Setelah termenung
sebentar, kembalilah ia ke arah dari mana ia
datang. Setelah
memanjat dinding benteng dan melewati
penjagaan gulanggulang,
tibalah ia .kembali di kamarnya.
Ternyata setelah pengintipan itu kegelisahan
tidak
berkurang, tetapi malah bertambah. Pangeran
Muda terusmenerus
bertanya, siapakah yang dipercakapkan oleh
Yuta
Inten dengan embannya? Apakah yang
dipercakapkannya itu
Pangeran Muda atau kesatria lain? Pertanyaan
ini
mengganggunya, dan walaupun berbagai jawaban
diberikannya, tak satu jawaban pun
meyakinkannya.
Bagaimanapun juga ia harus mencari jawaban
itu. Akan tetapi,
waktu sudah tidak ada lagi. Keesokan paginya
Pangeran Muda
harus meninggalkan Medang, menuju ke Puri
Anggadipati
untuk kemudian berangkat ke Pakuan
Pajajaran. Di sana tugas
sudah menunggu.
KEESOKAN harinya subuh-subuh setelah minta
diri pada
seluruh keluarga Banyak Citra, Pangeran Muda
meninggalkan
Medang. Atas usul Jante, Pangeran Muda
membiarkan dirinya
dikawal oleh empat orang gulang-gulang yang
akan
mengantarnya hingga perbatasan wilayah
Medang dengan
wilayah Kutabarang. Setelah untuk terakhir
sekali Pangeran
Muda mengucapkan terima kasih kepada Raden
Banyak Citra
serta istrinya, serta setelah berjanji
dengan Jante untuk
bertemu di dalam waktu dekat di Pakuan
Pajajaran, kuda-kuda
pun dipaculah.
Pangeran Muda merasa menyesal telah
berangkat terlalu
pagi. Karena itu, yang melepasnya hanya
Pamanda Banyak
Citra dengan Bibinda, di samping Jante. Yang
sangat
diharapkannya untuk hadir, yaitu Yuta Inten,
tidak tampak
saat itu. Dengan hati yang kosong seperti
itu, Pangeran Muda
melarikan kudanya diiringkan oleh empat
gulang-gulang yang
bersenjata lengkap serta berbaju zirah.
Ketika mereka sudah melewati gerbang kota
dan
menghadap padang yang luas di depan mereka,
Pangeran
Muda mengekang kendali kudanya, lalu
berpaling ke arah kota
yang membayang dalam kabut subuh. Pangeran Muda
menatap dinding-dinding benteng yang
menjulang, atap-atap
bangunan yang tinggi, yang muncul di
sela-sela daun pohonpohon
besar. Sementara Pangeran Muda menarik
kendali dan
hendak memecut si Gambir, tiba-tiba
pandangannya
menangkap dua bayangan sosok manusia di atas
dinding
benteng, di suatu tempat tidak jauh dari
Gerbang Kota. Kedua
sosok bayangan yang samar-samar dalam kabut
itu tampak
memerhatikan rombongannya. Jelas pula oleh
Pangeran Muda
bahwa mereka itu adalah wanita. Dan bagaikan
kilat firasatnya
mengatakan bahwa kedua orang itu adalah Yuta
Inten dengan
embannya. Pangeran Muda tidak jadi memecut
kudanya.
Setelah memandang dengan tajam ke arah kedua
bayangan itu untuk meyakinkan dugaannya,
Pangeran Muda
berseru pada gulang-gulang pengawalnya,
"Tunggu dulu!"
Setelah berkata demikian dibalikkannya arah
kudanya, lalu
menderu di bawah dinding benteng di muka
kedua bayangan
itu berdiri. Makin dekat makin jelas pada
Pangeran Muda
bahwa dugaannya benar. Dengan degup jantung
yang
menjadi cepat, Pangeran Muda memacu kudanya,
dan dalam
sekejap sudah tengadah ke arah kedua wanita
itu.
Melihat kedatangan Pangeran Muda, tampak
Yuta Inten
hendak menghindarkan diri dan pergi, tetapi
embannya
dengan cepat memegang pundaknya lalu
menariknya,
menyuruhnya menghadap kepada Pangeran Muda
yang
tengadah dari bawah dinding benteng itu.
Untuk beberapa lama, tidak ada yang
berkata-kata.
Pangeran Muda mencari kata-kata di ujung
lidahnya, tetapi
tidak ada yang ditemukannya. Hanya setelah
beberapa lama ia
dapat berkata dengan gugup, "Selamat
tinggal, dan terima
kasih atas segala keramahan Adinda."
Yuta Inten tidak menjawab, tampak ia berdiri
dengan kaku.
Embannya yang tua kemudian membantunya
dengan berkata,
"Kami datang kemari untuk melepas
Pangeran, tetapi karena
tidak baik bagi kaum wanita untuk
menonjolkan dirinya, kami
memutuskan untuk melepas Pangeran dari
tempat ini."
Mendengar perkataan emban itu, bagai
digerakkan oleh
tenaga rahasia Pangeran Muda melompat dari
kudanya,
kemudian seperti seekor bajing menaiki dinding
benteng yang
hampir tegak itu. Para gulang-gulang maupun
kedua wanita
itu keheranan melihatnya. Dan ketika
Pangeran Muda sudah
berdiri di hadapannya., Yuta Inten mundur
selangkah sambil
menundukkan diri.
"Diam, anak!" kata emban tua itu
kepadanya sambil
memegang baju Yuta Inten.
Untuk beberapa lama, mereka
berhadap-hadapan.
Pangeran Muda memandang berganti-ganti pada
emban dan
pada Yuta Inten yang menundukkan kepalanya.
Mereka
membisu. Hanya setelah beberapa lama emban
tua itu
tersenyum lalu berkata, "Hamba tahu,
Pangeran dan anak ini
saling menaruh hati. Satu hal yang ingin
hamba tanyakan
kepada Pangeran. Atas nama segala yang suci
dan atas nama
orangtua anak ini yang belum tahu apa-apa
tentang soal ini,
apakah Pangeran mencintai gadis ini secara
sungguh-sungguh
dan membawa maksud-maksud yang terhormat?
Kalau
demikian, kami mengucapkan terima kasih.
Sebaliknya, kalau
hanya bermain-main, kami memperingatkan,
agar Pangeran
mengurungkan niat Pangeran itu. Ayah dan
kakak anak ini
adalah laki-laki yang keras, punya harga
diri yang tinggi, yang
tidak akan segan-segan membunuh kalau mereka
merasa
dihina."
"Saya menghormati seluruh keluarga
Banyak Citra, dan
saya ... bersungguh-sungguh, Emak,"
kata Pangeran Muda
yang belum bersiap-siap untuk menjawab
pertanyaan yang
tidak disangka-sangka itu.
"Kalau begitu bagus, dan sekarang
kau," lanjutnya sambil
berpaling kepada Yuta Inten, "Yuta
Inten, kau telah
mendengar perkataan Pangeran kepada Emak
tadi, itu berarti
bahwa engkau pun harus bersungguh-sungguh.
Sekarang
bersalamanlah, karena Pangeran harus segera
meninggalkan
Medang, supaya tidak kemalaman di
tengah-tengah hutan."
Untuk beberapa lama Pangeran Muda tidak
beranjak dari
tempatnya berdiri. Emban itu tersenyum
sambil menarik
tangan Yuta Inten. Pangeran Muda maju dan
memegang
kedua tangan gadis yang terus menundukkan
kepalanya.
"Selamat berpisah, Kakanda akan
berusaha supaya dapat
segera kembali ke Medang."
"Selamat jalan, para Bujangga dan
Pohaci melindungi
Kakanda." Sambil berkata demikian,
gadis itu menekan
tangannya ke tangan Pangeran Muda. Untuk
beberapa lama,
mereka berpegangan tangan. Kemudian si
Gambir meringkik
di bawah benteng, dan sadarlah Pangeran Muda
bahwa hari
sudah maju ke siang. Sementara langit
memerah di sebelah
Timur.
"Selamat tinggal, kita akan segera
bertemu," kata Pangeran
Muda, lalu dengan perlahan-lahan melepaskan
tangan Yuta
Inten. Dan seperti ketika memanjat dinding
benteng itu,
dengan tangkas Pangeran Muda menuruninya.
Beberapa saat
kemudian, setelah berulang-ulang berpaling
ke atas dinding
benteng tempat kedua wanita itu
melambai-lambaikan
tangannya, Pangeran Muda sudah berada di
tengah-tengah
padang.
Kejadian yang baru dialaminya sekarang
seperti sebuah
impian. Berulang-ulang Pangeran Muda
bertanya, apakah
peristiwa itu benar-benar terjadi, ataukah
hanya impian
seorang yang risau? Akan tetapi,
berulang-ulang pula ia yakin,
peristiwa itu benar-benar terjadi karena
para gulang-gulang
yang mengantarnya masih berada di
belakangnya, sementara
itu tangan Pangeran Muda masih terdapat debu
yang pindah
ke tangannya dari dinding benteng yang tua
itu.
Seraya melarikan kudanya, Pangeran Muda
termenungmenung.
Kalau saja tidak ada gulang-gulang yang
mengantar,
mungkin pertemuan dengan Yuta Inten dapat
lebih lama lagi.
Akan tetapi, apa hendak dikata, Pamanda
Banyak Citra telah
memberinya kawal kehormatan yang gemerlap
dengan senjata
dan baju logam mereka.
Pangeran Muda pun bertanya kepada mereka,
"Tentu
sangat tidak menyenangkan berada dalam
pakaian perang itu.
Apakah juragan kalian memerintahkan agar
kalian
mengawalku dengan pakaian kebesaran
itu?"
"Ya, Pangeran Muda. Mula-mula lima
belas orang yang
ditugaskan, tetapi menurut Juragan
Jaluwuyung, Pangeran
Muda tidak suka akan pengawal yang terlalu
banyak, jadi
kamilah yang diberi tugas."
"Sebenarnya kalian dapat menolak
memakai pakaian
perang itu kalau juragan kalian tahu bahwa
saya tidak mau
menyusahkan kalian dengan pakaian-pakaian
serta senjatasenjata
yang berat itu."
"Tuan kami sangat keras dalam
memelihara kehormatan
keluarganya, juga kehormatan tamunya,
Pangeran Muda.
Sukar bagi kami untuk menyampaikan usul.
Perintah adalah
perintah."
"Saya dengar juragan kalian keras
sekali."
"Ya, Pangeran Muda, mereka keras,
maksud kami kaum
pria keluarga Banyak Citra berwatak keras.
Sedang kaum
wanitanya sangat lembut dan ramah. Saya
sering
membandingkan kaum wanitanya dengan
bunga-bunga yang
indah tumbuh di atas cadas. Ya, keluarga
Banyak Citra adalah
cadas-cadas yang berbunga."
"Tepat benar perbandinganmu itu,
Paman," ujar Pangeran
Muda sementara kenangannya kembali kepada
Yuta Inten.
00dw0kz00
Bab 15
Di Ibu Kota
Walaupun kesempatan bertemu dengan Ibunda
dan
Ayunda jarang sekali, Pangeran Muda tidak
dapat lama tinggal
di Puri Anggadipati. Pertama, karena tugas
menunggu di ibu
kota; kedua, karena Ayahanda sudah berada di
sana. Setelah
tiga hari berada di kampung kelahirannya,
Pangeran Muda
pun berangkatlah ke Pakuan Pajajaran,
diiringi oleh empat
orang gulang-gulang. Keempat gulang-gulang
ini diberi tugas
oleh Ibunda untuk mengawal Pangeran Muda
hingga Pakuan
Pajajaran, berhubung kekhawatiran Ibunda
akan keselamatan
putranya seandainya Pangeran Muda seorang
diri melakukan
perjalanan yang sangat jauh itu. Pangeran
Muda sendiri
sebenarnya tidak memerlukan gulang-gulang
itu, tetapi untuk
menyenangkan hati Ibunda, diterimanya juga
pengawalpengawal
itu. Di samping itu, tidak ada salahnya
kalau ada
teman seperjalanan, apalagi gulang-gulang
yang empat itu
adalah kenalan-kenalan lamanya, kawan-kawan
sepermainan
di waktu
Pangeran Muda masih kanak-kanak. Maka pada
hari yang
ditetapkan, rombongan pun berangkatlah.
Sepanjangjalan antara Kutabarang dengan
dataran tinggi,
rombongan memacu kuda. Karena lari kuda
cepat, dan karena
suasana hati Pangeran Muda sedang risau, tak
banyak yang
dipercakapkan dalam perjalanan itu. Pangeran
Muda lebih
banyak membisu, sementara hatinya
melayangjauh, melintasi
gunung-gunung yang sayup-sayup, ke arah
suatu kaputren di
kota Medang tempat Putri Yuta Inten berada.
Semenjak pertemuannya dengan gadis itu,
Pangeran Muda
pun menyadari segi lain dari dirinya. Ia
adalah seorang
bangsawan dan puragabaya, berarti seluruh
hidupnya harus
diserahkan pada kerajaan, pada tugas-tugas
pengabdian
untuk seluruh warga kerajaan. Sebelum
menjadi calon
puragabaya, hanya pengabdian itulah yang
menjadi
masalahnya. Sekarang, setelah Pangeran Muda
bertemu
dengan Putri Yuta Inten, terasa oleh
Pangeran Muda, apa
artinya menjadi seorang kesatria, seorang
pria yang muda
remaja.
Sadar akan kedudukannya sebagai pria dan
kesatria ini
merupakan suatu hal yang baru bagi Pangeran Muda.
Ia
seolah-olah memasuki dunia baru yang penuh
dengan janji
keindahan. Akan tetapi, karena barunya,
dunia itu penuh
dengan keasingan yang menimbulkan
keragu-raguan dan
kecemasan. Pergulatan antara harapan dan
kecemasan,
sukacita dan kerinduan, menyebabkan Pangeran
Muda seolaholah
hidup dalam impian. Ia sering
termenung-menung, sering
sekali seperti terbangun dari tidur kalau
tiba-tiba ada orang
yang mengajaknya bercakap-cakap.
Bagi Pangeran Muda, khayalan dan kenyataan
bergulat,
memperebutkan kesadarannya. Kesadarannya
kadang-kadang
berpijak pada kenyataan, yaitu bahwa ia
sedang berada di
atas pelana kuda, memacunya menuju ibu kota
Pajajaran.
Tetapi lamunan selalu menariknya ke arah
Medang. Kalau
lamunannya menjadi lebih kuat, lupalah
Pangeran Muda pada
alam sekelilingnya. Yang terbayang olehnya
hanyalah jalanjalan
dan Kaputren Medang, dengan wajah,
gerak-gerik Yuta
Inten yang lemah gemulai, .suaranya yang
merdu memenuhi
pancaindranya.
Mata Pangeran Muda memandang ke depan,
sementara
tangannya erat memegang kendali. Akan
tetapi, mata hatinya
memandang ke arah lain, ke tempat yang jauh.
Seorang gadis
muda-remaja tersenyum, berjalan, duduk
sambil menyulam,
bernyanyi kecil menidurkan adiknya, gemetar
menerima
tangannya ketika bersalaman.
'Anom!" tiba-tiba terdengar seorang
gulang-gulang berseru
dari belakang. Pangeran Muda terbangun dari
lamunannya.
Dengan segera ia mengekang kendali.
"Ada apa?"
"Ini bukan jalan ke Pakuan Pajajaran,
tapi ke Muarabe-res.
Sebetulnya sejak tadi saya merasa ragu-ragu
dan bertanyatanya,
mengapa Anom mengambil jalan ini. Baru
sekarang
saya yakin, kita telah tersesat."
Pangeran Muda termenung sejenak, kemudian
tersenyum
sayu.
"Terima kasih, Gita," katanya.
"Mari kita kembali, saya
sungguh-sungguh jadi pelupa sekarang,"
lanjutnya.
"Pangeran Muda," kata
gulang-gulang yang bernama Jatun
ketika mereka sudah berada kembali dijalan
yang benar,
"kalau seorang tua pelupa,.hal itu
disebabkan oleh
kesadarannya sudah tidak betah lagi berada
di dunia ini.
Sebaliknya, kalau seorang pemuda pelupa, hal
itu disebabkan
oleh karena kesadarannya terlalu lincah
melompat-lompat dari
kenyataan yang satu ke kenyataan yang lain,
hingga sering
terpeleset dan terjungkir."
Pangeran Muda tidak mengemukakan pendapatnya
tentang
hal itu, hingga Gita bertanya sambil
tertawa,'Jatun
membandingkan kesadaran manusia dengan
seekor bajing.
Kalau kesadaran orang tua suka melompat ke
api
pembakaran, apakah kesadaran Pangeran Muda
melompat ke
arah setangkai bunga hingga tersesat
dijalan?"
Pangeran Muda tersenyum, lalu berkata,
"Engkau
melompat ke dahan yang tepat, Gita."
"Kalau begitu saya menang taruhan,
Anom," katajatun.
Kemudian ia menerangkan bahwa ketika
Pangeran Muda tiba,
mereka melihat Pangeran Muda sering
termenung-menung.
Jatun dan Gita bertaruh, Jatun menebak bahwa
Pangeran
Muda sedang dimabuk asmara, sedang Gita
sebagai orang
yang lebih sungguh-sungguh wataknya menduga
Pangeran
Muda sedang menghadapi tugas yang berat.
"Kalau begitu, tidak ada di antara
kalian yang menang,
Tun," ujar Pangeran Muda. "Saya
sedang menghadapi keduaduanya."
Maka Pangeran Muda pun menyuruh
gulang-gulangnya
agar melarikan kudanya lebih dekat dan ia
pun membukakan
rencananya kepada mereka.
"Begini, Gita, Jatun. Sebenarnya, saya
tidak memerlukan
pengawalan kalian. Sejelek-jeleknya saya
adalah seorang
calon puragabaya. Tidak ada yang saya
takuti."
"Tidak benar, Anom," seru Jatun
sambil tertawa, "yang
saya takuti Anom tersesat kalau tidak
dikawal," dan mereka
pun tertawalah.
"Baiklah, tapi marilah dengarkan
persoalanku. Kalau kalian
kuizinkan mengawalku, hal itu menyenangkan
Ibunda dan
barangkali memang saya sudah punya firasat
akan tersesat,"
kata Pangeran Muda sambil tersenyum,
kemudian ia
melanjutkan, "Kalian anak-anak muda,
dan saya yakin kalian
akan dapat merasakan apa yang kurasakan.
Putri itu, atau
kami, menyatakan hati masing-masing tepat
sebelum
berpisah. Bayangkan, begitu kami menyatakan
isi hati kami
masing-masing, kami berpisah. Kami belum
puas
mengungkapkan apa-apa yang terpendam dalam
hati kami.
Oleh karena itu, saya ada rencana. Kalian
tidak usah terus
mengawalku ke Pakuan Pajajaran, untuk
sementara. Nanti di
tempat kita menginap, saya akan menulis
surat kepadanya
dan esok hari kalian berbelok ke arah Medang
untuk
menyampaikan suratku itu. Kemudian kalian
mengikutiku
kembali ke Pakuan Pajajaran, sambil membawa
surat darinya
kalau ia menyerahkannya kepada kalian."
"Akan tetapi, bagaimana kalau Ibunda
Putri bertanya
kepada kami?"
"Beliau tidak akan mengetahui tentang
apa yang kita
lakukan," kata Pangeran Muda.
"Kalau begitu, baiklah," ujar
Gita. Mereka pun melanjutkan
perjalanan dengan tidak banyak
bercakap-cakap. Tepat ketika
hari mulai gelap, tibalah mereka di sebuah
kampung.
Malam itu Pangeran Muda menulis surat,
menceritakan
tentang perasaan-perasaan, harapan-harapannya
yang timbul
semenjak mereka berkenalan. Diceritakannya
pula kepada
Putri Yuta Inten, bagaimana Pangeran Muda
sering mengintip
dari jendela tempatnya menginap di Medang,
mendengarkan
suaranya yang merdu, memerhatikannya dengan
penuh gairah
bagaimana jari-jari Yuta Inten yang tirus
dengan lincah
menyulamkan bunga-bungaan pada kain yang
terbentang di
pang-widangan. Pada penutup surat itu
diceritakannya pula,
karena tidak dapat menahan dorongan hatinya,
pada malam
terakhir berada di Medang, Pangeran Muda telah
menyelinap
dan mengintip, ketika Putri Yuta Inten
sedang menjalin
rambutnya yang lebat dan indah itu.
Dikatakannya,
percakapan Putri Yuta Inten dengan emban
didengarnya pula.
Untuk segala kelakuannya itu, Pangeran Muda
minta maaf
karena segalanya itu dilakukannya tidak
didorong oleh iktikadTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
iktikad yang rendah, tetapi karena
perasaan-perasaan yang
luhur dan mulia juga.
Setelah surat itu beberapa kali dibaca
kembali, Pangeran
Muda meletakkan pisau pangotnya, lalu mengambil
kotak
lontar yang terbuat dari kayu cendana yang
wangi. Surat itu
disusunnya, lalu dimasukkan ke dalam kotak
lontar itu.
Keesokan harinya, setelah kuda-kuda diurus
dan diberi
makan, Pangeran Muda dengan keempat
pengawalnya
meninggalkan kampung itu. Sekira matahari
mulai hangat,
tibalah mereka di suatu persimpangan.
Pangeran Muda
mengacungkan tangannya, memberi isyarat agar
para
pengawalnya berhenti.
"Kita berpisah di sini, Gita."
"Baik, Pangeran Muda."
Pangeran Muda turun dari kudanya, demikian
juga para
gulang-gulang. Pangeran Muda mengambil
kantong kulit yang
indah dari kantong besar yang tergantung di
pelana si Gambir,
lalu menyodorkannya kepada Gita sambil
berkata, "Gita,
kantong ini berisi dua kotak, yang satu
berisi beberapa helai
lontar, yang lain berisi perhiasan. Pergilah
kalian ke kota
Medang, dan setiba di sana, pergilah kalian
ke pasar, tunggu
rombongan bangsawan datang berbelanja.
Engkau akan
mudah mengenal Putri Yuta Inten
"Karena Putri itu yang paling cantik di
antara yang lain-lain,
Pangeran Muda," kata Jatun menyela.
Pangeran Muda tidak marah akan kelancangan
gulanggulang
itu. Ia hanya tersenyum, lalu melanjutkan
bicaranya,
"Gadis itu selalu didampingi oleh
seorang emban tua yang
berbadan besar. Dekatilah emban tua itu, dan
katakanlah,
bahwa kau utusanku. Berikanlah kantong itu
kepada emban
tua itu, lalu susullah saya ke Pakuan
Pajajaran."
"Baiklah, Anom. Tadi Anom mengatakan,
salah satu kotak
berisi perhiasan," kata Gita.
"Ya, Gita, kalian tidak usah takut
karena jalan antara
tempat ini dengan Medang cukup aman. Di
samping itu,
mungkin kau dapat menggabungkan diri dengan
rombonganrombongan
lain," kata Pangeran Muda.
"Bukan begitu, Anom. Kalau perlu kami
berkelahi dengan
perampok-perampok karena kewajiban kami
adalah mengabdi
kepada Anom. Akan tetapi, tentang perhiasan
itu."
"Mengapa?"
"Menurut orang tua-tua tidaklah baik
memberi pakaian atau
perhiasan kepada seorang kekasih karena
pemberianpemberian
semacam itu sering menyebabkan gagalnya
pelaksanaan perkawinan," ujar Gita.
Pangeran Muda tersenyum.
"Takhayul, Gita," katanya.
"Sekarang, selamat berpisah,
dan susullah saya secepat-cepatnya ke Pakuan
Pajajaran agar
kalian dapat melaporkan kepada Ibunda dan
Ayunda bahwa
saya tiba di sana dengan selamat."
"Baiklah, Anom."
"Anom, kami takut Anom tersesat,"
seru Jatun sambil
tertawa.
"Tidak mungkin, Jatun. Sebagian dari
hatiku yang akan
membawa sesat sudah kumasukkan ke dalam
kotak surat itu,"
sambut Pangeran Muda sambil tersenyum.
Kemudian, seraya
mengacungkan tangannya sebagai tanda ucapan
selamat
berpisah, ia pun memacu kudanya ke arah
Pakuan Pajajaran.
Sementara itu, pengawal-pengawal berbelok ke
arah timur.
SETELAH dua hari di perjalanan, pada suatu
siang
tampaklah dari jauh dinding benteng Pakuan
Pajajaran. Begitu
besarnya kota Pakuan Pajajaran, hingga dari
jauh dinding
bentengnya tampak seperti sebuah bukit yang
panjang
dengan puncaknya yang rata. Di atas benteng
itu
berjulanganlah menara-menara pengawas.
Sepanjang
benteng, panji-panji dan umbul-umbul
berkibar dan melambailambai
ditiup angin. Ketika itu, jalan yang dilalui
Pangeran
Muda mulai ramai. Bukan saja
penung-gang-penunggang kuda
lain yang hilir-mudik, datang dari depan
atau belakang, tetapi
para pejalan kaki pun sangat banyak. Di
samping itu, pedatipedati
yang ditarik kerbau atau kuda hilir mudik,
dengan
berbagai macam muatan yang dibawanya ke arah
ibu kota
atau dari ibu kota ke kampung-kampung di
sekitarnya atau
bagian kerajaan yang jauh-jauh.
Betapapun banyaknya orang yang lalu-lalang,
jalan besar
itu tidaklah rusak. Berbeda dengan
jalan-jalan antara ibu kota
atau kampung di tengah-tengah padang di
wilayah Pajajaran
lainnya, jalan-jalan yang dekat dengan ibu
kota ini dibuat dari
batu yang disusun dengan rapi. Di kiri kanan
jalan ditanam
pula pohon-pohon tanjung agar para pejalan kaki
terlindung
dari panas matahari di musim kemarau.
Sementara itu,
padang-padang di sekitar ibu kota tidaklah
seperti padang-padang
yang terbuka di sekitar kota-kota lain di
Pajajaran. Padang-
padang di sekitar ibu kota Pakuan Pajajaran
tampak
diurus dan dimanfaatkan untuk bercocok
tanam. Di tengahtengah
padang-padang itu kelompok-kelompok rumah
didirikan orang. Semuanya itu memperlihatkan
bahwa di
sekitar ibu kota keamanan sangat terjamin,
hingga orangorang
berani mendirikan rumah-rumah mereka di
tengahtengah
padang tanpa melingkungi rumah-rumah itu
dengan
pagar-pagar tinggi seperti di tempat-tempat
lain.
Makin dekat ibu kota, makin ramai juga
jalan. Di salah satu
tempat tukang besi menjual ladam kuda, di
tempat lain tukang
kulit menjajakan pakaian kuda. Di sepanjang
jalan, setiap lima
ratus langkah terletak tempayan air yang
besar, sengaja
disediakan oleh penduduk untuk para pejalan
yang kehausan.
Di tempat lain lagi disediakan kolam, tempat
para pejalan
memberi minum kuda mereka.
Selagi Pangeran Muda memerhatikan tamasya
sekitar ibu
kota, tiba-tiba terdengar trompet tiram
ditiup orang. Pangeran
Muda berpaling ke suatu jalan bersilang
dengan jalan yang
sedang dilaluinya. Dari arah itu datanglah
sebuah kereta besar
dan indah yang ditarik oleh empat ekor kuda
yang tampantampan
pula.
"Pangeran Linggawastu," bisik
seorang pejalan.
Pangeran Muda teringat akan nama itu.
Pangeran itu
adalah keponakan sang Prabu. Setelah kereta
bangsawan itu
lewat, Pangeran Muda menarik kendali si
Gambir, memberi
isyarat padanya agar melanjutkan perjalanan.
Tak lama
kemudian tibalah Pangeran Muda di gerbang
kota yang besar
dan megah itu.
Gerbang itu demikian besarnya, hingga kalau
delapan buah
pedati berjalan berdampingan,
kendaraan-kendaraan itu tidak
usah takut bersinggungan. Di atas gerbang
itu dibangun
kandang jaga yang sangat besar, hingga kalau
ada seratus
orang prajurit berdiri di sana tak usah ada
di antara mereka
yang takut jatuh ke bawah benteng. Dinding
benteng itu
sendiri demikian tebalnya, hingga
prajurit-prajurit yang
berbaris berempat dapat berjalan dengan
leluasa.
Sementara mengagumi gerbang dan benteng itu
si Gambir
telah berjalan memasuki kota Pakuan
Pajajaran yang
termasyhur di seluruh Buana Panca Tengah
itu. Sesuai dengan
pesan yang diterimanya dari para puragabaya
ketika berada di
Padepokan Tajimalela, Pangeran Muda turun
dari punggung
kuda, lalu berjalan ke arah sebuah bangunan
kecil di dekat
gerbang tempat seorang perwira duduk
didampingi oleh
pengawal-pengawalnya. Pangeran Muda memberi
salam
kepada perwira yang menyambutnya dengan
ramah.
"Saya dari Padepokan Tajimalela, ini
tanda pribadi saya,"
kata Pangeran Muda sambil mengambil sehelai
lontar dari
dalam kotak pelana kuda, lalu menyerahkannya
kepada
perwira itu.
Dengan segera, perwira itu melihat tanda
tangan
puragabaya Rangga Sena dan dengan segera ia
berdiri
memberi hormat kepada Pangeran Muda yang
berdiri di
depannya. Pangeran Muda sungguh-sungguh
kikuk menerima
penghormatan seperti itu. Ia memberi hormat
kembali lalu
mempersilakan perwira itu duduk kembali.
"Maaf, saya tidak segera mengenal
Pangeran Muda," kata
perwira itu.
"Tidak apa, saya sendiri sangat
bergembira bahwa
kehadiran saya di sini sudah diberitahukan
sebelumnya."
"Pangeran Muda akan segera dijemput
karena menurut
pemberitahuan yang kami terima, sekira
tengah hari Pangeran
Muda akan tiba. Ternyata Pangeran Muda
datang lebih cepat.
Jadi, penjemputan itu belum tiba."
Sementara menanti penjemput itu Pangeran
Muda
memeriksa si Gambir. Melihat hal itu para
penjaga segera
mendekati, ada yang membawa keranjang yang
berisi irisan
ubi, ketela, dan rumput, yang lain membawa
kantong yang
berisi dedak. Yang lain lagi membawa air
dalam tempayan
besar khusus untuk kuda.
"Kuda ini sangat tampan dan kuat,
Pangeran Muda," kata
salah satu penjaga sambil mengusap-usap
surai si Gambir.
"Tapi kuda ini sudah tua. Ia
dihadiahkan oleh Ayahanda
ketika saya mencapai umur sepuluh tahun. Ia
berperangai lemah-
lembut dan mudah mengerti, di samping sangat
kuat
seperti yang Saudara katakan," ujar
Pangeran Muda sambil
mengusap-usap si Gambir.
"Tapi kelihatannya masih muda sekali,
Pangeran Muda. Ia
masih gagah perkasa," ujar pengawal
itu.
"Ya, akan tetapi saya tidak bermaksud
mempekerjakannya
hingga ia terlalu tua. Saya akan segera
melepaskannya di
padang sekitar Puri Anggadipati. Kasihan
kalau saya harus
melelahkannya terus-menerus," sambung
Pangeran Muda.
"Oh. Di samping itu, Pangeran Muda
sebentar lagi akan.
diberi kuda putih."
"Ya?" kata Pangeran Muda
keheranan.
"Ya, Pangeran Muda. Kawan saya ini
seorang ahli kuda. Ia
petugas khusus yang mengurus kuda-kuda
puragabaya.
Belakangan ini telah dikumpulkan dua belas
kuda putih,
menurut keterangan, persediaan untuk dua
belas calon
puragabaya yang akan lulus dalam waktu
dekat."
"Tapi angkatan saya mungkin baru lulus
dalam tiga tahun
lagi, Paman," ujar Pangeran Muda.
"Oh, tidak jadi soal karena kuda-kuda
yang dikumpulkan itu
masih muda-muda sekali. Sebaiknya, Pangeran
Muda
menyediakan nama untuk kuda putih itu,"
kata pengawal, itu.
"Ah, sungguh nasihat yang baik. Saya
dapat
menetapkannya sejak sekarang dan memilih
nama yang
sebaik-baiknya."
"Pangeran Muda dapat memilih nama
Bulan, Awan, Perak,
nama-nama yang cocok untuk kuda putih,"
kata pengawal itu.
"Saya akan memikirkannya, Paman,"
ujarnya.
Sementara itu, seorang pemuda datang
menunggang kuda
ke arah bangunan yang ditempati oleh
pimpinan pengawalpengawal
itu. Pangeran Muda segera berjalan ke arah
bangunan itu, dan sesuai dengan sangkaan
semula, ternyata
pemuda itu adalah orang yang diberi tugas
untuk
menjemputnya.
"Pangeran Muda, hamba Ardalepa,
ditetapkan sebagai
panakawan Pangeran Muda selama berada di
Pakuan
Pajajaran."
"Oh, senang sekali saya bertemu dengan
engkau,
Ardalepa," kata Pangeran Muda seraya
memandang ke arah
pemuda yang bermata cerah dan berumur
kira-kira satu atau
dua tahun lebih muda darinya.
"Hamba diperintahkan agar segera
membawa Pangeran
Muda menghadap kepada puragabaya Geger
Malela di
kepuragabayaan. Kemudian hamba pun
diperintahkan untuk
menemani Pangeran Muda menghadap Pangeran
Anggadipad
di sayap barat istana."
Setelah mengucapkan terima kasih kepada para
pengawal,
Pangeran Muda pun segera menunggangi si
Gambir, dan
bersama Ardalepa berjalan ke arah bagian
tengah kota yang
sibuk dan ramai itu.
Sambil berjalan berdampingan Pangeran Muda
tak putusputusnya
mengagumi kemegahan ibu kota. Di kiri kanan
jalan
batu yang lebar berdiri bangunan-bangunan
yang terbuat dari
batu dan kayu jati, kadang-kadang dihias dan
diwangikan
dengan kayu cendana. Guci-guci yang besar,
keramik-keramik
yang indah diletakkan di pendapa tempat orang
menanam
bunga-bunga yang indah. Sedang taman kota
yang sempat
mereka lewati tak luput jadi sumber
kekaguman.
Mengenai penduduk kota, Pangeran Muda belum
pernah
melihat orang sebanyak itu. Menurut
keterangan yang
diterima dari Ayahanda Anggadipati, ibu kota
Pakuan
Pajajaran berpenghuni lebih dari lima puluh
ribu orang.
Mereka ini terdiri berbagai golongan dan
tingkat masyarakat,
dari para bangsawan hingga ke para
panakawan, di samping
saudagar-saudagar dan orang-orang asing,
dari Negeri Katai,
Negeri Atas Angin, dan dari Pulau Emas.
Umumnya penduduk
ibu kota berpakaian indah, wanita-wanitanya
sangat tahu akan
kebersihan dan cara menghias diri. Sementara
itu, para
jagabaya yang bertugas, amat sopan terhadap
warga
kerajaan. Jelas bagi Pangeran Muda bahwa asas-asas
kesatriaan sangat dipatuhi di ibu kota
Pakuan Pajajaran ini.
Sementara Pangeran Muda melihat-lilhat
tamasya kota
yang megah dan agung itu, tibalah di hadapan
sebuah
bangunan yang hampir menyerupai tempat
pemujaan.
"Kita tiba, Pangeran Muda," kata Ardalepa
sambil turun dari
kudanya.
Pangeran Muda mengikuti, dan berjalan di
samping
Ardalepa. Begitu mereka melewati gerbang,
seorang penjaga
segera menjemput dan menerima kendali kuda
mereka untuk
dibawa ke tempatnya. Pangeran Muda langsung
menuju
ruangan. Di sana terdapat beberapa orang
puragabaya, semua
berpakaian resmi yang berwarna putih dengan
ikat pinggang
keemasan. Setelah memberi salam kepada
mereka, Ardalepa
membawa Pangeran Muda ke suatu ruangan,
tempat
puragabaya Geger Malela berada.
"Oh, Anggadipati, baik-baik saja?"
"Baik, Kakanda, terima kasih."
"Syukur, Anggadipati, engkau akan
ditugaskan di wilayah
Galuh, di daerah yang dahulu menjadi pusat
kerajaan. Engkau
akan menjadi pengawal pribadi Pangeran
Rangga Wisesa di
sana. Daerah ini bukanlah daerah yang
menyenangkan. Di
sebelah selatan terdapat terdapat samudra
raya yang menjadi
wilayah Nyai Putri Kidul. Samudra yang
berpenghuni berbagai
macam naga ini, dan yang ombaknya besar
bagaikan gunungTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gunung, adalah batas kerajaan di sebelah
selatan. Akan tetapi,
sebelum samudra terdapat wilayah rawa yang
penuh dengan
siluman. Orang-orang jahat yang bersekutu
dengan siluman
biasa melarikan diri dan bersembunyi di
rawa-rawa ini setelah
mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang
terkutuk di
daerah Galuh. Saya kira itu sudah cukup
menjadi masalah.
Akan tetapi, ada masalah yang lebih penting
lagi, yaitu bahwa
Galuh ini dekat sekali ke perbatasan
kerajaan tetangga di
sebelah timur. Arti pertahanan kota ini
sangat penting lagi,
oleh karena itu penguasa di tempat itu harus
seorang
panglima yang cerdik dan licin agar selalu
waspada. Itulah
sebabnya dipilih Pangeran Rangga Wisesa.
Tentu saja orang
penting ini harus dijaga dengan saksama.
Untuk itu, engkau
dipilih karena menurut Eyang Resi, engkau
seorang yang
saksama dalam segala hal. Saya menganggap
penugasanmu
ini sebagai kehormatan bagimu."
"Setiap tugas hamba menganggap
kehormatan, Kakanda,"
ujar Pangeran Muda, sementara hatinya mulai
mengembara
ke kota Medang. Penugasannya ke kota Galuh
berarti
penempatan dirinya di ujung timur kerajaan,
sedang kota
Medang berada di sebelah barat, walaupun
tidak berada di
ujung barat. Dari kota Galuh ke kota Medang
hampir dua
minggu perjalanan berkuda. Pikirannya
mengenai hal-hal itu
menggugah kerinduan Pangeran Muda akan Putri
Yuta Inten
serta segala hal yang ada di sebelah barat
kerajaan, padangpadang
yang luas, matahari yang cerah, hutan-hutan
yang
hangat dan hijau. Akan tetapi, tugas adalah
tugas, dan
seorang calon puragabaya adalah calon
puragabaya, yang
tidak lagi memiliki dirinya. Oleh karena
itu, Pangeran Muda
tidak berkata apa-apa lagi, dan hanya
bertanya, apa saja yang
harus dikerjakannya di Pakuan Pajajaran
sebelum berangkat
ke Galuh.
"Tidak ada, selain menunggu
pemberitahuan tentang kapan
kau harus berangkat dan itu akan disampaikan
oleh istana,"
kata puragabaya Geger Malela.
"Baiklah, Kakanda."
"Dan selama menunggu, kau disediakan
penginapan di
kepuragabayaan. Ayahmu pernah meminta agar
kau
dibolehkan menginap di istana, tetapi saya
menerima perintah
lain, jadi tidak dapat diperkenankan."
"Tidak apa, Kakanda. Ayahanda tidak
akan berkecil hati,"
ujar Pangeran Muda.
"Baiklah, sekarang, beristirahatlah
sebelum Ardalepa
membawamu kepada Pangeran Anggadipati dan
melihat-lihat
kota."
KARENA ingin segera bertemu dengan Ayahanda,
Pangeran
Muda menangguhkan waktu istirahatnya. Di
samping itu,
perjalanan pagi itu tidaklah terlalu berat.
Dengan bersiram air
jernih dan sejuk, kesegaran pun segera
kembali. Setelah
mengenakan pakaian yang terbaik, Pangeran
Muda segera ke
ruangan tengah kepuragabayaan, tempat
Ardalepa siap untuk
menjadi panakawannya.
'Ardalepa, apakah saya dapat berkunjung
kepada Ayahanda
sekarang?" tanya Pangeran Muda kepada
anak muda itu.
"Pangeran Muda, beliau masih akan sibuk
untuk beberapa
saat lagi, jadi lebih baik kita menunggu
sebentar. Di samping
itu, saya mendapat pesan dari para calon
lain yang sudah
lebih dahulu datang agar Pangeran Muda
bertemu dengan
mereka."
"Oh, siapakah yang sudah datang
kepuragabayaan?"
"Raden Jaluwuyung, Raden Pamuk Wulung,
Raden Elang
Ngapak, dan yang lain yang hamba lupa lagi
namanya," ujar
Ardalepa.
Dengan gembira, Pangeran Muda pergi ke
bagian
bangunan kepuragabayaan tempat
teman-temannya berada.
Betapa rindu Pangeran Muda kepada mereka yang
sudah
hampir tiga minggu berpisah dengannya.
Mereka berunding
untuk pergi melihat-lihat kota bersama-sama,
kemudian
setelah waktu yang baik tiba, yaitu ketika
matahari mulai
teduh, berangkatlah tujuh orang calon
puragabaya yang
sudah berada di Pakuan Pajajaran dengan
tujuh orang
panakawan mereka. *
"Pangeran Muda, di bagian kota Pakuan
sebelah utara
terdapat gerombolan-gerombolan putra-putra
bangsawan
yang berandal. Oleh karena itu, sebaiknya
kita tidak lewat ke
sana," ujar Ardalepa.
'Jangan takut, Ardalepa, para calon tidak
akan mendorong
mereka untuk berkelahi. Mereka akan
menyangka kami ini
orang-orang dusun dari padepokan yang sedang
keliling kota
melihat pemandangan untuk didongengkan nanti
di dusun di
atas gunung," ujar Pangeran Muda.
"Pangeran Muda, tetapi mereka kenal
dengan kami. Mereka
sering terlibat dalam perkelahian dengan
pemuda-pemuda
yang bekerja di kepuragabayaan. Mereka
sering mengejek
kami sebagai puragabaya tiruan."
"Kalian bukanlah puragabaya tiruan,
jadi mengapa harus
sakit hati? Di samping itu janganlah takut,
kalau mereka
menantang berkelahi, kami akan melarikan
diri."
Mendengar itu Ardalepa tidak berkata apa-apa
lagi dan
rombongan pun terus berjalan melihat-lihat
tamasya kota.
Pangeran Muda belum pernah melihat manusia,
binatangbinatang,
harta, dan segala-galanya begitu
berlimpah-limpah
seperti di Pakuan Pajajaran. Sambil
bercakap-cakap mereka
melihat pajangan berbagai barang jualan,
hingga akhirnya
sampailah Pangeran Muda di tempat penjual
senjata. Demi
terlihat olehnya sebuah gendewa yang terbuat
dari kayu dan
gading, teringatlah Pangeran Muda kepada
Banyak Sumba,
adik laki-laki Jaluwuyung dan Yuta Inten.
Pangeran Muda
berbisik pada Ardalepa, bertanya tentang
harga barang itu.
Ardalepa tampaknya ahli dalam soal-soal
demikian, dan tak
lama kemudian senjata yang indah itu telah
dikepitnya, seraya
ia terus berjalan di belakang Pangeran Muda.
Ketika mereka tiba di suatu tempat kota itu,
sekali lagi
Ardalepa memberi peringatan pada Pangeran
Muda bahwa di
bagian kota sebelah sana terdapat gerombolan
bangsawan
muda yang suka berkelahi. Pangeran Muda
mengatakan hal
itu kepada teman-temannya.
'Jangan takut, kita akan mengambil langkah
seribu," kata
Rangga yang suka lelucon.
"Sungguh?" tanya Pangeran Muda
yang bersiap-siap, kalaukalau
peringatan Ardalepa itu terjadi.
"Sungguh. Saya tidak mau disuruh
membersihkan lantai
asrama untuk enam bulan seperti Anom.
Daripada jadi tukang
cari kayu, lebih baik lari saja, apa
susahnya," jawab Rangga
pula. Umumnya calon-calon puragabaya
sependapat dengan
Rangga, kecuali Jante yang tampak ragu-ragu.
Akan tetapi,
dalam sekejap mereka pun telah lupa akan
masalah itu dan
bercakap-cakap tentang berbagai hal lain.
Kemudian tibalah mereka di tempat yang agak
luas, sebuah
lapangan yang di sekelilingnya terdapat
gudang-gudang dan
rumah-rumah besar, tempat tinggal para
bangsawan atau
saudagar. Di tengah-tengah lapangan itu
orang-orang sangat
sibuk memperdagangkan berbagai barang mewah,
ada gading
gajah dari Pulau Emas, sutra dari Negeri
Katai, rempahrempah
dari Pulau Bunga, senjata-senjata yang indah
bentuknya, dan lain-lain. Para calon segera
melihat-lihat ke
tempat itu.
Selagi mereka asyik, tiba-tiba terdengarlah
seseorang
berseru, "Ini dia mereka! Mereka
membawa balabantuan dan
senjata. Jangan beri hati!"
Pangeran Muda terkejut dan melihat ke arah
suara itu.
Tampak kira-kira lima belas orang pemuda
yang berpakaian
bagus-bagus berdiri berjajar, menghadap ke
arah para
panakawan para calon.
"Rangga, ini bukan lelucon!" bisik
Pangeran Muda.
"Hehehe," Rangga yang suka lelucon
tertawa, lalu berkata,
"Kita sudah berjanji akan mengambil
langkah seribu, dan
menghadapi mereka dengan punggung
hehehe."
"Rangga, tapi para panakawan
beranggapan kita ini betulbetul
balabantuan. Mungkin mereka mempergunakan
kesempatan ini untuk menghajar lawannya
dengan
mempergunakan tinju-tinju kita," kata
Pangeran Muda, sambil
menyaksikan bagaimana para panakawan dengan
gagah
berani berjalan berdampingan menuju
pemuda-pemuda itu.
Para pedagang sudah mulai ribut, mereka
mengumpulkan
barang-barang, bersiap-siap menghadapi
huru-hara. Di sana
sini terdengar jeritan dan caci-maki karena
dalam kesibukan
itu ada pula orang yang jatuh tersenggol
oleh tetangganya.
Melihat suasana demikian, tertawalah Rangga
terpingkalpingkal.
Hanya Jantelah yang bermata liar.
Sementara itu, sebagian dari pemuda-pemuda
lawan
bergerak mendekati para calon yang berdiri
berkelompok.
Melihat itu makin geli tampaknya Rangga, ia
tertawa terkekehkekeh.
"Siap dengan kuda-kuda hehehe,"
gelaknya, dan para
pemuda itu makin dekat, sementara
orang-orang berlarian
ketakutan.
Tiba-tiba seorang di antara panakawan mulai
menyerang,
diikuti oleh yang lain. Terjadilah
pergulatan yang kalang
kabut. Pemuda-pemuda yang dekat para calon
pun
menghamburlah, tidak mau kedahuluan
diserang. Akan tetapi,
dengan sigap Rangga melompat melarikan diri,
demikian juga
Elang, Ginggi, Girang, Jalu, kecuali Jante
yang dengan mata
liar bersiap-siap. Melihat hal itu, Pangeran
Muda segera
menarik tangannya, lalu berlari sambil tak
dapat menahan
tertawa.
Pemuda-pemuda mengejar mereka sambil
mencaci-maki,
mengatakan nama-nama yang hanya cocok
didengar oleh
telinga siluman. Akan tetapi, hinaan itu
tidak dipedulikan oleh
para calon yang sambil berlari memegang
perut mereka
karena menahan tertawa. Betapapun cepatnya
pengejarpengejar,
mereka tidak dapat menyusul lari para calon
puragabaya yang sudah biasa berlari, bahkan
di padang kerikil
atau lumpur rawa. Dan sambil tetap tertawa
terpingkalpingkal,
sampailah mereka di depan kepuragabayaan.
Sambil duduk-duduk di ruangan depan
kepuragabayaan,
tak ada yang menjadi bahan obrolan para
calon, kecuali
peristiwa penghadangan yang dilakukan oleh
pemuda-pemuda
berandal itu. Sambil bercakap-cakap tak
henti-hentinya,
mereka tertawa-tawa, kecuali Jante yang
tetap bersungguhsungguh.
Ketika mereka sedang bercakap-cakap itu,
datanglah
para panakawan satu per satu.
Sungguh-sungguh terkejut Pangeran Muda
melihat
kedatangan mereka. Pakaian mereka
robek-robek, muka
mereka kotor dan bahkan babak-belur. Rupanya
perkelahian
itu sungguh-sungguh keras. Teringat akan
kemungkinan yang
lebih jelek, menjadi cemaslah Pangeran Muda.
Dengan hati
tegang, Pangeran Muda menunggu kedatangan
panakawanpanaka-
wan yang lain. Bukanlah tidak mungkin ada di
antara
mereka yang nahas dan menderita luka-luka
atau bahkan
tewas. Itu bukan tidak mungkin karena
perkelahian antara
bangsawan muda sering terjadi dan korban
jiwa bukanlah hal
yang aneh. Justru permusuhan antara
keluarga-keluarga
bangsawan tertentu yang sukar didamaikan,
bahkan oleh sang
Prabu, banyak yang disebabkan oleh
perkelahian antara
pemuda-pemuda kepalang tanggung seperti itu.
Satu demi satu para panakawan datang.
Ardalepalah yang
belum muncul. Dengan tegang dan tak ada lagi
yang tertawa,
mereka menunggu Ardalepa. Akhirnya, muncul
juga anak
muda itu, dan legalah hati Pangeran Muda.
Seperti yang lain,
pakaian Ardalepa kotor dan cabik-cabik,
sedang di beberapa
bagian mukanya terdapat luka-luka.
"Maaf, Pangeran Muda, saya harus
mencari panah itu dulu
sebelum pulang," kata Ardalepa.
"Oh, Ardalepa, betapa lega saya melihat
kau lagi," kata
Pangeran Muda. Akan tetapi, anak muda itu
tidak tersenyum,
mungkin ia kesal akan tindakan para calon.
Demikian juga
panakawan-panakawan yang lain tidak seramah
seperti
semula. Mereka tetap melayani para calon seperti
biasa, tetapi
senyum mereka tidak tampak lagi. Pangeran
Muda mengerti
akan isi hati mereka dan bermaksud
menerangkan Ardalepa,
mengapa mereka melarikan diri seperti
kelompok pengecut.
KARENA terjadinya perkelahian itu, rencana
mengunjungi
ayahanda Anggadipati diundurkan ke senja.
Setelah bersiram
dan berpakaian pantas, dengan diiringkan
oleh Ardalepa
pergilah Pangeran Muda ke arah istana.
Mereka tidak
menunggang kuda walaupun jarak ke istana
agak jauh karena
Pangeran Muda masih ingin melihat-lihat keadaan
kota. Sambil
berjalan Pangeran Muda menjelaskan kepada
Ardalepa,
mengapa para calon melarikan diri ketika
ditantang berkelahi.
"Kami tidak percaya ketika Den Rangga
menyatakan bahwa
Anom dan kawan-kawan akan melarikan diri.
Kami menyangka
para calon bermain-main," kata
Ardalepa. Pangeran Muda pun
menjelaskan bagaimana ia pernah mendapat
hukuman karena
terlibat dalam perkelahian seperti itu.
"Barangkali kamilah yang
bersalah," kata Ardalepa.
"Sebenarnya kami memang bermaksud
melibatkan para calon
ke dalam perkelahian itu. Anom perlu tahu
bahwa beberapa
lama berselang terjadi perkelahian sengit,
hingga beberapa
orang terluka di kedua pihak. Kami bermaksud
menghajar
mereka."
'Ardalepa, kami menyesal dengan apa yang
telah terjadi.
Akan tetapi, ingin kukatakan kepadamu bahwa
perkelahianperkelahian
yang kalian lakukan itu sia-sia sekali. Kau
pun
perlu menyadari bahwa kami, para calon
adalah orang-orang
yang tidak pernah berkelahi seperti itu
sebelum kami dipanggil
ke Padepokan Tajimalela. Justru karena kami
berlaku sebagai
anak-anak yang suka damai itulah, kami
terpilih jadi caloncalon
puragabaya."
Sebelum Ardalepa mengemukakan pendapatnya
tentang
hal itu, tiba-tiba dari suatu arah
menderulah penunggang-penunggang
kuda dengan obor-obor dinyalakan besar-besar.
Orang-orang yang lalu lalang menepi karena
kuda-kuda itu
dilarikan dengan kencang.
"Wah, itulah mereka!" seru
Ardalepa sambil berlindung di
tempat yang agak gelap.
"Siapa?" tanya Pangeran Muda.
"Pemuda-pemuda utara!" kata
Ardalepa setengah berbisik.
Sementara itu, pemuda-pemuda penunggang kuda
tersebut
lewat sambil berteriak-teriak, menyerukan
pembalasan
dendam.
"Seorang di antara mereka terluka
parah," bisik Ardalepa.
Pangeran Muda mulai geram melihat
tingkah-laku para
pemuda dan berita yang disampaikan oleh
Ardalepa itu.
Dengan perasaan yang tidak terkendalikan,
berkatalah
Pangeran Muda pada Ardalepa,
"Sungguh-sungguh kalian ini
sia-sia. Kota seindah dan seagung ini kalian
kotori dengan
tingkah laku yang menjijikkan. Ya, Sang
Hiang Tunggal!
Setelah makan dan pakaian dicukupi, ternyata
pemudapemuda
kepalang tanggung ini tidak tahu diri dan
lebih rendah
kesopanannya daripada pemuda-pemuda tani di
kampungkampung.
Ardalepa, kau harus tahu, betapa berat kami
dididik
di Padepokan untuk keamanan, ketertiban, dan
kesejahteraan.
Akan tetapi, kalian yang seharusnya
memanfaatkan
kesejahteraan ini untuk hal-hal yang baik
ternyata hanya
mempergunakannya untuk berkelahi tanpa
alasan!"
Sambil berkata demikian, Pangeran Muda
memandang
tajam ke arah Ardalepa yang dianggapnya
sebagai wakil dari
pemuda-pemuda bangsawan yang kepalang
tanggung itu.
Akan tetapi, Ardalepa tidak melihatnya
karena ia masih
memerhatikan lawan-lawannya yang lenyap di
tikungan barat.
Setelah segalanya tenang kembali, mereka pun
berjalan
lagi ke arah istana di bawah obor-obor jalan
yang terang
benderang. Tak lama kemudian mereka pun
tibalah di gerbang
istana yang keindahannya memukau Pangef an
Muda. Setelah
Ardalepa melapor, seorang gulang-gulang
mengantar mereka
ke sayap barat istana. Begitu pintu terbuka,
Pangeran
Anggadipati dengan tersenyum menyambut
tangan Pangeran
Muda yang diulurkan pada beliau.
"Aku cemas kau akan terlibat
perkelahian lagi, anakku, lalu
dihukum lagi seperti dulu."
"Tidak mungkin, Ayahanda, walaupun
hampir-hampir saja
kami terlibat lagi."
"Ya?" ujar Ayahanda sambil
memperlihatkan
kepenasarannya.
Pangeran Muda tersenyum, kemudian
menceritakan apa
yang terjadi sore itu. Ayahanda tertawa
dengan gemhjra
mendengar kisah itu.
"Kau sudah pada tempatnya menjadi
puragabaya, anakku.
Kau sekarang sudah dewasa, hingga penghinaan
dan
tantangan orang dapat menjadi lelucon
bagimu."
Sekarang Pangeran Mudalah yang penasaran. Ia
bertanya
dengan sungguh-sungguh, "Sungguhkah
demikian,
Ayahanda?"
"Ya, anakku. Jiwamu harus begitu
matang, hingga kau
dapat membedakan mana ancaman
sungguh-sungguh dan
mana yang hanya berupa lelucon yang sia-sia.
Kalau kau
sudah demikian, secara rohani kau sudah
menjadi seorang
puragabaya."
Mendengar keterangan itu teringatiah
Pangeran Muda pada
Rangga yang suka lelucon. Timbullah rasa
hormat kepada
kawannya itu.
Kemudian percakapan berkisar ke persoalan
keluarga,
ketika Pangeran Muda menyampaikan
berita-berita dari rumah
dan pesan-pesan dari Ibunda untuk Ayahanda.
Selagi
menyampaikan berita dan pesan itu, ingin
sekali Pangeran
Muda menceritakan tentang pengalamannya
dengan Putri
Yuta Inten. Akan tetapi, lidahnya berat
sekali untuk memulai
percakapan tentang hal itu. Pangeran Muda
merasa ragu-ragu
dan malu untuk menyinggung masalah yang
sangat bersifat
pribadi itu. Walaupun Ayahanda sebenarnya
sudah biasa
memasalahkan persoalan yang bersifat pribadi
seperti itu.
Akan tetapi, dorongan untuk mengemukakan isi
hatinya
demikian besarnya, hingga pada suatu saat
Pangeran Muda
hendak memulai berbicara tentang hal itu.
Ketika kata-kata
pertama sedang dicarinya, tiba-tiba Pangeran
Anggadipati
berkata dengan sungguh-sungguh.
"Anakku, sekali lagi ingin kusampaikan
kepadamu pesan
seorang ayah sebelum kau pergi ke dunia luas
dan
mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu
sebagai
seorang laki-laki dewasa. Anakku, dalam
setiap kelompok
masyarakat selalu terdapat dua golongan,
pertama, yaitu
golongan yang memerintah dan kedua,
melindungi dan
golongan yang mengabdi dan dilindungi.
Mereka yang
berkewajiban untuk memerintah dan melindungi
adalah
mereka yang bijaksana dan kuat, sedang yang
mengabdi dan
dilindungi adalah mereka yang tidak mendapat
kesempatan
untuk mendapat pendidikan yang baik dan
lemah. Jadi, satu
golongan harus bekerja dan bertanggung
jawab, yang lain
hanya bekerja saja. Di Pajajaran, golongan
pendeta dan
bangsawanlah yang berkewajiban memerintah
dan
melindungi, walaupun hal itu tidak berarti
bahwa orang
kebanyakan tidak mendapat kesempatan
seandainya mereka
bijaksana dan mampu mempergunakan senjata.
"Mengenai kedua golongan ini, hendaknya
kau tidak salah
menilai. Kedua golongan ini tidak dimuliakan
atau dihinakan
karena kedudukannya atau golongannya.
Seorang bangsawan
hanya mulia kalau ia dapat memenuhi
kewajibannya sebagai
pemerintah dan pelindung. Seorang bangsawan
akan lebih
rendah martabatnya di mata Sang Hiang
Tunggal kalau ia
kurang mampu menunaikan kewajibannya
daripada seorang
kebanyakan yang pandai mengabdi. Nah,
sebagai seorang
bangsawan, janganlah kau merasa berbeda
dengan orang
kebanyakan. Tidak ada yang lebih mulia atau
lebih hina dalam
golongan-golongan masyarakat di mata Sang
Hiang Tunggal.
Bagi Sang Hiang Tunggal, yang mulia adalah
mereka yang
dapat menunaikan tugasnya bagi sesama
hidupnya. Apakah
dia seorang pendeta, bangsawan, rakyat, atau
budak, tidaklah
jadi soal. Demikian juga hendaknya
anggapanmu."
Waktu Pangeran Anggadipati berhenti berkata,
Pangeran
Muda pun segera menyambut, "Hamba akan
berusaha dan
sudah berusaha sebaik-baiknya menjalankan
segala petunjuk
itu, Ayahanda. Sedang mengenai pendapat Ayahanda
itu,
hamba telah melihat bukti-buktinya dengan
mata kepala
sendiri. Sampai sekarang hamba sangat
berutang budi kepada
seorang panakawan di Padepokan Tajimalela.
Ia adalah orang
kebanyakan, tetapi kemampuan kesatriaannya
tidak kalah oleh
para puragabaya, apalagi oleh para calon.
Tangannya yang
kuat dengan mudah dapat melumpuhkan
lawan."
"Mang Ogel?" seru Ayahanda.
"Mang Ogel, Ayahanda."
"Ayahanda sependapat denganmu, tentang
Mang Ogel.
Jadi, kau telah mengerti apa yang
kumaksudkan, anakku.
Sekarang tentang penugasanmu, tentu Geger
Malela telah
menerangkan kepadamu. Anakku, aku pun kurang
mengenal
daerah itu, tetapi sebagai orangtua ingin
kuperingatkan
kepadamu. Titipkanlah dirimu kepada mereka
yang lebih tinggi
kedudukan dan kesatriaannya daripada dirimu,
dan
bersedialah kau menjadi pelindung dan
pemberi bagi mereka
yang membutuhkanmu. Ingatlah selalu bahwa
hidup seorang
bangsawan adalah mengabdi dan kemuliaan
seorang
bangsawan tergantung pada pengabdiannya.
Seorang
bangsawan mungkin disembah-sembah oleh
masyarakat yang
ada di hadapannya, tetapi kalau ia tidak
dapat memenuhi
tuntutan pengabdiannya sebagai seorang
bangsawan,
masyarakat akan meludah di belakangnya.
Ingatlah itu, dan
camkan bahwa pengabdian selalu berarti
pengorbanan. Setiap
kali kau menderita, setiap kali kau
menghadapi kesukaran
ingadah bahwa engkau adalah seorang
bangsawan, dan
penderitaan serta kesukaran-kesukaran adalah
akibat dari
kebangsawananmu itu."
"Baiklah, Ayahanda."
"Nah, sekarang marilah kita bertemu
dengan Rangga Wesi,
mudah-mudahan ia sudah berada di
istana," ujar Pangeran
Anggadipati.
"Oh, ingin sekali hamba bertemu dengan
Kakanda Rangga
Wesi," ujar Pangeran Muda dengan
gembira.
"Kau pun mungkin dapat bertemu dengan
Putra Mahkota,
anakku, karena Rangga Wesi adalah sahabat
karibnya dan
kawan sependidikan Putra Mahkota,"
lanjut Ayahanda.
Maka mereka pun meninggalkan ruangan sayap
barat
istana kemudian berjalan melalui
lorong-lorong yang besar,
yang ruangan-ruangan di kanan-kirinya
besar-besar dan
dihiasi dengan ukiran-ukiran serta
warna-warna yang indah.
Pangeran Muda berkata dalam hati: Barangkali
demikianlah
tempat tinggal para bujangga dan pohaci di
Buana Padang!
Beberapa kali mereka bertemu dengan
bangsawanbangsawan
tinggi dan berulang-ulang Pangeran
Anggadipati
memperkenalkan putranya kepada bangsawan
itu. Mereka
umumnya ramah tamah kepada Pangeran Muda,
apalagi
mereka yang telah berkunjung ke Puri
Anggadipati dan
mengenal Pangeran Muda. Di samping itu,
Pangeran Muda
pun bertemu pula dengan beberapa orang
puragabaya yang
bergaul dan sukar dibedakan dari para
bangsawan tinggi itu
kecuali karena pakaiannya yang putih seperti
pendeta dan ikat
pinggangnya yang keemasan. Mereka ini pun
sangat ramah
kepadanya dan bahkan seorang di antara
mereka berkata,
"Anom, orang-orang tua harus segera
diganti, mereka sudah
ingin sekali hidup di tempat kelahirannya
sambil menikmati
masa tuanya. Di samping itu, sebentar lagi
Putra Mahkota
dinobatkan, tidak pantas kalau
pengawal-pengawal beliau
berambut putih."
"Mudah-mudahan kami dapat menunaikan
tugas dengan
baik hingga sang Prabu berkenan kami tinggal
di istana yang
mulia ini," ujar Pangeran Muda.
Tak lama kemudian tibalah mereka di suatu
ruangan besar
yang lain. Di sana terdapat
bangsawan-bangsawan muda yang
sedang tekun membaca berpeti-peti lontar.
Begitu mereka
memasuki ruangan, seorang pemuda yang sangat
tampan dan
kira-kira tiga tahun lebih tua dari Pangeran
Muda bangkit lalu
menjemput mereka.
"Anakku Rangga Wesi, ini adikmu,"
kata Pangeran
Anggadipati bangga memperkenalkan putranya kepada
calon
menantunya.
"Adikku!" kata bangsawan muda itu
sambil merangkul
Pangeran Muda dengan mesra.
"Kakanda!" kata Pangeran Muda
dengan rasa kasih sayang
yang tiba-tiba tergugah kepada orang yang
baru dikenal dan
ditemuinya itu. Bagaimanapun juga bangsawan
muda yang
ternyata calon iparnya itu adalah seorang
bangsawan yang
sangat halus perangainya. Dalam sekejap saja
Pangeran Muda
telah dapat menetapkan, bangsawan-bangsawan
muda
macam inilah yang kemudian hari pantas
menjadi pengusung
kerajaan di pundak mereka. Rangga Wesi
adalah seorang
pangeran yang halus, tekun, penuh rasa
pengabdian, setia.
Alangkah jauh tingkah laku dan tutur katanya
dari bangsawanbangsawan
muda seperti Raden Bagus Wiratanu atau
bangsawan-bangsawan muda berandalan yang
menghadang
rombongannya di bagian utara.
Sementara Pangeran Muda bercakap-cakap
sambil
merenungkan pengalaman-pengalaman baru dan
pengalaman-pengalaman lamanya, Ayahanda
minta diri
dahulu untuk berbincang-bincang dengan
bangsawanbangsawan
sejawatnya. Pangeran Muda pun berjalanlah ke
ruangan khusus, untuk berbicara berdua
dengan Pangeran
Rangga Wesi. Di ruangan itu berkatalah
Pangeran Rangga
Wesi, "Sayang Kakanda tidak dapat
menyertai Putra Mahkota
waktu beliau berkunjung ke Padepokan
Tajimalela, jadi baru
sekarang kita dapat bertemu. Kakanda diberi
tahu oleh
Ayahanda, bahwa kau akan ditugaskan di
Galuh."
"Ya, Kakanda. Itulah sebabnya pertemuan
kita kali ini
sangat penting. Pertama, karena untuk
pertama kali; dan
kedua, karena hamba akan pergi jauh, entah
untuk berapa
lama. Seandainya tidak ada Kakanda, hamba
akan sangat
risau meninggalkan Ayahanda, Ibunda, dan
Ayunda. Akan
tetapi, sekarang hamba dapat menitipkan
mereka kepada
Kakanda."
Ketika Pangeran Muda berbicara demikian,
nada sedih
terdengar pada kata-katanya. Pangeran Rangga
Wesi
menatapnya dan sambil memegang pundak
Pangeran Muda ia
berkata, "Saya mencintai keluargamu
seperti mencintai
keluarga sendiri, janganlah berkecil hati.
Justru kami semua
mencemaskan dikau, Adinda. Galuh berbatasan
dengan
kerajaan lain, daerah itu adalah daerah yang
tidak pernah
aman. Dan kalau pertikaian sewaktu-waktu
meletus, di
Galuhlah pertempuran pertama-tama akan
terjadi. Kamilah
yang cemas, sedang engkau tidaklah usah
cemas benar.
Percayalah kepadaku," kata Pangeran
Rangga Wesi sambil
memandang terus kepada Pangeran Muda yang
tampak
murung.
Akhirnya, Pangeran Rangga Wesi yang ternyata
sangat
halus perasaannya berkata dengan hati-hati
dan ragu-ragu,
"Adinda, adakah orang lain yang ingin
kautitipkan kepadaku
misalnya, misalnya ... seorang putri?"
Pangeran Muda tidak segera menjawab, tetapi
segala
kerisauan yang selama ini dipendamnya
sendiri seolah-olah
mendapat kesempatan untuk dicurahkan kepada
orang yang
dapat dipercayainya. Walaupun malu-malu,
kesempatan itu
terlalu baik untuk disia-siakan. Maka
berkatalah Pangeran
Muda, "Ternyata Kakanda sangat
memahami. Hamba ingin
menitipkan seorang putri yang tidak dapat
hamba titipkan
kepada orang lain oleh karena suatu hal dan
lainnya."
"Siapakah putri itu, Adinda, janganlah
ragu-ragu."
Pangeran Muda menerangkan tentang
hubungannya
dengan Putri Yuta Inten yang karena masih
terlalu pagi untuk
diketahui oleh orangtua kedua belah pihak,
menjadi sumber
kerisauannya. Oleh Pangeran Muda dijelaskan,
mereka baru
mengetahui bahwa mereka saling mencintai
sejak lima hari
yang lalu. Sebelum mereka sempat mengukuhkan
ikatanikatan
hati secara lebih erat, Pangeran Muda sudah
harus
bertugas. Itulah sebabnya selama ini
Pangeran Muda sangat
risau.
"Adinda," ujar Pangeran Rangga
Wesi, "tenteramkanlah
hatimu, segalanya akan kuurus
sebaik-baiknya. Pergilah ke
Galuh dengan hati yang teguh, kuusahakan
untuk
menyampaikan berita-berita dari Medang
kepadamu. Di
samping itu, akan kuusahakan agar Kakanda
dengan Ayunda
bertemu dengan Putri Yuta Inten."
"Terima kasih, Kakanda. Akan tetapi,
ada suatu hal yang
mungkin akan sangat menyusahkan Kakanda.
Terutama
mengenai berita-berita dari Medang, hamba
beranggapan
berita-berita itu hanya dapat disampaikan
secara beranting.
Untuk mencapai Galuh langsung dari Medang
adalah suatu hal
yang tidak mungkin karena jauhnya. Dengan
demikian, hamba
memohon kepada Kakanda agar Kakanda dapat
menerima
berita-berita dari Medang, kemudian
menyampaikannya ke
Galuh dan sebaliknya. Apakah itu tidak
terlalu menyusahkan,
Kakanda?"
0 komentar:
Posting Komentar