Prawesti dan Sekar diam-diam melangkah
keluar rumah.
Mereka tidak cemburu. Sudah ada kesepakatan
tak boleh ada
cemburu malahan kadang-kadang memberi
kesempatan
temannya berduaan dengan Geni.
Sedang Prawesti pernah berjanji bahwa ia
akan memberi
lebih banyak waktu kepada Sekar dan Gayatri
bercinta dengan
Geni. Melihat dua perempuan itu keluar
rumah, Geni memeluk
gemas Gayatri. Saat berikutnya dua kekasih
ini larut dalam
permainan cinta.
Siang berganti senja, matahari mulai doyong
ke Barat. Dua
insan itu masih bergelut dalam api asmara
Gayatri
merebahkan kepala di dada Geni. Ia mendengar
degup
jantung kekasihnya Geni mengelus-elus rambut
Gayatri. "Kau
cantik, hangat, mesra dan mahir bercinta,
padahal aku tahu
persis kamu masih perawan artinya belum
pernah dijamah
laki-laki, lantas dari mana kamu pelajari
cara bercinta yang
begitu memikat?"
Gayatri tertawa. "Aku belajar dari
kamu"
"Tetapi aku tak pernah mengajari
kamu"
"Aku mempelajari apa yang kau suka
kemudian dari situ
aku memikirkan cara untuk memberi kepuasan
kepadamu.
Mudah kan?" katanya sambil membelai dan
mengelus bulu
dada suaminya.
"Kamu cerdas, itulah yang membuat aku
sangat
menyintaimu, lebih dari apa pun di kolong
langit ini." Geni
berbisik di telinga kekasihnya. "Kamu
lebih hebat dari Sekar
dan Westi, lebih cantik, tubuhmu sempurna,
caramu bercinta
lebih merangsang, aku tidak akan pernah
bosan menikmati
tubuhmu" Kata-kata ini juga sering dia
ucapkan di telinga
Sekar.
"Oh Geni, kekasihku, hanya kamu yang
kucintai, aku hanya
hidup untuk memuaskan dirimu. Nikmatilah
tubuhku sepuaspuasnya,
karena semakin kamu puas, semakin aku bahagia.
Aku ingin sisa hidupku yang dua bulan ini
kita nikmati sepuaspuasnya."
"Tak usah kau sebut-sebut sisa hidupmu
tinggal dua bulan,
tak mungkin itu terjadi, kita berdua akan
hidup lama, seperti
kataku, kita menyepi dan hidup bersama
anak-anak kita."
Perempuan itu mengalihkan pembicaraan.
"Geni apa alasan
sebenarnya kamu mundur itu? Apakah benar
kamu bosan
dengan pertarungan, jenuh dengan perkelahian
di rimba
persilatan ini?"
Geni mendekap isterinya. "Aku tak akan
pernah katakan ini
pada orang lain. Aku sakit hati karena pada
akhirnya aku tahu
orang-orang di sekitarku hanya butuh aku
sebagai pelindung
untuk menghadapi musuh, aku merasa sebagai
petarung
untuk kepentingan mereka. Tarung ini tak
akan pernah
berhenti, bisa sepanjang hidupku. Mereka
tidak tulus padaku,
mungkin yang tulus padaku, hanya Gajah
Lengar dan Gajah
Nila. Keduanya murid ayahku, mereka
mencintai ayahku,
mereka menyayangiku dengan tulus. Kamu ingat
waktu Gajah
Lengar siap mengorbankan nyawa untuk
melindungimu Jika
Sekar terlambat sesaat, dia akan mati lebih
dulu setelah itu
baru kamuyang mari Ia tidak mengenalmu,
tetapi ia
menyayangiku maka ia juga menyayangi
isteriku, tanpa
pamrih." Gayatri mengangguk karena dia
menyaksikan sendiri
sepak terjang Gajah Lengar.
Sudah dua hari sejak Wisang Geni melepas
jabatan ketua.
Suasana Lemah Tulis masih muram. Semua murid
dilanda
kebingungan. Mereka tidak bisa
menyembunyikan kenyataan
belum ada seorang murid pun yang mumpuni
menjadi ketua.
Hanya dua yang layak, Padeksa dan Gajah
Waiu. Namun
kedua sepuh itu menolak, dengan alasan usia
sudah lanjut.
Padeksa dan Gajah Watu belum menentukan
sikap. Malam
itu, keduanya berembuk. "Tak ada jalan
lain, kita harus
membujuk Wisang Geni, kalau perlu mengemis
kepadanya, ini
kan untuk kemajuan Lemah Tulis, kita tak boleh
membiarkan
Lemah Tulis yang sudah maju pesat ini
kembali merosot," kata
Gajah Watu
Keduanya menuju rumah Geni. Lelaki itu
sedang bercanda
dengan tiga isterinya. Gajah Watu membuka
percakapan,
minta Geni membatalkan niatnya. Namun Geni
bersikukuh
tetap mundur. "Aku tak bisa menjilat
ludah kembali."
Padeksa menoleh kepada Gayatri dengan air
muka muram.
Orang tua itu berkata dengan suara rendah.
"Gayatri aku
minta maaf atas nama semua murid jika
perlakuan
terhadapmu telah menyinggung
perasaanmu."
"Tidak perlu begitu kakek yang budiman,
aku tidak pernah
tersinggung, aku tidak marah, semua itu aku
anggap biasa."
Gayatri bicara dengan kepala merunduk dan
suara yang lirih.
Orangtua itu memandang Gayatri bergantian
Wisang Geni.
"Gayatri, kamu bantu melunakkan hati
suamimu"
Gayatri tetap merunduk. "Aku tidak
berani lancang
terhadap suamiku. Sejak mulai dewasa, aku
diajar untuk
patuh kepada ayah, setelah kawin, maka harus
patuh dan
setia melayani suami seperti pelayan dengan
majikan."
Semua diam. Sekar beringsut mendekati Geni
dan berbisik
di telinga. Geni batuk kecil lalu
menggeleng-geleng kepala.
"Sekar membujuk aku agar menerima
permintaan guru, tapi
guru maafkan aku, mohon beribu ampun, aku
tak sanggup
menjadi ketua. Sesungguhnya sekarang ini
guru berdua yang
layak memimpin Lemah Tulis. Pasti perguruan
akan lebih
maju."
Padeksa berkata dengan nada tinggi,
"Kamu keras kepala,
apakah kamu tidak berpikir bahwa kamu bisa
jadi begini hebat
karena telah dibesarkan oleh Lemah
Tulis?"
"Lebih tepat lagi, aku menjadi besar
karena dibesarkan
guru. Dan sekarang aku harus membalas jasa.
Begitu kan
maksud guru?" Geni bicara dengan nada
datar tanpa emosi.
Tetapi dari air mukanya orang bisa menangkap
bahwa dia
merasa kecewa dan getir.
Dua orang tua itu terpaku di tempat duduk.
Geni
melanjutkan, "Aku sudah melewati banyak
pertarungan
dengan nyawaku di ujung maut, semua
kupertaruhkan untuk
Lemah Tulis. Tolong guru memahami, aku tak
sanggup lagi,
aku bosan, capek, aku ingin sendiri, ingin
menyepi. Aku akan
selesaikan pertarungan lawan pendekar Cina.
Setelah itu jika
aku selamat dari pertarungan itu dan jika
aku masih hidup,
ijinkan aku pergi, aku mohon guru, jika
memang masih ada
setetes kasih sayangmu padaku."
Padeksa melihat mata murid dan cucu
angkatnya itu
berkaca-kaca. Ia terharu, ia bisa merasakan
yang dialami
Geni. Semua pendekar pada akhirnya akan
dibebani perasaan
seperti itu. Ia akhirnya legowo, menghargai
keputusan Geni.
"Baik, tetapi kamu masih harus membantu
jika Lemah Tulis
butuh bantuanmu, dan kamu berjanji akan
melatih muridmurid
nantinya."
"Terimakasih, kakek. Aku berjanji bahwa
aku masih
menjadi bagian dari Lemah Tulis. Aku pasti
akan membantu
perguruanku ini, aku tetap membuka pintu
menerima murid
yang kau kirim belajar padaku. Besok, aku
mengajak kukang
Gajah Lengar, Gajah Nila dan beberapa murid
lain
membantuku membangun rumah."
---ooo0dw0ooo---
Warok Brantas, lelaki berusia empatpuluhan,
tubuhnya
tidak tinggi tetapi kekar berotot. Kumis dan
janggutnya lebat,
juga bulu-bulu dadanya. Pakaiannya hitam
dengan bagian
depan dada telanjang memperlihatkan dada
yang bidang. Di
sekitarnya lima isteri dan beberapa gundik
sibuk melayani.
Warok hidup macam raja, ia memang penguasa
perguruan
Brantas. Dengan anak murid yang mencapai
ratusan orang,
tidak heran jika perairan kait Brantas dan
kali Porong berada
dalam kekuasaannya.
Semua angkutan air, perahu kecil sampai
perahu layar
besar adalah milik Warok. Siapa saja yang
menggunakan jasa
perjalanan air harus mendapat pengawalan
dari anak murid
Brantas. Tentu saja dengan imbalan membayar
jasa.
Sesungguhnya penguasa tunggal perguruan itu
adalah
ayah Warok, julukannya Manyar Edan. Lelaki
berusia
enampuluhan, pendekar liar dan aneh. Dia
sudah lama
menghilang dari rimba persilatan. Dia yang
membangun
perguruan Brantas dengan wilayah kekuasaan
yang begitu
luas. Dia punya banyak isteri dan selir,
anaknya berjumlah
sebelas, semuanya menguasai ilmu silat kelas
satu.
Beberapa tahun lalu ia menunjuk Warok
sebagai pemimpin
perguruan dan menegaskan aturan keras. Tak
boleh ada
sengketa di antara sesama saudara, melainkan
harus saling
membantu. Jika ada yang mengkhianati
persaudaraan, akan
dihukum mati. Tak ada ampun bagi
pengkhianat. Putra
Manyar yang tertua, Sampurna dihukum mati,
dibunuh dengan
tangan Manyar sendiri, lantaran memberontak
hendak
merampas kursi ketua dari tangan Warok.
Manyar Edan tidak cuma memiliki banyak
putra, tetapi juga
murid yang ia didik langsung. Jumlahnya
sama, sebelas.
Mereka ini, sepuluh putra dan sebelas murid
utama, ditambah
lagi dengan tujuh isteri Manyar adalah orang-orang
penting
dalam aturan perguruan di bawah pimpinan
Warok Brantas
sebagai ketua.
Malam hari, di rumah atas air, tempat
kediaman Warok
Brantas, semua orang penting berkumpul.
Duapuluh delapan
pendekar kelas satu. Warok Brantas dengan
suara serak kasar
menjelaskan adanya tantangan dari pendekar
Cina. Tidak
hanya perguruan Brantas, rombongan pendekar
Cina itu
menantang semua pendekar yang punya nama
besar di tanah
Jawa. Termasuk dua perguruan besar lainnya,
Mahameru dan
Lemah Tulis. Tempat tarung juga sudah
ditentukan di desa
Bangsal.
Sehari setelah menerima berita tantangan,
Warok
menugaskan Belut Ireng dan Prabowo melakukan
penyelidikan. Prabowo adalah saudara bungsu
Warok,
sedangkan Belut Ireng salah seorang murid
pintar Manyar
Edan. Malam itu semua orang penting
perguruan Brantas
duduk mendengar laporan Prabowo dan Belut
Ireng.
"Rombongan Cina itu jumlahnya sebelas,
tujuh pria dan empat
wanita. Ketuanya, Ciu Tan, tampaknya ingin
balas dendam
karena adik perguruannya, dibunuh Wisang
Geni di
pertarungan bukit Penanggungan. Mereka semua
pendekar
hebat yang di daratan Cina sudah bernama
besar."
Secara bergantian Belut Ireng dan Prabowo
menceritakan
secara rinci peta kekuatan para pendekar
Cina, seperti si
kembar Mok dengan golok bersatupadu, Li Moy
belalang
beracun dan Sian Hwa Pendekar Pedang Gurun
Gobi.
Mendengar ini, semua pendekar Brantas
mengerutkan kening,
bertanya-tanya apa maksud tantangan itu.
"Mereka ingin
menjajal orang-orang tanah Jawa, mau
mempermalukan
pendekar negeri ini," tukas Warok
marah.
Pada akhir pertemuan Warok Brantas setuju
siasat yang
dikemukakan salah seorang ibu tirinya,
selirnya Manyar Edan.
"Ketua tidak perlu maju, sebaiknya
salah seorang dari kita
yang tarung duluan, dan kita harus memilih
lawan yang paling
ringan."
Dua murid utama Manyar Edan ditugaskan
mencari tahu
ilmu silat para pendekar Cina, siapa paling
kuat, siapa paling
lemah, "Cepat kalian bekerja dan
kembali membawa kabar
menggembirakan," kata Warok.
Diam-diam Warok Brantas mengumpat pendekar
Cina. Apa
maunya mereka melibatkan dirinya, selama ini
ia tak pernah
bentrok dengan mereka. Ketika terjadi
pertarungan di bukit
Penanggungan, ia bahkan tidak hadir. Dari
cerita beberapa
saudaranya yang hadir, Warok mengetahui para
pendekar
Cina itu memiliki kepandaian silat tinggi. "Jika
dua tahun lalu,
Demung Pragola, Antaboga, Sagotra, Sang
Pamegat dan
Macukunda saja bisa dikalahkan, apalagi
sekarang ini dengan
kekuatan sebelas orang. Pasti para pendekar
Cina yang
datang kali ini lebih lihai dibanding yang
lalu. Aku jelas tak
mungkin bisa disejajarkan, aku masih kalah
dibanding
Macukunda, Sagotra dan Demung Pragola.
Bagaimana cara
supaya aku bisa lolos dari kekalahan?"
---ooo0dw0ooo---
Rumah itu sangat besar dengan pekarangan
luas. Itulah
rumah Demung Pragola, juga markas perguruan Daridrayang
hampir semua muridnya hidup sebagai
pengemis. Orang tua
berusia lebih separuh abad itu adalah ketua
perguruan. Malam
itu ia berkumpul dengan para pentolan
perguruan
membicarakan tantangan para pendekar Cina.
Demung Pragola, duduk bersila di tilam.
Wajahnya teduh
dan sangat wibawa. Jenggot dan kumisnya
menyatu, putih
panjang. Tubuhnya tegap, tinggi. Matanya
dingin dan tajam
Menatap matanya seperti memandang sumur yang
kedalamannya tidak terukur. Itu tanda ia
memiliki tenaga
dalam yang sangat tinggi
Ia menghela nafas kemudian berkata, suaranya
serak dan
kasar. "Aku tidak pernah menyangka,
setelah lebih dari satu
tahun berlalu, para pendekar Cina datang
lagi. Dulu itu di
bukit Penanggungan terjadi pertarungan
hebat, lima pendekar
tanah Jawa ditantang lima pendekar negeri
Cina."
Dia melanjutkan cerita. Dalam pertarungan
itu, empat
pendekar tanah Jawa sudah kalah. Demung
Pragola
dikalahkan Liong Kam, Antaboga dan Sang
Pamegat tumbang
oleh Pak Beng, Pendekar Merapi, Sagotra
dikalahkan jago
nomor satu Cina, Sam Hong. Pertarungan
terakhir, pendeta
Macukunda sudah didesak oleh jago nomor dua
Cina, Sin
Thong. Jika Macukunda kalah, maka kubu tanah
Jawa
dinyatakan kalah.
Sebab sebelum pertandingan disepakati
perjanjian bahwa
satu kubu dinyatakan kalah jika lima
pendekarnya kalah
semua. Saat itu empat pendekar tanah Jawa
sudah kalah,
sementara di kubu Cina hanya seorang yang
kalah yakni Kok
Bun.
Pada saat Macukunda terdesak hebat oleh Sin
Thong,
mendadak Wisang Geni menerobos gelanggang
dan membuat
kekacauan. Ketua Lemah Tulis yang masih muda
itu memaksa
diri untuk ikut tarung. Macukunda keluar
gelanggang
digantikan Geni yang dengan ilmu dahsyat
menghajar Sin
Thong muntah darah, golok pendekar Cina itu
ditekuk patah
menjadi beberapa potong. Geni kemudian
mengalahkan
Tangan Salju Pak Beng. Ia kemudian menantang
Sam Hong, si
jago nomor satu. Pertarungan itu sangat
dahsyat, Geni
akhirnya memukul mati Sam Hong meski ia
sendiri luka parah.
Pertarungan selesai, kubu Cina kalah, mereka
pulang
membawa malu. Gengsi tanah Jawa diselamatkan
Wisang
Geni. Sejak-hari itu, nama Wisang Geni
berkibar sebagai
pendekar paling jago di tanah Jawa. Orang
memberinya gelar
Pendekar Tanah Jawa.
Hampir semua pendekar Daridra mengetahui
kisah
pertarungan di Penanggungan. Namun sebagian
lain tidak
sempat menyaksikan, hanya mendengar cerita
dari mulut ke
mulut. Peristiwa itu sempat menjadi bahan
cerita menarik di
rimba persilatan selama dua tahun dan tentu
saja yang paling
dipuji dan diagulkan adalah Wisang Geni.
Tanpa kehadirannya
pasti pendekar tanah Jawa akan kalah dan
dipermalukan
lawannya.
Itu sebab Demung Pragola terkejut ketika ia
menerima
tantangan dari sebelas pendekar Cina. Jika
mereka datang lagi
jauh-jauh dari Cina untuk menantang tarung,
sudah pasti
membawa serta pendekar yang paling tangguh.
Sebelas orang
pendekar, suatu jumlah yang besar.
"Lantas siapa saja yang sudah ditantang
mereka, apakah
termasuk Macukunda, Wisang Geni, Pamegat
juga Sagotra?
Apakah pendekar negeri ini mau datang
mempertaruhkan
nama mereka? Bagaimana jika tidak seorang
pun yang hadir
nanti?" Pertanyaan ini menusuk
pikirannya, tanpa dia mampu
menjawabnya.
Teringat kekalahannya dari Liong Kam waktu
itu, Demung
Pragola mengepalkan tangannya. Kebetulan
Liong Kam
termasuk di antara sebelas orang itu.
"Aku jadi penasaran,
selama lebih dari satu tahun aku berlatih,
aku ingin menjajal
sampai di mana kemajuanku. Kebetulan lawan
yang pernah
mengalahkan aku dulu, Liong Kam akan hadir.
Aku akan
tantang dia," ucap Demung Pragola
dengan suara bergetar.
Ia teringat bagaimana malunya dia dikalahkan
jurus pedang
Liong Kam Ia sulit melupakan kekalahan itu,
karena
kejadiannya disaksikan ratusan pendekar
lain. "Masih ada sisa
waktu duapuluh hari, aku akan melatih
irnaga, hiar lebih
segar."
Salah seorang yang hadir, Sardula, tokoh terkemuka
yang
lihai ilmu silat dan terkenal cerdas,
memberi hormat. "Ketua
Demung, aku pikir, kita perlu memastikan
semua pendekar
terkemuka negeri ini hadir dan membela
gengsi tanah Jawa.
Kita sebar semua murid ke semua penjuru
mengundang para
pendekar terutama Wisang Geni, Macukunda,
Sagotra,
Grajagan, Pamegat, Manyar Edan, Manjangan
Puguh dan lainlain."
---ooo0dw0ooo---
Di rumah sewaan di desa Bangsal, Ciu Tan dan
kawankawannya
berbincang mengenai pertarungan mendatang.
Selama dua bulan berkelana ke seluruh
pelosok tanah Jawa,
Ciu Tan dan beberapa temannya telah
memperoleh gambaran
jelas peta kependekaran di tanah Jawa. Ada
banyak perguruan
namun tiga paling berbobot, Lemah Tulis,
Mahameru dan
Brantas, selain itu ada beberapa pendekar
yang tidak terikat
suatu perguruan pun.
"Semakin banyak pendekar lihai yang
hadir, semakin bagus
buat kita, kemenangan terasa lebih nikmat
Huuh, aku sudah
tidak sabar lagi menanti hari
pertarungan," kata Ciu Tan
geram Ia tak bisa meredakan api dendam
terhadap Wisang
Geni. Selama ini ia tidak berdiam saja di
desa Bangsal. Ia
sering bepergian mencari berita dan
pengalaman sehingga ia
mengetahui nama Wisang Geni adalah pendekar
yang paling
berkibar di negeri ini. Di kalangan
pendekar, Geni bahkan
sudah dinobatkan sebagai Pendekar Nomor Satu
Tanah Jawa.
Selama ini Wisang Geni tak punya tandingan.
Ciu Tan sudah menyaksikan sepak terjang Geni
bertarung
lawan K alandara dan tiga muridnya. Empat
pendekar wanita
itu tak berdaya, Geni mempermainkan dan
mempermalukan
mereka. Ciu Tan juga menyaksikan kehebatan
Geni di gunung
Argowayang ketika menghajar mati Lembu Agra
dan beberapa
begundalnya, termasuk pertarungannya yang
hebat lawan
Lembu Ampai.
Pak Beng menuturkan bagaimana ia dikalahkan
Geni dua
tahun lalu. Ia dikenal dengan tenaga racun
dingin. Jika
pukulannya mengena maka korban akan
menderita kedinginan
sebelum tewas. Tetapi Wisang Geni justru
melayaninya
dengan adu pukulan dingin, ia kalah, muntah
darah dan nyaris
tewas.
"Aku sudah memperdalam dan melatih
racun dingin ini
selama dua tahun, tetapi ketika aku melihat
kepandaian orang
itu, terus terang aku terkejut. Tidak
kusangka ia maju begitu
pesat, kupikir aku sudah maju pesat, tetapi
Wisang Geni maju
jauh lebih pesat lagi. Huaaah, rasanya aku
tak mungkin bisa
membalas sakit hati dua tahun lalu,"
kata Pak Beng kesal.
Pendapat Sin Thong pun tidak berbeda. Ia
pernah menelan
pil pahit, goloknya dirampas dan ia terluka
muntah darah. Ia
hampir tak percaya melihatkebolehan Wisang
Geni dalam
tarung di gunung Argowayang. "Ia sulit
dikalahkan, tetapi jika
kita ingin menang maka ia harus bisa
disingkirkan, sebab
begitu Wisang Geni kalah maka semangat
pendekar lain akan
runtuh dan mudah bagi kita untuk mengalahkan
mereka
semua."
Ciu Tan termenung. Umu kepandaiannya tidak
berbeda
jauh dengan teman-temannya. Dua tahun lalu
Pak Beng dan
Sin Thong dikalahkan Wisang Geni. Kalah
secara telak. Bahkan
adik seperguruannya, Sam Hong, yang dia tahu
cukup ting gi
ilmu silatnya, juga kalah bahkan mati.
Menurut Pak Beng dan
Sin Thong, sekarang ini kepandaian Geni maju
pesat
Keduanya merasa mustahil bisa mengalahkan
Wisang Geni.
Sebelas orang itu diam. Masing-masing dengan
pikiran
sendiri. Sekonyong-konyong Siauw Tong
memecah kesunyian.
"Situasi tidak menggembirakan, bahkan
terasa sangat sulit,
tetapi bukannya kita tak punya harapan
menang. Harapan
menang selalu ada tetapi harus menggunakan
strategi
matang. Bahkan jika perlu kita tidak usah
malu-malu
menggunakan cara yang tidak terhormat"
Agak penasaran Sian Hwa, Pendekar Pedang
dari Gurun
Gobi menanyakan maksud lelaki itu menyebut
cara yang tidak
terhormat Siauw Tong yang terkenal cerdas
menjelaskan,
bahwa jika menggunakan cara terhormat
artinya pertarungan
satu lawan satu, perkelahian bersih tanpa
menggunakan
senjata rahasia atau senjata beracun.
"Maksudku, kita tak
perlu bicarakan persyaratan terhormat itu,
sehingga dalam
perkelahian jika diperlukan kita bisa
menggunakan senjata
rahasia atau senjata beracun, mereka tidak
akan bisa
menyalahkan kita karena hal itu tak pernah
dibicarakan di
awal."
Siauw Tong melihat berkeliling. Semua diam,
tidak ada
tanggapan berarti semuanya setuju. Ia
menjelaskan
strateginya dengan cermat. "Paling
penting, kita tegaskan
sebelas lawan sebelas, dan pendekar yang
sudah kalah tidak
boleh naik panggung lagi. Pihak mana yang
sebelas
pendekarnya sudah kalah semua, pihak itu
yang kalah.
Dengan demikian, maka kita harus bisa
mengalahkan semua
sepuluh pendekar itu. Aku berani pastikan
bahwa Wisang Geni
akan naik panggung sebagai orang terakhir.
Dengan demikian
Wisang Geni akan kita gilir tanpa harus
istirahat Setahuku,
pendekar itu tak per i ul i tarung
menggunakan senjata, kita
manfaatkan kesombongan dia itu, kita justru
menggunakan
senjata yang ada racunnya, kita siapkan
senjata rahasia. Aku
yakin Wisang Geni, sehebat apa pun
kepandaiannya, tak akan
lolos dari kematian."
Semua pendekar diam. Rencana Siauw Tong
nyaris
sempurna. Kata ahli perang, suatu
perencanaan yang
sempurna ibarat sudah merebut separuh
kemenangan.
"Tinggal kita tentukan siapa-siapa yang
maju duluan dan
siapa-siapa yang harus dia lawan, hal ini
juga sangat
menentukan menang kalahnya kita,"
lanjut Siauw Tong.
---ooo0dw0ooo---
Perguruan Mahameru terletak di kaki gunung
Mahameru,
sebelah selatan pegunungan Semeru Senja itu
suasana di
balairung agak riuh. Sebagian besar murid
berkumpul, hanya
murid yang masih bertugas berjaga atau
bekerja di dapur
yang tidak hadir. Mereka yang hadir saling
pandang penuh
tanda-tanya, tidak mengerti apa yang akan
diumumkan
ketuanya, pendeta Macukunda. Ketika ketua
muncul seketika
juga suasana hening.
Pendeta Macukunda duduk didampingi saudara
perguruannya, Antasena, Bragalba, Rawaja,
Matangkis. Lima
orang ini duduk bersila, memandang puluhan
murid yang
duduk berkumpul.
Diantara lima tokoh tua Mahameru hanya
Macukunda yang
seorang pendeta. Macukunda memecah
keheningan,
"Dengarkan, sepuluh hari lagi, aku akan
ke desa Bangsal
menghadiri pertarungan menghadapi sebelas
pendekar Cina.
Orang-orang seberang itu telah menantang
seluruh pendekar
negeri ini untuk tarung, sebelas lawan
sebelas. Aku
sebenarnya tak ingin tarung lagi, tetapi
demi membela
negeriku, tanah airku, aku harus ikut, ini
merupakan darmaku.
Aku sudah tua dan aku tidak tahu, apakah aku
akan mati atau
tetap hidup dalam pertarungan itu. Tetapi
hari ini aku akan
mengangkat adik Antasena sebagai ketua
Mahameru"
Terdengar suara bisik-bisik di kalangan
murid. Namun empat
tetua yang duduk di samping ketua, tampak
biasa. Rupanya
sebelum itu lima orang itu sudah berunding
dan sepakat
dengan semua keputusan ketuanya.
Macukunda melanjutkan, "Sebenarnya
memang sudah
saatnya Antasena maju sebagai ketua, ia
lebih muda dari kami
berempat, ia cerdas dan bijaksana, ia
berilmu tinggi, ia sudah
menguasai jurus andalan Sasra Ludira dengan
sempurna dan
lebih baik dari kami semua. Keberangkatanku
ke pertarungan
itu bukan suatu alasan pergantian ketua ini.
Baik, aku selamat
atau mati, Antasena tetap sebagal ketua.
Jika aku selamat,
aku kembali ke Mahameru dan menyepi.
Sebaliknya bila aku
mati, kalian sempurnakan jasadku, dan tak
boleh seorang pun
membalas dendam. Kemarin kami berlima sudah
berunding,
aku akan didampingi adik Matangkis, muridku
Minasih, tiga
murid utama Jokonang, Setawastra dan Sawitri
serta sepuluh
murid lapis dua. Semuanya tidak ikut
bertarung, kecuali
tenaganya dibutuhkan. Hanya adik Matangkis
yang boleh
tarung. Isteri Setawastra, Rorowangi karena
sedang hamil,
jadi tak boleh ikut."
Dia menghirup nafas panjang, matanya menatap
ke atas.
"Pertarungan di bukit Penanggungan
telah mempermalukan
aku, aku sudah hampir kalah malah sebenarnya
aku sudah
dikalahkan Sin Thong. Mendadak datang Wisang
Geni yang
mengacau. Ia berhasil mengambil alih semua
pertarungan,
mengalahkan Sin Thong, Pak Beng termasuk si
jago nomor
satu Sam Hong. Aku tak perlu malu mengakui
kehebatan
Wisang Geni, anak muda itu telah membawa
Lemah Tulis dari
nasib terpuruk menjadi harum, bahkan kini
sudah sangat
terkenal, murid-muridnya berkelana menjadi
penolong kaum
tertindas."
Ia melanjutkan dengan bersemangat,
"Wisang Geni sebagai
orang muda yang memiliki kepandaian tinggi
ternyata bisa
membawa diri, tidak sombong, tidak
semena-mena, ia
menghormati orang yang lebih tua. Aku mau,
aku ingin suatu
hari kelak, ada seorang atau lebih, murid
Mahameru yang
berkepandaian tinggi dan perilaku
mulia."
Hari itu upacara pengangkatan Antasena
sebagai ketua
Mahameru berlangsung tertib dan sederhana.
Tak ada reaksi
berlebihan di kalangan murid. Tradisi dan
peraturan
Mahameru menetapkan seorang guru melatih
secara bergilir,
sehingga tak pernah ada murid dilatih khusus
seorang guru.
Para ketua melatih murid lapis satu dan
lapis satu melatih
lapis dua dan lapis tiga.
Setelah hari pengangkatan, Macukunda menyepi
berlatih
silat. Adik perguruannya termasuk Antasena
bergantian
menjadi lawan tanding. Ia menekuni jurus
andalan Sasra
Ludira. Jurus ini sudah didalami Macukunda
sejak kekalahan
dari Sin Thong. Ia berlatih keras
meningkatkan kualitas jurus
hebat ini. Jurus ini mengutamakan kedalaman
tenaga batin
sehingga cepat menemukan kelemahan lawan
untuk dijadikan
sasaran serangan. Dalam cerita Mahabrata
Sasra Ludira
adalah nama pusaka yang direbut naga kowara,
ular sakti,
yang menerobos sembunyi di tubuh Prabu
Destarata sehingga
bisa tepat memilih Dewi Gandari sebagai
isteri.
Macukunda juga mendalami jurus Kadharmesta
(Kebajikan)
dan Amijilakna (Hasil upaya). Dua jurus ini
diambil dari sifat
Gereh (Guntur) dan Sedung (Badai) saling
dukung
mendukung. Suatu serangan lawan yang ganas
bagaikan
guntur dan badai, akan luluh jika dihadapi
dengan Kebajikan,
selanjutnya serangan balik menggunakan
Amijilakna ibarat
amuk naga kowara.
Dalam sisa waktu sepuluh hari Macukunda
berlatih dan
tenggelam dalam ilmu silat. Baginya, inilah
darma seorang
pendekar untuk tanah airnya. Sekarang ini ia
tak punya beban
apa pun di dunia. Ia telah menobatkan
Antasena
sebagaiketua, sehingga tak perlu lagi
khawatir kelangsungan
Mahameru. Ia tak punya keluarga. Ia kini
merasa bebas. Ia
akan bertarung hanya karena ingin
melaksanakan darma. Mati
dalam tugas darma bakti adalah kehormatan,
menang pun
suatu kehormatan.
---ooo0dw0ooo---
Kabar pertarungan antara para pendekar tanah
Jawa lawan
pendekar Cina di desa Bangsal itu sampai
juga ke Tumapel
dan Kediri. Tarung mempertaruhkan gengsi
tanah Jawa,
menjadi bahan gunjingan di sudut-sudut
paling rahasia kedua
kerajaan itu.
Di Tumapel, Raja Sang Mapanji Seminingrat
alias
Ranggawuni dan permaisuri Waning Hyun sangat
tertarik
mendengarnya. Begitu pun Raja Tohjaya dari
keraton Kediri.
Berita itu membuat dua penguasa tertinggi
Kediri dan
Tumapel mengirim wakilnya yang paling
mumpuni.
Tumapel mengirim Panji Patipati yang
dijuluki Sang
Pamegat didampingi beberapa jagoan dari 18
pendekar
pengawal Raja Tumapel yakni Dwi, Catur,
Dasa, Rewawelas
yang dipimpin langsung oleh ketuanya, Siki.
Sementara dari
kerajaan Kediri, Raja Tohjaya tidak mengutus
Pranaraja sang
penasehat yang konon ilmu silatnya sangat
digjaya. Raja
mengutus ketua Sinelir, Senopati Samba si
Pedang Hitam
bersama delapan anggota Sinelir lainnya.
Para jago dari
kerajaan Tumapel dan Kediri juga melakukan
persiapan
matang, siapa tahu akan terlibat tarung.
---ooo0dw0ooo---
Gunung Welirang letaknya sebelah utara
gunung Arjuno.
Hutan padat dan lebat merambah seluruh
bagian lereng
gunung. Hanya lereng bagian timur yang
pernah dijamah
manusia. Ada jalan setapak namun yang sudah
nyaris hilang
tertutup semak belukar. Jalan itu menuju ke
hutan kecil yang
pepohonannya tidak terlalu padat Setelah
melewati hutan kecil
itu, tampak pemandangan luas. Air terjun
dari tebing yang
tinggi mencurah ke danau yang cukup besar.
Agak jauh dari
air terjun, terdapat tebing terjal Ada sepotong
bagian tebing,
mencuat ke luar sehingga memayungi sebidang
tanah di
bawahnya. Tanah yang tidak terlalu luas itu
terlindung dari
curah hujan. Di tanah itu Wisang Geni dan
rombongan
berhenti setelah menempuh dua hari
perjalanan dari Lemah
Tulis.
Wisang Geni, Sekar, Gayatri dan Prawesti
akan menetap.
Sedang Gajah Lengar dan Gajah Nila yang
didampingi masingmasing
isterinya bersama enam murid pria dan dua
murid
wanita hanya membantu mendirikan rumah,
setelah itu
mereka akan kembali ke Lemah Tulis.
Pemandangan alam sekitar lereng timur itu
sangat indah.
Tampak air terjun dan pepohonan mengelilingi
danau. Puncak
gunung Welirang kebiru-biruan menjulang
tinggi dibungkus
kabut dan awan putih. Udara sejuk. Gayatri
terpesona. "Geni,
tempat ini luar biasa indah, mengingatkan
akan kampungku di
lereng Himalaya. Kamu pandai memilih tempat,
aku pasti
betah hidup di sini."
Wisang Geni, Sekar, Gayatri, Prawesti, Gajah
Lengar dan
Gajah Nila berdiri di tanah kosong itu.
Semak belukar dan
pepohonan kecil sedang dibersihkan oleh
murid-murid Lemah
Tulis. Gayatri menunjuk arah tebing.
"Aku mau rumahku
terlindung dan aman dari gangguan, misalnya,
hujan. Rumah
sudah pasti aman dari curah hujan karena
terlindung oleh
tebing. Tetapi lantai rumah harus tinggi dan
di tepian sebelah
barat harus dibendung dengan bebatuan, agar
air hujan yang
turun mengalir dari atas gunung tidak
merembes ke dalam
rumah."
Gayatri bersama Sekar mengatur semuanya
dengan teliti.
Bahkan ia memikirkan tempat strategis,
menentukan bagian
depan rumah sedemikian rupa sehingga
penghuni rumah bisa
memandang lepas ke daerah sekitar.
"Jika ada tamu tak
diundang datang berkunjung, kita bisa tahu
lebih awal,"
katanya. Mereka pun mulai membangun rumah
sesuai
kemauan Gayatri.
Empat murid wanita membantu Gayatri, Sekar dan
Prawesti
menyiapkan dapur. Dua murid lelaki berburu
binatang untuk
dimasak. Geni dan murid lelaki lainnya
bekerja mendirikan
rumah darurat untuk tempat bermalam Ketika
matahari mulai
terbenam, tiga buah rumah darurat sudah
siap. Satu untuk
Geni sekeluarga Satu untuk Gajah Lengar dan
Gajah Nila
sekeluarga Rumah ketiga yang lebih besar
untuk murid-murid.
Hari-hari di lereng gunung Welirang dilalui
dengan
pekerjaan membangun rumah. Peralatan lengkap
dibawa dari
Lemah Tulis, sedangkan semua bahan tersedia di
hutan. Dari
kayu, bebatuan, daun nipah sampai pun damar
untuk
penerangan, tersedia dan mudah didapat.
Pada saat saat tertentu Gajah Lengar dan
murid lainnya
meminta petunjuk Geni tentang ilmu silat.
Latihan terkadang
dilakukan di air terjun, di danau bahkan
juga di tebing-tebing
yang curam Duapuluh hari berlalu, rumah
besar sudah berdiri
berikut kandang kuda untuk si hitam dan si
putih. Mereka
masih merencana membangun dua rumah lain,
yang nantinya
tempat nginap para murid Lemah Tulis yang
datang berlatih.
Malam itu seperti biasa Wisang Geni
melakukan semedi. Ia
bersila dengan melipat dua kakinya. Tubuhnya
melayang di
udara, tidak menyentuh tanah. Tenaganya
terpusat di sekitar
pusar, berputar-putar merambah ke seluruh
jalan darah. Ia
merasa angin bergerak di seputar tubuh.
Pikirannya melayang
jauh mengingat dan memeta kembali secara
rinci
pertarungannya lawan Sam Hong di bukit
Penanggungan dua
tahun lalu.
Gayatri duduk bersemedi di samping Geni.
Tenaga batinnya
tidak sehebat suaminya sehingga tubuhnya
hanya terangkat
satu jengkal dari tanah. Ia belum mampu
melayang-layang
seperti Geni. Sekar tak kalah hebat tenaga
dalamnya. Hanya
Prawesti yang masih tertinggal dalam soal
ilmu silat Tetapi ia
juga duduk bersila, ikut semedi melatih
tenaga dalam.
Prawesti tak bisa memusatkan pikiran. Ia
memikirkan
pertarungan di desa Bangsal. Ia khawatir
keselamatan Geni
mengingat sebelas pendekar Cina itu konon
memiliki ilmu silat
lebih tinggi dari mereka yang pernah
dikalahkan Geni di bukit
Penanggungan. Kata orang, Ciu Tan, adalah
kakak Sam Hong
dan memiliki ilmu silat jauh lebih lihai
dari Sam Hong. Sebelas
pendekar Cina itu merupakan yang paling
terkemuka di
negerinya. Prawesti gelisah. Pertarungan
semakin dekat, lima
hari lagi.
Wisang Geni selesai semedi. Ia melihat Gayatri
sedang
semedi, Prawesti duduk bersila namun tampak
gelisah. Geni
berseru perlahan, "Sekar, kamu ikut
aku, kita berlatih di luar."
Gayatri dan Prawesti mengerti bahwa Geni
tidak menghendaki
mereka ikut. Sekai menghentikan semedi
kemudian melesat
mengikuti Wisang Geni
Malam itu bulan terang, tak ada awan
mendung. Geni
menggenggam tangan isterinya. Mereka mendaki
tebing
menuju ai ah barat Tak berapa lama, mereka
tiba di atas
tebing yang permukaannya datar dan cukup
luas untuk
beberapa orang duduk.
Di bawah sinar terang bulan tampak air
terjun dan danau.
Kemilau air terjun diterpa sinar rembulan,
memantulkan
kemilau warna warni, tampak indah. Sekar
menggumam, "Oh
pemandangannya sangat indah, coba lihat air
terjun itu dan
air di danau, indah kena pantulan sinar
rembulan. Geni kamu
pintar mencari tempat."
"Aku ingin hidup seperti ini, terpencil
bersama isteriku, tak
ada orang lain, tak ada lagi tarung, tak ada
balas dendam.
Sekar kekasihku, aku sudah bosan berkelana,
bertarung dan
membunuh orang. Dalam tarung memang kalau
tidak mau
dibunuh maka kita harus membunuh. Aku sudah
bosan
dengan semua ini, aku ingin menyendiri,
bercinta dengan
kamu seperti malam ini. Sepanjang malam,
bercinta sampai
puas." Sambil bicara tangan Geni
memeluk tubuh isterinya.
Sekar mencubit perut suaminya. "Tak
mungkin bercinta di
atas tebing ini. Gila! Dingin sekali,
anginnya kencang dan
membawa uap air. Aku kedinginan."
"Katanya kamu terbiasa berlatih di laut
Kidul yang udaranya
justru lebih dingin," Geni menggoda.
"Menurutku udara gunung dengan udara
laut sangat
berbeda. Di sini jauh lebih dingin. Geni,
kita kembali saja."
Geni memeluk isterinya. "Kita cari
tempat lain." Ia
memondong Sekar menuju dinding tebing. Ia
mendorong batu
besar. Sekar kaget. Ia bergerak namun Geni
mencegah. Ia
berbisik di telinga isterinya, "Kamu
diam saja, pejamkan mata,
nanti aku bilang buka, baru kau buka
matamu."
Ternyata pada dinding tebing ada lubang,
ukuran setengah
badan manusia. Sambil membopong tubuh
isterinya, ia
membungkuk masuk ke goa. Gelap gulita Sekar
masih
memejam mata, merasa tubuhnya diletakkan di
tempat yang
hangat, seperti rumput kering, angin dingin
mendadak lenyap.
Geni meraba-raba Ia memegang batu kemudian
menggeseknya. Letupan api menyambar obor.
Ada tiga obor,
bahan bakarnya damar. Goa terang benderang.
"Buka
matamu, sekarang."
Sekar terkejut. Ia terbaring di atas
tumpukan rumput
kering dan dedaunan. Suhu udara di dalam
goa, hangat Goa
itu sempit, cukup untuk empat orang
berdesakan. Geni
tertawa senang. Sekar juga tersenyum
"Kapan kamu siapkan
tempat ini?"
Geni memeluk isterinya, berbisik, "Dua
hari kusiapkan goa
ini, aku memang mencari tempat tersembunyi
khusus untuk
kita bercinta, tak ada siapa-siapa lagi di
sini kecuali aku dan
kamu."
"Bagaimana dengan Gayatri dan
Westi?"
"Mereka akan kebagian jatah. Terkadang
aku butuh
berduaan saja dengan isteriku, kamu atau
Gayatri atau
Prawesti." Sambil Geni memeluk,
menciumi seantero tubuh
molek isterinya. Ia menikmati kecantikan
paras isterinya yang
cantik rupawan. Geni mengakui bahwa Gayatri
cantik, tetapi
Sekar lebih cantik. Kecantikan Sekar membias
sejuta rasa puas
dan bahagia. Dia bisa bersikap pasrah
menanti tapi pada
saatyang sama bisa liar. Keduanya bergelut
dalam pelukan
nafsu birahi dan cinta. Sepanjang malam.
Udara pagi terasa sejuk. Di dalam goa masih
tetap hangat.
Dua insan itu masih berpelukan. Sekar
telungkup di atas tubuh
Geni. Ia berbisik, "Geni, menurut
rencana dua hari lagi kita
berangkat ke desa Bangsal. Menurut kangmas
Gajah Nila,
perjalanan ke Bangsal sekitar dua hari.
Entah mengapa setiap
memikirkan tarung itu, aku merasa
takut."
"Apa yang kau takutkan?"
Sekar menyembunyikan wajahnya di dada
suaminya. "Aku
takut kehilangan kamu. Aku tak mau
kehilangan kamu, Geni."
Mata Geni menerawang. "Aku juga takut.
Sudah sering aku
tarung mati hidup. Di Mahameru menghadapi
tokoh kelas
atas, aku tidak takut. Di Penanggungan aku
merasa takut
terutama saat tarung lawan Sam Hong. Di
Argowayang, aku
tidak takut. Belakangan aku tahu sebabnya,
di Mahameru aku
belum punya apa-apa, mati pun tak mengapa.
Di
Penanggungan aku sudah punya isteri yang
menyinta dan
kucinta, Wulan dan kamu. Di Argowayang aku
ingin membalas
dendam Sekarang ini aku takut sebab aku tak
mau mati,
sebab masih ingin hidup bersama kamu dan
Gayatri, isteri
yang menyinta dan yang kucinta. Manusia
selalu takut mati
saat dia sedang menikmati miliknya yang
paling berharga,
isteri, anak, harta atau kekuasaan. Kamu
pernah takut
menghadapi tarung?"
"Aku jarang terlibat tarung. Tarung
paling hebat kualami
ketika bersamamu mengadu nyawa menantang
Kalayawana
dan Malini. Saat-saat itu tak pernah kulupa.
Kita berdua luka
parah, saling membantu di bawah ancaman
musuh yang ilmu
silatnya jauh di atas kita."
Geni menciumi buah dada kekasihnya.
"Apa lagi yang kau
alami waktu itu, kekasihku?" .
"Aku berpakaian dekil, tubuh dan
wajahku burik bekas
penyakit cacar. Tetapi ada lelaki tampan
yang tidak jijik
padaku. Ia memuji tubuhkuindah. Katanya
wajahku cantik jika
tak ada burik. Aku jatuh cinta padanya,
tanpa ragu aku
berikan perawanku. Lelaki itu orang pertama
dan terakhir
yang kucinta" "Apalagi,
Sekar?"
Sekar memeluk dan menggigit leher suaminya.
"Kami
bercinta di tengah hutan, dalam keadaan
sakit dan terluka,
bercinta di Lembah Cemara, bercinta di
rerumputan, di atas
tanah, tak terhitung Sungguh hari-hari yang
paling bahagia
bagiku."
"Kamu lupa suatu hal penting,
Sekar."
Sekar berbisik sambil menggelitik telinga
suaminya. "Apa?"
"Bahwa lelaki itu mencintaimu. Sejak
hari pertama di
tengah hutan sampai sekarang, sampai hari
ini di goa ini.
Lelaki itu mencintaimu dari ujung kaki
sampai ujung
rambutmu."
"Aku senang dan bahagia mengetahui kamu
mencintaiku.
Tetapi aku lebih senang lagi karena dalam
hidup ini ternyata
aku sanggup mencintai seorang lelaki,
seluruh cintaku telah
kuberikan padanya. Tak ada lagi yang tersisa
walaupun untuk
diriku sendiri, aku hanya hidup untuk
memberinya
kebahagiaan dan kesenangan."
Sekar seorang perempuan yang cerdas. Ia
selalu
memerhatikan Geni, setiap rasa dan gerak
suaminya tak luput
dari pengamatannya. Dalam bercinta, ia
selalu mendahulukan
kepuasan Geni. Ia melakukan apa saja yang
disukai Geni.
Setelah itu, baru ia mengekspresikan diri
betapa ia puas dan
bahagia Ia memperlihatkan dengan gerak tubuh
dan gigitan,
bahwa ia takluk dan bertekuk lutut di bawah
pesona dan
keperkasaan suaminya Kata neneknya,
"Kamu harus
perlihatkan bahwa kamu bangga dengan
keperkasaan
suamimu. Pasti ia akan senang dan tidak akan
pernah puas
bercinta denganmu, dia tak akan pernah
bosan. Ia
membutuhkan kamu dan akan mencari kamu
setiap saat."
Hebatnya Sekar, ia tak memperlihatkan semua
pesonanya
jika Gayatri atau Prawesti ikut bercinta. Ia
tidak mau jurus
rayuannya ditiru dua saingannya. Geni
merasakan hal ini, dan
itu sebab dia sangat bernafsu jika bercinta
dengan Sekar,
hanya berduaan saja.
Tampaknya Wisang Geni makin terperangkap
oleh
kenikmatan yang disuapi Sekar. Pagi itu Geni
masih
menggeluti tubuh molek itu. "Sekar,
kamu luar biasa, bisa
merawat dan memelihara tubuhmu sehingga
tetap langsing
dan sekal. Kamu seperti dewi kecantikan, aku
beruntung
mendapatkan kamu sebagai isteriku."
"Tubuh ini akan berubah jika aku
mengandung anakmu,
Geni. Perutku akan besar, gendut."
"Apakah kamu hamil?"
Sekar melingkarkan pahanya ke paha Geni. Ia
mengecup
mulut Geni. Lalu ia menggeleng kepala,
rambutnya yang
basah keringat menyapu wajah Geni. "Aku
bisa hamil, bisa
juga tidak hamil, semua tergantung ijinmu,
suamiku.
Tergantung perintahmu."
"Jangan! Kamu jangan hamil dulu Sekar,
karena aku masih
ingin menikmati keindahan tubuhmu."
'Tetapi Geni, aku ingin memberimu seorang putra
biar dia
perkasa dan pendekar macam bapaknya, atau
seorang putri
cantik seperti ibunya, eh Geni apakah benar
aku ini cantik?"
"Sudah kukatakan tadi, kamu cantik
macam dewi-dewi,
tetapi apa benar kamu ingin hamil?"
Sekar mencium dada suaminya, beralih ke
leher di mana
gigitannya dulu masih membekas. "Bekas
gigitanku masih ada,
tandanya kamu tak akan pernah bisa lupa
padaku, Geni."
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, kamu
ingin hamil?"
Sekar manggut. "Aku pikir aku harus
hamil, sebab jika
Gayatri atau Prawesti hamil sedangkan aku
tidak, bisa-bisa
cintamu lebih condong kepada mereka. Kamu
ingat malam itu
di hutan, pertama kaU kita bercinta setelah
aku selesai
berguru pada nenek. Kau ingat bagaimana aku
menikmati
cintamu. Kita bercinta begitu Uar dan bernafsu.
Malam itu aku
sudah mempersiapkan diri untuk hamil."
Geni tertawa. "Kamu hebat Sekar,
perangkap cintamu
membuat aku makin hari makin kasmaran
padamu. Boleh! Aku
ijinkan kamu hamil. Biar perutmu nantinya
gendut, tetapi aku
yakin kamu akan merancang jurus cinta yang
baru."
Sekar memeluk dan mengusap tubuh suaminya
dengan
lembut. 'Terimakasih, atas ijinmu, suamiku.
Kamu tahu Geni,
aku tak peduli berapa perempuan yang menjadi
isterimu
selama aku tetap yang nomor satu seperti
sekarang ini. Dan
aku sungguh-sungguh akan mempertahankan
cintamu padaku
ini."
Dua kekasih itu bergumul lagi, bercinta dan
bercinta. Siang
hari ketika sinar mentari menerobos goa,
keduanya kembali ke
rumah. Tampak sebagian orang sibuk berkerja,
sebagian lain
berlatih silat. Sedang para wanita
menyediakan makanan.
Sekar menarik Gayatri dan Prawesti ke tempat
sunyi. Tiga
perempuan itu membicarakan sesuatu. Mereka
tertawa-tawa.
Malam itu usai makan, Gayatri berbisik di
telinga suaminya,
"Geni, kamu tadi malam bercinta dengan
Sekar di goa kecil di
atas tebing. Kata Sekar, goa itu namanya Goa
Cinta, tebingnya
kaunamakan Tebing Cinta. Di malam hari
pemandangannya
indah. Benarkah?"
Geni memeluk Gayatri. Ia mencium harum bunga
melati di
rambut sang isteri. Geni berkata lirih
kepada Gayatri tetapi
bisa didengar Sekar dan Prawesti. "Aku
memang mau
mengajak kamu ke sana!"
"Aku sudah rindu, dua hari rasanya
cukup lama, ayo, Geni
kita pergi."
Keduanya berkelebat mendaki tebing. Seperti
halnya Sekar,
Gayatri juga terpesona indahnya pemandangan
di tempat itu.
Geni menyalakan obor kemudian membawa
isterinya masuk.
Begitu rebah di tumpukan rumput kering.
Gayatri
menampar pundak sang suami. Berulang-ulang
sambil berkata
manja, "Kamu curang, kamu tidak
mengajak aku ke sini. Kamu
hanya mengajak Sekar. Goa ini kan cukup luas
untuk kita
bertiga"
Geni memeluk, menciumi leher dan ketiak
isterinya. Tidak
tahan menahan geli, Gayatri meronta. Makin
meronta, makin
erat Geni menggumulinya Pada akhirnya
perempuan itu
tenggelam dalam kenikmatan yang sudah
menjadi semacam
candu. Selesai bercinta keduanya tertidur
lelap, berpelukan
dalam keadaan bugil.
Tengah malam menjelang fajar, Gayatri
terjaga Ia melihat
Geni tidur lelap di samping. Gayatri menatap
kekasihnya
"Lelaki ini telah membuat aku lupa
daratan. Ia tidak begitu
tampan, banyak lelaki lain lebih tampan.
Tetapi ia punya daya
tarik yang liar dan aneh. Hanya satu kali
jumpa dengannya,
aku langsung jatuh cinta Itu juga gara-gara
dia menciumku."
Pikiran liar ini membuat Gayatri tersenyum
sendiri.
Tiba-tiba Geni merangkul erat isterinya
"Apa yang
membuat kamu tersenyum."
"Aku memikirkan lelaki yang kurangajar,
yang mencium
paksa seorang wanita yang sedang tidak
bertenaga dan tak
kuasa melawan."
"Pertama-tama kamu marah, tetapi
beberapa saat
kemudian kamu membalas ciumanku, kita
berciuman lama."
"Tidak hanya itu, kamu juga memeluk
erat tubuhku, buah
dadaku ini kau himpit ke dadamu, aku sulit
bernafas. Apakah
kamu selalu berkelakuan liar seperti itu
terhadap perempuan?"
Geni menggeleng. "Tidak pernah. Baru
satu kali itu, dan
entah mengapa mendadak saja timbul kenakalan
menggodamu. Kupikir saat itu aku sudah
mencintaimu."
"Cinta! Kau bilang cinta kepada semua
perempuan yang
kau temui dan yang kau suka, kepada aku,
Wulan, Sekar,
Prawesti, Ekadasa dan entah siapa lagi yang
aku tak pernah
kenal. Tetapi aku tidak seperti itu, cintaku
hanya satu, dan
sudah kuberikan seluruhnya padamu, aku tak
mungkin
mencintai lelaki lain."
"Aku memang merasa diriku ini aneh, aku
bisa mencintai
banyak perempuan jika aku bernafsu atau
terangsang birahi
melihat kecantikan wajah dan tubuhnya.
Tetapi terus terang
saja cuma dua perempuan yang benar-benar
kucinta, Gayatri
dan Sekar. Aku tak mau kehilangan kalian
berdua."
"Bagaimana dengan Prawesti?"
"Sama halnya perasaanku terhadap
perempuan lain, nafsu
dan birahi. Tetapi Prawesti, lebih istimewa
dari Ekadasa,
karena aku kasihan dan sayang padanya. Westi
juga banyak
berkorban menolong aku saat aku dalam
kesulitan."
"Geni kekasihku, aku merasa bersalah
jika tidak
mengatakan hal ini kepadamu, karena aku
harus berlaku jujur
padamu sekarang dan selamanya."
Geni memeluk dan mengelus kepala isterinya,
"Katakan!"
"Di Argowayang saat aku mengetahui kamu
adalah Wisang
Geni, aku marah karena merasa kau telah
sengaja menipu
aku. Kau telah mencuri perawanku, sesuatu
yang suci yang
paling kujaga dan menjadi lambang
kehormatanku. Aku
membencimu, aku ingin membunuhmu Tetapi aku
juga
mencintaimu" Gayatri menangis tetapi
juga tersenyum "Ketika
kamu pergi bersama Sekar, aku sudah mengatur
rencana akan
membunuhmu di rumahku. Kamu akan kuracuni
biar mati
Tetapi aku tak mampu melakukan itu. Saat
memegang racun
saat itu juga aku tahu pasti dalam lubuk
hatiku aku
mencintaimu, sangat mencintaimu. Mau kamu
memaafkan
aku, suamiku?"
Geni mencium mata isterinya yang basah air
mata. "Aku
maafkan, tetapi kau melakukan hal yang
bodoh, bertarung
dengan jurus mati hidup. Hampir saja aku
atau kamu menjadi
korban."
"Aku tak pernah tarung, tak punya
pengalaman tarung.
Sewaktu di Himalaya aku hanya tarung lawan
perampok atau
penjahat kecil untuk membela kaum tertindas,
ku pun ada
kakak yang mengawasi, siap membantuku. Aku
terpaksa harus
tarung denganmu"
"Karena balas dendam kakekmu? Atau
kesal dan benci
padaku?"
"Dua-duanya salah! Yang benar, aku
harus memenuhi
sumpahku. Aku pernah bersumpah pada ayah dan
ibu, bahwa
laki-laki yang menjadi suamiku harus bisa
silat dan lebih jago
dari aku. Itu sumpahku, makanya aku senang
kamuyang
menang."
"Mengapa demikian, aneh?!"
Gayatri tertawa. Kesedihannya sudah hilang.
"Jika aku
menang, maka sesuai sumpahku, kamu tidak
boleh menjadi
suamiku, padahal setelah malam di desa
Gondang itu kamu
sebenarnya sudah menjadi suamiku. Untung
saja kamu yang
menang sehingga aku terbebas dari sumpah
itu."
"Sebenarnya mudah, kamu tak perlu
menyerang sungguhsungguh
supaya kamu kalah atau bisa saja kamu
pura-pura
kalah."
"Tidak boleh begitu! Aku harus tarung
sungguh-sungguh
dan dengan jurus yang paling kuhandalkan.
Itu sebab aku
memainkan jurus maut Dinak Din Naachu Mein
Gae Dil jumne
Zamana (Aku menari, hati menyanyi dan dunia
bergembira).
Tadinya kami bertiga sepakat, jika kamu
jatuh maka tarian
kuhentikan. Jika sampai tarian itu selesai
dan kamu tetap
segar bugar, tarian dengan sendirinya
berhenti dan aku
kalah."
Geni menikmati cerita itu, ia menyukai gerak
dan mimik
wajah cantik di hadapannya. "Tetapi
Geni, semua tiba-tiba
menjadi kacau. Ketika kamu jatuh seharusnya
tarian
kuhentikan, tetapi aku seperti tidak sadar.
Samar-samar aku
berpikir mengapa tak bisa menghentikan
tarian, pikiran itu
hanya sekilas. Pikiranku saat itu dipenuhi
ingatan bahwa aku
mencintaimu, aku kasmaran padamu, aku tak
bisa hidup
sendiri tanpa kamu di sisiku."
"Ketika kamu jatuh, kupikir kamu sudah
kalah tetapi saat
berikut kamu bangkit seketika aku merasa ada
sesuatu yang
menghantam keseimbangan tubuhku. Pasti itu
penolakan
tenaga batinmu, yang lebih besar dan lebih
kuat dari tenaga
kami bertiga Selanjutnya aku tidak ingat,
yang kuingat ketika
pukulan melanda tubuhku, aku melihat wajah
dua perempuan,
setelah itu aku pingsan. Belakangan Urmila
dan Shamita
bercerita bahwa kau melompat menerjang dua
perempuan itu
dan menolong aku. Lalu aku ingat ketika kamu
menolong dan
menciumku di depan semua orang. Saat itu aku
merasa
bahagia mendapatkan suami yang lebih jago
dari aku dan
memperoleh ciuman yang selalu kumimpikan."
Geni tertawa menggoda, "Tadinya aku
bingung dan panik,
aku lega ketika merasa kau membalas
ciumanku."
Perempuan itu membalik tubuh, menelungkup di
atas tubuh
Geni, ia menatap suaminya mesra "Aku
sudah bilang, aku
menyintamu pada saat kamu menciumku di gubuk
reyot itu,
kamu membuat aku tergila-gila, aku tak bisa
tidur, aku tidak
tenang, aku mudah marah. Kau tahu Geni, pada
saat kau
pergi ke istana, meninggalkan aku di hutan
dan berjanji
menemui aku di desa Gondang, malam harinya
aku menyesal
dan berkata pada diri sendiri seharusnya aku
ikut ke mana
pun kamu pergi."
"Jika kamu ikut aku, tentu aku tak
perlu meniduri Ekadasa.
Aku bisa meniduri kamu"
Gayatri mencubit mulut suaminya. "Mana
bisa, kau tak
mungkin bisa meniduri aku, aku bukan
perempuan
gampangan."
"Buktinya malam itu di desa Gondang aku
berhasil
menidurimu" Geni tertawa dan
melanjutkan, "Aku yakin kita
saling mencinta."
Gayatri mencium suaminya. "Malam itu
aku sedang gelisah,
aku memikirkan kamu, kesal dan kecewa tetapi
aku merindu.
Terus terang saja, waktu itu aku sedang
kasmaran, aku
merasa tubuhku menuntut kehadiranmu Maka
ketika kamu
muncul dan menyentuh dan mencium aku, aku
tak bisa
berpikir normal, rangsangan birahi itu
menguasai diriku. Tetapi
sebelum itu, aku sudah berpikir matang,
bahwa jika kamu
merayuku dan mengajak bercinta, aku
bersedia. Alasanku, jika
seandainya aku tidak beruntung dan harus
kawin dengan
lelaki yang tidak kusuka namun yang dipilih
ayahku, maka
biarlah dia menerima tubuhku yang sudah
tidak perawan lagi.
Dan tubuhku ini kuberikan kepada orang yang
memang
kucinta dan mencintai aku."
"Waktu itu kamu percaya bahwa aku
mencintaimu Kamu
yakin pada janjiku akan mengawinimu"
"Mungkin aku berlaku bodoh saat itu,
tetapi aku sudah
yakin sejak di hutan itu bahwa kamu sungguh
mencintaiku
dan bahwa kamu tidak berpura-pura, aku yakin
dan percaya
pada naluriku."
Geni merangkul isterinya, mencium mesra.
Keduanya
kembali memadu kasih, untuk kesekian
kalinya. Beberapa
lama kemudian Gayatri tergeletak kelelahan.
Terengah-engah
ia berkata, "Geni, tenagamu itu, aku
heran bagaimana
mungkin kamu tak pernah lelah, kamu bisa
sepanjang malam
sepanjang hari meniduri aku, besoknya dengan
Sekar
terkadang dengan Prawesti juga, apakah kau
tidak berpikir
tenagamu susut pada saat kamu butuh tenagamu
itu dalam
pertarungan."
Geni merenung. "Tenaga Wiwaha ini
kuperoleh dari
peninggalan pendekar Lalawa yang konon
menurut guru
Padeksa, ia hidup di zaman baginda raja
Erlangga, itu artinya
ratusan tahun lampau. Belakangan aku tahu
rahasia paling
hebat dari ilmu Wiwaha ini, dia akan
bereaksi langsung jika
tubuhku diserang penyakit, racun, lelah, apa
saja yang tidak
disukai pikiranku. Tenaga Wiwaha ini membuat
aku selalu
segar, tak pernah lelah. Balikan jika
selesai bercinta aku justru
merasa lebih segar."
Tiba-tiba Gayatri memukul-mukul dada Geni.
"Kamu akan
awet muda tidak pernah menjadi tua. Suatu
ketika aku sudah
tua dan kau pasti akan mencari gadis yang
lebih muda."
Geni tertawa terbahak-bahak. "Gayatri,
kau salah, aku tidak
bisa awet muda, tidak ada ilmu seperti itu.
Aku laki-laki biasa,
aku akan menjadi tua seperti juga semua
manusia. Justru aku
khawatirkan kamu isteriku, kamu jauh lebih
muda dari usiaku,
pasti jika aku sudah tua, kamu akan mencari
lelaki lain yang
jauh lebih muda."
Sekarang Gayatri yang tertawa.
"Menurutku sepuluh lakilaki
muda tak akan bisa memberi kepuasan kepadaku
seperti
kamu memuaskan aku, kamu memang penjahat
penakluk
wanita. Pantas Ekadasa mengejar-ngejar kamu
dan hampir
membunuhku. Hanya semalam saja kamu tiduri
dia tetapi
seumur hidup dia tidak akan bisa melupakan
kamu. Memang
kamu penjahat penakluk perempuan." Saat
berikut Gayatri
tertidur. Ia kehabisan tenaga.
Matahari tertutup mendung tebal. Tak lama
kemudian
hujan deras. Guruh dan halilintar saling
sahut. Tebing seakan
bergetar. Geni memerhatikan keindahan tubuh
bugil isterinya
di antara remangnya cahaya mentari yang
menerobos selasela
pintu goa. Perempuan itu tidur pulas. Ia
bahkan tak
mendengar suara guruh dan halilintar yang
mengiringi
turunnya hujan deras.
Geni bersila melancarkan aliran Wiwaha. Ia
memegang
telapak kaki Gayatri, menyalurkan tenaga.
Hawa panas dingin
bergantian merambah seantero tubuh sang
isteri. Perempuan
itu masih tidur lelap. Ia tersenyum dalam
tidur.
Lama berselang Gayatri membuka mata. Di luar
goa masih
hujan. Geni melepas kaki isterinya.
"Bagaimana keadaanmu
sekarang?"
Gayatri mengangguk. Ia tampak segar. Kulit
wajah yang
putih tampak kemerahan, berseri memancarkan
cahaya
bahagia. "Aku sudah segar kembali,
tenagaku sudah pulih
kembali, aku siap melayanimu lagi. Tetapi
terus terang saja,
aku lapar, sangat lapar."
Melihat Geni berdiri. "Aku akan
menangkap ikan, kau
tunggu di sini."
”Tidak, aku tak mau tunggu di sini, aku
ikut."
Tebing itu licin namun dengan ilmu ringan
tubuh yang
sudah mencapai puncak kemahiran, Geni dan
Gayatri dengan
mudah menuruni tebing. Keduanya tiba di
danau. Hujan masih
deras. Keduanya basah kuyup.
Gayatri menangkap ikan dengan senjata tali.
"Geni, lihat
tujuh ekor besar dan gemuk Ayo kita
panggang, aku sudah
lapar." Geni tidak menjawab sebab masih
terpesona
memandang isterinya, pakaian Gayatri basah
kuyup melekat di
tubuh memperlihatkan lekuk tubuhnya yang
molek. Gayatri
berseru, "Geni jangan melamun, ayo kita
kembali ke rumah."
Esok harinya, Geni beserta semua anggota
rombongan
berangkat menuju desa Bangsal. Geni
menunggang si hitam,
Gayatri berdua Sekar menunggang si putih.
Prawesti bingung.
Geni berseru, "Westi, kamu naik si
hitam bersamaku."
Tanpa diperintah lagi, Prawesti melompat di
depan
suaminya. Ia berbisik lirih, "Nanti
kalau kamu terangsang
bagaimana?"
Geni berbisik di telinganya, "Nanti
malam kita cari tempat
sunyi"
Sekar dan Gayatri tertawa melihat lagak
Geni. Tangan lelaki
itu melingkar di atas perut isterinya.
Sekali-sekali tangan itu
pasti menjamah buah dada Prawesti.
Rombongan lain ada yang menunggang kuda,
sebagian lain
naik kereta kuda. Semua orang berdebar
tegang, ini tarung
hidup mati bagi Wisang Geni. Semua orang
dengan pikiran
masing-masing.
Tadi malam, Gajah Lengar dan Gajah Nila
telah melakukan
ritual perpisahan dengan isteri
masing-masing. Dua
perempuan itu menangis haru merasa tidak
akan bertemu lagi
karena mengerti suaminya siap mengorbankan
nyawa
membela Wisang Geni.
Dua hari perjalanan, mereka tiba di desa
Bangsal. Tidak
seperti biasa, tiga hari belakangan ini
banyak pendekar datang
dan nginap di desa. Rumah-rumah penduduk
tidak cukup
untuk menampung. Geni dan rombongan akhirnya
menemukan tempat berteduh di tepi hutan. Di
sekitar hutan
itu banyak pendekar membangun gubuk darurat.
Murid Lemah
Tulis dipimpin Gajah Lengar dengan cepat
mendirikan tiga
gubuk darurat yang cukup besar.
Malam hari semua murid Lemah Tulis
istirahat. Wisang Geni
dan Prawesti duduk berdampingan di luar
gubuk Sekar dan
Gayatri bersama wanita lain berbincang di
dalam. Geni
memeluk isterinya, tangannya merambah ke
dalam kebaya.
"Kita pergi ke desa, aku sudah menyewa
satu rumah kecil
untuk satu malam ini. Kita ke sana
Westi."
Fajar menyingsing. Dua insan itu masih
lelap, berpelukan
dalam keadaan bugil. Cahaya merah mentari
menerobos selasela
pintu, menerangi wajah manis Prawesti yang
tidur
menghadap pintu. Tak lama kemudian, Geni
terjaga Ia
membangunkan Prawesti, mencium isterinya.
Keduanya cepat
berpakaian, kembali ke gubuk di mana
rombongan berada.
Pagi itu semua di gubuk sibuk menyiapkan makanan.
Prawesti dan Gayatri beserta beberapa murid
perempuan.
Geni duduk sendirian di luar. Setelah
makanan siap, tiga
isterinya menghampiri Geni. Ketiganya duduk
mengelilingi
Geni. Mereka makan bersama.
Sekar beringsut mendekati suaminya, ia
berkata perlahan,
"Besok pertarungan dimulai, aku dan
Gayatri mau ikut tarung!
Kami sudah berunding. Prawesti karena ilmu
silatnya belum
mumpuni, ia hanya akan membantu semua
persiapan. Dan ia
yang akan melayanimu jika kamu ingin
bercinta."
Geni terkejut. "Jangan, tarung ini amat
berbahaya,
seseorang bisa mati atau luka parah Aku
tidak mau kalian luka
apalagi mati"
"Semuanya tergantung pada ijinmu,
tetapi kami berdua
punya hak untuk ikut tarung membela suami.
Kami punya hak
karena kami adalah isterimu." Nada
bicara Gayatri
mengandung keputusan yang teguh.
Prawesti ikut bicara. "Kemarin ada yang
mengantar
undangan pendeta Macukunda, para pendekar
kumpul nanti
malam untuk merundingkan segala sesuatu
menyangkut
tarung."
"Kami ikut! Kau harus bisa meyakinkan
mereka agar kami
masuk daftar tarung." Sekar menatap
Geni yang sedang
merenung. Geni mengangguk. Tetapi matanya
menerawang,
memikirkan sesuatu.
"Mengapa melamun, apa yang kamu
pikirkan, ketua?"
tanya Prawesti yang tidak bisa menghilangkan
kebiasaan
memanggil suaminya dengan sebutan ketua.
"Aku sedang mengingat jurus-jurus yang
dimainkan Sam
Hong dan juga Sin Thong serta Pak Beng.
Kupikir semua jurus
silat itu tidak berbeda jauh, satu sama
lainnya. Yang berbeda
hanyalah pikiran, bobot tenaga dan terutama
nasib alias
keberuntungan."
0 komentar:
Posting Komentar