Tidak bisa menahan sabar lagi, Prawesti
menegur dengan
suara tegas. "Di sini ada aturan, siapa
pun tetamu yang
bertamu harus menjelaskan asal-usul dan
keperluannya, harap
kalian berdua mengikuti aturan."
Ekadasa naik darah. Di keraton Tumapel dia
ditakuti dan
dihormati para bawahan. Dia biasa dimanja
dan dipuji para
atasan karena kecantikannya. Tidak biasa dia
menerima
perlakuan kasar, Ekadasa menyahut ketus,
"Kau siapa kok
lagakmu macam nyonya besar, kulihat-lihat
kau masih remaja
bau kencur."
"Tamu kurangajar!" Prawesti
bergerak cepat, mendadak dia
sudah berada di depan Ekadasa. Tangannya
bergerak
menampar mulut Ekadasa.
Ekadasa tidak berdiam diri. Dia berkelit
sambil menendang
selangkangan dan meninju wajah Prawesti.
Dalam sekejap
dua perempuan ini terlibat pertarungan
sengit. Trini dan
Raditin diam di tempat. Salah tingkah, ingin
memisah namun
khawatir dikira melakukan pengeroyokan.
Keduanya saling
pandang, siap siaga. Berjaga-jaga jika
rekannya terancam
bahaya.
Raditin terheran-heran melihat sepak terjang
Prawesti. Dia
tak mengira ilmu silat gadis itu setinggi
itu. Tetapi begitu
mengingat hubungan Prawesti dengan ketua, dia
tidak heran
lagi. "Tentu saja, karena ketua sendiri
yang melatihnya
langsung."
Prawesti dengan gesit memainkan jurus-jurus
Garudamukha. Karena kesal maka Prawesti tak
segan
memainkan jurus telengas. Serangan gencar
ini membuat
Ekadasa terdesak mundur. Meski sudah
berupaya keras
meladeni, dua pukulan Prawesti mengena
pundak dan lengan
Ekadasa. Ekadasa terpukul mundur dua
langkah. Sebelum
serangan Prawesti datang lagi, Ekadasa
mencabut pedang dari
pinggangnya. "Aku terbiasa menggunakan
pedang, silahkan
kamu ambil senjatamu."
"Menghadapi keledai macam kamu, aku
tidak perlu
senjata."
Ekadasa benar-benar marah, disebut keledai.
"Kamu cari
mati." Ia menerjang dengan jurus pedang
Bianglala. Kilatan
pedang dan suara desir angin membuat
Prawesti terkejut.
Gadis Lemah Tulis ini belum punya pengalaman
bertempur,
apalagi tangan kosong menghadapi pedang.
Pertarungan baru
berlangsung beberapa jurus, Prawesti sudah
kedodoran.
Pedang itu seperti punya mata, memburu
Prawesti ke mana
dia berkelit.
Suatu saat pedang itu mengincar perut dan
dada, Prawesti
nekad menggunakan jurus Manusup (Menyelinap)
dan
Gongkrodha (Kemarahan luar biasa). Jurus
Prawesti itu akan
menghantam selangkangan dan dada lawan,
sementara
pedang lawan akan mengenai perutnya.
Prawesti memang
nekad tetapi punya perhitungan, bahwa pada
saatnya nanti
dia akan bergerak menyamping sehingga pedang
hanya akan
merobek kulitnya. Meskipun demikian, tetap
saja resikonya
maut. Kedua perempuan itu terancam maut.
Raditin dan Triniyang berdiri agak jauh,
terkesiap.
Keduanya ingin bergerak, tetapi sudah
terlambat. Pada saat
kritis itu, mendadak datang angin kencang
membuat debu
beterbangan. Terdengar suara jeritan dua
perempuan ku.
Seorang lelaki separuh baya muncul, Padeksa.
"Jika diteruskan
kalian berdua akan sama terluka, bisa-bisa
luka parah."
Padeksa datang tepat pada saat kritis. Ia
memukul dengan
tangan kosong menggunakan tenaga dalam yang
tinggi. Ia
berhasil mendorong tebasan pedang sekaligus
merampas
senjata itu, sedang tangan kirinya
mementahkan pukulan
Prawesti. Tentu saja gerakan Padeksa membuat
Ekadasa dan
Prawesti terpental beberapa langkah mundur.
Raditin dan Prawesti membungkuk memberi
hormat.
Raditin memanggil orangtua itu dengan
sebutan guru sedang
Prawesti menyebut kakek. Mendengar itu Trini
dan Ekadasa
memastikan orangtua itu pasti tokoh sepuh
perdikan.
Keduanya yakin yang datang itu bukanlah
Wisang Geni,
karena menurut kabar ketua Lemah Tulis
seorang muda
tampan dan berilmu tinggi.
Mau tidak mau Trini dan Ekadasa memberi
hormat. Trini
bertutur dengan basa-basi, "Kami tak
punya maksud cari
keributan di sini, tetapi salah faham telah
terjadi, jadi harap
maafkan adik saya."
Padeksa tertawa. "Nona mau jumpa ketua
kami, apakah
nona pernah mengenal ketua kami, dan apa
maksud
kedatangan nona?"
"Kami membawa pesan rahasia dari
seorang kenalan karib
ketua Lemah Tulis, kami ingin menyampaikan
langsung
kepada Ki Wisang Geni, harap bapak bisa
membantu
mempertemukan kami dengan beliau."
Padeksa menugaskan Raditin dan Prawesti
mengantar dua
tamunya ke bilik penerima tamu Dia sendiri
menuju ke bilik
Wisang Geni. Tak lama menunggu, Trini dan
Ekadasa melihat
Padeksa datang bersama Geni.
Trini dan Ekadasa hampir tak percaya melihat
tampang
Wisang Geni. Lelaki itu tampak muda.
Meskipun rambutnya
beruban seluruhnya, tetapi Ekadasa menaksir
usia Geni sekitar
tigapuluhan. Padahal menurut permaisuri
Waning Hyun, usia
ketua Lemah Tulis sekitar tigapuluh lima.
Tubuh Geni yang
tegap dan berotot, wajah yang tampan, kulit
tubuh sawo
matang agak gelap membuat jantung Ekadasa
berdegup
keras. Perempuan cantik ini berusaha
tersenyum semanis
mungkin.
Raditin dan Prawesti masih berada di ruangan
itu. Prawesti
memerhatikan gelagat Ekadasa, tanpa sadar
gadis ini berbisik
pelan namun bisa didengar Ekadasa.
"Huh, tidak punya malu."
Ekadasa merasa wajahnya panas. Marah dan
malu. Tetapi
dia tak membalas sindiran itu. Apalagi saat
itu Trini memberi
hormat. "Kami berdua utusan keraton
Tumapel, aku Trini dan
ini adikku Ekadasa, apakah kami berhadapan
dengan Ki
Wisang Geni?"
"Ya, aku Wisang Geni, ada keperluan
apa?"
Trini menoleh ke kiri dan kanan, agak
ragu-ragu. Geni
merasa geli. "Kau katakan saja apa
tujuanmu, semua yang
berada di ruangan ini orang
kepercayaanku."
"Kami membawa benda kiriman dari
permaisuri keraton
Tumapel, paduka yang mulia Waning Hyun, kata
beliau, benda
ini berikan langsung kepada Ki Wisang Geni,
nanti tunggu apa
pesan dia untuk aku." Trini merogoh
benda dari kantung
bajunya, tetapi mendadak saja benda itu
melompat ke tangan
ketua Lemah Tulis.
Trini terkejut. Ekadasa lebih kaget lagi.
Dia tahu batas
kepandaian kangmbok-nya, di Tumapel Trini
sangat disegani.
Jabatan sebagai orang ketiga di pasukan elit
Tumapel tidak
diperoleh begitu saja, tetapi melalui
penghargaan atas
kepandaiannya.
Wisang Geni menimang-nimang tusuk konde emas
berhias
berlian itu. Dia tertawa. "Aku sudah
lupa benda ini, tapi
Waning Hyun belum lupa. Akhirnya datang juga
saatnya aku
membayar hutang. Katakan kepada permaisuri
junjunganmu,
aku akan datang menemuinya secepat
mungkin."
Ekadasa berusaha menarik perhatian Wisang
Geni, dia
menyela sebelum Trini. "Kalau boleh
bertanya, kapan kira-kira
sampean datang ke istana, supaya kami bisa
menjemput di
gerbang, apakah boleh kami meminta benda
tadi, akan kami
kembalikan ke istana."
Wisang Geni tertawa. "Tak perlu
repot-repot menjemput
aku, aku bisa mengubah diri menjadi burung
dan bisa masuk
langsung ke keputren. Dan benda ini akan
kusimpan, atau
kalau kalian mau ambil silahkan mengambil
dari tanganku."
Trini diam bahkan tegang. Tidak demikian
Ekadasa yang
memang berniat berkenalan dan menarik
perhatian Wisang
Geni. "Ayo kangmbok, kita ambil."
Ekadasa menyerbu ke depan. Trini yang memang
sedikit
penasaran dan agak tidak percaya bahwa Geni
yang kelihatan
muda usia itu bisa dijuluki jago nomor satu
tanah Jawa ikut
menerjang.
Geni tertawa. Ia memang ingin menguji ilmu
Prasidha dan
Penakluk Raja yang baru dipelajarinya. Ia
memainkan dengan
rasa gembira, karena memang hanya ingin
bersenang-senang.
Geni tidak menggunakan tenaga berlebihan,
takut melukai dua
perempuan itu. Tangan kirinya menerima
tenaga pukulan
Ekadasa, memutar tubuh dan memegang bokong
perempuan
itu, kemudian mendorongnya ke arah Trini.
Dua perempuan
itu nyaris bertubrukan.
Ekadasa merah wajahnya, malu karena
pantarnya ditepuk
dan diremas. Tetapi diam-diam dia girang,
paling tidak dia
tahu lelaki itu punya perhatian padanya. Ia
tahu dari bagian
tubuhnya yang selalu menarik perhatian
lelaki adalah
wajahnya yang cantik, lingkar pinggangnya
yang kecil dan
bokongnya yang semok. "Suatu waktu kamu
pasti akan
mencari aku," gumamnya dalam hati
Trini juga serba salah. Maju lagi, tak
mungkin, ilmu lelaki
itu jauh di atas kemampuannya. Tidak bisa
tidak, suka atau
tidak suka, Trini memaksa senyum dan memberi
hormat.
"Terimakasih atas pelajaran ketua, kami
mohon diri."
---ooo0dw0ooo---
Tebing karang itu tinggi di atas permukaan
air laut. Sekar
duduk termenung. Ia menengadah ke langit
menatap awan
putih yang berarak menutupi matahari siang.
Jauh di bawah
tampak debur ombak Segoro Kidul yang
menghantam kaki
tebing. Sekar sering duduk di situ
menyaksikan dan
mempelajari gemuruh ombak.
Sifat dan gerak ombak menjadi inti pelajaran
tenaga batin.
Ombak datang dari tengah laut, gelombang di
belakang
mendorong yang di depan, bergulung-gulung
dan bertumpuk
menghasilkan kekuatan dahsyat yang menghantam
tebing
karang seakan hendak melumat dan
meruntuhkannya.
Limabelas purnama silam, pertama kali
menginjak tebing
curam yang tinggi itu, neneknya membeber
inti kekuatan
tenaga dalam. "Kamu akan memiliki
tenaga dalam mumpuni,
menyerang seperti terjangan ombak dan
gelombang Segoro
Kidul, bertahan bagaikan tebing yang tegar.
Kamu lihat tebing
itu, dia tidak goyah meski begitu hebatnya
terjangan ombak."
Tanpa terasa Sekar sudah menyelesaikan
seluruh
pencerahan ilmu silat neneknya. Tenaga inti
Segoro membuat
Sekar salin rupa menjadi seorang pendekar
wanita yang
kekuatan tenaga dalamnya sangat mumpuni.
Ilmu ringan
tubuh dikuasainya setelah mahir bermain-main
di atas ombak
ganas Laut Kidul. Entah sudah berapa banyak
air laut yang
tanpa sengaja telah diteguknya ketika
berlatih bersama
neneknya. Neneknya memberi nama ilmu ringan
tubuh
ciptaannya Wimanasara mengibaratkan gerak
secepat panah
sakti. Setelah menguasai dua ilmu itu,
barulah si nenek
mewariskan ilmu Sapwa Tanggwa yang terdiri
tujuhbelas
jurus. Ilmu itu banyak mengandung perubahan
sehingga tidak
mudah dipelajari. Satu jurus dikuasai
setelah pendalaman
sekitar duapuluh hari. Uniknya jurus itu
tidak berurutan.
Nama-nama jurusnya pun aneh dan unik bahkan
tidak sesuai
dengan gerakannya.
Waktu itu, ia sempat protes ketika neneknya
mengajarkan
jurus Cumangkrama (Menyetubuhi). Jurus itu
indah tetapi
dahsyat dan mematikan sebab tujuannya titik
kematian lawan,
hanya namanya yang agak gila. "Nek,
mengapa jurus itu
dinamai Cumangkrama, itu kotor dan agak
gila, lebih baik
diganti saja Nek."
Nenek Sapu Lidi marah. "Tidak boleh.
Itu ada artinya, ada
sejarahnya, tak boleh diganti, sampai kapan
pun tak boleh
diganti. Awas kamu, nduk. Semua jurus itu
kunamai sesuai
suasana hatiku pada saat menciptakan jurus
itu."
Ada jurus lain yang namanya unik
Manguswapujeng
lantaran lutut dan belakang lutut Murni
sering diciumi sang
suami. Atau jurus Sasabsasab karena suaminya
telah mencuri
keperawanan miliknya. Atau Raganararas
karena sifat
suaminya yang mudah tertarik pada perempuan
cantik.
Sekar merasa ada yang aneh dan tragis dalam
hidup
neneknya. Sedikit demi sedikit ia mengorek
keterangan dari
mulut neneknya sampai akhirnya ia bisa
merangkum cerita
kehidupan sang nenek yang nama aslinya
Murni.
Murni seorang gadis lugu dan polos pada usia
limabelasan,
cantik dengan tubuh yang molek. Ia terpikat
bujuk rajai
seorang pendekar yang dijuluki orang
Pendekar Matahari. Usia
lelaki itu tigapuluhan, tampan dan sangat
piawai ilmu silatnya.
Keduanya jatuh cinta. Bagi Murni itulah
cinta pertama yang
berlangsung abadi sampai di hari tuanya.
"Aku tak pernah
mengenal lelaki lain selain dia, suamiku
itu," tutur neneknya.
Pendekar Matahari malang melintang di dunia
kependekaran, tak ada tandingan. Murni
banyak memperoleh
pencerahan ilmu silat dari suaminya, sampai
suatu waktu sang
suami menganjurkannya untuk menciptakan
jurus sendiri yang
sesuai dengan perasaan dan pikirannya. Waktu
itu ia tak
begitu tertarik nasehat sang suami.
Sebagai pendekar terkenal, lihai dan
tampan'udak heran
kalau ia punya banyak isteri. Tetapi ia tak
pernah bisa
melupakan Murni. Karena Murni selalu memberi
kepuasaan
dan kebanggaan sebagai seorang lelaki. Murni
tak pernah
cemburu Ia tahu, banyak gadis lain yang
cantik, lebih cantik
yang sanggup melarikan suaminya. Itu sebab ia
mempelajari
cara bercinta bermacam cara. Pemikiran ini
amat membekas
sehingga tigapuluh tahun kemudian ketika
menciptakan ilmu
Sapwa Tanggwa salah satu jurusnya ia namai
Harwuda
(Seratus ribu juta).
Hubungan cinta itu berlangsung duapuluh lima
tahun.
Mereka tak pernah hidup bersama, namun dalam
pengembaraannya si suami tak pernah bisa
berlari jauh dan
selalu pulang ke pelukan Murni. Murni
melahirkan sepasang
putra putri. Putranya kawin dengan gadis
biasa, melahirkan
Sekar. Putrinya masih perawan remaja ketika
hari naas itu
tiba. Tragedi besar menimpa Murni, seluruh
keluarganya
terbunuh, hanya Sekar yang lolos dari
kematian.
Ia dan suaminya mencari si pembunuh, Sekar
yang masih
kecil dan menderita penyakit cacar
dititipkan padi Kunti,
adiknya yang berjuluk Dewi Obat. Tragisnya,
si pembunuh
ternyata salah seorang selir atau kekasih
sang suami.
Pendekar Matahari tanpa ampun membunuh
selirnya itu.
Tetapi tragedi membawa akibat panjang.
Mungkin kecewa
dengan tewasnya sang putra, Pendekar
Matahari menghilang,
tak pernah lagi bisa ditemui.
Murni mencari dan mencari, tetapi tak pernah
bisa
menemukan lelaki yang dicintainya itu. Murni
juga dilanda
kekecewaan berat, dua anaknya mati, suami
tercinta
menghilang. Untuk mengatasi kekecewaan itu
Murni
menumpahkan semua perhatian pada penciptaan
ilmu silat
Duapuluh tahun kemudian ia berhasil,
lahirlah tenaga batin
Segoro, ilmu ringan tubuh Wimanasara dan
tujuhbelas jurus
Sapwa Tanggwa.
Suatu malam dalam tidur lelapnya, seseorang
membelai
rambut dan mencium lututnya. Ia tahu orang
itu adalah
suaminya, tetapi ia tak kuasa bangun.
Tubuhnya lemas, tak
bertenaga. Pasti perbuatan sang suami. Ia
tak kuasa bicara.
Tetapi ia mendengar semua perkataan
suaminya.
Laki-laki itu mengaku, sejak perpisahan itu,
ia tak pernah
bercinta dengan wanita lagi. Seluruh waktu
ia curahkan untuk
ilmu silat. Ia berpesan kepada Murni agar
menyempurnakan
ilmu silat Sekar. Ia juga memberitahu bahwa
Sekar telah
menjadi isteri seorang pendekar sejati,
Wisang Geni. Ia
menegaskan bahwa cucu mereka, Sekar, tidak
salah pilih.
Murni berusaha bergerak, duduk atau berdiri
tetapi mana
mampu melawan kepandaian si suami. Murni tak
bisa
bergerak, hanya bisa menangis. Dan lelaki
itu menghapus
airmata di pipi isterinya, lalu mencium
kedua matanya. Ia
berbisik pada isterinya, "Aku bercinta
dengan banyak
perempuan, tetapi aku cuma mencintai satu
perempuan di
dunia ini, kamu Murni."
Ia pergi begitu saja. Murni tak bisa menahan
kepergiannya
karena tak bisa menggerakkan tubuh bahkan
jari pun. Murni
kesal dan hampir gila memikirkannya. Tapi
malam itu Murni
mengerti, duapuluh lima tahun bercinta dan
saling mencinta,
sudah lebih dari cukup. Suaminya sudah
memilih hidup untuk
membantu orang lain. Murni harus legowo.
Ia memutuskan melaksanakan pesan si suami.
Ia mencari
Sekar di Lembah Cemara, tetapi Sekar dan
Dewi Obat sudah
pergi entah ke mana. Ia mendengar adanya
pertarungan para
pendekar tanah Jawa lawan jago-jago daratan
Cina di bukit
Penanggungan. Ia tiba di bukit pada hari
pertarungan. Ia
mengenali Dewi Obat, adiknya. Dari jauh ia
memerhatikan
gadis cantik yang berjalan bersama Dewi Obat
Ia terperanjat
ketika Dewi Obat memanggil nama gadis itu,
Sekar. Dia itu
Sekar, cucunya.
Sepuluh tahun lalu saat ia mengantar cucunya
ke Lembah
Cemara, Sekar masih gadis usia delapan tahun
dengan wajah
penuh totol hitam, burik. Kini ia melihat
seorang gadis dewasa
dengan paras cantik bersih. Tak ada lagi
totol dan bercak
hitam. Ia takjub dan kagum menyaksikan sepak
terjang
Wisang Geni. Ia gembira dan bahagia melihat
besarnya cinta
Wisang Geni terhadap cucunya. Ia membuntuti
dari jauh dan
tepat pada saatnya menolong Sekar yang akan
diperkosa
Lembu Agra.
Sekar terenyuh mendengar kisah neneknya. Dan
ia sangat
terkejut, mengetahui Pendekar Matahari itu
adalah Ki
Suryajagad, tokoh misterius yang menjadi
legenda hidup
perdikan Lemah Tulis yang ternyata adalah
kakeknya. Waktu
itu si nenek senyum menggoda. "Sudah
suratan dewata,
bahwa kamu menjadi isteri Wisang Geni, murid
Lemah Tulis.
Tetapi lucu juga, suamimu itu suka mencium
lututmu, sama
seperti Suryajagad yang selalu terangsang
setiap mencium
lututku, aneh ya nduk?"
Sekar terdiam, lalu mendadak ia berteriak
dan melompat
memeluk neneknya. Ia malu tetapi merasa
geli. Neneknya ini
memang aneh. "Kamu ngawur Nek, kamu
ngintip ya Nek?"
Neneknya tertawa geli. Sekar menyembunyikan
wajahnya
di leher sang nenek. Ia berbisik. "Kamu
ngintip yang di mana,
Nek?"
"Aku lupa, banyak yang kuintip,"
katanya sambil tawa
cekikan.
Kejadian itu sudah lama berselang, tetapi
Sekar masih ingat
akan kenakalan sang nenek. Sekar tertawa
sendiri. "Kalau aku
ceritakan pada Geni, bahwa nenek sering
ngintip, tidak bisa
kubayangkan bagaimana air mukanya,"
gumamnya sendiri.
Dalam kesendirian di atas tebing Sekar
terbayang wajah
Wisang Geni. Rasa rindu itu datang menyerbu
seperti tikaman
sembilu. Sekar mengeluh, betapa ia mencintai
lelaki itu. Ia
sungguh rindu. Tetapi ia merasa heran
dirinya bisa melalui
perasaan rindu itu selama limabelas purnama
lebih.
Pada awalnya, perpisahan dengan suaminya
membuat ia
tak bisa tidur. Bayangan Geni tak pernah
tanggal dari
ingatannya. Hari-hari berikutnya, rasa rindu
itu mulai
berkurang karena neneknya mulai menderanya
dengan latihan
silatyang sangat berat, setiap pagi, siang
bahkan malam hari.
Tak pernah berhenti. Istirahat bagi Sekar
hanya pada waktu
tidur.
Siang itu di tebing Sekar menanti neneknya.
Hari ini latihan
dan pembelajaran silat selesai. Tamat!
Neneknya menjanjikan
ia boleh turun gunung. Dan ia akan menuju
Lembah Cemara
bertemu nenek Kunti. Setelah itu ia akan
mencari Geni.
Muncul rasa rindu dan kasmaran akan
suaminya. Rindu yang
menggerogoti benaknya, membuatnya hampir
gila. Tiba-tiba
terdengar siulan panjang, melengking tajam
mengatasi suara
debur ombak dan desir angin laut. Tak lama
kemudian, nenek
muncul dari arah laut. Ia memanjat tebing
menggunakan sapu
lidi. Gerakannya cepat dan bertenaga,
sekejap ia sudah berdiri
di samping Sekar.
Sekar melompat menghambur ke pelukan
neneknya.
"Nenekku yang cantik, akhirnya kau
datang juga. Aku sudah
hampir mati menunggumu, ke mana kamu pergi
selama dua
hari."
"Aku mencari perbekalan untuk satu
minggu lagi," sambil
memperlihatkan bungkusan kain di tangannya.
"Nduk, aku
tahu akal bulusmu, kalau kamu sudah
menyebutku nenek
cantik, itu pasti ada permintaannya."
"Nek, kau membawa bekal untuk satu
minggu, buat apa?
Jangan, jangan Nek, aku tak mau lagi tinggal
di sini, aku mau
pulang hari ini. Kamu sudah janji. Bahkan
seharusnya
duapuluh hari lalu aku sudah boleh pulang,
aku sudah tamat
belajar."
Si nenek tidak menjawab malah tawa
cekikikan. Sekar
cemberut, mencubit lengan neneknya.
"Kamu janji pada
suamiku hanya duabelas purnama, tetapi lihat
sekarang ini
sudah limabelas purnama. Lagi pula aku sudah
tamat belajar
seluruh ilmu silatmu"
"Belum, belum semua!"
"Nenek, kamu sendiri mengatakan, semua
ilmu sudah kamu
wariskan padaku, jangan ingkar janji
Nek!"
"Ada satu yang belum kuajarkan padamu,
nduk. Dan ini
yang paling penting dari semua ilmu
silatku"
"Apa lagi, Nek? Semua kan sudah
kauajarkan."
"Sekar, jawab yang jujur, kau rindu
suamimu?"
"Tentu saja, aku rindu dan kasmaran
memikirkan dia. Aku
takut, dia lupa padaku, khawatir dia tak
menginginkan aku
lagi."
Nenek tua itu memandang dengan mimik serius.
"Kalau itu
yang terjadi, dia lupa padamu, apa yang kamu
lakukan?"
Sekar tertegun. Saat berikutnya ia merunduk.
"Aku tak
tahu, lantas menurutmu apa yang harus
kulakukan?"
"Justru ini yang akan kuajarkan padamu
Pengalamanku
selama duapuluh lima tahun bercinta dengan
hanya satu
lelaki, patut kau pelajari. Hal itu akan
bermanfaat untukmu,
nduk."
Sekar masih harus menunda keberangkatan satu
hari.
Wejangan nenek menyangkut hubungan asmara
dan seni
bercinta menjadi bahan pelajaran penting
bagi Sekar. Ia
semakin mengerti bahwa seorang perempuan
ataukah dia itu
isteri atau kekasih, akan membuat kesalahan
besar jika
berusaha menguasai dan menjajah kekasihnya.
"Bukan begitu
caranya! Kamu harus bisa melayani suamimu
kapan saja dan
di mana saja, tanpa batas. Kamu membuat
kekasihmu selalu
membutuhkan kamu, selalu bergantung padamu
karena kamu
setiap saat siap membantu dan melayani dia.
Kamu ingat
Sekar, jika merebut dan mendapatkan cinta
kekasihmu itu
sesuatu yang gampang, maka mempertahankan
cinta yang
sudah kamu rebut itu adalah pekerjaan yang
teramat tidak
gampang. Tetapi itu bisa dilaksanakan jika
kamu berlaku
cerdas, memberii padanya semua apa yang ia
sukai, dan yang
ia inginkan."
---ooo0dw0ooo---
Pendekar Tanah Seberang
Desa Bangsal letaknya di tepi kali Brantas.
Waktu itu
pertengahan musim hujan. Sejak pagi, desa
kecil itu tak
hentinya diguyur hujan gerimis. Siang hari
gerimis berhenti.
Mentari mulai terik. Dari arah Timur desa
datang
serombongan orang, sebagian menunggang kuda,
lainnya di
atas kereta kuda. Seluruhnya limabelas
orang. Sebelas di
antaranya para pendatang dari Cina. Empat
penunjuk jalan
adalah murid-murid perguruan Brantas yang
menguasai
daerah di sepanjang kali Brantas. Di kawasan
itu semua
pedagang akan terpeliharakeamanannya jika
menyewa murid
Brantas sebagai pengawal dan penunjuk jalan.
Seorang di antara penunjuk jalan memasuki
warung makan
yang tidak banyak pengunjung. Tak lama
kemudian, dia keluar
dan mengundang makan seluruh rombongan.
Salah seorang
yang usianya paling tua berkata dalam bahasa
Cina, "Kita
harus hati-hati di sini. Kita sudah
mendengar cerita kehebatan
Wisang Geni, tak perlu ragu tentang Wisang
Geni tetapi aku
yakin masih banyak lagi pendekar berilmu
tinggi di daerah ini."
Pemimpin rombongan itu, Ciu Tan, kakak
perguruan dari
Sam Hong, ketua Wuthan yang mati dalam
tarung lawan
Wisang Geni di bukit Penanggungan dua tahun
silam Usianya
60 tahun, tubuhnya yang jangkung masih
tampak segar dan
gempal. Tujuannya ke tanah Jawa ini untuk
membalas
dendam kematian Sam Hong. Dia mendengar
berita kematian
Sam Hong dari mulut Sin Thong, Pak Beng dan
Liong Kam,
waktu itu darahnya bergolak karena marah. Ia
kemudian
merencanakan berangkat ke tanah Jawa. Dua
tahun ia
melakukan persiapan. Mencari teman,
memperdalam ilmu silat
serta mencari ongkos perjalanan.
Tiga pendekar yang pernah terlibat
pertarungan lawan
Wisang Geni di hutan Penanggungan, yaitu Sin
Thong, Pak
Beng dan Liong Kam serta merta mendaftar
diri. Sin Thong
terkenal dengan sepasang golok, Pak Beng
dengan jurus
tangan salju, keduanya babak belur dihajar
Wisang Geni dua
tahun lalu dalam pertarungan bergengsi di
bukit
Penanggungan. Liong Kam bersenjata pedang.
Bersamanya ikut dua pendekar kembar Mok Tang
dan Mok
Kong yang berusia limapuluh tahun dan
terkenal dengan ilmu
golok bersatupadu. Karuan saja hadirnya dua
saudara kembar
ini menambah rasa percaya diri Ciu Tan
karena selama ini di
Tiongkck dua pendekar yang dijuluki si
Kembar Aneh belum
menemukan tandingan setimpal. Pria yang
satunya lagi, Siauw
Tong, sastrawan muda berusia tigapuluh
tahun, senjatanya
sepasang pit panjang. Mungkin tidak sehebat
enam lelaki
lainnya, namun Siauw Tong tak bisa dianggap
remeh karena
otaknya yang cerdas. Dia juga mahir
berbahasa Jawa dan
paham budaya Jawa, salah satu sebab mengapa
ia diajak ikut
serta.
Ciu Tan mengajak empat pendekar wanita,
seorang di
antaranya Sio Lan berusia 20 tahun, putrinya
sendiri,
senjatanya pedang tipis. Kim Mei, berusia 30
tahun janda
cantik yang patah hati, julukan Pendekar
Wanita Baju Merah,
senjatanya golok dan ilmu tangan kosong
Cakar Elang. Li Moy
berusia empatpuluhan, terkenal sebagai
Belalang Beracun
mahir ilmu ringan tubuh dan duapuluh Jurus
Belalang serta
senjata jarum beracun. Sian Hwa, usia
limapuluh tahun,
dijuluki Dewi Pedang Gurun Gobi, jurus
pedang Topan Gurun
Gobi-nya sulit dicari tandingan.
Sebelas pendekar Cina ini tidak sama tujuan.
Siauw Tong
dan Kim Mei menyukai petualangan. Kedua
saudara kembar
Mok Tang, Mok Kong dan Li Moy tujuannya
mencari keris sakti
Gandring yang konon bisa membelah batu besar
selain
mencari harta kekayaan yang bisa dibawa
pulang ke Cina.
Sian Hwa, sudah lama menyembunyikan diri,
turun gunung
untuk mencari putrinya yang hilang di tanah
Jawa. Pak Beng,
Sin Thong, Liong Kam dan Ciu Tan ingin
membalas dendam
kepada Wisang Geni. Tetapi sebenarnya mereka
semua diamTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
diam memendam niat merebut keris sakti itu.
Apa pun
resikonya, bahkan jika harus membentur kawan
sendiri.
Karena keris itu terlampau bernilai.
Kesaktian keris Gandring
sudah sampai ke daratan Cina, diberitakan
para pedagang.
Setelah selesai makan dan menerima bayaran,
empat murid
Brantas itu pamit. Tinggallah sebelas
pendekar Cina itu
dengan pikiran masing-masing. Ciu Tan
memecah kesunyian,
"Dari sini ke Lemah Tulis, arahnya ke
Timur, perjalanan
normal memakan waktu sekitar satu hari
perjalanan."
Si Kembar Aneh Mok Tang menggeleng kepala.
"Aku pikir
kita tidak perlu cepat-cepat menuju Lemah
Tulis. Itu
perguruan besar dengan murid yang ratusan
jumlahnya, di
sana juga banyak orang pandai, aku rasa itu
bukan rencana
yang bagus."
Pak Beng yang pernah dihantam sampai muntah
darah oleh
Geni, tidak senang dengan penolakan Mok
Tang. "Hei kenapa
kamu berubah pikiran, dari Kuangchou kita
semua sepakat
dan satu tujuan mendatangi Lemah Tulis
menantang Wisang
Geni dan menaklukkan semua jagoan di negeri
ini, kenapa
sekarang kau menolak, apa kau takut?"
Mok Kong naik darah mendengar saudaranya
dimaki
penakut. "Kurangajar, kalau kamu si
kura-kura saja tidak
takut, tentu saja kami lebih tidak takut
lagi"
Ciu Tan menengahi Selain berilmu tinggi,
mungkin paling
lihai di antara mereka, Ciu Tan juga
disegani karena usianya
yang tua. Dia juga kakak seperguruan dari
ketua partai
Wuthang yang kesohor di daratan Cina.
"Coba kita dengar apa
kata adik Siauw," katanya sambil
menunjuk Siauw Tong.
"Aku pikir lebih baik kita bersabar
dulu. Jika kita ke Lemah
Tulis sekarang, maka kita berada di tempat
terang. Wisang
Geni dan semua orang Lemah Tulis akan tahu
maksud kita.
Padahal sekarang ini kita berada di tempat
gelap, tidak ada
yang tahu siapa kita dan apa maksud
kedatangan kita. Jadi
aku pikir lebih bagus jika kita tetap
mempertahankan posisi di
tempat gelap saja."
Ciu Tan menghela napas. "Aku setuju,
baiklah sementara
kita menunggu kesempatan dan mencari berita,
kita sepakat
untuk menetap di desa ini, pura-pura sebagai
pedagang. Kita
sewa rumah yang besar, mulai berjualan
pakaian dan alat
rumah-tangga. Kita bergaul dengan masyarakat
setempat,
bagi kalian yang hendak bepergian,
boleh-boleh saja, tapi
harap diingat markas tempat kumpul kita
adalah di desa ini."
Siang itu hujan deras membasahi hutan di
batas desa
Bangsal. Tiga penunggang kuda melewati
hutan. Mereka
murid Lemah Tulis, Gajah Lengar disertai
suami isteri
Prastawana dan Dyah Mekar.
Tampak mereka bergegas ingin cepat sampai di
desa.
Tetapi setiba di batas desa mereka dihadang
tiga perempuan.
Tiga perempuan itu berdiri di bawah siraman
hujan,
pakaian mereka basah kuyup menempel ketat di
tubuhnya.
Mereka murid lembah Bunga yaitu Kemara,
Dumilah dan
Manohara "Kalian pasti orang orang
Lemah Tulis!" Suara
Kemara ketus.
Prastawana sebagai yang paling tua menjawab
sopan tetapi
tak memperlihatkan rasa takut. "Benar,
kami dari Lemah Tulis,
apa sebab kalian menghadang perjalanan kami,
dan siapa
kalian?"
Kemara dan dua temannya langsung menerjang.
"Kalau
begitu kalian harus mati."
Prastawana dan dua rekannya melompat dari
kuda. Dyah
Mekar mencabut kerisnya. Sejak awal dia
sudah curiga.
Sekarang melihat tiga perempuan binal itu
menerjang dengan
ganas, ia yakin tiga perempuan inilah orang
yang mereka cari.
"Apakah kalian bertiga yang kemarin
membunuh empat murid
Lemah Tulis?"
"Benar. Kami yang membunuh mereka. Dan
kami akan
membunuh kalian bertiga dan juga semua murid
Lemah Tulis.
Bersiaplah untuk pergi ke neraka."
Dumilah menerjang maju
yang langsung disambut Gajah Lengar.
Prastawana menyambut serangan Kemara. Dia
yakin
Kemara adalah pemimpin dari tiga perempuan
itu. Dyah Mekar
dengan keris terhunus menyambut serangan
Manohara.
Dalam sekejap terjadi pertarungan sengit,
tiga lawan tiga.
Jurus Garudamukha adu kebolehan lawan jurus
dari Lembah
Bunga.
Prastawana, murid mendiang Ki Branjangan
yang kini
dilatih langsung oleh Wisang Geni sudah
menguasai
Garudamukha Prasidha. Dalam tiga gebrakan
tenaga dalam,
dia mendesak Kemara "Kalian siapa,
mengapa memusuhi
Lemah Tulis?"
"Jangan banyak omong, rasakan jurus
Lembah Bunga ini,"
teriak Kemara sambil menggelontorkan
serangan jurus
mautnya Grahaprawesa (Buaya menyerang),
Pangrahata (Cara
mendapat jasa) dari ilmu Ghandarwapati.
Serangan ini
mendatangkan angin keras. Namun yang lebih
mengagetkan
Prastawana, angin itu berbau busuk.
Prastawana melihat dua temannya juga diserang
dengan
jurus serupa dari Ghandarwapati. Dia berseru
kepada dua
temannya "Awas, bau busuk itu beracun,
gunakan
Sanakanilamatra dan Prasadha
Atishasha."
Meskipun belum menguasai seratus persen,
namun dua
jurus Sanakanilamatra (Sebesar angin
terkecil) dan Prasadha
Atishasha (Menara sangat tinggi) sangat
ampuh. Dua jurus
dari Prasidha itu membelah angin berbau
busuk dan
mengembalikan hawa beracun itu kepada
pemiliknya.
Pertarungan berlanjut. Prastawana di atas
angin. Gajah Lengar
dan Dyah Mekar juga bisa mengatasi dua
lawannya meskipun
tidak terlalu unggul.
Setelah berlangsung hampir limapuluh jurus
Prastawana
berhasil melukai Kemara di bagian pundak dan
lengan. Dyah
Mekar menusuk lengan Manohara dan tendangan
Gajah
Lengar melukai paha Dumila. Perlahan tetapi
pasti tiga murid
Lembah Bunga itu makin terdesak dan
terancam. Mendadak
saja terdengar tertawa nyaring dan
bergelombang. Suara
perempuan. Situasi segera berubah. Dumila
yang kakinya
terluka, Manohara yang sebelah tangan
terluka dan Kemara
yang luka dalam, mendadak menjadi
bersemangat, berseru,
"Guru!"
Yang datang memang guruketiga perempuan itu,
Kalandara, ketua Lembah Bunga. Tertawa yang
disertai
pengerahan tenaga dalam dahsyat Tawa
Sembilan Bunga
sangat ampuh, langsung membuat Prastawana
dan dua
adiknya terdesak hebat.
Saat itu pertarungan sudah masuk ke batas
desa, banyak
orang datang nonton. Di antaranya adalah Ciu
Tan, Pak Beng
dan si kembar aneh Mok bersaudara. Hebatnya
tawa
Kalandara tidak mempengaruhi penonton,
karena memang
hanya ditujukan kepada tiga murid Lemah
Tulis. Sesaat
setelah terdengarnya tawa khas, Kalandara
muncul di
belakang tiga muridnya. Suara tawa berhenti,
pendekar wanita
itu mengenakan pakaian merah, kontras dengan
kulit
tubuhnya yang putih. Gaya dan lagaknya yang
genit membuat
penampilannya tampak semakin sej^.
"Kamu tiga bekicot Lemah Tulis, main
curang. Itu sebab
tiga muridku terdesak. Sekarang kalian harus
menerima
hukuman dari aku si Penguasa Kegelapan
Lembah Bunga.
Bersiaplah."
Prastawana bersikap jantan, dia berada di
depan. Istri dan
adiknya berjajar setengah meter di
belakangnya. Ketiganya
merobek ujung baju, membasahi dengan ludah
dan
menyumpal telinga.
Prastawana menjawab tegas. Tidak ada rasa
takut dalam
getar suaranya. "Ilmu Lemah Tulis
datang dari aliran bersih,
tidak ada yang main curang. Jika kamu tidak
datang, aku
pastikan tiga muridmu ini bakal mati."
"Kalian yang akan mati," berkata
demikian Kalandara
menyerang sengit. Gerakannya lincah bagai
pegas.
Serangannya ganas. Cengkraman dan cakarnya
menebarkan
bau busuk. Lebih busuk ketimbang yang
dimainkan tiga
muridnya.
Keadaan sekarang berubah. Tiga muridnya
mengundurkan
diri, ganti Kalandara yang menghadapi tiga
murid Lemah Tulis.
Sepak terjang ketua Lembah Bunga lincah dan
ganas. Semua
jurusnya mengandung hawa kematian. Setelah
duapuluh jurus
tampak Prastawana dan dua adiknya terdesak
hebat.
Kalandara sendiri tak menyangka ketangguhan
Prastawana.
Dia belum juga bisa melukai tiga lawannya
itu. Saking
marahnya perempuan ini mengeluarkan Tawa
Sembilan Bunga
dengan kekuatan tenaga penuh. Dia ingin
secepatnya
membunuh tiga lawannya.
Pertarungan semakin sengit. Tawa khas
Sembilan Bunga
semakin keras, membuat Gajah Lengar dan Dyah
Mekar yang
tenaga dalamnya tidak setangguh Prastawana,
menjadi
limbung. Meski sudah menyumpal telinga,
tetap saja daya
magis Tawa Sembilan Bunga Kalandara merasuk
ke dalam
pikiran dan mengguncang tenaga batin Gajah
Lengar dan
Dyah Mekar.
Tawa itu disalurkan dengan tenaga dalam
tingkat tinggi,
mendayu dan merangsang birahi lawan. Sampai
saat di mana
lawan sudah terpengaruh, tahap berikutnya
darah
merangsang otak, kemudian darah merembes
keluar dari
tujuh lubang di tubuh manusia, tubuh kejang
dan akhirnya
mati..
Melihat istri dan adiknya limbung dan kacau,
Prastawana
berlaku nekad. Dia bertekad menjadi tumbal,
biar dia mati
asalkan istri dan adiknya bisa lolos. Dia
memusatkan pikiran
dan tenaga batin lalu menggelar jurus
Agniwisa (Bisa api) dan
Sikhwiriya (Cintaku adanya) dari Prasidha
digabung dengan
Shuhdrawa (Hancur luluh) dari Garudamukha.
Bentrokan itu
akan makan korban. Kalandara bisa terluka,
sebaliknya
Prastawana bisa mati
Pada saat kritis bagi murid Lemah Tulis itu,
terdengar suara
lengking seperti teriakan seekor kera yang
marah. Lengking
itu begitu keras dan berbobot sehingga
menggentarkan semua
orang yang mendengarnya. Suara lengking itu
belum juga
reda, terasa angin topan melanda arena
pertarungan.
Kalandara berteriak marah, "Binatang
dari mana berani ikut
campur, sampean mau cari mati!"
Tiga murid Lemah Tulis bangkit semangatnya.
Pengaruh
Tawa Sembilan Bunga lenyap begitu saja.
Terusir oleh tawa
kera marah Prastawana terdesak angin keras
dan mundur lima
langkah. Gajah Lengar dan Dyah Mekar
berlindung di balik
tubuh Prastawana. "Ketua datang,
syukurlah."
Tiga murid Lembah Bunga tadinya berniat
menyerang
Prastawana, tetapi menjadi batal. Mereka
melihat Kalandara
diserang bayangan seseorang yang bergerak
pesat, sangat
pesat. Bayangan itu, tak lain Wisang Geni.
"Ya, akulah binatang itu, tapi binatang
raksasa yang akan
memangsa kamu, nenek tua genit." Wisang
Geni melanjutkan
lengking kera dan merangsek Kalandara dengan
jurus-jurus
dahsyat dari Penakluk Raja. Perempuan itu
terdesak hebat.
Melihat gurunya terdesak, tiga muridnya
turun tangan
membantu.
Geni dikeroyok empat, malah timbul rasa
gembira.
Bermrutan dia memainkan jurus Harta
(Gembira), Syura
(Berani), Prabhawa (Kekuasaan) dan Raga
(Nafsu berahi).
Kalandara kelabakan menangkis, dia seperti
menangkis
angin. Tenaganya seperti lenyap begitu saja
ditelan Geni. Dia
terkesiap, "Ilmu apa ini?" bisiknya
dalam hati. Dia lebih heran
lagi, ketika tiga muridnya saling serang,
bahkan pukulan
Kemara nyaris menghantam dirinya.
Kalandara berteriak, "Ilmu iblis!"
Ciu Tian bergumam kepada Mok Bersaudara dan
Pak Beng,
"Itu jurus memindahkan tenaga lawan,
mirip-mirip Si-nio-pocian-
kin (Empat tail menghantam seribu kati)
tetapi tenaga
dalam yang digunakan sangat lihai. Siapa
orang ini, jelas dia
pendekar kosen."
Geni menghentikan lengking kera, namun tetap
menyerang
dan mengacaukan pikiran lawan dengan Jurus
Penakluk Raja
yang digelar dengan tenaga dahsyat Wiwaha.
Empat lawan itu
seperti terkurung dalam lingkaran tenaga
yang tak berwujud.
Tetapi Kalandara dan tiga muridnya tak mudah
ditaklukkan.
Pertarungan sudah berlangsung limapuluh
jurus. Geni tetap
berada di atas angin. Namun belum juga bisa
merobohkan
lawan.
Suatu ketika Geni melihat kesempatan,
serangan Kemara
dia alihkan ke Dumilah dan serangan
Kalandara diteruskan ke
Manohara. Keempat perempuan itu berseru
kaget. Tenaga
pukulan Kemara dan Dumilah saling benturan.
Pukulan
Kalandara yang disertai hawa amarah dan
tenaga
berlipatganda tertuju ke Manohara. Kalandara
kaget, muridnya
bisa luka parah balikan bisa mati. Ketua
Lembah Bunga
mengubah jurusnya, melakukan putaran dan
memukul
selangkangan Geni. Jurus Mahhairawa
(Mengerikan) ini indah
tapi sangat ganas apalagi dikerahkan dengan
pengaruh sihir
dan hawa beracun.
Geni teramani. Geni dengan berani dan
gembira
melancarkan jurus Sumujugtundagatha (Menukik
ke bawah)
dari Prasidha. Tangan kiri menarik Manohara,
memutar tubuh
lawannya, tangan kanan memegang bokong
lawan, merobek
pakaian di bagian itu sambil mendorong ke
arah Kalandara.
Sang guru kaget, tak mau mencelakai
muridnya, Kalandara
merunduk dan merangkul tubuh Manohara. Luar
biasa.
Pertarungan terhenti
Muka Manohara yang cantik merah padam saking
malu dan
marah. Pakaiannya robek, bokongnya dielus
dan diremas
Geni, ini hinaan luar biasa. Tidak seperti
saudara
perguruannya yang tampak genit, Manohara
kelihatan masih
lugu. Ia menangis, namun melotot menatap Geni.
Kemara dan
Dumilah terseok-seok menghampiri gurunya,
keduanya luka
dalam. Kalandara terdiam. Dia kalah total.
Belum pernah
seumur hidup dia mengalami hari naas seperti
ini. "Kamu
siapa, apa hubunganmu dengan Lemah
Tulis?"
Geni tertawa, dia puas mempermainkan empat
lawannya ini
Dari ilmu silatnya dia tahu nenek genit itu
adik perguruan
Kalayawana. "Ya, aku Wisang Geni, ketua
Lemah Tulis,
kenapa kamu mau mencelakai murid
perguruanku?"
Manohara terkesiap, 'Diakah Wisang Geni?
Tampan, jantan
dan lihai." Tiba-tiba wajahnya memerah
saking malu, dia takut
pikirannya dibaca orang, tangannya tetap di
belakang
menutupi bokongnya.
Kalandara, Kemara dan Dumilah pun tak pernah
menyangka Wisang Geni begitu lihai. Tadinya
mereka pikir
sanggup menandingi bahkan menaklukkan ketua
Lemah Tulis.
Tetapi kenyataan yang ditemuinya hari ini,
sangat di luar
dugaan.
Dyah Mekar menyela, "Ketua, mereka
sudah membunuh
empat murid perguruan kita." Geni
memandang Mekar
kemudian beralih ke Kalandara.
"Seharusnya aku bertindak
lebih kejam."
Kalandara bersiap. "Hutang nyawa
kakakku harus dibalas,
akan kutagih dan membunuh setiap murid Lemah
Tulis."
"Kematian Kalayawana di tanganku
terjadi dalam
pertarungan kependekaran yang resmi. Tapi
kalau kau mau
perang, aku bersedia, mulai sekarang untuk
setiap murid
Lemah Tulis yang kau bunuh, aku akan
menagihnya langsung
kepada kalian berempat." Geni menuding
Manohara. "Kalau
tadi aku hanya meremas bokongmu, lain kali
aku akan
menelanjangi kamu dan saudaramu, aku akan
mempermalukan kalian di depan umum"
Kalandara diam Tiga muridnya pucat. Mereka
yakin lelaki ini
sanggup dan tega berbuat apa yang dia
katakan. Jikalau
kejadian seperti itu maka lebih baik bunuh
diri daripada
menanggung malu.
Mereka berempat bingung, tak tahu harus
berbuat apa.
Mau melanjutkan tarung, jelas ilmu Geni
lebih unggul. Kabur,
akan menjadi cemooh orang. Kalandara
akhirnya memutuskan
pergi, kembali ke Lembah Bunga. "Suatu
saat aku akan tebus
kekalahan ini, tunggulah." Tetapi dalam
hati dia tidak yakin
bisa mengalahkan Geni meskipun berlatih lima
tahun lagi.
Wisang Geni menoleh dan menggamit Prastawana
dan dua
adiknya. "Kalian kembali ke perdikan,
katakan kepada kakek
Padeksa dan Gajah Watu agar selalu
bersiap-siap, musuh
sudah semakin mendekat."
Prastawana dan dua adiknya masih takjub dan
terpesona
menyaksikan sepak terjang sang ketua. Mereka
takjub
bercampur geli. Takjub akan ilmu silat
ketuanya yang dahsyat
tak terukur tingginya. Tadi ketuanya bisa
saja membunuh
Manohara, namun hanya meremas bokong dan
merobek
pakaian di bagian bokong.
Mekar, istri Prastawana tertawa geli.
"Ketua, aku jamin,
empat perempuan itu tak akan berani membunuh
saudarasaudara
kita lagi, iya kalau cuma diremas bokongnya,
tetapi
kalau ditelanjangi, wuah bisa bunuh diri
saking malunya."
Prastawana dan Gajah Lengar menahan tertawa.
Cara
ketuanya mengalahkan empat perempuan itu
menimbulkan
rasa geli. Prastawana memberi hormat.
"Ketua, terimakasih
telah datang menyelamatkan kami tetapi
bagaimana ketua
bisa sampai di sini?"
"Aku kebetulan sedang keluar
jalan-jalan." Geni membalik
tubuh, Kalandara dan tiga muridnya sudah
pergi tanpa pamit.
Prastawana dan dua adiknya langsung menuju
Lemah Tulis.
Geni berjalan menjauhi desa. Tadi dia secara
kebetulan
melewati desa Bangsal dalam perjalanan
rahasia menuju
istana Tumapel menjumpai permaisuri Waning
Hyun.
Di tengah kerumunan penonton, Ciu Tan, Pak
Beng dan
saudara kembar Mok memandang Wisang Geni.
"Dia Wisang
Geni," kata Pak Beng. "Tapi heran,
ilmunya maju pesat, dia
makin lihai."
---ooo0dw0ooo---
Dari desa Bangsal menuju keraton Tumapel
bisa enam hari
perjalanan biasa. Pada hari keempat, Geni
tiba di hutan di
batas desa Dayu Hari mulai senja. Geni
melihat sebuah rumah
tua. Mendadak saja telinganya yang sangat
peka mendengar
suara perempuan memaki-maki. Datangnya dari
rumah reyot
itu.
Geni mendekat. Terdengar suara lelaki.
"Dimas, aku sudah
nggak sabar, aku milih si baju hitam,
kulitnya putih singkong,
tubuhnya montok. Kamu yang lain saja!"
Temannya menjawab dengan tertawa kecil.
"Kangmas, aku
juga mau yang baju hitam. Sebaiknya kita
undi saja,
pemenangnya boleh menikmati si baju hitam,
setuju atau
tidak?"
Geni mengintip dari sela-sela dinding bambu.
Dua lelaki
berewokan dan berambut gondrong. Di lantai
tergeletak dua
perempuan berbaju hijau, di kursi reyot
perempuan baju
hitam terduduk lemas. Tiga perempuan itu
seperti tak
bertenaga, Geni yakin dua lelaki itu bekerja
menggunakan
obat bius. Mereka jelas akan memerkosanya.
Geni tak bisa
membiarkan hal ini.
Geni menerobos masuk. Dua lelaki itu
terkejut. "Siapa
kamu, kurangajar, berani mengganggu, aku
hajar kamu!"
Si berewokyang bertubuh gemuk, menampar
kepala Geni.
Melihat gerakan yang pelan dan tak
bertenaga, Geni tak
berani memandang enteng. Dia menyambut
dengan Bahni
Anempuh Toya (Api menyerang air) salah satu
jurus Bang
Bang Alum Alum. Terdengar suara tulang
patah. Tangan si
berewok patah di dua tempat, tulang dadanya
patah,
nyawanya melayang. Kawannya terkejut, dia
menjatuhkan diri
berlutut. "Ampun tuan pendekar, aku
menyerah kalah, ampun,
ampun, kau boleh ambil tiga perempuan ini,
tetapi tolong
ampuni aku"
Sesaat kemudian Geni sadar, dua lelaki itu
tak
punyakepandaian. Serangan tadi bukan ilmu
yang aneh, tetapi
benar-benar tamparan orang biasa yang hanya
belajar sedikit
jurus berkelahi. Geni kesal dan menghantam
lelaki itu hingga
pingsan. Dia menoleh ke dua perempuan baju
hijau. Keduanya
masih muda dan cantik. Tampak dari wajahnya
mereka bukan
orang Jawa. Orang asing. Pakaian dua gadis
itu robek di
beberapa tempat memperlihatkan kulit tubuh
yang kuning
sawo. Ketika menoleh ke perempuan baju
hitam, Geni
terkesiap. Dua gadis berbaju hijau itu
cantik, tetapi yang baju
hitam ini jauh lebih cantik.
Perempuan itu sangat cantik, rambutnya
panjang riapriapan.
Tubuh bagian atas telanjang, ditelanjangi
penjahat itu,
tampak buah dadanya yang montok. Kulit
tubuhnya putih
macam singkong yang dikupas. Geni sangat
terpesona. Belum
pernah ia bertemu perempuan secantik gadis
itu. Geni
menatap sepasang mata indah yang melotot
memandangnya.
"Hei kurangajar, kamu lihat apa?"
Geni terkejut dengan teguran itu, lalu
menjawab
sekenanya. "Aku memandang kecantikan
seorang dewi, kamu
sungguh cantik."
"Kurangajar, jangan memandang aku,
cepat tutupi
tubuhku."
"Loh kamu kau orang asing, lapi kenapa
bisa bahasa Jawa."
"Hei, aku bilang, cepai lutupi tubuhku,
jangan kamu
pandang terus, kamu kurangajar, lelaki tak
punya malu."
Geni mendekati wanita itu. Dia menatap.
Kecantikan itu
lebih jelas lagi. Wajah cantik dan tubuh
yang montok. Benarbenar
sangat cantik. Saking terpesona Geni lupa
segalanya, ia
memandang wajah dan dada wanita asing itu.
"Bagaimana
mungkin ada perempuan secantik kamu di bumi
ini." Ia
menatap mata gadis itu.
Sepasang mata gadis itu melotot, marah namun
ada rasa
takut. Suaranya gemetar ketakutan,
"Kamu mau apa?"
Geni tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.
"Kamu
cantik, sangat cantik." Tangan Geni
menjulur ke wajahnya,
gadis itu menutup mata. Bibirnya bergerak,
"Jangan lakukan
itu, jangan sentuh aku, jangan lakukan
perbuatan terkutuk itu,
lebih baik kau bunuh aku."
Geni memegang rambutnya yang panjang,
menggerainya
menutup dada si gadis. Wanita itu membuka
mata.
Sepasang mata saling menatap. "Apa yang
kau lakukan?"
"Aku menutup dadamu, supaya tidak
dilihat orang, eh
supaya aku tidak memandang
terus-terusan."
Gadis itu berusaha berkata ramah. "Di pojokan
itu ada
bungkusan, ambil selembar kain dan tutupi
tubuhku. Cepat
ambilkan, kalau kau main-main, kubunuh
kamu"
Geni mengikuti isyarat lemah si wanita. Dia
melangkah ke
sudut, membuka bungkusan dan menarik
selembar kain lebar
semacam selendang panjang. Geni menutup
tubuh wanita itu.
Dia kemudian melangkah keluar. Terdengar
suara wanita itu.
"Hei kamu jangan pergi, tolong bebaskan
aku."
Geni berhenti. "Kamu harus belajar
sopan, nona cantik.
Kamu beruntung aku kebetulan lewat di sini
dan menolong
kamu Jika tidak, pasti mereka sudah
memerkosamu Kamu
juga beruntung, lelaki itu adalah aku, jika
orang lain malah dia
akan memerkosa kamu. Kamu cantik dan
menggairahkan,
kamu juga tak berdaya, tentu saja dia akan
memerkosamu.
Jadi kamu beruntung dua kali, aku datang
menolong kamu
mencegah dua perampok memerkosa kamu, dan
yang kedua,
aku tidak akan memerkosa kamu, lalu bukannya
berterimakasih malahan kamu memaki-maki
aku?"
Perempuan berbaju hijau berusaha bangkit
namun sia-sia.
"Tuan pendekar, maafkan nona majikanku,
dia panik, maafkan
dia, maukah tuan pendekar menolong
kami?"
"Baik aku akan menolong
majikanmu." Ketika Geni
memegang lengannya, selendang itu melorot.
Mau tak mau
mata Geni menatap payudara indah itu.
"Hei, kau sengaja ya? Jangan lihat
saja, tutupi tubuhku."
Geni memperbaki letak selendang. Ia memegang
lagi
lengannya, meraba nadinya, terasa kulitnya
halus dan kenyal.
Geni tersenyum, hanya obat bius kelas
rendah. Korban hanya
kehilangan tenaga untuk sementara waktu.
Setelah satu hari,
bius itu akan lenyap dan tenaga korban pulih
dengan
sendirinya.
Geni bersandiwara. Wajahnya serius.
Gadis cantik itu bertanya, "Racun apa
itu?"
"Kalian semua mahir berbahasa Jawa,
belajar di mana?"
Gadis baju hitam tak sabar. "Aku
belajar di negeriku, di
daerah Himalaya, aku mau tahu racun apa itu?
Apakah kau
bisa menyembuhkan aku?"
"Aku bisa menyembuhkan, tapi
sulit."
"Sulit? Bagaimana sulitnya?"
Geni berbisik, mulutnya hampir menempel di
telinganya.
Harum rambut menggelitik hidungnya. Timbul
humor
nakalnya. "Aku akan menolongmu dengan
tenaga dalam,
tetapi satu-satunya jalan harus melalui
mulut, artinya dari
mulut ke mulut."
"Gila! Mana ada pengobatan macam itu,
kau main-main,
kubunuh kau nanti, kucincang kamu"
Geni melangkah menjauh. "Sudah
kukatakan sulit, ya itu
sulitnya, kalau kamu marah-marah bahkan mau
membunuhku,
ya lebih baik aku pergi saja, nanti kalau
ada lelaki jahat masuk
kemari dan dia memerkosamu, aku tidak
tanggungjawab." Ia
sudah hampir sampai di pintu, terdengar
suara gadis baju
hitam "Hei, kemari kamu, tolong
sembuhkan aku."
Geni mendekat. Dalam hati dia tertawa.
Tetapi dia tampak
serius ketika menatap mata si baju hitam.
Mata itu indah,
warnanya kecoklatan. "Namamu
siapa?"
Dua pasang mata saling tatap. Mata si baju
hitam berkedip,
dia tampak gugup dan malu. "Namaku
Gayatri. Dua gadis itu,
Urmila dan Shamita."
"Jadi kamu bersedia kutolong, dengan
cara lewat mulut?"
Gadis itu diam membisu. Matanya melotot.
"Tidak bisa
pakai cara lain, cuma itu caranya, jika kamu
tidak mau, ya aku
pergi saja."
Gadis itu berkata perlahan, "Ya aku
bersedia, cepat tolong
aku." Dalam hati ia berpikir, ”begitu
sembuh akan kubunuh
lelaki kurang ajar ini, enak saja
mempermainkan aku."
Geni memegang kepala Gayatri dan menciumnya.
Mulut itu
terkatup erat. Geni merenggang. Dia menepuk
pipi si gadis.
"Kalau kau tidak membuka mulutmu, aku
tak bisa
menolongmu"
Gayatri berbisik, "Awas jika kau
main-main."
Geni tak menjawab, tangannya memegang dagu
si gadis,
lalu mencium mulutnya. Geni memeluk, tubuh
gadis itu
terangkat dari kursi. Tangannya melingkar di
punggung
telanjang si gadis. Tanpa diminta lagi
Gayatri membuka mulut.
Mulurnya wangi. Geni merasakan bibir yang
hangat dan
basah. Lama. Ciuman yang panjang. Gayatri
mulai bereaksi,
tubuhnya gemetar. Geni memeluk makin erat,
dadanya
menghimpit buah dada si gadis, sebelah
tangan melingkar
menahan bobot tubuh, sebelah lain menempel
punggungnya.
Sambil terus mencium, Geni menyalurkan
tenaga Wiwaha.
Gayatri merasa hawa panas dan dingin
menerobos
punggung, berputar di perut dan dadanya. Ia
tahu laki-laki itu
memiliki tenaga dalam tinggi. Ia tahu lelaki
itu
membohonginya, ciuman itu hanya akal-akalan
belaka.
"Kurangajar, ia kan bisa menolong
dengan tangan menempel
di punggungku." Katanya dalam hati,
namun tak dipungkirinya
adanya kenikmatan yang ia rasakan saat
berciuman. Tanpa
sadar ia membalas, ia mulai dirangsang
birahi.
Geni merasakan hal yang sama, kenikmatan
tersendiri. Ia
merasa rangsangan birahi merambah ke seluruh
tubuh. Tapi ia
berhasil mengendalikan diri. Ia melepas
rangkulan dan
ciumannya. Gayatri menolak tubuh Geni.
Lelaki itu mundur,
menjauh. Dua pasang mata saling tatap. Wajah
Gayatri
memerah, malu. Ia duduk semedi. Tenaga dalam
yang
disalurkan Geni tadi telah membangkitkan
tenaga dalamnya
sendiri. Dalam seminuman teh, tenaga dalam
Gayatri telah
pulih sebagaimana sediakala. Dia melompat
berdiri. Sambil
membenahi pakaiannya, sepasang matanya yang
coklat
melotot menatap Geni. "Sebutkan namamu,
sebelum
kurampas nyawamu"
Geni tersenyum nakal. "Kau mau
membunuhku, aku tak
bersalah, malah aku sudah menolongmu, kenapa
mau
membunuhku?"
Dua nona baju hijau berseru dalam bahasa
India. Geni,
meski tidak mengerti namun bisa menebak
Urmila dan
Shamita mohon Gayatri menolong mereka lebih
dahulu. Tetapi
si majikan menolak.
"Kenapa aku mau membunuhmu? Kau telah
membuat dua
dosa, memandangi tubuhku yang paling
rahasia, belum
pernah ada lelaki yang melihat dadaku. Dosa
nomor dua kamu
menciumku. Aku belum pernah dicum orang,
kamu sudah
kelewat batas." Pipinya merah karena
malu. Ia berhenti,
matanya yang indah itu berkedip gugup
menatap Geni.
"Sebenarnya aku harus berterimakasih
kau telah menolongku,
tetapi kamu telah menodai kehormatanku,
mempermalukan
aku."
"Baik, kamu benar, aku salah, silahkan
ambil nyawaku,
Gayatri."
Gayatri melancarkan pukulan ke dada Geni, ia
menggunakan separuh tenaga. Entah mengapa
rasanya ia
enggan melukai lelaki itu. Sesungguhnya ia
hanya ingin
memberi pelajaran pahit kepada Geni. Pukulan
itu menerpa
dada Geni yang terlempar beberapa langkah.
Geni tahu persis
pukulan itu tidak membahayakan dan melihat
dari wajahnya
dia yakin Gayatri tidak berniat membunuh.
Lagipula dia
percaya tenaga Wiwaha bisa mengatasinya. Itu
sebab dia
menerima pukulan si gadis tanpa mengelak
atau membalas.
Gayatri terkejut. Ia heran mengapa
pukulannya bisa
mengena, mengapa Geni tidak mengelak.
Gayatri melihat Geni
bangkit, berdiri dengan senyum menggoda.
"Rupanya kamu
tidak sungguh-sungguh hendak mencabut
nyawaku,
terimakasih Gayatri."
Sesaat kemudian Gayatri sadar lelaki itu
sedang
mempermainkannya. Gayatri marah. "Kau
kurangajar, kamu
mempermainkan aku."
Kali ini Gayatri menyerang dengan jurus
ganas. Dia tahu,
Geni pendekar berilmu tinggi. Tahu bahwa
gadis itu marah,
Geni kini tak berani main-main, dia tak mau
celaka.
Pertarungan tangan kosong di dalam rumah tua
makin lama
makin seru Dinding dan tiang rumah tua itu
patah kena
hantaman tenaga dua pendekar itu. Rumah akan
roboh.
Gayatri berteriak, "Tunggu dulu, kamu
jangan lari, awas
kalau kamu lari."
Sambil berteriak ke arah Geni, Gayatri
melepas ikat
pinggangnya, menyabet ke arah dua anak
buahnya. Dia
memegang bagian tengah tali, dua ujung tali
itu melilit tubuh
kedua gadis baju hijau, menarik mereka
keluar dari
reruntuhan rumah. Saat yang sama rumah itu
roboh. Gayatri
kemudian menotok punggung dua anak buahnya
itu. Dia mulai
menolong, menyalurkan sebagian tenaga dalam.
Seminuman teh dia menolong anak buahnya.
Masingmasing
tangannya menempel di punggung anak buahnya.
Setelah merasa cukup, ia berdiri, matanya
mencari-cari Geni.
Tetapi lelaki itu tak kelihatan. "Hei
kemana kamu pengecut,
jangan lari kalau memang jantan."
Gayatri membanting
kakinya, kesal.
"Aku di sini, kau melarang aku lari,
jadi aku tidak lari, aku
menunggumu disini, aku tidak akan lari
meninggalkan
perempuan yang cantik macam kamu"
Gayatri menoleh ke arah suara. Dia melihat
Geni duduk di
atas dahan pohon.
Geni menggapai dengan tangan. "Hai,
sudah kau
sembuhkan mereka?"
Gayatri marah. Dia menyerang dengan senjata
tali tipis.
Ujung tali itu terikat sebuah bor dari logam
baja. Bor
berbentuk kerucut itukecil, tapi tampaknya
tajam sekali,
mengkilap ditimpa cahaya senja. Bor itu
berputar
mengeluarkan suara desis. Tali bergerak
seperti ular. Tali juga
bersifat pegas, bisa ditarik dan diulur.
Geni hampir tidak bisa
melihat tali itu saking tipisnya. Dia hanya
merasa getaran
udara mendekati tubuhnja K ali ini tak
berani main-main.
Ancaman senjata itu sangat serius. Geni
bergerak dengan
ringan tubuh Waringin Sungsang melompat dari
pohon.
Gerakannya cukup cepat, tetapi bor itu
mengikutinya seperti
bayangan.
Geni teringat perempuan India bernama Malini
yang pernah
dia kalahkan dua tahun lalu. Malini juga
bersenjatakan bor
yang disebutnya bor maut karena setiap
menyerang selalu
mengambil nyawakorban. Tapi ukuran bor
Malini lebih besar.
Ia menebak pasti Gayatri ada hubungan dengan
Malini dan
Kumara. Geni mengelak, berlari mengelilingi
arena. Gayatri
tertawa, suaranya merdu. "Kamu lari
macam anak kijang
dikejar harimau. Lebih baik menyerah dan
mencium kakiku,
baru boleh kuampuni."
Geni berhenti bergerak, berdiri diam. Dia
telah
menyalurkan tenaga Wiwaha ke seluruh
tubuhnya. Lalu
memainkan Jurus Penakluk Raja. Tangan kiri
terentang seperti
menerima senjata lawan sementara tangan
kanannya
bergerak dalam putaran kecil. Daya pegas dan
tenaga bor
yang mengancam tubuhnya dipindah ke arah
pohon. Bor itu
melesat kencang ke arah pohon.
Gayatri terkejut, senjata bornya seperti
membentur
udarakosong. Lalu mendadak bor itu mengarah
ke pohon. Dia
menarik talinya dengan kedutan, lalu
menggerakkan ujung tali
yang lain. Kini Gayatri mengendalikan tali
dari bagian tengah
dan menyerang Geni dengan dua ujung tali.
Dua bor itu
bagaikan bayangan hidup yang mengincar
seluruh tubuh Geni.
Luar biasa. Geni kagum ilmu gadis ini cukup
tinggi. Jurus
bor itu sangat langka, dan tenaga dalam si
gadis juga cukup
ungkulan. Geni timbul kegembiraan menguji
lebih lanjut Jurus
Penakluk Raja. Dia mengerahkan tenaga Wiwaha
sepenuhnya,
mengisap dan menolak, mendorong dan menarik.
Gerakan itu
mendatangkan angin keras yang
mengombang-ambingkan
dua bor maut itu.
Duapuluh jurus berlalu. Dua gadis berbaju
hijau berdiri di
luar arena, tenaga mereka sudah pulih.
Mereka terkesima
menyaksikan dua muda mudi itu adu kebolehan.
Salah
seorang berseru dalam bahasa India. Gayatri
menjawab
dengan suara bernada tinggi, tampaknya dia
marah. Geni
menebak bahwa Urmila dan Shamita ingin
membantu
mengeroyok, Gayatri menolak dengan marah.
"Gayatri jangan malu, biarkan mereka
maju membantumu,
biar kita menjadi imbang." Geni
menggoda.
"Huh, kau pikir kau sudah menang, dasar
lelaki tak tahu
diri, lihat ini," sambil berkata
Gayatri mengubah jurusnya. Kini
dua bor tak lagi berputar-putar, tetapi
menusuk macam
tombak panjang. Tali itu bisa lemas, bisa
tegang, lunak dan
keras bergantian. Kini Geni terancam. Pada
jurus ke duapuluh
sembilan salah satu bor melukai lengan Geni.
Kulit dan daging
terkelupas.
0 komentar:
Posting Komentar