Bab 1
Tamu dari Padepokan
Bagi Pangeran Muda pengalaman pagi itu
seperti suatu
impian. Sukar untuk dipercaya, bahwa apa
yang dilihat,
didengar, dan dialaminya adalah suatu
kenyataan. Beberapa
bulan yang lalu, Pangeran Muda masih
bermain-main dengan
Radenjamu, naik kuda berpacu di
padang-padang di luar
tembok puri Dipati Layang Setra, berenang di
telaga, dan
memanah burung-burung di hutan kaki Gunung
Manglayang.
Sementara hari itu Radenjamu dengan pakaian
kebesaran
seorang bangsawan tinggi, telah dibaringkan
di atas tumpukan
kayu samida. Sahabatnya yang berumur lima
belas tahun,
hanya satu tahun lebih tua dari Pangeran
Muda, sudah tidak
bernyawa lagi. Jenazahnya sudah siap untuk
dibakar, agar
asapnya naik ke langit dan bersama awan
mengunjungi Sunan
Ambu di Buana Padang
Maut. Maut. Pangeran Muda sudah beberapa
kali dibawa
oleh Ayahanda menghadiri upacara pembakaran
jenazah.
Sudah beberapa orang yang masih ada tali
kekeluargaan
dengan keluarganya meninggalkan dunia fana,
Buana
Pancatengah ini. Akan tetapi, umumnya mereka
sudah tua,
sudah saatnya untuk kembali kepada Sunan
Ambu. Akan
tetapi, kali ini Raden Jamu, sahabat karib
dan kawan sebaya
Pangeran Muda, dan bukan orang lain yang
meninggal. Itulah
sebabnya kali ini Pangeran Muda tiba-tiba
menghayati betapa
hebatnya Malakal Maut itu.
Isak dan jerit tangis para bangsawan wanita,
gumam dan
bisik doa-doa para pendeta, terdesak di luar
kesadaran
Pangeran Muda. Rasa seram, terkejut, dan
terpukau oleh
kehebatan Malakal Maudah yang menguasai hati
Pangeran
Muda Dipandangnya tubuh sahabat karibnya
yang terbaring di
tengah-tengah pelaminan bunga di atas kayu
pembakar
jenazah itu. Diamatinya wajah sahabat
karibnya yang tenang,
seolah-olah sedang tidur nyenyak. Alangkah
muda dan
tampannya Raden Jamu, alangkah lincah dan
gembiranya!
Betulkah sahabatnya itu sudah tidak bernyawa
lagi? Betulkah
api akan dinyalakan dan Raden Jamu akan naik
ke awan dan
diterima oleh Sunan Ambu? Berulang-ulang
keragu-raguan
melanda hati Pangeran Muda, dan berulang-ulang
pula
dibisikkan ke dalam hatinya bahwa semua itu
impian,
semuanya tidak benar. Akan tetapi,
sahabatnya tidak bangkit
dan tidak tersenyum, sedangkan para pendeta
menggumamkan doa-doa ke angkasa, para wanita
menangis,
terisak, dan menjerit.
"Berikanlah salah satu dari
barang-barang milikmu kepada
sahabatmu sebagai tanda cintamu,
anakku," bisik ayahanda
Pangeran Anggadipati kepadanya. Pangeran
Muda terhenyak,
lalu mengulurkan tangan perlahan-lahan ke
hulu kerisnya,
seolah-olah kesadarannya perlahan-lahan
mulai berpegang
pada kenyataan. Pangeran Muda mencabut keris
dengan
sarungnya, dilalapnya senjata itu sejenak.
Senjata yang indah.
Raden Jamu beberapa bulan yang lalu pernah
memegangmegang
serta me-lihat-lihatnya dengan penuh
kekaguman.
Alangkah gembiranya Radenjamu seandainya
senjata yang
dikaguminya itu dihadiahkan kepadanya. Maka
dengan
ketetapan hati dan rasa bangga dan lega,
Pangeran Muda
memegang senjata itu dengan kedua tangan,
lalu melangkah
ke depan, menuju tempat pembakaran jenazah,
tempat
sahabatnya terbaring.
Akan tetapi, baru saja tiga tindak,
terdengar jeritan wanita
yang menusuk hati, dan dalam sekejap
Pangeran Muda sadar
bahwa ia dirangkul dan diciumi oleh ibunda
Radenjamu yang
berseru-seru, 'Anakku, anakku, mengapa
kautinggalkan
sahabatmu yang baik ini, mengapa
kautinggalkan ibumu yang
sudah tua ini...?"
Wanita yang malang itu segera dipegang dan
dipapah oleh
anggota-anggota keluarga, lalu dibawa ke
tengah-tengah para
emban. Sementara itu, Pangeran Muda tertegun
di antara
para hadirin dan tempat pembakaran jenazah.
Pangeran Muda
tidak tahu apa sebabnya pandangannya
tiba-tiba menjadi
kabur dan detak jantungnya berubah
seolah-olah menjadi
tusukan-tusukan yang tajam. Napasnya sesak.
Oleh karena
itu, hanya dengan mengerahkan kemauan saja
kakinya dapat
dilangkahkan menuju tempat sahabatnya
terbaring.
Pangeran Muda berdiri dekat tempat
pembakaran jenazah,
memandang wajah sahabatnya dengan saksama,
kemudian
berkata dengan suara gemetar, "Ini
kerisku. Engkau suka
padanya dan akan senang memilikinya. Saya
menghadiahkannya kepadamu sebagai seorang
sahabat...
sahabat... yang sayang kepadamu
Tak tertahan lagi air mata Pangeran Muda
membanjir
melimpahi kelopak mata. Ditahannya tangisan
itu, akan tetapi
karena dukacita tiba-tiba melandanya, terguncang-guncanglah
tubuh Pangeran Muda. Kakinya tidak dapat
dilangkahkannya
dari pinggir tempat pembakaran itu, tempat
ia berdiri sambil
menutup muka dengan kedua tangannya, yang
sudah tidakmemegang
keris lagi.
Tak berapa lama kemudian, Pangeran Muda
merasakan
sepasang tangan merangkul pundaknya. Terasa
Ayahanda
membimbingnya kembali ke tempat para
keluarga. Sambil
berjalan kembali, terdengar oleh Pangeran
Muda ayahandanya
berkata, "Sunan Ambu di Kahiangan akan
sayang kepada
sahabatmu itu. Ia anak yang baik, lemah
lembut kepada
bawahan, hormat kepada yang lebih tua,
mendengar nasihat
orang-tua, seorang kesatria sejati. Ia akan
berbahagia di
samping Sunan Ambu, hapuslah air
matamu."
Bagai angin sejuk, kata-kata ayahandanya
meredakan
gejolak dukacita Pangeran Muda. Hatinya
menjadi lega karena
sahabatnya tentu akan mendapatkan tempat
yang lebih baik
daripada di dunia ini. Walaupun demikian,
kesayuan tetap .
saja tidak meninggalkan hatinya. Seorang
sahabat telah
hilang, dan dengan kehilangan itu hidup
Pangeran Muda
mengalami perubahan. Hidupnya berubah sejak
kematian
Raden Jamu. Sedang setiap perubahan adalah
kehilangan,
kehilangan masa lalu yang tidak bisa dialami
tanpa kesayuan
dalam hatinya.
Selagi Pangeran Muda termenung, isak dan
jerit jadi ramai
kembali. Api dinyalakan oleh para pendeta,
bunga-bunga
terakhir ditaburkan ke atas jenazah, lalu
asap kayu samida
yang wangi memenuhi udara. Tak lama kemudian
api
berkobar-kobar, dan sahabatnya yang
terbaring itu pun
lenyaplah di balik lidah-lidah api yang
berwarna emas
kemerah-merahan.
BEBERAPA saat setelah upacara pembakaran
itu,
rombongan Pangeran Anggadipati telah berada
dalam
perjalanan pulang. Di depan rombongan, empat
orang gulanggulang
dengan membawa panji-panji melarikan kuda
mereka
dengan kecepatan sedang. Demikian pula, di
belakang
Pangeran Muda dan Ayahanda, bergerak empat
orang gulanggulang
di atas kuda masing-masing Di tengah-tengah,
Pangeran Muda dan Ayahanda memegang kendali
masingmasing
sambil berdiam diri. Kematian Radenjamu yang
masih
anak-anak itu masih memukau Pangeran Muda
dan
ayahandanya.
Setelah meninggalkan puri Uwanda Girilaya,
ayahanda
Raden Jamu yang malang, terbentanglah
padang-padang
terbuka. Di sana-sini tumbuh pohon di
tengah-tengah padangpadang
rumput, tempat beberapa gembala berjalan di
tengahtengah
beratus-ratus domba dan kambing mereka.
Sayupsayup
terdengar suara suling. Lepas padang-padang
itu,
terbentanglah perhumaan yang subur, dengan
ranggonranggon
tempat para petani mengawasi huma dan
menghalau
burung-burung atau memanah binatang-binatang
hama.
Setelah huma-huma ini, terbentanglah rimba
yang membatasi
wilayah kekuasaan Uwanda Girilaya dengan
wilayah ayahanda
Pangeran Anggadipati.
Ketika rombongan mulai memasuki jalan di
hutan itulah
Pangeran Muda tidak dapat menahan isi
hatinya, lalu bertanya
kepada Ayahanda, "Ayahanda, kecelakaan
apakah yang
dialami Jamu di Padepokan itu?"
Untuk beberapa lama ayahandanya tidak
memberikan
jawaban dan baru setelah menarik napas
panjang, beliau
berkata, "Barangkali engkau mendengar
anakku, bahwa Jamu
dikirim ke Padepokan Tajimalela untuk
dididik menjadi
puragabaya," ujar Pangeran Anggadipati.
"Apakah puragabaya itu, Ayahanda?"
tanya Pangeran Muda
sebelum ayahandanya melanjutkan penjelasan.
"Waktu kau kubawa menghadap sang Prabu
di Pakuan,
engkau melihat orang-orang yang berpakaian
serbaputih yang
duduk di belakang sang Prabu. Mereka itulah
puragabaya,"
jawab ayahandanya.
"Oh! Kalau begitu,Jamu dididik untuk
menjadi pendeta.
Tapi mengapakah pendidikan itu sampai
mencelakai Jamu?"
"Anakku," ujar Ayahanda. 'Jamu
tidak dididik untuk menjadi
pendeta, tetapi untuk menjadi puragabaya.
Memang, seorang
puragabaya dididik dalam bidang agama
seperti seorang
pendeta, akan tetapi ia pun dididik menjadi
prajurit yang
tangguh. Dalam latihan keprajuritan inilah
Jamu mendapatkan
kecelakaan yang menyebabkan
kematiannya."
'Jadi, orang-orang yang berpakaian putih di
belakang sang
Prabu itu bukan pendeta, tapi
prajurit-prajurit?" tanya
Pangeran Muda pula.
"Sukar bagiku untuk menjelaskannya
kepadamu. Mereka
adalah prajurit, tapi mereka pun adalah
pendeta. Engkau
terlalu muda untuk mengerti
penjelasan-penjelasanku,
anakku. Akan tetapi, baiklah kuterangkan
juga. Setiap
bangsawan, sekali di masa remajanya
bercita-cita untuk
menjadi puragabaya, karena kedudukan itu
merupakan
kehormatan yang sangat besar bagi dirinya
dan bagi
keluarganya. Akan tetapi, menjadi seorang
puragabaya
tidaklah mudah. Seorang puragabaya adalah
seorang pendeta
yang luhur budi, juga ia seorang pahlawan
yang pantang
menyerah dan tangguh. Menyatukan kedua watak
itu bukan
soal mudah. Itulah sebabnya mengapa
puragabaya sangat
dihormati."
"Apakah setiap orang dapat menjadi
puragabaya?"
"Sama sekali tidak," jawab
Ayahanda. "Jumlah seluruh
puragabaya tidak lebih dari empat ratus
orang, dan setiap
tahun disediakan calon-calon yang ditetapkan
untuk dididik.
Mereka hanyalah putra-putra bangsawan yang
tidak tercela,
dan umurnya berada antara empat belas dan
lima belas
tahun. Mereka akan dilatih mengenai
soal-soal rohani dan
jasmani, untuk kemudian setelah umur mereka
dua puluh lima
tahun, akan diserahkan kepada sang Prabu
untuk menjadi
pengawal beliau. Setelah umur mereka empat
puluh tahun,
mereka mengundurkan diri untuk jadi pelatih
calon-calon."
"Kalau begitu, Jamu meninggal karena
kecelakaan ketika
menjalani latihan," ujar Pangeran Muda.
"Ya," sambut ayahandanya,
"kadang-kadang setengah dari
jumlah calon-calon gagal mencapai
syarat-syarat pendidikan,
banyak di antara mereka yang gugur dalam
latihan-latihan,
seperti sahabatmu Jamu."
Mendengar penjelasan itu, Pangeran Muda
berdiam diri. Ia
mulai mengerti, mengapa keberangkatan
sahabatnya Raden
Jamu dahulu dirayakan secara besar-besaran
oleh Uwanda
Girilaya dan mengapa keluarga Uwanda
Girilaya begitu
bangga, bahkan Bibinda Mayang Sari pernah
berkata seolaholah
membesarkan hati Pangeran Muda, begini
katanya,
'Jangan kecil hati, Anom, walaupun tidak
menjadi puragabaya
seperti Radenjamu, kalau kau belajar
baik-baik mungkin kau
dapat menjadi menteri sang Prabu."
Sekarang Pangeran Muda baru mengerti bahwa
Raden
Jamu telah beruntung terpilih menjadi calon
puragabaya. Akan
tetapi, ia sekarang meninggal dalam
kecelakaan waktu
berlatih.
SEMENTARA Pangeran Muda termenung, rombongan
sudah
tiba di tanah lapang puri Anggadipati.
Trompet tiram
terdengar ditiup oleh penjaga di menara
benteng, pintu
gerbang pun terbukalah. Rombongan lewat di
bawah bayangbayang
benteng dan rakyat yang sedang sibuk di
lapangan
pasar menghentikan kegiatan mereka, berdiri
di tempat
masing-masing dan menghormati pangeran
mereka yang
datang.
Rombongan segera masuk melalui gerbang
istana. Di
lapangan depan pendapa beberapa
gulang-gulang mengeluelukan,
memegang kendali kuda Ayahanda dan kuda
Pangeran
Muda. Dari dalam pendapa berlarian
panakawan-panakawan
yang akan melayani Ayahanda dan Pangeran
Muda turun dari
kudanya masing-masing. Di antara mereka yang
mengeluelukan,
tampak dua orang asing. Yang seorang adalah
kesatria atau pendeta berpakaian serbaputih,
hanya ikat
pinggangnya saja berwarna emas. Yang seorang
lagi berbadan
pendek gempal seperti seorang petani,
berpakaian penggawa.
Orang asing itu berjalan ke arah Ayahanda
dan Pangeran
Muda sambil tersenyum.
Ketika Pangeran Muda mencuri pandang ke arah
wajah
Ayahanda dengan sudut mata, tampak tiba-tiba
wajah itu
menjadi pucat. Pangeran Muda keheranan dan berulang-ulang
mengalihkan pandangan kepada orang asing dan
kepada
Ayahanda. Siapakah orang asing itu dan
mengapa Ayahanda
tiba-tiba menjadi pucat?
Sementara itu, Ayahanda telah bersalaman
dengan tamu
yang berpakaian putih itu. Pangeran Muda pun
menghaturkan
salam kepada tamu yang memandangnya sambil
tersenyum.
Tamu itu memegang pundak Pangeran Muda dan
sambil mcnepuk-
nepuknya berkata, "Alangkah cepat kau
menjadi besar.
Tentu kau lupa lagi, enam tahun yang lalu.
Paman
berkunjung ke puri ini, lapi kau tentu saja
terlalu muda untuk
ingat kepadaku."
"Ingatkah kau kepada Pamanda
Rakean?" tanya Ayahanda,
suaranya terdengar agak gemetar dan lemah.
"Tidak, Ayahanda," jawab Pangeran
Muda, setelah tertegun
untuk beberapa lama.
"Pamanda Rakean datang dari Padepokan Tajimalela
...
Pamanda Rakean adalah seorang
puragabaya," lanjut
Ayahanda dengan suara lebih gemetar lagi.
"Dan ini Mang Ogel, panakawan Paman
yang akan jadi
panakawanmu, Anom," kata Pamanda Rakean
sambil
menunjuk pada penggawa yang berbadan pendek
dan gempal
itu. Orang yang bernama Mang Ogel tertawa
lebar sambil
memegang tangan Pangeran Muda. Alangkah
heran Pangeran
Muda ketika sadar bahwa tangan orang itu
sangat besar.
Begitu besar kedua tangan itu, hingga
Pangeran Muda teringat
akan kepiting. Ketika ia menyambut salam
Mang Ogel,
Pangeran Muda tidak merasa sedang
bersalaman. Kedua
tangan itu lebih menyerupai alat dari kayu
atau dari besi
daripada tangan manusia. Akan tetapi,
sebelum keheranan
Pangeran Muda habis, mereka sudah berada di
ruangan
tengah istana. Di sana Ibunda dan Ayunda
beserta emban
menunggu kedatangan mereka dan menyediakan
berbagai
macam santapan. Dari santapan yang
dihidangkan, sadarlah
Pangeran Muda bahwa Pamanda Rakean adalah
tamu yang
dipermuliakan.
Akan tetapi, perhatian Pangeran Muda segera
tertarik oleh
wajah Ibunda dan Ayunda Ringgit Sari serta
para emban.
Mereka tampak berdukacita dan tampak pula
berulang-ulang
memandang kepadanya. Apakah yang terjadi?
Apakah yang
menyebabkan perhatian tercurah kepadanya?
Ketika acara
bersantap itu berlangsung, suasana sangat
sunyi, sangat
tertekan. Selama itu hati Pangeran Muda
bertanya-tanya.
Kabar buruk apakah yang dibawa oleh tamu
yang aneh-aneh
itu?
Untung suasana yang menekan itu segera
berakhir.
Ayahanda, Ibunda, dan Pamanda Rakean
memasuki ruangan
tempat menerima tamu, sedang Pangeran Muda
masih terlalu
muda untuk berbicara dengan orang asing,
dipersilakan
istirahat.
PANGERAN Muda berjalan ke belakang ruangan,
melalui
lorong yang menuju ke kandang kuda. Seperu
biasa, sehabis
bepergian diurusnya kudanya sendiri dengan
bantuan
beberapa panakawan. Hal ini dilakukannya,
agar pergaulannya
dengan kudanya bertambah akrab dan agar
kudanya lebih
mengerti serta lebih menurut akan segala
perintahnya. Ketika
sampai di lapangan yang berdekatan dengan kandang
kuda
yang berderet-deret, tampak Mang Ogel sudah
ada di sana,
sedang mengurus kuda Pamanda Rakean dan
kudanya sendiri.
Begitu Pangeran Muda mendekat, Mang Ogel
berdiri sambil
tersenyum lebar.
"Yang mana kudamu, Anom?"
tanyanya.
"Yang gambir itu, Mang."
"Wah, alangkah tampan, sepadan dengan
penunggangnya!" katanya pula. "Eh,
maaf Anom," lanjutnya.
"Mang Ogel tidak bermaksud mengatakan
engkau seperti
kuda." Ia tertawa oleh perkataannya
sendiri. Tawanya begitu
mudah keluar dan begitu kekanak-kanakan, hingga
hati
Pangeran Muda yang berat menjadi ringan
karenanya.
"Anom, Mang Ogel perlu ladam kuda. Kuda
Pamanda
Rakean kakinya hampir telanjang," kata
Mang Ogel sambil
berjalan ke arah salah seekor kuda tamu yang
berbulu putih.
"Banyak, Mang Ogel," jawab Pangeran
Muda. Seorang
panakawan yang mendengar percakapan mereka
segera
berlari ke arah kandang kuda dan dalam
sekejap telah datang
dengan sebuah peti yang penuh berisi ladam
kuda yang masih
mengkilap.
"Bagus!" kata Mang Ogel,
"cepat sekali kau lari, engkau
akan menjadi pencuri yang baik,
hehehehehehe!" Ia berkata
sambil memandang kepada panakawan yang
mengambil peti
tadi. Kemudian, dengan diiringkan oleh
Pangeran Muda ia
berjalan menuju kuda putih. Sambil
berjongkok Mang Ogel
mengangkat salah satu kaki kuda itu, lalu
dengan tidak
disangka-sangka mencabut ladam yang sudah
aus, hanya
dengan mempergunakan telunjuk dan jempol
tangannya.
Pangeran Muda dengan kagum memandangi tangan
yang
besar-besar dan sangat kuat itu.
Akan tetapi, perbuatan Mang Ogel yang mengherankan
tidaklah hanya sampai di situ. Ia mengambil
beberapa ladam
dan mengukurkannya pada kaki kuda putih
tadi. Akan tetapi
ternyata, kebanyakan terlalu kecil atau
terlalu besar. Hanya
ada sebuah yang cukup besarnya, tetapi
bengkok. Dengan
mudah dan hanya dengan mempergunakan jari
telunjuk dan
jempol tangan kiri, dipijitnya ladam itu
hingga lurus.
Kemudian, diambilnya sejumlah paku dan
setelah dipasang
pada lubang-lubang ladam, dilekatkannya
ladam yang baru
pada telapak kaki kuda putih yang saat itu
telanjang.
Pangeran Muda menyangka Mang Ogel akan
mempergunakan
palu yang terletak dalam kotak, tetapi
sangkaan itu meleset.
Karena dengan mengherankan sekali, Mang Ogel
hanya
mempergunakan jari jempolnya yang
besar-besar untuk
menekan paku-paku hingga besi kaki itu
melekat dengan
patut.
"Nah, Bulan," katanya kepada kuda
itu, "kau tidak akan
berjalan pincang sekarang, kau punya alas
kaki baru dan
punya kawan baru yang masih muda ini."
Mang Ogel
meletakkan tangan kirinya yang besar di
pundak Pangeran
Muda.
"Bawalah Mang Ogel melihat-lihat
pemandangan di puri
Anggadipati yang termasyhur ini atau bawalah
berkunjung
pada pacarmu, kalau kau sudah punya,
hchehehehehe."
Percakapan orang itu aneh kedengarannya oleh
Pangeran
Muda, akan tetapi Pangeran Muda hanya tersenyum
saja.
Kemudian untuk menghormat tamunya itu,
Pangeran Muda
membawa Mang Ogel naik ke atas benteng untuk
melihat-lihat
pemandangan yang ada di sekitar puri
ayahandanya.
Mereka berdua berjalan di atas benteng
menuju salah
sebuah menaranya. Para gulang-gulang memberi
hormat
dengan berdiri tegak dan meletakkan tameng
di dada mereka.
Tidak berapa lama kemudian, mereka sudah
berada di salah
sebuah menara yang tinggi dan di hadapan
mereka
terbentanglah pemandangan yang indah.
Sejauh pemandangan, gunung-gunung dan
bukit-bukit
mendinding, berwarna biru, kelabu, dan
hijau. Setelah
gunung-gunung, terbentanglah hutan yang
disusul oleh huma
dan palawija penduduk. Di tengah-tengah huma
dan palawija,
ber-kelompok-kelompoklah pohon-pohonan,
seperti pulau
hijau di tengah-tengah ladang yang keemasan
sebelum musim
menuai. Di bawah kelompok-kelompok
pohon-pohonan itu,
walaupun tidak tampak, terdapat rumah-rumah
penduduk.
Kelompok-kelompok kampung ini dihubungkan
dengan jalanjalan
yang timbul-tenggelam di tengah-tengah lautan
padi dan
palawija. Jalan-jalan tampak hidup karena
pejalan dan pedati
sibuk bolak-balik di atasnya. Juga malam
hari, jalan-jalan ini
tidak pernali sunyi karena para prajurit dan
gulang-gulang
yang menjaga keamanan secara berombongan
memacu kuda
mereka dengan obor-obor menyala.
Di dekat puri itu sendiri, tidak jauh dari
dinding
bentengnya, mengalir sebuah sungai kecil
yang airnya jernih.
Melihat sungai itu, tiba-tiba ingatan
Pangeran Muda kembali
kepada sahabat karibnya yang baru saja
meninggal.
Kesedihan menusuk kembali hatinya. Kenangan
Pangeran
Muda membayangkan lagi betapa beberapa bulan
yang lalu
sahabatnya berkunjung dan mereka memancing
di sungai itu.
Segala keindahan yang terbentang di bawah
kaki pun
lenyaplah dari pandangannya.
"Anom, kau akan segera berubah dan
menjadi kakek-kakek
kecil kalau kau suka melamun,"
tiba-tiba didengarnya Mang
Ogel berkata. Pangeran Muda tersenyum dengan
gugup.
"Anom, perundingan rupanya sudah
selesai. Gulang-gulang
itu menyilakan kita untuk turun dan masuk ke
dalam istana
kembali," ujar Mang Ogel. Dengan agak
tergesa, mereka pun
menuruni benteng itu.
DI RUANG tengah istana duduklah ayahandanya.
Dengan
penuh rasa ingin tahu serta hati yang berat,
ia memandang ke
arah wajah ayahandanya yang sedih sayu itu.
Ruangan
menjadi tenang dan sunyi, Ayahanda menarik
napas panjang
lalu berkata, "Anakku, dengarkanlah
baik-baik. Suatu
kehormatan besar telah dianugerahkan sang
Prabu kepada
keluarga kita." Ayahanda menghentikan
bicara beliau dan
dengan susah payah mencari kata-kata yang
melekat pada
ujung lidahnya. Setelah beberapa lama
hening, sementara
beliau memandangi permadani yang terbentang
di
hadapannya, berkata pulalah beliau,
"Anakku, di antara
berpuluh-puluh calon, engkau telah terpilih
menjadi calon
puragabaya. Ini adalah kehormatan yang
sebesar-besarnya
bagi keluarga kita. Pada tempatnya kita
bersyukur kepada
Sunan Ambu dan Sang Hiang Tunggal,"
setelah berkata
demikian, kembali Ayahanda berdiam diri.
Pangeran Muda baru pertama kali mengalami
peristiwa
yang menyebabkan ayahandanya tampak berada
dalam
kesusahan dan dukacita, padahal peristiwa
itu membawa
kebaikan bagi keluarga. Ini membingungkan
Pangeran Muda,
sehingga ia bertanya.
"Ayahanda, mengapa hamba yang dipilih
menjadi calon?"
tanyanya.
'Anakku, tidakkah kau senang dipilih menjadi
calon
Pengawal Pribadi sang Prabu?"
ayahandanya balik bertanya
dengan penasaran.
"Ayahanda, hamba tidak tahu. Hamba baru
saja mendengar
dari Ayahanda tentang puragabaya ini. Hamba
tidak tahu, apa
yang harus hamba kerjakan setelah menjadi
puragabaya."
"Anakku, kedudukan puragabaya adalah
kedudukan yang
mulia. Seorang puragabaya menyatukan sifat
kependetaan
dan kesatriaan dalam dirinya, di samping
itu, hanya
puragabayalah yang diperbolehkan mempelajari
ilmu yang
sangat berguna, tetapi juga sangat
berbahaya. Kedudukanmu
sebagai puragabaya—kalau Sang Hiang Tunggal
menghendaki—adalah kehormatan bagi keluarga
kita."
Sebagai seorang yang selalu berterus terang,
akhirnya
Pangeran Muda memberanikan diri bertanya,
"Kalau begitu,
mengapa Ayahanda, Ibunda, dan Ayunda
kelihatan bersedih
hati?"
Mendengar pertanyaan itu, tertegunlah
ayahandanya
sejenak. Kemudian dengan senyum sayu beliau
berkata,
"Anakku, engkau anak yang berbakat.
Seluruh keluarga sudah
sependapat, bahwa engkaulah yang bisa
diharapkan akan
mencapai kedudukan menteri kerajaan di kelak
kemudian hari.
Itulah sebabnya semenjak kecil kau telah
kami ajari berbagai
ilmu tentang kenegaraan. Sekarang kau
terpilih menjadi calon
puragabaya. Itu berarti bahwa kau tidak
dapat lagi mencapai
kedudukan menteri kerajaan, dan bahkan
soal-soal yang
berhubungan dengan kenegaraan dan kekuasaan
ditabukan
bagimu."
"Ayahanda, apakah kedudukan seorang
puragabaya lebih
kurang terhormat dari kedudukan seorang
menteri?"
"Sama sekali tidak, anakku," ujar
Ayahandanya, "yang
menyedihkan kami adalah bahwa kau tidak
boleh lagi
menyentuh ilmu kenegaraan yang sangat cocok
bagi bakatmu
itu."
"Mengapa ditabukan bagi hamba ilmu
kenegaraan itu?"
"Anakku, seorang puragabaya akan
diajari ilmu perang
yang luar biasa ampuhnya, hingga ia tidak
diperbolehkan
mempelajari ilmu kenegaraan," jawab
ayahandanya.
"Mengapa tidak boleh, Ayahanda?"
"Anakku, kalau seorang puragabaya tahu
akan ilmu
kenegaraan, maka mungkin sekali ia pada
suatu kali.ingin
menjadi orang berkuasa dan memerintah. Ini
akan berbahaya
sekali. Kalau seorang puragabaya menjadi
menteri, misalnya,
itu berarti bahwa pada dirinya bersatu dua
kekuatan, yaitu
kekuasaan seorang menteri dan keperkasaan
seorang
puragabaya. Kekuasaan dan kekuatan lahiriah
ini tidak boleh
bersatu, karena akan berbahaya. Seandainya
puragabaya
yang menjadi menteri itu baik, akan
beruntunglah negara dan
bangsa kita.
Sebaliknya kalau puragabaya itu meninggalkan
asas-asas
ke-satriaan dan kcpcndetaan, akan sukar bagi
rakyat Pajajaran
untuk menggantikannya, karena puragabaya
memiliki
keperkasaan yang sangat ampuh itu. Itulah
sebabnya, anakku,
kau akan dilarang menyentuh ilmu kenegaraan,
bahkan segala
kenangan akan ilmu itu akan dihapus dari
pikiranmu sedang
daun-daun lontar yang berisi
catatan-catatanmu akan dibakar
bersamanya."
"Ayahanda, bukankah tidak rugi bagi
hamba untuk
meninggalkan ilmu kenegaraan dan mendapat
ilmu
keperkasaan?" tanya Pangeran Muda yang
mulai gembira
karena penasaran tentang ilmu yang akan
dipelajarinya.
"Tentu saja tidak, anakku. Seorang puragabaya
dihormati
seperti seorang menteri, bahkan lebih,"
jawab ayahandanya,
akan tetapi wajah beliau tetap juga muram.
Pangeran Muda
termenung karena masih merasa heran mengapa
orangtuanya
kelihatan tetap murung. Tiba-tiba Pangeran
Muda ingat
kembali kepada Raden Jamu. Bersama dengan
datangnya
ingatan itu datang pula kata-kata pertanyaan
di ujung
lidahnya.
"Ayahanda, apakah pencalonan hamba ini
dilakukan
sebagai pengganti Jamu?"
Dengan berat hati ayahanda Pangeran
Anggadipati
menjawab, "Ya, anakku."
Sekarang mengertilah Pangeran Muda, mengapa
orangtuanya
begitu bermuram durja. Pangeran Muda dapat
memahami kecemasan mereka. Bukankah pagi itu
seorang
calon puragabaya dibakar dalam upacara
kematian?
"Ayahanda apakah untuk menjadi
puragabaya, hamba akan
menghadapi latihan-latihan yang sangat
berbahaya?"
"Ya, anakku," kata ayahandanya
dengan suara berat.
"Hamba akan sangat berhati-hati,
Ayahanda, percayalah."
"Engkau selalu hati-hati dan saksama,
anakku. Akan tetapi,
dengarlah nasihatku. Engkau akan diharuskan
hidup
sederhana, tinggal di tengah hutan
belantara, menghadapi
latihan-latihan yang taruhannya nyawamu
sendiri. Lebih dari
itu, sewaktu-waktu mungkin engkau
dikembalikan kepadaku
karena kesalahan-kesalahanmu. Itu akan
merupakan kehinaan
bagi keluarga kita, lebih buruk daripada
kematian. Itulah
sebabnya mengapa kami bersedih dan cemas. Di
samping itu,
engkau masih sangat muda, umurmu empat belas
tahun
kurang dua minggu. Ayahanda sudah
menyampaikan hal itu
kepada Pamanda Rakean, akan tetapi beliau
tetap memintamu
untuk pergi."
"Ayahanda, hamba selalu berhati-hati,
dan hamba tidak
mungkin melanggar perintah-perintah hingga
harus"dikeluarkan
dari Padepokan Tajimalela."
"Ayahanda percaya kepadamu. Dengarlah
nasihatku,
ikutilah segala perintah sang Resi beserta
para pembantunya,
jagalah dirimu baik-baik. Tabahlah
menghadapi segala
gemblengan, dan ingatlah selalu kehormatan
keluarga kita.
Sering-seringlah mengirim kabar kepada kami
di sini karena
jarang sekali engkau akan diizinkan
pulang."
"Baiklah, Ayahanda."
Mereka berpandangan sejenak, kemudian
ayahandanya
tersenyum dan mengajak Pangeran Muda ke
ruang lain,
tempat isi istana menjamu tamu-tamu dari
Padepokan
Tajimalela untuk bersantap bersama.
Bab 2
Perjalanan
Keesokan harinya, ketika kabut masih memutihkan
bukitbukit
di sekeliling puri, dan ketika daun-daunan
serta bungabunga
masih berat digayuti titik-titik embun,
Pangeran Muda
sudah siap dengan pakaian perjalanan. Ketika
itu, di pendapa
tidak banyak yang hadir. Ibunda membetulkan
kancingkancing
dan kelepak baju Pangeran Muda, Ayunda
Ringgit Sari
memeriksa perbekalan berupa makanan dan
pakaian,
sedangkan Ayahanda memerintah beberapa
gu-lang-gulang
dan panakawan untuk memeriksa pakaian kuda.
"Segalanya sudah siap, Pangeran,"
seorang gulang-gu-lang
melaporkan kepada ayahandanya.
Mendengar itu, Pamanda Rakean berjalan ke
arah
Ayahanda dan sambil mengulurkan tangan untuk
bersalaman
berkata, "Hamba akan berusaha mewakili
Pangeran dan Gusti
Putri dalam melindungi dan menyayangi Anom.
Janganlah
terlalu dicemaskan."
"Kami menitipkan kepadamu,. Pamanda
Rakean: Dan juga
kepadamu, Mang Ogel."
"Patuhilah segala perintah Pamanda
Rakean dan segala
ilmu yang diberikan kepadamu terimalah
dengan sebaikTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
baiknya," demikian ujar Ibunda sambil
membetulkan rambut
Pangeran Muda yang tergerai di pundaknya.
"Kinantan telah berkokok, sebentar lagi
burung-burung
akan saling membangunkan, fajar akan
mengemaskan langit
di sebelah timur," kata Pamanda Rakean
sambil berpaling ke
arah timur. "Lebih cepat kami
berangkat, lebih baik, agar di
saat hari panas kami dapat mencapai
hutan."
Setelah berkata demikian, Pamanda Rakean
melangkah.
Pangeran Muda menyembah Ayahanda dan Ibunda
serta
Ayunda Ringgit Sari. Dengan sudut matanya
terlihat
bagaimana Ibunda dan Ayunda menyusut mata
masingmasing.
Aneh, dua butir airmata memaksa melompat
melintasi
kelopak mata Pangeran Muda.
"Siaplah, anakku, ingatlah apa-apa yang
kupesankan
kepadamu," ujar Ayahanda sambil
menepuk-nepuk
pundaknya. Tangan itu dipegang dan dicium
oleh Pangeran
Muda, kemudian tanpa berpaling kepada
orang-orang yang
disayangi dan dihormatinya itu, Pangeran
Muda berlari ke arah
Pamanda Rakean dan Mang Ogel yang menunggu
di halaman
pendapa sambil memegang kendali kuda
masing-masing.
Pangeran Muda melompat ke atas punggung
kuda, lalu
setelah melambaikan tangan menepuknya ke
arah gerbang,
diikuti oleh Pamanda Rakean dan Mang Ogel.
Dalamsekejap
mereka sudah berada di luar puri dan memacu
kuda masingmasing
dijalan yang melintasi padang-padang. Beberapa
saat
kemudian, Pangeran Muda menahan kendalinya,
diikuti oleh
kedua kawannya. Pangeran Muda berpaling ke
arah puri,
sebuah benteng yang menara-menaranya mulai
dicelup emas
fajar. Perasaan sayu tergugah dalam hadnya,
tetapi segera
ditekan, dan dengan'teriakan dihalaunya
kudanya untuk
melanjutkan perjalanan.
SEPANJANG subuh mereka melarikan kuda dengan
kecepatan sedang, baru setelah matahari
hangat memanasi
punggung, mereka mengekang kendali dan
memberi minum
kuda-kuda mereka di sebuah sungai kecil yang
mengalir dalam
semak-semak
"Anom, pakaian kuda itu terlalu bagus,
bisa mengundang
perampok-perampok," kata Mang Ogel
sambil memerhatikan
pakaian kuda Pangeran Muda yang dihiasi
dengan perak,
emas, dan bulu-bulu merak.
"Tapi ini pakaian kuda saya sehari-hari,
Mang Ogel."
"Lebih baik dijadikan pakaian
semalam-malam, apalagi
kalau terang bulan, ketika kau mengunjungi
seorang putri
cantik, hehehehe."
"Ogel, pakaian Anom juga terlalu bagus,
bagaimana kalau
diganti dengan pakaian penggawa saja?"
Pamanda Rakean
bertanya. Baru ketika itu Pangeran Muda
sadar bahwa
Pamanda Rakean sudah berpakaian serbahitam
seperti
seorang penggawa.
"Baiklah, Pamanda," jawab Pangeran
Muda, sambil
membuka kantong tempat menyimpan pakaian.
Setelah
pakaian hijau muda yang bersulam emas dan
perak diganti
dengan pakaian hitam, mereka pun mulai
menaiki kuda,
kemudian perjalanan dilanjutkan kembali.
Akan tetapi,
Pamanda Rakean masih berulang-ulang melirik
ke arah
Pangeran Muda, hingga Pangeran Muda
berulang-ulang
memeriksa pakaiannya.
"Ogel," kata Pamanda Rakean pada
suatu ketika,
"walaupun Anom sudah berpakaian hitam,
setiap orang
dengan mudah dapat menerka bahwa ia seorang
bangsawan
tinggi. Bagaimana kalau pakaian kudanya
diganti?" sambil
bertanya demikian, Pamanda Rakean yang
berjalan paling
depan menahan kendali, maka mereka pun
berhentilah. Mang
Ogel turun, lalu berjalan mendekati Pangeran
Muda,
meliriknya sebentar.
"Memang sukar untuk menyembunyikan
kebangsawananmu, Anom. Setiap helai rambutmu
menunjukkan bahwa Anom seorang bangsawan. Yang
paling
sukar disembunyikan adalah cahaya matamu.
Apa boleh buat,
pakaian kudamu akan Mang Ogel balik."
Sungguhpun tidak mengerti mengapa kedua
orang tua itu
berusaha menyembunyikan tanda-tanda
kebangsawanan-nya,
Pangeran Muda turun juga dari punggung kudanya.
Mang
Ogel dengan susah payah mematut-matut
pakaian kuda yang
harus dibalikkan. Setelah selesai, ia
mundur, lalu memandang
kuda itu dari jauh.
"Wah, tapi kudanya pun terlalu bagus,
setiap orang tahu
bahwa kuda setampan ini hanya dimiliki oleh seorang
bangsawan atau orang yang kaya sekali. Di
samping itu,
kantong-kantong yang kaubawa terlalu besar,
Anom!" kata
Mang Ogel.
Karena kepenasaran yang tidak tertahan lagi,
akhirnya
bertanyalah Pangeran Muda.
"Mang Ogel, apakah sebabnya
kebangsawanan saya harus
disembunyikan?"
Mang Ogel tidak menjawab, melainkan
memandang ke
arah Pamanda Rakean. Pamanda Rakean, setelah
ragu-ragu
menjelaskan, "Anom, kebangsawananmu
tidaklah menjadi
persoalan benar. Yang menjadi soal adalah
sangkaan orang
bahwa kita membawa harta. Kudamu yang
tampan, pakaian
kudamu yang mewah, dan tampangmu, yang tidak
dapat
disembunyikan kebangsawanannya membuat orang
sukar
untuk tidak menduga bahwa rombongan kita
bukan
rombongan orang-orang penting yang membawa
banyak
uang. Ini akan menyusahkan kita."
'Apakah daerah yang akan kita lewati tidak
aman?"
Pangeran Muda bertanya karena sekarang
persoalan sudah
menjadi lebih jelas baginya.
"Soalnya kita akan melalui hutan-hutan
yang berbatasan
dengan wilayah kerajaan lain. Di
daerah-daerah perbatasan ini
biasanya keamanan kurang terjamin.
Sungguhpun begitu,
tidak usah takut! Akan tetapi, tidaklah pula
berarti kita harus
mencari kesukaran. Itulah sebabnya
tanda-tanda yang
memperlihatkan bahwa kau orang penting dan
kita banyak
membawa banyak perlengkapan harus
disembunyikan,"
demikian penjelasan Pamanda Rakean.
Mendengar penjelasan itu, teringatlah
Pangeran Muda pada
kantong kecil yang berisi uang emas,
hadiah-hadiah yang
berupa senjata-senjata kecil, kotak lontar
yang indah yang
berisi syair-syair dan barang-barang kecil
lain yang
disayanginya. Di samping itu, Pangeran Muda
sadar, bahwa si
Gambir kuda kesayangannya adalah seekor kuda
yang sangat
tampan dan kuat. Dapat dimengerti pula kalau
setiap orang
ingin memilikinya, dan dapat dimengerti pula
kalau Pamanda
Rakean merasa cemas karena kuda itu.
"Sebenarnya, saya dapat membawa kuda
yang lain,
Pamanda," ujar Pangeran Muda kepada
Pamanda Rakean.
'Jangan khawatir. Pamanda kurang teliti pagi
tadi. Dalam
gelap tidak Pamanda lihat bahwa kudamu begitu
indah. Tapi
janganlah khawatir," sambungnya pula,
kemudian ia mulai
meloncat kembali ke atas punggung kudanya.
Mereka pun
mulai memacu kuda masing-masing dan
melarikannya dengan
kecepatan tinggi.
Setelah melalui beberapa padang terbuka yang
ditumbuhi
semak-semak dan setelah dangau-dangau petani
tidak tampak
lagi, rombongan pun masuklah ke daerah yang
berhutan.
Burung-burung beterbangan terkejut oleh
suara kaki kuda,
demikian pula kijang menghambur ketakutan,
binatangbinatang
liar lainnya menerpa menerobos semak-semak.
Suasana hutan selalu menggairahkan Pangeran
Muda.
Burung-burung yang berteriak atau kijang
yang melesat
melintasi jalan kecil di dalam hutan itu
menyebabkan
Pangeran Muda meraba perangkat panah yang
terikat di
belakang pelana kudanya. Demikianlah, mata
Pangeran Muda
nyalang mengawasi hutan-hutan kiri-kanan
jalan, melihat
binatang-binatang liar yang kebetulan sedang
berada di dekat
jalan itu.
Pada suatu tempat Pangeran Muda melihat
suatu makhluk
yang menyerupai monyet, tetapi badannya terlalu
besar untuk
seekor monyet. Makhluk itu hanya selintas
saja tertangkap
oleh pandangan matanya, tetapi cukup jelas
bahwa makhluk
itu menyerupai monyet. Karena penasaran,
Pangeran Muda
melambatkan lari kudanya, tetapi Mang Ogel
yang berlari di
belakangnya segera melecutnya dari belakang.
Pangeran
Muda mengerti bahwa perjalanan tidak boleh
berlambatlambat
dengan alasan-alasan yang tidak penting
seperti itu.
"Pacu kudamu, Anom!" seru Mang
Ogel. Ketika Pangeran
Muda melecut kudanya dan melihat ke depan,
tampak
Pamanda Rakean pun memacu kudanya bagaikan
terbang.
Alangkah senangnya perasaan Pangeran Muda
ketika mereka
berlomba-lomba melecut kuda masing-masing.
Pada suatu ketika telinga Pangeran Muda
mendengar
desingan, seperti suara anak panah, tetapi
hal itu tidak
dipedulikannya benar. Kemudian, suara
desingan itu beberapa
kali didengarnya pula. Walaupun rasa
penasaran hampir
menyebabkannya menahan kendali, Mang Ogel
yang
melarikan kudanya tidak jauh di belakang
terus-menerus
membunyi-bunyikan pecut, hingga si Gambir
yang ketakutan
melonjak-lonjak mengejar kuda Pamanda
Rakean.
Di suatu tempat di jalan itu, Pangeran Muda
melihat rangka
sebuah tandu. Melihat rangka tandu yang
tampak belum lama
ditinggalkan orang, timbullah berbagai
pertanyaan dalam hati
Pangeran Muda. Akan tetapi,
pertanyaan-pertanyaan itu hanya
selintas saja mengganggu pikirannya karena
tidak lama
kemudian, rombongan sudah keluar dari daerah
hutan yang
lebat dan memasuki padang bersemak-semak
kembali.
Dengan tidak disadari, hari sudah menuju senja.
Oleh karena
itu, kuda harus terus dipacu agar mereka
tidak kema-laman di
tengah-tengah perjalanan.
Makin lama, jalan makin lebar dan oleh
karena itu, mereka
dapat berjalan berdampingan.
"Kita akan bermalam di kampung
terdekat. Walaupun hari
masih siang, kita tidak akan dapat
melanjutkan perjalanan,
karena kalau memaksakan diri berarti kita
akan kemalaman di
hutan yang akan datang," demikian
keterangan Pamanda
Rakean.
"Kita harus cepat-cepat mencapai
kampung itu, karena
mereka akan segera menutup kandangjaga,
segera setelah
hari terlalu gelap bagi orang-orang kampung
untuk dapat
mengenali wajah kita," ujar Mang Ogel.
"Kita akan sampai dalam sekejap."
Baru saja selesai
berkata demikian, Pamanda Rakean menunjukkan
tangannya
ke depan dan di hadapan mereka tampaklah
kampung itu,
yang dari jauh tampak berupa dinding dari
pagar yang sangat
tinggi, terbuat dari kayu-kayu besar yang
runcing di
puncaknya. Di salah satu tempat di dinding
itu, terbuka
lawang kori dengan kandang jaga menjulang di
atasnya.
Begitu mereka mendekati lawang kori,
keluarlah beberapa
orang bersenjata menyilangkan tombak mereka.
"Saya Rakean, dari Padepokan
Tajimalela, lurah kalian
kenal kepadaku," seru Pamanda Rakean
seraya turun dari
pelana kudanya.
"Oh, ya, saya kenal kepada
Juragan," kata kepala penjaga.
"Silakan masuk," sambungnya.
Rombongan pun masuk,
diantar oleh salah seorang penjaga, menuju
pendapa
kelurahan. Lurah yang kebetulan sedang ada
di tempatnya
datang mengelu-elukan rombongan.
'Juragan memotong jalan?" tanya Lurah
keheranan. "Kami
membawa Pangeran Anggadipati, Pangeran Muda
harus
segera tiba di Padepokan agar tidak
ketinggalan belajar," kata
Pamanda Rakean.
Lurah men mbah pada Pangeran Muda, kemudian
berkata
kembali dengan membelalakkan mata,
"Tapi hutan itu sangat
berbahaya, udakkah Juragan mendapat
gangguan?"
"Mereka melepaskan anak-anak panah pada
kami, tapi
kuda kami cukup cepat larinya. Jalan
memotong tidak dapat
dihindarkan karena Pangeran Muda harus
segera tiba di
Padepokan."
"Syukurlah saat-saat yang berbahaya
telah lewat dan
rombongan tidak kurang suatu apa. Sekarang,
silakan
bersantap dan beristirahat," kata lurah
itu. Rombongan pun
bergerak memasuki ruangan.
KEESOKAN harinya subuh-subuh, mereka
berangkat lagi.
Ketika mereka berhenti di sebuah kampung
kecil, suatu
peristiwa yang tidak disangka-sangka
terjadi.
Kampung yang hanya terdiri dari beberapa
rumah itu
tampaknya kosong sewaktu mereka tiba.
Pintu-pintu dipalang.
Pamanda Rakean menghentikan rombongan untuk
memberi
kesempatan pada kuda mereka untuk istirahat
dan minum
tertegun sejenak. Ia berjalan lagi ke arah
kudanya dan sambil
melihat berkeliling, memberi isyarat kepada
Mang Ogel dan
Pangeran Muda untuk melanjutkan perjalanan.
Mereka
menepuk kuda masing-masing, rombongan pun
berjalan
kembali. Akan tetapi, beberapa langkah
sebelum mencapai
lawang kori di sebelah barat, tiba-tiba daun
pintu lawang kori
itu ditutup oleh orang yang tidak kelihatan.
Pamanda Rakean
menahan kembali kudanya, lalu membalik,
diikuti oleh kedua
anggota rombongan yang lain. Mereka melecut kuda
ke arah
lawang kori tempat mereka masuk sebelumnya.
Akan tetapi,
ternyata lawang kori ini pun sudah tertutup
sekarang. Mereka
masuk perangkap!
Melihat gelagat demikian, Pamanda Rakean
memberi
isyarat agar semua berhenti dan turun dari
kuda, kecuali
Pangeran Muda. Mang Ogel dan Pamanda Rakean
berdiri di
tanah lapang kecil yang berada di depan
rumah paling besar
sambil mengawasi rumah-rumah yang ada di
sekeliling
mereka.
"Kami tahu kalian ada di balik
pintu-pintu itu.
Laksanakanlah maksud kalian agar kami dapat
pergi dengan
segera dari tempat ini!" seru Pamanda
Rakean.
Seruan Pamanda Rakean berkumandang memantul
ke
tebing bukit-bukit yang ada di sekeliling
kampung itu.
Bertepatan dengan sunyinya kembali suasana,
terbukalah
pintu rumah
terbesar yang menghadap ke tanah lapang itu.
Enam
orang laki-laki berpakaian hitam-hitam,
berselendang sarung
biru dan bertutup kepala barangbangsmplak,
turun. Firasat
Pangeran Muda langsung berkata bahwa mereka
bukanlah
orang baik-baik.
Yang berjalan paling depan dan tampaknya
menjadi
pemimpin mereka, berbadan tinggi besar.
Orang ini
memperlihatkan bekas luka di pundak dekat
leher dan di
jidatnya. Rambutnya yang agak
kemerah-merahan tidak disisir
dan meliar saja di kuduknya. Yang lain
tampak sekali gaya
pakaian serta gerak-geriknya mencontoh sang
pemimpin ini.
Mereka semua bersenjata, diselipkan pada
bagian depan ikat
pinggang yang terbuat dari kulit binatang
atau kain kasar yang
lebar. Seorang di antara mereka membawa gada
kecil terbuat
dari perunggu yang diputar-putar sambil
melangkah.
Begitu mereka berada beberapa langkah lagi
di hadapan
Pamanda Rakean dan Mang Ogel, sang pemimpin
berkata
sambil tersenyum simpul, "Menyesal
sekali kami harus
menghambat perjalanan Saudara-saudara. Kami
tahu
Saudara-saudara sangat tergesa-gesa, tetapi
karena kami
perlu untuk membeli barang-barang dari
Saudara, terpaksa
kami menghentikan perjalanan
Saudara-saudara."
"Kami bukan pedagang," ujar
Pamanda Rakean. "Tapi
Saudara membawa begitu banyak barang,"
kata sang
pemimpin sambil menunjuk ke arah
kantong-kantong besar
pada kuda Pangeran Muda dan kuda Mang Ogel,
seraya
tersenyum simpul.
"Itu perbekalan untuk kebutuhan kami
sendiri," jawab
Pamanda Rakean.
'Juragan, mujur benar, kami sudah lama tidak
memiliki
bekal lagi. Kami sudah hampir kelaparan,"
kata sang
pemimpin.
"Itu bukan makanan, bukan juga
uang," kata Pamanda
Rakean.
Sementara tukar-menukar kata ini dilakukan,
kelima orang
laki-laki lainnya mulai berjalan
mengelilingi rombongan.
Kecemasan mulai menggetarkan hati Pangeran
Muda melihat
gerak-gerik mereka yang culas itu.
"Kalau uang emas lebih baik lagi,"
kata sang pemimpin.
"Jangan coba-coba mengganggu kami, atau
kalian akan
menyesali perbuatan kalian," kata
Pamanda Rakean.
"ApaJuragan sangka jagabaya dari ibu
kota akan sampai ke
daerah ini?" tanya sang pemimpin sambil
tetap tersenyum.
"Kami tidak memerlukan jagabaya yang
menyusahkan
kalian," kata Pamanda Rakean.
Mendengar perkataan Pamanda Rakean itu,
tampak sang
pemimpin dan kawan-kawan agak keheranan.
"Apakah Juragan menganggap diri Juragan
sendiri dapat
menyusahkan kami, heh?" tanya sang
pemimpin mulai kesal.
Kawan-kawannya yang lain mulai
memperiihatkan sikap
mengancam. Sementara itu, dari lawang kori
sebelah timur
dan barat datang dua orang lain yang dalam
pakaian dan
gayanya jelas termasuk gerombolan yang
sedang mengepung
rombongan
Pangeran Muda.
"Saya peringatkan lagi agar
Saudara-saudara tidak
mengganggu kami. Biarkanlah kami
meninggalkan tempat ini
karena kalau kalian ganggu, kalian tidak
akan mendapatkan
keuntungan apa-apa," ujar Pamanda
Rakean dengan tenang.
Ketenangan Pamanda Rakean tidak membantu
menenangkan
jantung Pangeran Muda yang gedebak-gedebur.
"Kalau begitu, tinggalkanlah semua
perbekalan Juragan,
juga kuda yang ditunggangi anak itu. Kami
tidak akan
mengganggu atau memperlambat perjalanan
Juragan," kata
sang pemimpin. Mendengar perkataan
pemimpinnya, salah
seorang anggota gerombolan itu berjalan ke
arah kuda
Pangeran Muda. Akan tetapi, Mang Ogel segera
pula
melangkah menghadangnya. Orang itu keheranan
dan
membelalakkan matanya. Mang Ogel berlagak
tidak acuh.
Orang itu meludah ke pasir, menunjukkan
penghinaan. Tibatiba
Mang Ogel bersenandung,
Seja nyaba ngalalana
Ngilung lentur ngajajah
Milangan kori
Belum selesai senandung Mang Ogel, tiba-tiba
anggota
gerombolan yang ada di depannya melayangkan
tinjunya ke
arah muka Mang Ogel. Seperti menangkap
sebuah benda dari
udara, Mang Ogel membukakan jari-jari
tangannya yang
besar-besar seperti jari-jari kepiting itu
dan dalam sekejap,
seluruh tinju orang itu sudah lenyap dalam kepalannya.
Mang
Ogel memandang wajah orang itu yang mulai
berwarna
merah, kemudian pucat memperlihatkan
kemarahan dan
kesakitan sekaligus. Tiba-tiba orang itu
menjerit kesakitan.
Kawan-kawannya terkejut dan melihat ke
arahnya. "Ogel,
lepaskan," ujar Pamanda Rakean.
"Saya cuma memegang,
Juragan. Orang itu ternyata tidak dapat
mengendalikan
tangannya sendiri," ujar Mang Ogel
sambil melepaskan tangan
yang ada dalam kepalannya. Begitu tangan itu
dilepaskan dari
dalam cengkeraman jari-jarinya, jatuhlah
orang itu terduduk,
lalu dengan mengerang-ngerang memegang
tangan kanannya
yang jari-jarinya sudah tidak terletak pada
tempatnya semula.
Melihat gelagat itu, mendenguslah pemimpin
gerombolan
itu.
'Jahanam! Ajar dia!"
Dua orang anggota gerombolan yang lain
melangkah ke
arah Mang Ogel yang bersikap tak acuh.
Dengan serentak
kedua orang itu menyerbu, dari kanan dan
kiri panakawan itu.
Mang Ogel cuma mengulurkan kedua tangan dan
membukakan jari-jarinya yang besar. Dua buah
sepitan
kepiting yang besar itu menangkap dua pergelangan
penyerang, lalu menjepitnya.
Kedua orang itu mula-mula menggeliat-geliat,
kemudian
dari kening mereka keluarlah titik-titik
keringat dingin.
Kejadian itu disusul dengan erangan dan
jeritan.
'Jangan, Ogel!" seru Pamanda Rakean.
Lalu, kepada
pimpinan gerombolan itu Pamanda Rakean
berkata, "Jangan
ganggu kami, biarlah kami pergi."
Akan tetapi, pimpinan gerombolan itu dengan
marah
meludah, lalu memberi isyarat agar
kawan-kawannya yang
lain menyerang. Dia sendiri melangkah hendak
memukul
Pamanda Rakean, tetapi entah apa yang
terjadi, dengan suatu
gerakan kecil dari Pamanda Rakean ke arah
ketiak orang itu,
membekulah tampaknya tangan orang itu,
teracung di udara.
Sementara wajah orang itu memperlihatkan
rasa terkejut dan
kesakitan bercampur dengan kemarahan yang
terpendam.
Selagi Pangeran Muda memerhatikan kejadian
itu, tidak
disangka-sangka seorang di antara gerombolan
itu menolakkannya
dari atas punggung kuda. Pangeran Muda
terjatuh dan
kendali kuda ditangkap oleh orang yang
mendorongnya itu.
Sekejap Pamanda Rakean sudah berada di depan
orang itu,
lalu memukul pundaknya. Orang itu terhenyak,
kemudian
seperti sebuah karung yang kurang isi, jatuh
meluncur.
Dengan jatuhnya orang itu dan dua orang yang
dipegang oleh
Mang Ogel, tinggal tiga orang lagi di antara
anggota
gerombolan itu yang selamat. Mereka
mula-mula memandang
kejadian-kejadian itu dengan keheranan,
kemudian ketakutan,
akhirnya kaki mereka membawa mereka lari ke
segala arah.
Akan tetapi, dari rumah-rumah keluarlah
beberapa orang
laki-laki dengan senjata mereka
masing-masing, dari palangpalang
pintu sampai golok-golok. Melihat itu,
gemetar dan
pucatlah mereka, lalu mengacungkan tangan
tanda menyerah,
bahkan ada yang duduk menyembah-nyembah.
'Jangan disiksa!" seru Pamanda Rakean
kepada rakyat yang
keluar dari rumah mereka masing-masing
dengan berbagai
jenis senjata itu.
"Tapi mereka ini perampok,
Juragan," kata salah seorang
rakyat yang bertindak sebagai pemimpin.
"Bunuh saja. Mereka menempeleng dan
menyepak kepala
kampung yang sudah tua! Bunuh!"
"Boleh saja, tetapi kalian harus
bertanggungjawab pada
Kerajaan," ujar Pamanda Rakean.
Mendengar perkataan itu,
rakyat penduduk kampung itu hening.
Sementara itu, dari
berbagai arah bermunculanlah anak-anak,
kemudian diikuti
oleh perempuan dan orang-orang tua. Semuanya
hening dan
memerhatikan gerombolan yang sudah menyerah
itu.
"Saudara-saudara," seru Pamanda
Rakean, "orang-orang ini
memang bukan orang-orang baik. Mereka
bermaksud jahat
kepada kami dan menurut pendengaran saya,
juga pernah
berbuat jahat kepada kalian."
"Mereka merebut ayam-ayam kami!"
"Mereka memeras kami!"
"Kepala kampung yang tua itu
disepaknya!"
"Kami dipaksa untuk tinggal di rumah
ketika mereka
hendak merampok Juragan!" demikian
rakyat berseru ingarbingar.
"Baiklah!" seru Pamanda Rakean.
"Orang-orang ini perlu
dihukum!"
"Gantung! Bunuh! Lemparkan ke dalam
jurang!" rakyat
berseru-seru sambil mengacungkan senjata
masing-masing.
Akan tetapi, mereka tidak berani mengganggu
anggotaanggota
gerombolan yang duduk di dekat kaki Pamanda
Rakean dan Mang Ogel.
"Tidak, yang berhak menetapkan hukuman
bukan kalian,
tapi wakil kerajaan di Kutabarang. Sekarang
sediakan sebuah
pedati dan tambang yang kuat, kita angkut
orang-orang ini ke
asrama jagabaya terdekat," seru Pamanda
Rakean.
Rupanya rakyat mengerti apa yang dimaksud
oleh
Pamanda Rakean karena tak lama kemudian
sebuah pedati
yang ditarik oleh seekor kerbau sudah
tersedia, demikian juga
tambang-tambang besar.
"Ikat mereka," kata Pamanda
Rakean. Rakyat pun mulai
mengikat orang-orang yang tak luput dari
sepakan dan
tempelengan mereka itu.
"Kau potong ayamku berapa ekor? Tiga
ekor?" sambil
berkata demikian, dipukulnya muka
orang-orang itu oleh
rakyat yang kehilangan ayamnya itu. Yang
lain dengan senang
membantu pula memukuli orang-orang itu,
hingga Mang Ogel
dan Pamanda Rakean terpaksa mencegahnya.
Setelah ketujuh orang itu diikat dan
dinaikkan ke atas
pedati yang juga mengangkut lima orang
rakyat dengan
seorang kusir, berangkatlah pula rombongan
Pangeran Muda
diikuti oleh pedati itu. Tidak lama kemudian,
tibalah mereka di
asrama jagabaya terdekat. Di sana Pamanda
Rakean dengan
bantuan rakyat menerangkan segala hal
seperlunya kepada
kepala jagabaya itu.
"Juragan, perampok-perampok ini justru
sedang kami caricari.
Sudah banyak kampung diganggunya. Terakhir
korban
jatuh. Suatu rombongan dengan sebuah tandu
besar mereka
rampok di Hutan Sancang. Barang-barang
mereka rampas,
tiga orang luka, dan seorang terbunuh,"
kata kepala jagabaya.
"Mereka mencoba memanah kami ketika
kami melewati
Hutan Sancang, tetapi semua anak panah
meleset. Sunan
Ambu masih melindungi kami," jawab
Pamanda Rakean.
Mendengar penjelasan Pamanda Rakean itu,
teringatlah
Pangeran Muda pada saat-saat mereka memacu
kuda di hutan
lebat. Pangeran Muda mendengar desing anak
panah. Di
samping itu dilihatnya pula makhluk-makhluk
yang semula
disangkanya sebangsa monyet. Sekarang
jelaslah bagi
Pangeran Muda bahwa makhluk-makhluk itu
tidaklah lain
kecuali orang-orang jahat ini.
Setelah penjelasan diberikan dan orang-orang
jahat itu
terjamin dalam penguasaan jagabaya,
pamitanlah Pamanda
Rakean. Sebelum mereka melanjutkan
perjalanan, rakyat yang
ikut rombongan dengan naik pedati
mengucapkan terima
kasih berulang-ulang. Melihat kegembiraan
rakyat dan rasa
terima kasih mereka yang tulus, terharulah
hati Pangeran
Muda. Disadarinya bahwa kegembiraan tidak
hanya ada dalam
perlombaan memacu kuda, memanah, atau
berburu binatang,
tetapi dalam perbuatan yang memberikan
kegembiraan
kepada orang lain, terutama kepada rakyat
yang
membutuhkan. Dalam merenungkan hal itu,
teringatlah
Pangeran Muda kepada Ayahanda yang sebagai
kepala
wilayah kerajaan yang luas tak
bosan-bosannya berbuat
segala sesuatu bagi kesejahteraan anak
negeri yang menjadi
rakyat beliau. Mengertilah sekarang Pangeran
Muda bahwa
ketekunan dan kerajinan Ayahanda tidaklah
hanya karena
beliau takut pada sang Prabu yang menjadi
majikan beliau,
tetapi karena dengan bekerja bagi anak
negeri, ada hadiah
yang tersembunyi, yaitu kegembiraan karena
telah dapat
menolong rakyat itu.
"Anom, mari, kita sudah
terlambat," tiba-tiba Mang Ogel
berkata sambil menyentuh kuda Pangeran Muda.
Rombongan
pun berangkatlah, diiringkan oleh ucapan
selamat jalan dari
rakyat dan para jagabaya.
KUDA Pamanda Rakean berjalan paling depan,
di tengahtengah
berjalanlah Pangeran Muda, diiringkan Mang
Ogel.
Mereka melewati padang-padang yang terbuka,
bekas-bekas
huma yang ditinggalkan untuk sementara oleh
penduduk.
Suasana hening, hanya kadang-kadang saja
sayup-sayup
terdengar bunyi burung-burung dari hutan
sebelah kiri kanan
jalan yang melintas di tengah padang itu.
Sementara itu,
bunyi ladam kuda berdepuk-depuk di atas
tanah yang kadangkadang
berbatu-batu.
Keheningan alam dan depak-depuk suara ladam
kuda yang
tunggal nada mendorong Pangeran Muda untuk
merenungkan
apa-apa yang baru saja terjadi. Tujuh orang
perampok dengan
mudah dilumpuhkan kedua kawan
seperjalanannya itu. Hati
Pangeran Muda penuh dengan kekaguman dan
penasaran.
Ingin sekali Pangeran Muda mendapat
keteranganketerangan,
bagaimana kemampuan kedua orang tua yang
mengawalnya didapat.
Kebetulan, ketika jalan mereka menjadi
lebar, Mang Ogel
mempercepat kudanya, hingga mereka
berdampingan.
"Mang Ogel, apakah setiap anggota
puragabaya ilmu
berkelahinya setinggi ilmu Pamanda
Rakean?"
"Wah, Mang Ogel juga bukan puragabaya
tapi dapat tiga.
Pamanda Rakean cuma dapat satu," jawab
Mang Ogel sambil
tersenyum lebar.
"Mang Ogel mempergunakan seluruh
jarinya, sampai
berkeringat pula. Pamanda Rakean hanya
mempergunakan ibu
jarinya dan kepala perampok itu tidak bisa
bergerak lagi," ujar
Pangeran Muda.
"Hahahahaha, pintar sekali Anom
membandingkan orang.
Baiklah, Mang Ogel memang kalah. Tapi apa
yang kau
tanyakan tadi?"
"Apakah setiap puragabaya dapat
berkelahi seperti
Pamanda Rakean?"
"Banyak yang lebih pandai berkelahi
daripada Pamanda
Rakean. Pangeran Rangga Wesi, Rangga Malela,
Geger Malela,
dan beberapa orang lagi yang sangat tinggi
kepandaiannya.
Akan tetapi, Pamanda Rakcanlah di antaranya
yang pandai
mengajar, hingga Gusti Resi menahan Pamanda
Rakean di
Padepokan. Yang pandai-pandai lainnya sudah
berada di
Pakuan Pajajaran," kala Mang Ogel,
penjelasannya agak
melantur.
"Saya sungguh-sungguh takut tadi,
Mang," sambung
Pangeran Muda.
"Jangan takut, Pamanda Rakean tidak
akan cukup kenyang
menghadapi orang-orang itu. Mang Ogel sendiri
masih bisa
menelan empat lima orang lagi kalau masih
ada sisa, hehehe."
"Mang Ogel, apakah Mang Ogel suka
berkelahi?" tanya
Pangeran Muda.
"Hah?" tanya Mang Ogel seperti
keheranan, tetapi
kemudian ia tersenyum; lalu berkata pula,
"Tak ada orang
yang suka berkelahi, Anom, kecuali
orang-orang bodoh.
Berkelahi itu melelahkan kalau kita sedang
mujur. Kalau kita
sedang nahas, benjol-benjol dan babak
belurlah, hehehe "Jadi,
Mang Ogel tidak suka berkelahi?"
"Wah, kami diperintah menghindarkan
setiap perkelahian.
Bahkan setiap habis ada perkelahian di mana
kami terlibat,
kami tidak luput dari pertanyaan-pertanyaan.
Banyak calon
puragabaya yang lepas dari Padepokan karena
berkelahi tanpa
alasan yang dapat diterima, hehehe."
Mendengar penjelasan tadi, bingunglah
Pangeran Muda.
Akan tetapi, tidak disambungnya
pertanyaan-pertanyaannya.
Terkenang kembali olehnya, bagaimana Pamanda
Rakean
berusaha menghindarkan perkelahian dengan
perampokperampok
itu. Sungguh aneh bagi Pangeran Muda, orang
yang
setangkas dan sepandai Pamanda Rakean
berlaku seperti
pengecut ketika perampok-perampok itu
memancing-mancing
perkelahian. Seandainya, Pangeran Muda
mendapat hinaan
seperti itu, ia akan mengamuk. Tentu saja
kalau Pangeran
Muda sudah berilmu seperti Pamanda Rakean.
Bagaimanapun juga, rasa penasaran Pangeran
Muda belum
lagi terjawab. Sementara itu, perjalanan
dilanjutkan dengan
kuda-kuda dilarikan dalam kecepatan biasa.
KETIKA padang-padang habis, rombongan pun
tibalah di
tepi hutan lebat. Pamanda Rakean
menghentikan kudanya,
lalu berkata, "Anom, kita akan melalui
jalan-jalan yang
berbahaya, banyak jurang yang curam,
peganglah kendali
teguh-teguh."
"Baik, Pamanda," sahut Pangeran
Muda. Perjalanan pun
dilanjutkan kembali.
Apa yang dikatakan oleh Pamanda Rakean
segera terbukti.
Rombongan ternyata harus berjalan di
punggung sebuah bukit
yang sempit, kanan kirinya diapit oleh
jurang-jurang yang
dasarnya tak tampak karena lebatnya hutan:
Karena jalan
sangat berbahaya, mereka turun dari kuda.
Oleh karena itu,
perjalanan jadi lambat sekali.
"Ogel, kalau tidak ada halangan, kita
dapat melewati Hutan
Kiara sebelum senja. Kalau terlambat, kita
harus bermalam di
Padang Saliara."
"Kita dapat memberikan penjelasan
kepada Gusti Resi,"
ujar Mang Ogel.
"Soalnya bukan bagaimana kita akan
memberikan
penjelasan, tetapi Anom ini akan terlalu
banyak ketinggalan
dari calon-calon lain," jawab Pamanda
Rakean sambil terus
meraba-raba tanah dan kerikil-kerikil dengan
kakinya yang
ber-sandalkan kulit itu.
Tiba-tiba Pangeran Muda mendengar teriakan
Mang Ogel
dan suara benda berat yang jatuh. Ternyata
kuda Mang Ogel
terpeleset dan berguling di tebing yang
landai. Kuda itu
berguling dua kali, kemudian berdiri, tetapi
karena tebing itu
landai, kuda itu tidak dapat menahan dirinya
dan lari tersaruksaruk
ke dalam hutan yang ada di dasar jurang itu.
Sementara
Mang Ogel bangkit, lalu membersihkan
pakaiannya yang
penuh debu dan tanah.
"Sambal!" kutuknya sambil
memandang ke arah kudanya
yang berada jauh di bawah, di kaki bukit
berhutan itu.
"Untung jurangnya tidak curam. Ogel,
mestinya kau malu
oleh Anom yang walaupun masih muda, lebih
berhati-hati."
"Mestinya kaki kuda itu bermata,
hehehe," sambil berkata
demikian, Mang Ogel mulai menuruni tebing
bukit itu. Akan
tetapi, ternyata usaha itu sangat berat
baginya. Berulangulang
Mang Ogel terpeleset dan jatuh karena
ternyata tebing
bukit itu tc rdiri dari tanah kering yang
berbatu-batu. Melihat
itu, Pamanda Rakean berkata, "Anom,
peganglah kendali kuda
Pamanda."
"Baik, Pamanda," jawab Pangeran
Muda. Pamanda Rakean
menuruni bukit itu. Alangkah herannya
Pangeran Muda ketika
melihat, betapa mudahnya Pamanda Rakean
berjalan di atas
tanah yang gembur berbatu-batu itu. Berbeda
sekali dengan
apa yang diperlihatkan Mang Ogel.
Dalam waktu singkat, Pamanda Rakean sudah
berada di
pinggir hutan di dasar jurang, sementara
Mang Ogel masih
berusaha turun sambil memegang rumpun-rumpun
semak
kecil yang ada di dekatnya sebagai penahan
agar ia tidak
jatuh. Akan tetapi, ternyata kesukaran yang
paling besar
bukanlah usaha menuruni jurang itu. Usaha
menuntun kuda
kembali ke puncak bukit itu hampir tidak
mungkin dilakukan.
Setiap Pamanda Rakean dapat menarik kuda itu
ke suatu
tempat yang lebih tinggi, longsorlah kerikil
dan tanah yang
dipijak. Anehnya, Pamanda Rakean sendiri
tidak pernah jatuh
terseret. Ia malah menancap dengan teguhnya.
Kakinya
terkubur dalam tanah gembur itu.
Jangankan kuda itu yang badannya sangat
berat, Mang
Ogel sendiri, berulang-ulang terguling ke
bawah, ke arah
dasar jurang itu. Entah berapa kali dan
entah berapa lama
usaha kedua orang itu gagal. Akhirnya
Pamanda Rakean
mendaki, melompat-lompat setengah berlari,
dan tiba kembali
di puncak bukit yang memanjang itu. Setiba
di puncak bukit
dan sambil berdiri di samping Pangeran Muda,
orang tua itu
lalu termenung Kemudian, berjalanlah ia ke
arah sebuah batu
besar, lalu melonggarkan dan mengurai tali
yang tergantung
pada pinggangnya. Tali itu diikatkan pada
batu besar itu,
kemudian ujungnya yang lain dilemparkan ke
arah Mang Ogel
yang kemudian mengikatkan ke leher kudanya.
Setelah usaha
itu selesai, berserulah Pamanda Rakean,
"Ogel, nanti kudamu
tercekik. Ikatkan tali itu ke dadanya!"
Tanpa berkata sepatah pun Mang Ogel
melonggarkan
kembali tali itu dari leher kudanya,
kemudian melilitkannya ke
dada binatang itu.
"Jangan sehelai, belitkan dua atau
tiga!" seru Pamanda
Rakean pula. Mang Ogel menuruti perintah
itu. Setelah
selesai, mulailah Pamanda Rakean menarik
tali itu. Sementara
tangannya menarik, kedua kaki orang tua itu
terpancang
mantap pada tanah. Perlahan-lahan tali itu ditarik,
sementara
Mang Ogel berseru-seru memberi semangat pada
kudanya
yang berusaha mendaki mengikuti tarikan tali
dari atas.
Dengan susah payah dan setelah Pamanda
Rakean, Mang
Ogel, dan kudanya itu mandi keringat,
barulah kuda itu berdiri
kembali di atas puncak bukit yang memanjang
itu. Kemudian,
Pamanda Rakean memandang ke arah
bayang-bayangnya dan
berkata kepada Mang Ogel, "Ogel, kita
tidak dapat mencapai
tujuan pada waktu yang telah ditetapkan.
Kita harus menginap
di tengah padang."
"Wah, mungkin ikat pinggang kita perlu
dieratkan.
Persediaan makanan kita hanya cukup untuk
waktu yang
pendek," ujar Mang Ogel.
"Kalau begitu, kita harus tidur di
dalam rimba," jawab
Pamanda Rakean.
"Saya ragu-ragu, apakah para penghuni
rimba akan
mengizinkan," sambung Mang Ogel.
"Kalau begitu, kita harus memacu kuda
kita secepatcepatnya."
Pangeran Muda yang mendengarkan percakapan
kedua
orang itu dengan penuh perhatian terdorong
untuk bertanya,
"Tidakkah lebih baik kalau kita tidur
di padang?"
"Kita tidak akan dapat tidur, Anom.
Kuda-kuda kita akan
diserang harimau atau serigala. Kita dapat
memasang api
besar-besar, tetapi itu mungkin menyebabkan
kebakaran atau
menarik perhatian orang-orang jahat yang
kerjanya memang
mengambil keuntungan dari orang-orang yang
kemalaman,"
jawab Pamanda Rakean.
"Apakah kita akan tidur di dalam
rimba?" tanya Pangeran
Muda pula.
"Itu sama sekali tidak mungkin, Anom.
Malam hari rimba
menjadi dunia lain dan isi Kahiangan
membolehkan para
siluman menguasainya selama matahari tidak
hadir. Jadi, kita
benar-benar harus memacu kuda kita."
Sambil berkata
demikian, Pamanda Rakean membelai surai
kudanya,
menepuk-nepuknya, lalu memberi isyarat bahwa
saatnya
sudah tiba bagi mereka untuk melanjutkan
perjalanan.
Mula-mula kuda dilarikan biasa saja, dengan susunan
iringan biasa pula, yaitu Pamanda Rakean
paling depan diikuti
Pangeran Muda, terakhir Mang Ogel. Akan
tetapi, makin lama
Pamanda Rakean makin cepat melarikan
kudanya, hingga
kedua anggota rombongan lain terpaksa pula
melecut kuda
masing-masing. Maka rombongan pun
menderulah, lebih
menyerupai orang-orang yang sedang berlomba
daripada
orang yang sedang melakukan perjalanan.
Padang yang menjadi buah percakapan kedua
orang itu
pun tak lama kemudian tampaklah.
Sesayup-sayup mata
memandang ke segala arah, yang tampak
hanyalah padang
belaka. Lalang tumbuh bagai lautan,
sedangkan rumpunrumpun
semak dan pohon-pohon kecil menghijau di
sana-sini
seperti pulau-pulau; padang-padang lalang
yang muda dan
kekeringan, warnanya berganti-ganti dengan
padang rumput
yang subur menghidupi beribu-ribu margasatwa
liar. Berulangulang
Pangeran Muda melihat kelompok besar kijang,
banteng, kambing, kerbau hutan, dan kancil.
Beberapa kali
tampak pula binatang buas, babi-babi hutan
yang dengan
pongahnya tidak melarikan diri, tetapi
memandang
rombongan dengan siap siaga. Alangkah
gembiranya hati
Pangeran Muda dapat melalui padang yang luas
itu.
Dinikmatinya pemandangan yang hebat dan kaya
itu.
Mang Ogel yang melihat Pangeran Muda
berpaling ke
kanan dan ke kiri lalu berseru, "Inilah
surga para pemburu,
Anom. Inilah Padang Si Awat-awat, tempat
para guriang
berlatih mempergunakan panah-panah api!
Lihat, burung alapalap
sedang mengintai tikus yang berjuta-juta
banyaknya di
tepi rawa itu. Di sebelah selatan adalah
Rimba Larangan,
hanya para siluman dan para gurianglah yang
mengetahui,
apa yang ada di sana."
Sementara itu, bertiuplah angin.
Padang-padang rumput
dan padang-padang lalang itu pun
bergelombanglah,
sedangkan suara daun-daunan berdesau-desau
tertiup angin.
"Kita sedang berada di atas perahu dan
kerbau-kerbau liar
itu adalah ikan hiu, hehehe!" seru Mang
Ogel. Sementara itu,
kuda mereka melonjak-lonjak ke depan;
surainya berkibarkibar
menyibak-nyibak wajah penunggangnya
masing-masing.
Entah berapa lama mereka melarikan kuda demikian,
kemudian Pamanda Rakean melambatkan jalan
kudanya.
"Kita beri minum kuda dulu!"
serunya sambil
mengacungkan tangan. Tak lama kemudian,
mereka pun
turunlah di dekat sebuah kelompok
pohon-pohonan yang
hijau, pertanda tanah di sana subur berair.
Setelah beberapa saat mereka menuntun kuda
masingmasing
ke arah sumber air dan berjalan di bawah
kelompok
pohon-pohonan yang agak besar, tiba-tiba
Pamanda Rakean
berhenti. Pamanda Rakean berdiri, napasnya
berdengusdengus,
lalu segera berbalik.
"Ogel, ada ular besar!" katanya.
"Saya tidak membauinya
karena kita datang dari arah angin. Lindungi
Anom."
Mereka melangkah, tapi baru beberapa tindak,
terasa
semak-semak di sekeliling mereka bergerak
dan tiba-tiba
suatu bunyi terdengar. Ketika Pangeran Muda
berpaling,
tampak seekor ular besar membelit Pamanda
Rakean yang
sedang berusaha melepaskan diri dengan
pukulan-pukulan
tangan dan sepakan kaki. Akan tetapi, ular
itu begitu besar,
hingga akhirnya Pamanda Rakean jatuh
berguling-guling di
tanah. Pangeran Muda berteriak karena
terkejut. Kemudian,
dalam sekejap Mang Ogel melompat dan kedua
tangannya
yang besar-besar seperti sepitan kepiting
itu sudah
menangkap leher ular besar itu, kemudian
dalam sekejap
mata pula menatap ke arah kepala makhluk
yang
menyeramkan itu. Ditekannya sepitan
jari-jarinya yang besar
itu.
Ular itu sekarang berusaha melarikan diri.
Tubuhnya
menggeliat-geliat, ekornya memukul-mukul ke
sana-kemari.
Pamanda Rakean sudah dilupakannya, dan
sekarang berdiri
sambil mengangkat tangan kanannya.
"Hih!" seru Pamanda Rakean sambil
memukul ke arah
kepala ular itu. Remuklah kepala ular besar
itu, hilang bentuk
dan kehidupannya. Dalam sekejap, berhenti
pulalah gerakangerakan
tubuhnya dan Mang Ogel pun melepaskan kedua
tangannya yang besar-besar itu. Ternyata
leher ular itu sudah
menjadi kecil dan hampir putus oleh
cekikannya itu.
"Kita persembahkan sukma makhluk ini
kepada para
gudang penghuni padang ini," kata
Pamanda Rakean.
"Nyakseni," ujar Mang Ogel sambil
menyapu keringat yang
membasahi dahinya. Maka, pergilah mereka dan
berhenti di
mata air, tempat kuda-kuda melepaskan
dahaganya.
Sementara kuda-kuda itu minum
sepuas-puasnya, sambil
mengisi tempat air yang terbuat dari kulit
buah kukuk besar,
Mang Ogel berkata, "Wah,
sungguh-sungguh langkah kiri
perjalanan kita ini, Juragan Rakean. Kita
berangkat bukan
untuk mengantarkan pengantin, tapi malah
mengantarkan
jenazah Raden Jamu yang baik itu. Kemudian,
pelana kuda
saya yang masih baru dicuri orang di warung
itu. Dan perampok-
perampok yang tak tahu diri menyangka kita
rombongan
saudagar kaya. Sekarang ular lapar itu
hampir saja mendapat
makan siang seorang puragabaya, hehehe
"Seandainya kau Si Rawing, kau akan
mengatakan
perjalanan ini langkah kanan, Ogel,"
sahut Paman Rakean.
"Apa sebabnya, Juragan?"
"Si Rawing sangat senang makan daging
ular," jawab
Paman Rakean.
"Wah, kalaupun saya misalnya begitu tak
tahu diri hingga
mau makan daging ular, saya tidak akan
gembira. Habis ular
yang badannya hampir sebesar pohon kelapa
itu tidak
mungkin dapat saya habiskan dan saya tidak
sudi membawabawanya
ke Padepokan Tajimalela, seperti tukang
ngamen
yang tersesat hehehe,"
Sementara kedua orang tua itu
bercakap-cakap, Pangeran
Muda termenung, membayangkan kembali
pengalaman yang
baru saja dilaluinya. Terbayang oleh
Pangeran Muda
bagaimana Pamanda Rakean menghindarkan
serangan ular
besar itu dengan pukulan-pukulan dan
sepakan-sepakan yang
bertubi-tubi dan dalam kecepatan yang luar
biasa, hingga
ternyata ular itu rusak badannya. Meskipun
Mang Ogel tidak
datang menolong, ular itu tidak akan dapat
berbuat banyak.
Walaupun Pamanda Rakean terjatuh disebabkan
kakinya
memijak tubuh ular yang bergerak-gerak, ular
itu sebenarnya
sudah habis daya serang dan kebuasannya.
Dari pengalaman-pengalaman yang telah lalu,
makin
kagum juga Pangeran Muda kepada kedua orang
tua itu,
terutama kepada Pamanda Rakean sebagai
puragabaya.
Ketika mereka sudah melanjutkan perjalanan
kembali,
bertanyalah Pangeran Muda kepada Mang Ogel,
"Mang Ogel,
sebelum ular itu tampak, Pamanda Rakean
sudah tahu bahwa
ia ada di sana. Bagaimana Pamanda Rakean
bisa tahu?"
Mendengar pertanyaan itu, tertawalah Mang
Ogel terkekehkekeh.
Karena Pangeran Muda memandangnya dengan
wajah
yang sungguh-sungguh dan memperlihatkan
keingintahuan
yang keras, Mang Ogel berhenti tertawa dan
menjelaskan,
"Anom, Pamanda Rakean-mu itu seorang
puragabaya. Itu
berarti bahwa hatinya adalah hati seorang
pendeta,
sedangkan tubuhnya adalah tubuh seekor
binatang buas."
"Saya tidak mengerti Mang Ogel,"
ujar Pangeran Muda.
"Begini, Anom. Ketika Pamanda Rakean berumur
sepuluh
tahun, Eyangmu Resi Tajimalela mendidiknya
bersama anakTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
anak lain sebayanya. Hati Pamanda Rakean
dihaluskan dengan
ilmu-ilmu kebatinan, ilmu-ilmu agama suci,
sedangkan tubuh
Pamanda Rakean digembleng menjadi tubuh
seekor binatang
buas. Mata Pamanda Rakean diberi obat,
hingga dapat melihat
dengan terang betapapun gelapnya malam.
Hidung Paman
Rakean diberi obat pula, hingga seperti
seekor kijang, ia dapat
membaui manusia atau binatang dari jarak
yang sangat jauh,
kecuali kalau Pamanda Rakean tidak menentang
arah angin,
seperti waktu kita menuju mata air yang ada
ularnya itu.
Bahkan perasaan telapak tangan, telapak
kaki, dan seluruh
kulit Pamanda Rakean dilatih begitu rupa
hingga semuanya
seolah-olah memiliki pancaindra tambahan.
Sebuah bagian
tubuh Pamanda Rakean begitu halus sarafnya,
hingga tapak
kakinya, misalnya, dapat menghitung berapa
banyak kerikil
yang diinjaknya, demikian juga kulit
punggungnya akan tahu
berapa buah pisau yang tertuju
kepadanya."
Mendengar penjelasan itu, mata Pangeran Muda
terbuka
lebar-lebar penuh keheranan dan keraguan.
Apakah Mang
Ogel bersungguh-sungguh atau hanya
berkelakar saja karena
bersenda gurau adalah sifatnya? Demikian
pertanyaan
Pangeran Muda dalam hatinya.
Rupanya Mang Ogel sadar akan apa yang
terkandung
dalam hati Pangeran Muda, ia pun berkata
pula, "Kau sangka
Mang Ogel membual, Anom? Mari kita
buktikan." Sambil
berkata demikian, Mang Ogel mencabut
sebatang pohon kecil
yang besarnya kira-kira sebesar lengan
Pangeran Muda.
Kemudian, seperti memotong sebatang lidi,
jari-jarinya yang
besar mulai mematah-matahkan cabang-cabang
pohon kecil
itu.
Dalam sekejap, pohon itu sudah berubah
menjadi sebuah
tongkat atau sebuah tombak yang tidak
berparuh.
"Lihat," kata Mang Ogel sambil
memegang tongkat itu
seperti memegang sebuah tombak dan
mengarahkannya ke
punggung Pamanda Rakean yang melarikan
kudanya tidak
jauh di hadapan mereka. "Lihat, akan
saya tombak."
Meluncurlah tongkat itu dengan cepat menuju
punggung
Pamanda Rakean. Tapi, dengan sekilat
ternyata Pamanda
Rakean membalikkan badannya sementara tangan
kanan yang
tidak memegang kendali dengan sigap
menangkap tongkat itu
di tengah-tengah.
"Ogel, apa kau sudah gila?" kata
Paman Rakean sambil
melambatkan lari kudanya.
"Tapi anak muda ini tidak percaya
Juragan seorang
puragabaya," sahut Mang Ogel berbohong.
"Kalau kau lakukan itu sekali lagi,
kupindahkan mata kirimu
ke sebelah kanan, mata kananmu ke sebelah
kiri!" hardik
Pamanda Rakean sambil memecut kudanya.
Sementara itu
Pangeran Muda terbelalak saja melihat segala
kejadian itu.
KETIKA matahari tergelincir ke barat dan
hampir
menyentuh punggung gunung-gunung yang
rendah, mereka
masih berada di tengah padang yang luas itu.
Di hadapan
mereka hutan rimba yang lebat sekali
membentang hijau tua,
mendinding seperti sebuah benteng yang tak
mungkin
ditembus. Di atas mereka awan berarak-arak;
sebagian
berwarna putih, sebagian lagi berwarna emas
muda tersepuh
oleh sinar matahari yang mulai menjadi tua.
Pada suatu saat berhentilah Pamanda Rakean
yang
berjalan paling muka. Ia memandang
berkeliling, lalu
berpaling dar berkata kepada Mang Ogel,
"Kita tidur di
padang, Ogel. Kuda-kuda terpaksa kita
lindungi dengan pagar
dan api. Siap-siaplah kau dengan tanganmu
yang bengkak
itu," kata Pamanda Rakean.
Mendengar ejekan itu, Mang Ogel tersenyum
sambil
mengerling pada Pangeran Muda serta
memperiihatkan kedua
telapak dan jari-jari tangannya yang
besarnya luar biasa
hingga tidak wajar kelihatannya.
Setelah beberapa lama melarikan kuda
masing-masing,
berhentilah mereka di atas tanah yang agak
tinggi. Mereka
segera turun dari kuda masing-masing.
Pangeran Muda
melepaskan kantong-kantong besar yang
memberati
punggung kudanya, demikian juga Mang Ogel
dan Pamanda
Rakean. Setelah kuda-kuda dilepas dan
dibiarkan makan
rumput di tempat itu, pergilah Mang Ogel dan
Pamanda
Rakean ke arah padang yang ditumbuhi
semak-semak. Di
sana mereka mengumpulkan batang-batang yang
dipatahkan
dari pohon-pohonan yang agak besar, kemudian
dengan
mempergunakan golok atau tangannya Mang Ogel
mengubah
batang-batang dan cabang-cabang pohon itu
menjadi
tonggak-tonggak yang runcing kedua ujungnya.
Tonggaktonggak
itu kemudian ditancapkan di sekeliling tanah
yang
agak tinggi itu. Terbentuklah pagar yang
melingkar dengan
ujung atasnya tajam-tajam seperti mata
tombak. Akan tetapi,
pagar yang terdiri dari tonggak-longgak yang
tinggi itu
kemudian dikelilingi lagi oleh pagar-pagar
yang lebih rendah,
yang terbuat dari batang-batang bambu kecil
yang
diruncingkan atasnya. Selanjutnya, lapisan pagar
lain dipasang
pula, yang lebih rendah dan yang
atas-atasnya juga
diruncingkan. Di lapisan paling luar Mang
Ogel menyebarkan
batang-batang pohon-pohonan yang berduri.
Sementara itu,
Pamanda Rakean mengumpulkan kayu-kayu dan
daun-daunan
kering yang dibawa ke dalam daerah yang
sekarang terpagar.
Sementara mereka bekerja, matahari pun
tenggelamlah,
tinggal cahayanya yang penghabisan
memerahkan langit.
Kuda-kuda dibawa ke tengah-tengah tanah yang
dikelilingi
pagar, lalu ditambat pada tonggak-tonggak
besar yang
sengaja dipasang. Pangeran Muda tidak
mengerti, apa
alasannya hingga kuda-kuda harus ditambat,
setelah bidang
tanah yang sempit itu dipagar, tetapi hal
itu tidak ditanyakan
kepada Mang Ogel yang masih sibuk bekerja.
Setelah kudakuda
selesai ditambat, Mang Ogel menyiapkan
batang-batang
kayu kering dengan rumput-rumput yang juga
kering yang
akan dijadikannya sebagai bahan pembuat api.
Lalu ketiga
anggota rombongan itu pun mulailah
duduk-duduk sambil
membuka perbekalan mereka.
Api dinyalakan dari kayu-kayu kering dan
rumput-rumput
itu, dendeng-dendeng perbekalan dibakar,
kukuk tempat air
dikelilingkan. Setelah acara makan sore
selesai, berkatalah
Pamanda Rakean, "Anom, kau
sungguh-sungguh menjadi
pengembara kali ini karena kau tidak akan
dapat mandi."
"Tidak apa, Pamanda," ujar
Pangeran Muda.
Mereka pun mulai berbenah untuk dapat
istirahat dengan
senang malam itu. Mereka berbaring di tempat
terpisah-pisah
dekat pagar tonggak yang runcing-runcing.
Antara mereka
dengan tonggak-tonggak runcing dinyalakanlah
api unggun
yang apinya diatur begitu rupa, tidak
terlalu kecil, tetapi juga
tidak terlalu besar hingga dapat
menghabiskan persediaan
kayu-kayuan sebelum malam berakhir. Di
tempat yang paling
dalam, yaitu di pusat lingkaran itu
ditambatkanlah kuda-kuda.
Hal itu agak mengherankan Pangeran Muda yang
kemudian
berbisik pada Mang Ogel, "Mang Ogel,
mengapa kuda-kuda itu
disimpan di tengah-tengah sedang manusia
lebih pinggir?"
"Kalau kau takut kau dapat tidur dengan
kuda-kuda itu,
Anom, hehehe."
"Bukan begitu, Mang Ogel, tapi saya
merasa heran," ujar
Pangeran Muda.
'Anom, binatang-binatang buas itu, kecuali
ular, semuanya
takut akan manusia. Mereka tidak berani
menyerang manusia,
kecuali kalau mereka bodoh seperti ular itu
atau karena
mereka terlalu lapar. Akan tetapi, mereka
tidak pernah takut
pada binatang-binatang lain yang dapat
dimakannya. Harimau
kumbang atau harimau tutul tidak pernah
takut menyerang
kuda atau sapi yang tubuhnya kadang-kadang
empat kali lebih
besar, apalagi harimau lodaya yang
kadang-kadang besarnya
sama dengan kuda. Kalau kita tidak memagari
tempat ini,
mereka berani menerkam kuda-kuda kita,
walaupun ada api
unggun. Pernah suatu waktu Mang Ogel tidur
di padang
dengan api unggun besar-besar, ketika itu
Mang Ogel
membawa seekor burung tekukur dalam kurung.
Apakah yang
terjadi di tengah malam? Seekor harimau
tutul melompat di
antara dua buah api unggun dan menyambar
burung itu
dengan kurung-kurungnya. Bayangkan! Nah,
itulah sebabnya
kita pagari tempat ini, mula-mula dengan
duri, kemudian
dengan tonggak-tonggak bambu runcing yang
pendek, lalu
dengan tonggak-tonggak yang panjang dan
tinggi ini, disusul
dengan api unggun yang ditakuti oleh
binatang."
"Nah, sahabat-sahabat sudah
datang," tiba-tiba Pamanda
Rakean berkata. Pangeran Muda tidak mengerti
apa yang
dimaksudkan oleh Pamanda Rakean. Pangeran
Muda
memandang ke sekelilingnya tetapi tidak
melihat apa-apa.
Kuda-kuda gelisah dan mencoba melarikan diri
dari
tambatannya.
"Lihat," kata Mang Ogel, seraya
memegang tangan
Pangeran yang menunjuk ke suatu tempat di
dalam kelam.
Empat buah benda bulat yang kehijau-hijauan
warnanya
menyala tidak bergerak-gerak.
"Suami istri harimau lodaya, mereka mau
membeli kudakuda
kita, hehehe, tapi harganya terlalu mahal
dibandingkan
duri-duri, bambu-bambu runcing dan api
unggun ini. Mereka
masih sayang kalau harus menukar dengan
kulitnya, hehehe."
Sementara itu, kuda-kuda makin gelisah.
Mereka meringkik
dan mendengus-dengus perlahan. Tiba-tiba
geraman yang
rendah dan makin lama makin tinggi
terdengar, disambung
dengan aum yang keras sekali hingga seluruh
tempat itu
seolah-olah bergetar karenanya. Kuda-kuda
melonjak
ketakutan, menyepak-nyepak ingin melepaskan
diri.
"Ogel, ikat!" seru Pamanda Rakean.
"Wah, baru ditawar
murah sudah bersedia untuk dijual kuda-kuda
ini," kata Mang
Ogel seraya berdiri dan menguraikan
lingkaran tambang yang
tergantung di pinggangnya. Satu-satu
kaki-kaki kuda diikat
dan dihubungkan dengan tonggak besar tempat
menambatkannya. Ketika harimau-harimau itu
mengaum
untuk kedua kali dan selanjutnya, walaupun
ketakutan, kudakuda
itu tidak bisa bergerak terlalu banyak.
Makin larut malam, makin banyak pasangan
mata binatang
buas memandang ke arah mereka. Geraman
mereka pun
berulang-ulang terdengar. Kadang-kadang
terdengar salak
anjing hutan dari jauh, salak berpuluh-puluh
ekor anjing hutan
yang sedang berburu yang kadang-kadang
seperti suara angin
layaknya. Kadang-kadang terdengar pula
suara-suara binatang
yang tidak dikenal, bergema di tengah-tengah
padang yang
sangat luas.
Sementara itu, pasangan mata binatang buas
yang seperti
lentera-lentera hijau kekuning-kuningan
makin banyak juga
mengelilingi tempat mereka. Tiba-tiba
terdengar aum yang
sangat keras, hingga Pangeran Muda terlonjak
dari tempat
duduknya, di samping Mang Ogel yang
tangannya segera
melindungi Pangeran Muda.
"Raja mereka rupanya berkenan datang ke
sini hehehe.
Kita tamu terhormat rupanya, hehehe. Jangan
takut, Anom."
Sambil berkata begitu, tangan Mang Ogel
menunjuk ke suatu
arah dalam gelap. Di sana tampaklah sesosok
makhluk yang
sangat besar, hampir sebesar kuda Pangeran
Muda, hanya
lebih pendek. Dari kepala makhluk itu
menyalalah dua mata
yang kehijau-hijauan, besar, dan tidak
pernah berkedip.
"Ogel, besarkan api unggun itu,"
kata Pamanda Rakean.
"Wah, tapi kita akan kehabisan kayu
bakar sebelum pagi,
Juragan."
"Saya sudah kenal dengan yang seekor
ini, Ogel. Ia
binatang yang bodoh dan keras kepala. Siapa
tahu ia mau
nekat kalau cukup lapar. Ia tidak takut akan
manusia. Ia
sudah tahu bahwa anak-anak panah hanya
sekadar
melukainya. Ia pun tahu kulit manusia lebih
lembut dan
dagingnya lebih gurih. Besarkan api unggun
itu!"
Mang Ogel bangkit, entah oleh perintah
Pamanda Rakean
entah karena ia melihat sendiri bagaimana
raja dari segala
harimau itu mendekat dan tampak dengan jelas
di luar pagar,
di dalam cahaya api unggun yang makin
membesar. Binatang
yang menakutkan itu berdiri di sana dengan
mata yang tidak
berkedip, sementara binatang-binatang buas
lainnya menjauh,
seolah-olah memberi jalan kepada raja
mereka. Beberapa saat
kemudian, binatang itu mengais-ngais tanah
dengan kaki
depannya sambil menggeram dengan marahnya.
Beberapa
kali ia merangkak dan bersikap seperti
hendak melompat.
Akan tetapi, Mang Ogel sibuk menambah kayu
bakar dan
daun-daunan kering ke dalam api-api unggun
itu, hingga
akhirnya binatang buas itu membatalkan
maksudnya dan
cuma berdiri di sana beberapa lama, kemudian
mengaum
dengan kuatnya, hingga bumi gemetar dan
bukit-bukit serta
hutan-hutan mengembalikan gemanya. Setelah
itu, ia berbalik,
lalu melenggang ke dalam gelap sambil
bersungut-sungut
dengan geramannya yang rendah, tetapi
bergegar. Sementara
itu, binatang-binatang lain banyak pula yang
menghilang,
hanya beberapa pasang mata sekarang tinggal
dan tak hentihentinya
memandang ke arah kuda-kuda yang gemetar
ketakutan di tengah-tengah lingkaran itu.
"Anom, tidurlah," kata Pamanda
Rakean. "Baik, Pamanda,"
ujar Pangeran Muda, tetapi
pengalaman-pengalaman
sepanjang hari dan yang baru dihadapinya
menghalau
kelelahan serta kantuknya jauh-jauh.
"Kunjungan sang Raja sudah berakhir,
tinggal kita
bermimpi," kata Mang Ogel sambil
menebarkan rerumputan
kering yang dikumpulkannya sore tadi.
Rumputan yang kering
itu disebarkan di tiga tempat, yaitu di
tempat Pamanda
Rakean, Pangeran Muda, dan ia sendiri.
Kemudian setelah
menguap lebar-lebar, berbaringlah Mang Ogel
dan tak lama
kemudian dengkurnya pun terdengarlah hampir
menyerupai
geram harimau, hanya tidak menakutkan
kuda-kuda itu.
Pangeran Muda sendiri berbaring, tetapi
dengan mata
nyalang terbuka. Tampak oleh Pangeran Muda
bahwa
Pamanda Rakean masih duduk dan memandang ke
luar
lingkaran. Sementara itu, malam makin lama
makin hening,
hanya sayup-sayup saja kadang-kadang
terdengar salak
anjing hutan, aum harimau, dan suara
binatang lain yang
tidak dikenal.
Tiba-tiba malam menjadi hening sekali. Sepi
mencekam
dan pohon-pohon seolah membeku karena angin
tiba-tiba
berhenti. Bulu kuduk Pangeran Muda tiba-tiba
berdiri dan
seluruh anggota badannya menjadi dingin.
Sementara itu,
tampak Pamanda Rakean bangkit dan menyalakan
beberapa
benda wangi baunya. Apakah yang terjadi?
tanya Pangeran
Muda dalam hatinya yang kecut. Belum lagi
habis bertanya
demikian, tiba-tiba terdengarlah bunyi-bunyi
yang hebat dari
arah hutan yang membentang tidak jauh dari
tempat itu.
Suara gemuruh seolah-olah di hutan sedang
terjadi angin
puting beliung, teriakan-teriakan seperti
suara manusia atau
suara binatang terdengar menyayat sepi
malam, sementara
suara-suara seperti derak dahan-dahan yang
dipatahkan dan
batang-batang yang dibanting bergema. Akan
tetapi, anehnya
dari arah hutan itu tidak tampak ada suatu
hal yang terjadi.
Tidak ada gerakan-gerakan, tidak ada api
kebakaran, tidak
ada angin. Keanehan itu mencekam hati
Pangeran Muda
dengan keseraman yang baru dialaminya saat
itu.
Sementara Pangeran Muda membeku ketakutan,
terdengarlah Pamanda Rakean membaca doa-doa,
menyerunyeru
Sunan Ambu dan Sang Hiang Tunggal dan
mengutuk
siluman-siluman penghuni rimba, mengancam
dan
menghalaunya. Setelah beberapa lama,
heninglah kembali
malam itu. Pangeran Muda menarik napas panjang,
tetapi
tiba-tiba terhenyak kembali karena dari luar
lingkaran, tidak
jauh dari tempat mereka, tampaklah sepasang
cahaya merah.
Ketika Pangeran Muda menajamkan
pandangannya,
tampaklah dalam remang cahaya unggun itu
sesosok tubuh,
seperti tubuh manusia, tclapi dengan mata
yang bercahaya
merah. Apakah itu manusia atau binatang?
"Pergilah, hai
makhluk terkutuk ke tempatmu di Buana Larang
karena
sebentar lagi matahari akan muncul,
membakarmu dengan
apinya. Pergilah, karena kasih sayang Sunan
Ambu melindungi
manusia."
Terdengar doa Pamanda Rakean di dalam hening
itu, di
antara ringkik kuda yang ketakutan, di
tengah-tengah
gemerlap api unggun yang juga gemetar
seperti ketakutan.
Kemudian, terdengar suara ringkik, antara
tertawa dan
menangis dari arah makhluk itu, lalu tampak
bayangan itu
sempoyongan seperti orang tua atau orang
sakit, masuk ke
dalam kelam. Beberapa kali ringkik itu
terdengar, kemudian
malam sepi kembali dan Pangeran Muda baru
sadar kembali
keesokan paginya, ketika cahaya matahari
menusuk kelopak
mata.
Ketika mereka sudah berada di perjalanan
kembali', pada
suatu saat Pangeran Muda memberanikan diri
bertanya
kepada Pamanda Rakean tentang makhluk yang
berkunjung
malam itu. Pamanda Rakean seperti terkejut,
kemudian sambil
memandang ke dalam mata Pangeran Muda
berkata, "Anom,
barangkali Anom bermimpi tadi malam."
Pangeran Muda tidak diyakinkan oleh jawaban
itu, tetapi ia
tidak mendesak Pamanda Rakean untuk
memberikan
penjelasan lebih lanjut. Pangeran Muda
berdiam diri, sambil
memandangi tanah yang dilaluinya, yang penuh
dengan bekas
binatang-binatang buas yang simpang siur
malam sebelumnya
di dekat tempat mereka menginap.
Bab 3
Padepokan Tajimalela
Pada hari kelima, rombongan pun tiba di
Padepokan
Tajimalela yang menjadi tujuannya. Padepokan
ini terletak di
atas puncak sebuah gunung yang tinggi, di
dasar sebuah
kawah yang mati. Jalan ke tempat itu sukar
sekali ditempuh,
kecuali oleh mereka yang sudah mengetahui
celah-celah
jurang yang biasa dipergunakan. Bahkan
mereka yang sudah
hafal akan mendapat kesukaran, seandainya
mereka tidak
cukup tangkas. Sukarnya perjalanan itu
disengaja, sebagai
ujian pertama bagi calon-calon puragabaya
yang akan dilatih
di padepokan itu.
Padepokan itu sendiri terdiri dari sebuah
candi yang
terletak di tengah-tengah kawah mati, dengan
di sekelilingnya
terdapat bangunan-bangunan kecil lain
sebagai tempat
pemondokan atau tempat belajar para calon
puragabaya.
Penghuni Padepokan Tajimalela itu pun
tidaklah lebih dari dua
puluh lima orang. Selain lima belas orang
calon puragabaya
yang terdiri dari putra-putra bangsawan
Pajajaran, terdapat
tiga orang guru atau pelatih di bawah
pimpinan Eyang Resi
Tajimalela. Sisanya yang terdiri dari enam
orang adalah para
panakawan, pengurus senjata, juru masak, dan
badegabadega.
Ketika Pangeran Muda beserta rombongan tiba,
padepokan
sunyi senyap. Para calon puragabaya sedang
berlatih di dalam
hutan-hutan di sekeliling kawah mati itu,
sedang para
panakawan sedang melakukan pekerjaan mereka
masingmasing.
Hanya Eyang Resilah yang tampak mengelu-elukan
mereka didampingi oleh seorang panakawan.
"Selamat datang, Anom," kata Eyang
Resi ketika Pangeran
Muda menghaturkan sembah,
"mudah-mudahan engkau akan
senang tinggal di sini bersama
kawan-kawanmu."
"Hamba akan senang tinggal di sini,
Eyang, karena tidak
ada pilihan hamba selain mencintai kewajiban
sebagai seorang
bangsawan Pajajaran," ujar Pangeran
Muda, hafal akan
jawaban yang diajarkan oleh Ayahanda
kepadanya.
"Ayahanda Anggadipati adalah seorang
bangsawan sejati;
beliau tahu bagaimana mendidik
putranya," ujar Resi
Tajimalela sambil menepuk pundak Pangeran
Muda.
Kemudian, sang Resi yang sudah lanjut usia
dan berambut
putih itu berpaling pada Pamanda Rakean dan
berkata,
"Rakean, kelambatan dua hari akan
menyebabkan kau harus
bekerja keras agar Anom tidak terlalu
ketinggalan kawankawannya."
"Baik, Gusti Resi."
"Ogel, bawalah nanti Anom melihat-lihat
daerah padepokan
kalau Anom tidak terlalu lelah. Sekarang
istirahat dan
bersantaplah dahulu," ujar sang Resi.
Setelah berkata
demikian, Eyang Resi Tajimalela
menganggukkan kepala
sambil tersenyum kepada Pangeran Muda,
kemudian
melangkah ke dalam candi diiringi panakawan
beliau.
Pamanda Rakean memberikan kendali kuda
kepada
panakawan lain yang datang kepada mereka,
kemudian
mempersilakan Pangeran Muda untuk istirahat
di asrama
calon. Dengan diantar oleh Mang Ogel,
sampailah Pangeran
Muda di bangunan terbesar yang terdapat di
daerah
padepokan itu. Setelah masuk, Pangeran Muda
dibawa ke
dalam sebuah ruangan lain yang di dalamnya
terdapat dua
buah balai-balai, sebuah papan lebar yang
melekat ke dinding
kayu, di mana terletak peti-peti tempat
menyimpan daun-daun
lontar, pisau pangot untuk menulis, dawat di
bumbung logam,
peti tempat menyimpan pedang, badik,
kapak-kapak kecil,
hulu-hulu tombak, dan lain-lainnya.
"Ini balai-balai, Anom. Nanti Anom akan
berteman dengan
Raden Janur yang tidur di balai-balai
ini," kata Mang ()gel
sambil menunjuk ke balai-balai yang lain.
Setelah berganti pakaian, Pangeran Muda
keluar menuju
ruangan tempat bersantap, di mana Paman
Rakean telah
menunggu. Mereka maka i dengan tenang,
dilayani oleh Mang
Ogel yang kemudian ternyata bertindak
sebagai pembantu
khusus Pamanda Rakean.
"Siang ini kita akan melihat-lihat
daerah padepokan dan
tempat berlatih," kata Pamanda Rakean.
Segera setelah
selesai makan, mereka pun pergi mengelilingi
daerah luas
yang ter-m.isuk ke dalam Padepokan
Tajimalela.
Hampir segala bentuk dan sifat daerah yang
berbeda-beda
terdapat di padepokan yang luas itu.
Pertama, sebagai kawah
mati, padepokan memiliki jurang yang sangat
curam, yang
tebingnya terdiri dari batu-batu yang
runcing. Landasan kawah
mati itu, di mana terletak beberapa
bangunan, terdiri dari
gurun pasir luas yang pasirnya beraneka
ragam dan
permukaannya rata. Di seberang kawah, di
bagian puncak
gunung yang menjadi bibir kawah itu,
berserakanlah batubatu
besar kecil dalam berbagai bentuk dan warna,
dengan
besarnya yang berbeda-beda pula. Ada yang
sebesar rumah
dan ada pula yang hanya sebesar kepala.
Lebih rendah lagi
dan lebih jauh dari kawah, tumbuh
tanaman-tanaman kecil
yang batangnya keras, tersebar bagian
semak-semak di tanah
yang landai tidak, curam pun tidak. Setelah
itu, terbentanglah
hutan lebat yang ujungnya tidak kelihatan.
Di beberapa bagian
hutan ini ditemukan jurang-jurang yang menakutkan
curamnya, tebing-tebing cadas tempat
bersarang burungburung
buas seperti elang dan garuda. Agak lebih
rendah
terdapat sungai-sungai kecil yang mengalir
di dekat puncakpuncak
gunung; arusnya berjeram-jeram. Salah satu
dari
jeram ini jatuh pada tempat yang bulat dan
karena jatuh
miring di tepi cekungan yang bulat, air
membentuk ulakan
arus yang dahsyat, berputar dalam kecepatan
yang tinggi,
gemuruh bunyinya, sementara uap membubung ke
angkasa.
Beberapa saat melihat ulakan air itu,
pusinglah Pangeran
Muda.
"Itulah sebagian dari tempat Anom
berlatih nanti," ujar
Pamanda Rakean ketika mereka duduk-duduk di
tanah,
beristirahat seraya menikmati pemandangan
alam
pegunungan.
"Masih ada tempat latihan
lainnya?" tanya Pangeran Muda.
"Masih ada beberapa, Anom, sebagian
akan kita lihat nanti
sambil kembali ke padepokan. Akan tetapi,
perlu pula Anom
ketahui bahwa seluruh wilayah Pajajaran
dapat kita jadikan
tempat berlatih," sambung Pamanda
Rakean.
Tiba-tiba sadarlah Pangeran Muda bahwa
bentuk-bentuk
alam yang berbahaya itu dalam waktu dekat
akan menjadi
tempatnya berlatih. Terkenang di hatinya
akan Raden Jamu
yang sudah barang tentu mendapat kecelakaan
di salah satu
tempat itu. Dengan memberanikan diri,
bertanyalah Pangeran
Muda, "Pamanda, di manakah kawan saya
Jamu menemui
ajalnya?"
Pamanda Rakean terhenyak sebentar, lalu
berkata dengan
tenang, "Di lapangan dekat candi
itu."
"Di lapangan?" tanya Pangeran Muda
dengan keras karena
keheranan.
"Ya," ujar Paman Rakean.
"Ketika itu Pamanda Anapaken
mengajarkan bagaimana caranya menghindarkan
pukulan.
Salah seorang calon diajari bagaimana
caranya memukul,
Radenjamu kurang hati-hati, maka pukulan itu
mengenai
sasarannya dengan tidak sengaja. Kami
berusaha
menyelamatkan jiwanya, tetapi kesalahan
terlalu besar,
hingga kerusakan tubuh Radenjamu tidak dapat
lagi
diperbaiki. Jantungnya terpukul dengan tidak
sengaja, Anom,
sedang calon yang memukulnya adalah seorang
murid yang
baik. Radenjamu salah menghindar. Seharusnya
ke sebelah
kiri, ia menghindar ke sebelah kanan, menyambut
pukulan itu
dengan jantungnya."
Mendengar keterangan itu, terpukaulah
Pangeran Muda.
Sungguh salah sangkaannya Radenjamu
meninggal karena
kecelakaan biasa, oleh alam sendiri, seperti
jurang atau arus-
.nus sungai yang deras. Teringat pula
olehnya keterangan
Ayahanda bahwa seorang puragabaya memiliki
kepandaian
berkelahi yang sangat ampuh, sehingga dapat
dimengerti
kalau latihan-latihannya pun penuh dengan
bahaya. Di
samping itu, telah dibuktikan pula oleh
matanya sendiri,
bagaimana dengan sebuah jarinya Pamanda
Rakean dapat
melumpuhkan pemimpin rampok yang berbadan
tinggi besar
itu. Sementara ular besar itu dengan
pukulan-pukulan dan
sepakan-sepakannya, remuk-remuk hampir
terpotong.
"Anom, mari kita lihat tempat-tempat
latihan lain sebelum
kita pulang ke padepokan dan bertemu dengan
calon-calon
yang lain," kata Pamanda Rakean. Ketika
mereka bangkit dan
melangkah, datanglah dari dalam semak Mang
Ogel,
tangannya penuh dengan buah-buahan
besar-kecil yang
harum-harum dan merangsang selera. Mang Ogel
menyodorkan buah-buahan itu kepada Pamanda
Rakean.
Pangeran Muda mengambilnya, lalu
mencicipinya. Sambil
mencicipi buah-buahan itu, mereka berjalan
dan tibalah di
suatu jurang curam yang dasarnya sebagian
terdiri dari
sungai, sebagian lagi terdiri dari pasir, sebagian
lagi terdiri dari
batu-batu dan cadas-cadas. Di atas jurang
itu terbentanglah
tali-tali yang terbuat dari tambang-tambang
ijuk dan akar-akar
pohon.
"Untuk apakah tali-tali ini,
Pamanda?" tanya Pangeran
Muda.
"Ini adalah jembatan-jembatan yang pada
suatu kali harus
dapat dilalui dengan mudah oleh setiap
puragabaya," ujar
Pamanda Rakean.
"Guru yang baik tidak hanya
menerangkan, tapi memberi
contoh hehehe," kata Mang Ogel di
belakang mereka.
Pamanda Rakean tersenyum pahit, lalu
melangkah dan
mulai menyeberangi jurang itu dengan
berpijak pada tambang
ijuk. Di tengah-tengah jembatan tambang ijuk
itu Pamanda
Rakean berhenti, lalu berbalik dan dengan
enaknya melangkah
kembali hingga tambang ijuk itu naik-turun
oleh berat
badannya. Melihat hal itu, Pangeran Muda
cuma
membelalakkan mata. Teringat olehnya
bagaimana mudahnya
Pamanda Rakean menaiki tebing batu-batu dan
tanah gembur
ketika kuda Mang Ogel terpeleset, padahal
Mang Ogel begitu
susah untuk mendaki kembali.
"Ogel, ada pintalan yang terbuka, kalau
dibiarkan dapat
berbahaya," kata Pamanda Rakean segera
setelah kakinya
memijaki tanah kembali.
"Sebelah mana, Juragan?"
"Carilah sendiri," jawab Pamanda
Rakean. Dengan tidak
diduga, Mang Ogel melangkah ke arah jembatan
ijuk itu. Akan
tetapi, bukannya memijaknya, Mang Ogel
mempergunakan
tangannya. Dan seperti monyet, ia bergantung
dan bergerak
dengan mempergunakan tangannya yang besar
itu.
Sementara bergantung dan berayun-ayun,
diraba-rabanya
pintalan yang terbuka itu. Walaupun
perbuatan Mang Ogel ini
lucu, bagi Pangeran Muda tidak kurang
mengagumkannya
daripada perbuatan Pamanda Rakean.
"Ini dia!" seru Mang Ogel ketika
ia berada di tengah-tengah
jembatan ijuk itu. Sambil berkata demikian,
ditunjuknya salah
satu pintalannya yang memang terbuka
celahnya. Dengan ibu
jari dan telunjuk, dipintalnya kembali
tambang ijuk yang besar
itu dan dalam sekejap sudah tidak dapat lagi
dibedakan
dengan pintalan lain yang masih baik.
Setelah itu, berayunayun
kembalilah Mang Ogel, seperti seekor lutung
besar
menyeberangi tambang.
Dari tempat jembatan-jembatan itu. berjalan
pulalah
mereka bertiga. Di suatu tempat berdirilah
iima tiang besar
yang tinggi-tinggi dan licin-licin.
"Anom, nanti Anom akan mencintai
tiang-tiang ini, seperti
juga para puragabaya yang meninggalkan
padepokan selalu
terkenang kepadanya," kata Pamanda
Rakean.
"Untuk apa ini, Pamanda?"
"Untuk perlombaan," jawab Mang
Ogel tanpa diminta.
Sebelum diminta, Pamanda Rakean tiba-tiba
pula memanjati
tiang-tiang yang licin dan tinggi dengan
sigap, seperti seekor
bajing memanjat pohon pinang, cepat dan
mantap. Mang Ogel
tidak mau kalah, dipanjatnya salah sebuah
tiang lainnya,
tetapi dengan cara yang berbeda. Kalau
Pamanda Rakean
memanjat tanpa kesukaran sedikit pun, Mang
Ogel memanjai
perlahan-lahan dengan mempergunakan tangannya
yang
besar-besar. Setelah Pamanda Rakean dengan
cepat turun
kembali, Mang Ogel baru sampai di
tengah-tengah dan karena
kelelahan, mengurungkan niatnya mencapai
puncak tiang itu.
Sesampai di bawah, ia berkata sambil
terengah-engah, "Tidak
punya leluhur bajing, tidak apa tidak pandai
naik."
"Leluhurmu kepiting, Ogel," kata
Pamanda Rakean. Mereka
pun berjalan ke dasar kawah mati tempat
bangunanbangunan
padepokan berdiri.
Ketika itu, hari telah teduh dan ketika
mereka sampai di
padepokan, para calon puragabaya sudah
kembali dari latihan
mereka dan Pamanda Rakean segera membawa
Pangeran
Muda kepada mereka dan diperkenalkan kepada
empat belas
orang calon lainnya yang berumur antara tiga
belas dan lima
belas tahun. Jadi, sebaya dengannya. Umumnya
calon-calon
itu berbadan sehat dan kuat, banyak pula di
antara mereka
yang berwajah tampan. Perangai mereka tampak
manis-manis
pula. Maklum, mereka adalah putra-putra
bangsawan yang
telah mendapatkan pendidikan kesatriaan dari
keluarga
mereka masing-masing. Di samping itu, dapat
dimengerti pula
kemanisan perangai mereka itu karena salah
satu syarat untuk
dipilih menjadi calon puragabaya adalah
riwayat keluarga yang
tidak tercela, berperangai baik dan manis,
di samping
berbadan sehat dan tegap.
"Ini kawan kalian yang baru,
Anggadipati, dan karena dia di
padepokan ini dan di antara puragabaya tidak
ada pangkat
atau gelar, kalian akan memanggilnya Anom,
sesuai dengan
panggilan di tengah-tengah
keluarganya," demikian kata
Pamanda Rakean.
"Anom, ini Pamanda Anapaken, ini
Pamanda Minda, ini
Jante, Janur, Elang, Lingga, Jalu demikian
Pangeran Muda
diperkenalkan kepada kawan-kawan barunya.
Mereka pun
bersalaman satu sama lain sambil tersenyum
dan saling
memandang.
Setelah itu, mereka pun pergi ke sungai
tempat mereka
mandi. Setelah membersihkan diri, mereka
bersembahyang
bersama di bawah pimpinan Eyang Resi
Tajimalela. Setelah
makan malam, waktu tidur pun tibalah.
Pangeran Muda sekamar dengan Janur yang
ternyata nama
aslinya Raden Jalak Sungsang, putra
bangsawan dari
Pajajaran Barat. Janur sudah sebulan berada
di Padepokan
Tajimalela, termasuk rombongan pertama yang
datang
bersama-sama dengan Radenjamu.
"Kalau begitu, Anom pengganti
Jamu," demikian kata Janur
kepada Pangeran Muda.
"Ya," sahut Pangeran Muda, dengan
hati terhenyak.
"Marilah kita tidur dan lain kali saja
bercakap-cakap karena
saya sangat lelah," kata Janur.
"Saya pun lelah sekali," ujar
Pangeran Muda sambil
membaringkan diri. Tak berapa lama heninglah
malam. Hanya
na-p.is-napas beraturan yang terdengar dari
ruangan asrama
itu.
Bab 4
Gemblengan
Pangeran Muda terlambat satu bulan dan oleh
karena itu,
harus menyusul pelajaran-pelajaran yang
telah didapat oleh
kawan-kawannya yang tidak terlambat. Untuk
itu, Eyang Resi
Tajimalela memberikan tugas kepada Pamanda Rakean
agar
memberinya latihan khusus, sebelum Pangeran
Muda dapat
bergabung dengan yang lain. Maka pada hari
yang kedua,
ketika yang lain berangkai ke tempat-tempat
latihan yang
jauh, Pangeran Muda dibawa ke lapangan dekat
candi.
"Anom, berdirilah dengan enak dan
biasa," kata Pamanda
Rakean. Pangeran Muda menuruti perintah itu
dengan patuh.
'Janganlah berubah sikap, dan berdirilah
terus. Paman akan
menghitung," kata Pamanda Rakean pula.
Mulailah Pamanda
Rakean berhitung. Sementara itu, Pangeran
Muda terus berdiri
dalam sikap semula. Pamanda Rakean terus
menghitung dan
ketika sampai seribu, ia berjalan ke arah
Pangeran Muda lalu
berkata, "Belumkah Anom pegal?"
"Ya?"
"Apakah Anom pegal?"
"Sedikit," jawab Pangeran Muda.
"Otot mana yang sakit?" tanya
Pamanda Rakean.
Pangeran Muda termenung sejenak, lalu meraba
bagian
betisnya. Pamanda Rakean meraba bagian otot
itu, lalu
bertanya, "Ini?"
"Ya."
"Sekarang istirahadah, nanti kita mulai
lagi dengan latihan
berdiri," kata Pamanda Rakean. Mereka
pun pergilah ke
serambi asrama dan sambil duduk-duduk
berkatalah Pamanda
Rakean, 'Anom, otot manusia diciptakan
sedemikian rupa yang
selain untuk bekerja, misalnya memegang dan
mengangkat
sesuatu, juga untuk kerja sama menciptakan
keseimbangan
badan. Keseimbangan badan sangadah perlu
bagi kita,
misalnya agar kita dapat berdiri.
Keseimbangan itu dicapai
dengan adanya kerja sama otot-otot. Akan
tetapi, belum lentu
kerja sama otot-otot itu dilakukan dengan
baik. Belum tentu
pembagian tugas antara otot-otot itu
dilaksanakan dengan
adil. Kalau pembagian kerja antara otot-otot
baik, yaitu olot
yang lemah mendapat tekanan yang kecil, yang
kuat
mendapat tekanan yang besar, kita tidak akan
cepat lelah,
apalagi mengalami rasa sakit tertentu. Waktu
Anom berdiri
tadi, otot-otot Anom bekerja sama
menciptakan
keseimbangan. Akan tetapi, dalam kerja sama
itu terdapat
pembagian tugas yang tidak adil, yaitu ada
salah satu otot
yang mendapatkan tekanan tidak sesuai dengan
kekuatannya.
Itulah otot yang terasa sakit tadi."
"Apa sebabnya otot itu mendapat tekanan
yang
berlebihan?" tanya Pangeran Muda.
"Karena sikap Anom kurang benar, dan
sikap berdiri yang
kurang tepat ini harus segera diperbaiki
agar dalam berdiri
Anom tidak cepat lelah."
Mereka pergi kembali ke tengah-tengah
lapangan,
kemudian Pangeran Muda berdiri dengan sikap
yang diperbaiki
terlebih dahulu oleh Pamanda Rakean. Setelah
itu, Pamanda
Rakean berhitung kembali. Ternyata, walaupun
hitungan
Pamanda Rakean sudah mencapai seribu lima
ratus, rasa sakit
di otot tadi tidak ada lagi.
"Nah, sikapmu sudah baik, Anom.
Jadikanlah sikap berdiri
yang baik itu kebiasaanmu. Setiap pagi
berdirilah dalam sikap
yang baik, lalu berhitunglah dalam hati
sebanyak-banyaknya.
Kalau kau tidak merasa cepat lelah atau
sakit, sikap berdirimu
sudah baik."
Demikian, berhari-hari Pangeran Muda dilatih
berdiri dan
berjalan dengan cara yang benar, yaitu
tenaga dihemat dan
otot-otot digerakkan dalam kerja sama yang
seimbang.
Latihan-latihan ini memerlukan pemusatan
pikiran yang besar
dan membosankan, tetapi Pangeran Muda bertekad
untuk
melaksanakan sebaik-baiknya. Dengan patuh,
diturutinya
segala perintah Pamanda Rakean.
Dari "berdiri", pelajaran
meningkat ke "berjalan". Setelah
berjalan, ke "berlari". Akhirnya,
melompat berbelok mundur,
berjalan ke samping, berjungkir ke muka,
berjungkir ke
belakang. Seluruh pelajaran itu harus
dilakukan dengan wajar,
yaitu otot-otot bekerja seperti dikehendaki
oleh alam. Seluruh
pelajaran itu, tanpa latihan-latihan yang
dilakukan sendiri
menghabiskan waktu sebulan lamanya, dan
Pangeran Muda
kemudian diizinkan bergabung dengan
kawan-kawannya.
Pada hari pertama ikut bergabung dengan yang
lain,
acaranya mula-mula tidak berbeda dengan apa
yang diterima
dari Pamanda Rakean dalam latihan
perseorangan. Mula-mula
berdiri sambil menghitung, lalu berjalan,
berlari lambat, berlari
cepat, membelok, mundur, melompat,
berjungkir, dan sebagainya.
Setelah badan hangat dan berkeringat,
Pamanda
Anapaken menyuruh anak-anak duduk
berkeliling. Pamanda
Anapaken yang didampingi oleh Pamanda Rakean
dan
Pamanda Minda sebagai pelatih memegang dua
buah benda:
yang satu bumbung kayu yang berisi, yang
lain sebuah
kerucut. Bumbung itu tingginya sama dengan
kerucut, tetapi
luas lunasnya lebih kecil. Pamanda Anapaken
meletakkan
kedua benda itu berdampingan.
Seorang calon diminta maju ke muka dan
mendorong
kedua benda itu. Bumbung itu tumbang, sedang
kerucut
hanya mundur saja. Maka berkatalah Paman
Anapaken, 'Anakanak,
benda yang sama berat dan sama tingginya ini
ternyata
yang satu mantap, yang satu goyah. Dalam perkelahian,
seorang yang jatuh atau dijatuhkan berarti
tidak menguasai
dirinya. Oleh karena itu, berada dalam
keadaan yang
berbahaya. Untuk menjaga supaya kalian tidak
jatuh, kalian
harus dapat meniru watak kerucut dan
menghindarkan watak
bumbung ini."
Setelah penjelasan itu, dimulailah
percobaan-percobaan,
yaitu beberapa calon berdiri, untuk kemudian
didorong dengan
keras oleh kawan-kawannya. Beberapa
orangjatuh terjercmbap,
yang lain dapat berdiri, tapi dengan goyah.
Kemudian, Pamanda Anapaken meminta supaya
para calon
mendorong Pamanda Minda. Aneh sekali, tak
ada di antara
calon yang dapat merubuhkannya. Kemudian,
Pamanda Minda
didorong oleh tiga, lima, sampai tujuh
orang. Akan tetapi,
hasil-nya sama. Jangankan jatuh, berpindah
pun tidak.
Anak-anak pun diminta untuk meneliti
bagaimana cara
Pamanda Minda berdiri, lalu Pamanda Anapaken
dengan
sekali-kali dibantu oleh Pamanda Rakean
menjelaskan
bagaimana cara berdiri yang baik dan benar
itu. Setelah itu,
para calon mencoba dan kalau sudah paham,
dilatih untuk
berdiri dengan kukuh.
Setelah belajar dan berlatih berdiri kukuh,
para calon
belajar dan berlatih berjalan dengan kukuh,
kemudian berlari
dan melompat dengan kukuh dan seterusnya.
Latihan-latihan
di tanah datar semacam itu memakan waktu
berminggu-minggu
bahkan berbulan-bulan lamanya. Calon-calon
yang
terbelakang mendapat perintah untuk
melakukan latihan
tambahan atau mendapat pengawasan khusus
dari salah
seorang pelatih.
Dalam latihan melompat dan jatuh dengan
kukuh, Pamanda
Anapaken mengambil seekor kucing. Kucing ini
berulang-ulang
dilemparkannya. Umumnya kucing itu dapat
jatuh di atas
keempat kakinya, hanya sekali-kali saja
kakinya meleset.
Setelah penjelasan diberikan mengenai berat
badan dan kerja
otot-otot kucing itu, latihan pun dimulai.
Para calon harus
merasakan sendiri bagaimana otot-ototnya
bekerja, hingga
setiap kali dilemparkan oleh pelatih atau
kawan-kawannya, ia
tidak akan jatuh telentang atau telungkup,
tetapi dapat
melompat dan mendaratkan kaki dengan mantap.
Salah satu latihan untuk kemantapan ini
dilakukan di bibir
kawah mati yang tebingnya penuh dengan
batu-batu besar
dan kecil. Para calon diperintahkan berlari
secepat-cepatnya
dari suatu tempat menyeberangi daerah itu
menuju ke tempat
lain yang ditentukan. Para calon dengan
sendirinya harus lari
melompat-lompat, kadang-kadang berpijak di
atas batu besar,
kadang-kadang berpijak di tanah,
kadang-kadang berpijak di
batu kecil. Akan tetapi, Pangeran Muda
menyadari, di mana
pun ia berpijak, ia harus berpijak dengan
mantap, dengan
keseimbangan yang tepat. Untuk kemantapan
ini latihan
diulang-ulang bukan sekadar beberapa kali,
melainkan
beratus-ratus kali, setiap pagi sebelum
latihan-latihan lanjutan
dimulai.
Dalam latihan inilah, salah seorang calon
yang malang
terpeleset hingga tangannya patah, sementara
beberapa
bagian dari tubuhnya mendapat luka-luka.
Perawatan segera
dilakukan oleh beberapa panakawan yang ahli,
dipimpin
langsung oleh Eyang Resi Tajimalela. Setelah
calon itu
sembuh, karena tidak mungkin lagi mengikuti
latihan dengan
tangan yang kurang memenuhi syarat, terpaksa
ia diantar
pulang.
Latihan-latihan keseimbangan ini
dilanjutkan, mula-mula
dengan mata terbuka, kemudian dengan mata
tertutup. Mulamula
siang hari, kemudian malam hari. Puncak dari
latihan
keseimbangan ini dilakukan di atas jembatan
tambang besar,
yang melintangi jurang dan di atas arus
sungai yang dalam.
Calon-calon banyak yang berjatuhan dan harus
berenang di
sungai sebelum naik lagi ke darat. Setelah
menguasai
tambang yang besar, latihan ditingkatkan ke
atas tambang
yang kecil. Kemudian, latihan dilakukan di
malam hari, setelah
itu dengan mata tertutup kain hitam. Setelah
ini dikuasai,
barulah dilakukan latihan di atas jurang
yang dasarnya tidak
bersungai. Untung tak ada calon yang jatuh
dalam latihan
yang sangat berbahaya itu.
SETELAH keseimbangan dan penggunaan
otot-otot di atas
tanah dianggap dikuasai oleh calon-calon,
mulailah latihan
jurus, latihan memberikan pukulan dan
menangkis. Dalam
latihan ini pun, Pamanda Anapaken memberikan
penjelasanpenjelasan
tentang faal dan cara kerja otot-otot dalam
gerakan. Setelah latihan ini dilakukan siang
dan malam dalam
waktu berbulan-bulan, dimi lailah latihan
berkelahi secara lebih
sungguh-sungguh.
Sebelum latihan dimulai, para calon
diharuskan
menghangatkan badan dengan melakukan
pelajaran-pelajaran
yang sebelumnya sudah-dilalui, dari latihan
berdiri, berjalan,
berlari, melompat, menyeberang tali, dan
sebagainya. Baru
setelah itu, mereka dipasang-pasangkan untuk
diadu dalam
latihan itu. Karena latihan ini berbahaya,
dan karena pukulanpukulan
para calon sudah cukup ampuh untuk
menimbulkan
cedera, alat-alat pelindung diletakkan pada
bagian-bagian
rawan tubuh mereka.
Dalam latihan berkelahi ini, dua hal yang
ditekankan oleh
Pamanda Anapaken, yaitu, pertama, setiap
calon harus
berusaha menghilangkan keseimbangan lawan,
kedua, setiap
calon harus dapat memberikan pukulan di
tempat-tempat
yang berbahaya yang sebelumnya sudah
dijelaskan oleh para
pelatih.
Selama berlatih berkelahi ini yang paling
sering menjadi
pasangan Pangeran Muda adalah Janur. Ia
seorang calon yang
sangat cerdas walaupun lebih lemah daripada
Pangeran Muda
dalam ketahanan. Pukulan-pukulannya selalu
membahayakan,
sedangkan pukulan-pukulan Pangeran Muda
selain tidak
ampuh, mudah sekali dihindarkannya. Melihat
keterbelakangan Pangeran Muda dalam
pelajaran memukul
ini, datanglah Pamanda Rakean membantunya
dengan
penjelasan.
'Anom, gunakanlah tanganmu sesuai dengan
kehendak
alam. Alam menyediakan otot-otot manusia
untuk melakukan
pekerjaan yang sesuai dengan sifat otot-otot
itu. Gerakangerakan
yang menentang sifat otot-otot itu akan
melelahkan
dan menyakitkan. Usahakanlah, agar
gerakan-gerakan Anom
selalu wajar dan oleh karena itu, tidak akan
melelahkan
apalagi menyakitkan."
Pangeran Muda melakukan percobaan-percobaan
di luar
latihan dengan tangan dan kakinya.
Berulang-ulang
ditanyakannya kepada Janur, bagaimana
sahabat barunya itu
melakukan pukulan. Dengan bantuannya,
akhirnya Pangeran
Muda dapat memahami dan mengendalikan
pukulannya.
Dalam latihan-latihan saling menjatuhkan dan
saling
memukul berikutnya, Pangeran Muda tidak
terlalu terdesak
oleh janur atau pasangan lain. Maka,
meriahlah lapangan kecil
di dasar kawah mati itu oleh pertempuran
anak-anak muda
yang seru, mundur maju, saling dorong,
saling pukul, saling
kibas, saling tipu, dan saling serang.
Sejak dimulainya pelajaran berkelahi
berpasang-pasangan
inilah, setiap malam Eyang Resi Tajimalela
memberikan
pelajaran-pelajaran yang lain sifatnya. Pada
suatu malam di
dalam ruang belajar, bertanyalah Eyang Resi
kepada para
calon, "Adakah kesukaran yang kalian
alami saat kalian
melakukan pukulan?"
Calon-calon tidak ada yang menjawab. Mereka
tidak
mengerti akan maksud Eyang Resi. Eyang Resi
pun sambil
tersenyum melengkapi pertanyaannya.
"Apakah pukulan yang kalian berikan
sering terasa
mengganggu keseimbangan kalian yang
seharusnya dijaga?"
"Demikianlah, Eyang," sahut Jante,
salah seorang calon
yang sangat berbakat dan tekun. 'Justru
berulang-ulang
hamba bermaksud menanyakannya kepada Pamanda
Anapaken, akan tetapi belum sempat."
"Bagus," ujar Eyang Resi.
"Sekarang Eyang bertanya
kepadamu, kalau engkau bernafsu dalam
latihan perkelahian
itu, apakah yang sering kaualami?"
Sebelum menjawab, para calon tertawa
terlebih dahulu.
"Mengapa tertawa?" Eyang Resi
bertanya sambil tersenyum.
"Karena kalau hamba marah setelah kena
pukulan dan
bernafsu untuk membalas, hamba sering lupa
akan
keseimbangan badan hamba dan dengan mudah
lawan hamba
menjatuhkan hamba."
"Tepat, tepat benar," ujar sang
Resi. "Anak-anakku," lanjut
beliau, "bandingkanlah keseimbangan
tubuhmu dengan akal
sehat dan bandingkanlah gerakan yang
kaulakukan dalam
perbuatan memukul itu sebagai keinginan atau
nafsu.
Seandainya nafsumu terlalu kuat, akal
sehatmu dapat hilang,
akibatnya kau terjatuh, bukan dalam perkelahian
saja, tapi
dalam berbagai hal. Khusus dalam
perkelahian, satu hal yang
harus kaujaga, yaitu agar akal sehatmu
selalu bekerja.
Artinya, kau dapat mengendalikan perasaan
serta
kemauanmu. Sekali kau marah, maka ketika
itulah bahaya
mengancammu."
Setelah hening beberapa saat, bertanyalah
salah seorang
calon kepada sang Resi, "Eyang Resi,
kalau kita berkelahi itu
berarti kita marah. Bagaimana kita akan
berkelahi dengan
orang lain kalau kita tidak cukup
marah?"
Mendengar pertanyaan itu tersenyumlah sang Resi,
lalu
berkata, "Anak-anakku, engkau tidak
mencari-cari
perkelahianJ bukan? Oleh karena itu, kau
tidak berusaha agar
dirimu men jadi marah. Justru kau harus
membunuh atau
mengendalikai nafsumu kalau kau mengerti
pelajaran
berkelahi itu. Kau haru selalu seimbang,
pukulanmu tidak
boleh menghilangkan keseinj bangan tubuhmu.
Itu berarti,
nafsumu tidak boleh mengganggu pikiran
sehatmu. Itu berarti
bahwa kau tidak boleh berkelahi!"
Para calon keheranan mendengar hal itu.
Bagaimana bisa
pelajaran berkelahi melarang atau membuat
orang
menghindarkan perkelahian?
"Hamba tidak mengerti, Eyang
Resi," kata seorang calon.
"Engkau calon-calon puragabaya
ditabukan berkelahi, anakanakku,
karena engkau ditabukan marah. Segala
pelajaran
yang akan kauterima di sini akhirnya akan
menyadarkanmu
bahwa tidak ada yang paling tercela di dunia
selain
perkelahian. Oleh karena itu, kalian akan
menghindarkan
perkelahian dalam hidupmu."
Mendengar penjelasan itu, makin
terheran-heranlah para
calon. Mereka saling memandang dengan cahaya
mata penuh
keraguan. Timbul pikiran dan dugaan pada
hati mereka bahwa
Eyang Resi Tajimalela sedang berkelakar.
Melihat gelagat
demikian, tesenyumlah sang Resi, lalu
berkata, "Apa yang kau
mengerti tentang istilah perkelahian adalah
perkelahian yang
kaulihat dalam kehidupan sehari-hari.
Orang-orang yang
berkelahi adalah orang-orang yang sedang
marah atau gelap
mata. Para puragabaya terlarang melakukan
hal itu.
Perkelahian yang dilakukan oleh seorang
puragabaya jauh
berbeda dan bahkan bertentangan dengan yang
dilakukan
oleh kebanyakan orang. Kalau seorang
puragabaya berkelahi,
hal itu dilakukannya lanpa dorongan
kemarahan atau
kebencian. Ia hanya melakukannya jika tidak
berhasil
menghindarkannya dan melakukannya dengan
dukacita. Ia
menghindarkan perkelahian karena pada
dasarnya ia
mencintai lawannya."
"Hamba belum mengerti, Eyang
Resi," kata seseorang di
sudut ruangan.
"Baiklah, besok kalian akan mengerti
setelah kalian diberi
penjelasan di lapangan."
Keesokan harinya, lain daripada biasa, Eyang
Resi
Tajimalela ikut turun ke lapangan tempat
calon-calon
melakukan latihan-latihan perkelahian.
Setelah beberapa saat
berlangsung, calon-calon disuruh duduk
berkeliling, kemudian
dua orang calon dipersilakan melakukan
perkelahian di
tengah-tengah kawan-kawannya yang menonton.
"Mulai!" kata sang Resi.
Perkelahian pun mulailah. Kedua
calon sama-sama tidak mau memukul lebih
dahulu karena
takut kehilangan keseimbangan badannya.
Kedua-duanya
sama hati-hati, sama-sama menahan diri.
"Sekarang perhatikan, kita akan
memanggil seorang
panakawan yang belum pernah mendapatkan
pelajaran
seperti kalian. Minda, panggil Jasik."
Dalam sekejap Jasik
datang dituntun oleh Pamanda Minda.
Jasik dikenal sebagai panakawan yang malas,
pemarah,
dan rakus. Ia berbadan tinggi besar, tangan-tangannya
berotot seperti batang pohon jambu batu yang
tua. Kakinya
gempal, seperti badan pohon beringin. Begitu
ia tiba di depan
Eyang Resi, Eyang Resi segera berkata,
'Jasik, Raden Rangga
menyatakan dia sanggup mengalahkan engkau.
Kalau itu
benar tidak apa, tetapi kalau itu tidak
benar, kau akan
mendapat hadiah."
Mendengar perkataan sang Resi, meluaplah
kemarahan
Jasik. Matanya tiba-tiba menyala, urat-urat
matanya
membesar dan menonjol. Napasnya
mendengus-dengus dan
dengan parau berkata, "Coba buktikan."
Rangga seorang calon yang baru berumur tiga
belas tahun,
berbadan lampai dan berperangai lembut. Ia
berdiri di tengahtengah
lingkaran kawan-kawannya dengan
terheran-heran.
Akan tetapi, berkat latihan-latihan, ia
tenang saja melihat
orang tua yang marah dan berjalan ke arahnya
itu.
"Saya akan membuktikan bahwa Raden
adalah pembual!"
demikian seru Jasik, sambil bersiap-siap
untuk menerkam.
Kedua lawan sangat tidak seimbang, yang satu
tinggi besar
yang satu kurus lampai, hingga
perbandingannya tidaklah jauh
dari perbandingan kucing gemuk dan tikus
kurus.
Dengan geraman penuh amarah, menghamburlah
Jasik
menerkam Rangga. Akan tetapi, Rangga sebagai
seorang
calon yang tekun dan cerdas dengan cepat
memindahkan
kuda-kudanya, bersamaan dengan menarik
tangan kanan
Jasik yang hendak mencekam lehernya. Jasik
yang menubruk
dengan seluruh berat badannya itu disambut
oleh Rangga
dengan tarikan dan penghindaran diri. Oleh
gerakan itu, Jasik
tak dapat menahan dirinya lagi, jatuh ke
muka terjungkirjungkir.
Semua calon melihat dengan keheranan. Rangga
kelihatan
heran dan sedih oleh apa yang telah terjadi.
Para calon semua
berdiri dan berjalan menolong jasik yang
terbaring. Eyang Resi
ilalang dan mengatakan kepada Jasik bahwa
karena
kecelakaannya itu Jasik akan mendapat hadiah
seekor ayam
yang boleh disembelih untuk diri sendiri.
Ketika wajah Jasik
menjadi cerah setelah mendengar berita itu,
legalah hati para
calon.
Setelah Jasik diantar oleh Pamanda Minda ke
belakang
untuk diobati luka-luka kecilnya, Eyang Resi
Tajimalela
memitrakan penjelasan kembali.
"Rangga, mana Rangga?" tanyanya.
Ketika Rangga datang,
sang Resi bertanya, "Adakah kau
bermaksud mencelakakan
Jasik?"
"Sama sekali tidak, Eyang Resi. Bahkan
hati hamba malah
risau oleh kejadian itu."
"Jadi, mengapa Jasik sampai jatuh
tunggang langgang?"
"Hamba tidak tahu, Eyang Resi."
"Anak-anakku, bukanlah Rangga yang
menyebabkan Jasik
mendapat kemalangan, tetapi nafsunya
sendiri. Ia begitu
bernafsu hendak mendapat hadiah. Ia sangat
percaya pada
kekuatan otot-ototnya yang besar-besar itu
hingga
meremehkan Rangga yang kecil ini. Itu
semualah yang
menjatuhkan Jasik, bukan Rangga.
"Tadi ketika Rangga berhadapan dengan
Jante, tak seorang
pun yang jatuh karena tak seorang pun yang
kehilangan
dirinya untuk menyerang lebih dahulu. Tak
seorang pun jatuh
karena tak seorang di antara keduanya
dikuasai amarah. Jadi,
amarahlah yang menjatuhkan lawan, bukan
puragabaya.
Amarah lawanlah yang menyebabkan lawan
celaka, bukan
puragabaya. Sedang puragabaya sendiri harus
berusaha untuk
memadamkan amarah lawan, atau nafsunya, atau
kemauannya yang tidak terkendali. Di sinilah
letak kewajiban
kependetaan seorang puragabaya. Kalian tahu,
anak-anakku,
bahwa kau datang ke sini untuk dididik
menjadi pahlawan dan
pendeta sekaligus. Dilarang bagimu mencelakakan
orang lain.
Dianjurkan bagimu menyelamatkan orang lain.
Tapi ada orang
yang begitu besar amarahnya, hingga kalian
tidak akan dapat
menyelamatkannya."
Sekarang mengertilah Pangeran Muda, mengapa
sang Resi
pernah mengatakan bahwa bagi puragabaya
dilarang untuk
berkelahi. Perkelahian yang dibolehkan
adalah perkelahian
yang tidak dapat dihindarkan lagi karena
lawan tidak dapat
lagi mengendalikan amarahnya. Dalam
perkelahian macam itu
pun, seorang puragabaya tidak bertindak
untuk mencelakakan
lawan dengan menyerang atau memukulnya.
Lawar akan
jatuh karena keangkaraannya sendiri. Apakah
dia hanya
rubuh, atau sampai pingsan, atau bahkan
sampai mati, hal itu
ditentukan oleh besar kecilnya amarah dia
sendiri.
"Eyang Resi, hamba tidak bermaksud
menjatuhkan Jasik.
Hamba hanya menuruti ajaran bahwa kalau
orang menubruk
hamba, hamba harus bergerak demikian,"
kata Rangga.
"Anakku, gerakan-gerakan yang diberikan
kepadamu
adalah gerakan-gerakan alamiah. Sebagai
manusia kau
dilengkapi dengan naluri menyelamatkan diri.
Orang dapat
menyelamatkan diri dengan berlari,
bersembunyi, melawan,
dan se-bagainya. Di padepokan ini kalian
diberi pola-pola
gerakan hingga perbuatan menyelamatkan diri
itu menjadi
sempurna. Ini adalah hasil penyelidikan
berpuluh tahun yang
dilakukan i lengan penuh pengabdian oleh
leluhur kita yang
mulia. Perbuatan menyelamatkan diri dalam
hal ini berarti pula
penyelamatan orang-orang yang paling budiman
dan paling
mulia."
"Eyang Resi, kalau melihat apa yang
terjadi dengan Jasik,
dapatkah hamba menyatakan bahwa perbuatan
menyelamatkan diri itu bersatu dan tidak
dapat dipisahkan
dengan perbuatan menyerang?"
Mendengar pertanyaan itu, tersenyumlah sang
Resi.
"Benar, Jante, engkau anak yang terang
hati. Tapi ingatlah,
yang menyerang bukanlah engkau, tapi amarah
orang n n.
Ingatlah hal ini, tanamkan dalam-dalam di
hatimu."
Walaupun jawaban itu ditujukan kepada Jante,
mata sang
Resi memandang pada semua calon yang dengan
khidmat
mendengarkan wejangan beliau itu.
Demikianlah, semenjak itu sang Resi turut
terjun
memberikan penjelasan-penjelasan dan
wejangan-wejangan,
hingga pelajaran ilmu perkelahian itu sukar
dikatakan, apakah
merupakan pelajaran kejasmanian atau
kerohanian.
Bab 5
Jalak Sungsangl
Pendidikan kepahlawanan bagian pertama
dimaksudkan
untuk mengubah naluri mempertahankan diri
dan menyerang
hingga menjadi sempurna pelaksanaannya.
Setiap orang
memiliki naluri menyelamatkan diri kalau
mendapatkan
serangan. Naluri ini dinyatakan dalam
bentuk-l bentuk
gerakan-gerakan yang sembrono saja.
Gerakan-gerakan yang
tidak teratur dan tidak terarah, bahkan
tidak selalu
menyelamatkan ini, oleh pelatih-pelatih di
Padepokan
Tajimalela diubah menjadi bentuk-bentuk
gerakan yang telah
di olah dan diuji oleh para ahli selama
berpuluh tahun.
Gerakan gerakan ini bukan saja dapat
melindungi diri, tapi
juga bersati dengan gerakan-gerakan
penyerangan hingga
setiap gerakan itu, selain melindungi diri
juga dapat
merupakan pukulan terhadap lawan.
Karena Pangeran Muda ketinggalan selama satu
bulan lebih
oleh calon-calon yang lain, bantuan-bantuan
sangat
butuhkannya, bukan saja dari Pamanda Rakean
yang menjadi
pelatihnya, tetapi juga dari calon-calon
lain. Calon yang paling
banyak membantu adalah kawan sekamarnya
sendiri, yaitu
Janur yang nama aslinya adalah Raden Jalak
Sungsang.
Janur adalah putra ketiga dari seorang
bangsawan yang
menjadi penguasa di salah satu wilayah di
Muaraberes. Seperti
juga calon-calon yang lain, perangainya
sangat halus. Di
samping itu, ia salah seorang anak yang
paling tampan di
antara calon-calon lain itu. Badannya yang
tinggi lampai,
sangat lemas dalam melakukan
gerakan-gerakan, hingga
kadang-kadang Pangeran Muda beranggapan
bahwa bagi
Janur, gerakan-gerakan yang berbahaya dan
dapat
membunuhnya itu berubah menjadi tarian yang
indah.
Gerakan-gerakan yang indah itu tidaklah
dilakukannya dengan
dibuat-buat, tetapi terlaksana demikian
karena kelemasan
otot-otot yang dikuasainya benar-benar.
"Engkau dilahirkan untuk menjadi
puragabaya, Janur," kata
Pangeran Muda pada suatu kali, waktu mereka
beristirahat
setelah latihan bersama.
"Gerakan-gerakanmu begitu
terkendali hingga menjadi indah laksana
tarian."
"Tarian kematian, Anom," katanya
dengan rendah hati.
balu ia melanjutkan, "Saya mendapat
banyak pujian karena
gerakan-gerakan saya yang baik, tetapi
seorang puragabaya
tidak cukup dengan hanya pandai
mengendalikan gerakangerakan,
juga harus menguasai berbagai hal lainnya,
misalnya
ketangkasan, ketajaman pancaindra,
ketabahan, dan
ketahanan. Dalam hal ketahanan itulah saya
merasa sangat
kurang. Berulang-ulang saya kehabisan tenaga
dan terjatuh
dalam latihan keseimbangan. Pernah saya
terkilir, itu pun
bukan karena kesalahan gerakan, tetapi
karena saya kurang
tahan untuk berlatih lama. Pamanda Rakean
berulang-ulang
memperingatkan saya akan kelemahan
ini."
"Tapi engkau dapat melatih daya
tahanmu, bukan?" tanya
Pangeran Muda.
0 komentar:
Posting Komentar