidak berani
mendekati
jendela yang tertutup itu.
0 komentar:
Posting Komentar