Pendekar Tanpa Tanding /
Wisanggeni
Karya : John Halmahera
Sinopsis :
23 tahun yang lalu, Wisang Geni kecil lolos
dari
pembunuhan. Pembunuhan yang meminta korban
kedua
orang tuanya, dan kehancuran perguruan silat
Lemah Tulis.
Setelah dewasa dan cukup tangguh, mulailah
Wisang Geni
mencari satu per satu musuh yang
menghancurkan perguruan
Lemah Tulis yang membunuh kedua orang
tuanya.
Dalam pengelanaannya, Wisang Geni mendapat
berbagai
penemuan dan pengalaman aneh, yang membuat
dirinya
semakin Sakti, dan bertemu dengan
wanita-wanita yang kelak
menjadi istri-istrinya.
Tidak semua petualangannya berjalan mulus,
beberapa kali
Wisang Geni hampir kehilangan nyawanya,
kisah cintanya pun
berliku, karena salah satu wanita yang
dicintainya adalah bibi
gurunya. Bahkan dalam suatu kejadian Wisang
Geni
kehilangan nyawa istrinya.
Daftar Isi
1. Peristiwa
Ganter.................................................................
1
2. 25 Tahun
Kemudian.............................................................
28
3. Cinta
Pertama........................................................................
47
4.
Perpisahan...........................................................................
.... 70
5. Lembah
Cemara...................................................................
97
6. Pendekar
Lalawa...................................................................
121
7. Dendam
Temurun................................................................
152
8. Persaingan
Asmara................................................................
181
9. Nyawa Bayar
Nyawa...........................................................
209
10. Pendekar Nomor
Satu.........................................................
236
11. Jurus Penakluk
Raja...............................................................
263
12. Pertarungan
Puncak..............................................................
291
13. Wulan dan
Sekar....................................................................
314
Jilid 1
Peristiwa Ganter
Tahun 1222 situasi keamanan di tanah Jawa
memanas.
Dua pihak yang bertentangan sama-sama
menghimpun
kekuatan. Di satu pihak, kerajaan Kediri
yang diperintah raja
Kertajaya nama lain dari raja Dandang
Gendhis. Di pihak lain,
Tumapel, daerah bawahan Kediri yang
diperintah Ken Arok
Perang besar sudah di depan mata. Tidak
hanya melibatkan
ribuan prajurit tapi juga para pendekar yang
berilmu tinggi.
Hampir seluruh pendekar ternama di tanah
Jawa ikut terlibat
dengan bermacam alasan. Ada yang karena
kesetiaan dan
keyakinan. Ada yang terpikat janji dan
iming-iming materi.
Waktu itu banyak penduduk dan pemimpin agama
dari
Kediri menyeberang dan mengabdi ke Tumapel.
Sebagian
mereka tidak puas terhadap kebijakan Dandang
Gendhis,
sebagian lain melihat masa depan yang lebih
menjanjikan di
Tumapel. Dandang Gendhis marah-marah. Ken
Arok tertawa
senang. Amarah Dandang Gendhis makin menjadi
mendengar
berita Ken Arok telah menobatkan diri
sebagai raja Tumapel
dengan gelar Rajasa Sang Amurwabumi. Itu
pembangkangan
atau pemberontakan terhadap kerajaan Kediri.
Dandang Gendhis merencanakan serangan besar
menghancurkan Tumapel. Tapi kemudian
membatalkan
rencana tersebut karena mendengar laporan
mata-mata
bahwa pasukan Ken Arok sudah siap-siap
melurukke Kediri.
Dandang Gendhis memutuskan untuk menanti
serangan
lawan. Dia mempersiapkan pasukannya lebih
matang dan
rencana untuk menjebak lawan. Keputusan ini
tidak banyak
menguras kekayaan kerajaan dan juga tidak
menguras tenaga
pasukannya.
Di pihak Tumapel, Ken Arok juga sudah
menyusun rencana.
Dia memang akan menyerang Kediri, bahkan
sengaja
membocorkan rencana tersebut. Tetapi ada
rencana rahasia
yang dipersiapkan dengan matang. Dia
mengirim pasukan
khusus yang terdiri dari sekelompok pendekar
silat kenamaan
tanah Jawa, dengan tujuan menyerang dan
membumihanguskan Lemah Tulis, perguruan yang
merupakan
pemasok hulubalang sakti yang setia pada
kerajaan Kediri.
Hancurnya Lemah Tulis secara langsung akan
melumpuhkan
separuh kekuatan Kediri. Selain itu juga
mendatangkan rasa
takut dan waswas di kalangan prajurit dan
hulubalang Kediri.
Dia yakin Lemah Tulis akan mudah diserang
dan ditaklukkan
karena saat itu sebagian besar murid utama
perguruan itu
berada di keraton dalam persiapan menyambut
serangan
Tumapel.
Sore itu seorang pemuda bernama Suta sedang
istirahat
bersandar di pangkal pohon ketika ekor
matanya melihat
serombongan besar orang mengindap-indap di
hutan. Dia
curiga bahkan firasatnya mencium ada bahaya
yang
mengancam dirinya. Matanya memandang
sekeliling mencaricari
tempat persembunyian. Di dekatnya ada kubangan
lumpur, satu-satunya tempat paling aman.
Dia tiarap di kubangan lumpur. Tidak
bergerak, dia
mengatur nafas agar tidak terdengar orang.
Dia takut
keberadaannya diketahui rombongan itu,
nyawanya pasti
melayang. Rombongan melewati jalan tidak
jauh dari
persembunyiannya. Karenanya dia bisa
mendengar dengan
jelas sebagian pembicaraan orang-orang itu.
Mendengar
pembicaraan itu dia menggigil ketakutan.
Tak lama setelah rombongan menjauh,
pelan-pelan dia
bangkit, melangkah hati-hati Rombongan
menuju ke
Trowulan. Dia juga menuju perdikan Lemah
Tulis yang tak
jauh dari desa Trowulan, satu hari
perjalanan dari tempatnya
tadi. Dia memilih jalan lain, menghindari
kemungkinan
berpapasan dengan rombongan itu.
Hutan belantara itu gelap dan senyap. Cahaya
rembulan
tak mampu menembus kerimbunan pepohonan.
Samar-samar tampak enam buah tenda darurat.
Di salah
satu tenda, tujuh pendekar sedang istirahat.
Ada yang duduk,
ada yang berbaring. Tetapi semuanya melek,
tak ada yang
tidur. Rombongan Tumapel itu dipimpin Bango
Samparan,
pendekar kepercayaan Ken Arok. Dia lelaki
bertubuh tegap
dan berusia sekitar tigapuluhan.
"Besok pagi kita menuju Trowulan,
supaya tidak menyolok,
kita berpencar dalam sepuluh kelompok, kita
berjalan kaki
sebagaimana orang awam. Sore hari kita akan
tiba di hutan di
luar desa. Kita istirahat. Sekitar tengah
malam menjelang fajar
kita akan menyerang. Agar bisa saling
mengenal satu sama
lain, kita semua menggunakan ikat kepala
warna putih," kata
Bango Samparan kepada kawan-kawannya.
Kalayawana, pendekar sakti yang dijuluki
Penguasa
Kegelapan dari Gondomayu, berkata lirih
namun jelas.
"Bagaimana dengan rencanamu, apakah
murid Lemah Tulis itu
bersedia meracuni air minum
perguruannya?" Kalayawana,
berusia di penghujung tiga-puluhan, kurus,
wajahnya buruk
dan tampak kejam. Dia bertelanjang dada
dengan celana
sebatas lutut dan jubah hitam panjang yang
penuh dengan
tambalan.
Bango Samparan tersenyum licik.
"Dia pasti akan melakukan itu, dia
telah kubekali racun
pelemas tulang yang reaksinya cepat. Jika
dia menabur bubuk
itu di sore hari kemungkinan besar sebagian
mereka sudah
mulai keracunan di waktu malam. Biasanya
mereka akan
ngantuk dan tidur. Selama mereka tidak
berlatih silat, mereka
tidak akan sadar tubuhnya sudah keracunan.
Pada dini hari
saat kita menyerang, barulah mereka
merasakan tubuhnya
lemas. Saat itu sudah terlambat untuk suatu
penyembuhan.
Ya, rencana ini membuat kita tak perlu
membuang banyak
tenaga."
Semua orang yang mendengar tertawa senang.
Mendadak
terdengar suara protes, nadanya ketus.
"Itu bukan ksatria, itu
perilaku pengecut, aku tidak setuju rencana
itu. Mengapa
harus pakai cara meracuni lawan dengan
pelemas tulang, aku
sendiri mampu mengalahkan orang-orang Lemah
Tulis,
termasuk ketuanya Ki Bergawa dan
adik-adiknya itu."
Lelaki itu berusia separuh abad, dia
pendekar asing asal
dari pegunungan Himalaya, negeri India.
Namanya Lahagawe.
Tubuhnya tinggi kekar, agak kehitaman,
wajahnya tampan
dengan hidung mancung. Dia orang kepercayaan
berkedudukan sebagai penasehat Ken Arok,
pendapatnya
selalu didengar sang Rajasa.
Semua orang diam. Bango Samparan meskipun
tidak
menyukai protes Lahagawe, ikut diam. Agaknya
dia menaruh
hormat bahkan agakkeder terhadap Lahagawe.
Namun tidak
demikian dengan lelaki gembrot berkepala
botak, Tambapreto.
Pendekar ini merasa cemburu melihat Lahagawe
disanjung
dan dihormati semua orang Tumapel.
"Huh, orang Himalaya
itu makin lama makin sombong, apakah memang
benar cerita
orang bahwa ilmu silatnya itu mumpuni, huh
tanganku jadi
gatal aku ingin jajal," gumamnya dalam
hati.
Tak bisa bersabar lagi Tambapreto berkala
lantang.
"Tuan pendekar Himalaya memang berilmu
tinggi, sampai
di mana bebatnya aku sendiri belum melihat,
apakah benar
sampean bisa mengalahkan Bergawa dan
adik-adiknya, hal itu
masih perlu sampean buktikan. Tetapi
sekarang ini kita dalam
situasi perang, rencana meracuni air minum
orang Lemah
Tulis sangat bagus. Rencana itu untuk
menghemat tenaga kita
semua sehingga masih segar saat berperang
lawan pasukan
Kediri. Aku setuju dan mendukung rencana
itu!"
Lahagawe tidak menjawab. Dia melonjorkan
kaki dan rebah
telentang di tanah. Saat berikut tubuhnya
terangkat sejengkal
dari tanah. Lahagawe sengaja pamer tenaga
dalamnya yang
tinggi dan hanya pendekar kelas satu yang
bisa
melakukannya. Tambapreto dan pendekar lain,
diam-diam
merasa kagum dan jeri.
Suta bergegas. Setelah merasa tak ada orang
yang
melihatnya, dia lalu berlari menggunakan
ilmu ringan tubuh.
Meskipun hari gelap tetapi dia bisa bergerak
cepat karena
mengenal benar liku-liku jalan yang dilaluinya.
Dia ingin
secepatnya tiba di perguruannya dan melapor
pada gurunya.
Dia mencium adanya semacam bahaya maut yang
mengancam Lemah Tulis.
"Aku harus cepat memberitahu guru
Rombongan itu pasti
beristirahat di hutan karena tidak mungkin
menempuh
perjalanan malam. Jadi aku punya banyak
waktu mendahului
mereka," katanya dalam hati.
Keesokan siang dia tiba di Lemah Tulis.
Seorang murid di
pintu gerbang menyapanya, tetapi dia nyaris
tak bisa bicara
lantaran nafasnya yang sengal-sengaL Di
pekarangan dia
bertemu seorang murid lain yang menghadang
jalannya. "Hai,
Suta, kamu habis mandi lumpur, ada apa?
Kelihatannya kamu
habis berlari jauh, apakah ada kejadian
penting?"
"Gawat! Celaka, paman Agra. Aku tadi
bertemu
serombongan pendekar, tampaknya mereka punya
niatan
menyerang perguruan kita, aku mendengar
pembicaraan di
antara mereka."
Lembu Agra, usia tigapuluh tahun, tampan
dengan kumis
tipis, berewokan, rambut panjang digelung di
atas kepala,
tegap dan kekar. "Jumlahnya banyak?
Dimana kamu bertemu
dan apakah kamu mengenal mereka?" Mimik
Lembu Agra
sangat serius memberondong keponakan
muridnya dengan
pertanyaan beruntun.
”Aku melihat mereka di hutan dekat desa
Tumbas, satu hari
jalan kaki dari sini. Jumlahnya lima
puluhan, dan semuanya
dan golongan pendekar. Aku mendengar
diantara mereka ada
yang dipanggil Kalayawana, Bango Samparan,
lambapreto,
hanya itu yang kuingat”
Lembu Agra mengibas tangannya. ”Kamu
cepat-cepat
menghadap romo guru, ceritakan semua yang
kamu ketahui,
aku akan memeriksa sekitar perguruan.”
Lembu Agra menoleh sekeliling, tak ada orang
yang
memerhatikan. Dia berbalik arah menuju
gudang tempat
penyimpanan air minum dan bahan makanan. Ada
beberapa
guci besar penuh berisi air minum. Hati-hati
ia membuka tutup
guci dan menabur bubuk. Semua guci dan kendi
sudah
dicampurnya dengan racun pelemas.
”Sekarang masih sore jika diminum saat makan
malam
maka racun akan bereaksi tengah malam. Nah,
rasakan balas
dendam atas kematian keluargaku”, gumamnya
disertai
senyum licik.
Hari masih pagi matahari baru saja terbit.
Embun dan kabut
masih bergayut di pekarangan bagian belakang
keraton Kediri,
Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh
limaan sedang
bermain-main dengan anak laki-laki yang
berusia sekitar
delapan tahun. Lelaki itu, Manjangan Puguh
pendekar yang
memiliki ilmu ringan tubuh paling hebat di
dunia persilatan.
Puguh adalah murid tunggal pendekar gunung
Merapi Sagotra
yang di rimba persilatan tidak tertandingi
ilmu ringan
tubuhnya.
Manjangan Puguh tidak hanya terkenal ilmu
ringan tubuh
Waringin Sungsang tapi juga ketampanannya.
Tubuhnya
jangkung, tegap meskipun agak kurus sangat
padu dengan
wajahnya yang bulat telur dan rambutnya yang
panjang.
Saat itu muncul ibu Wisang Geni, Sukesih,
wanita cantik
seksi berusia tigapuluhan. Dia tidak tinggi,
dada montok dan
rambut panjang ikal terurai di bahunya yang
kuning sawo.
Kecantikannya sungguh menggoda hasrat
lelaki. Dia
mengenakan celana longgar sebatas lutut
memperlihatkan
betisnya yang memadi bunting dan kebaya
ketat tanpa lengan
menonjolkan kemontokan lengan dan buah
dadanya.
Sambil tertawa kecil Sukesih ikut bermain
dan mengejar
putranya yang berlompatan dari satu pohon ke
pohon lain.
Puguh pun ikut mengejar. Geni berlari sambil
tertawa. Setelah
merasa cukup bermain ketiganya berhenti.
"Geni, ayahmu sudah menunggumu uniuk
latihan tenaga
dalam, pergilah."
Berkata demikian dia melirik dan tersenyum
pada
Manjangan Puguh.
Sepeninggal putranya, Sukesih melangkah
genit
menghampiri lelaki itu. Perempuan itu
mengulum senyum
menggoda. Dia menatap lelaki itu. Keduanya
bertatapan.
Manjangan Puguh melihat keliling, sepi tak
ada orang. Ia
memegang tangan wanita. "Kesih,
hari-hari belakangan ini aku
melihat kamu semakin cantik."
Sukesih menengadah menatap lelaki itu yang
lebih
jangkung. Sepasang mata wanita itu
berkedip-kedip dan
berbinar macam kemilau bintang di malam
purnama.
"Benarkah aku cantik, Mas?"
Laki-laki itu tak menjawab, dia gugup.
Sekali lagi dia
melihat sekeliling. Mendadak dia menggenggam
tangan wanita
itu. Keduanya berkelebat melompati pagar
keraton. Mereka
menuju hutan yang berada tidak jauh di arah
timur keraton.
Mereka tiba di goa tersembunyi yang berada
di balik pohon
besar. Setelah menyingkirkan batu dan
ranting pohon yang
menutup pintu, mereka masuk. Goa itu bersih,
tampaknya
sering dibersihkan karena selama ini menjadi
tempat
pertemuan kedua kekasih itu memadu cinta.
Keduanya tak
kuasa menahan birahi lagi, mereka bergumul
dengan liar,
panas dan bernafsu. Cinta terlarang memang
penuh nafsu
yang panasnya selalu membara dan menimbulkan
rasa
ketagihan.
Pada saat bersamaan di halaman belakang
dekat pendopo,
Gajah Kuning sedang melatih Wisang Geni. Dia
berusia
empatpuluhan. Tetapi kesannya tampak lebih
tua.
Cambangnya hitam lebat, rambutnya yang
panjang dikonde di
atas kepala. Ia mengenakan celana sebatas
lutut, tubuh
bagian atas telanjang. "Anakku, jurus
Garudamukha itu
semakin dahsyat jika kamu menguasai tenaga
dalam yang
sangat mumpuni. Itu sebab kamu harus melatih
tenaga
batinmu lebih rajin lagi."
Mereka berlatih semedi dari pagi hari sampai
matahari
berada di titik palingtinggi. Udara panas.
Keringat membasahi
tubuh keduanya. Gajah Kuning membuka matanya
ketika
merasa tangan yang lembut mengusap keringat
di dahinya.
Dia melihat isterinya. Sukesih duduk di
sampingnya.
Gajah Kuning berkata pada putranya,
"Geni, sudah cukup
latihan hari ini, pergilah istirahat ke
kamarmu"
Dia kemudian merangkul pundak isterinya.
"Tubuhmu
panas dan keringatan, kamu dari mana, sejak
pagi aku tidak
melihatmu?"
Isterinya mengangguk, memeluk dan mencium
leher
suaminya yang masih berkeringat. "Aku
tadi berlatih kejarkejaran
sejenak dengan Geni kemudian pergi
berkeliling ke
desa, mencari-cari udara segar."
Gajah Kuning melonjorkan kaki. Dia menarik
nafas panjang.
"Kesih, hari-hari belakangan ini hatiku
tidak tenteram, aku
memikirkan Geni. Aku kawatir mimpiku itu
menjadi nyata." Dia
memandang isterinya dengan penuh rasa cinta.
Keduanya
berpelukan. "Aku kawatir akan nasib
Geni, jika sampai kita
kalah atau kita mati terbunuh dalam
perang."
"Kangmas, kita tidak mungkin kalah.
Sehebat apa pun
pasukan Tumapel, kita tetap akan memenangkan
perang,"
tukas wanita itu dengan semangat berapi-api.
Dia mengerutkan kening dan menatap
isterinya. "Dalam
perang apa saja bisa terjadi. Sulit
meramalkan siapa lebih kuat
dan siapa bakal menang. Terkadang pasukan
yang menang
pun banyak kehilangan prajurit dan punggawa.
Jika kita kalah
perang, kamu harus pergi meninggalkan medan
perang,
selamatkan dirimu dan kembalilah ke keraton
menyelamatkan
Geni. Jangan biarkan dia terluka atau
menjadi tawanan
musuh."
Sukesih merenggangkan tubuhnya, memandang
mesra
suaminya. Matanya bersinar cinta. "Aku
sudah bersumpah
setia. Hidup dan mati selalu bersamamu. Mas,
jika aku mati
dalam perang, maka kau yang harus selamatkan
dirimu, pergi
ke keraton dan selamatkan anak kita. Tetapi
jika kamu yang
mati maka aku ikut mati bersamamu, membela
suami adalah
darma kesetiaan dan kehormatanku sebagai
isteri."
"Kesih kekasihku, aku tidak mungkin
melarikan diri dari
medan perang," tegas laki-laki itu.
Mendadak Sukesih ingat seseorang, ia tersenyum
"Kenapa
kamu tidak meminta kangmas Puguh menolong
Geni. Di
antara semua pendekar yang berkumpul di
sini, dialah yang
paling tinggi ilmu ringan tubuhnya. Amat
mudah baginya
meloloskan diri untuk kembali ke keraton
menyelamatkan
Geni."
"Dia laki-laki sejati, dia tidak akan
mau lari dari medan
perang." Mendadak laki-laki itu
tersenyum, dia teringat
sesuatu. Sambil memeluk isterinya dia
berbisik. "Tetapi Puguh
pasti mau melakukan itu jika kamu yang
membujuknya. Aku
rasa tak akan ada seorang laki-laki pun yang
bisa menolak
permintaanmu apalagi jika kau membujuk dan
merayunya."
Dia mencubit suaminya.
"Termasuk kamu, Mas?"
Gajah Kuning mengangguk.
"Aku pun selalu tak berdaya jika
dihadapkan pada
kecantikanmu" Dia berbisik sambil
lidahnya menggelitik telinga
isterinya. "Kesih, lakukan itu, kau
bujuk dia, lakukan sebelum
perang ini terjadi, lebih cepat lebih baik.
Jika Puguh sudah
berjanji, dia pasti akan menepatinya dan itu
artinya
keselamatan anak kita sudah terjamin."
"Apa maksudmu, kangmas?" Dalam
hati Sukesih menebaknebak
apakah suaminya sudah mengetahui
perselingkuhannya
selama ini dengan Manjangan Puguh.
"Demi kepentingan anak kita, lakukan
itu Kesih, bujuk dan
rayu dia supaya mau berjanji menolong Wisang
Geni
seandainya kita kalah perang atau jika kita
berdua mati di
medan perang. Pada saat itu dia harus
kembali ke keraton dan
menyelamatkan Geni meskipun untuk itu dia
harus lari dari
medan perang." Dia masih mendekap
isterinya,
menyembunyikan wajahnya di leher wanita itu.
Sukesih terkesiap. Hatinya berbunga
memperoleh
kesempatan itu, tapi ia berpura-pura.
"Tetapi aku hanya
membujuk, bicara dengannya, tidak lebih dari
itu, Mas.
Meskipun begitu aku butuh waktu satu atau
dua hari
membujuknya. Dan belum tentu aku akan
berhasil."
"Ini demi keselamatan anak kita, demi
anakmu Lagipula
Puguh adalah kekasihmu yang pertama, aku
melihat bahwa
dia masih mencintaimu bahkan sangat
kasmaran. Makanya
aku yakin Puguh akan mengabulkan
permohonanmu, apa saja
yang kau minta."
"Mas, kamu suamiku, hanya padamu aku
mengabdi dan
jiwa ragaku kepunyaanmu semata. Manjangan
Puguh itu milik
masa lalu, tapi Gajah Kuning dan Wisang Geni
adalah masa
depanku. Aku sangat mencintaimu, Gajah
Kuning," bisiknya
separuh mendesis. Sukesih merasa dia
benar-benar mencintai
suaminya. Tetapi di dalam hati, dia tak bisa
memungkiri
bahwa dia juga mencintai Manjangan Puguh.
Mereka masih berangkulan. Lantas Gajah
Kuning
meregangkan tubuh, memandang wajah jelita
isterinya. Dia
mencium mulut Sukesih. Dia tak pernah tahu,
pagi tadi mulut
itu sudah dilumat habis-habisan oleh Puguh.
Di salah satu kamar di bagian keraton,
Wisang Geni sedang
menekuni lembaran kulit tipis yang
bertuliskan aksara Jawa
kuno dan Sansekerta. Kamar itu diterangi
obor dinding.
Seorang lelaki berusia tiga puluhan sedang
mengawasi. Dialah
Ki Waragang, tokoh muda yang terkenal
sebagai tabib sakti
dan juga ahli racun. Dia merupakan tabib
istana yang menjadi
orang kepercayaan Mahisa Walutigan, adik
kandung baginda
raja Dandang Gendhis.
Mahisa Walungan menyukai Wisang Geni karena
menganggap anak itu punya bakat luar biasa
bagusnya untuk
menjadi pendekar besar. Itu sebabnya, dia
ikut melatih Geni.
Bahkan dia minta Ki Waragang melatih dan
mempersiapkan
Geni menjadi pendekar yang menguasai sastra,
obat-obatan,
bahkan juga racun. Sedang untuk ilmu silat,
dia berempat
Gajah Kuning, Gubar Baleman dan Manjangan
Puguh akan
mendidiknya serius.
"Geni, ini aksara kuno yang digunakan
orang di jaman dulu,
sekitar seratusan tahun lebih pada saat raja
Erlangga masih
memerintah. Kamu perlu mengetahui ini semua,
pasti suatu
waktu ilmu sastra ini akan berguna
bagimu." Waragang tak
bosan-bosan memberi petunjuk. Lelaki itu
mengelus-elus
kepala Geni. "Dua tahun sudah aku
mendidikmu, sebenarnya
kamu sudah lulus. Besok mungkin aku tak
perlu lagi
menemanimu Kamu sudah pandai membaca
menulis,
mengerti sastra, menguasai ilmuketabiban
serta yang paling
penting, darahmu kini punya daya tolak
terhadap segala
macam racun. Kamu sudah kebal terhadap
racun. Mungkin
ada beberapa jenis racun yang bisa menerobos
daya tahan
tubuhmu, tetapi tidak banyak."
Lemah Tulis suatu perdikan besar. Sudah
menjadi tradisi
turun temurun sejak cikal bakal Mpu Baradha
mendirikan
perguruan itu di jaman raja Erlangga, Lemah
Tulis selalu
mengirim anak muridnya untuk mengabdi
keraton. Dalam
beberapa kejadian, murid-murid Lemah Tulis
ini menjadi
punggawa kerajaan tidak resmi yang setiap
saat siap membela
keraton dari ancaman luar.
Tanah perdikan Lemah Tulis cukup luas. Di
rimba
kependekaran tanah Jawa, Lemah Tulis
tergolong perguruan
paling berpengaruh dan disegani orang. Murid
yang berguru di
perguruan itu mencapai seratus limapuluhan.
Sebagian di
antaranya mengabdi di keraton Kediri. Dalam
situasi panas
membara dan perang sudah bergayut di depan
mata, sekitar
lima puluh murid Lemah Tulis berada di
keraton. Siap
membela keraton. Sebagian lainnya masih
tinggal di
perguruan namun sudah siap-siap berangkat
membela
kerajaan.
Sore menjelang malam Ketua Lemah Tulis,
Bergawa, duduk
bersama adik seperguruannya, Branjangan. Dua
tokoh itu
hampir sebaya, sekitar empat puluhan. Duduk
di hadapan
keduanya, seorang cucu murid, Suta yang
adalah murid Gubar
Baleman. Suta sejak tiba siang tadi belum
istirahat. Dia
membersihkan tubuh dan mengganti pakaiannya
yang penuh
lumpur, kemudian menghadap dua kakek gurunya
itu.
Suta menceritakan kejadian yang dialaminya
di hutan
kemarin sore. Bergawa berpikir sejenak,
keningnya berkerut.
Dia kemudian memerintah Suta memanggil
enambelas murid
lain yang namanya disebut satu-satu. Mereka
semua adalah
murid paling tangguh yang berada di
perguruan saat itu.
Selang sesaat sepeninggal Suta, seorang
murid perempuan
masuk dengan nampan berisi makanan dan
beberapa kendi air
minum Dua tokoh itu makan dan minum sambil
membincang
kekuatan lawan. "Jumlahnya sekitar
limapuluh pendekar di
antaranya Kalayawana, Tambapreto, Bango
Samparan.
Mereka semua pendekar kenamaan yang memiliki
ilmu silat
kelas satu. Pasti ini bagian dari strategi
perang Tumapel.
Pertama, lumpuhkan Lemah Tulis, setelah itu
baru menyerang
keraton Kediri," kata Bergawa.
Tak lama kemudian tujuhbelas murid termasuk
Suta duduk
menghadap. Ada beberapa murid yang meskipun
masih muda
usia namun sudah memiliki ilmu silat
mumpuni. Di antaranya
tiga murid Bergawa yakni Ranggaseta murid
kedua, Lembu
Agra murid kelima dan Walang Wulan murid
ketujuh. Empat
murid Bergawa lainnya saat itu sedang berada
di keraton.
Gubar Baleman yang tertua dan sudah mewarisi
semua ilmu
silat gurunya. Gajah Kuning murid ketiga,
Kebo Jawa murid
keempat dan Sukesih murid keenam
Bergawa menceritakan adanya bahaya yang
sudah di
depan mata. Musuh dengan kekuatan besar akan
menyerang
dan menghancurkan Lemah Tulis.
"Keadaan ini sangat menentukan mati
hidupnya Lemah
Tulis. Kita di sini akan diserang dan yang
menyerang adalah
pendekar berilmu tinggi yang menjadi bagian
kekuatan
pasukan Tumapel. Di Kediri, saudara kalian
akan berperang
membela keraton, dan kita tidak tahu
bagaimana nasib
mereka dalam perang nanti. Tetapi satu hal
penting harus
kalian ingat, ilmu Lemah Tulis ini tak boleh
lenyap dari muka
bumi. Jika keadaan terdesak dan kita tak
mungkin bertahan
lebih lama, kalian harus lari, selamatkan
diri masing-masing,
berlatihlah dengan rajin, pelihara dan
lestarikan jurus-jurus
Garudamukha, aku yakin suatu hari nanti akan
muncul
seorang ketua baru dari angkatan muda untuk
memimpin
Lemah Tulis. Camkan ini”
Selanjutnya Bergawa dan Branjangau mengatur
semua
muridnya untuk bersiap menanti serangan
lawan. Tujuhbelas
murid itu menjadi pemimpin kelompok yang
bertanggungjawab di pos-pos tertentu.
Ketika semua murid sudah keluar ruangan,
Branjangan
dengan wajah muram berkata kepada kakak
perguruannya,
"Tumapel rupanya sangat siap berperang.
Aku kawatir dengan
apa yang bakal terjadi. Kangmas, sebaiknya
kita bertarung di
dekat kamar rahasia. Sebagai ketua kamu
bertanggungjawab
menjaga dan meneruskan ilmu silat kita,
karenanya kamu
harus selamat, begitu kita kalah, kamu harus
masuk kamar
rahasia, aku yakin Dimas Padeksa dan Gajah
Watu akan
datang, kamu harus bertahan hidup dan
menunggu mereka,
kamu harus berjanji padaku, Mas"
Dua tokoh itu kemudian bersemedi mengatur
tenaga
dalam. Keduanya terkejut karena tenaga dalam
tak bisa
disalurkan. Ada sesuatu dalam tubuh yang
menghalangi
mengalirnya tenaga batin. Semakin dilawan
semakin tubuh
merasa lemas. Tanpa sadar Branjangan berkata
sambil
menatap kakaknya, "Ada apa dengan
tenagaku?"
Sesaat Bergawa sadar, ia berseru,
"Dimas, jangan kerahkan
tenaga, ini racun pelemas tulang, makin kita
lawan makin kita
keracunan."
Ranggaseta, laki-laki muda bertubuh kekar
masuk
menghadap dengan tergesa-gesa. Dia melapor
beberapa
murid tak bisa melakukan semedi. Ada
gangguan dalam tubuh
yang menghambat pengerahan tenaga dalam Tapi
dia sendiri
tidak keracunan.
Bergawa memanggil semua murid berkumpul. Dia
menanyakan siapa saja yang kena racun. Sebagian
murid
melangkah ke depan Hampir separuh dari
mereka, keracunan.
"Racun itu dicampur dalam makanan dan
minuman, bagi
murid yang belum keracunan, sekarang ini
jangan makan dan
minum," tegas Bergawa.
Tadi dia dan Branjangan telah memeriksa
murid pembawa
nampan. Dari pengakuannya, seperti biasanya
dia masuk
gudang bersama empat murid lain, tak ada
sesuatu yang
mencurigakan. Bergawa memastikan bahwa lima
murid
tersebut tidak bersalah. Dia berkata pada
Branjangan. "Orang
itu tak mungkin dari luar sebab tak mungkin
dia bisa
menyusup masuk. Pasti dia orang dalam,
seorang murid
pengkhianat. Tetapi sebaiknya hal ini tak
perlu kita
bincangkan dengan para murid, aku khawatir
akan timbul
perpecahan karena saling curiga mencurigai
padahal saat ini
semua harus bersatupadu."
Situasi kritis itu harus disikapi dengan
bijak Bergawa
memutuskan murid yang keracunan harus pergi
meninggalkan
perguruan. Mereka tak mungkin bisa bertarung
karena hanya
membuang nyawa percuma. Murid yang tidak
keracunan,
boleh tetap di sini dan bertarung mati
hidup. "Aku, Branjangan
dan Ranggaseta tetap di sini, kami masih
sanggup bertarung,"
tegasnya.
Walang Wulan, murid Bergawa paling bontot,
usia
tujuhbelas tahun, jangkung, cantik keibuan
dengan kulit
kuning sawo. Dia menangis ketika kepalanya
dielus sang guru
"Kamu tak boleh di sini, kamu harus
hidup dan ikut menjaga
ilmu silat kita. Kamu cari pamanmu Padeksa,
berlatihlah
bersama dia. Adapun pamanmu, Gajah Watu,
terserah
padamu apakah kau maafkan dia atau tidak.
Dia tidak pantas
menjadi paman gurumu Wulan, bawalah pesanku,
muridku
yang paling layak menggantikan aku sebagai
ketua, adalah
kakakmu Gubar Baleman, urutan berikutnya
Gajah Kuning.
Semoga para dewa melindungi dua kakakmu itu.
Ingat ini, jika
dua kakakmu itu gugur dalam perang, maka
kamu lebih layak
menjadi ketua dibanding Lembu Agra, camkan
itu! Karena itu
Wulan, berlatihlah lebih rajin. Sekarang
pergilah, Wulan,
sebelum terlambat," katanya sambil
menghapus airmata di
wajah cantik muridnya.
Malam itu menjadi malam perpisahan yang tak
mungkin
dilupakan para murid, baik mereka yang pergi
maupun yang
menetap. Jumlah yang memilih bertarung
sampai mati, hanya
empatpuluhan murid. Dipimpin Ranggaseta,
mereka bersiapsiap
di beberapa tempat Para murid yang harus
pergi
meninggalkan perguruan, pergi dengan isak
tangis. Tidak
pernah terpikirkan bahwa situasi perguruan
bisa seburuk itu.
Mereka pergi dengan isak tangis bercampur
dendam
membara, tetapi masa depan yang gelap
menanti sekelam
malam yang gulita. Apakah Lemah Tulis akan
sirna dari tanah
Jawa?
Bergawa teringat pesan gurunya, Rama
Balawan, cara unik
mengembalikan tenaga yang hilang akibat
racun pelemas
tulang. Cara itu hanya bisa dilakukan jika
yang kena racun
adalah dua orang yang tidak terpaut jauh
tenaga dalamnya.
Kenyataannya dua tokoh murid Rama Balawan
itu, tenaga
dalamnya sama imbang.
Tidak ayal lagi Bergawa dan Branjangan
lantas memainkan
jurus Gongkrodha (Kemarahan Luar Biasa) dari
ilmu
Garudamukha yang merupakan ilmu silat
andalan Lemah Tulis.
Selama dua gurunya berlatih, Ranggseta setia
berjaga-jaga
Benturan tapak tangan dua tokoh itu mulanya
perlahan,
makin lama semakin keras, dan tiada henti.
Lama kemudian,
keduanya berhenti sejenak. Branjangan tampak
gembira.
"Kangmas, sebagian besar tenagaku sudah
pulih." Dia
melanjutkan dengan lirih. "Romo Guru
Balawan, meski sudah
lama mati namun masih bisa juga menolong dua
muridnya
yang goblok ini."
Malam makin larut, bulan sembunyi di balik
awan
mendung. Guruh dan kilat bersambung
mengiringi hujan
gerimis. Bergawa dan Branjangan tekun bersemedi.
Keduanya
bersama semua murid mengenakan pakaian warna
putih dan
ikat kepala warna hitam.
Gerimis masih menyiram bumi. Malam makin
larut.
Dingin mencekam. Mendadak langit terang
benderang,
panah api dan obor menyala melayang di udara
masuk ke
dalam pekarangan perguruan. Lalu terdengar
suara gedubrak
keras ketika pendekar Himalaya, Lahagawe
memukul pintu
gerbang. Beberapa kali terdengar bunyi
keras, saat berikut
pintu hancur. Terdengar suara hiruk pikuk,
puluhan orang
menyerbu masuk, mereka menggunakan ikat
kepala warna
putih. Pertarungan satu lawan satu atau
keroyokan terjadi di
mana-mana. Banyak korban berjatuhan. Ada
yang mati, ada
yang luka parah. Suara jerit kematian dan
kesakitan
bercampur dengan makian dan sumpah serapah
mewarnai
gelapnya malam yang masih disiram gerimis
kecil. Kalah
dalam jumlah, satu demi satu murid Lemah
Tulis mulai gugur.
Di pihak lawan juga banyak yang mati
Murid-murid Lemah
Tulis makin terdesak dan tidak punya peluang
untuk
mempertahankan tanah perdikannya.
Di suatu sisi pertarungan tampak Bergawa
sedang melawan
Lahagawe, Branjangan dikeroyok Bango
Samparan dan
Tambapreto, dan Ranggaseta bertarung mati
hidup dengan
Kalayawana. Tiga pendekar Lemah Tulis
terdesak mundur
sampai ke dekat kamar rahasia.
Lahagawe mendesak, menggunakan jurus-jurus
Himalaya
yang aneh tapi mumpuni.
"Huh hanya sebegini saja jurus Lemah
Tulis, tak ada apaapanya
yang bisa dibanggakan!"
Bergawa tertawa keras. "Jurus silatmu
biasa tapi racun
pelemas tulangmu hebat. Tak kusangka
pendekar berilmu
tinggi macam kamu hanya pengecut yang mahir
meracuni
lawan dengan diam-diam. Dasar licik,
pengecut tidak tahu
malu!"
Lahagawe murka. Ia menggeram Tarung makin
dahsyat.
Pukulan Lahagawe mengena pundak dan perut
Bergawa yang
kontan terlempar. Lahagawe mengejar. Ranggaseta
meninggalkan lawannya, dia mengejar
Lahagawe. Dia
memotong jalan dan menghadang di depan
langkah pendekar
Himalaya itu. Ranggaseta berteriakk,
"Guru, cepat masuk!"
Bergawa ragu-ragu. Lahagawe menggerakkan
kaki dan
tangan, menyerang Ranggaseta. Tetapi murid
Bergawa ini tak
mau menghindar dari jalan. Saking kesalnya,
Lahagawe
menggelar jurus-jurus mematikan. Dalam
beberapa jurus
berikut pukulannya menerpa kepala
Ranggaseta. Murid setia
ini terpelanting dan mati sebelum tubuhnya
menyentuh tanah!
Tetapi tidak sia-sia pengorbanannya. Dia
telah memberikan
waktu yang cukup bagi gurunya untuk berpikir
dan mengambil
sikap. Kejadian berlangsung cepat.
Branjangan menyaksikan
kematian Rmggaseta. Dia berteriak,
"Kangmas, cepat masuk!
Jika terlambat masuk, kamu jadi orang paling
berdosa bagi
perguruan kita, cepat!"
Bergawa sempat memandang berkeliling. Hampir
tak ada
lagi murid Lemah Tulis yang bertarung. Semua
mati! Terakhir
yang mati, adalah muridnya yang setia,
Ranggaseta. Dia
melihat Branjangan bertarung dengan gagah
berani. Adiknya
itu sudah luka parah tapi tetap berdiri dan
bertarung
menghadang siapa saja yang ingin mendekati
Bergawa.
Tahu dirinya tak lagi bisa berbuat, Bergawa
cepat
menerobos masuk kamar. Pintu serta merta
tertutup. Bergawa
muntah darah dan jatuh tertelungkup. Gelap.
Semua gelap. Di
luar kamar, Bango Samparan beserta
teman-temannya
berupaya membuka pintu, tetapi tak berhasil.
Pintu itu tak
akan bisa dibuka siapa pun dari luar. Hanya
ketua Lemah Tulis
seorang yang tahu rahasia membuka pintu
kamar rahasia itu.
Kabar buruk itu berjalan cepat, bahkan
sangat cepat. Pada
dini hari, Lemah Tulis porakporanda. Sore
harinya, kabar
buruk itu sudah sampai di keraton Kediri.
Semua murid Lemah
Tulis yang berada di keraton, menangis
mendengar berita
semua rekan seperguruan mati termasuk ketua
Bergawa dan
Branjangan. Hanya sedikit murid yang lolos.
Batin mereka
terpukul. Apalagi mereka yang masih memiliki
hubungan
saudara, bahkan isteri atau suami. Mereka
tak tahu apakah
sanak kerabatnya itu mati atau berhasil
meloloskan diri.
Sore itu di pendopo, tampak Gubar Baleman,
Gajah Kuning,
Kebo Jawa, Sukesih, Manjangan Puguh dan
Mahisa Walungan
duduk bersama. Wajah-wajah itu tampak murung
dan lesu.
Mereka terpukul oleh kabar buruk dari Lemah
Tulis.
Tiga dayang silih berganti masuk pendopo
sambil
membungkuk hormat membawa nampan penuh
berisi
hidangan. Mahisa Walungan mempersilahkan
makan.
"Itu berita buruk, suatu pukulan berat
buat kita semua.
Tetapi pukulan itu semakin merusak semangat
tarung jika kita
membiarkan diri larut dalam kesedihan. Ingat
tak lama lagi
kita sudah masuk ke medan perang. Ayo,
makan, biar
semangat dan tenaga pulih, kita akan
membalas kekalahan di
Lemah Tulis!"
Sambil menyantap ayam bakar, Mahisa Walungan
bertanya
pada Sukesih. "Mana Wisang Geni?"
Wajah Sukesih masih murung. "Kangmas
Walung, Geni
sudah tidur mungkin letih karena seharian
berlatih."
Mahisa Walungan menoleh ke Gajah Kuning.
"Dimas, aku
yakin suatu hari nanti, anakmu itu akan jadi
pendekar
tangguh. Sayang sampai hari ini aku belum
sempat
mewariskan jurus Nagapasa padanya."
"Terimakasih kangmas, dia pasti akan
lebih digjaya sebab
jurus Nagapasa ciptaanmu itu hebat dan
ampuh."
Selesai bersantap, Mahisa Walungan agak
gugup berkata,
"Maaf, aku ingin bicara dengan dimas
Puguh, tidak lama,
kalian tunggu di sini"
Keduanya melompat dan menghilang di
kegelapan malam.
Di suatu tempat di sudut keraton mereka
jalan berendeng.
"Dimas ceritakan tentang puteriku itu,
apakah dia ikut
terbunuh di Lemah Tulis?"
Manjangan Puguh menggeleng kepala. "Tidak!
Itu yang
pertama-tama kuselidiki, aku bertemu seorang
murid yang
lolos yang kukenal. Ternyata Ki Bergawa
telah memerintahkan
beberapa murid yang sudah terkena racun
untuk pergi
meninggalkan perguruan mencari selamat agar
ilmu Lemah
Tulis tetap bisa diajarkan. Dan Walang Wulan
berada di antara
mereka yang lolos."
"Bagaimana keadaannya, ilmu silatnya?
Apakah dia cantik?
Kapan terakhir kamu ketemu dengannya?"
"Belum lama, sekitar dua purnama lalu.
Walang Wulan itu
hebat, dia muda, cantik jelita persis seperti
ibunya, Ki Bergawa
sangat menyayanginya."
"Apakah sudah kamu ajarkan jurus
Nagapasa?"
"Belum!"
"Kalau begitu kamu tak boleh ikut ke
medan perang, kamu
tak boleh mati, sebab kamu masih punya
hutang padaku,
kamu harus mengajarkan Nagapasa pada Walang Wulan."
Manjangan Puguh membelalak. Dalam hatinya ia
tertawa.
Dia mau menyabung nyawa di medan perang
karena cintanya
pada Sukesih. Dia akan membela dan
melindungi wanita itu,
meskipun harus berkorban nyawa.
"Tidak, kangmas. Aku tak bisa memenuhi
permintaanmu,
aku sudah ikrar akan tarung di medan perang,
tak bisa kamu
mengubah pendirianku itu"
Mahisa Walungan menatap mata kawannya. Dia
melihat
sinar mata yang mantap. Dia menghela napas,
keputusan
Puguh tak bisa berubah. Mendadak dia ingat
sesuatu. "Puguh,
aku pernah menawarkan padamu untuk
menyunting Wulan
jadi isterimu, kau belum menjawab."
"Sejak Wulan masih kecil dia sudah
mempercayai aku
adalah kakak kandungnya. Aku menganggapnya
sebagai adik
sendiri. Ketika aku titipkan Wulan ke Lemah
Tulis, aku
berbohong pada Bergawa bahwa aku adalah
kakak
kandungnya. Kangmas, putrimu itu cantik
jelita, tetapi aku
tidak mungkin memperisterinya."
"Dimas Puguh, siapa saja yang
mengetahui rahasia bahwa
Wulan adalah putriku?"
"Hanya dua orang, guruku dan Nyi
Pancasona. Tidak ada
lain orang lagi"
Tengah malam di kebun bagian belakang
keraton,
Manjangan Puguh sedang berlatih, ia duduk
semedi di atas
pohon. Ia berbaring di dahan kecil, tubuhnya
berayun kian
kemari dalam kerimbunan daun. Mendadak
seorang bertopeng
melesat ke atas pohon, menyerang Puguh.
Keduanya tarung
keras. Manjangan Puguh membentak,
"Siapa kamu, berani
menyatroni keraton!"
Dalam beberapa jurus Manjangan Puguh bisa
membaca
siapa lawannya itu. Jurus Garudamukba cuma
bisa dimainkan
oleh murid Lemah Tulis. Dan melihat potongan
tubuhnya yang
langsing, dia mengenali Sukesih. "Kesih
berhenti, mau apa
kamu?"
Tiba-tiba Sukesih limbung, tubuhnya doyong
ke samping.
Manjangan Puguh cepat meraih pinggangnya.
Sukesih
membuka topengnya, ia mengibas rambutnya
yang tadinya
diikat. Puguh hendak melepas pelukannya,
tetapi Sukesih
justru memeluknya. Lelaki itu tak bisa
menguasai diri, ia
memeluk, menciumi leher dan mulut wanita
yang dia cintai itu.
Terengah-engah, Sukesih mendesah.
"Lemah Tulis porak
poranda, semua hancur, banyak yang mati,
guruku mati,
malam ini aku sangat sedih, Gajah Kuning tak
bisa
menghiburku, ia juga sedang berduka. Puguh,
hibur aku,
cintai aku, Mas"
Suara Sukesih sendu, ada isak di dalamnya.
Puguh merasa
iba, tetapi suara memelas dan tubuh montok
itu telah
merangsang nafsu birahinya. "Aku
mencintaimu, Kesih, kamu
wanita satu-satunya yang kucintai, tak ada
wanita lain." Dia
melihat sekeliling kemudian membopong
perempuan itu ke
goa di hutan.
Sukesih, pada usia limabelas, berkenalan
dengan
Manjangan Puguh. Pertama kali dia mengenal
lelaki dan
kehilangan perawan. Percintaan yang penuh
nafsu birahi
Mereka bercinta dari satu tempat ke tempat
lain. Mereka
kasmaran satu sama lain. Dua tahun bercinta,
Puguh lupa
amanat gurunya, Sagotra. Suatu waktu sang
guru
mendampratnya, karena tidak serius berlatih.
Sagotra
membawa muridnya kembali ke gunung Merapi
Puguh pergi
tanpa sempat memberitahu kekasihnya. Dia
seperti lenyap
ditelan bumi.
Sepeninggal Manjangan Puguh, Sukesih patah
hati. Kakak
seperguruannya, Gajah Kuning yang sudah lama
mencintainya, merayunya. Satu tahun tanpa
kabar berita dari
Manjangan Puguh, dia yakin kekasihnya itu
mati Dia tak punya
pilihan lain, gurunya mendesak agar menerima
lamaran Gajah
Kuning. Dia berusaha mencintai Gajah Kuning,
tetapi
bayangan Puguh tetap melekat di hatinya.
Sepuluh tahun berguru di Merapi, Manjangan
Puguh turun
gunung mencari kekasihnya namun Sukesih
sudah menjadi
isteri Gajah Kuning dan telah melahirkan
Wisang Geni. Tapi
Puguh tak bisa melupakan kekasihnya. Begitu
juga Sukesih.
Setelah mengetahui latar belakang
menghilangnya Puguh
sepuluh tahun lalu, cinta Sukesih bersemi
lagi Dia tak bisa
melupakan kenangan manis masa lalu.
Terlebih-lebih Puguh
punya banyak kelebihan dibanding suaminya.
Maka terjadilah
perselingkuhan itu. Puguh sangat kasmaran
pada kekasihnya.
Sukesih masih mencintai Puguh dan selalu
merindukan belaian
dan cintanya yang panas. Kepada dirinya,
Sukesih sering
berkata pada dirinya, "Drupadi
mencintai lima suaminya,
Pandawa Lima, dan tak pernah bisa menjawab
siapa yang
paling dia cintai, apakah Yudistira, Bima,
Arjuna, Nakula atau
Sadewa? Tetapi aku hanya mencintai dua
laki-laki."
Goa itu gelap, keduanya berdiri saling
pandang. Sukesih
mengangkat dua tangannya merapikan tatanan
rambutnya.
Gerakan itu memperlihatkan tonjolan buah
dadanya yang
montok dan indah. Tangan lelaki itu meraba
pinggangnya
yang ramping, menarik wanita itu merapat.
Laki-laki itu
merunduk dan mencium bibirnya.
Bulan purnama keluar dari balik awan.Malam
semakin larut,
dua kekasih itu masih bergumul penuh nafsu.
Saat mentari
mulai ngiinip dari ufuk Timur, dua anak
manusia itu masih
berenang di lautan birahi cinta terlarang
yang indah dan
mempesona.
" Kangmas Puguh, mengapa kamu tidak
mencari
perempuan yang bisa mendampingimu sepanjang
hari, dari
pagi sampai malam, sampai pagi lagi. Aku
tidak bisa
mendampingimu seperti itu. Aku harus
mengikuti, Gajah
Kuning. Dia suamiku yang resmi."
"Tidak Kesih, aku tidak bisa
melupakanmu. Hanya ajal saja
yang bisa membuat aku lupa padamu"
"Puguh tadi malam kamu sudah berjanji
padaku, apa pun
yang kuminta akan kamu kabulkan, seandainya
aku meminta
kamu mati, kamu bersedia?"
"Aku rela mati untukmu, asalkan mati
dalam pelukanmu,
mati dengan mulutmu menempel di mulutku,
mati pada saat
kamu mencintaiku."
"Kalau aku minta kamu tidak boleh mati,
kamu bersedia
juga kan?"
"Tentu saja! Selama hidupku aku akan
selalu mencintaimu"
"Mas, jika suamiku gugur dalam perang
nanti, aku ikut mati
bersamanya, itulah puncak darma dan
pengabdian seorang
isteri. Jika kami berdua mati dalam perang,
kamu harus pergi
meninggalkan medan perang, kembali ke
keraton dan
menolong Geni. Jadi kamu tak boleh mati Kamu
harus
membesarkan dan mendidik Geni, jangan
biarkan dia
terbunuh atau menjadi tawanan pasukan Arok.
Janji,
berjanjilah padaku, kekasihku. Sekarang ini
aku akan
lucnernanimu sampai siang hari, aku akan
memberimu
kepuasan sehingga kamu tak akan pernah
melupakan saatsaat
ini."
"Kesih, aku sungguh tak berdaya dalam
perangkap
pesonamu, aku mencintai, kasmaran padamu,
mencium
kakimu pun aku rela. Aku ingin mati
bersamamu, tapi aku
tahu itu tak mungkin, Gajah Kuning ada di
sampingmu Aku
janji akan menolong Geni, tak akan kubiarkan
selembar
rambutnya diusik orang. Kesih, aku ingin
memelukmu seharian
penuh bahkan kalau bisa sepanjang hidupku,
betapa aku
mencintamu"
"Aku juga mencintaimu, Puguh. Kamu
jantan, kamu
memberiku kepuasan yang tak bisa diberikan
Gajah Kuning.
Aku merasa berdosa pada suamiku, tapi aku
tak berdaya
karena aku tak bisa melupakanmu Puguh, ingat
janjimu, kamu
tak boleh mati di medan perang, kamu harus
menyelamatkan
Geni, didik dan besarkan anakku itu. Aku
ingin jika nanti
dilahirkan kembali, aku menjadi isterimu dan
melahirkan
banyak anak untukmu sesuatu yang tak bisa
kuberikan
padamu sekarang ini."
Malam itu, Mahisa Walungan meneruskan
perintah
kakaknya, baginda raja Kertajaya. Seluruh
pasukan siap untuk
berangkat esok pagi, menuju desa Ganter.
Mereka akan
mencegat pasukan Tumapel di hutan dekat
Ganter. Mereka
akan menyusun jebakan dan siasat yang akan
melumpuhkan
dan menghancurkan pasukan Tumapel.
Di dalam kamar, Gajah Kuning menggumuli
tubuh isterinya.
Dia tergila-gila akan kecantikan wajah dan
tubuh isterinya. Dia
sudah tahu, istrinya selingkuh dan memadu
cinta terlarang
dengan Manjangan Puguh. Tapi dia tak sanggup
mencegah.
Dia takut, isterinya akan memilih. Dia yakin
isterinya pasti
akan memilih Puguh. Dia tak sanggup berpisah
dari Sukesih.
Sukesih mengelus kepala suaminya. Dia sering
merasa iba
pada suaminya. Laki-laki itu sangat kasmaran
padanya. Dia
tahu, suaminya itu lebih tergila-gila pada
tubuhnya ketimbang
mencintainya. Laki-laki itu menyukai bagian
tubuhnya,
mengelus dan menjilati buah dada, ketiak,
paha dan betis
bahkan sering menciumi telapak dan tumit
kakinya.
Sulit dipercaya bahwa Gajah Kuning yang
terkenal sebagai
pendekar berilmu tinggi dan jago tarung yang
amat tega
membunuh lawan serta ditakuti lawan dan
disegani kawan,
ternyata tidak berdaya menghadapi pesona
tubuh dan
kecantikan liar seorang perempuan bernama
Sukesih.
"Kesih aku mencintaimu, jangan tinggalkan
aku," suara
Gajah Kuning memelas sambil dia menciumi
ketiak isterinya.
Laki-laki itu sudah tak berdaya lagi. Tiga
kali dia mencapai
orgasme. Sedangkan Sukesih tak sekalipun,
namun seperti
biasa, perempuan cantik ini berpura-pura
merasakan
kenikmatan orgasme.
Perempuan itu mengumpulkan segenap kekuatan
batinnya.
Suaranya agak parau. "Mas, besok kita
tarung di medan
perang, mungkin kita akan mati, itu sebab
aku harus berterus
terang padamu tentang aku dan Puguh."
"Kesih, aku sudah tahu semuanya, kalian
berdua saling
menyinta dan kalian sering bercinta,"
sambil mengelus
payudara dan mencium leher isterinya, Gajah
Kuning
melanjutkan. "Aku tahu semuanya. Tidak
perlu kamu ceritakan
padaku."
"Mas, kamu sudah tahu aku selingkuh dan
bercinta dengan
Puguh tetapi kamu diam saja, mengapa?"
"Sebab aku yakin kamu akan memilih
Puguh jika aku
mendesakmu, dan itu aku tak mau, aku tak mau
berpisah
denganmu Kesih, jangan tinggalkan aku!"
Mendadak rasa iba dan kasihan mendorong
dirinya untuk
memeluk dan menciumi wajah suaminya.
"Tidak mas, aku tak
akan meninggalkanmu Besok, kita berdua akan
berdampingan
melawan musuh. Mati hidup kita bersama-sama.
Aku tak akan
berpisah darimu, walau sejengkal pun."
Perang Ganter melibatkan ribuan serdadu di
kedua pihak,
Kediri dan Tumapel. Adu strategi dan siasat.
Pihak Kediri
mempersiapkan jebakan yang jika terlaksana
akan
menghancurkan pasukan Tumapel. Sayang ada
pengkhianat
yang membocorkan rahasia ini. Jebakan Kediri
itu akhirnya
menjadi kuburan bagi pasukan Kediri.
Semula diperkirakan jumlah pasukan Kediri
lebih banyak
dan menggentarkan lawan. Kenyataan
sebaliknya jumlah
pasukan Tumapel lebih banyak karena pada
saat-saat terakhir
sebagian pasukan keraton membelot dan
bergabung dengan
Tumapel. Tak heran dalam perang bubat itu,
satu per satu
prajurit dan hulubalang Kediri gugur
bersimbah darah. Tapi
mereka pantang menyerah terutama orang-orang
Lemah
Tulis. Para pendekar Lemah Tulis itu merasa
kematian sudah
di ujung rambut, namun tak seorang pun yang
melarikan diri.
Lebih baik mati ketimbang lari dari medan
perang.
"Kami boleh mati tapi tidak boleh
terhina. Jika harus mati,
kami akan menyeret banyak korban dari pihak
lawan."
Di tengah arena perang Mahisa Walungan dan
para
pendekar kepercayaan keraton, bertarung
mendampingi
baginda raja Dandang Gendhis. Seratus lebih
prajurit dan
hulubalang Tumapel mengepung raja Kediri
itu. Di antara
kelompok pengepung itu, beberapa pendekar
berilmu tinggi
seperti Bango Samparan, Mpu Palot, Sempani,
Jayawikata,
dan Bajul Ijo telah menutup ruang bagi Dandang
Gendhis
untuk lolos.
Tidak jauh dari tempat itu, Gajah Kuning
berdua isterinya
bahu membahu bersama Kebo Jawa adu jiwa
menghadapi
Kalayawana, Penguasa Kegelapan dari
Gondomayu, yang
dibantu Sepasang Iblis Sapikerep dan belasan
pendekar
tangguh lainnya.
Di satu sudut medan Manjangan Puguh dan
Gubar Baleman
terdesak oleh Lahagawe, pendekar Himalaya
yang kosen itu.
Jurus-jurus silat Lahagawe sangat aneh.
Ditambah lagi dengan
tenaga dalamnya yang begitu besar, tak heran
jika Manjangan
Puguh dan Gubar Baleman terdesak hebat.
Padahal dua
pendekar itu tergolong pendekar kelas utama
tanah Jawa.
Manjangan Puguh, murid tunggal Ki Sagotra,
dari gunung
Merapi. Ia memiliki ilmu ringan tubuh
Waringin Sungsang yang
kesohor kehebatannya serta jurus Bang Bang
Alum Alum.
Sedangkan Gubar Baleman, murid pertama
Bergawa yang
sudah mewarisi seluruh ilmu gurunya, ketua
Lemah Tulis,
mumpuni dalam jurus-jurus Garudamukha yang
kondang.
Namun dua jago kerajaan ini terdesak hebat
bahkan nyawa
mereka sudah di ujung rambut. Saat itu
Baleman berteriak
keras mengerahkan segenap tenaga lewat dua
jurus
Garudamukha yang saling susul Gongkrodha
(Kemarahan Luar
Biasa) dan Shubdrawa (Hancur Luluh).
Sehebat-hebatnya
Lahagawe gebrakannya tertahan juga. Dua
jurus
Garudamukha itu diumbar pada saat yang
tepat. Saat di mana
nyawa terancam. Keampuhannya menjadi
berlipat ganda.
Sementara Manjangan Puguh memanfaatkan
kesempatan
dengan menggelar dua jurus dahsyat dari Bang
Bang Alum
Alum (Semua Merah, Semua Hidup atau Semua
Mari) yaitu
Bhaskarogra (Panas Matahari yang Memuncak)
disusul
Nanawidha (Beraneka Warna). "Mas Gubar,
ayo kita adu jiwa
dengan dedemit ini," teriak Puguh.
Gubar Baleman menggeram, Manjangan Puguh tak
kalah
bengisnya. Tetapi Lahagawe bukan pendekar
biasa, dia sudah
terbiasa dalam pertarungan tingkat tinggi
Karenanya dia
bukannya gentar malah merangsek maju. Dua
tangannya
berputar dalam lingkaran yang berbeda.
Tangan kanan
membuat lingkaran besar ke kanan, tangan
kiri membuat
lingkaran kecil ke kiri.
0 komentar:
Posting Komentar