Yudistira tahu jurus apa itu! Arjapura
pernah menceritakan
kepadanya tentang hebatya jurus Bahutzara
Hashtato
Tothodasa Pagal Chaknahai (Tertawa terus dan
kamu akan
seperti orang gila).
"Tidak lama lagi kamu akan gila, kamu
mati, lalu isterimu
akan menjadi isteriku, Yudistira tak bisa
menghalangi karena
sudah bersumpah merestui jodohku dengan
Gayatri. Aku akan
meniduri isterimu yang montok itu setiap
pagi, setiap siang
dan setiap malam. Tetapi aku juga akan
memukulinya setiap
hari lantaran sudah berani mengkhianati
cintaku," suara
Wasudeva itu mendengung dan menusuk serta
menggelitik
telinga Wisang Geni.
Geni limbung, pikirannya terganggu. Tetapi
bayangan
Gayatri ditiduri dan disiksa lelaki itu
memancing amarah Geni.
Memang ungkapan dan suara Wasudeva yang
dikemas
dengan kekuatan tenaga sihir itu bertujuan
membangkitkan
amarah dan membuyarkan konsentrasi Geni
sehingga mudah
dihancurkan.
Memang benar adanya, pikiran Wisang Geni
terganggu.
Beberapa jurus berikutnya, dua pukulan
menerpa dada dan
pundaknya. Wasudeva berteriak, "Mampus
kamu" Wasudeva
menambah bobot serangan sambil berkata
tajam, "Gayatri
akan kupaksa melahirkan anak-anakku, ia
kuperkosa dengan
kasar setiap hari, tak pernah berhenti dan
kamu akan
menyaksikan itu dari dalam kuburanmu"
Teringat akan sifat
angin yang bisa melenyapkan suara apa saja,
Geni sadar
bahwa dia tidak boleh membiarkan tenaga
suara lawan
mengganggunya. Dia kemudian meredam suara
keras di
telinganya dengan mendengarkan desir angin
sepoi,
"dengarlah suara angin, suara
keindahan alam, suara dari
alam kemerdekaan."
Dia berhasil menetralisir tekanan dan magis
sihir suara
lawannya. Meskipun demikian dia tetap
menangkap kata-kata
tajam Wasudeva yang menghina isterinya.
Ungkapan jorok
dan kasar lawannya itu telah mendorong
amarahnya melewati
puncak kesabaran.
Dalam marahnya secara spontan Geni memutar
tubuh
bagai gasing, gerakan itu telah menciptakan
pusaran angin
dingin yang keras, dua tangannya membuat
putaran lingkaran
kecil dan besar. Geni memukul, menggunakan
segenap tenaga
Wiwaha yang bagai air bah menerpa apa saja
yang
menghadang di depannya. Wasudeva pun memukul
dengan
seluruh kekuatan, dia yakin pukulannya akan
menghancurkan
tenaga Wisang Geni. Terdengar suara keras.
Dua tangan
bentrok, beradunya dua tenaga dahsyat.
Keduanya terpental.
Geni mundur dua langkah, dia berjongkok,
siaga untuk adu
pukulan lagi. Wasudeva terlempar empat
langkah, dia
menggeliat di lantai, matanya melotot penuh
kebencian. Dua
tangannya patah begitu pun dadanya yang
melesak ke dalam.
Darah meleleh tak hentinya dari mulut, hidung,
mata dan
telinga. Saat berikut dia mati tanpa
bersuara.
Wisang Geni memperlihatkan jurus
hebatnyayang
mengandalkan "sifat angin" dengan
tenaga Wiwaha yang
sempurna. Jurus itu telah menampung seluruh
tenaga pukulan
lawan dan mengembalikannya dalam sekejap
mata menjadi
satu pukulan dengan tenaga berlipat ganda
yang tidak
mungkin bisa diterima oleh kekuatan
Wasudeva.
Pertarungan itu dahsyat. Semua terpesona.
Saking leganya
karena lepas dari ketegangan, Satyawati lupa
memegang
tangan putrinya. Gayatri melepaskan diri
dari pegangan
ibunya. Dia melompat dan memeluk suaminya.
"Kamu luka?"
Geni berkata lirih, "Aku tidak terluka.
Sebenarnya aku tak
ingin membunuh, tetapi laki-laki itu tak
akan mau berhenti.
Aku tak punya pilihan lain. Gayatri, tadi
aku jatuh dan muntah
darah karena terlalu letih. Kamu tahu, aku
melakukan
perjalanan lima hari tanpa istirahat dari
gunung Bromo ke
Welirang dan langsung menuju Jedung. Aku
seperti orang gila
mendengar kabar kamu dibawa pulang ke
Himalaya. Apa saja
akan aku lakukan untukmu Gayatri. Apa pun
yang terjadi aku
tak pernah menyesal kawin denganmu, bahkan
aku sangat
bahagia. Dan kamu tahu kebahagiaan ini
begitu indah
sehingga layak jika harus kutukar dengan
jiwaku yang tak
berarti ini."
"Wasudeva pantas mati, perbuatannya yang
membuat
kakak Manisha mati, pantas untuk dibayar
dengan jiwanya.
Terimakasih kamu lelah membalaskan sakit
hati Manisha."
Gayatri bicara sambil tetap memeluk
suaminya. Dia tidak
malu-malu melakukan itu di depan orangtua
dan kakakkakaknya.
Sambil memeluk dan mengelus kepala Gayatri,
dia berkata
lirih, "Sesungguhnya aku sudah bosan
dengan perkelahian,
pertarungan, tak pernah ada habisnya. Dendam
tak pernah
akan habis. Jika kalah mati, jika menang
selalu ada orang
yang menuntut balas. Tidak akan pernah selesai.
Tidak lama
lagi, mungkin keluarga Wasudeva akan mencari
aku menuntut
balas, hutang nyawa bayar nyawa."
Yudistira mendengar semua perkataan Geni, ia
tak begitu
heran. Sesungguhnya dia tak pernah mengira
Geni bisa
mengalahkan Wasudeva. Bukankah tadi, beberapa
pukulan
Wasudeva telak menerpa tubuhnya. Dia masih
terpukau
dengan jurus yang dimainkan Wisang Geni,
jurus yang mampu
menciptakan pusaran angin topan dingin dan
yang terasa
sampai radius beberapa tombak.
Ayah Gayatri ini merasa kagum "Ilmu
silat anak muda ini
biasa saja, tetapi tenaga dalamnya sudah
mencapai tingkat
kelas utama. Bagaimana mungkin seorang yang
masih muda
bisa memiliki tenaga dalam setinggi itu.
Waktu aku seusia dia,
tenaga dalamku tak sehebat dia,"
katanya dalam hati.
Pada waktu itu, sang nakhoda perahu
menghampiri Gayatri
yang masih duduk di sisi suaminya. Ia
membungkuk memberi
hormat.
"Nona yang mulia, kami sudah terdesak
waktu, harus
berangkai secepatnya demi menghindari angin
topan di laut
dekat Malaka. Jika tidak berangkat hari ini,
kami harus
menunda tujuh hari dan semua pedagang ini
akan menderita
rugi besar. Mohon petunjuk nona."
Nakhoda itu berkata
dengan sopan dan ramah.
Gayatri bingung. Namun Yudistira dan
Satyawati lebih
bingung menyaksikan betapa nakhoda itu
tunduk dan patuh
pada Gayatri. Memecah kesunyian, Satyawati
berkata pada
suaminya, "Aku akan sangat gembira jika
kita menunda
keberangkatan, suamiku."
Yudistira bertanya pada nakhoda, adakah
perahu besar
menuju Malaka atau Puchet dalam waktu dekat
ini. Nakhoda
menjawab hormat "Ada perahu besar
datang dari Kuangchou
sekitar sepuluh hari lagi, biasanya berlabuh
di Jedung sekitar
empatbelas hari."
Yudistira menghela napas. Semua anggota
keluarga,
termasuk Gayatri dan Geni memandang wajah
lelaki itu,
menanti perinlah yang keluar dari mulutnya
"Kita tunda
keberangkatan. Barang dagangan yang mudah
busuk, kita jual
pada mereka." Ia menunjuk para pedagang
yang sejak awal
nonton dari pinggiran. "Kita turun
kedarat," berkata demikian
ia melangkah menuruni tangga perahu.
Nakhoda memberanikan diri bertanya,
"Tuan yang mulia,
bagaimana dengan mayat orang ini?"
"Dia mati dalam pertarungan secara
terhormat, dia mati di
atas lautan, maka tolong makamkan dia di
tengah laut dengan
penuh kehormatan, berapa biayanya minta pada
isteriku."
Yudistira melangkah menuruni tangga.
Arjun, Shankar dan isterinya mengatur
penjualan barang
dagangan serta memerintah pembantu dan
pekerja kapal
memindahkan barang lainnya ke darat. Tidak
lama kemudian
perahu itu melaut.
Pelabuhan Jedung mulai sepi, tinggal rombongan
Yudistira
yang sedang berteduh dari sengatan matahari
siang yang
terik. Mereka berteduh di sekitar pohon
beringin. Yudistira
jalan mondar-mandir. Semua mata mengikuti
gerak geriknya.
"Aku tak punya pilihan, hukuman tetap
harus dijalani, Gayatri
telah melakukan kesalahan besar, ia tetap
harus dihukum"
Semua orang diam Wisang Geni memberi hormat
pada
Yudistira, "Salam hormatku untuk paduka
yang mulia,
pendekar Yudistira."
Yudistira menegur dengan suara datar,
"Mengapa kamu
memanggil aku paduka yang mulia, aku bukan
raja, jangan
panggil aku dengan sebutan itu."
"Maaf, aku menyebut paduka yang mulia,
karena tuan
adalah raja bagi Gayatri, raja yang memegang
kekuasaan mati
dan hidupnya Gayatri. Dan Gayatri adalah
isteriku, maka aku
harus menyebut tuan dengan sebutan itu,
paduka yang mulia
Aku belum berani memanggil ayah mertua,
kecuali ada
perintah dari tuan."
Melihat Yudistira diam, Wisang Geni
melanjutkan bicara,
"Paduka tuan adalah ayah dari perempuan
paling istimewa
yang pernah kutemui dalam hidupku, aku
mencintainya
sepenuh hati, dan aku sangat berbahagia
lantaran dia telah
memberi aku, hari-hari penuh warna
cinta." Dia melanjutkan
setelah menelan ludah. Rasa gugupnya sudah
hilang. "Aku
patut berterimakasih padamu, karenanya layak
memberimu
sesuatu paling berharga milikku, yakni
nyawaku. Bunuhlah
aku, ini pemberian tulus yang menyelesaikan
semua persoalan
paduka tuan dan putri tuan serta semua orang
di dunia
persilatan, ambillah."
Yudistira berkata dingin, "Kamu pintar
bicara, apakah kamu
sungguh-sungguh mau berkorban jiwa untuk
isterimu?"
"Aku bersungguh-sungguh, aku tak akan
melawan,
seharusnya aku bunuh diri tetapi aku enggan
melakukan
perbuatan kaum pengecut. Aku bukan pengecut,
aku laki-laki
sejati. Inilah jalan yang kupilih, sebagai
tanda cintaku kepada
putrimu Tetapi sebagai permohonan terakhir
aku minta
isteriku dibebaskan dari hukuman, sayangilah
dia, cintailah
dia." Wisang Geni tersenyum pahit.
Satyawati dan seluruh keluarga diam terpaku.
Keringat
dingin. Yudistira menoleh pada putrinya.
"Kamu mau bicara, bicaralah."
Perempuan itu duduk bersanding suaminya, dia
merangkul
erat lengan suaminya. "Ayah, ibu dan
kakak juga kakak ipar,
aku ibarat Sawitri yang mencintai suaminya
tanpa pamrih.
Dalam hidup ini hanya satu kali aku dipilih
dan memilih. Aku
sudah tentukan pilihanku, dan aku tidak akan
bergeser dari
pilihanku. Jadi jika ayah membunuh suamiku,
maka harus
membunuh aku juga, bunuhlah kami bertiga
kalau memang
ayah tetap berpegang pada tradisi dan hukum
itu." Dia tak
sanggup menahan tangisnya lagi. Sementara
Geni di
sampingnya telah mematikan seluruh
perasaannya, dia sudah
tak peduli lagi dengan harapan ataukah
ancaman.
"Bukan bertiga, tetapi berlima."
Sekar mendekat duduk di
samping Gayatri. Tangannya merangkul pundak
Gayatri.
"Apa maksudmu, bertiga tadi? Maksudmu
lima, siapa lagi?"
Suara Yudistira agak ragu-ragu.
"Dia ada dalam kandunganku, dia anakku
berdua Wisang
Geni. Dan putrimu juga hamil, semua kami di
sini lima nyawa.
Satu di antaranya adalah cucumu sendiri itu
pun jika kamu
mau mengakuinya." Nada suara Sekar
datar, tidak ada
getaran rasa ragu dan takut.
"Jadi cerita itu benar, bahwa kalian
berdua hamil, dan
Gayatri putriku juga hamil?" Sepasang
mata Yudistira
menyelidik wajah putrinya, ingin menemukan
tanda
kebohongan di situ.
Tak ada kebohongan, Gayatri sudah berurai
airmata.
Matanya basah, kerongkongannya kering, ia
tak bisa bersuara.
Ia manggut-manggut. "Benar ayah, aku
hamil. Inilah akhir
hidupku, hilang harapan membahagiakan
suamiku dengan
memberinya seorang anak. Ke mana perginya
kebahagiaanku
itu?"
Lelaki itu mengembangkan tangannya yang
kekar. "Kemari
Gayatri, mendekatlah pada ayahmu"
Tetapi putrinya
menggeleng kepala. Suaranya serak,
patah-patah. "Aku tetap
dengan suamiku, tak mau berpisah dengannya,
bunuhlah
kami, cepat lakukan ayah supaya aku tidak
merasa sakit lagi."
Semua anggota keluarga tertegun. Drama itu
sangat
mengiris hati. Arjun dan Shankar protes,
"Ini tidak adil,
semuanya ulah Wasudeva tetapi kita
sekeluarga yang
menanggung deritanya. Ayah, kau pikirkan
dulu, mereka tidak
bersalah."
Satyawati, Susmita dan Ayeshak saling peluk
dengan
tangis. Ketiganya tak mau menyaksikan drama
gila itu.
Terdengar suara Yudistira, "Kemarilah
Gayatri, anak bodoh.
Kamu kira selama ini aku buta dan tuli? Aku
tak pernah
berpikir akan menghukum kamu, apalagi
membunuh atau
menyuruh kamu bunuh diri."
Ucapan itu mengejutkan semua orang yang
mendengarnya.
Wajah Gayatri menengadah menatap ayahnya.
Dia sepertinya
tak percaya mendengar ucapan ayahnya.
"Benarkah ayah
tidak menghukum aku?"
Sekali lagi Yudistira mengembangkan dua
tangan,
kemudian dia mengerahkan tenaga dalamnya.
Mendadak ada
pusaran angin besar membetot tubuh Gayatri.
Dia menarik
tubuh putrinya ke dalam pelukan. Tangannya
yang besar
mengelus kepala dan rambut Gayatri,
menengadahkan wajah
putrinya lalu menciumi pipi dan keningnya.
"Tidak, aku tidak
akan menghukum kamu atau pun suamimu."
Gayatri masih menangis. "Apakah karena
aku sedang
hamil?"
"Tidak benar. Sejak berada di negeri
Jawa ini, aku
mempelajari semua sebab dan akibat. Aku
tidak mau
membuat kesalahan dua kali. Aku sudah
kehilangan Manisha,
putriku yang kucintai, aku tak mau lagi
kehilangan kamu. Aku
sudah tahu banyak tentang perilaku Wasudeva,
aku tahu dia
ibarat binatang sedang putriku ibarat dewi,
tak akan mungkin
bersatu" Dia berhenti sesaat, kemudian
tertawa lirih. "Tetapi
aku terikat sumpah setia persahabatan, aku
tak berdaya,
syukurlah suamimu telah membebaskan aku dari
sumpahku,
Wasudeva sudah mati. Aku berterimakasih pada
Wisang Geni,
kamu kemarilah menantu!"
Wisang Geni berdiri dan menghampiri. Ia
memberi hormat
dengan menyentuh ujung kaki ayah mertuanya.
Yudistira
tertawa. Satyawati berdiri di sampingnya
ikut tertawa. "Entah
sudah berapa kali ia tertawa hari ini,
perubahan yang luar
biasa," gumam isterinya dalam hati.
Sebelah tangan Yudistira memeluk Gayatri,
tangan lainnya
merangkul Geni. Suara Gayatri terdengar
riang, "Ayah, apakah
suamiku sudah boleh memanggil ayah mertua
kepadamu?"
Yudistira tertawa. "Wisang Geni,
pergilah memberi hormat
pada ibu mertua dan kakak-kakak iparmu"
Setelah memberi hormat dan menyalami
keluarga isterinya,
Geni menghampiri isterinya. Gayatri melompat
dan merangkul
suaminya. "Aku bahagia sekarang, semua
beres. Tak ada lagi
ganjalan dalam hatiku, tak ada gundah, tak
ada ketakutan,
semua sudah selesai dan sesuai
keinginanku." Suara Gayatri
mesra. Kemudian dia lari menghambur memeluk
Sekar.
"Terimakasih mbakyu, kamu sudah banyak
membantu aku."
Keluarga besar itu berangkat kembali ke
gunung Welirang.
Yudistira mengaku menyukai suasana di lereng
gunung itu.
Tetapi tujuan utama sebenarnya adalah
merayakan
pernikahan Wisang Geni dengan Gayatri dan
Sekar. "Tetapi
kami bertiga sudah menikah dalam adat
Himalaya, ayah.
Lihat, aku tak pernah menanggalkan adat
kampungku kan?"
"Lantas siapa yang menikahkan kalian?"
Gayatri merasa terlanjur bicara. Kini ia
diam. Ingat janjinya
tidak akan membuka rahasia. Ayahnya pasti
akan menghukum
Kumara dan Malini juga Urmila dan Shamita.
Sekonyongkonyong
Yudistira berseru, "Hei, kalian
berempat keluar dari
persembunyianmu atau kuparahkan kakimu"
Dari balik rumah yang terpisah agak jauh,
Kumara, Malini,
Urmila dan Shamita, melangkah pelan. Ada
rasa khawatir.
"Hari ini aku membebaskan semua
kesalahan keluarga dan
muridku. Kalian ikut kita pergi ke rumah
Gayatri di lereng
gunung Welirang," kata Yudistira.
Di tempat agak terpisah Gayatri sedang
mengelus-elus
leher si Putih dan si Hitam. "Eh Geni,
mana Prawesti, apakah
dia menanti kita di rumah?"
Geni teringat Prawesti dan Manohara yang
mungkin tak
lama lagi akan tiba di Jedung. Geni memeluk
isterinya,
"Gayatri isteriku, aku ingin bicara
padamu tentang sesuatu
yang penting, tetapi kamu tak boleh marah,
pelan-pelan saja."
"Apa? Kamu mau cerita bahwa kamu sudah
mendapatkan
tambahan selir lagi, begitu?" Matanya
yang coklat menatap
suaminya. Dia tersenyum geli melihat Geni
serba kikuk.
Wisang Geni terkejut. "Bagaimana kamu
bisa tahu persis
apa yang hendak kuceritakan?"
Gayatri menunjuk ke arah Barat. Dua
perempuan berjalan
berdampingan dengan menuntun sepasang kuda.
Geni
berkata lirih. "Iya, gadis itu namanya
Manohara, dia yang
memberi aku bunga talasari."
Geni terpaku, ketika dua gadis itu muncul.
Prawesti
memeluk Gayatri, menciumi wajahnya. Gayatri
tertawa. Ia
menoleh pada Manohara yang berdiri terpaku
di situ.
Prawesti berkata pada gadis itu, "Ayo
cepat beri hormat
pada kakak Gayatri."
Manohara mendekati Gayatri. "Tetapi aku
rasa aku lebih
tua."
Gayatri memotong, "Manohara, namamu
Manohara kan?
Prawesti lebih tua dari aku, kamu juga lebih
tua. Tetapi aturan
dalam rumah tangga Wisang Geni harus jelas.
Isteri pertama,
kamu panggil dia mbakyu Sekar meskipun kamu
lebih tua. Aku
isteri kedua, kamu juga harus panggil kakak.
Sebabnya, Sekar
dan aku adalah isteri, sedang kamu dan
Prawesti adalah selir
yang akan membantu dan melayani, bagaimana setuju?"
Tak perlu berpikir lama-lama Manohara cepat
mengangguk
mengiyakan. "Setuju, kakak
Gayatri."
Mendadak saja muncul Yudistira dan Satyawati
"Ada
kejadian apa? Siapa dua gadis cantik
ini?" tanya Satyawati
sambil mengamati Prawesti dan Manohara.
"Oh kalau kamu,
aku pernah melihatmu di Welirang,"
sambil ia menunjuk
Prawesti.
Wisang Geni diam serba salah. Manohara yang
lugu dan
berani, menjawab meski sedikit malu-malu,
"Kami adalah selir
kakangmas Geni."
Satyawati terkejut, menutup mulurnya dengan
tangan.
Tetapi sebelum ibu dan ayahnya mengucap
sepatah kata,
Gayatri berkata dalam bahasa Himalaya.
"Ayah, ibu, aku
setuju suamiku mengambil selir. Aku dan
Sekar berdua tidak
mampu melayaninya. Ayah tahu hampir setiap
malam bahkan
siang juga, suamiku maunya bercinta.
Lagipula Geni, Sekar
dan aku sudah memberitahu mereka, kami
berdua adalah
isteri sedang mereka berdua hanya selir atau
pembantu.
Apalagi sekarang aku dan Sekar sedang hamil,
sudah tentu
kami bagaikan permaisuri yang harus
dilayani. Sekarang ibu
dan ayah mengerti?"
Satyawati mengiyakan. "Kamu cerdas,
kupikir kamu bisa
mengatur persoalan rumah tanggamu."
Yudistira sambil tersenyum, "Kupikir
aku perlu belajar dari
anak mantuku."
Satyawati mencubit lengannya. "Jangan
sekali-kali belajar
ilmu itu, itu ilmu sesat," katanya
tertawa.
Setelah bebenah semua barang-barang bawaan,
rombongan Yudistira berangkat menuju gunung
Welirang.
Esok harinya, di tengah perjalanan Geni
berkata kepada ayah
dan ibu mertuanya. "Ada Prawesti dan
Manohara yang bisa
menjadi penunjuk jalan, aku bersama Sekar
dan Gayatri mau
mengambil jalan lain, nanti kita bertemu di
rumahku saja."
Yudistira menggoda. "Kenapa, kamu sudah
tidak tahan lagi
melihat isterimu? Sudah berapa hari kamu
berpisah
dengannya?"
Geni mengangguk dan tersenyum pada mertuanya.
"Tujuh
hari dan aku sudah hampir gila memikirkan
dia." Ia
menggamit lengan dua isterinya. Geni
melompat ke punggung
si Hitam, Gayatri berdua Sekar menunggang si
Putih.
Ketiganya kabur sambil tertawa-tawa. Gayatri
sudah kembali
kepada wataknya yang periang.
Arjun, Shankar, Ayeshak dan Susmita bertanya
pada
ayahnya.
Yudistira menjawab gembira, "Mereka
pergi berbulan
madu."
---ooo0dw0ooo---
Suatu hari di penghujung bulan Srawana,
Wisang Geni,
Sekar dan Gayatri duduk di tepian danau.
Manohara dan
Prawesti berlatih dan main-main di air
terjun bersama Susmita
dan Ayeshak.
Meskipun sudah makan jamu kuat talasari,
namun Sekar
dan Gayatri jarang berlatih silat Hari itu
keduanya sudah hamil
sekitar seratus hari, sudah lebih sepertiga
perjalanan "Menurut
hitungan ibu, aku akan melahirkan anakmu di
sekitar bulan
Magada, atau jika sedikit terlambat di bulan
Phalguna. Sekar
juga tak berselisih jauh dengan aku. Geni
kamu menyukai
anak perempuan atau laki-laki." Melihat
suaminya diam,
Gayatri melanjutkan, "Kalau di
kampungku, seorang suami
lebih suka jika punya anak laki-laki, bahkan
ada yang sangat
marah begitu mengetahui anaknya yang lahir
seorang baji
perempuan. Kamu sendiri bagaimana
Geni?"
"Aku tidak tahu, tetapi perasaanku sama
saja, tidak ada
bedanya anak laki-laki atau perempuan,
menurutmu anak itu
perempuan atau laki-laki?"
"Setelah ibu memeriksa kandunganku,
katanya anak lakilaki.
Sekar juga mengandung anak laki-laki."
"Ibumu punya ilmu meramal begitu?"
"Bukan meramal, di kampungku ibu sudah
membantu
seratus lebih ibu hamil yang melahirkan
anak, bahkan sebelum
lahir ibu bisa memastikan bayinya laki atau
perempuan. Ibu
ahli soal itu."
Geni mendekat, memeluk isterinya.
"Gayatri, bilang sama
ibumu, tetap saja tinggal di sini bersama
kita, supaya kamu
melahirkan dengan selamat."
Ada suara batuk kecil di belakang mereka.
Yudistira muncul
bersama Satyawati "Oh kamu mau ibu
mertuamu tinggal di
sini, lantas aku harus ke mana, kamu buang
aku ke mana,
menantu?"
"Oh tidak ayah mertua, kalau ibu mertua
menetap di sini,
tentu saja ayah mertua juga tinggal
bersama."
"Boleh saja. Tetapi ada syaratnya. Kamu
harus bisa
mengalahkan aku dalam pertarungan seru,
bagaimana bagus
kan syaratnya?"
Geni terkejut, apalagi Gayatri. Keduanya
berdiri dan
memandang dua orangtua itu. "Ayah,
apakah aku tidak salah
dengar?"
Yudistira menjelaskan pertarungan tersebut
merupakan
bagian dari janjinya pada ayahnya, pendekar
Himalaya,
Lahagawe. Bagaimanapun juga janji itu harus
disempurnakan.
"Kamu mewakili kakek gurumu, Suryajagad
dan aku
mewakili ayahku, Lahagawe. Kita tarung, jika
kamu menang
maka aku akan menetap di sini bersama
istriku sampai Gayatri
dan Sekar mdahirkan. Jika aku menang, aku
akan tentukan
apa yang kumau dan kamu sekeluarga tak boleh
ingkar. Aku
pikir ini cukup adil."
"Tidak bisa begitu, bagaimana mungkin
aku harus tarung
melawan ayah mertua sendiri, tidak
mungkin."
"Kamu tidak bisa menghindar, Geni. Ini
bagian dari hidup
yang sudah kamu jalani, dan bagian dari
hidupku juga. Kita
bertarung hanya sebatas menang dan kalah,
tak akan ada
yang terluka atau mati. Aku juga tak mau
melukai atau dilukai
menantuku sendiri."
Geni bingung. Tak menyangka akan ada
kejadian seperti
ini. "Percuma ayah mertua, aku jelas
tidak akan bisa
bertarung, bahkan bergerak pun mungkin tak
bisa.
Pertarungan ini aneh. Ayah mertua apakah tak
bisa dihindari
saja, jelas tak ada manfaat menang atau
kalah."
Satyawati menengahi "Geni, pertarungan
ini sudah harus
terjadi sesuai janji dan sumpah ayah
mertuamu Tetapi jalan
terbaik sudah kami pikirkan, tidak akan
menyalahi aturan
pertarungan juga tidak menimbulkan ancaman
bahaya cidera
atau maut. Kalian bertarung di atas
permukaan danau, dalam
jarak sepuluh tombak. Tidak ada bentrokan
tangan. Ayah
mertuamu akan memainkan dua jurus
andalannyayang harus
kamu patahkan yaitu Atehai Zaminpar Kabbijeh
Chand Sitare
(Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi)
dan Likhna Hai
Chandse Hokar (Aku akan menulisnya di
rembulan). Senjata
yang digunakan, adalah air. Siapa yang
tenggelam, dia kalah.
Geni, sebaiknya kau mainkan jurus paling
hebat dari kakek
Suryajagad dan ingat, kamu harus berupaya
menang agar ibu
bisa menemani Gayatri dan Sekar sampai
mereka berdua
melahirkan."
"Geni, kita bertarung pada senja
nanti," kata Yudistira yang
menggandeng isterinya kembali ke rumah. Geni
dan Gayatri
saling pandang.
Sekilas Wisang Geni teringat percakapannya
dengan
Gayatri beberapa waktu lalu. Waktu itu
Gayatri menjelaskan
kehebatan jurus andalan perguruannya, Likhna
Hai Chandse
Hokar (Aku akan menulisnya di rembulan).
Jurus ini
memerlukan pengerahan tenaga dalam tinggi,
untuk
mengolah benda di sekitar tubuh kemudian
melontarkannya
ke arah lawan. Bisa saja debu, daun-daunan,
bebatuan,
ranting dan pokok kayu Itu sebab dinamai
"menulisnya di
rembulan".
"Jurus itu diciptakan kakek setelah dia
pulang dari
kekalahan lawan Ki Suryajagad. Jurus
lainnya, Atehai
Zaminpar Kabbiyeh Chand Sitare (Kadang bulan
dan bintang
pun turun ke bumi), jurus yang menguras
tenaga lawan,
menarik dan menyalurkan ke bumi. Jurus ini
sudah lama,
namun belakangan mengalami perubahan
sehingga
berkembang kian tangguh."
Geni tukar pikiran dengan dua isterinya. Ia
pernah tarung
lawan Kumara dan Malini, dua tahun lampau.
Ia ingat
sepasang suami isteri itu menggunakan tenaga
bumi. Semua
pukulannya disedot dan ditarik kemudian
disalurkan ke bumi.
"Itulah jurus Atehai Zaminpar Khabiyeh
Chand Sitare
(Kadang bulan dan bintang pun turun ke
bumi), namun pasti
akan berlipat ganda kehebatannya jika
dimainkan ayah, kamu
harus hati-hati, bisa-bisa tenagamu dikuras
habis membuat
kamu tak mampu lagi meniduri aku," goda
Gayatri sambil
tertawa genit.
Perempuan itu tampak cantik luar biasa,
mataya berbinarbinar
dan mulutnya merah merekah. Geni tiba-tiba
saja
bergairah, ia memberi isyarat pada
isterinya. Gayatri
menggeleng. "Tak lama lagi kamu sudah
harus bertarung,
mana sempat lagi. Geni kamu harus bertarung
sungguhsungguh
supaya ibu bisa menetap bersama kita, kamu
harus
menang."
"Kamu membela siapa, ayahmu atau
suamimu?"
"Aku membela kamu suamiku, sebab
jikakamu menang,
aku tidak perlu pulang ke Himalaya
selama-lamanya dan ibu
bisa menemani kita sampai aku dan Sekar
melahirkan. Kamu
tahu Geni, terkadang aku takut memikirkan
saat melahirkan
nanti, pasti sakit. Aku akan bahagia jika
ibu ada di sampingku.
Makanya kamu harus menang."
Tidak lama berselang senja pun tiba. Seluruh
anggota
keluarga hadir, nonton di tepian danau. Tak
seorang pun
ketinggalan, termasuk Gajah Lengar, Gajah
Nila dan keluarga
serta murid Lemah Tulis.
Yudistira melangkah santai di atas permukaan
danau.
Kakinya melayang, tak tampak kecipak air,
pertanda
langkahnya sangat ringan Ia menanti di
tengah danau. Wisang
Geni masih di tepi danau sedang berpikir
tarung sungguhsungguh
atau sekadar tarung untuk mengalah.
"Jika kamu tak sungguh bertarung,
hukumannya akan
berat, mungkin saja kalian kubawa ke
Himalaya atau Gayatri
sendiri yang kubawa ke Himalaya," kata
si ayah mertua. "Ayo,
cepat menantu, aku sudah tidak sabar
lagi."
Tiba-tiba timbul kegembiraan dalam hati
Geni, mengapa
tidak menjajal ilmu silat ayah mertuanya.
"Selama ini boleh
dikata aku tak pernah kalah dalam
pertarungan. Aku tak
pernah dapat lawan imbang."
Berpikir begitu dia kemudian melangkah
santai ke tengah
danau. Sama hebatnya dengan Yudistira,
langkah Geni pun
tidak menyentuh permukaan air, kakinya
melayang.
Tanpa menanti lebih lama lagi, Yudistira
menggerakkan
tangan ke bawah berputar-putar, air danau di
sekitar
tubuhnya bergolak. Lalu tangan itu ke atas.
Bersamaan
gumpalan air yang besar ikut naik. Ia
memutar tangannya, air
itu membentuk bola besar di tangannya,
kemudian ia
mendorong, "Menantu, awas!"
Gumpalan air yang seperti bola, meluncur
deras ke arah
Wisang Geni. Di Himalaya yang sebagian
daerahnya selalu
tertutup salju, Yudistira biasa memainkan
jurus ini dengan
salju.
Terpisah sepuluh tombak Wisang Geni berdiri
menatap
ayah mertuanya. Ia melihat semua gerakan
tadi. "Berpikir
sederhana, pikiran lebih
cepat dari angin, pikiran lebih kuat
dari air, pikiran bisa
mengalahkan serangan lawan."
Dia memutar tubuh, putaran perlahan. Dua
tangan
mengembang ke samping memutar dalam bentuk
lingkaran
besar dari arah bawah ke atas. Air di
sekitar kakinya tersibak
dan meluncur dalam bentuk memanjang seperti
tongkatke
arah Yudistira. Gumpalan air bertemu di
tengah, beradu,
pecah berantakan dan luluh ke danau.
Pertarungan menggunakan air berlangsung
seru, makin
lama makin menarik. Gumpalan air yang
digunakan
menyerang lawan selalu berganti-ganti
bentuk. Yudistira
akhirnya memainkan jurus simpanannya.
"Anak mantu, tadi itu
aku hanya menggunakan jurus Likhna Hai
Chandse Hokar
(Aku akan menulisnya di rembulan), sekarang
aku
menggabungnya dengan jurus Atehai Zaminpar
Khabiyeh
Chand Sitare (Kadang bulan dan bintang pun
turun ke bumi),
hati-hati, kamu bisa tenggelam kena peluru
air ini."
Yudistira menggerakkan dua tangan,
mengangkat sebelah
kakinya bergantian, terkadang melompat dan
melayang di
udara. Hebat.
Serangan Geni seperti ditangkap dan
dikembalikan dengan
kecepatan lebih dahsyat. Hebatnya lagi, air
yang dikembalikan
itu semakin berat dan besar. Geni terpaksa
menghadapinya
dengan menyalurkan segenap tenaga Wiwaha.
Tetapi
serangan Yudistira semakin menggila,
"Awas anak mantu, ini
lebih hebat lagi" Bentuk air kini
menjadi lebih padat dan
meluncur deras ke arah Geni.
Geni kewalahan, hanya bisa bertahan. Geni
memutar tubuh
bagai gasing, tangannya ikut berputar, kaki
sebelahnya
diangkat Air di sekitar tubuhnya tersibak
membentengi
tubuhnya. Tenaga yang ia mainkan adalah
tenaga Wiwaha,
bergantian panas dan dingin.
Serangan Yudistira luruh ketika membentur
dinding tembok
air di seputar tubuh Geni. Akhirnya
Yudistira menghentikan
serangan, dia terengah-engah melangkah ke
tepian.
Sementara Geni masih memainkan jurus bela
dirinya. Ia
bahkan tidak tahu bahwa serangan ayah
mertuanya sudah
berhenti.
Terdengar teriakan Gayatri, menusuk gendang
telinganya.
"Geni, berhenti, tarung sudah selesai,
kamu bertarung
sendirian."
Saat berikutnya ia sadar, serangan sang ayah
mertua
sudah berhenti. Ia memperlambat gerakan
sampai akhirnya
berhenti. Geni kehabisan nafas, letih,
sangat letih. Ia tadi
telah mengerahkan Seantero kekuatan
batinnya, seperti pelita
kehabisan bahan bakai. Geni bahkan tak kuat
berdiri, ia
tenggelam
Gayatri hendak menolong namun Sekar yang
sudah
terbiasa latihan di laut kidul, bergerak
lebih cepat Sekar
menyelam dan menarik suaminya ke permukaan.
Nafas Geni
sengal-sengal. Keduanya berenang ke tepian.
Yudistira gembira. Dia tadi sengaja menguji
ilmu silat
menantunya. Dia kagum akan ketangguhan Geni.
Dia
mencolek lengan menantunya. "Geni, kamu
tadi kalah, jadi
ayah akan mengajak Gayatri pulang kampung ke
Himalaya."
Cepat Geni menyahut, "Tidak bisa, tadi
itu aku yang
menang, ayah mertua meninggalkan gelanggang
lebih dahulu,
itu tandanya kalah. Itu artinya ibu dan ayah
mertua harus
menetap di sini."
"Geni, bersikaplah sebagai ksatria,
kamu kalah, tadi kamu
tenggelam dan kalau aku tidak berteriak
memperingatkan,
tentu sampai sekarang kamu masih bersilat
sendirian di
danau, bahkan mungkin sampai besok."
Gayatri tertawa
cekikikan.
"Mengapa kamu berbalik membela ayahmu,
tadi kita
sepakat membantu aku melawan ayah
mertua." Geni
menepuk bokong isterinya. Gayatri membalas
mencubit
lengannya. Geni menoleh pada Sekar,
"Menurutmu siapa yang
menang, aku kan?" Sekar mengangkat
bahu, "Aku tidak ikut
campur," katanya sambil tertawa.
Dari jauh terdengar suara Satyawati,
"Geni, ayah mertuamu
sudah mengambil keputusan akan menetap di
sini. Ia ingin
menyaksikan kelahiran cucunya, katanya ia
akan memberi
obat agar cucunya tidak beruban seperti
Pendekar Tanah
Jawayang bernama Wisang Geni."
Geni tersenyum. Ia memandang dua isterinya
yang tampak
cantik. Sekar menjulurkan lidah, menggoda.
Satu tangan Geni
memeluk erat Sekar, satu lainnya menarik
Gayatri merapat.
Geni tampak bernafsu. Gayatri berbisik,
"Jangan di sini, aku
malu banyak ikan yang nonton. Ayo kita
bertiga ke Tebing
Cinta, kita bercinta sepuasnya semalaman.
Tidak ada yang
mengganggu, tak ada Manohara, tak ada
Prawesti."
"Baik, bertiga kita ke Tebing Cinta.
Aku ingin bercinta dan
memiliki kalian berdua malam ini dan
sepanjang hidupku.
Semua manusia harus tahu betapa aku
tergila-gila pada Sekar
dan Gayatri, isteriku, kekasihku dan
cintaku."
Selesai
---ooo0dw0ooo---
Data Pengarang :
John Halmahera, pria kelahiran Ternate tahun
1947 mulai
menulis pada tahun 1979 sebagai wartawan
olahraga di harian
Sinar Harapan. Menggemari Cabang sepakbola
menjadikannya
sebagai wartawan sepakbola. Pengalamannya di
berbagai
event luar negeri antara lain Piala Dunia
1982 (Spanyol) dan
1986 (Meksiko) serta beberapa Asian Games,
Sea Games dan
turnamen sepakbola Asia dan ASEAN lainnya.
Tahun 1985 koran Sinar Harapan dibredel, dan
enam bulan
kemudian berganti nama menjadi Suara
Pembaruan, dia masih
sebagai wartawan sepakbola, Tahun 1987 dia
keluar dari
Suara Pembaruan dan menjabat Pemimpin
Redaksi majalah
bulanan Popular.
Tahun 1990 keluar dari Popular dan menjadi
penulis
sepakbola freelance. Dalam kurun waktu
tersebut dia pun
menjadi komentator sepakbola (freelance)
sejak tahun 1985 di
TVRI sampai era tahun dua ribuan. Terakhir
tampil sebagai
komentator Piala Dunia 2006 di SCTV.
Pengalamannya sebagai wartawan sepakbola
mengantarnya menjadi pengurus PSSI
(Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia) dari tahun 1996 sebagai
sekretaris tim
nasional berlanjut sekretaris eksekutif
kemudian direktur
media dan sekarang ini sebagai manager umum
di Badan Liga
Indonesia (BLI) yang merupakan Badan otonom
dari PSSI.
Di sela-sela kesibukannya dia sempat
menyelesaikan novel
karya pertamanya, cerita silat yang
digarapnya selama hampir
satu tahun.
---ooo0dw0ooo---
0 komentar:
Posting Komentar