Gadis itu tertawa kecil. "Memang benar,
dan aku tidak perlu
malu mengatakan mencintaimu Aku memang
mencintaimu
sejak kita makan di warung itu, kau lelaki
berbudi mulia dan
bermoral baik."
"Dari mana kau tahu? Kau baru saja
mengenalku."
"Kau berbudi muka, karena kau tidak
jijik malah menolong
gadis buruk rupa bekas penderita cacar yang
mengalami
kesulitan. Kamu bermoral, karena mau jujur
mengatakan
kamu sudah punyakekasih, kau tidak
membohongi aku. Eh,
siapa nama gadis kekasihmu itu?"
"Wulan. Walang Wulan. Aku mencintainya,
aku berduka
karena aku bakal mati tanpa bertemu lagi
dengan dia."
"Apakah dia mencintaimu?"
"Ya dia mencintaiku seperti aku
mencintainya."
"Lalu, kenapa dia meninggalkan
kamu?"
"Bagaimana kamu tahu dia yang pergi
meninggalkan aku
bukan sebaliknya?"
Sekar tertawa, suaranya merdu "Aku
menerka asalan saja,
kenapa dia pergi, apa katanya?"
"Ia ingin sendiri, katanya dia ingin
memikirkan
hubungannya dengan aku."
"Perempuan bodoh."
"Eh, kau jangan mengatainya bodoh, dia
gadis yang cerdas
sama seperti kamu"
"Boleh saja dia cerdas, tetapi dia
tetap bodoh, karena apa?
Karena melepas sesuatu yang sudah dalam
genggaman. Kalau
dia sudah yakin bahwa kamu mencintainya dan
dia tahu
bahwa dia juga mencintaimu, lantas apalagi
yang harus dia
pikirkan."
Geni termenung. "Usianya lebih tua, ia
kakak perguruanku,
gurunya dan guruku sama-sama seperguruan. Ia
juga bibiku,
sebab ayahku dan ibuku adalah kakak
seperguruannya. Jadi ia
takut ditertawai orang."
Sekar tertawa kecil. "Memang bodoh.
Semua itu apa
urusannya? Yang penting kamu bukan ayahnya,
dia bukan
ibumu dan kamu bukan anaknya atau saudara
kandungnya.
Lagipula di dunia persilatan orang tidak
membicarakan hal-hal
seperti itu. Seperti aku, begitu aku
menyukaimu dan kamu
menyukaiku, itu sudah alasan kuat bagiku
membiarkan kamu
merenggut perawanku Jangan harap aku mau
bercinta dengan
laki-laki yang tidak kukenal atau yang tidak
kusukai. Kita
berada dalam dunia persilatan yang penuh
dengan orangorang
kasar dan yang sulit dipercaya."
Geni meneliti gadis di hadapannya. "Dia
ini cerdas, dan
jalan pikirannya terarah dan terpola. Jika
bekas cacar itu
sembuh dan lenyap, dia menjadi seorang
wanita yang sangat
cantik dan cerdas," pikirnya.
Timbul keinginan menggodanya.
"Bagaimana kamu begitu
yakin aku akan setia menjadi kekasihmu?
Bagaimana kalau
suatu waktu nanti aku pergi, kabur bersama
perempuan lain?"
Matanya berbinar-binar. "Aku akan
mengejarmu, bahkan
sampai ke neraka pun. Aku tak akan
membiarkan laki-laki
yang kucintai pergi begitu saja, apalagi dia
telah memerawani
aku"
"Maksudmu, kamu akan membunuh
aku?"
Sekar menggeleng. "Buat apa membunuhmu?
Kamu enak,
langsung mati, tetapi aku? Aku akan merana
kesepian
mengenang dirimu."
"Kamu akan membunuh perempuan
itu?"
Sekar menggeleng. "Membunuh perempuanmu
adalah
langkah terakhir. Pertama-tama, aku akan
nyelinap masuk
kamar tidurmu, membawa seember air yang sudah
aku
campur dengan lombok yang pedas, aku
siramkan air itu ke
tubuh kalian berdua," dia tertawa
cekikan.
Geni merasa lucu. "Kenapa kamu
tertawa?"
"Aku membayangkan kamu dan perempuanmu
saking
terkejutnya lari bertelanjang bulat."
Dia tertawa geli. Geni ikut
tertawa.
"Sekar, kamu tak boleh lakukan itu pada
Wulan. Karena dia
yang lebih awal mendapatkan cintaku."
"Iya aku tahu, Wulan yang pertama, aku
yang kedua,
mungkin saja akan ada yang ketiga dan
keempat. Tapi aku tak
peduli berapa perempuan yang kamu rayu dan
kamu tiduri,
selama kamu tetap mencintai aku dan tak
bosan bercinta
dengan aku, itu sudah cukup bagiku."
"Sesederhana itu?"
Sekar mengangguk. "Iya sederhana saja.
Itu sebab aku
katakan keputusan gadis yang pergi
meninggalkan lelaki yang
dia cintai dan mencintai dia, adalah
tindakan bodoh. Aku jadi
ingin ketemu dengan gadis bodoh yang bernama
Wulan itu."
"Kau jangan mengatai dia bodoh."
Sekar tertawa. "Baiklah aku berjanji
tidak akan
mengatainya bodoh lagi."
"Lantas mau apa kamu ketemu dia?"
"Mau menasehati dia supaya berpikir
cerdas, berpikir
sederhana saja dan jangan berpikir njelimet.
Eh, kau tadi
mengatakan ia lebih tua dari kamu, tentu ia
cantik."
"Ia memang lebih tua usia, tetapi ilmu
yang dipelajarinya
membuat ia tampak muda, sama seperti gadis
remaja. Dan
sangat cantik."
"Kamu sudah menidurinya?"
Geni mengangguk. "Berulang-ulang, tak
pernah bosan."
"Geni, coba kau bayangkan, seandainya
wajah dan tubuhku
bersih dan mulus tanpa ada bercak cacar,
apakah aku secantik
Wulan?"
Geni memandang Sekar di keremangan cahaya
api unggun
yang makin meredup. "Kamu cantik,
Sekar. Tetapi aku
mencintai Wulan."
Sekar menelungkup di atas tubuh Geni.
"Kamu teruslah
mencintai Wulan, aku tak akan menghalangimu
Aku tetap
mencintaimu dan aku sudah bahagia jika kau
mencintaiku
walau hanya semalam atau separuh malam. Pada
saat kau
terangsang birahi dan meniduriku, saat saat
seperti itu bagiku
adalah cinta. Bagiku, cinta sama dengan
nafsu birahi. Tak ada
nafsu, tak mungkin ada cinta. Tak ada cinta,
bisa saja ada
nafsu. Buktinya, kamu sendiri, kamu
mencintai Wulan, tetapi
kamu terangsang birahi dan meniduriku dengan
gairah."
Api unggun semakin kecil. Redup. Akhirnya
padam. Malam
menjadi kelam Geni menggeluti tubuh Sekar.
Apa yang
dikatakan Sekar semuanya benar. Ia tidak
mencintai Sekar,
tetapi rangsangan birahi lebih berperan Ia
tergila-gila akan
tubuh molek Sekar dan cara gadis itu
mencintainya.
Di tengah pergumulan, gadis itu berbisik
merdu di
telinganya. "Aku mau diobati nenek,
supaya aku tampak
cantik, supaya kamu tak akan bisa melupakan
aku. Aku tak
ingin kamu mencintaiku, yang aku inginkan
adalah kamu
selalu merindukan aku, merindukan tubuh dan
semua
kenikmatan yang kuberikan padamu Geni, aku
sendiri hanya
akan mencintaimu seorang, tak akan ada
lelaki lain dalam
hidupku, hari ini, besok dan hari-hari di
masa datang."
Keesokan pagi mereka melanjutkan perjalanan,
menempuh
jalan pintas lewat hutan. Selain menghindari
perjumpaan
dengan orang, Sekar memperkirakan senja atau
malam hari
akan tiba di Lembah Cemara Ia tahu keadaan
kritis terutama
racun ganas yang menyerang Wisang Geni.
Siang itu seusai
makan, racun ular salju menyerang Geni. Kali
ini rasa sakit
hampir tak tertahan. Geni mengerang. Rasa
sakit dan dingin
seperti akan membunuhnya. Sekar memeluk,
menciumi Geni.
Ia menangis melihat penderitaan kekasihnya.
"Geni, jangan
mati, nanti malam kita akan tiba, kekasihku
kau harus bisa
bertahan!"
Ketika serangan racun itu mereda, Geni
seperti orang
kehabisan tenaga Ia bahkan tak sanggup
mengangkat
tangannya. Sekar masih memeluknya, airmata
si gadis
membasahi pipinya. "Oh Geni, kamu
sangat menderita, aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk
menolongmu"
Geni memandang si gadis dengan senyum
dipaksa. "Dua
kali serangan lagi, aku pasti akan mati.
Sekar, tak ada
obatnya, lebih baik kamu tinggalkan aku
sendiri di sini, kamu
pulang ke rumah nenekmu, pergilah
Sekar."
Sekar menggeleng, menjawab sambil menangis,
"Tidak,
kamu tak boleh mati, tidak kuijinkan kamu
mati. Sekarang
juga kita berangkat ke Lembah Cemara"
Dia membantu Geni, susah payah ia menaikkan
Geni ke
atas punggung kuda. Ia melompat di belakang
kekasihnya,
satu tangan memeluk Geni, tangan lainnya
memegang kekang
kuda. Mereka menunggang satu kuda, kuda
lainnya dituntun
di belakang dengan tali yang agak panjang
Sekar memacu kudanya, memburu waktu, ia
harus tiba
secepatnya sebelum racun ular itu menyerang
lagi. Perjalanan
jauh. Ketika matahari mulai tergelincir ke
barat, Sekar
berteriak gembira. Ia memeluk kekasihnya,
"Geni, kamu lihat,
itu dia Lembah Cemara. Sebaiknya kita ganti
kuda, supaya
bisa lebih cepat"
Sekar melompat turun. Tetapi berbarengan
saat itu racun
menyerangnya, ia jatuh bergulingan. Ia
menjerit. Geni
terkejut, melompat dari kuda ingin menolong
Sekar.
Tetapi lantaran tak lagi punya tenaga yang
cukup, Geni pun
jatuh bergulingan
Geni merangkak mendekati Sekar. Ia memeluk
gadis itu
yang berontak kesakitan. Tak tahu harus
berbuat apa, Geni
menyodorkan tangan ke mulut Sekar. Tanpa
sadar Sekar
menggigit tangan Geni, ia menggigit
sekeras-kerasnya. Geni
meringis kesakitan, tetapi ia diam tak
bersuara. Ternyata
dengan menggigit itu Sekar bisa bertahan
dari rasa sakit.
Tidak lama kemudian gadis itu sadar,
sakitnya mereda dan
lenyap. Geni memandangnya dengan pandangan
aneh. Sekar
baru sadar bahwa mulurnya sedang menggigit
tangan
kekasihnya. Agak lemas, ia bangkit, memegang
tangan Geni.
Tampak bekas gigi yang dalam di tangan Geni,
sejengkal di
bawah siku. Bekas gigitan itu merah dan
masih mengeluarkan
darah. "Aku tidak sadar, tetapi mengapa
kamu membiarkan
tanganmu kugigit?"
Geni mencium gadis itu. "Aku ingin
meringankan
penderitaanmu, tak ada artinya tangan ini
dibanding apa yang
telah kau berikan padaku."
Sekar memeluknya erat. "Aku tidak salah
mencintai orang."
Ia cepat sadar ketika matanya tak melihat
kudanya. "Kemana
kuda itu pergi?" Ia bersiul. Tetapi
kuda-kuda itu sudah lari
jauh, lari menuju kebebasan. Keduanya saling
membimbing,
melangkah pelan-pelan menuju Lembah Cemara.
Senja
semakin mendekati malam Hutan cemara semakin
dekat.
Ketika keduanya tiba di batas Lembah Cemara,
matahari
sudah hampir tenggelam seluruhnya, ketika
itulah racun
menyerang Geni. Kali ini serangan semakin
ganas. Keringat
membasahi sekujur tubuhnya tapi ia pantang
bersuara. Ia tak
mau membuat Sekar kelewat sedih. Rasa sakit
yang menusuk
tulang membuat seluruh syaraf dan ototnya
menjerit, rasa
dingin membuat ia menggigil, seluruh
tubuhnya gemetar.
Geni hanya memikirkan mati atau pingsan
sajalah yang bisa
membuat ia melupakan sakitnya. Tetapi
keinginan untuk
pingsan pun tidak terpenuhi. Ia seperti harus
menjalani rasa
sakit ini. Sekar menangis, memeluk Geni
dengan erat, ia takut
kehilangan lelaki yang dicintainya itu.
Sekar berusaha segala daya, membuka baju
Geni,
membuka bajunya sendiri, menempelkan dadanya
ke dada
Geni. Sekar masih memiliki tenaga dalam
meskipun sudah
banyak berkurang, namun dengan memaksa diri
dia
memindahkan panas tubuhnya ke tubuh
kekasihnya. Geni
antara sadar dan pingsan mengigau.
"Bunuhlah aku, bebaskan
aku dari sakit ini, bunuhlah aku, tolong,
kau bunuhlah aku!"
Sekar semakin panik. Ia memeluk dan mencium
mulut
Geni. Mulut itu dingin, tubuh Geni dingin
dan gemetaran.
Dalam kepanikan, Sekar teringat neneknya.
"Semoga nenek
bisa mendengar siulanku." Sambil tetap
memeluk Geni, ia
menghirup nafas panjang kemudian
mengeluarkan siulan.
Tetapi itulah tenaga terakhir, sisa-sisa
tenaga yang masih
ada pada Sekar. Siulan itu seperti bisikan
lemah. Tak mungkin
bisa didengar orang. Sekar pingsan. Letih,
sedih dan putus
asa. Ia pingsan di atas tubuh Geni yang
masih menggigil
kedinginan.
Dua insan itu lama tidak bergerak Malam
merangkak
semakin kelam Geni mulai sadar, sakitnya
sudah mereda.
Tetapi ia tak mau bangkit atau bergerak ia
tahu Sekar pingsan
dengan telungkup di atas tubuhnya. Geni
memeluk gadis itu Ia
merasakan tubuh Sekar yang lunak. Gadis itu
sedang tidur.
Tadinya pingsan kini malahan tidur,
dimungkinkan jika
seseorang terlampau sedih, kecewa dan
ketakutan.
Tengah malam, embun mulai turun, Sekar
terjaga Ia kaget
merasa tangan Geni memeluknya. "Di mana
kita, Geni, kamu
masih hidup?"
Geni menciumnya. Tak terkirakan gembiranya,
Sekar
memeluk dan mencium kekasihnya. Dua anak
manusia itu
bergumul dalam kenikmatan nafsu di gelapnya
malam. Bulan
bersembunyi di balik mendung seakan malu
menyaksikan dua
kekasih yang bugil di alam terbuka.
Matahari pagi mulai mengintip dari arah
timur, Sekar
mencubit lengan kekasihnya. "Aku sudah
bilang, tak kuijinkan
kamu mau, kita sudah sampai di rumahku,
nenek pasti bisa
mengobatimu, jika dia tak sanggup maka tak
seorang pun di
kolong langit ini yang bisa menyembuhkanmu"
Keduanya bergegas mengenakan pakaian,
kemudian
melangkah masuk ke dalam pepohonan cemara.
Sekar
melangkah hati-hati, tangannya menuntun
tangan Geni dan
menghitung langkahnya. Ia melangkah ke kiri,
sebentar ke
kanan Terkadang mundur lantas maju lagi.
Terkadang
berhenti, berpikir sejenak lalu melangkah
lagi.
Akhirnya mereka sampai di sebuah rumah tua
di tengah
hutan cemara. Rumah berada di tengah empang
yang airnya
kehijauan dihiasi banyak bunga teratai. Tak
ada jembatan
Terdengar suara dari dalam rumah.
"Bocah nakal, akhirnya
kamu pulang juga, siapa yang kamu
bawa?"
"Namanya Wisang Geni, kami berdua kena
racun ganas,
racun ular salju."
Sekar belum selesai bicara ketika racun itu
menyerang. Ia
jatuh terbanting ke tanah, bergulingan di
tanah. Geni bergerak
hendak menolong, tetapi ia kalah cepat. Dari
dalam rumah
berkelebat sebuah bayangan. Bagai terbang ia
melayang
menggunakan bunga teratai sebagai batu
loncatan melewati
empang. Gerakannya sulit diikuti mata
telanjang. Cepat sekali
ia menyambar tubuh Sekar, menotok dada,
memeriksa nadi,
lalu mengurut dada dan punggung. Serangan
racun mereda.
Dia perempuan tua. Dia memakai semacam jubah
yang
longgar dan panjang, di dalamnya dia
mengenakan baju
lengan panjang dan celana sebatas mata kaki.
Rambutnya
disanggul rapi di atas kepala. Matanya tajam
seperti hendak
menelan Wisang Geni.
Dia melesat ke dalam rumah, kemudian
kembali. Ia
menggenggam seikat rumput warna warni.
Tangannya
bergerak cepat ke seluruh tubuh Sekar. Ia
memijit dada,
menepuk pelan punggung bagian atas gadis
itu.
"Huuuaaahhh!" Sekar muntahkan
darah hitam yang berkilat
kena sinar matahari. Nenek tua itu
menjejalkan seikat kecil
rumput ke mulut Sekar, mengambil air empang
dan
meminumkan pada cucunya.
"Ini racun ganas! Racun ini membunuh
secara perlahan
setelah sebelumnya si korban mengalami
penderitaan sakit
yang panjang. Orang itu sungguh kurang ajar,
tetapi mana
mungkin aku kalah, dalam tempo dua hari
racun itu akan
kupunahkan."
Sekar tertawa. "Kamu memang hebat, Nek,
kalau tidak,
mana mungkin kamu dijuluki Dewi Obat."
Ia menatap
neneknya dengan mimik manja. "Nek, kamu
tolong kawanku
ini, ia orang baik, ia menolong aku tanpa
pamrih, ia tak
pernah menghinaku, kamu harus menolongnya
Nek, lukanya
parah."
Dewi Obat bersungut-sungut. Ia menarik Sekar
menjauh
dari Geni, "Nduk, kamu tahu aku sudah
tak pernah menolong
orang luar, mengapa kamu membawa orang luar
ke rumah
kita, apakah dia tahu jalan masuk?"
Sekar memeluk neneknya. Tidak dia tidak akan
hafal
jalannya. ”Nek kamu harus tolong dia, kau
tahu Nek, Wisang
Geni itu murid Lemah Tulis. Dia dihajar
Kalayawana, dalam
keadaan luka parah dia dipaksa telan racun
ular salju. Orang
Himalaya itu mengejek bahwa tak ada orang di
negeri Jawa ini
yang bisa menolong Geni. Kurang ajar, dia
menghina, aku saja
merasa terhina."
Nenek itu memandang cucunya dengan mimik
Jenaka. "Aku
tahu kau sengaja memanasi aku, ternyata
berhasil, aku jadi
penasaran, apa benar tidak bisa
menyembuhkannya. Sekar,
kau harus jujur, kau pasti sudah kehilangan
perawanmu, dia
yang menidurimu?"
Sekar memeluk dan mencium leher neneknya,
berbisik.
"Memang dia! Beberapa kali, aku
mencintainya Nek!"
Sang nenek mendengus lirih. "Laki-laki
semua sama, mana
bisa dipercaya!"
Dia menghampiri Geni, memukul pelan, Geni
jatuh pingsan.
Sekar berteriak, terkejut. Dewi Obat
tertawa, "Dia cuma
pingsan supaya aku leluasa memeriksa."
Dia meraba nadi,
dada dan punggung. Wajahnya memucat
Ia menjauh dari Geni. Ia kembali mendekat,
memeriksa
mata, telinga, hidung dan mulut Geni.
"Gila, ini tak mungkin!"
Ia menempelkan telinga di dada Geni. Matanya
berkejapkejap,
menatap langit. Ia menggeleng kepala.
"Mana bisa ada
kejadian seperti ini. Dia sudah kehilangan
seluruh tenaga
cadangan, tapi aneh dia tidak mati!"
Setelah memeriksa, Dewi Obat menyadarkan
Geni,
menanyakan asal kejadiannya mendapat luka
separah itu.
Geni menceritakan seluruhnya. Dewi Obat diam
tak bersuara,
keningnya berkerut. Ia berpikir keras. Dalam
hati, ia tidak
yakin bisa menyembuhkan Geni.
"Akan kutolong sebisanya, kelihatannya
lukamu sangat
parah. Kamu dihantam pukulan dingin yang
merasuk sampai
di bagian paling dalam tubuhmu. Sulit
disembuhkan karena
pukulan itu menyerangmu pada saat tenagamu
kosong,
tenaga cadangan pun tak ada. Racun ular itu
tak bisa
membunuhmu Aku heran, kenapa kamu bisa
bertahan sampai
tiga-empat hari. Biasanya luka macam ini,
orang hanya bisa
bertahan satu hari. Aku yakin darahmu punya
penolak racun."
Nenek itu berhenti bicara, dia menoleh
memandang Sekar
yang tak sadar mencengkeram lengan neneknya.
Geni teringat
gurunya, Waragang yang telah membentuk
kekuatan menolak
racun dalam tubuhnya. Dia berterimakasih
pada guru
Waragang.
Nenek menatap tajam Geni kemudian
melanjutkan,
"Darahmu mampu menolak racun tetapi
sifat dingin racun
telah menambah bobot dingin pukulan
Kalayawana. Aku bisa
mengusir racun ular, karena sebagian besar
bisanya sudah
dilumpuhkan kekuatan darahmu Tapi rasa
dingin dalam
tubuhmu tidak bisa disembuhkan, dingin itu
akan menetap
terus di tubuhmu, kamu akan kedinginan makin
hari makin
parah sampai...." Dia menoleh memandang
Sekar yang
menangis terisak-isak.
Geni mengeluarkan nafas. "Terimakasih
Nek, atas
pertolonganmu, berapa lama aku masih bisa
hidup?"
Dewi Obat melangkah menuju empang. Ia
menoleh kepada
dua muda-mudi itu. "Sekar kau bawa dia,
ke gubuk di sebelah
timur. Aku akan persiapkan obatnya."
Tak lama kemudian dia
kembali membawa kotak kecil, mengeluarkan
delapan
mangkuk berbagai ukuran. Dia bekerja cepat,
mengurut,
menotok dan melekatkan mulut mangkuk ke
beberapa bagian
punggung.
Saat bersamaan Sekar mempersiapkan tungku
api dan
tempayan besar berisi air. Geni kemudian
berendam.
Api makin lama makin besar sampai titik
didih yang mana
Geni tak mampu bertahan. Geni melompat
keluar. Dia
berendam lagi, demikian berulang-ulang
sampai delapan
mangkuk itu lepas dengan sendirinya.
Dewi Obat memegang dan meraba nadi Geni.
"Lumayan,
sekarang tenaga cadanganmu mulai timbul Ada
harapan kau
bisa disembuhkan. Hanya aku belum
yakin," katanya. Ia
menotok beberapa jalan darah di perut dan
dada. Selang
sesaat Geni muntah darah kental, hitam dan
berkilat, Tiga kali
muntah.
Pagi hari itu udara dingin terasa menusuk
tulang. Embun
dan kabut menyelimuti gubuk kecil. Wisang
Geni tampak
sedang semedi. Ia sudah tiga hari menetap di
gubuk
menjalani pengobatan. Anehnya selama itu ia
tak melihat
Sekar. Meskipun hatinya bertanya-tanya namun
dia agak
segan menanyakan pada si nenek. Sepanjang
hari Geni
berlatih semedi dan berendam air panas.
Keesokan siang harinya, Dewi Obat berdua
Sekar menemui
Geni di gubuknya. Sekar menjinjing makanan.
"Aku masak
makanan enak buai kamu," katanya. Dia
tampak gembira
"Tiga hari aku menjalani pengobatan,
sekarang ini aku sudah
sembuh."
Dewi Obat batuk-batuk kecil, "Benar
kata orang, di atas
langit masih ada langit lain, kupikir dengan
ilmu pengobatanku
tidak ada suatu penyakit pun yang tak bisa
kutaklukkan. Tapi
hari ini aku harus mengakui kenyataan pahit,
aku tak mampu
menyembuhkan lukamu, aku cuma bisa
memperpanjang
usiamu
Sekar menyela, "Nek...."
Dewi Obat mengangkat tangan. "Sekar
jangan potong
bicaraku Semua yang terjadi sudah terjadi,
aku juga manusia
biasa, kemampuanku terbatas. Racun ular
salju sudah punah,
tetapi luka dingin pukulan Kalayawana masih
menguasai jalan
darah bahkan merasuk sampai ke tulang. Tak
ada lagi daya
yang bisa kukerjakan untuk menolongmu, anak
muda. Racun
dingin Kalayawana itu sudah merasuk jauh ke
seluruh bagian
tubuhmu, dengan ramuan yang kuberikan nanti,
kamu bisa
bertahan hidup sampai satu bulan lagi."
Selama empat hari di Lembah Cemara, Geni
merasa banyak
baikan. Ia kini lebih kuat "Dewi Obat,
aku berhutang budi
padamu, tadinya usiaku hanya tinggal satu
hari tapi kamu
telah memberi tambahan satu bulan, mungkin
dalam satu
bulan itu aku bisa menemukan cara
penyembuhannya. Aku
rasa tak ada gunanya lagi aku berdiam di
sini, lebih baik aku
pamit sekarang."
Sekar cepat memotong. "Geni sebaiknya
besok pagi,
sekarang hari sudah mendekati senja."
Dewi Obat mengiyakan. "Wisang Geni,
kamu bisa sembuh
apabila ada dua pendekar yang memiliki
tenaga dalam tinggi,
yang seorang menguasai tenaga dingin, orang
lainnya tenaga
panas. Lalu keduanya membantumu dengan
menyalurkan
tenaganya ke dalam tubuhmu"
Menatap mata Sekar yang berkaca-kaca, Geni
tersenyum
dan menjawab akan berangkat esok pagi.
Seketika mata Sekar
berbinar, gembira Dewi Obat hendak beranjak
meninggalkan
muda-mudi itu tetapi ia berhenti sejenak.
"Geni, aku ingin
bertanya, tetapi kuharap kau tidak curiga
Sesungguhnya aku
masih punya ikatan keluarga dengan Lemah
Tulis, dan aku
tahu kamu murid Lemah Tulis."
Geni merasa tubuhnya mengejang. Ia menjadi
waspada.
Dia tidak menyahut, menanti Dewi Obat
menatap mata Geni.
"Kau pernah mendengar bukit Lejar di
kaki gunung Batuk?
Ratusan tahun lalu di salah satu bagian
bukit pernah hidup
seorang perempuan pertapa tua, dia suka
berkeliling daerah
sekitarnya dan menolong penduduk, kau tahu
siapa dia?"
Geni terperanjat. Tidak sembarang orang
mengetahui cerita
itu, bahkan tidak semua murid Lemah Tulis
mengetahuinya.
Geni sendiri mendengar rahasia ini dari
gurunya, Padeksa.
Seketika ia sadar bahwa Dewi Obat adalah
teman sendiri. Geni
menjawab tegas, "Nenek pertapa itu
dijuluki Nenek Panitikan!"
Dewi Obat menghela nafas. Ia gembira
berbareng duka.
Gembira karena aldairnya menemukan orang
yang dicari
selama ini, murid Lemah Tulis yang sudah
mewarisi ilmu
Prasidha. Tetapi dia berduka lantaran
mengetahui pendeknya
usia Geni. Suaranya agak gundah,
"Ceritanya panjang, aku
bukan dari perguruan Lemah Tulis. Tetapi
keluargaku turun
temurun kerabat dekat Lemah Tulis. Aku
turunan nenek
Panitikan!"
Wisang Geni terkejut. Dicari-cari tidak
ketemu Tidak dicari
justru jumpa. Belasan tahun berdua Padeksa,
dia mencari
keturunan Nenek Panitikan, bahkan pernah
mencarinya di
bukit Lejar. Siapa nyana justru sekarang ia
sendiri yang
menemukan. "Ini pertemuan aneh.
Bertahun-tahun aku dan
guruku Padeksa mencari tetapi tak berjodoh
denganmu, Nek!"
Sekar yang dari tadi diam, menyela,
"Mengapa kamu tidak
gembira bertemu nenek."
"Aku gembira, tetapi apakah usiaku
masih cukup untuk
mempelajari Garudamukha Prasidha dan apakah
ada gunanya
menguasai jurus luar biasa itu."
Dewi Obat menghela nafas. "Semua yang
kita peroleh,
mungkin tidak bermanfaat pada saat itu,
tetapi bisa berguna
di saat lain. Kita tak pernah tahu apa yang
terjadi besok atau
satu bulan ke depan."
"Terimakasih atas nasihatmu, Nek,
sekarang aku mohon
kau perlihatkan padaku Kinanti Prasidha
itu."
Dewi Obat makin yakin, tak salah orang.
Tidak ada orang
luar yang tahu tentang Kinanti Prasidha itu,
bahkan hanya
murid Lemah Tulis yang sangat dipercaya dan
murid pilihan
yang diberi tugas kepercayaan mencari
Kinanti Prasidha. Tapi
ia masih menguji. "Aku tak mengerti apa
itu Kinanti Prasidha."
"Sebenarnya aku tak usah peduli, sebab
usiaku tinggal
sebulan, tetapi tugas tetaplah tugas yang
harus kulaksanakan.
Kau pasti tahu Kinanti Prasidha karena
tugasmu menuntun
murid Lemah Tulis mempelajari separuh jurus
Garudamukha
Prasidha yang tersembunyi dalam kinanti itu.
Ilmu ini sengaja
dibagi dua untuk mencegah dicuri orang luar.
Bagian separuh
diwariskan kepada murid yang dipercaya,
kebetulan orangnya
adalah aku. Separuh lain disembunyikan dalam
tari kinanti
yang dijaga turun temurun oleh keturunan
Nenek Panitikan.
Kamu masih tak percaya padaku, Nek?"
Senang hati Dewi Obat dan Sekar. Tak
disangkal lagi, Genilah
orangnya. "Aku percaya sekarang, tetapi
tari kinanti tak
ada padaku, itu ada pada kakak kandungku dan
putrinya.
Mereka kini ada di bukit Lejar."
"Bagaimana aku bisa menemukan
mereka?"
"Jika kau berjodoh dengan ilmu dahsyat
itu, kau akan
temukan mereka di pesta akhir bulan Cakra
nanti. Ada pesta
gunung, banyak orang dan keramaian. Pesta
akan
berlangsung tujuh malam Di salah satu tenda,
kakak dan
keponakanku akan menembang tari Kinanti
Prasidha. Kami
sekeluarga sudah tak sabar menanti
selesainya tugas yang
diemban orangtua kami. Sejak belasan tahun
lalu dalam setiap
pesta gunung di bulan Caitra kami selalu
mementaskan drama
dan tari Kinanti Prasidha itu. Kau tak perlu
khawatir tidak
menemukan mereka, tenda mereka mudah
dikenali karena
tempat lalulintas pengunjung, dan setiap
malam mereka hadir
dari awal malam sampai dini hari. Wisang
Geni, aku
mengharap kamu akan memperoleh keajaiban dan
sembuh
dari penyakitmu, besok pagi jika kau pergi,
tak perlu pamitan
padaku. Aku cuma berpesan padamu, jika
umurmu panjang
jangan kamu sia-siakan cinta Sekar." Berkata
demikian Dewi
Obat berkelebat menghilang dari pandangan
dua muda-mudi
itu.
Kala itu sinar matahari senja sudah hampir
memasuki
peraduan. Sinarnya tak mampu menembus
lebarnya
pepohonan cemara Agak gelap, tetapi sinar
mata Sekar
berkilat tajam Ia tampak cantik, bekas
cacarnya hampir tak
terlihat, tertutup sinar senja yang redup.
Geni terpesona.
Sesaat kemudian airmata menetes dari
sepasang mata
indah itu. Ia terisak. "Geni, besok
kamu pergi, mungkin kamu
akan melupakan aku, tetapi aku tidak akan
pernah bisa
melupakan kamu, sampai kapan pun."
Geni menghapus airmata Sekar, menciumnya
dengan
lembut. "Sekar, jangan berkata
demikian, aku tak akan
melupakan kamu, betapa bodoh dan gilanya aku
jika sampai
melupakan kamu"
Sekar memegang tangan Geni dan menuntunnya
ke buah
dadanya. Geni merasakan payudara yang kenyal
dan montok.
Geni mulai terangsang, ia memeluk dan
mencium mulutnya.
Mendadak Sekar mencubit pahanya dan tertawa
menggoda. "Jangan sekarang sayangku,
kamu tunggu di sini,
aku akan membawakan makanan untuk kita
berdua dan kita
akan berdua saja, hanya kau dan aku,
sepanjang malam." Ia
pergi sambil tertawa cekikikan, berlari dan
melompat ke
seberang empang, menghilang di balik
pepohonan rimbun.
Hari sudah gelap. Di gubuk itu Geni berdua
Sekar. Makan
berdua. Duduk bersanding memandang pucuk
cemara yang
bersinar diterangi cahaya rembulan.
"Geni, aku yakin kamu
masih berusia panjang, tapi ingat suatu
waktu aku pasti akan
mencari kamu, aku tidak peduli di sisimu ada
Wulan atau
wanita lain, aku mendatangimu, mengingatkan
kamu bahwa di
kolong langit ini masih ada Sekar, gadis
buruk rupa yang
sangat mencintaimu, yang mau berkorban apa
saja untuk
membuat kamu bahagia."
"Kamu tidak takut dihina dan
dipermalukan sainganmu?"
"Jika saatnya tiba, wajahku sudah
bersih dan cantik, aku
juga membekali diri dengan ilmu silatyang
lumayan. Kamu
belum melihat kemampuan silatku, karena
belum
kuperlihatkan. Dalam waktu enam bulan ini
nenek akan
menyembuhkan bekas cacar dan melatih
kepandaian silatku.
Nantinya tidak sembarang orang bisa
mengalahkan aku."
"Kalau aku, bagaimana?"
Sekar tertawa, mencubit lengan kekasihnya.
"Tak mungkin
aku berani melawanmu, aku pelayanmu dan juga
kekasihmu!"
Dia menyandar ke dada Geni. "Tetapi aku
mau lebih dari itu,
aku mau menjadi ampil, selir atau isteri.
Aku tahu banyak
wanita yang menyukaimu dan kau pasti akan
terpikat rayuan
mereka, tetapi aku berani bersaing, aku
yakin kau selalu akan
tergila-gila padaku, kau akan selalu ingat
cara aku
melayanimu, kau akan selalu ingat tubuhku
dan cintaku. Geni,
aku ingin kau menjawab jujur, apakah kau
tahu aku
mencintaimu?"
Geni mengangguk. "Aku tahu!" Dia
mengelus punggung
dan perut mulus itu. Kulitnya halus,
tubuhnya lunak.
Sekar menggeliat. "Geni, jika aku
menemukanmu dan kau
sedang dalam pelukan perempuan lain, Wulan
atau siapa saja,
apakah kau masih mau mengenalku?"
"Tentu saja, tak mungkin aku bisa
melupakan hari-hari
indah yang telah kita lalui bersama. Jika
mau jujur,
sebenarnya aku tak tahu bagaimana perasaanku
padamu,
berada di sampingmu membuat aku sangat
bernafsu"
"Geni, aku akan membuatmu bahagia
sepanjang malam ini,
membuat kamu mengenang dan mengingat tubuh
dan
cintaku. Akan mengingat kesegaran cintaku
meskipun
seandainya kamu berada dalam pelukan dan
cumbu rayu
perempuan lain. Kamu akan sampai pada kesimpulan
bahwa
Sekar adalah perempuan yang tak bisa
kaulupakan begitu
saja."
Malam terasa pendek. Sepasang kekasih itu
berbisik-bisik
mesra diselingi peluk cium penuh birahi.
Sekar menangis dan
tertawa, ia bahagia berbareng sedih. Malam
ini mungkin
terakhir ia melayani Geni, tak ada lagi
malam-malam panjang
yang penuh nafsu dan cinta. Sekar menangis,
ia mendengar
bisik Geni di telinganya. "Kekasihku,
besok aku pergi, entah
apakah akan bertemu lagi denganmu, aku pun
tak tahu
apakah masih akan hidup lanjut, tetapi jika
aku masih hidup
aku pasti akan mencari kamu."
"Bagaimana dengan Wulan atau perempuan
lain?"
"Kita hidup bersama, bertiga, aku, kamu
dan Wulan. Aku
yakin Wulan akan bersedia, kamu mau?"
Sekar mengangguk. Ia mencium Geni. Lelaki
itu menggeluti
tubuhnya, dari ujung kaki sampai ujung
rambut. Tak ada
sejengkal lekuk tubuh molek itu yang tidak
dijamah tangan
dan ciuman Geni. Mereka tak mau memejamkan
mata.
Sepanjang malam. Sampai esok pagi ketika
burung berkicau
dan ayam berkokok, keduanya masih bugil
berpelukan. Ketika
pagi datang, terompet perpisahan sudah harus
ditiup. Kini
berpisah, tak tahu apakah bisa bertemu lagi.
Sekar mengantar kekasihnya dengan berurai
air mata.
Mendekati batas hutan cemara, Sekar memeluk
kekasihnya.
"Geni, jangan lupakan aku."
"Tak mungkin melupakan kamu, Sekar. Kau
terlalu hebat
untuk bisa kulupakan, tetapi aku tak berani
menjanjikan apaapa."
"Setelah sembuh dari bekas cacar ini,
aku akan mencarimu.
Jika kamu mati, pasti cintaku ikut terkubur,
tak ada laki-laki
lain bagiku."
Geni memeluk gadis itu. Gadis yang sangat
mencintainya.
Ia mencium penuh nafsu, tangannya merambah
ke belahan
celana dan meremas bokong gadis itu. Sekar
menggeliat. Dua
kakinya terangkat melingkar ke pinggang
Geni. Keduanya
hilang keseimbangan, jatuh terguling dalam
posisi berpelukan.
Ciuman makin liar dan panjang. Burung burung
menjadi saksi
saat sepasang kekasih melepas pakaian dan
bersatu dalam
kenikmatan batin dan raga yang makin lama
makin
memuncak.
Ditengah deru nafsunya yang panas Geni
berbisik,"Sekar
jikalau saja aku bisa hidup bersamamu
selamanya di Lembah
Cemara ini, aku puas. Namun aku harus pergi,
aku harus
hidup, aku tidak mau mati! Tetapi seandainya
mati aku akan
membawamu dalam kenangan terakhirku.''
Sekar menggeliat penuh nafsu. "Percayalah
Geni, itu
tandanya kau mencintai aku, oh, aku
bahagia."
"Aku tak tahu apakah ini yang disebut
cinta, tetapi kalau
benar ini adalah cinta, maka pohon pohon
cemara dan seisi
mahluk hutan menjadi saksi bahwa aku Wisang
Geni sangat
mencintai Sekar."
"Aku bahagia kekasihku," bisik
Sekar yang menjerit lirih. Ia
mendaki puncak kenikmatan. Tengah hari
ketika matahari
berada di titik tertinggi Geni dengan
langkah berat akhirnya
meninggalkan Sekar yang mengantarnya dengan
berurai air
mata.
Duapuluh hari telah berlalu sejak
meninggalkan Lembah
Cemara, Wisang Geni menjalani hari-hari yang
kosong, tak
ada arti. Dia tidak langsung menuju bukit
Lejar, ia merantau
tanpa tujuan. Akhirnya ia tiba juga di bukit
Lejar tepat pesta
gunung memasuki hari keenam. Itulah hari
terakhir bulan
Caitra, puncak keramaian pesta. Jika menurut
hitungan Dewi
Obat, dia masih bisa hidup tujuh hari lagi
sebelum kematian
menjemputnya.
Dia mendaki bukit Lejar, tenggelam di antara
banyaknya
pengunjung. Dia dalam keadaan bimbang.
Pikirannya tak
menentu, kalut. Dalam hati dia mengakui
sebenarnya dia takut
mati Ada bedanya, mati dalam perkelahian,
seseorang tidak
perlu menanti kematian menjemput. Ia mati
dibunuh lawan.
Dan selesai. Jika menang, ia tidak akan
terbunuh, musuhnya
yang mati. Tetapi keadaannya kini berbeda,
ia justru menanti
saat maut datang menjemputnya. Tujuh atau
enam atau lima
hari, ia tidak tahu pasti kapan saatnya ajal
itu datang
menerkamnya. Geni semakin bingung. Ia
seperti linglung,
mendaki bukit mengikuti ke mana langkah
membawanya.
Menunaikan tugas perguruan menemukan Kinanti
Prasidha
dan mempelajari ilmu pusaka Garudamukha
Prasidha. Tetapi
buat apa? Berhasil menemukan dan
mempelajarinya tak akan
banyak gunanya, ia akan mati membawa ilmu
itu ke dalam
kubur. Pikiran ini menghantuinya sejak pergi
meninggalkan
Lembah Cemara. Ia tak lagi mengurus dirinya,
tak pernah
mandi, pakaiannya compang camping, wajahnya
lusuh dengan
cambang, kumis serta rambut panjang
riap-riapan. Geni
menyerupai pengemis butut yang dekil.
Hari itu sangat ramai. Geni terbawa arus
pengunjung.
Orang-orang itu percaya jika berada di bukit
Lejar pada hari
terakhir bulan Caitra, apa saja yang
diinginkan akan terkabul.
Konon di bukit Lejar ini, di suatu tempat
yang tidak
diketahui, dewa-dewa mengadakan pertemuan
membincangkan urusan dunia. Sebagian
pengunjung mencari
jodoh, yang lain minta kekayaan dan
kekuasaan. Para
pendekar mengincar buku silat yang konon
milik para dewa
yang tercecer di bukit ini Para pedagang
tidak ketinggalan,
datang menjajakan jualan. Semua orang datang
mencari
peruntungan. Makin larut malam, lereng bukit
semakin padat,
penuh sesak. Nyaris tak ada tempat kosong
sepanjang lereng.
Di sana sini ada keramaian.
Wisang Geni melangkah gontai. Pakaiannya
compang
camping tampak kontras dengan pengunjung sekitarnya.
Semua orang mengenakan pakaian mewah
mentereng. Di
satu pojok keramaian, bagian yang tidak
banyak dikunjungi
orang terdengar suara lelaki bercerita.
"Siapa sangka cinta dua
anak manusia itu mendapat rintangan besar.
Ksiti Sundari
menangis. Ia berduka menangisi nasib dan
kisah cintanya.
Prabu Baladewa tidak setuju, apa
alasannya?"
Langkah Wisang Geni terhenti. Ia diam
Terbayang wajah
Wulan. Wajah perempuan yang dicintainya. Ia
merasa senasib
dengan tokoh yang diceritakan itu. Ia ingin
mendengar lebih
lanjut. Ia memilih sebuah pohon besar tidak
jauh dari tenda
yang menggelar cerita wayang itu, bersandar
dan memasang
telinga. Beberapa saat mendengar, ia lantas
tahu cerita yang
dibawakan Ki Dalang adalah Ghatotkamsraya
karya mpu
Panuluh. Dia mempelajarinya dari guru
Waragang. Cerita yang
digandrungi banyak orang.
Sesaat Geni lupa segalanya. Ia larut dalam
kisah itu. Bagian
di mana Ksiti Sundari, putri tunggal prabhu
Kresna, raja
Dwarati bertemu Abhimanyu, putra Arjuna,
keduanya saling
mengutarakan cinta. Berjanji sehidup semati
Ksiti Sundari
memberi cupu berisi "burat"
sebagai tanda setia. Cinta diamdiam
dan tersembunyi lantaran takut akan murka
sang prabhu
Baladewa, kakak Kresna. Karena resminya
Baladewa telah
menjodohkan Sundari dengan Laskmana, putra tunggal
prabhu Duryudhana.
Meskipun sudah mengetahui isi cerita, namun
Geni masih
tetap terpesona akan kisah itu. Terutama
ketika Ki Dalang
memasuki bagian Sundari kasmaran di taman.
Membayangkan
kekasihnya, Abhimanyu, yang jauh di rantau,
Sundari
menumpahkan segenap isi hati dalam tari.
Seorang gadis
cantik dengan busana kerajaan yang mewah,
naik panggung.
Ia menari lemah gemulai, indah dan
mengundang pesona.
Penonton bertepuk tangan.
Jantung Geni seakan terhenti. Ia terkejut.
Matanya melotot.
Ia seakan tak percaya apa yang dilihatnya.
Jari-jari tangan
gadis itu meliuk-liuk seperti paruh burung,
siap memangsa
korban di kanan kiri. Geni tahu itulah gerak
pembukaan jurus
Prasidha. Sejak kecil gurunya Padeksa
mengajarinya berulangulang
sehingga Geni sudah sangat hafal dan
menguasai jurus
pembukaan itu.
Saat berikut terdengar suara si gadis
melantunkan kidung,
suaranya mendayu-dayu. Kidung rindu seorang
gadis yang
mabuk cinta. Berbagai rasa bergalau di
dalamnya, sedih,
gembira, cinta, birahi, rindu, berontak, ingin
mati, ingin
selamat. Geni melihat kidung itu dilantunkan
sesuai gerak
tarinya. Adakalanya ia gemulai. Kadangkala
kakinya
menghentak lantai. Sekali-sekali ia
menggoyang pinggul
mengundang fantasi, mengguncang buah dadanya
memancing birahi Sepintas orang hanya
melihat gerak tari
seorang penari yang dinamis. Tetapi Wisang
Geni terpukau
bukan sebab tari yang sensual melainkan
setiap detil
gerakannya menyerupai jurus silat. Geni
memusatkan pikiran
pada gerak tari itu yang ternyata sangat
akrab dengan apa
yang telah dipelajarinya, mirip Prasidha
ajaran Padeksa.
Seperti orang edan, mulut Geni komat-kamit.
"Itu kan jurus
Sanakanilamatra (Sebesar Angin yang
Terkecil), itu Agniwisa
(Bisa Api) dan itu Silmujug Tundaghata
(Menukikke Bawah
dan Menyerang dengan Patuk). Hebat, ternyata
kelanjutan
jurus itu demikian adanya. Itu Parasada
Atishasha (Menara
Bukan Main) dan Akivatnatyana (Biarkan
Akuyang
membunuh), tak kusangka kelengkapan jurusnya
begitu, luar
biasa! Itu Kacakrawatyan (Penguasaan Dunia)
dan Sikbtviriya
(Cintaku Kepadanya), tapi mengapa Sikhmriya
diletakkan
paling buntut, seharusnya paling awal?
Tarian ini pasti jurus
pusaka Kinanti Prasidbayang kucari selama
ini."
Seluruhnya ada tujuh jurus dan yang
diulang-ulang sampai
tiga kali putaran. Ketika penari itu mengulang
pada putaran
kedua, Geni mulai bingung. Tujuh jurus yang
tadi digelar tak
lagi berurutan. Pada putaran ketiga,
urutannya kembali tidak
sama. Tetapi Geni mulai mengerti. Pada
setiap hendak
mengawali satu putaran, penari itu
mendendang syair
Parahwanta Angentasana Dukharnaipa
(Hendaknya Aku
Menjadi Perahilmu untuk Menyeberangi Lautan
Kesusahan).
Apa maksud syair itu? Pasti bukan bagian
ungkapan Ksiti
Sundari, sementara syair lainnya tak pernah
diulang-ulang.
Tetapi kalimat ini justru diulang sampai
tiga kali. Ini pasti
bagian paling penting. Tapi apa artinya?
Meskipun berpikir keras Geni tetap merekam
semua yang
dilihatnya. Tak ada yang luput dari
pengamatan sekecil apa
pun. Ia tak tahu berapa lama si gadis
menari. Waktu terasa
begitu singkat ketika Geni melihat gadis
penari itu undur diri.
Suara Ki Dalang terdengar lagi melanjutkan
kisahnya. Tetapi
Geni tak lagi tertarik. Benaknya sudah
dipenuhi gerak tarian
tadi.
Bagai orang linglung dia melangkah di antara
orang berlalulalang.
Dia lupa keadaan sekeliling. Bahkan lupa
akan diri
sendiri. Ia mulai mengingat ulang jurus
Prasidha yang
diajarkan kakek Padeksa kepadanya. Lalu
menggabungkannya
dengan gerak tari tadi. Satu demi satu ia
rangkai dalam
benaknya. Tanpa sadar ia memeragakan di
tengah keramaian.
Orang-orang tertawa melihatnya, dikiranya
pengemis gila itu
sedang menari, tari yang kacau. Mendadak
Geni melompat
kegirangan. "Aku dapat!" teriaknya
berulang-ulang.
Itulah jodoh. Wisang Geni tak pernah tahu
bahwa dia salah
satu murid Lemah Tulis paling beruntung
sepanjang lima
dekade akhir. Pendekar Lemah Tulis terakhir
yang mewarisi
Garudamukha Prasidha tidak lain adalah Eyang
Sepuh
Suryajagad yang keberadaannya sekarang masih
misterius.
Ia masih mengingat-ingat jurus dahsyat itu
yang kini sudah
lengkap dan sempurna dalam benaknya,
mendadak ia
terpental terbanting ke tanah. Punggungnya
sakit terbentur
batu. Capingnya mental. Ia menengadah,
memandang lelaki
yang membenturnya. Mata lelaki itu melotot
memandangnya.
"Pengemis buduk, mata kamu buta
beraninya nabrak aku."
Geni hendak melawan tetapi ia ingat
keadaannya sekarang
seperti orang awam, tak punya kepandaian
silat dan tak punya
tenaga Jika melawan, itu hanya mencari gebuk
saja. Lebih
baik diam, mengalah. Seorang gadis mendekati
lelaki itu. "Ayo
kangmas, kita jalan terus."
Lelaki itu manda digandeng si gadis.
Keduanya pergi. Geni
diam terpaku, bibirnya gemetar menyebut nama
seseorang,
"Sari!" Ia merasa telah berteriak,
ternyata tidak, suaranya
terdengar sayup-sayup. Anehnya gadis itu
mendengar
namanya disebut orang. Ia menoleh
mencari-cari. Sepintas ia
melihat pengemis terbaring di tanah. Tetapi
ia tak mengenal
Geni. "Aneh," gumam si gadis.
Terdengar suara lelaki itu, suara yang berat
dan agak
parau. "Apa yang aneh, Wulan?"
Gadis itu menyahut sembarangan. "Aku
seperti mendengar
suara yang memanggil namaku."
"Aku WisajigGeni yang
memanggilmu," dia teriak dengan
suaranyya hanya terdengar macam orang
ngorok. Ketika Geni
sadar sepenuhnya, Wulan sudah menghilang di
dalam
kerilmunan orang. "Apakah aku
bermimpi?" Geni menampar
pipinya. Sakit. "Aku tidak mimpi,
benar-benar tadi aku melihat
Wulan tetapi mengapa dia tak mengenalku?
Siapa lelaki itu?"
Geni merasa ada sesuatu menusuk hatinya.
Sakit dan perih.
Ia cemburu. Ia bangkit, punggung dan
pundaknya masih sakit
namun hatinya lebih sakit lagi. Ketika itu
ada tangan
perempuan menyodor sekeping uang tembaga
kepadanya. Ia
menengadah menatap wanita itu. Wajah cantik
itu tersenyum
ramah. "Pak Tua itu uang untuk makan
dan beli pakaian."
Geni seperti ingat wajah cantik itu.
Mendadak ia
mengenalnya. "Dia Rorowangi!"
Tetapi saat itu Rorowangi
sudah menghilang bersama lelaki yang
mendampinginya. Geni
merasa heran. "Rorowangi dan lelaki itu
Setawastra, tetapi
mengapa dia tidak mengenalku, malah menyebut
aku Pak
Tua." Tangan Geni meraba wajahnya.
Mendadak ia tertawa
keras. Ia sadar wajahnya dipenuhi berewok,
cambang dan
kumis serta rambut panjang tak terurus,
pakaian rombeng,
pantas orang tak mengenalnya.
Ia teringat lelaki yang bersama-sama Wulan
Siapa dia,
mengapa tampak begitu mesra, bergandeng
tangan. Geni
marah. "Apakah Wulan sudah
melupakannya, begitu mudah
berganti kekasih semudah berganti
pakaian?" Pertanyaan itu
ibarat pisau tajam menusuk hatinya. Ia
melangkah gontai.
Pertanyaan itu memburunya terus. Geni
memegang kepala,
mencoba memikirkan jurus Garudamukha
Prasidha tetapi
gagal. Bayangan Wulan dan lelaki itu terus
menghantuinya.
Geni melihat sebuah warung penjual tuak. Di
samping
warung di sebuah pokok pohon, ia duduk
bersandar. Pemilik
warung menegurnya, namun sebelum orang itu
memaki, Geni
mendahuluinya. "Ini uang, bawakan aku
tuak sebanyakbanyaknya."
Pemilik warung melayani macam seorang
pangeran. Geni menenggak tuak. Lima tabung.
Ia mulai
pusing. Sepuluh tabung. Geni rubuh.
Saat itu fajar menyingsing, matahari mengintip
di ufuk
timur. Pemilik warung mengusirnya, "Hei
bangun pengemis
buduk, pergi kamu, jangan mengotori
tempatku."
Geni menyahut. "Biarkan aku bermimpi,
kalau aku tidur,
aku tak akan bangun lagi. Jika aku bangun,
aku tak akan tidur
lagi, mati sekarang atau mati besok, sama
saja." Geni
melangkah gontai, ke mana langkah membawa
lubuknya.
Tanpa sadar ia berjalan ke arah ketinggian.
Ia berjalan lerus.
Tubuhnya kian melemah. Matahari mulai
tenggelam, Geni
jatuh tertidur. Bangun dari tidur, dia
berjalan lagi. Ia tak tahu
berapa lama ia mendaki, siang berganti
malam, malam
berganti siang. Ia berjalan terus. Ia tak
tahu berapa hari lagi
sisa hidupnya. Racun dingin lebih sering
menyerang, ia
menggigil gemetaran.
Siang itu ia terbaring menggigil, wajah dan
tubuh Wulan
muncul di benaknya. Wajah cantik dan tubuh
molek.
Pelukannya yang hangat, bibirnya yang panas
membara Geni
mengigau menyebut nama Wulan. Lalu muncul
wajah Sekar,
wajahnya cantik, tak ada lagi bercak hitam
bekas cacar. Wajah
dan tubuh Sekar yang indah ranum Ia masih
bisa
membayangkan kenikmatan cinta yang diberikan
Sekar yang
membuatnya bahagia. Geni memanggil nama
Sekar berulangulang.
Dalam benaknya ia membandingkan dua
perempuan
itu. Ada perbedaan. Saat mengingat Wulan ia
ingin mati
lantaran cemburu. Saat merindukan Sekar, ia
ingin hidup. Ia
ingat janjinya pada gadis itu, "Aku
akan sembuh dan aku akan
mencarimu." Ia merasakan birahi setiap
membayangkan dua
perempuan itu tetapi ia tak bisa memutuskan
siapa yang lebih
ia cintai. "Aku akan sangat bahagia jika
bisa mendapatkan
keduanya sebagai isteriku."
Siang sangat terik, namun udara sejuk.
Bagian lereng itu
sepi. Tak ada mahluk hidup. Sepi dan
lengang. Ia haus.
Tenggorokan kering. Ia tak ingat lagi, kapan
terakhir ia makan
atau minum. Tetapi haus cuma bagian kecil
dari
penderitaannya. Ia tak kuat lagi melangkah.
Tenaganya habis.
Setengah menyeret kaki ia sampai di bagian
sisi yang terjal.
Jauh di ujung jalan ia melihat timbunan
pohon bambukecil.
Biasanya dalam ruas bambu tersimpan air. Ia
memaksa diri
melangkah mendaki jalan setapak. Di kiri
tebing gunung
menjulang tegaklurus. Di sisi kanan jurang
mengangayang
dasarnya tak terlihat Jatuh bangun ia sampai
juga di
pepohonan bambu.
Persoalan lain muncul. Ia tak punya pisau
untuk
memotong, tidak juga tenaga. Ia memandang
bambu itu
dengan gundah. "Bambu pun tak
bersahabat denganku. Inilah
akhir perjalanan hidup murid Lemah Tulis
bernama Wisang
Geni!" Menggumam demikian ia menerawang
berusaha
mengingat wajah orangtuanya. Samar-samar
terbayang wajah
Gajah Kuning dan Sukesih. Ia bahkan belum
membalas
kematian orangtuanya. Teringat bayangan
guru-gurunya
Mahisa Walungan, Waragang, Gubar Baleman,
Manjangan
Puguh, Padeksa.
la ing.H kala kala Padeksa, "Bila
sedang kacau, kembalilah
ke kehidupan. Pikirkan tentang hidup. Ada
nafas ada
kehidupan, tak ada nafas hidup pun tak
ada." Tadinya tak
mengerti maknanya tetapi kini ia mengerti
maksudnya. Ia
duduk bersila merasakan desah nafasnya. Ia
tak mau
memikirkan hal lain kecuali bernafas. Ia
tahu begitu nafasnya
berhenti, ia terbebas dari derita. Ia rela
jika saat itu ia harus
mati. Ia tak punya siapa pun.
0 komentar:
Posting Komentar