"Panglima, saya belum lagi seorang
puragabaya. Oleh
karena itu, mengikuti pasukan jagabaya tidak
akan
merendahkan martabat kepuragabayaan. Di
samping itu,
kalau iktikad hamba untuk mengabdi kepada
kerajaan, hamba
kira tak ada hal yang akan merendahkan siapa
pun."
"Akan tetapi, seorang puragabaya tidak
boleh menjadi anak
buah jagabaya, walaupun apa pangkat
dia," ujar Panglima.
"Hamba tidak akan jadi anak buah siapa
pun, Panglima.
Hamba hanya akan membantu kepala pasukan
jagabaya itu.
Juga, hamba tidak akan bertindak atau
bersikap sebagai
puragabaya, tetapi sebagai seorang prajurit
Pajajaran saja."
Panglima Rangga Wisesa termenung sebentar,
dan setelah
menarik napas panjang berkatalah,
"Kalau begitu, baiklah.
Akan tetapi ingatlah, apa pun yang terjadi
kepadamu, itu
adalah tanggung jawabku, anak muda."
"Hamba akan menjaga diri hamba
sebaik-baiknya,
Panglima."
"Ya, mudah-mudahan darahmu tidak
terlalu panas,
walaupun kau masih sangat muda," lanjut
Panglima Rangga
Wisesa.
Keesokan harinya pagi-pagi, Pangeran Muda
sudah berada
di atas punggung si Gambir, menuju daerah yang
berawarawa
sebelah selatan kota Galuh.
SEORANG gulang-gulang mengantarkan Pangeran
Muda ke
tempat pemusatan pasukan jagabaya yang
berada di tengahtengah
hutan kecil, rawa-rawa, dan sungai-sungai.
Setelah
beberapa kali menyeberangi jembatan-jembatan
darurat yang
dibuat dari bambu, dari jauh tampaklah
sebuah bangunan
besar yang sekelilingnya dipagari dengan
bambu yang
ujungnya diruncingkan. Di keempat sudut
pagar yang tinggi
itu dibangun empat buah menara, tempat para
pemanah siap
dengan busur panah mereka.
"Itulah asrama jagabaya, Anom,"
ujar gulang-gulang itu.
"Bawalah saya kepada perwira pimpinan,
gulang-gulang,"
kata Pangeran Muda.
"Baiklah, Pangeran Muda."
Setiba mereka di gerbang asrama itu,
beberapa orang
penjaga menyambutnya, kemudian mempersilakan
mereka
masuk ke bangunan kecil yang ada di pojok
lapang asrama,
tempat perwira pimpinan berada. Setelah
perwira itu
membaca surat dari Panglima, ia berdiri
memberi hormat
kepada Pangeran Muda, kemudian menyilakan
duduk.
"Tenaga Juragan sangat kami butuhkan
karena kami tidak
memiliki seorang pun yang ahli dalam mencari
jejak," kata
perwira itu.
"Saya pun bukan seorang ahli, tetapi
karena bertahuntahun
tinggal di hutan dan setiap waktu harus
mencari jejak
binatang-binatang, saya jadi terbiasa dengan
berbagai jejak
itu," ujar Pangeran Muda yang
kepuragabayaannya
disembunyikan oleh Panglima.
"Malam ini suatu rombongan yang terdiri
dari dua puluh
orang akan berangkat ke arah selatan, apakah
Juragan sudah
bersedia ikut malam ini juga? Kalau masih
perlu beristirahat,
besok malam pun rombongan lain akan
berangkat"
"Lebih baik malam ini," ujar
Pangeran Muda, dan sore itu
bersama dengan dua puluh orang jagabaya di
bawah
pimpinan bintara yang bernama Garda,
Pangeran Muda
berangkat.
Kedua puluh orang jagabaya itu ternyata
merupakan
pasukan pilihan. Mereka semua menunggang
kuda, sedang
senjata-senjata mereka yang pendek
menyatakan bahwa
mereka adalah prajurit-prajurit yang ahli
dalam pertempuran
jarak dekat dan perkelahian dari tangan ke
tangan. Senjata
untuk jarak jauh yang mereka bawa hanyalah
disandang oleh
beberapa orang pemanah. Yang lainnya tak
seorang pun
membawa senjata macam demikian, sedang
perisai yang biasa
menjadi pelindung para jagabaya, tak satu
pun tampak
mereka bawa.
Perlengkapan serta persenjataan jagabaya
yang sangat
sedikit itu ternyata kemudian disesuaikan
dengan keadaan
medan. Setelah melewati beberapa kampung
yang kosong
karena ditinggalkan oleh petani-petani yang
terpaksa
bermalam di kota, pasukan turun dari kuda
dan menitipkan
binatang-binatang itu pada suatu kampung
yang diduduki oleh
kelompok kecil jagabaya. Setelah itu,
perjalanan dilanjutkan
dengan berjalan kaki.
Dalam perjalanan itu, Pangeran Muda berjalan
paling depan
dan bertindak seolah-olah sebagai pembantu
Garda. Untuk
beberapa lama sukar bagi Pangeran Muda untuk
dapat
berjalan dengan cepat karena selain belum
terbiasa
menjelajahi hutan-hutan kecil yang tanahnya
berawa-rawa,
malam sangat gelap pula. Sedang penggunaan
obor-obor
tidak mungkin dilakukan. Segalanya harus
dilakukan secara
rahasia karena mereka sedang mengintai
gerak-gerik lawan
yang juga merahasiakan jejaknya.
Demikianlah seperempat malam pertama mereka
lalui
dengan melintasi jalan-jalan setapak dalam
semak,
menyeberangi sungai-sungai kecil di daerah
yang berawarawa
dan menyeberangi jembatan-jembatan yang
terbuat dari
bambu. Pada suatu saat, ketika mereka akan
menyeberangi
sungai yang agak lebar, tiba-tiba Garda
berhenti melangkah,
dan bekas-bekasnya tampak hanyut dan
tersangkut tidak jauh
dari tempat jembatan itu semula berdiri.
"Untung dan sial!" kata Garda.
"Pertama untung karena
mereka memberitahukan kepada kita bahwa
mereka ada
dekat-dekat di sini. Sial karena kita harus
mencari jalan lain
dan itu berarti setengah malam
lamanya."
"Mengapa mereka harus meruntuhkan jembatan
ini?" tanya
Pangeran Muda.
"Mereka sudah kehabisan bekal dan harus
merampas
persediaan yang mungkin tertinggal di
kampung yang akan
kita kunjungi. Atau kemungkinan lain, mereka
meruntuhkan
jembatan di sini untuk menarik perhatian
kita, padahal mereka
akan melakukan serangan di tempat lain, dan
siapa tahu yang
mereka hantam adalah asrama kecil yang baru
saja kita
tinggalkan bersama-sama kuda-kuda
kita."
Mendengar itu teringatlah Pangeran Muda pada
si Gambir.
Bagaimana kalau si Gambir sampai terampas oleh
lawan yang
licin itu?
"Berapa orang yang ditugaskan menjaga
asrama kecil itu?"
tanya Pangeran Muda.
"Tujuh orang, tapi pagar bambunya cukup
tinggi, dan
mereka tidak akan menyerah begitu
saja."
"Tapi apakah tujuan mereka kalau mereka
sampai
menyerang asrama kecil itu?" tanya
Pangeran Muda pula.
"Lebih banyak jagabaya yang tewas,
lebih berkurang
kepercayaan rakyat kepada kerajaan,"
ujar Garda dengan
dingin.
"Sekarang, apa yang akan dilakukan?
"Kita akan mengambil jalan keliling,
dan mencoba
mencapai kampung yang kita tuju dengan
secepat-cepatnya."
"Bagaimana kalau kita menyeberang di
sini?" tanya
Pangeran Muda.
"Dengan arus sederas ini dan dengan
perlengkapan senjata
yang memenuhi tubuh?" tanya Garda
keheranan.
Pangeran Muda baru menyadari akan hal itu. Pangeran
Muda meraba tali yang tergantung di
pinggangnya, di balik
sarung yang dilipat setengah. Tali itu kecil
dan ringan, tetapi
adalah tali khusus yang biasa dipergunakan
dan dibawa ke
mana pun oleh para puragabaya dan para
calon.
"Saya membawa tali, dan barangkali kita
dapat mencoba
menyeberangi arus yang deras ini dengan tali
itu," kata
Pangeran Muda sambil menguraikan tali yang
dibawanya.
Garda memandangnya dengan ragu-ragu.
"Tapi tali itu terlalu kecil,"
ujarnya.
"Tali ini kuat sekali, jangan takut. Sekarang
peganglah
ujungnya, ujung yang lain akan saya ikatkan
ke pinggang
saya. Saya akan menyeberang, dan kalau saya
hanyut,
tariklah," sambil berkata demikian
Pangeran Muda
mengikatkan ujung tali ke pinggangnya, di
bawah pandangan
dua puluh orang jagabaya yang penasaran
tetapi juga raguragu.
"Sekarang peganglah ujung ini, saya
akan berenang."
Pangeran Muda berjalan ke tepi sungai yang
agak curam
lalu menuruninya. Setelah meraba-raba dengan
telapak
kakinya, masuklah ia ke dalam arus yang
deras, kemudian
mencoba berenang. Akan tetapi, arus itu
deras sekali.
Berulang-ulang Pangeran Muda hanyut dan
kembali ke tepi
dengan bantuan anak-anak buah Garda yang
memegang
ujung tali yang lain. Kemudian, dengan
mengerahkan tenaga
sebaik-baiknya, Pangeran Muda dapat melewati
arus tengah
sungai itu, lalu mencapai seberang. Setelah
mengikatkan
ujung tambang pada sebatang pohon, Pangeran
Muda,
dengan berpegang pada tali itu kembali ke
seberang tempat
pasukan berada. Ujung tali yang lain diikat
pula pada sebatang
pohon. Setelah itu Pangeran Muda
mempersilakan pasukan
untuk menyeberang dengan berpegang pada tali
itu. Akan
tetapi, karena mereka ragu-ragu, Pangeran
Muda pun
terpaksa memberi contoh. Kemudian, dengan
susah payah,
pasukan menyeberang sungai yang deras itu
dengan bantuan
seutas tali puragabaya. Dengan basah kuyup,
pasukan dengan
tergesa-gesa berjalan menuju kampung yang
menjadi tujuan.
Setiba di kampung itu Garda berseru,
memanggil suatu
nama. Dari dalam gelap datanglah suara
langkah, kemudian
muncullah seorang jagabaya dengan badan
basah kuyup dan
pakaian tidak keruan. Di belakang jagabaya
itu berjalan
beberapa orang kakek-kakek dan nenek-nenek.
"Mereka datang! Belum lama!" kata
jagabaya itu kepada
Garda.
"Syukur kau selamat, berapa
orang?" ujar Garda.
"Kata kakek kira-kira dua puluh orang,
tapi mungkin lebih
karena sebagian menunggu di luar
pagar."
"Apa yang mereka lakukan?"
"Kakek dapat menerangkannya," kata
jagabaya itu.
"Mereka minta garam dan mengancam akan
membunuh
kakek-kakek serta nenek-nenek yang tinggal
di kampung
kalau nanti di saat mereka kembali garam itu
belum tersedia."
"Dari tempat persembunyian, saya dengar
mereka
membentak-bentak," kata jagabaya yang
tampak habis
bersembunyi itu menyela.
"Besok kakek ikutiah mengungsi dengan
anak-anak," kata
Garda.
"Garda," kata Pangeran Muda sambil
membawa Garda
menjauh dari tempat mereka berkumpul,
"janganlah dulu
orang-orang tua disuruh mengungsi. Kalau
kita mengungsikan
orang-orang tua, itu berarti kemenangan bagi
pihak lawan.
Jadi, janganlah orang-orang tua itu disuruh
ke kota besok.
Biarlah mereka tinggal di sini. Saya kira
lawan pun tidak akan
berbuat banyak terhadap mereka."
"Tapi kalau begitu, kita harus
menyediakan garam bagi
lawan," ujar Garda.
"Baiklah, bagaimana kalau garam itu
kita sediakan, tetapi
dicampur dulu dengan sesuatu hingga mereka
sakit perut,
misalnya?"
"Bukan garam saja yang mereka minta,
juga pancing" kata
jagabaya yang tinggal di kampung itu.
"Pancing?" seru Garda keheranan.
"Garda," bisik Pangeran Muda,
"kalau mereka memintapancing
itu menyatakan seolah-olah mereka hidup
dengan
damai walaupun kita kejar-kejar. Artinya itu
penghinaan
terhadap kita. Di samping itu, mereka
bermaksud
memengaruhi rakyat, yaitu agar rakyat
beranggapan mereka
sudah sangat kuat, hingga dapat meremehkan
kehadiran
jagabaya yang sangat banyak jumlahnya di
daerah ini."
"Apakah kita beri pancing itu,
Juragan?"
"Apa sukarnya, asal kita pancing pula
mereka."
Selagi berunding-runding demikian, datanglah
pula
rombongan kakek-kakek dan nenek-nenek yang
terdiri dari
enam orang. Mereka termasuk orang-orang tua
yang tidak
mengungsi dan bersama jagabaya dipasang di
kampung itu
untuk mengumpulkan keterangan-keterangan
tentang jejak
lawan.
"Nah, Kakek, apa yang mereka katakan
kepada Kakek?"
tanya Garda kepada seorang kakek-kakek yang
paling tua dan
berjalan paling depan.
Kakek-kakek itu tidak menjawab, tetapi
menyodorkan dua
helai lontar kepada Garda.
"Oh, ya," kata jagabaya yang
ditempatkan di kampung itu,
"mereka meninggalkan dua helai lontar,
tapi di sini tidak ada
yang bisa membaca."
'Juragan, apakah Juragan dapat
membaca?" tanya Garda
kepada Pangeran Muda. Pangeran Muda tidak
menjawab. Ia
mengulurkan tangan dan menerima lontar
selebaran itu.
Pangeran Muda kemudian membacanya.
Pajajaran tidak sanggup
lagi mengurus wilayah bekas
kekuasaan Galuh yang
pernah jaya di masa lalu dan akan jaya
kembali di masa yang akan
datang. Hai, rakyatyang ingat akan
kebesaran Galuh,
bersiapsiaplah untuk menyongsong
kebangkitan Galuh yang
lebih besar dan lebih jaya di masa
yang tidak lama lagi!
"Apa isinya, Juragan?" tanya Garda
setelah melihat
Pangeran Muda selesai membaca.
"Omong kosong!" ujar Pangeran
Muda. "Mereka berniat
mendirikan Kerajaan Galuh, padahal Pajajaran
adalah lanjutan
dari Galuh," kata Pangeran Muda
melanjutkan.
Setelah itu pasukan mencoba mencari jejak
lawan yang
belum lama meninggalkan kampung itu, tetapi
karena malam
menjadi sangat gelap, mereka terpaksa
kembali ke kampung,
dan melanjutkan perencanaan yang akan mereka
lakukan
keesokan harinya.
Selagi mereka berunding, nenek-nenek
menjerang air dan
menyajikan gula dengan ubi bakar kepada para
jagabaya.
Ketika Pangeran Muda meminum teh yang
disajikan, ia merasa
bahwa teh itu sangat pahit. Pangeran Muda
meletakkan teh
itu kembali.
"Terlalu pahit?" tanya Garda
seperti sudah mengetahui.
"Ya, tapi terpaksa Juragan harus
meminumnya karena teh
itu diberi penangkal siluman," ujarnya
sambil tersenyum.
"Apa yang kaumaksud, Garda?" tanya
Pangeran Muda.
'Juragan datang dari Pajajaran barat tentu
saja merasa
asing dengan minuman kami di sini. Begini
Juragan, silumansiluman
di daerah rawa ini demikian jahatnya, hingga
setiap
orang yang datang ke dekatnya dibunuhnya.
Mereka
menyamar sebagai nyamuk, dan melalui
gigitannya
dibunuhnya korbannya perlahan-lahan. Untung
kami memiliki
dukun sakti, ia dapat menemukan pohon
penangkal siluman
dari hutan rahasia di dataran tinggi
Pajajaran. Nah, dengan
mencampur kulit pohon penangkal itu dengan
teh,
terlindunglah kita dari siluman-siluman yang
jahat itu," kata
Garda.
'Juragan, minumlah teh itu, demi keselamatan
Juragan
sendiri," kata seorang jagabaya.
Pangeran Muda menurut, lalu
meminumnya banyak-banyak. Dan setelah
beberapa kali
meminum teh hangat itu, terbiasalah Pangeran
Muda pada
rasa pahitnya.
Tengah malam pasukan bergerak ke arah
kampung
berikutnya, dan setelah bermalam dan pasukan
tidur beberapa
saat lamanya, hari pun sianglah.
SETELAH makan pagi dan menyiapkan
perlengkapan
lainnya, pasukan pun berangkadah menuju
kampung yang
semalam dikunjungi oleh lawan. Dari sana,
dengan mengikuti
jejak yang samar-samar, pasukan berjalan
menerobos semaksemak.
Sekarang anggota pasukan menjadi dua puluh
orang
karena jagabaya yang disimpan di kampung
mengikuti mereka
sebagai penunjuk jalan. Pangeran Muda
sendiri membantu
Garda dengan memberikan pertimbangan-pertimbangan
setiap
kali muncul masalah baru.
Pada hari keempat pasukan kehabisan makanan,
karena
sebagian perbekalan hanyut dalam suatu
penyeberangan.
Garda mengusulkan agar pasukan kembali
asrama atau ke
kampung terdekat. Pangeran Muda yang melihat
hutan-hutan
di sana penuh dengan binatang perburuan,
seperti kijang dan
babi hutan bahkan kerbau-kerbau liar dan
banteng,
mengusulkan agar mereka memanfaatkan
pemanah-pemanah
yang ada dalam pasukan.
"Akan tetapi, panah-panah itu beracun,
Juragan," ujar
Garda.
"Buadah anak-anak panah baru atau
patahkanlah paruh
anak-anak panah yang kurang baik,"
jawab Pangeran Muda.
Pada suatu kesempatan, dengan mempergunakan
kepandaiannya menyelinap seperti ular,
Pangeran Muda
berhasil menangkap seekor menjangan dengan
mempergunakan pentung. Maka soal makanan pun
terpecahkanlah.
Pada suatu saat pasukan tidak bisa bergerak
karena
dihadapkan pada rawa yang dalam dan sungai
dihuni oleh
sejumlah besar buaya. Sekali lagi Garda
berputus asa dan
mengusulkan kembali. Pangeran Muda menyarankan
agar
pasukan membuat rakit-rakit.
"Tapi kita harus mengambil bambu dari
tempat yang
jauhnya kira-kira lima bukit dari sini,
Juragan!" sahut Garda.
"Lihat Garda, di sebelah selatan kita
tampak daun pisang
melambai-lambai. Kita akan dapat membuat
rakit-rakit bahkan
untuk pasukan yang anggotanya seratus
orang," jawab
Pangeran Muda. Mereka pun menyeberang dengan
mempergunakan rakit-rakit itu.
Pada hari keenam pasukan terpaksa bermalam
di suatu
daerah yang hampir dari berbagai arah
dikelilingi oleh rawarawa.
Begitu malam turun, nyamuk berdengung
gemuruh dan
Garda mulai membaca mantra-mantra mengusir
siluman.
"Garda, kita harus membuat api unggun
untuk mengusir
nyamuk."
"Juragan, tidak mungkin. Mungkin kita
sudah dekat sekali
dengan mereka. Untuk apa kita berjerih-payah
mengikuti jejak
mereka kalau kita akan menghalaunya malam
ini?"
"Garda, tentu saja tidak usah
besar-besar. Kalau ada, tentu
saja sebaiknya api unggun dari dedak padi,
tetapi itu tidak
mungkin. Akan tetapi, kita masih ada
akal."
"Bagaimana, Juragan?"
"Bukalah sarung-sarung hitam jagabaya.
Kita akan
membuat api unggun kecil di tengah-tengah
tabir-tabir hitam,
dan kita tidur mengelilinginya."
Garda tampak mengerti, lalu memerintahkan
pada anakanak
buahnya untuk mencari pohon-pohon kecil yang
akan
dipergunakan sebagai tonggak untuk
menambatkan sarungsarung
hitam itu.
"Panaskan air teh dan masukkan kulit
kayu besar-besar,
mungkin siluman-siluman telah menggabungkan
diri dengan
nyamuk-nyamuk ini. Nyalakan apinya
kecil-kecil karena kita
hanya membutuhkan asap dan hangatnya saja
bukan
cahayanya," ujar Garda pula. Mereka pun
bekerjalah,
kemudian berbaring, sementara beberapa orang
jagabaya
yang ditugaskan berjaga siap dengan senjata
mereka.
Malam itu Pangeran Muda cepat sekali
tertidur karena
sangat lelah. Sekira tengah malam, Pangeran
Muda tiba-tiba
terbangun. Pangeran Muda menajamkan
pendengarannya,
lalu bangkit dan hampir tidak percaya akan
apa yang
didengarnya.
"Sssssst, Juragan, tidurlah
kembali!" bisik Garda yang
ternyata terjaga pula.
"Garda, gamelan itu!"
"Sssssst," ujar Garda, suaranya
terdengar ketakutan.
"Barangkali kita sudah dekat sekali ke
tempat
persembunyian mereka, Garda. Siapa tahu kita
dapat
menyerang sekarang!" kata Pangeran
Muda.
"Ssssst," terdengar dari arah
beberapa jagabaya yang juga
ternyata tidak tidur. Tampak dalam kelam itu
mereka semua
ketakutan. Sementara itu Garda memberi
isyarat agar
Pangeran Muda mendekat. Pangeran Muda
mendekat,
melewati jagabaya-jagabaya yang menggigil
ketakutan dan
ramai membaca mantra-mantra pengusir
siluman.
"Saya tidak mengerti, Garda."
'Juragan, daerah ini adalah wilayah siluman.
Gamelan itu
adalah gamelan mereka. Bagi orang sini,
suara itu tidak asing,
dan setiap kali mereka mendengarnya, mereka
akan menjauh
atau sekurang-kurangnya membaca mantra Rajah
Pamunah
untuk mengusir siluman-siluman itu.
Sekurang-kurangnya,
janganlah kita mengganggu mereka karena hal
itu
berbahaya."
Pangeran Muda tidak menjawab. Ia tidak dapat
memutuskan, apakah akan memercayai cerita
Garda itu atau
tidak. Sementara itu suara gamelan bergema
dengan merdu
dan megah, seolah-olah di suatu tempat yang
tidak jauh dari
tempat mereka sedang dilakukan orang pesta
besar. Begitu
nyaring dan merdunya suara gamelan itu
hingga akhirnya
Pangeran Muda yakin bahwa perkataan Garda itu
omong
kosong belaka. Akan tetapi, untuk tidak
menusuk hatinya,
Pangeran Muda tidak berkata apa-apa. Ia
minta diri untuk
pergi duduk-duduk dekat jagabaya yang
mendapat giliran
berjaga.
Jagabaya itu dengan badan menggigil
berjongkok
berdekatan satu sama lain sambil memegang
senjata masingmasing.
Ketika Pangeran Muda mendekat, salah seorang
di
antara mereka berbisik.
'Jangan terlalu banyak bergerak, bacalah
mantra-mantra."
"Kawan, izinkanlah saya meninggalkan
tempat ini
sebentar," kata Pangeran Muda. Mendengar
usul itu, mereka
sangat keheranan.
"Kalau hendak buang air, nanti saja
sesudah bunyi gamelan
itu berhenti," kata seorang di antara
mereka yang tidak dapat
melihat Pangeran Muda dalam gelap itu.
"Saya tidak tahan lagi," kata
Pangeran Muda sambil
melangkah tanpa mengeluarkan bunyi. Maka
dengan
mempergunakan pelajaran berjalan tanpa bunyi
dan meniru
ular meluncurlah Pangeran Muda dalam
semak-semak di
antara tumbuh-tumbuhan rawa menuju ke arah
datangnya
suara gamelan yang merdu itu.
Makin dekat makin nyaring pula terdengar
suara gamelan
itu, bahkan suara tepuk tangan mulai
terdengar. Bertambah
dekat terdengar suara-suara orang bernyanyi
dan bercakapcakap.
Pangeran Muda mulai bertanya-tanya dalam
hati,
mungkinkah dengan tidak sadar mereka telah
bermalam di
dekat sebuah kampung besar yang tidak
mengungsi? Tapi,
mungkinkah Garda dengan pasukan yang
berpengalaman
yang dipimpinnya melakukan kekeliruan begitu
besar?
Sementara itu Pangeran Muda mengendap-endap
dan
meluncur. Akan tetapi, lebih mengherankan
lagi, walaupun
suara itu makin nyaring terdengar, belum
juga tampak oleh
Pangeran Muda cahaya yang biasa banyak
dinyalakan di
tempat pesta. Dengan penasaran, Pangeran
Muda berjalan
dengan tergesa tetapi tanpa bunyi. Akhirnya,
suara itu
terdengar nyaring sekali, diselingi dengan
suara nyanyi dan
tertawa, suara tepuk tangan dan percakapan.
Akan tetapi, di
rawa itu tak satu pun cahaya atau orang
kelihatan, tak sehelai
daun pun bergerak. Menyadari hal aneh itu,
berdirilah bulu
roma Pangeran Muda dan dengan tidak sadar,
mantra-mantra
pun mulailah dibaca. Kemudian dengan
setengah berlari tapi
tanpa bunyi Pangeran Muda kembali. Akan
tetapi, Pangeran
Muda tidak menemukan jejaknya dalam gelap
itu.
Pangeran Muda terus-menerus berjalan,
sementara di
belakangnya terdengar suara gamelan
seolah-olah
mengejarnya. Berjalan dan berjalan
terus-menerus, hingga
akhirnya Pangeran Muda kelelahan dan
terduduk di tanah
yang basah. Telinganya terus-menerus
mendengar irama
gamelan yang merdu yang kadang-kadang
menjadi nyaring,
kadang-kadang melemah. Setelah beberapa lama
beristirahat,
Pangeran Muda memaksakan diri berjalan
kembali, tetapi tidak
dapat menemukan tempat kawan-kawannya
bermalam.
Kemudian, setelah terdengar ayam hutan
berkokok,
berhentilah suara gamelan itu. Maka
heninglah rawa dan
semak-semak itu. Sementara Pangeran Muda
terus-menerus
mencari tempat bermalam pasukan, dan ketika
matahari
terbit, terdengarlah anggota pasukan
berteriak-teriak
memanggil-manggil, 'Juragan! Juragan!"
Setelah menggabungkan diri kembali dengan
pasukan,
seluruh pasukan mengelilinginya sambil
bertanya-tanya.
Karena kelelahan dan masih belum mengerti
persoalannya,
Pangeran Muda tidak banyak bercerita. Ia
hanya mengatakan
tersesat dan kemudian meminta kepada petugas
perbekalan
untuk memberinya minum dan pakaian yang
kering. Setelah
itu tanpa banyak menyinggung-nyinggung soal
itu, rombongan
pun kembali bergerak.
PADA hari kedelapan, dua hari sebelum
pasukan
menyelesaikan tugasnya, di suatu tengah hari
pasukan tiba di
tepi suatu rawa yang luas, yang di tengah-tengahnya
terdapat
sebuah pulau. Pasukan melihat jejak kaki
yang banyak sekali
di tepi rawa itu. Seraya memerhatikan jejak
kaki itu Garda
berkata, "Ini bekas kawan-kawan kita,
Juragan."
"Mungkinkah bekas kawan-kawan kita yang
tewas di rawa
itu?"
Garda termenung sebentar, kemudian memandang
ke arah
pulau yang ada di tengah rawa itu. Setelah
beberapa lama ia
berkata, "Menurut keterangan orang yang
selamat, memang
demikian. Mereka tiba di suatu rawa,
kemudian ketika
menyeberang menuju suatu pulau, beberapa
orang ada yang
menarik dari dalam rawa dan tidak dapat
ditolong lagi."
Pangeran Muda memandang ke arah pulau yang
berhutan
dan sunyi itu. Setelah beberapa lama ia
mengusulkan kepada
Garda, bagaimana kalau mencari tempat
menyeberang yang
lebih sempit daripada yang dihadapinya.
Garda setuju dan
pasukan pun bergerak dengan mengendap-endap
dan hatihati.
Mereka bergerak sepanjang pinggiran rawa
seraya terus
memandang ke arah pulau yang mencurigakan
itu. Tiba-tiba
Pangeran Muda melihat gerakan di balik semak
pulau itu.
Bertepatan dengan itu seorang jagabaya
melihat ke belakang
dan memberi isyarat bahwa ia melihat orang.
Pasukan terus
bergerak perlahan-lahan, dan akhirnya
menemukan tempat
menyeberang yang tidak terlalu luas. Dengan
hati-hati,
mereka turun dan mulai melangkah ke
tengah-tengah.
Tiba-tiba dari seberang terdengarlah
teriakan peperangan,
dan bagai hujan, anak panah menghambur dan
berdesing di
udara dan di antara semak-semak. Para
jagabaya tidak gentar
menghadapi serangan itu, tetapi dengan
semangat mereka
pun menyerukan teriakan peperangan dan
bergerak dengan
gagah menuju lawan yang bersembunyi di balik
semak-semak.
Anak-anak panah lawan yang mengenai tubuh
mereka tidak
mereka hiraukan, karena di balik baju-baju
mereka terdapat
zirah logam. Mereka bergerak terus, menuju
lawan yang
bersembunyi di balik semak-semak. Seruan
mereka yang
bersemangat bergema menenggelamkan
teriakan-teriakan
lawan.
Akan tetapi, pada suatu tempat di rawa itu,
tiba-tiba
seorang jagabaya jatuh. Mula-mula yang lain
tidak
menghiraukannya dan terus berjalan, yang
lain jatuh, dan
makin tengah, makin banyak jagabaya yang
terjatuh hingga
akhirnya Garda berseru, supaya mereka
berhenti. Ketika
mereka berhenti itulah baru mereka sadar
bahwa dari dalam
rawa itu ada tenaga yang menarik tubuh
mereka. Seolah-olah
berpuluh-puluh tangan siluman menarik untuk
mengubur
mereka ke dalam lumpur itu.
Mengetahui akan hal itu, ketakutanlah para
jagabaya itu.
Seorang mulai berteriak minta tolong dan
berusaha kembali,
tetapi kakinya makin lama makin dalam
terbenam. Demikian
juga, orang-orang yang pertama-tama jatuh
sudah sampai
pinggang diisap oleh lumpur rawa yang
menakutkan itu.
Pangeran Muda sendiri yang sudah menguasai
pelajaran
bagaimana harus meringankan tubuh berjalan
di rawa yang
dalam, sungguh susah mengatasi isapan lumpur
rawa.
Pangeran Muda berseru, mewakili Garda yang
dalam
ketakutan dan terkejutnya tidak dapat
berkata apa-apa,
"Pegang semak-semak, pegang
alang-alang!"
Beberapa jagabaya menurut perintah itu dan
berpegangan
dengan erat, hingga badannya tidak terlalu
mudah diisap oleh
lumpur itu. Akan tetapi, jagabaya-jagabaya
yang berjalan
paling depan dan berjauhan dengan semak
tidak dapat
berbuat apa-apa. Dengan susah payah dan
ketakutan, mereka
berusaha menyelamatkan diri tapi sia-sia.
Pangeran Muda
dengan sedih melihat ke arah mereka dan
berpikir dengan
keras untuk menyelamatkan mereka dari
siluman rawa yang
buas itu.
"Mundur!" kata Pangeran Muda pada
jagabaya jagabaya
yang masih belum terisap oleh rawa itu.
Dengan perlahanlahan
dan waspada terhadap anak-anak panah yang
terus
menghujan, mereka mundur. Di tempat yang
agak keras
Pangeran Muda melepaskan tali yang ada di
pinggangnya, lalu
berseru kepada jagabaya yang paling depan
yang sudah
terbenam hingga ke pundaknya.
"Tangkap!"
Tali itu melingkar di leher jagabaya itu,
yang kemudian
memegangnya. Beberapa orang menarik jagabaya
itu dengan
susah payah, kemudian mengeluarkannya dari
dalam lumpur
dan menariknya ke tempat yang tidak terlalu
berbahaya.
Berturut-turut prajurit-prajurit yang
terancam bahaya itu
ditolong dan diselamatkan, untuk kemudian
dibawa ke tempat
yang aman dari serangan-serangan anak panah
lawan.
Akhirnya, seluruh pasukan dapat diselamatkan
dan dengan
kelelahan mengundurkan diri ke tempat yang
jauh dari rawa
yang menakutkan itu. Setelah napas mereka
kembali tenang
dan setelah mereka mengatasi terkejut dan
ketakutan,
berkatalah Garda, "Kita harus segera
pulang dan melaporkan
segala yang terjadi."
Mendengar itu, berkatalah Pangeran Muda,
"Tidak, kita
harus menemukan jalan menyeberangi rawa
siluman ini."
Karena kepenasaran dan karena semangat
berjuangnya yang
meluap. Pangeran Muda lupa, bahwa dalam
pasukan itu
Gardalah yang menjadi pemimpin. Mendengar
perkataan
Pangeran Muda yang tidak pada tempatnya itu,
bangkitlah
Garda dan dengan tegas berkata,
"Juragan tidak berhak
memberikan perintah dalam pasukan ini."
"Maaf, Garda, saya lupa, tetapi saya
mengusulkan, agar
kita mencari jalan untuk menyeberangi rawa
ini."
"Tidak, sudah terlalu banyak yang jatuh
sebagai korban,
dan saya tidak mau anak buah saya mati
tenggelam secara
hina. Saya rela kaiau mereka mati dengan
senjata di tangan
setelah berjuang dengan gagah berani. Akan
tetapi, saya tidak
rela kalau mereka mati dengan sia-sia di
rawa siluman ini."
"Garda, tapi pasti ada jalan tempat menyeberang.
Kalau
lawan bisa menyeberangi rawa ini, mengapa
kita tidak?"
"Lawan sudah bersekutu dengan siluman
dan kita tidak
akan dapat mengalahkannya," kata Garda
dengan tegas.
'Jadi, apakah yang akan kaulaporkan pada
perwiramu
sekembali dari tempat itu? Apakah akan
mengatakan bahwa
kau takut dan tidak berusaha untuk mencari
tempat
menyeberang? Akankah kau mengatakan bahwa
kau tidak
sanggup setelah musuh berada di depanmu?
Setelah kau
menghabiskan sejumlah besar bekal dan
setelah seminggu
kau mengenakan baju zirah yang mahal, yang
dibeli dan
dibiayai oleh rakyat kerajaan?"
Mendengar perkataan Pangeran Muda itu, Garda
tertegun,
kemudian berkata, "Tidak, saya tidak
mau diperintah oleh
orang yang tidak berhak atas pasukan
ini."
"Garda, tapi saya ditugaskan oleh
Panglima untuk
membantumu, itu berarti bahwa kau harus
mempertimbangkan setiap saran yang
kusampaikan
kepadamu."
"Tidak!" Garda dengan keras
membangkang.
"Jadi, dapat saya laporkan bahwa kau
pengecut dan pantas
dipecat dari kedudukanmu dengan tidak hormat
begitu kau
tiba di asrama. Juga kalian semua akan
dipecat kalau kalian
menuruti kepengecutan bintaramu ini."
Mendengar itu pasukan kebingungan, sebagian
berpihak
pada Garda, sebagian berpihak pada Pangeran
Muda,
sebagian kebingungan. Sementara itu berserulah
Garda,
"Sekarang bergeraklah kalian, untuk
kembali ke pangkalan!"
Kebanyakan jagabaya bergerak, tetapi yang
lain tidak,
sedang yang lain ragu. Garda melihat kepada
mereka yang
ragu-ragu, lalu mendorongnya agar ikut
berjalan dengan yang
lain. Karena orang itu kebingungan, orang
itu tidak mau
bergerak, mungkin karena takut akan ancaman
Pangeran
Muda bahwa mereka akan dipecat. Karena
keragu-raguan
anak buahnya, naik pitamlah Garda.
Didorongnya anak buah
itu hingga terjatuh. Pangeran Muda menahan
Garda yang
akan menyepak ulu hati orang yang jatuh itu.
Akan tetapi,
Garda malah membalik dan memukulnya. Untung
Pangeran
Muda sempat merasakan terlebih dahulu
gerakan tubuh Garda
yang dipegangnya ketika itu, hingga pukulan
Garda menuju ke
tempat kosong. Sekali gagal Garda terus
menghantam,
didorong oleh kemarahannya. Pangeran Muda
menghindar
dengan dua langkah mundur kemudian
bersiap-siap.
Melihat kejadian itu berkelilinglah para
jagabaya
memerhatikan kelanjutan peristiwa itu.
Pangeran Muda berdiri
dengan tenang tapi siap siaga, sedang Garda
terengah-engah
memandangnya dengan mata merah dan kening
yang
direntangi oleh urat-urat yang tegang.
Tiba-tiba dia berkata,
"Rubuhkan dulu aku, baru kuanggap
pasukan ini pasukanmu!"
"Saya tidak bermaksud menjadi pemimpin
pasukan, tetapi
memperingatkan kepadamu bahwa kau dibiayai
oleh kerajaan
dan rakyat Pajajaran untuk berusaha
sebaik-baiknya
menyelesaikan tugasmu," belum Pangeran
Muda selesai
berkata, Garda telah menyerangnya. Ia
menyerang dengan
mengulurkan kedua tangannya yang besar-besar
ke arah leher
Pangeran Muda. Barangkali ia beranggapan
bahwa Pangeran
Muda yang berbadan Iampai dan jauh lebih
kecil daripadanya
tidak akan berdaya kalau ditangkap dan
dibantingnya. Akan
tetapi, ketika kedua tangannya yang
besar-besar itu sudah
hampir mencapai Pangeran Muda, kedua tangan
Pangeran
Muda diangkat ke atas, bersilangan dengan
kedua tangan
Garda yang lurus ke depan. Kemudian dengan
sekejap mata,
dengan mempergunakan berat badannya,
Pangeran Muda
membuang tangan lawan ke samping kiri.
Dengan keras tubuh
Garda berdebum jatuh di dekat kaki kiri
Pangeran Muda.
Untuk memberi kesan bahwa rubuhnya Garda itu
karena
kebetulan, Pangeran Muda tidak menyerangnya,
tetapi
memberinya kesempatan untuk bangkit. Begitu
Garda bangkit,
dengan deras ia menyerang kembali. Sekarang
tangan
kanannya melayang ke arah bawah telinga kiri
Pangeran
Muda, Pangeran Muda mengangkat tangan itu
dengan tangan
kirinya, lalu menariknya ke bawah. Garda
menarik tangan
kanannya yang ditahan oleh Pangeran Muda.
Seluruh tenaga
Garda dipusatkan di tangan kanannya itu.
Pangeran Muda
menyodokkan tangan kanannya ke bawah dada,
lalu
membanting Garda ke arah kiri. Sekali lagi
tubuh Garda
terbaring dekat kaki kirinya.
Pangeran Muda tidak menyerangnya, tetapi
membiarkan
dia terbaring dan bangkit. Tiba-tiba Garda
menyerang
kembali, menghambur sambil menyeruduk
Pangeran Muda.
Pangeran Muda menghindar sambil menepuk
tengkuk Garda
dengan tangan kirinya. Garda tersungkur
dengan wajah
mencium tanah, tetapi tangannya sempat
mencapai pakaian
hitam
Pangeran Muda yang robek karenanya. Ketika
itulah para
jagabaya melihat pakaian putih Pangeran Muda
dengan ikat
pinggang keemasan yang hanya dipakai oleh
puragabaya atau
calon-calonnya. Hanya Garda tidak melihatnya
karena ia tidak
dapat bangkit lagi, sebelum dua orang
jagabaya
memapahnya.
"Dengarkan," kata Pangeran Muda
kepada jagabayajagabaya
yang berkumpul di hadapannya. "Saya
diberi tugas
untuk membantu bintara yang memimpinmu
ini," sambil
berkata demikian ditunjuknya Garda yang
masih terduduk, lalu
katanya pula, "Bintaramu itu terkejut
dan kehilangan
semangat karena rawa siluman itu. Saya
merasa berkewajiban
untuk membantunya dengan mengembalikan
semangatnya
hingga tugas kita berhasil. Kalau ia tidak
berani menyerang
musuh yang ada di seberang, kita semua
berkewajiban
menjalankan tugas hingga berhasil. Kalian
dapat memilih
anggota tertua dari kalian untuk
memimpin."
Tak ada yang menjawab untuk beberapa lama.
Kemudian
Garda bangkit.
"Saya sudah insyaf, dan bersedia
menyerahkan pimpinan
pasukan kepada Juragan sebagai
puragabaya," ujarnya
dengan tulus.
"Puragabaya atau bukan tidaklah perlu
dipersoalkan, yang
penting kita sudah menemukan jejak lawan,
dan barangkali
kita sudah sampai di tempat
persembunyiannya. Kita harus
menyelesaikan tugas ini dengan
sebaik-baiknya."
Maka perundingan yang tenang pun mulailah
dilakukan, di
bawah lindungan semak-semak bakau.
PANGERAN Muda mendapat keterangan bahwa
siasat
lawan adalah siasat yang biasa dilakukan
oleh pasukan yang
jumlahnya kecil. Mereka tidak pernah bersedia
bertempur
secara terbuka dengan pasukan yang besarnya
lebih dari dua
puluh orang. Biasanya mereka lakukan
penghadangan, lalu
menghilang dengan cara yang sangat sempurna.
Malam hari,
dengan rombongan lima atau sepuluh orang,
mereka datangi
kampung-kampung, menakut-nakuti rakyat,
mengambil
perbekalan, kadang-kadang menganiaya dan
membunuh di
samping membagi-bagikan tulisan-tulisan yang
umumnya
menjelek-jelekkan kerajaan atau
memperingatkan penduduk
akan zaman Galuh yang jaya yang akan datang
dalam waktu
dekat.
Dari penjelasan-penjelasan itu, Pangeran
Muda dapat
memperkirakan bahwa paling banyak lawan
berjumlah lima
puluh orang.
Mengenai persenjataan mereka Pangeran Muda
pun tidak
merasa cemas. Panah-panah beracun adalah
senjata utama di
samping tombak-tombak. Malam hari mereka mau
juga
melakukan pertempuran dengan mempergunakan
golok dan
badik. Akan tetapi, perkelahian seperti yang
biasa dilakukan
tentara yang kuat, yaitu perkelahian dari
tangan ke tangan
dengan mempergunakan senjata pendek atau
tangan hampa,
tidak pernah mereka lakukan. Oleh karena
itu, Pangeran Muda
menarik kesimpulan yang kedua, yaitu bahwa
mereka
bukanlah tentara pilihan yang bermutu
tinggi, tetapi tentara
biasa. Kalau selama ini mereka tampak kuat
dan sukar untuk
ditundukkan, hal itu disebabkan tentara
kerajaan menghadapi
kesukaran-kesukaran yang berupa
hambatan-hambatan alam.
Alam ini juga memberikan tempat bersembunyi
yang
sempurna bagi lawan.
Di samping mempertimbangkan kekuatan lawan,
Pangeran
Muda pun mempertimbangkan kekuatan pasukan
jagabaya
yang ada. Dua puluh satu orang jagabaya yang
turut serta
adalah prajurit-prajurit pilihan yang
berpengalaman di
beberapa medan pertempuran. Persenjataan
mereka lengkap
pula, terutama terdiri dari senjata-senjata
pendek, seperti
golok, kapak, pisau-pisau, dan baju zirah
yang biasa
dipergunakan oleh pasukan pilihan. Dengan
kekuatan pihak
sendiri seperti itu, asal saja tempat atau
cara
penyeberangan.dapat ditemukan, Pangeran Muda
beranggapan, bahwa penyerangan yang
dilakukan tidak akan
sia-sia. Kalau tidak dapat menghancurkan
lawan sama sekali,
sekurang-kurangnya melumpuhkannya untuk
waktu yang
lama.
Segalanya ini dijelaskan pada pasukan,
kemudian
ditetapkan cara-cara penyelidikan yang akan
dilakukan kalau
hari sudah gelap. Di antara cara itu adalah
Pangeran Muda
akan mencoba menyeberangi rawa siluman itu
dengan
bantuan dua orang jagabaya yang memegang
tali ijuk.
Seandainya cara penyeberangan yang
sebaik-baiknya dapat
ditemukan, maka malam itu juga pasukan akan
menyeberang,
kemudian esok harinya subuh-subuh akan
melakukan
serangan tiba-tiba. Setelah hal itu
disetujui, pasukan pun
beristirahatlah, sambil membuka perbekalan
dan menunggu
hari gelap.
Begitu malam turun, Pangeran Muda dengan
diiringi oleh
Garda dan dua orang jagabaya bergerak kembali
ke pinggir
rawa. Pada saat mereka tiba di pinggir rawa,
sayup-sayup
terdengar suara orang di pulau itu. Pangeran
Muda berbisik
kepada Garda, bahwa ternyata lawan tidak
melarikan diri.
"Mereka menyangka kita pulang, Juragan
Puragabaya," ujar
Garda.
"Bagus., mudah-mudahan kita dapat
menemukan jalan
menyeberang, dan mudah-mudahan kau akan
mendapat
penghargaan nanti," kata Pangeran Muda
membesarkan hati
Garda. Sementara itu, mereka terus berjalan,
dan akhirnya
Pangeran Muda mulai turun ke rawa itu dengan
pinggang
diikat tali yang ujungnya dipegang oleh dua
orang jagabaya.
Makin lama Pangeran Muda makin jauh ke
tengah,
sementara itu Pangeran Muda tidak pernah
keluar dari semaksemak.
Bukan saja untuk menghindarkan diri dari
pandangan
musuh, akan tetapi terutama karena dekat
semak-semak itu
lebih aman. Sekiranya lumpur mulai mengisap,
Pangeran
Muda dapat menjangkau cabang-cabang semak
itu.
Di samping seutas tali yang mengikat
pinggangnya,
Pangeran Muda pun membawa seutas tali yang
lain, yang
ujungnya diikatkan pada sebuah dahan yang
bercabangcabang.
Dahan itu diikat, dengan harapan akan dapat
digunakan sebagai sangkutan seandainya dapat
dilempar ke
seberang. Dengan perlengkapan itu, Pangeran
Muda terus
maju, sementara itu kakinya makin lama makin
sukar untuk
diangkat. Pada suatu saat tibalah Pangeran
Muda di bagian
rawa yang tidak dapat lagi dipijak.
Betapapun Pangeran Muda
berusaha untuk tegak, lumpur di bawah
kakinya tidak dapat
dijadikan tumpuan. Maka Pangeran Muda pun
terpaksa
merangkak, sementara jagabaya yang memegang
tali juga
berusaha mendekatinya.
Pangeran Muda merangkak dan bergerak seperti
orang
yang sedang berenang, tetapi lumpur itu
ternyata tidak dapat
direnangi. Pangeran Muda seolah-olah ditarik
oleh suatu
tenaga yang sangat kuat ke dalam lumpur itu.
Melihat hal itu,
jagabaya yang ada di belakang Pangeran Muda
berseru,
bertanya, apakah Pangeran Muda perlu
ditarik. Pangeran
Muda menjawab tidak dan terus melemparkan
dirinya ke
depan. Di hadapan Pangeran Muda
remang-remang kelihatan
semak pulau itu, oleh karena itu semangatnya
tidak patah
oleh tarikan lumpur itu.
Pangeran Muda terus merangkak, walaupun
gerakangerakannya
tidak membawa kemajuan, dan bahkan makin
dalam membenamkan tubuhnya ke dalam lumpur.
Pada suatu
saat, Pangeran Muda melemparkan cabang kayu
yang terikat
pada tali yang dibawanya. Setelah habis
melemparkan cabang
itu, begitu terasa betapa lumpur itu
melulurnya dari bawah.
Pangeran Muda menggapai-gapaikan tangannya
dan mulai
batuk-batuk karena air memasuki mulutnya.
Jagabaya yang
memegang tali segera menariknya, dan dengan
susah payah
mereka melepaskan Pangeran Muda dari pelukan
lumpur itu.
Setelah berada di tempat aman, Pangeran Muda
teringat
akan cabang dahan yang sekarang sudah ada di
seberang.
Pangeran Muda segera menarik ujung tali yang
satu. MulaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
mula tali itu dapat ditariknya, akan tetapi
kemudian sesuatu
menahannya. Cabang itu tersangkut. Pangeran
Muda berdoa,
mudah-mudahan cabang itu tersangkut pada
batang pohon
yang kuat, hingga dapat dijadikan penahan
kalau Pangeran
Muda di atas lumpur menyeberangi rawa itu.
Setelah beberapa kali menarik tali yang
menjadi tegang itu,
Pangeran Muda berpaling kepada Garda dan dua
jagabaya
yang mengantarnya.
"Kalau saya tiba di seberang, saya akan
menarik tali yang
diikatkan di pinggang saya tiga kali. Itu
berarti saya selamat.
Nah, kalau demikian ikatkanlah tali itu di
batang pohon di tepi
rawa. Saya akan mengikatkan ujung yang lain
di seberang.
Mungkin saya akan kembali dahulu melalui
tali yang sudah
direntangkan itu, mungkin saya akan terus
menyelidiki. Apa
pun yang terjadi, janganlah pergi dari dekat
kalian
mengikatkan tali di pohon itu." Setelah
berkata demikian,
dengan berpegang pada tali yang satu, dan
masih terikat oleh
tali yang lain di pinggangnya, Pangeran Muda
mulai lagi
menyeberang.
Bagian rawa yang sukar sudah dilalui, tetapi
makin dekat
ke pulau itu makin sukar lumpur direnangi.
Pangeran Muda
berpegang pada tali dan sambil berdoa
menariknya, hingga
badannya makin lama makin terdorong ke depan.
Entah
berapa lama Pangeran Muda bergulat dengan
tarikan lumpur
itu, akhirnya kakinya dapat berpijak,
walaupun tidak kukuh.
Hati Pangeran Muda mulai lega, dan sambil
berdoa terus
bergerak dan tidak melepaskan tali itu.
Akhirnya, tanah keras
pun dicapainya, dan tibalah Pangeran Muda
pada ujung
tambang dengan cabang yang terikat di
ujungnya tersangkut
pada akar pohonan air. Akar itu sudah hampir
putus karena
berat badannya.
Setiba di tanah yang kering, dan setelah
menemukan
pohon yang agak besar, Pangeran Muda
melepaskan tambang
yang terikat pada pinggangnya, lalu
mengikatkan ujungnya
pada sebatang pohon erat-erat. Setelah itu
Pangeran Muda
menarik tambang itu, menyentakkannya tiga
kali, memberi
tahu kepada kawan-kawannya yang ada di
seberang bahwa ia
sudah selamat. Setelah itu, tanpa
beristirahat dulu Pangeran
Muda terus bergerak dengan hati-hati dan
tanpa bunyi,
menuju ke tengah pulau. Setelah beberapa
lama berjalan,
mulailah terdengarlah suara orang, walaupun
samar-samar.
Pangeran Muda makin hati-hati, walaupun
makin cepat
menuju ke tempat datangnya suara itu.
Akhirnya, dilihatnya
cahaya.
Cahaya itu datang dari suatu api unggun yang
dikelilingi
oleh beberapa belas orang laki-laki. Di atas
unggun api itu
sedang dibakar seekor babi hutan yang besar.
Di belakang
laki-laki itu, dalam cahaya remang-remang
berdirilah gubukgubuk.
Dalam gubuk-gubuk itu terlihat pula cahaya
lentera dan
gerakan-gerakan, tetapi Pangeran Muda tidak
dapat melihat
apa yang dilakukan oleh penghuni gubuk-gubuk
itu. Sambil
berdiri di tempat gelap Pangeran Muda
mengambil
kesimpulan, musuh sudah merasa aman, hingga
mereka tidak
berjaga-jaga lagi. Akan tetapi, hal itu
dapat dimengerti karena
rawa yang mengelilingi tempat mereka itu
begitu sukar
ditempuh, hingga karena nasib baik saja orang
akan dapat
menyeberanginya.
Setelah puas mengawasi lawan yang tidak
sadar akan
kehadirannya, Pangeran Muda mulai
merenungkan siasat yang
akan dilaksanakannya. Seandainya lawan hanya
berjumlah
dua puluh orang, Pangeran Muda dapat
menyerang seorang
diri di dalam gelap itu. Akan tetapi, kalau
lebih dari dua puluh
orang, mungkin Pangeran Muda justru akan
menjadi korban.
Di samping itu, penyergapan bukan hanya
dimaksudkan untuk
menghancurkan para pengacau, tetapi juga
untuk mengetahui
latar belakang pengacauan itu sendiri. Oleh
karena itu,
penyerangan malam hari yang penuh bahaya
mungkin tidak
akan mencapai sasaran. Sebagian dari lawan
mungkin akan
melarikan diri, dan bahan-bahan keterangan
yang berharga
dapat dihancurkan terlebih dahulu. Dengan
pertimbangan
demikian, beralihlah pikiran Pangeran Muda
pada cara
penyeberangan yang akan dilakukan oleh
pasukan yang
ditinggalkannya.
Bagaimanapun juga pasukan harus
diseberangkan malam
itu juga. Akan tetapi, penyeberangan itu
sukar sekali
dilakukan. Dan seandainya lawan mengetahui,
korban-korban
akan jatuh. Akan tetapi, itulah satu-satunya
cara yaitu,
menyeberang dengan bantuan tambang. Pangeran
Muda
kembali ke tepi rawa, lalu dengan menyusur
tambang yang
telah direntangkan sebelumnya menyeberang
kembali ke arah
kawan-kawannya.
Penyeberangan kembali itu memakan waktu dan
melelahkan. Akan tetapi dalam perundingan,
Garda yang telah
bangkit lagi semangatnya, menyetujui rencana
penyeberangan
malam itu. Maka pasukan pun dipanggil ke
tepi rawa, dan
Pangeran Muda menyeberang pahng dahulu.
Karena sukarnya, penyeberangan itu dilakukan
dalam
waktu yang lama. Ketika tengah malam lewat,
baru sepuluh
orang yang tiba di seberang, semuanya
kelelahan dan pucat,
seolah-olah baru lepas dari bahaya maut.
Walaupun sangat
lelah, Pangeran Muda tidak tinggal diam.
Diselidikinya
sekeliling tempat itu, sambil selalu
bertanya-tanya, bagaimana
caranya pihak lawan melakukan penyeberangan
ke pulau
berhutan di tengah rawa yang berbahaya itu.
Akan tetapi,
jawab pertanyaan itu tidak didapatkannya,
lalu tidak menjadi
perhatiannya lagi. Yang menjadi persoalannya
sekarang
adalah penyerangan yang akan dilakukannya
subuh atau pagipagi
benar, ketika lawan belum bangun atau sedang
tidur
pulas. Maka dikumpulkanlah anggota pasukan
itu di. suatu
tempat, dan dalam gelap mereka mengadakan
perundingan.
Pertama ditetapkan, mereka akan bergerak
mendekati
tempat lawan, kemudian menetapkan dan
membagi-bagi
sasaran penyerangan. Setelah itu mereka akan
beristirahat,
hingga lawan semua tidur dan malam tidak
terlalu gelap.
Setelah itu bergeraklah pasukan mendekati
tempat lawan
yang ternyata belum semuanya tidur.
Di lapangan yang dikelilingi oleh
gubuk-gubuk masih
terdapat empat lima orang di antara mereka
sedang
mengobrol mengelilingi api unggun. Sementara
itu, di dekat
mereka bergelimpangan kawan-kawannya yang
tidur lelap.
Lawan yang masih jaga dan yang telah tidur
itu dihitung, dan
ternyata berjumlah lima belas orang,
Pangeran Muda
kemudian menghitung gubuk-gubuk yang ada di
sekeliling
tempat itu, yang ternyata berjumlah delapan
buah, dengan
dua buah lebih besar daripada yang lain.
Pangeran Muda
memperkirakan pemimpin para pengacau itu
tidur di salah
satu di antara gubuk-gubuk besar itu. Gubuk
tempat
pemimpin itu harus segera ditemukan agar
serangan yang
akan dilakukan mengenai sasarannya. Untuk
tujuan itu
Pangeran Muda berunding dengan Garda.
"Garda, sekurang-kurangnya pemimpin
pengacau ini harus
dapat kita tangkap hidup-hidup. Lebih banyak
yang kita
tangkap hidup-hidup, lebih baik. Tentu saja
kalau
penyerangan kita berhasil dengan baik,"
kata Pangeran Muda.
'Jangan takut, Juragan Puragabaya, anak buah
saya
semuanya berpengalaman dan sudah biasa
melakukan
penyergapan dan penangkapan
hidup-hidup."
"Syukurlah kalau begitu, tetapi kita
harus hati-hati karena
mungkin jumlah lawan lebih banyak daripada
kita."
"Menurut perkiraan panglima, mereka
tidak akan lebih dari
lima puluh orang. Di samping itu, mungkin
sebagian sedang
berada di luar. Mudah-mudahan pemimpin
pasukannya
sedang berada di sini," ujar Garda
sambil tetap memandang
ke arah lawan yang beberapa orang masih
belum tidur.
"Sebelum melakukan serangan, ,kita akan
menghantam
penjaga dulu, setelah itu pasukan kita bagi
ke sasaran masingmasing
dalam waktu yang sama."
0 komentar:
Posting Komentar