Gadis itu tak pernah tahu Geni sengaja
mengalah.
Geni sendiri merasa aneh, dia tak tahu
mengapa timbul
kenakalan dan kegembiraannya menggoda gadis
cantik ini.
Luka di lengan itu tak akan membuat ia mati
atau luka parah.
Begitu lengannya terluka, Geni teriak
kesakitan. Darah
menetes dari lukanya. Gayatri berhenti
menyerang.
"Bagaimana jurusku, hebat enggak, itu
namanya jurus
Memukul Buaya Mata Keranjang." Gadis
itu tertawa.
Geni memegang lengannya. Darah. "Aku
menyerah kalah,
kamu hebat Gayatri, kamu tampak gembira bisa
mengalahkan
aku tetapi tolong ampuni kesalahanku, jangan
kau cincang
aku, silahkan bunuh saja aku karena
kebetulan aku sudah
bosan hidup." Geni lalu menyentuh
lukanya, membawa jarinya
ke lidah. Mendadak dia merasa lidahnya
gatal. "Ada racun,
kamu memakai racun," Kaki Geni gemetar,
berdirinya limbung.
Geni lemas, pelan-pelan ia jatuh terlentang.
"Racun apa ini?"
"Sekarang kau kena batunya. Racun
laba-laba hitam ini
akan membuat kau mati dalam waktu dua hari.
Hanya aku
yang punya pemunahnya, aku akan menolongmu
tetapi ada
syaratnya." Gayatri tertawa dan
bertingkah seperti seorang ibu
memarahi putranyayang nakal.
Geni mengeluh. "Aku lemas, tenagaku
hilang. Apa
syaratnya, sebutkan, jika terlalu sulit ya
aku terima mati saja,
mati bagiku juga enak karena kebetulan aku
memang sudah
bosan hidup."
Gayatri berdiri di dekat Geni. Dua
pembantunya bergerak
mendekat. Gayatri membentak. Pembantu itu
mundur agak
jauh dari tempat kejadian. Geni mengerti
bahwa Gayatri tak
mau pembicaraan didengar dua pembantunya.
Gayatri meniru
gaya bicara Geni sewaktu hendak menolongnya
tadi.
"Sulit, sangat sulit."
"Apanya yang sulit, sebut saja."
Gayatri tersenyum, memandang Geni yang
terbaring di
dekat kakinya. "Pertama, kau harus
mencium kakiku, mohon
ampun atas dua dosamu itu."
"Aku pasti mau, tadi sudah mencium
mulutmu sekarang
kakimu, mencium kaki perempuan cantik macam
kau, aku
mau saja malah senang."
Gayatri heran. Apakah di tanah Jawa para
pendekar tidak
merasa malu mencium kaki lawan mohon ampun.
Gayatri tak
mau menyerah begitu saja. "Tidak
semudah itu, masih ada
syarat lain, tetapi sekarang belum terpikir,
hitung-hitung kau
berhutang padaku, kamu bersedia?"
"Aku tak mau. Bagaimana kalau nantinya
kau minta
nyawaku, aku tak mau mati konyol."
"Sekarang sebenarnya kamu sudah mati,
racun itu tak ada
obatnya. Jadi seandainya nanti aku menagih
nyawamu, kan
sama saja. Lagipula tadi kau katakan kau
sudah bosan hidup."
Geni tertawa. "Kau pintar bicara.
Baiklah, hitung-hitung kau
meminjamkan hidup padaku, begitukan, suatu
waktu nanti
kau akan mengambilnya lagi, baik aku
bersedia."
"Belum tentu aku menagih nyawamu, bisa
saja permintaan
lain, pekerjaan yang mudah kaulakukan atau
yang sulit. Nah
sekarang lakukan syarat pertama dulu,
mencium kakiku dan
mengemis mohon ampun.”
Wisang Geni membalik tubuh, bergerak seperti
hendak
jongkok. Mendadak dia melenting. Gayatri
kaget. Terlambat,
Geni sudah mencolek pipinya. Gadis itu
menampar kepala,
Geni merunduk dan mendorong pundak. Gayatri
menangkis.
Dalam sesaat keduanya sudah saling
menyerang. Sepuluh
jurus berlalu, Geni memainkan Jurus Penakluk
Raja dengan
tenaga Wiwaha yang utuh. Gayatri mengerahkan
segenap
ilmu dan tenaga dalamnya.
Memasuki jurus duapuluh, Gayatri mulai
terdesak. Geni
masih ingat ketika bertarung lawan Malini
dua tahun lalu.
Sama seperti Malini, Gayatri juga memainkan
jurus tenaga
bumi, yang intiya mengalihkan tenaga lawan
dan
memunahkannya ke bumi. Geni menggunakan
jurus
Prabhawadan Raga, menerima tenaga lawan dan
mengirim
kembali ke lawan.
Geni menambah sedikit tenaga sehingga jika
terkena telak
Gayatri tidak akan terluka parah. Gadis itu
terkejut, tenaga
pukulannya lenyap ke tempat kosong, saat
berikutnya pukulan
Geni datang bagai air bah. Gayatri tak
sempat menghindar,
hanya bisa menutup diri dengan tangan di
depan dada.
Melihat majikannya terancam dua gadis baju
hijau menyerang
Geni dengan pukulan jarak jauh.
Geni mengubah jurus, tetap memukul Gayatri
dengan
kanan, tangan kirinya dengan gerak memutar
mengisap
pukulan dua gadis berbaju hijau. Gayatri
kritis. Tetapi Geni tak
berniat melukai, saat terpaut beberapa
jengkal dari tubuh
Gayatri, Geni mengalihkan serangannya ke
pohon di samping
gadis itu. Saat bersamaan tangan kiri
mengalihkan pukulan
dua baju hijau ke pohon lain. Dua pohon yang
besarnya
sepelukan manusia itu patah dan tumbang.
Geni tak berhenti,
ia menerjang dan sekali cengkeram berhasil
menawan Gayatri
yang lemas tak berdaya. Ia memeluk gadis
cantik itu.
Keduanya saling tatap. Gadis itu merunduk.
Gayatri berkata lirih, "Kenapa kamu
tidak meneruskan
memukul? Huh, belum tentu aku akan
terluka." Gadis ini tetap
belum mau mengaku kalah. Ia tetap membiarkan
tubuhnya
dipeluk Geni.
"Ya, ilmu silatmu tinggi, aku yakin kau
tidak akan terluka,
cuma aku memang tidak suka memukul perempuan
cantik."
Gayatri mengalihkan pembicaraan. "Siapa
nama kamu?
Apakah kau orang yang bernama Wisang
Geni?"
Wisang Geni tidak terkejut. Dia sudah
menduga sejak awal,
begitu mengetahui ilmu silat Gayatri satu
aliran dengan yang
dimiliki Malini. "Dia pasti datang
mencari aku, pasti urusan
balas dendam kekalahan Lahagawe oleh Eyang
Sepuh
Suryajagad. Dulu Malini dan Kumara yang
diutus membalas
dendam, gagal karena kukalahkan. Kini
Gayatri, yang diutus
bersama dua pembantu dan mungkin beberapa
orang lain
yang tak tahu seberapa tinggi ilmu
silatnya."
"Aku orang tidak dikenal, panggil saja
aku orang tak punya
nama, eh tadi kau menanyakan Wisang Geni?
Apa sih
hebatnya orang bernama Wisang Geni itu, mau
apa kau
mencarinya, kau mengenalnya di mana?"
Gayatri meronta melepaskan diri dari
pelukan. Ia
menyentuh lengan Geni. "Lukamu masih
berdarah. Biar
kubalut," sambil gadis ini merobek
sebagian selendang yang
melilit tubuhnya. Dia membalut lengan Geni.
Dia melakukan
itu dengan lembut dan cekatan. "Aku
baru datang dari
Hirnalaya, belum punya teman, dan baru kamu
orang pertama
yang kukenal si pendekar tanpa nama. Aku
belum kenal
Wisang Geni, aku lihat kepandaianmu sangat
tinggi,
bagaimana kalau kamu dibandingkan Wisang
Geni, apa benar
dia pendekar berilmu tinggi? Apakah kau
pernah tarung
dengannya?"
"Aku tidak bisa mengalahkan dia, dan
dia juga tidak bisa
mengalahkan aku."
Gayatri terdiam Pikirannya menerawang. Dari
pertarungan
tadi, dia bisa mengukur kepandaian lelaki
itu. Dia tidak yakin
bisa mengalahkan lelaki penolongnya,
sehingga kata-kata si
lelaki tadi ibarat penjelasan tingginya ilmu
silat Wisang Geni.
"Dia tidak bisa mengalahkan Wisang Geni
dan Wisang Geni
juga tak bisa mengalahkannya, berarti mereka
berdua sama
imbang. Jika demikian masih ada peluang aku
mengalahkan
Wisang Geni, apalagi jika aku maju bertiga
dengan jurus
Hirnalaya." Berpikir demikian Gayatri
merasa lega.
Geni ingin tahu lebih banyak tentang
Gayatri. "Ada urusan
apa kau mencari Wisang Geni, apakah kalian
bermusuhan?
Kalau perlu aku akan membantumu!"
Gayatri menghela nafas. "Urusan balas
dendam. Tetapi aku
sebenarnya pergi diam-diam, pasti ayah ibuku
akan
mencariku. Aku tinggalkan pesan, aku ke
tanah Jawa mau
balas dendamnya kakek."
Geni semakin yakin Gayatri ini ada
hubungannya dengan
Malini dan Kumara. "Aku pernah tahu ada
sepasang pendekar
dari negerimu, kalau tidak salah mereka
suami isteri.
Perempuannya bernama Malini, dia cantik
tetapi tidak secantik
kamu, ilmunya tinggi, ia juga jahat dan
kejam, banyak
pendekar negeri ini mati dibunuhnya."
"Suami Malini bernama Kumara, mereka
murid adiknya
kakek. Beberapa bulan lalu Kumara pulang ke
Himalaya,
sendirian, isterinya masih di tanah Jawa.
Dia menceritakan
kekalahannya dari Wisang Geni, yang konon
murid
kesayangan pendekar tua Suryajagad. Aku
penasaran
mendengar ceritanya. Ketika dia kembali ke
Jawa, diam-diam
aku mengikutinya. Dia sekarang ini pasti
sudah berada di
negeri ini, katanya Malini sudah melahirkan
seorang putra."
"Dia pasti tahu kau mengikutinya, tak
mungkin kau
bersembunyi di perahu tanpa dia
mengenalmu"
"Tidak. Dia berangkat dengan perahu
lain, aku berangkat
belakangan. Sekarang aku menyesal tidak
bersama-sama
dengannya, aku ingin mencarinya, jika
bersama Malini dan
Kumara, pasti aku lebih aman."
"Kau ingin membunuh Wisang Geni?"
"Aku bukan pembunuh, aku tak punya niat
membunuh.
Kakek juga tiak pernah menyuruh aku membalas
dendam,
lagipula kakek sudah mati. Aku hanya ingin
menjajal
kepandaiannya, tetapi kalau dalam
pertarungan dia mati
terbunuh, ya itu kan resiko kita yang
mempelajari ilmu silat,"
Geni penasaran. "Tadi katamu, kakekmu
itu pernah
dikalahkan oleh guru Wisang Geni,
begitu?"
"Itu duapuluh lima tahun silam, mungkin
aku belum
dilahirkan. Kakek menjadi penasehat seorang
raja di tanah
Jawa, dan Ki Suryajagad berada di pihak
lawan. Kakek kalah
dalam tarung, menurut cerita, kakek mengakui
Suryajagad
seorang pendekar sejati. Itu sebab kakek tak
pernah
dendam."
"Lantas mengapa Malini dan Kumara
datang ke negeri ini,
katanya mau membalas dendam kakekmu"
"Ceritanya lain, sebenarnya yang paling
penasaran
terhadap Ki Suryajagad adalah adik
seperguruan kakek. Dia
bertekad menebus kekalahan, mungkin beliau
yang mengutus
Malini dan Kumara. Tapi aku heran, mengapa
kau bertanya
terus, sepertinya kau tertarik cerita
ini."
Geni tersenyum "Aku suka melihat gayamu
bicara, lagipula
aku ingin tahu semua tentang dirimu, hanya
itu."
Gadis itu merasa jantungnya berdebar keras.
Ia suka pujian
itu, "Mengapa?"
Geni tertawa. Dia membawa telunjuk jari ke
mulutnya.
Gayatri mengerti isyarat itu. "Kau
kurangajar, kau
berulangkali menghina aku." Saking
kesalnya gadis itu
membanting kaki. Dua pembantu berbaju hijau
itu bergerak
maju, Urmila berkata dalam bahasa India.
Tetapi sekali lagi
Gayatri membentak.
Geni ingin tahu. "Apa kata anak buahmu
itu?"
Gayatri tersenyum sinis. "Mereka mau
maju serentak,
mengeroyok kamu menggunakan jurus tiga
bersatu padu,
tetapi aku bilang, kurcaci macam kamu belum
pantas
dikeroyok"
"Mengapa kau tak mau membunuh
aku?"
"Terus terang, aku tidak yakin bisa
mengalahkan kamu
Kedua, kamu tak boleh mati sebelum membayar
hutang dua
dosamu itu."
"Bayar hutang? Bagaimana caranya?"
"Hutang pertama, kamu antar aku ketemu
Wisang Geni,
aku akan menantang tarung. Katakan kepadanya
jangan main
keroyok memanfaatkan banyaknya murid Lemah Tulis.
Hutang
dosa kedua, belum bisa kukatakan sekarang,
lain waktu saja."
"Baik, aku akan antar kamu menemui
Wisang Geni, nanti
beberapa hari lagi kita ketemu di
sini."
"Hei, tidak bisa begitu, aku mau
sekarang juga kamu antar
kami."
"Sekarang tidak bisa, aku sudah ada
janji. Janji ini lebih
dahulu dari janjiku padamu, jadi kamu harus
menunggu
giliran."
"Kamu janji dengan siapa, dengan
perempuan?"
Geni tertawa, dia heran gadis ini bisa
menebak jitu. "Iya
memang janji dengan perempuan, bagaimana
kamu bisa
menebak jitu?"
"Apa dia cantik, lebih cantik dari
aku?"
"Dia memang cantik, perempuan paling
utama di negeri ini,
tetapi kalau cantik, aku pikir kamu lebih
cantik, lagipula dia
belum pernah kucium" Geni tertawa.
Gayatri merasa jengah dan malu. "Kamu
harus datang
menemuiku, jangan ingkar janji, awas kamu
kalau ingkar
janji."
"Aku pasti akan mencari kamu Tetapi
sebaiknya kamu
jangan menunggu aku di hutan ini, lebih baik
di desa Gondang
jaraknya dua hari perjalanan dari
sini."
"Baik kita ketemu di desa Gondang,
berapa hari lagi?"
"Desa Gondang arah ke Barat, dua hari
perjalanan dari
hutan ini. Kamu istirahat tiga hari, pada
hari kelima atau
keenam, kita sudah akan jumpa lagi. Aku
pergi." Geni melesat
pergi.
Gayatri berteriak, "Hei kamu jangan
bohong."
Terdengar sahutan, "Lima hari dari
sekarang aku akan
menjumpai kamu"
Gayatri menghela nafas. Dia merasa lelaki
itu telah merebut
hatinya. Dia membayangkan tubuhnya, tegap,
kulit sawo
matang dan wajah tak begitu tampan, rambut
putih ubanan,
aroma tubuhnya yang keras. Ia jantan dengan
ilmu silat yang
tinggi. Gayatri tak pernah bayangkan ada
orang memiliki
tenaga dalam setinggi itu yang bisa mengusir
racun laba-laba
dengan pengerahan tenaga hanya dalam waktu
yang begitu
singkat "Aku sudah berjanji pada
orangtua, hanya lelaki yang
bisa mengalahkan aku saja yang akan kupilih
menjadi
suamiku, apakah dia yang menjadi
jodohku?" Gayatri
tersenyum sendiri membayangkan kenakalan
Wisang Geni.
Dan ciuman itu, begitu menggelitik dan
menggugah birahinya.
Tanpa terasa jari Gayatri meraba bibirnya,
seakan-akan bibir
Wisang Geni yang hangat itu masih menempel.
Urmila dan
Shamita saling pandang dan tersenyum geli
melihat tingkah
laku Gayatri.
Tak tahan merasa geli, Urmila berbisik,
"Putri, aku lihat dia
sudah menaklukkan hatimu, Putri sehebat apa
sih
ciumannya?"
Shamita tertawa. "Putri, kulihat kamu
diam saja dipeluk
lelaki itu, bahkan tubuhmu gemetar. Putri,
kupikir kamu sudah
jatuh cinta."
Pipi Gayatri memerah saking malu.
"Siapa bilang aku jatuh
cinta, tiru niina teringat ayah dan ibu"
Ia memburu dua
pembantunya.
"Berhenti menggoda atau aku hajar
kalian," kalanya sambil
tertawa. Ia menambahkan, "Jika lelaki
itu mempermainkan
aku, akan kubunuh dia."
Urmila menjawab, "Akuyakin dia tak
main-main,
percayalah. Aku melihat dia begitu terpesona
akan
kecantikanmu Putri."
---ooo0dw0ooo---
Menunggang Angin
Siang itu Wisang Geni tiba di desa
Karangplosos, dekat
pusat kerajaan Tumapel. Desa ini merupakan
jalan masuk
yang paling dekat menuju pusat kerajaan.
Tidak heran jika
desa ini ramai, banyak warung dan rumah
penginapan.
Penduduknya padat, jumlah para pendatang
yang umumnya
pedagang pun cukup banyak. Di antara
penduduk terdapat
para punggawa kerajaan yang menyusup dalam
penyamaran.
Perang dingin antara kerajaan Tumapel dengan
Kediri sudah
bukan rahasia, itu sebab mata-mata kerajaan
Tumapel disebar
di desa ini, untuk menangkap siapa saja
orang yang
mencurigakan. Tangkap dulu baru diperiksa.
Ketika memasuki desa, Wisang Geni mengetahui
ada orang
yang mengikuti langkahnya. Geni pura-pura
tak tahu, dia
masuk warung dan memesan makanan. Ada tiga
orang yang
mengikutinya. Satu di antaranya pergi,
dipastikan melapor ke
atasannya. Dua rekannya tetap tinggal.
Sampai saat itu Geni
belum menemukan cara yang tepat untuk
menemui permaisuri
WaningHyun. Mungkin dua mata-mata itu bisa
dimanfaatkan.
Berpikir demikian selesai makan Geni
menghampiri pemilik
warung. "Pak, saya ingin masuk ke
keraton, bagaimana
caranya, bapak bisa membantu saya?"
Pemilik warung memandang curiga, dia belum
pernah
melihat wajah Geni. Dia bergumam dalam hati,
"Pasti dia
orang asing, jangan-jangan orang Kediri, wah
bisa celaka
aku." Matanya memberi isyarat kepada
dua mata-mata
kerajaan itu, lalu berkata kepada Wisang
Geni. "Orang muda,
sampean punya keperluan penting di
keraton?"
Terlintas bayangan Trini dan Ekadasa,
pendekar ketiga dan
kesebelas dari delapan belas pengawal
keraton Tumapel. "Ah
Bapak, jangan curiga, aku mau menjenguk
kekasihku, dia
salah seorang dari pendekar pengawal keraton
Tumapel."
Dua orang mata-mata itu sudah berada di
dekat Geni.
"Tuan, jika memang mau ketemu pendekar
Tumapel, mari ikut
kami."
Geni mengikuti dua lelaki itu. Keduanya
bertubuh tegap,
langkahnya ringan. Pandangan mata dingin,
wajah serius yang
sulit diajak senyum. Tiba di perbatasan
desa, mereka
menempuh jalan setapak. Samar-samar tampak
pagar tinggi.
Di balik pagar itulah keraton dan pusat
pemerintahan kerajaan
Tumapel.
Dari arah pintu gerbang, beberapa orang
berlari ke arah
Geni. Mereka berhenti di depan Geni.
Jumlahnya tujuh orang.
Ternyata mereka kawan dari kedua mata-mata
itu. Kepala
rombongan, seorang lelaki tinggi kekar
bercambang dan
rambut gondrong maju ke depan. "Siapa
sampean, maksud
dan tujuan apa mau ketemu dengan punggawa
Tumapel?"
"Maaf, aku cuma mau ketemu pendekar
Tumapel yang
bernama Trini dan Ekadasa, bawa dua orang
itu kemari, maka
semuanya akan jelas, dan sampean tak perlu
terlalu sibuk"
"Tuturkan dulu maksud tujuan
sampean"
Geni bergumam lirih tetapi bisa didengar
semua orang.
"Kalian cerewet macam nenek-nenek tua,
maaf aku tidak
punya banyak waktu, dan waktuku sudah
terbuang percuma
di sini."
Berkata demikian Geni melangkah ke depan.
Tentu saja
sembilan orang itu marah. "Lancang
sekali, berani berlagak di
depan keraton Tumapel, kamu pasti orang
Kediri!"
Geni tetap melangkah. Tiga lelaki yang
berada di depan
langsung menyerang. Sekali bergerak Geni
langsung
menggunakan ringan tubuh yang paling hebat
dari Waringin
Sungsang. Tubuhnya bagaikan lenyap dari
pandangan mata.
Geni berkelebat ke pintu gerbang. Sembilan
orang itu
mengejar.
Di depan gerbang para pengawal menanti,
semua
menggenggam senjata di tangan. Pagar dan
pintu gerbang
sangat tinggi, tak mungkin bisa diterobos
apalagi dihadang
puluhan orang bersenjata. Geni merasa serba
sulit. Tadinya
dia berpikir, mudah menerobos keraton dan keputren.
Ternyata tidak mudah. Jika menggunakan
kekerasan pasti
akan jatuh banyak korban. Tetapi tampaknya
tidak ada jalan
lain. Geni mempersiapkan tenaga Wiwaha dan
berkata
lantang, "Mana pemimpin kalian?"
Seorang berkumis lebat maju. "Siapa
kamu, nyalimu besar
berani meluruk keraton Tumapel. Kamu punya
nyawa rangkap
berapa? Hayo ladeni aku, Nanggolo."
Lelaki itu menyerang
dengan keris terhunus. Ada hawa panas
menyembur dari
tusukan kerisnya. Jurus yang digunakan juga
ganas, menebar
hawa kematian. Tetapi ilmu silat Geni sudah
mencapai tingkat
tinggi Serangan itu tak ada artinya. Geni
membiarkan keris
menusuk dadanya. Nanggolo ragu-ragu, ia
heran mengapa
Geni tidak mengelak.
Geni memang tidak mengelak. Begitu ujung
keris terpaut
satu jengkal dari dadanya, Geni menggerakkan
tubuh, tenaga
Wiwaha menyedot tenaga lawan. Nanggolo
terkejut merasa
menusuk ruang hampa, ia hendak menarik
serangan,
terlambat. Tangannya tergetar hebat, rasa
dingin menerobos
lewat tangannya merasuk dadanya. Geni
menggerakkan
tangan, merebut keris dan mendorong.
Nanggolo terhuyung
mundur empat langkah. Dia hanya limbung.
Geni memang
tidak berniat melukai punggawa itu.
Pada saat itu bayangan gesit menerobos
menyerang Geni.
"Siapa kamu berani jual lagak di
Tumapel." Lelaki itu
menyerang dengan pukulan beruntun. Geni
santai menangkis
serangan lawan dengan tamparan. Terjadi
bentrokan tangan.
Tiga kali bentrok, lelaki itu mundur. Dia
kesakitan, kedua
tangannya merah bengkak.
Lelaki itu kecil kurus dengan rambut
gondrong. Dia
menatap Geni dengan marah. Dia hendak
mencabut keris
ketika muncul dua punggawa mencegahnya.
"Hentikan,
dimas."
Dua lelaki yang baru datang, menatap Geni
dengan
pandangan menyelidik. "Siapa Tuan ?
Apakah sampean sadar
bahwa telah berbuat makar, memberontak
terhadap kerajaan
Tumapel?"
"Wah sampean semua sudah melampaui
batas. Aku ini
datang ke Tumapel ingin ketemu Trini dan
Ekadasa, bukannya
dipermudah oleh anak buahmu, malah aku
dikeroyok Setelah
aku dikeroyok, kini kamu menuduh aku makar,
memberontak.
Rupanya kalian memaksa aku untuk berlaku
kasar. Tadi aku
tidak mau melukai orang, tetapi jangan
menyesal jika
sekarang ada yang terluka atau mari"
"Sampean terlalu menganggap rendah
Tumapel, aku ingin
lihat sampai di mana kepandaian sampean
sehingga begitu
sombong." Dia menghunus pedang di
tangan kanan, tangan
kiri memegang sarungnya. Tanpa basa basi,
dia menyerang.
Sekali gebrak pedangnya menusuk tujuh titik,
sarung pedang
ikut menghantam kepala.
Geni kesal namun masih mengendalikan diri
untuk tidak
membunuh. Tetapi untuk mempersingkat tarung,
ia
memainkan juruss Prabhawa dari Penakluk
Raja. Hanya satu
gebrakan saja ia sudah nerampas pedang dan
sarung lawan.
Semua orang terkejut. Lelaki itu, Patwelas,
seorang dari
delapanbelas punggawa Tumapel, terkesima.
Dia tak mengerti
cara yang digunakan Geni merebut pedangnya.
"Ilmu sihir,"
gumamnya.
Geni tertawa. "Ya, ini memang ilmu
sihir, awas, aku sihir
pedang ini menjadi elang raksasa."
Sambil Geni melempar
pedang dan sarung ke atas. Semua orang
terpancing
memandang ke atas. Pada saat itu Geni
melesat dengan
Waringin Sungsang, tangannya bergerak cepat,
menyentil
pelipis para serdadu dan punggawa. Geni
tidak menggunakan
tenaga besar, cukup membuat mereka pingsan.
Pedang dan sarung jatuh ke tanah. Tidak
terjadi apa-apa.
Sesaat kemudian orang-orang itu sadar
sebagian kawan
mereka tergeletak. Mereka geger, memeriksa
rekannya.
Ternyata hanya pingsan.
Punggawa yang tadi datang bersama Patwelas,
adalah
Panca, pendekar nomor lima dari delapanbelas
punggawa
Tumapel. Dia menggamit rekannya Patwelas.
Keduanya tahu
persis bahwa ilmu silat Wisang Geni sangat
tinggi, tak
mungkin bisa dilawan. Keduanya bingung, tak
tahu harus
berbuat apa.
Geni mengirim suara keras sampai menggema ke
dalam
keraton, "Hei bawa keluar Trini dan
Ekadasa, sebelum lebih
banyak orang yang terluka." Belum juga
gema suaranya
hilang, lima bayangan berkelebat masuk
arena. Seorang di
antaranya, Ekadasa, punggawa Tumapel nomor
sebelas.
Geni mengenal gadis cantik itu. "Nah
ini dia, Ekadasa,
kekasihku. Hei kenapa kamu tidak cepat
datang."
Wajah Ekadasa merah saking malu. "Aku
bukan kekasihmu,
eh, kenapa kau berbuat onar dan melukai
banyak orang."
"Kalau kamu cepat keluar mungkin urusan
tidak sampai
rumit begini. Tetapi tak usah khawatir, tak
ada yang terluka,
tak ada yang mati," sambil menunjuk
punggawa yang
tergeletak di tanah. "Mereka ini hanya
pingsan untuk beberapa
saat saja, tidak lama lagi mereka akan
sadar. Hayo sekarang
antar aku ke dalam."
Ketika Geni hendak bergerak maju, empat
punggawa
melapis di depan Ekadasa, menghadang gerak maju
Geni.
Ekadasa berbisik kepada salah seorang
rekannya. "Dia adalah
Wisang Geni, paduka permaisuri dan paduka
raja sengaja
mengundangnya. Dan ini rahasia, tak boleh
diketahui banyak
orang."
Ekadasa memberi hormat "Silahkan masuk,
tetapi
perkataanmu tadi bahwa aku ini kekasihmu,
tolong kamu
ralat, soalnya itu menyangkut kehormatan
diriku."
"Baik, aku minta maaf," katanya
sambil tertawa. Kepada
orang-orang di sekitar, Geni berkata,
"Nona Ekadasa ini tak
ada hubungannya dengan aku. Tadi aku cuma
main-main, ia
bukan kekasihku." Sambil mendekati
Ekadasa, Geni
bergumam, pelan dan hanya bisa didengar
gadis itu sendiri.
"Apa perlu aku remas bokongmu
lagi?"
Secara naluriah, tangan Ekadasa bergerak
melindungi
bokongnya. Geni melangkah terus, tak peduli.
"Kau kurang
ajar," gerutu si gadis. Tetapi dalam
benaknya, Ekadasa
bertanya-tanya, apakah Geni punya perhatian
khusus
kepadanya atau hanya iseng.
Wisang Geni dikawal Ekadasa, Panca, Patwelas
dan
Nanggolo memasuki balairung. Beberapa orang
tampak
sedang menanti. Antaranya beberapa dari
delapan belas
pengawal kerajaan. Seorang lelaki separuh
baya tampil ke
depan. "Ki Wisang Geni, ketua Lemah
Tulis, selamat datang di
Tumapel. Sudah lama kita tidak bertemu, aku
prihatin dan
belasungkawa atas kematian isterimu."
Geni membalas hormat. "Terimakasih atas
perhatianmu, Ki
Pamegat Aku datang karena dipanggil
permaisuri, eh iya aku
harus memanggil apa kepada permaisuri?"
Belum sempat Pamegat menjawab, datang
seorang utusan
dari keputren. Gadis pelayan itu memberi
hormat kepada
Pamegat. "Mohon maaf paduka tuan, hamba
diutus yang
dipertuan gusti permaisuri, menjemput tamu
yang bernama Ki
Wisang Geni bersama paduka tuan Ki
Pamegat"
Pamegat dan Wisang Geni berjalan di belakang
gadis
pelayan itu menuju keputren. Begitu masuk ke
keputren, Geni
mencium wewangian yang harum Ruangan besar
dipenuhi
warna warni tirai dan selendang. Beberapa
dayang yang terdiri
dari gadis-gadis remaja, cantik dan bersih,
menyiapkan
makanan di meja besar. Gadis-gadis tampak
sibuk, meski
sekali-sekali berhenti memberi hormat kepada
Geni dan
Pamegat.
Dua gadis pelayan mempersilahkan dua tetamu
itu duduk
di kursi besar. "Silahkan duduk paduka
tuan, tak lama lagi
gusti permaisuri dan baginda raja akan masuk
ruangan."
Tak lama kemudian, para dayang memberi
hormat sambil
jongkok sembah sungkem Sepasang pria dan
wanita muncul
dari ruangan dalam Pamegat dan Geni berdiri.
Geni
mengenali, Waning Hyun dan Ranggawuni.
Pamegat jongkok sembah sungkem. Geni serba
salah.
Selama ini ia belum pernah berjongkok sembah
sungkem
kepada seseorang. Secara naluri ia
membungkuk memberi
hormat dengan merangkap diia tangannya Geni
merasa sudah
melakukan sesuatu yang benar. Dia tidak
berjongkok sungkem
tapi telah memberi penghormatan yang layak
kepada raja dan
permaisuri.
Waning Hyun tersenyum. Perempuan ini cantik
luar biasa,
aura kecantikan dan wibawa menyatu dalam
tubuh mungil
yang dibungkus busana kerajaan warna warni.
Di sampingnya
Ranggawuni, kini Raja Tumapel bergelar
Wisnuwardhana.
Suara Ranggawuni terdengar wibawa meskipun
Raja ini
berusaha ramah semampunya. "Kangmas
Wisang Geni, tak
perlu basa basi, duduklah. Kamu datang saja
sudah
merupakan tanda kamu tidak melupakan
persahabatan kita
yang tak pernah hilang. Paman Pamegat,
duduklah, ada yang
perlu kita bicarakan."
Geni tetap saja merasa rikuh. "Aku
tidak biasa basa-basi
apalagi pakai tata krama keraton,"
gumamnya pelan.
Permaisuri tersenyum "Kangmas Geni,
kami mengerti kamu
tidak terbiasa dengan tata-krama keraton,
maka silahkan kita
bercakap dalam bahasa pendekar seperti
pergaulan kita di
masa lalu."
Ranggawuni menyela, "Kangmas Geni, aku
dan Hyun
berdukacita mendengar tragedi kematian
mbakyu Wulan."
Meski terdengar wibawanya, namun suara itu
mengandung
duka.
Geni menghela nafas, teringat akan
isterinya. Selama ini dia
telah berusaha mengatasi rasa duka dan
kehilangannya,
namun kerapkali rasa duka datang seperti
tusukan pedang ke
jantungnya. "Aku akan membalas hutang
nyawa ini, Lembu
Agra si pengkhianat dan Lembu Ampai si
punggawa Kediri,
aku akan memburu mereka sampai ke neraka
pun." Suara
Geni terdengar parau. Orang yang
mendengarnya merasa
seram.
Suasana hening. Geni memecah kesunyian
"Hamba
sungguh merasa rikuh, hamba tidak terbiasa
tinggal di istana,
bahkan memanggil paduka tuan berdua pun
hamba tidak
tahu. Paduka Raja dan Permaisuri, maafkan
hamba yang tak
punya tatakrama ini."
"Kangmas, jangan berkata begitu. Dulu
kau panggil aku
Hyun, sekarang ini boleh saja kau panggil
aku dengan
panggilan itu. Aku bersama kakang prabu
sangat senang kau
bersedia datang ke sini, ternyata kau masih
ingat janjimu
dulu."
"Memang benar, hamba datang karena
janji, hamba tak
boleh ingkar janji, mohon maaf, apa gerangan
yang raja dan
permaisuri inginkan dari hamba."
Waning Hyun menghela nafas. "Kangmas,
sekarang ini aku
sebagai adik perguruanmu minta tolong
kepadamu sebagai
kakak perguruanku, aku bukan menagih janji,
tetapi lebih
tepat adalah aku minta tolong padamu"
"Katakan permaisuri, jika aku sanggup
pasti akan kubantu."
"Ini urusan keraton Kediri yang berniat
menyerang
Tumapel. Sekarang ini menurut mata-mata yang
bisa
dipercaya, Kediri sudah menghimpun
orang-orang hebat dari
dunia persilatan. Mereka pasti menyerang
Tumapel tetapi
menurut kabar mereka akan menghabisi
Mahameru dan
Lemah Tulis terlebih dahulu."
Wisang Geni mengerut kening "Aku tak
pernah tahu bahwa
Keraton Kediri memusuhi Lemah Tulis dan
Mahameru"
Pamegat yang dari tadi berdiam diri, bicara.
"Bisa ditebak,
Lembu Agra tak hanya dendam terhadap Lemah
Tulis, juga
berkeinginan partainya, Turangga menguasai
dunia ilmu silat.
Itu bisa dicapai jika Mahameru dan Lemah
Tulis hancur. Maka
ia dibantu Lembu Ampai yang punya kekuasaan,
menghimpun
tokoh silat yang mendendam Mahameru dan
Lemah Tulis."
Geni tersenyum pahit. "Oh jadi Lembu
Agra sudah
bergabung ke pihak Kediri. Baru sekarang aku
tahu di mana
dia sembunyi."
Pamegat menyebut nama tokoh persilatan yang
bergabung
dengan Keraton Kediri, Kalandara dan tiga
muridnya, Si Gila
dari Ujung Kulon bersama dua saudaranya
Parma dan
Sakerah, Pendekar Belut Putih, Nenek Kembar
dari Segoro
Kidul Prameswari dan Kameswari, Pendekar
Bayangan Hantu,
Lembu Ampai, Lembu Agra bahkan penasehat
Raja Tohjaya
yang jarang tampil, Pranaraja yang sakti
ikut membantu.
Kabar terakhir, penyerangan ke Lemah Tulis
dan Mahameru
akan dilancarkan dalam waktu satu purnama ke
depan. Hanya
belum jelas, perguruan mana yang akan
diserang duluan.
Geni terkejut. Tak disangka marabahaya sudah
di depan
hidung sementara Lemah Tulis belum
mengetahuinya. Tetapi
ia tak begitu khawatir, sistem pertahanan
Lemah Tulis sudah
ditata rapi. Ia ingat ketika Trini dan
Ekadasa berkunjung ke
Lemah Tulis yang menimbulkan keributan,
hampir semua
murid sudah berada pada posisi yang sudah
direncanakan.
Geni yakin adanya Padeksa dan Gajah Watu
serta murid
lapis atas yang sudah terlatih, Lemah Tulis
tidak mudah
diporakporanda. Namun banyak kejadian di
luar perkiraan.
Maka tak boleh lengah. Pengalaman
mengajarkan, duapuluh
lima tahun lalu Lemah Tulis dihancurkan
gerombolan yang
meminjam kekuasaan Ken Arok
Geni teringat percakapannya dengan Gajah
Watu dan
Padeksa.
Persengketaan antara Kediri dan Tumapel,
perselisihan
antar keluarga sendiri, tidak jelas siapa
salah siapa benar.
Yang jelas, keduanya memperebutkan
kekuasaan. Itu sebab
Geni sepakat tidak mau ikut campur apalagi
menyeret Lemah
Tulis masuk dalam kancah pertarungan
kekuasaan itu. Geni
hanya akan menghadapi tokoh silat di kubu
Kediri lantaran
mereka berniat menghancurkan Lemah Tulis.
Waning Hyun gembira ketika Wisang Geni
berjanji
membantu keraton Tumapel. Hanya saja Geni
menyatakan
tidak mau terlibat dalam perang, jika memang
terjadi perang
antara dua kerajaan itu. "Hamba akan
menghadapi orangorang
Kediri terutama tokoh silat yang memusuhi
Lemah Tulis.
Khususnya dua orang itu, Lembu Agra dan
Lembu Ampai akan
mendapat bagiannya."
Ranggawuni, Waning Hyun dan Pamegat gembira
mendengar janji Geni namun ada keraguan.
Mungkinkah Geni
sanggup menghadapi banyak musuh yang
memiliki
kepandaian silat mumpuni. Pamegat lantas
menawarkan
bantuan tenaga.
Tetapi sebelum Geni menjawab, seorang lelaki
muda
memasuki ruangan. Tanpa memberi hormat
layaknya seorang
hamba atau bawahan, pertanda ia memiliki
kedudukan tinggi.
Dia Mahisa Campaka, saudara seayah Waning
Hyun dan ipar
sang raja.
Ranggawuni berdiri dan merangkul iparnya.
"Dimas, kamu
baru datang dari perjalanan jauh, kakang
Wisang Geni sudah
berjanji akan menghadapi para pendekar yang
membela
keraton Kediri."
Mahisa Campaka tertawa, menyalami Geni.
"Sudah lama
kita tidak berjumpa kangmas Geni. Aku lihat
kepandaianmu
makin dahsyat. Beberapa hari lalu aku
menyaksikan
pertarunganmu di desa Bangsal, kau tidak
cuma mengalahkan
Kalandara dan tiga muridnya tetapi juga
telah
mempermalukan mereka."
Usai makan malam permaisuri memerintah
seorang
punggawa mengantar Geni ke kamar tamu. Di
tengah jalan
menuju kamar tamu yang letaknya di kebun
bunga, Geni
melihat Ekadasa mendatanginya.
Pendekar ini sudah ganti busana, tidak lagi
mengenakan
seragam pengawal, melainkan pakaian biasa.
Ia tampak
cantik. Ekadasa memerintah punggawa itu
pergi. "Biar aku
yang mengantar pendekar tamu ini melihat-lihat
pemandangan kebun," katanya sambil
melirik Geni.
Geni tersenyum "Kamu tidak takut ketemu
dengan aku,
Ekadasa? Tidak takut kuremas bokongmu
lagi" Geni tertawa
kecil.
Gadis itu menantang mata Geni. "Kalau
memang kamu
gemas dengan bokongku, jangan di depan umum,
aku malu,
Geni."
Dari gelagat dan tingkah laku gadis itu yang
agak genit,
Geni tahu bahwa Ekadasa membuka peluang yang
mengarah
ke hubungan intim "Kamu tampak cantik.
Sebenarnya aku
masih mau ngobrol denganmu tetapi aku sudah
ngantuk. Eh,
katamu, kamu mau antar aku ke kamarku. Di
mana?"
Kamar tamu itu letaknya di pojokan kebun
bunga. Tidak
ada obor, tetapi cahaya bulan purnama
sedikit menerangi
kebun. Sampai di depan pintu, Geni masuk
sambil menarik
tangan Ekadasa yang terlempar ke pelukannya.
Di belakang
pintu Geni memeluk perempuan cantik itu.
Tangan Geni
meremas bokong, satu lainnya menyusup dalam
kebaya,
meraba buah dada yang montok kenyal. Geni
mencium
dengan liar. Ekadasa terengah-engah.
Ia bicara dengan nafas memburu, "Geni,
kamu menyukai
aku? Jangan di sini, tidak boleh. Tengah
malam nanti kamu
kutunggu di kamarku, kamarku di seberang
sana, di depannya
ada pohon mangga, satu-satunya pohon mangga
di keputren
ini." Geni masih memeluk, menciumi
leher dan mulurnya.
Ekadasa susah payah melepaskan diri, kabur
ke kamarnya
dengan hati berbunga-bunga.
Tengah malam itu Geni nyelinap ke kamar
Ekadasa.
Perempuan itu sudah menantinya dengan hanya
sepotong
kain melilit tubuhnya. Ekadasa memburu dan
melompat ke
dalam pelukan Geni. "Kamu datang juga,
kekasihku. Jika kamu
memang gemas dan menyukai aku, mengapa tak
mengejar
aku ketika di Lemah Tulis waktu itu."
Semalaman sampai pagi, sepasang anak manusia
itu
bercinta. Geni menikmati tubuh molek Ekadasa
sepuasnya.
Namun ia merasa aneh, wajah Gayatri membayang
terus. Ia
melihat wajah Gayatri yang marah, cemberut
dan tertawa.
Semalaman ia meniduri Ekadasa namun waj ah
Gayatri
membayang terus. Keduanya lelap, berpelukan
dalam keadaan
bugil, sampai fajar menyingsing.
Esok pagi hari saat Geni hendak berangkat,
gadis itu
memeluknya. Ekadasa masih setengah bugil.
"Geni kamu mau
pergi? Aku masih belum puas. Lagipula kau
bisa istirahat di
kamar ini beberapa hari, tak ada orang yang
tahu. Aku akan
melayani kamu sepuasnya."
Lagi, Geni terangsang melihat tubuh molek
wanita itu.
Montok dan segar meski agak gemuk Geni
menggumuli
Ekadasa. Keduanya bercinta lagi. Seharian
itu Ekadasa
melayani Geni, makan, minum dan bercinta.
Perempuan itu
mengerahkan seluruh pesona dirinya untuk
memikat cinta
Geni. Ia menggumam betapa lelaki itu kuat
dan liar. "Aku tak
mau kehilangan kamu, Geni, apa pun yang
terjadi," desisnya
di antara deru nafsu birahinya.
Esok paginya Geni melakukan perjalanan cepat
menuju
desa Gondang, memenuhi janji bertemu
Gayatri. Dua malam
kemarin ia puas menikmati tubuh Ekadasa.
Tetapi sekarang,
mengingat akan segera bertemu Gayatri, ia
merasa
bersemangat dan gairahnya bangkit.
Di tengah jalan ketika memasuki hutan di
batas desa
Prigen, Geni merasa ada sesuatu yang aneh di
sekitarnya, ada
seseorang membuntutinya. Namun setiap dia
menoleh ke
belakang, tak ada siapa pun. Dia memasang
telinga, tak ada
suara. Tak ada siapa pun, tetapi ia merasa
ada orang di
dekatnya. Tanpa sadar bulu kuduknya berdiri.
Saat itu
matahari masih di atas kepala, cukup
menerangi kepadatan
hutan. Namun hutan itu senyap. Tiba-tiba ia
merasa desir
angin, seseorang menyerang dari belakang.
Geni menoleh ke belakang. Terlambat,
serangan itu datang
sangat cepat. Dia berkelit, menangkis.
Sia-sia, tamparan lawan
menerpa kepalanya. Anehnya tamparan itu bagai
usapan,
lembut, lunak dan tak bertenaga. Geni
melihat bayangan itu
bergerak sangat pesat. Dia mengejar,
sia-sia. Geni
mengerahkan Waringin Sungsang tingkat paling
tinggi, tetap
saja sia-sia. Orang itu tak terkejar, dari
jauh hanya tampak
bayangan seseorang berjubah putih. Geni
berteriak, "Hei siapa
kamu, berhenti, hadapi aku secara
jantan."
Dia tak pernah membayangkan ada kejadian
seperti itu.
Ilmu silatnya sudah tergolong kelas utama di
tanah Jawa,
mustahil ada orang bisa mempermainkan
dirinya. Tetapi
nyatanya, kepalanya sempat dielus lawan.
Bagaimana
seandainya orang itu bermaksud jahat,
kepalanya bisa pecah.
Dia tetap mengejar, tetapi orang itu tak
bisa dikejar, jelas ilmu
ringan tubuh lawan sangat luar biasa. Orang
itu sengaja mainTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
main. Sesekali bayangan itu bergerak pesat
dan hilang dari
pandangan mata. Saat berikutnya dia muncul
lagi di kejauhan.
Dia membelakangi Geni, wajahnya tak
terlihat. Geni berteriak,
"Tuan pendekar, aku mohon
petunjuk."
Bayangan itu, dalam keadaan berlari, tanpa
menghentikan
langkah, memutar tubuh, lalu berbalik arah
berlari kencang
menuju Geni. Gerakan itu mustahil bisa
dilakukan di tengah
udara. Jelas orang itu memiliki kepandaian
silat yang tidak
terukur tingginya. Kini lawan itu menuju ke
arahnya,
menyerang! Wisang Geni terkesiap. Ia segera
pasang kudakuda,
mengerahkan segenap tenaga Wiwaha.
Bayangan itu berlari mendatangi Geni,
gerakannya
membawa serta angin kencang. Semakin
mendekat, semakin
besar angin yang dibawanya. Debu, daun-daun
kering bahkan
ranting patah pun ikut terbawa. Geni tak
bisa melihat
lawannya karena tertutup kepulan debu Tetapi
dia tahu persis
di balik kepulan debu bercampur daun dan
ranting, orang itu
melancarkan serangan dahsyat.
Geni mengerahkan tenaga Wiwaha siap dengan
jurus
Prasidha paling handal dengan sikap jiwa
Hayu (Selamat).
Angin keras itu menghantam Geni, bermuatan
debu, daundaun
dan ranting kering. Geni menghantam sekeras
mungkin,
adu tenaga. Tetapi tak ada reaksi, pukulan
Geni bablas ke
ruang kosong.
Ketika angin reda dan debu lenyap. Tak ada
siapa pun di
depan Geni. Ke mana orang itu? Geni menoleh
ke belakang. Ia
terperanjat. Orang itu ada di depannya,
hanya terpaut satu
langkah. "Dia tak bermaksud buruk, jika
mau dia bisa saja
menghantam aku. Tak mungkin aku bisa
selamat,"
Berpikir demikian, Geni tidak bereaksi,
diam. Orang itu,
kakek berjubah putih, rambut, jenggot dan
kumisnya putih
seperti kapas. Matanya bening, lembut dan
damai. Mendadak
Geni ingat seseorang. Tidak mungkin keliru
"Eyang Sepuh!"
Geni menjatuhkan diri, duduk di tanah,
sungkem
Kakek itu ikut duduk. Keduanya duduk
berhadap-hadapan.
"Kamu sudah lama kepingin ketemu
Eyangmu ini?" Lalu kakek
itu tertawa geli. Geni teringat mimik dan
gaya tertawa
kekasihnya Sekar, jika tertawa menggoda.
Geni manggut. "Aku sudah lama kangen
dan rindu bertemu
Eyang, hari ini Eyang sudah mau
memperlihatkan diri, cucumu
sangat berbahagia, mati pun cucumu ini
rela."
"Wisang Geni, putra Gajah Kuning, cucu
murid Bergawa,
murid Padeksa, kamu bocah nakal. Buat apa kamu
mati, kalau
kamu mati banyak perempuan yang
nangis," katanya sambil
tersenyum Kakek itu melanjutkan.
"Prawesti cucu Gubar
Baleman itu dan gadis dari Hirnalaya itu,
juga si cantik Sekar,
semua perempuan itu akan menangis. Kamu
memang bocah
nakal! Aku muncul di depanmu ini tidak untuk
menghukum
kamu, apalagi hanya soal-soal sepele
itu."
Geni terkesiap. Ia heran Eyang Sepuh bisa
mengetahui
semua kisahnya. "Ampun Eyang, aku
memang bersalah,
ampuni aku."
"Lho, salah apa. Eyangmu ini waktu
masih muda dulu lebih
nakal, jumlah istri dan selirku tidak bisa
kuhitung, sangat
banyak," katanya dengan mimik jenaka,
menggoda.
Ada keramahan dan keakraban dalam suara
Eyang
Suryajagad membuat Geni berani menatap mata
orangtua itu.
Dia melihat sepasang mau keripui yang hampir
leriuiup alis
putihnya yang panjang dan lembut bagai
kapas. Tetapi mata
itu seperti matahari senja, bercahaya terang
tetapi tidak panas
melainkan sejuk. Kakek itu tersenyum
"Tetapi semua
perempuan itu tak boleh menjadi penghalang
bagimu dalam
pencapaian ilmu silat. Maka kamu harus bisa
menguasai Raga
(Birahi), mengatur Kamuka (Cinta) dan
menahan Matirta
(Hawa nafsu). Harus bisa, karena jalan utama
menuju
tahapan tertinggi adalah pengaturan Nenggah
(Menahan
nafas). Cucuku, kamu masih menyinta istrimu,
Wulan yang
mati itu?"
Geni diam, ragu-ragu. Ia tak tahu ke mana
tujuan
pertanyaan Eyang Sepuh. Namun ia menjawab
jujur. "Tadinya
sangat menyintai, sekarang semakin lama
semakin aku mulai
bisa melupakan."
"Bagus, cucuku. Semua itu, cinta,
dendam adalah bagian
dari hidup. Berlatih silat juga bagian dari
hidup. Semua itu bisa
mempermudah hidup tetapi bisa juga
mempersulit hidup kita.
Hidup ini perbudakan. Kita menjadi budak,
diperbudak
berbagai macam keinginan. Kamu lihat awan,
dia bergerak
mengikuti angin. Lihat angin yang begitu
merdeka, bergerak
semaunya. Dan hebatnya lagi dia
berganti-ganti arah sesuka
dia. Di dunia tak ada suatu kekuatan pun
yang bisa
menghentikan pergerakan angin. Coba pikirkan
seandainya
kamu bisa menaklukkan angin, atau paling
tidak meniru persis
sifat dan kelakuan si angin itu, pasti hebat
ya?"
Geni merenung, pikiran menerawang mengikuti
ajaran
Eyang. "Cucuku, jadilah seperti angin
Bajra, dia bisa semilir
Sirir membuat orang ngantuk dan nyaman,
tetapi pada saat
yang sama dia bisa hamuk macam Lesyus,
Nilapraconda dan
Bajrapati menghancurkan apa saja yang
dilewati Jadilah
seperti angin yang merdeka, maka kamu bisa
bergerak
mengikuti angin, bahkan bisa lebih cepat dan
lebih ringan dari
angin. Sekarang ikuti Eyangmu. Kosongkan
pikiranmu,
rasakan angin di sekelilingmu. Angin itu
ada, kamu juga ada."
Geni memandang Eyang Sepuh. Kakek itu duduk
bersila,
perlahan sedikit demi sedikit tubuhnya
terangkat dari tanah.
Dia berdiri. Gerakan dari duduk ke berdiri
dilakukan tanpa
kakinya menginjak tanah. Dia bersilat, juga
tanpa berpijak di
bumi Geni mencoba tapi gagaL Eyang Sepuh
membimbing
tangan Geni.
"Jangan rasakan bumi, lupakan bumi,
tengadah
memandang langit, rasakan angin, bebaskan
diri macam
awan. Rasakan angin di bawah kakimu.
Pusatkan pikiran,
tenaga dan hasratmu"
Ketika kakek itu melepas tangannya, Geni tak
lagi berpikir
sesuatu pun, pikiran bebas, kaki tak
berpijak di bumi Geni
melayang, tetapi begitu dia merasa gembira
karena berhasil,
saat itu juga kakinya menginjak tanah. Eyang
Suryajagad
melatihnya berulang kali. "Pikiran
harus kuat, sinambungan
tidak boleh putus."
Malam hari kakek itu tidur dalam semedi,
sementara Geni
berlatih tanpa henti. Semalaman Geni
berlatih menguasai
angin.
Esok paginya Geni sudah mampu duduk, sila
dan berjalan
tanpa kakinya memijak tanah. Tahapan
berikut, bersilat dan
bertarung tanpa kaki memijak bumi.
"Cucuku, lupakan semua
jurusmu, lupakan Garudamukha, lupakan
Prasidha, lupakan
Wiwaha, lupakan semua, karena semuanya itu
sudah ada
dalam tubuhmu, sudah ada dalam gerakmu. Kau
hanya perlu
bergerak terus seperti angin, merunduk,
berdiri, menyamping,
memukul, menangkis, menghentak, ikuti apa
saja yang
diperintah pikiranmu, pusatkan pikiranmu
terus, jangan putus,
inilah inti dari dari merdeka, bebas dan
tidak terikat.
Nikmatilah kebebasan, maka kamu akan
menguasai angin."
Pagi berganti malam. Semalaman Geni
berlatih. Esok
paginya, ia berlatih tarung lawan si kakek.
Kaki mereka tak
memijak bumi. "Lupakan semua jurus,
tidak ada lagi jurus.
Kamu menyerang jika ingin menyerang. Dan
seranganmu
tergantung pikiran, keinginan dan
pandanganmu saat melihat
gerak lawan. Jika dia mengelak ke kiri, ke
situ kamu
menyerang. Jika ia menyerang, kamu mengelak
atau
menangkis sesuai yang kamu pikir. Semua
sudah ada dalam
dirimu, kamu hanya perlu bersikap seperti
angin, bergerak ke
mana saja. Bagaikan awan yang bergerak
ketika ditabrak
angin. Seperti halilintar menyambar apa saja
tanpa hambatan.
Bergerak bebas tanpa dibuat-buat. Bebas,
merdeka. Bumi pun
tak lagi mengikat, kaki tak perlu memijak bumi.
Bebas, tak
ada lagi perbudakan."
Siang itu Eyang Sepuh duduk bersila, Geni
duduk di
hadapannya. "Pelajaran sudah usai. Kau
hanya perlu melatih
pikiranmu saja. Pikiran harus cepat, sangat
cepat, karena
hanya pikiran saja yang lusa mendahului
kecepatan angin.
Semua sudah ada dalam dirimu, jurus, lenaga
dalam, semua
ada padamu Tugasku sudah rampung, semuanya
sudah
kuajarkan padamu, kamu akan menjadi pendekar
yang tak
ada tandingannya, tetapi jangan sombong,
jangan takabur,
jangan pernah memandang rendah apa pun meski
sekecil apa
pun. Kamu harus ingat, seringkali yang
kecil-kecil itu bisa
menjadi raksasa dan yang akan menghancurkan
kita. Cucuku,
Wisang Geni, setelah hari ini kamu tak
perrnah lagi bertemu
dengan aku, ajalku sudah dekat, tidak lama
lagi aku akan
moksa. Sudah saatnya, karena tugasku sudah
selesai."
Eyang Sepuh melanjutkan wejangan,
"Selama ini aku hanya
menanti munculnya seorang murid Lemah Tulis
yang
mumpuni dan bisa dipercaya. Sekarang aku
sudah wariskan
semua ilmuku padamu" Dia menghirup udara
"Sekarang
tanggungjawab ada di pundakmu, Lemah Tulis
harus tetap
jaya, agar bisa sinambungan mengajar amal
kebajikan dan
menolong manusia. Jadilah angin, cucuku,
memberi kesejukan
dan kenyamanan pada umat manusia, jadilah
angin topan,
guruh dan halilintar jika diperlukan untuk
membasmi angkara
murka."
Geni memeluk kaki Eyang Sepuh, mencium
lututnya,
mencium dua tangannya. "Empat hari
bersama Eyang serasa
bertahun-tahun hidup di swargaloka, aku
bahagia, Eyang apa
nama ilmu ini?"
"Cucuku, para pendiri Lemah Tulis hanya
mewariskan jurus
Garudamukha dan Garudamukha Prasidha. Tak
ada yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar