Lelaki itu menggeleng. "Aku bisa hadapi
orang ini, kamu
hati-hati dan waspada, di sekitarmu banyak orang
licik dan
jahat"
Sambil menghentakkan kakinya Gayatri berkata
kesal.
"Kamu lebih jahat dan lebih
licik!" Ia menepi, berdiri bersama
dua pembantunya.
Lembu Agra berseru keras, "Wisang Geni,
nyawa sudah di
ujung hidung, masih juga mesra-mesraan, hari
ini kuantar
kamu ke neraka menemui isterimu."
Geni mengangkat tangannya. "Tunggu dulu
Jaranan, aku
ketua Lemah Tulis, kamu ketua Turangga, kita
tarung sampai
mati. Tak boleh ada yang lari, semua orang
menjadi saksi,
sampean berani?"
"Aku memang mencari kesempatan seperti
hari ini, bagus,
tidak boleh ada yang lari. Terimalah
kematianmu, anak
sundal."
Agra mengerahkan tenaga Pitu Sopakara
tingkat tujuh,
suara otot dan tulangnya terdengar
gemeretak, wajahnya
merah berganti hijau. Dia menyerang dengan
pukulan kiri,
disusul cengkeraman tangan kanan. Hebatnya
justru
cengkeraman kanan yang sampai duluan ke
sasaran. Pukulan
itu membawa bau anyir dan bacin.
Tadi sebelum Agra menyerang, Geni sudah
membebaskan
diri dari semua ikatan, tubuhnya jadi
ringan, serasa terbang di
atas angin. Pikirannya bebas, tak ada rasa
marah, tak ada
rasa takut. Ia merasa merdeka. Ia tidak
perlu menggunakan
jurus untuk menghindari serangan lawan. Dia
hanya mengelak
begitu saja sehingga pukulan Agra menerpa
ruang kosong.
Geni menandingi serbuan ganas Lembu Agra.
Geni
bergerak seperti angin yang merdeka,
bergerak berganti-ganti
arah. "Lupakan bumi, tengadah
memandang langit, rasakan
angin, bebaskan diri
bagaikan awan. Pusatkan pikiran, tenaga
dan hasrat. Pikiran harus
kuat, sinambungan, tak boleh
putus."
Prastawana, Prawesti dan murid Lemah Tulis
lainnya
bingung melihat cara Wisang Geni bersilat.
Geni tidak bersilat
dengan Garudamukha atau Prasidha atau Bang
Bang Alum
Alum, jurus yang dikenal sebagai jurus
andalan sang ketua.
Prastawana tanpa sadar berkata lirih,
"Ketua memainkan
jurus aneh, jurus apa itu? Itu mirip jurus
Kacakrawartyan dari
Prasidha, tapi mengapa gerakannya terbalik,
itu mirip
Agniwisa tetapi mengapa bergerak mundur, ah
aku tak
mengerti"
Memang Geni tidak lagi bersilat dengan jurus
yang dikenal.
Dia memainkan silat yang aneh. "Jurus
apa ini," gumam
Lembu Agra.
Tak seorang pun mengerti silat yang
dimainkan Geni.
Gerakannya indah, gemulai seperti tidak
bertenaga. Namun
ketika menangkis, tangkisannya membuat
pukulan Agra
terpental. Geni seperti bergerak lamban,
tetapi tangkisannya
tepat waktu padahal serangan Agra sudah
mendahului.
Suatu saat kepala Geni nyaris dikemplang.
Pukulan hanya
terpaut satu jengkal. Tetapi dengan
menggeleng kepalanya
Geni bisa menghindar.
Gayatri terpesona melihat silat Geni. Ia
melihat betapa kaki
Geni tidak lagi berpijak di bumi. Lelaki itu
seperti melayang.
Sungguh ilmu ringan tubuh yang sulit dicari
bandingnya.
"Pantas saja jika Kumara dan Malini
kalah dari orang ini, aku
pun belum tentu bisa mengimbanginya."
Kepada dua
pembantunya Gayatri berkata dalam bahasa
India, "Lelaki itu
ilmunya sangat tinggi."
Shamita menggoda majikannya. "Maksudmu
lelaki yang
namanya Wisang Geni? Ia tak cuma hebat dalam
bercinta juga
dalam tarung ia sangat tangguh."
Urmila menyambung, "Ilmu ringan
tubuhnya seperti ahli
yoga kelas utama, tetapi ahli yoga hanya
bisa melayang,
belum tentu bisa melayang sambil tarung.
Putri, kamu juga
tak mungkin bisa mengalahkan dia, bisa-bisa
kamu
ditaklukkan luar dan dalam."
Pipinya memerah saking malu perasaannya bisa
ditebak
dua pengawalnya. "Kamu bicara ngaco.
Apa maksudmu?"
Shamita tertawa menggoda, "Dalam silat
kamu kalah,
dalam cinta kamu juga kalah."
Wajah Gayatri merengut. "Siapa bilang
aku jatuh cinta,
kupikir kamu berdua ini sudah gila. Dia
telah menipu aku,
akan kubunuh dia, kalian lihat saja
nanti!"
Urmila berbisik, "Malam itu, apa yang
terjadi di kamarmu?
Dia datang dan mengambil sesuatu milikmu,
barang
milikmuyang paling berharga, benar?"
Gayatri memukul bokong Urmila. "Awas
kamu buka
rahasia!"
Limapuluh jurus berlalu. Lembu Agra sudah
memainkan
Pitu Sopakara tingkat tujuh sampai selesai,
namun jangankan
memukul, menyentuh kulit Geni pun tidak.
"Kamu cuma main
kucing-kucingan dengan ilmu siluman, kalau
jantan hayo
layani pukulanku, layani Pitu Sopakara
ini," sambil berkata
Agra mempersiapkan jurus Wangwang Kamayan
(Silaunya
siluman) dan Cumangkrama Wisa (Main-main
dengan racun).
Inilah jurus Pitu Sopakara tingkat tujuh
yang paling
diandalkan, dalam gerakannya ada kandungan
sihir dan racun
ganas. Lawan akan kena sihir, dan begitu
kena hantaman
maka racun ganas itu langsung bereaksi
merusak tubuh
bagian dalam. Lawan pasti mati.
Geni sudah menguasai ilmu barunya itu dengan
sempurna.
Tak ada lagi hambatan dalam pikiran dan
gerak. "Kamu hanya
perlu menyerang jika
memang ingin menyerang tergantung
pandanganmu saat melihat
gerak lawan. Jika dia mengelak ke
kiri, ke arah itu kamu
menyerang. Jika dia menyerangmu,
kamu mengelak atau
menangkis sesuai apa yang kamu
pikirkan."
Ketika serangan Lembu Agra datang, sihir
jurusnya ikut
bekerja. Geni terpengaruh. Sesaat Geni
melihat Sekar,
isterinya, merentang tangan ingin memeluk.
Geni merasa
ragu, khawatir melukai isterinya. Pada saat
dia ragu,
pemusatan pikiran terputus, saat itu juga
tubuhnya merosot
turun, kakinya memijak bumi
Gayatri yang tak pernah melepaskan matanya
dari
pertarungan, tanpa sadar berteriak,
"Awas!" Sebab begitu
melihat kaki Geni membumi kembali, dia tahu
pemikiran Geni
terganggu pertanda lelaki itu dalam bahaya.
Dia tak tahu apa
sebab yang mengganggu pikiran Geni. Tanpa
sadar Gayatri
menggenggam erat senjatanya. Sekali lagi
tanpa sadar dia
berseru, "Hati-hati!"
Sementara itu Geni masih dalam keraguan,
benarkah orang
itu Sekar isterinya. Saat itu, pukulan Agra
terpaut sejengkal
dari dada Geni. Jika kena pukulan itu, dada
Geni pasti remuk
Pada saat kritis tadi, peringatan
"awas" dari Gayatri
menabrak alam bawah sadar Geni. Sebagian
pengaruh sihir
lenyap. Teriakan berikutnya
"hati-hati" telah mengembalikan
pikiran normal Geni, sekaligus memancing
keluar tenaga
Wiwaha.
Saat itu juga pikiran Geni mengatakan itu
bukan Sekar. Dia
itu musuh yang memukulnya, pukulan yang akan
membunuhnya. Pikirannya mengatakan dia harus
mengelak
dengan menjadi awan. "jadilah
awan, biarkan dirimu digiring
angin ke mana pun." Apa yang
dipikirkan langsung diikuti
gerakan karena pikiran dan gerakan Wisang
Geni sudah
menyatu.
Saat berikut Gayatri merasa lega, melihat
kaki Geni tidak
lagi memijak bumi Semuanya berlangsung dalam
sesaat.
Dalam sekejap mata terjadi perubahan.
Pukulan Agra nyaris
menyentuh dada Geni, sepersekian jengkal
dari kulit dada.
Saat itu juga Geni memutar tubuh ke kiri,
membiarkan
pukulan Agra lewat di sisi. Sambil tangan
kirinya membuat
lingkaran besar dari atas ke bawah, memukul
tangan lawan.
Terdengar suara tulang patah. Geni bergerak
terus. Ia
memutar tubuh sehingga posisinya berada di
samping Agra.
Tangan kanannya menghantam punggung Agra.
Terdengar
jeritan seram, Lembu Agra terlempar. Tangan
dan
punggungnya remuk. Dia sekarat. "Hutang
nyawa bayar
nyawa," kata Geni.
Semua penonton terdiam Sepasang mata Agra
melotot,
meregang nyawa, kemudian tubuh mengejang.
Dia mati
penasaran.
Tadi saat tangan Geni mengancam punggung
Agra, saat itu
juga empat bayangan berkelebat, tiga orang
menyerang Geni.
Jaran Dawuk, Cakarwa dan Taskara. Seorang
lainnya, Salaba
menolong Lembu Agra. Tetapi keempat orang
ini terlambat
Mereka tak pernah berpikir, bahwa dalam
keadaan Lembu
Agra unggul, hanya dalam sekejap mata
keadaan bisa
berubah. Dari menang, bisa kalah bahkan Lembu
Agra kena
hantam begitu telak. Teman-teman Agra
lainnya, ikut bereaksi
macam-macam. Lembu Ampai tidak bergerak, dia
memegang
erat tangan Senopati Samba, ketua Sinelir.
"Jangan! Kita
bersabar dulu, lihat situasi."
Tidak demikian dengan semua rekannya, tujuh
pendekar
langsung meluruk menyerang Wisang Geni
bersamaan dengan
empat murid Turangga. Jumlahnya sebelas
orang. Pendekar
Ujung Kulon bersama dua adiknya menyerang
dengan senjata
cambuk berujung logam tajam. Si Belut Putih
dengan tangan
kosong. Nenek kembar Prameswari dan
Kameswari, dengan
ilmu tampar dan jurus keris bersatu-padu.
Bayangan Hantu,
bersenjata pedang.
Mereka merencanakan sejak awal. Tujuh
pendekar
bersama Lembu Ampai dan berserta empat murid
Turangga
bertugas menyerang Wisang Geni. Jika pendukung
Wisang
Geni membantu, akan diladeni oleh Samba dan
Hanggada
serta Sinelir dan punggawa Kediri lain.
Dengan rencana ini,
mereka yakin bisa mengalahkan Wisang Geni.
Gayatri melihat semua. Dia bergerak pesat ke
arena
pertarungan. Prastawana ikut bergerak
Manjangan Puguh
melesat memotong serangan si nenek kembar.
Manjangan
Puguh sangat pesat, dia sampai lebih awal,
menyambut
serangan sepasang nenek kembar.
Terdengar suara desah Wisang Geni, pelan
tetapi jelas di
telinga semua orang. "Terimakasih,
tetapi biar aku sendiri
menyelesaikan urusan ini, mereka pantas mati
karena punya
niatan buruk terhadap Lemah Tulis."
Gayatri, Manjangan Puguh, Prastawana kembali
ke tempat
berdiri. Permintaan Wisang Geni menjelaskan
bahwa dia
sendiri sanggup mengatasi keroyokan lawan.
Saat itu Geni
sedang berada di puncak pagelaran ilmu
silat, pikiran dan
tubuh menyatu secara utuh.
Tidak semua serangan datang bersamaan. Tiga
murid
Turangga Jaran Dawuk, Cakarwa dan Taskara
paling depan,
serangan kilat menggunakan jurus Pitu Sopakara
tingkat
empat. Geni sedang merasakan kemerdekaan
tubuh dan
pikiran. Matanya tajam bagai mata elang,
menangkap semua
gerak lawan. Sulit dipercaya, Geni mengelak
dan menangkis
sambil menyerang balik. Apabila tadi ia
bergerak lamban
tetapi justru lebih cepat dari gerak lawan,
kini gerakannya
sangat cepat. Bersikap seperti awan yang
mengikuti angin,
kemudian menyerang balik bagai hamuk Leysus,
Nilapracoda
dan Bajrapati, angin topan yang
menghancurkan apa saja
yang dilewati.
Hampir semua penonton tidak melihat jelas
cara Wisang
Geni menghantam lawan. Yang terlihat, tiga
tubuh terhuyunghuyung
Jaran Dawuk, Cakarwa dan Taskara muntah
darah.
Ketiganya tewas dengan darah merembes dari
hidung, telinga
dan mulut. Seorang lainnya, Salaba, selamat
karena tidak ikut
menyerang. Pada saat kritis dia balik arah,
kabur turun
gunung.
Setelah menghantam tiga murid Turangga, Geni
masih
bergerak terus, tubuhnya seperti menyongsong
serangan
tujuh lawannya. Si Belut Putih berteriak,
"Kena kamu!"
Pukulannya hanya menyisir baju Geni tanpa
menggores kulit
dada. Geni mengibas. Pukulan dahsyat menerpa
dada Si Belut
Putih. Lelaki ini terpental dan tewas
sebelum tubuhnya
menyentuh tanah.
Geni masih bergerak terus, menghindar,
mengelak dan
menangkis, kemudian menyerang sambil
melompat. Pukulan
Bayangan Hantu ditepis sambil jari tangan
Geni mementil
pelipis lawan. Pendekar itu terpental sambil
memegang
kepalanya. Tewas seketika.
Gerakan Geni masih berlanjut. Dia melayang
memapak
serangan Parma dan Sakerah. Dua keris lawan
mengancam
dada dan perutnya, Geni tidak menghiraukan
ancaman keris,
dua tangannya memukul dada lawan. Keduanya
terpental,
mundur sempoyongan sebelum kerisnya mengena
tubuh Geni.
Bersamaan saat itu serangan si Gila Ujung
Kulon
mengancam kepala Geni. Setelah memukul Parma
dan
Sakerah, tubuh Geni doyong ke depan, pukulan
lawan
meleset. Geni meneruskan gerak, memutar
tubuh. Dua
kakinya membuat putaran besar di udara,
mengunci pukulan
susulan Si Gila Ujung Kulon, terdengar
jeritan. Pendekar Ujung
Kulon menjerit sambil memegang kepalanya,
tubuhnya
terjerembab, tewas seketika menyusul dua
saudaranya.
Semua gerakan tadi bersinambungan, tak
terputus, bagai
angin prahara yang sangat cepat dan ganas.
Dari sebelas
penyerang, delapan tewas berturutan. Seorang
kabur. Tinggal
nenek kembar yang batal menyerang sehingga
luput dari
terjangan Geni.
Semua orang terpesona. Tak ada suara,
hening. Semua
murid Lemah Tulis heran dan takjub. Hanya
satu bulan
berpisah, sejak peragaan di air terjun,
sekarang ilmu silat sang
ketua maju sangat pesat. Mereka heran
berbareng bangga.
Manjangan Puguh heran. Dia pernah
menyaksikan Eyang
Sepuh Suryajagad tarung lawan Resi Lahagawe
di perang
Ganter duapuluh lima tahun silam. Ia melihat
gerak silat Geni
sama persis dengan yang dimainkan Eyang
Sepuh Suryajagad.
Mungkin Geni sudah mewarisi ilmu Eyang
Sepuh? Apakah
Eyang Sepuh masih hidup?
Gayatri pun heran. Dalam pertemuan pertama
di hutan, dia
masih bisa mengimbangi dan mempersulit Geni
Namun hari ini
dia melihat ilmu Geni sudah tak mungkin
ditandingi. Apakah
waktu itu Geni hanya pura-pura merendah.
Pikiran itu
membuat sepasang matanya berbinar. Ia
mendengar
senandung lirih Urmila kuchebi hoyaar mainto
karungga
tumsehi pyar, binbole sache kuche boldiya
(kasihku
bagaimanapun juga hanya engkau yang kucinta,
simpanlah
rahasia ini di hatimu).
"Kalian berdua ngaco, siapa bilang aku
jatuh cinta," Gayatri
tersenyum malu. Dalam hati ia sangat
bimbang. Ia tahu ia
sudah kasmaran akan kejantanan Geni. Apalagi
setelah malam
itu, ia pasrah memberikan tubuhnya.
Bercinta, berulang kali.
Saat itu di gelanggang pertarungan, nenek
kembar
Prameswari dan Kameswari berdiri mematung.
Keduanya
serba salah, menyerang sama artinya dengan
mengantar
nyawa. Mundur, berarti nama besar mereka
hancur. Wajah
keduanya pucat.
Wisang Geni menatap keliling. "Jaranan
pantas mati,
hutang jiwa isteriku sudah terbalas. Mereka
lainnya mampus
karena punya rencana jahat menghancurkan
Lemah Tulis.
Siapa pun yang membunuh murid Lemah Tulis,
akan kucari
sampai ke liang kubur." Geni menatap
dua nenek kembar.
"Kalian lebih baik pulang kampung,
jangan memusuhi Lemah
Tulis supaya kalian selamat, pergilah."
Tanpa mempertimbangkan rasa malu dan nama
besarnya
lagi, nenek kembar itu melesat ke luar
gelanggang, langsung
turun gunung. Di kemudian hari dua nenek itu
lebih banyak
diam di perkampungan, mengasingkan diri,
tidak mau lagi
bertualang dan melanglang dunia
kependekaran.
Sekonyong-konyong Geni mendengar suara lirih
memanggil
namanya. Suara itu seperti dikenalnya. Dia
menoleh ke arah
suara. Seorang perempuan cantik memandang
kepadanya.
Sepasang mata itu tidak berkedip. Geni
mengenali. "Sekar!"
Geni melihat seorang lelaki jangkung usia
limapuluhan
berdiri di sisi Sekar, menggenggam tangan si
gadis. Sekar
menoleh berkata kepada lelaki itu, "Aku
hanya mau mengucap
kata perpisahan. Biarkan aku, kamu tahu aku
tidak akan
melarikan diri."
Geni mendengar apa yang dikatakan Sekar.
Kenapa? Apa
yang terjadi? Mengapa sikap Sekar begitu
tawar padanya? Ia
menatap lekat lelaki itu tetapi belum pernah
mengenalnya.
Lelaki itu tampan, berdandan mewah. Dari
bentuk dan warna
pakaiannya, orang itu pasti dari keraton
Kediri. Lelaki itu
melepas genggaman membiarkan Sekar maju
beberapa
langkah. Sekar berhenti dalam jarak beberapa
tombak dari
Geni.
"Pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Aneh, limabelas bulan
berpisah, dan kamu tidak lari memeluk aku
sebagaimana
biasanya," berpikir demikian Geni diam
tidak bergerak Ia
menatap Sekar. Diam sesaat, dia menyapa
kekasihnya.
"Sudah lama kita tidak berjumpa, kamu
masih cantik dan
semakin cantik. Apa yang terjadi, isteriku
Sekar?"
"Aku berduka mendengar kematian
kangmbok Wulan.
Tetapi nasibku juga tidak beruntung. Nenek
Dewi Obat dalam
tawanan mereka. Aku tak bisa lari, aku harus
bersedia menjadi
isterinya dan dia akan membebaskan Dewi
Obat." Dia berkata
lirih yang hanya bisa didengar suaminya.
Geni terkejut. "Siapa orang itu? Siapa
mereka?"
"Dia Pranaraja, dia mahamenteri orang
kepercayaan
Baginda Raja Tohjaya, ia paling berkuasa,
melawan dia sama
dengan melawan seantero kerajaan
Kediri."
"Aku tak akan melepas kau pergi, aku
mencintaimu Sekar,
apa pun yang terjadi aku akan menghadapi
bahkan seluruh
kerajaan Kediri sekali pun."
Dia memandang mesra kekasihnya. "Aku
mencintaimu
Geni, tetapi nasibku memang buruk Aku harus
pergi, sampai
jumpa." Dia membalik tubuh. Pada saat
itulah dia melihat
seorang nenek tua sedang melangkah
terseok-seok dengan
memanggul tongkat sapu lidi. Langkah nenek
itu menuju
rombongan punggawa Kediri. Siapa lagi kalau
bukan nenek
dan gurunya, Si Nenek Sapu Lidi.
Sekar mencium sesuatu bakal terjadi Neneknya
pasti akan
berbuat sesuatu untuk menolongnya. Dia
membalik tubuh,
memandang Geni dan bibirnya bergetar. Sekar
mengirim
suara. "Geni bersiaplah untuk tarung,
nenekku sudah datang,
ia pasti berbuat sesuatu!"
Saat berikut Sekar berbalik. Ia melangkah ke
Pranaraja.
Neneknya sudah sangat dekat dengan rombongan
Kediri.
Melihat nenek tua renta yang jalannya saja
sudah terseokseok,
tak seorang pun curiga sehingga membiarkan
si nenek
mendekati rombongan. Mendadak Nenek Sapu
Lidi bergerak
cepat Ia menyerang dengan sapu lidi Sekar
ikut menerjang.
Pada saat bersamaan Geni sudah melayang.
Pranaraja dan rombongan tak menyangka.
Gebrakan nenek
tua itu dahsyat, beberapa punggawa terdorong
mundur.
Pranaraja yang ternyata seorang sakti
berusaha mencegah,
namun Geni sudah sampai di dekatnya. Geni
marah, mengibas
dua tangan bagai menyibak air di kolam
Kesiuran angin dingin
menerpa Pranaraja dan orang di sekitarnya.
Pada saat yang
sama Sekar menerobos ke dalam rombongan. Ia
bersama
neneknya bertarung keras, banyak korban
berjatuhan.
Keributan yang terjadi memancing orang lain.
Gayatri
mengajak dua pembantunya membantu Geni.
Meski tidak
mengenal orang, namun mudah mengenali lawan,
karena
semua punggawa Kediri mengenakan seragam
keraton.
Prastawana dan lima murid Lemah Tulis ikut
meluruk, ini
pertarungan sang ketua artinya juga
pertarungan mereka.
Hanya dalam sekejap nenek tua dan Sekar
berhasil
menolong Dewi Obat yang tertawan. Dua
pendekar itu
melindungi Dewi Obat. Gayatri dan
pembantunya bertarung
lawan Lembu Ampai, Samba dan Hanggada. Murid
Lemah
Tulis dipimpin Prastawana tarung lawan
anggota Sinelir Kediri.
Di sisi lain Wisang Geni terlibat tarung
hebat dengan
Pranaraja. Bentrokan tangan menimbulkan
suara keras dan
kesiuran angin. Geni mulai menggelar ilmu
silat Menunggang
Angin, ia melayang sambil mencecar serangan
beruntun ke
Pranaraja. Orang sakti ini kewalahan dan
terdesak mundur.
Beberapa anggota Sinelir meninggalkan lawan
mereka untuk
membantu Pranaraja. Tiba-tiba Pranaraja
berseru, "Berhenti!"
Suaranya keras dan terdengar wibawa. Semua
orang
berhenti tarung. Nenek Sapu Lidi dan Sekar
menuntun Dewi
Obat mendekati Wisang Geni, begitu pun
Gayatri dan dua
pembantunya serta murid Lemah Tulis. Dua
rombongan ini
saling berhadapan.
Pranaraja membusungkan dada. Ia memang
terkenal
cerdas dan sakti. Dua hal itu membuatnya
menjadi penasehat
dan orang kepercayaan Raja Tohjaya. Ia tadi
melihat,
pihaknya sulit menang meskipun belum tentu
akan kalah.
Lawan sangat tangguh. Saat itu rombongan
Tumapel dipimpin
Panji Patipati belum ikut campur. Keadaan
jelas tidak
menguntungkan pihaknya.
"Tidak ada gunanya tarung dilanjutkan,
akan jatuh banyak
korban. Ini hanya salah faham Kami menawan
Dewi Obat dan
cucunya, karena perbuatan mereka yang
menentang kerajaan.
Tetapi meneliti lebih lanjut, aku melihat
perbuatan mereka
hanya suatu kesalahan kecil. Melihat bahwa
mereka punya
hubungan kerabat dengan Ki Wisang Geni dan
Lemah Tulis,
maka aku mewakili Baginda Raja membebaskan
kalian semua
dari tuduhan makar terhadap keraton
Kediri."
Ia menatap Wisang Geni bergantian Sekar.
Sambil
menghela napas panjang, Geni mengangguk
setuju.
"Terimakasih atas kemurahan hati paduka
mahamenteri
bahwa pertarungan ini dihentikan dan kami
bebas dari
tuduhan makar. Tetapi kalau diperkenankan,
boleh aku
menanyakan suatu masalah di luar urusan
ini?"
Pranaraja mengangguk. Geni berkata lirih
tetapi suaranya
didengar semua orang. "Paduka
mahamenteri, suatu waktu
sepasang suami isteri dikeroyok sepuluh
orang yang ilmunya
mumpuni. Si isteri mati bersama bayi dalam
kandungannya.
Jika sang suami membalas dendam, apakah itu
bertentangan
dengan peraturan umum atau peraturan
kerajaan?"
Pranaraja tercenung. Dia tak tahu cerita apa
di balik
pertanyaan Wisang Geni. "Khusus kasus
yang sampean sebut
itu, maka balas dendam sang suami dianggap
wajar dan tidak
menyalahi peraturan."
"Terimakasih, tuan. Perkenankan aku
menantang Lembu
Ampai tanpa melibatkan kerajaan Kediri. Dia
bertanggungjawab atas pembunuhan terhadap
isteriku yang
waktu itu sedang mengandung anak
pertamaku." Geni
menatap mata Pranaraja. Ada sinar mata
memohon dalam
mata Geni yang tidak luput dari pengamatan
Pranaraja. "Dia
memohon padaku, tetapi dia juga bisa
bersikap tegas, lagi
pula ini kesalahan Ampai pribadi,"
pikirnya.
Ia memanggil Senopati Samba. "Kamu
perintahkan semua
anak buahmu, tidak boleh ikut campur urusan
itu. Lembu
Ampai yang berbuat, maka dia harus
bertanggungjawab, biar
tarung ini berlangsung adil. Aku suka nonton
tarung yang
adil."
Suasana hening. Sebagian orang mengira
pertarungan
sudah selesai. Mendadak Geni berseru
lantang, "Lembu Ampai
kamu bersama pasukanmu dan Lembu Agra
mengeroyok dan
membunuh isteriku, aku sudah bersumpah akan
menagih
hutang nyawa ini. Lembu Agra sudah mati.
Kini aku menagih
tanggungjawabmu."
Lembu Ampai terkesiap. Nyalinya ciut melihat
keperkasaan
Geni. Tetapi di depan anak buah dan
atasannya Pranaraja, dia
tak mau hilang muka "Aku laki-laki
sejati, bertanggungjawab
atas semua perbuatanku. Tetapi bagaimanapun
juga sebagai
hamba kerajaan aku punya orang bawahan dan
juga punya
atasan. Pertarunganku dengan sampean pasti
akan melibatkan
banyak orang kerajaan."
"Sampean pintar dan licik, tetapi
pengecut. Kamu mau
melibatkan banyak orang, bahkan kalau perlu
kamu mengajak
seluruh otang keraton Kediri, kamu
berlindung di balik pangkat
kerajaan, tetapi kamu sendiri tidak berani
bertanggungjawab
atas perbuatan membunuh isteriku, kau
mengaku sebagai
lelaki sejati tetapi kamu sebenarnya seorang
pengecut kerdil,
kamu memalukan citra punggawa kerajaan
Kediri."
Lembu Ampai naik darah. Dia mencabut
senjatanya. "Itu
sudah hukum alam, kalau kamu memusuhi aku
itu sama saja
kamu melawan kerajaan, itu artinya kamu
memberontak dan
hukuman bagi pemberontak adalah mati!
Tangkap dia!"
Mendadak Senopati Samba berseru,
"Maafkan saya,
kangmas Ampai. Atas perintah Paduka Yang
Mulia
Mahamenteri Pranaraja, semua punggawa Kediri
tak boleh ikut
campur. Urusan ini adalah tanggungjawab
kangmas Lembu
Ampai seorang, biarkan tarung ini
berlangsung adil, satu
lawan satu. Aku sendiri yakin kamu akan bisa
mengatasi
lawanmu itu."
Para punggawa Kediri terkesima. Apa yang
dikatakan
Pranaraja adalah perintah atas nama Raja
Kediri. Tidak
seorang pun berani membangkang. Kepala
Patlikur Sinelir
senopati Samba telah mengumumkan perintah
Pranaraja.
Semua punggawa mengambil posisi istirahat,
begitu juga
para punggawa Tumapel dan murid Lemah Tulis.
Kejadian ini
di luar perhitungan Lembu Ampai. Semua
berantakan, Lembu
Agra dan para pendekar sewaan mati di tangan
Geni. Bahkan
sekarang ini Pranaraja dan punggawa Sinelir
lepas tangan, tak
mau terlibat. Dia harus menghadapi Wisang
Geni satu lawan
satu.
Bagaimanapun juga Lembu Ampai seorang
pendekar yang
punya karakter dan ilmu silat mumpuni. Dalam
situasi sulit dan
terdesak, dia meyakinkan diri sendiri akan
melawan Wisang
Geni sampai titik darah penghabisan. Seorang
pendekar,
kalaupun harus mati, dia mati bersama
kehormatan dan harga
diri. "Sehebat apa pun ilmu silat
Wisang Geni, ia toh belum
merasakan hebatnya pukulan Gelap Ngampar,
jurus Keris
Tujuh Kembang dan duabelas Pisau Terbang Formasi
Bunga
Mawar."
Lembu Ampai melangkah ke tengah gelanggang.
Langkahnya pasti. Ada keyakinan dalam
pikirannya, ilmu ilmu
silat tidak berdiri sendiri tapi didukung
pengalaman,
kematangan, strategi licik dan licin. Semua
aspek itu
dibutuhkan seseorang untuk memenangkan
pertarungan mati
hidup.
Wisang Geni menatap Lembu Ampai yang sangat
percaya
diri. Matanya tajam, dalam dan dingin.
"Orang ini kejam dan
licik. Aku tak boleh meremehkan orang ini.
Dia pernah
menyerangku dengan pisau terbang, senjata
itu sangat
ampuh, aku harus waspada." Berpikir
demikian, Geni
mengembangkan dua tangannya, mengangkat sana
kakinya
dalam sikap menanti. "Hutang nyawa
bayar nyawa, beberapa
waktu lalu kamu menghalangi aku menolong
isteriku. Kamu
sepuluh orang mengeroyok aku dan isteriku,
padahal kita tak
pernah bermusuhan bahkan kita tak pernah
bertemu
sebelumnya."
"Wisang Geni, sampean tak perlu bicara
ngalor ngidul,
mencari simpati orang. Waktu itu kita belum
tarung tuntas,
sekarang keadaan sangat berbeda, ini tarung
mati atau hidup.
Terimalah tamparan dari neraka." Belum
habis ucapannya,
Lembu Ampai sudah menerjang dengan tamparan
berantai.
Dua tangannya bagaikan saling mendahului.
Angin panas
terasa oleh sebagian orang dalam radius
beberapa tombak.
Itu jurus Gelap Ngampar.
Geni mengelak dan menangkis sambil balas
menyerang
dengan pukulan keras. Dalam sepuluh jurus,
keduanya saling
serang. Dalam pertarungan pertama beberapa
bulan silam,
keduanya saling pukul dan menguji tenaga
dalam. Waktu itu
Geni unggul tipis.
Sekarang, Lembu Ampai tarung beda strategi.
Ia
menyerang ganas tetapi selalu menghindari
adu tenaga
Lembu Ampai mengetahui nyawanya kini
tergantung pada
kemampuannya sendiri, tidak lagi mengharap
bantuan orang
lain.
Geni meladeni gempuran Gelap Ngampar lawan
dengan
lamban. Bergerak dan melayang seperti awan
yang digiring
angin, semua berjalan sebagaimana mestinya.
Tidak ada
ketergesaan. Geni melihat pertahanan Lembu
Ampai sangat
rapat. Ternyata Ampai tangguh melebihi Agra.
Ada bedanya,
jika Agra sangat bernafsu dan kelewat percaya
diri dengan
Pitu Sopakara.
Lembu Ampai lebih hati-hati karena
mengetahui ilmu silat
Geni sangat tinggi "Dia sudah bertarung
menghadapi banyak
lawan, sudah melewati seratus jurus lebih,
tenaganya pasti
terkuras. Aku hanya menunggu dia letih, saat
itulah aku
meyerang dengan pisau terbang," katanya
dalam hati. Berpikir
demikian, Lembu Ampai bertarung waspada,
sabar dan tidak
bergegas. Dia lebih banyak bertahan dan
mengulur-ulur
waktu. Jurus Keris Tujuh Kembang dan
tamparan Gelap
Ngampariidak mudah ditembus Geni.
Manusia punya keterbatasan, tenaga manusia
terbatas.
Wisang Geni bukan manusia dewa. Letih mulai
mengganggu
geraknya. Sejak dari Gondang, melakukan
perjalanan ke
Lemah Tulis ia tidur semalam. Esok harinya
ke Argowayang,
empat hari perjalanan. Tadi siang begitu
tiba dia langsung
terlibat tarung lawan Lembu Agra dan
begundalnya. Sejak
siang sampai saat ini ketika matahari senja
mulai redup, ia
sudah tarung ratusan jurus.
Pertarungan memasuki jurus tujuhpuluhan.
Geni mengeluh,
sadar tenaganya mulai berkurang digerogoti
keletihan. Pikiran
dan geraknya tidak lagi menyatu. Namun Geni
masih bisa
berpikir jernih. Bahwa ia harus selesaikan
pertarungan
secepatnya, sebab makin lama ia semakin
letih. Ia harus
berani mengambil resiko meski pun sangat
berbahaya.
Letihnya Geni tidak luput dari pengamatan
Lembu Ampai.
Gerak Wisang Geni tidak sehebat sebelumnya.
Namun Lembu
Ampai masih ragu, apakah menyerang sekarang
juga atau
menanti beberapa saat lagi sampai lawannya
benar-benar
letih.
Maka Lembu Ampai terkejut ketika Geni
menerjang maju.
Geni memukul dada Lembu Ampai. Diam-diam
senopati Kediri
ini girang. 'Tucuk dicinta ulam tiba,
kesempatan akhirnya
datang juga, kini saatnya aku menyerang
dengan dua belas
Pisau Terbang Formasi Bunga Mawar,"
pikir Lembu Ampai
Lembu Ampai memapas tangan Geni dengan
keris, tangan
lainnya memukul pelipis. Geni mengelak
sambil mengibas
kepala lawan. Lembu Ampai merunduk
menghindari pukulan
Geni sambil melepas keris, merogoh pisau di
balik baju dan
menghentak dua tangannya. Duabelas pisau
terbang
menerkam Geni. Kemudian ia menyambar
kerisnya sebelum
jatuh ke tanah. Lima gerakan itu dilakukan
Lembu Ampai
dalam sekejap mata. Sempurna.
Duabelas pisau melejit dalam Formasi Bunga
Mawar
mengarah dua belas titik penting tubuh Geni.
Terdengar jerit
penonton, serangan pisau terbang itu di luar
dugaan. Dalam
jarak sangat dekat, terpaut hanya satu
tombak, Lembu Ampai
dan penonton menduga pisau akan menghunjam
tubuh
Wisang Geni. Serangan itu mengejutkan Geni,
yang tidak
mengira lawan menyerang sekaligus dengan
duabelas pisau
terbang. Tetapi Geni tidak panik.
Tak ada kesempatan mengelak atau pun
menangkis. Geni
membuat gerakan aneh, dua tangannya ditekuk
di depan
dada, kemudian memutar tubuh Tubuhnya
berputar di atas
satu kaki sebagai sumbu, gerak putarnya
sangat cepat, bagai
gasing. Bersikap seperti angin, bagaikan
hamuk Lesyus,
Nilapracoda dan Bajrapgti, angin topan yang
dahsyat.
Penonton tidak bisa menyaksikan apa yang
terjadi, kepulan
debu dan dedaunan kering yang terbawa dalam
pusaran angin
dahsyat telah menutup pemandangan. Wisang
Geni dan
Lembu Ampai seperti lenyap dalam pusaran
angin. Sesaat
kemudian, sebelas pisau melejit keluar dari
kepulan debu
dengan tenaga sambaran yang sangat kuat.
Untung pisau
terbang itu tidak mengenai seorang pun dari
kalangan
penonton.
Saat berikutnya terdengar jeritan.
Perlahan-lahan pusaran
angin menghilang, debu menipis. Lembu Ampai
terhuyunghuyung,
dua tangannya tergantung tanpa tenaga, dua
kakunya lemas, kepalanya menengadah sambil
mengerang
kesakitan. Dia rubuh di tanah. Tubuhnya tak
bergerak, tewas.
Kemudian orang melihat Wisang Geni duduk
bersila, sebilah
pisau nancap di pundaknya.
Apa yang terjadi merupakan keajaiban, dalam
keadaan
tersudut dan mustahil bisa lolos dari
sergapan pisau terbang,
sekilas Geni menemukan jalan keluar. Putaran
tubuhnya yang
begitu cepat bagaikan gasing telah menyedot
semua pisau
ikut terbawa putaran. Hanya sebab datangnya
pisau terlalu
cepat, maka satu di antaranya yakni yang
terdepan sempat
menghunjam ke pundak Geni. Namun putaran tubuh
itu telah
memunahkan sebagian tenaga pisau sehingga
hanya sepertiga
badan pisau yang menusuk ke dalam daging
pundaknya.
Lembu Ampai tidak hanya menyerang dengan
duabelas
pisau terbang, tetapi membarengi tusukan
keris dan hantaman
Gelap Ngampar ke kepala Geni. Lembu Ampai
yakin,
serangannya pasti menewaskan lawan. Sama
sekali di luar
perhitungannya, jika tubuhnya bisa ikut
terbawa pusaran
angin dahsyat. Bahkan ia merasa tenaga
pukulan lawan
menghantam pundaknya membuat kerisnya
terpental dan
tangan Geni menampar kepalanya. Lembu Ampai
merasakan
kesakitan luar biasa sebelum tubuhnya doyong
lalu terhempas
ke tanah.
Semua orang takjub. Lembu Ampai tewas.
Padahal tadinya
mereka mengira Wisang Geni yang bakal tewas.
Di tengah
gelanggang Geni masih bersila. Prastawana
dan murid Lemah
Tulis maju mengelilingi dan melindungi
ketuanya. Tampaknya
pertarungan Argowayang usai sudah. Sebagian
besar
penonton kembali ke rumah masing-masing
seiring matahari
senja mulai tenggelam.
Prawesti dengan wajah bingung memandang Geni.
Mata
lelaki itu tertutup, tetapi nafasnya seperti
biasa. Prawesti
mengulur tangan, hendak mencabut pisau di
pundak
ketuanya. Tetapi dicegah Sekar.
Gayatri juga mencegah, berseru,
"Jangan, jangan kamu
cabut pisaunya!"
Prawesti yang sejak bertemu sudah cemburu
dan kesal
terhadap Gayatri, tak mau peduli. Ia
meneruskan maksudnya.
Tetapi Sekar dan Manjangan Puguh yang entah
kapan
bergerak, sudah berada di dekat Geni,
menghalangi maksud
gadis itu. "Jangan dicabut, pisau itu
beracun, jika dicabut
racun akan lebih cepat menjalar."
Gayatri mendekat, namun dihalangi Prawesti
dan Gajah
Lengar.
"Ketuamu kena racun ganas, aku mau
memberi obat
pemunah, kalian minggir," kata Gayatri.
Prawesti berkata ketus, "Obat? Obat
apa? Pasti racun!"
Gadis India itu tidak marah. "Terserah
kamu, tetapi buat
apa aku meracuni dia, aku ingin menolong
karena dia masih
punya hutang padaku, supaya dia bisa cepat
membayar
hutangnya. Tanyakan pada ketuamu itu, mau
kutolong atau
tidak?"
Geni membuka mata. "Kamu selalu suka
memaksa, mana
obatnya. Cepat berikan, lukaku sudah mulai
gatal," sambil ia
membuka mulut lebar-lebar.
Gayatri tersenyum, menghampiri Geni.
Prawesti
menyingkir, wajahnya cemberut. Sekar berjaga
jaga, takut
gadis India itu menurunkan tangan jahat.
Sekar ingat Gayatri
pernah berkata akan menantang Geni untuk
membalas
dendam Lahagawe.
Sekar berkata ketus, "Jangan coba-coba
membokong
suamiku, akan kugorok lehermu!"
Gayatri mendengus. Ia memeriksa luka. Kulit
di sekitar
pundak berwarna biru kehitaman. "Ini
racun ganas. Aku tidak
tahu racun apa ini, tetapi jelas sangat
berbahaya dan sanggup
mematikan dalam waktu singkat. Darah yang
keluar tidak
banyak karena sudah banyak yang membeku kena
racun. Jika
makin banyak darah beku dan jika sudah tak
ada lagi darah
yang merembes keluar, maka pengobatan akan
lebih sulit.
Darah beku itu harus dikeluarkan,
diisap," kata Gayatri kepada
Geni.
Saat itu juga Prawesti berkata, "Biar
aku yang mengisap."
Gadis ini mendekat sambil tangannya
mendorong pergi
Gayatri. Maksudnya hendak menyingkirkan
Gayatri dari
hadapan Geni.
Gayatri tidak meladeni. Ia hanya berkata
lirih, "Itu racun
ganas, mulutmu akan merasa gatal, kemudian
rasa baal, lalu
kesemutan, kau pasti akan keracunan. Akan
lebih sulit
mengobatimu dibanding luka Wisang Geni,
karena mulut
berhubungan langsung dengan pernafasan,
racun akan cepat
menjalar ke jantung."
Prawesti bersikeras dengan nada tinggi
"Aku tidak takut."
Ia kemudian merunduk, namun tangan Geni
mencegahnya.
"Tunggu Prawesti! Katakan Gayatri,
bagaimana baiknya."
Saat itu Sekar mencari-cari seseorang, mana
nenek Dewi
Obat dan Nenek Sapu Lidi. Ia melihat
neneknya sedang
mengurut punggung Dewi Obat.
"Terserah padamu, aku punya obat yang
bisa membasmi
segala macam racun ganas. Tetapi darah beku
harus
dikeluarkan, setelah itu baru bisa diobati.
Hanya orang yang
mengisap akan terkena racun dan kalau pun
bisa diobati mulut
orang itu akan cacat."
Geni mengambil keputusan. "Kalau begitu
biarlah, tak
seorang pun yang perlu mengisap darahku ini.
Apakah ada
jalan lain?"
Terdengar suara lirih tetapi bisa didengar
semua orang.
Suara Dewi Obat agak gemetar, "Sekar,
ambil bambu yang
lubangnya kecil, kamu sedot darah beracun
itu dengan
menggunakan bambu itu, cepat lakukan!"
Sekar melesat ke pohon bambu. Sekejap ia
sudah jongkok
di sisi Geni. Tadinya Prawesti dan Gayatri
tak mau memberi
jalan. Sekar mendorong mereka. "Kalian
minggir, dia suamiku,
aku berhak mendampinginya."
Geni menatap kekasihnya itu. "Sekar aku
rindu padamu,"
bisiknya.
Sekar tersenyum, tanpa menunda waktu ia
tempelkan
bambu kecil ke luka Geni, lalu mencabut
pisau yang nancap di
pundak Geni.
Tiba-tiba Gayatri menyodorkan pil warna
putih. "Sekar, ini
pil anti racun, supaya mulutmu aman."
Sekar menatap mata
Gayatri.
Gadis India itu mengangguk dan tersenyum.
Sekar
membuka mulurnya, Gayatri menyuapi
Sekar mulai mengisap, darah beku itu
tersedot tetapi
sebelum masuk mulut, ia menyembur ke tanah.
Ia lakukan
berulang kali sampai yang keluar adalah
darah merah.
"Selesai," sambil berkata, Sekar
membalik tubuh. Ia muntahmuntah.
Tanpa sadar Prawesti berseru, "Kamu
keracunan?"
Sekar menjawab lirih, "Aku tak apa-apa,
aku cuma tak
tahan bau racun itu."
Gayatri merogoh sakunya, memberi Sekar
sebutir pil warna
biru.
"Apa ini?" tanya Sekar.
Gadis India berbisik di telinganya.
"Supaya mulutmu wangi,
suami kita itu suka mencium mulut, kamu tahu
kan?"
Sekar memandang heran. Gayatri tertawa
lirih. Ia berbisik
lagi. "Perawanku sudah dia ambil, dua
malam berturutan,
sungguh liar dan kuat. Apa kamu marah
padaku?"
Sekar menggeleng. Ia berbisik lirih di
telinga Gayatri.
"Dasar mata keranjang, bajingan.
Mungkin Geni harus punya
isteri lebih, kalau hanya seorang, isterinya
bisa cepat tua dan
cepat mati."
"Eh Sekar, kenapa kau percaya padaku,
mau menelan pil
obatku, padahal kita pernah tarung? Kamu tak
takut pil itu
beracun?"
"Matamu jujur dan polos, tak ada sinar
dendam dan
amarah. Lagipula buat apa kamu
meracuniku?"
Gayatri berbisik, "Kamu cerdas dan
berani. Semoga kita
berkawan, sebab terus terang aku tak pernah
mau bermusuh
denganmu."
Saat itu Prawesti sedang bingung. Tak tahu
bagaimana
menolong Geni. Darah merembes dari luka yang
menganga.
Berdua Sekar, Gayatri menghampiri Geni. Ia
memberi pil
putih. "Ini peluru salju dari Himalaya
pembasmi semua racun
ganas," ia menyuapi Geni, kemudian
melanjutkan, "Sekarang,
pada saat aku menekan lukamu kau harus
mendorong dengan
tenaga dalam, kau siap?"
Gayatri menotok beberapa titik di sekitar
pundak lalu
menekan daerah sekitarnya, pada saat
berbarengan Geni
mendorong dengan tenaga. Darah kental
muncrat dari lubang
luka, warnanya merah agak hitam dan bau
busuk. Ketika
warna darah mulai merah dan semakin merah,
Gayatri
berhenti.
Gayatri meremas pil salju dan melabur ke
luka kemudian
merogoh sesuatu di pinggangnya. Bentuknya
seperti jarum
dengan benang halus. "Lukamu lebar dan
dalam, harus dijahit,
mau kujahit?"
Geni mengangguk. Gayatri dengan cekatan
menjahit luka.
Sekejap saja luka sudah rapat. Hanya tampak
bekas seperti
goresan. Ia menatap Geni. "Racun itu
racun ganas, tetapi
obatku lebih hebat, kamu akan sembuh dalam
sekejap. Kini
tinggal urusan kita, nanti malam kamu harus
temui aku,
hutangmu harus kamu bayar, tak ada alasan
untuk tidak
datang, awas kamu"
"Terimakasih, tak kusangka kau mahir
mengobati orang.
Nanti malam aku pasti menemuimu" Geni
memegang tangan
Gayatri.
Pada saat itu Pranaraja menegur Wisang Geni.
"Kamu cepat
pulih, bagus. Racun pisau Lembu Ampai memang
ganas. Tapi
ilmu silat sampean mumpuni bahkan aku pun
kewalahan."
Wisang Geni memaksa berdiri. "Tidak
benar itu, paduka
sakti mandraguna, paduka sengaja telah mengalah
dan
memberi aku kesempatan hidup,
terimakasih."
"Sampean berilmu tinggi, tetapi sampean
sangat rendah
hati, aku ingin mengikat tali persahabatan
dengan sampean,
aku mewakili diri pribadi dan juga keraton,
mengundangmu ke
keraton Kediri."
Panji Patipati dan punggawa Tumapel terkejut
dengan
undangan itu. Dalam hati mereka khawatir
Geni menerima
undangan itu. Setelah berpikir sejenak, Geni
menyahut,
"Terimakasih undangan paduka, aku sulit
menolak, sulit
menerima, maafkan aku, selama ini aku
membatasi diri dalam
urusan kerajaan, maaf paduka."
Pranaraja senang. "Kata-kata sampean
ibarat emas,
sampean tidak ke keraton Kediri dan juga
tidak ke Tumapel,
itu sangat bijaksana."
Rombongan Kediri kembali ke rumahnya. Begitu
juga
orang-orang lain. Mereka butuh istirahat
untuk menghadapi
malam perburuan widali.
Wisang Geni melangkah. Tiga perempuan itu,
Sekar,
Gayatri dan Prawesti berebut menggandeng
lengannya. Geni
tersenyum kecut. "Masalah baru, tiga
perempuan, tanganku
cuma dua," katanya.
Tiga perempuan tertegun. Sekar membuka
mulut. "Geni,
suamiku, kamu harus tegas. Aku tadinya nomor
dua, setelah
kangmbok Wulan mati, aku harus menjadi nomor
satu.
Tentang Gayatri dan Prawesti, aku tak ikut
campur, kamu
yang putuskan."
Saat itu muncul Ekadasa. "Aku juga
isterinya, kami bercinta
di keraton Tumapel, dua malam tak pernah
berhenti."
Prawesti menyela, "Tetapi kamu kan
punggawa keraton."
Ekadasa tersenyum genit. "Aku akan
mundur dari keraton
Tumapel, aku lebih suka mengikuti
petualangan mas Geni."
Wisang Geni mengeluh. "Ini masalah
besar. Lebih berat
dibanding pertarunganku tadi. Sebenarnya
kalian semua sama
saja, semua isteriku, tak ada bedanya."
Sekar membantah, "Tidak bisa begitu,
aku tetap harus
nomor satu, Geni kamu harus tegas, kamu
sudah janji
padaku!"
Geni menoleh keliling. Tak ada orang. Semua
orang sudah
bubar. Hari mulai gelap. Ia berkata dengan
wibawa yang
dibuat-buat "Baik, ini keputusanku,
adil. Tak boleh dibantah.
Sekar nomor satu, dia lebih dahulu dari
kalian bertiga. Gayatri
nomor dua, karena aku berjanji mengawininya.
Sebenarnya
Prawesti lebih duluan, tetapi aku tidak
berjanji padanya.
Ekadasa juga aku tidak berjanji. Jadi
Prawesti nomor tiga,
Ekadasa nomor empat, semua sudah beres, tak
boleh ada
yang protes!"
Gayatri memotong, "Aku tidak protes,
tetapi kamu sudah
janji tadi akan datang ke rumahku,
menyelesaikan urusan
kita."
Sekar memotong, "Urusan Gayatri itu
bisa ditunda. Geni
harus bersamaku, aku sudah enambelas purnama
berpisah."
Geni merangkul erat pinggang Sekar.
"Aku rindu isteriku
yang ini. Aku pergi dengannya, kalian
kembali ke rumah,
tengah malam nanti aku ke rumah
Gayatri"
Sekar memotong, 'Tidak, jangan tengah malam,
besok
siang saja." Sambil ia memandang
Gayatri dengan penuh arti.
Gadis India itu mengangguk dengan senyum
melirik Geni.
"Aku tunggu kamu besok siang, Geni,
tetapi kamu harus
datang seorang diri."
Tak mau lama-lama lagi, Sekar mengajak Geni
ke rumah
terpencil dalam hutan di kaki gunung.
"Sekar, kamu tahu dari
mana ada gubuk tua ini." Gadis itu tak
menjawab, ia
menerkam Geni, rindu belasan purnama ia
tumpahkan dengan
tangis dan rintihan. "Kau bercinta
dengan Gayatri, dengan
Prawesti, dengan Ekadasa, kamu lupa daratan,
lupa padaku,
kamu jahat"
Geni menciumi sekujur tubuh molek itu, Sekar
merintih,
membisik nama Geni berulang-ulang. Geni mendapatkan
Sekar yang liar, kuat dan sangat bernafsu.
Keduanya bercinta
seakan tak ada lagi hari esok. Semalaman.
Apa yang
dikatakan Sekar benar adanya, satu malam
saja tidak cukup
untuk membayar rindu birahinya.
Ketika fajar menyingsing, Geni lelap. Sekar
bangun. Ia
menatap sepuasnya kekasih pujaannya. Ia
menciumi tubuh
Geni. Lelaki itu terjaga. "Aku rindu
padamu Geni. Enambelas
purnama aku tersiksa memikirkan kamu,
padahal kamu enakenakan
bercinta dengan Wulan, Prawesti, Gayatri
bahkan
Ekadasa juga."
"Kamu marah, cemburu?"
Sekar menggeleng. "Aku cemburu, tetapi
aku mengerti apa
maumu dan aku memberi kamu kebebasan. Aku
senang,
karena kamu lebih mementingkan aku dari yang
lain.
Menurutmu siapa paling cantik, paling indah
tubuhnya dan
paling panas dalam bercinta?"
'Tentu saja kamu, Sekar, kekasihku."
"Kamu bohong, semua perempuan kamu
puji. Di depan
Gayatri kamu memuji Gayatri."
Geni mencium lehernya. "Aku
sungguh-sungguh, kamu
paling cantik. Matamu, mulutmu, semuanya.
Kamu cantik
jelita, segar dan ceria. Tubuhmu paling
indah, pinggang kecil,
perut rata, buah dada tegak sintal, bokong
dan pinggulmu tak
ada lawan, paha dan betismu indah. Tetapi
jujur saja, kalau
paha dan betis, mbakyu-mu Wulan lebih indah.
Sekarang
Wulan sudah pergi, tentu saja paha dan betis
kamu yang
paling indah. Dalam bercinta, kamu liar dan
panas, hampir
sama dengan Gayatri. Ada satu lagi yang
membuat aku harus
mendahulukan kamu dibanding semua perempuan
lain di
kolong langit ini, kamu mau tahu?"
Sekar merasa tersanjung, ia mencium mulut Geni.
"Katakan
kekasihku."
"Karena kakekmu, Eyang Suryajagad,
sudah titip pesan
padaku, jangan sia-siakan Sekar. Tanpa pesan
itu saja aku
sudah kasmaran dan jatuh bangun mencintai
kamu, apalagi
ditambah adanya pesan dari orangtua yang
paling aku
muliakan di muka bumi"
"Kamu ketemu kakek Suryajagad, kamu
ketemu di mana?
Di mana kakek sekarang?"
"Dia sudah pergi, mungkin beliau akan
moksa."
Sekar terdiam. Matanya berair. "Aku
ingin ketemu kakek."
"Sekar, kamu harus legowo. Kakekmu
sudah menyelesaikan
tugasnya di tanah Jawa ini"
"Aku sudah rela dan pasrah. Tetapi kamu
harus ingat pesan
kakekku, jangan sia-siakan aku." Sekar
merangkul suaminya,
pahanya melingkar di paha suaminya.
"Geni, katakan lagi,
kamu mencintai aku, jatuh bangun mencintai
aku, apakah
begitu hebat kamu kasmaran padaku?"
Geni menggumam sambil menggumuli tubuh
isterinya. "Aku
bercinta dengan banyak perempuan, tetapi aku
hanya
mencintai seorang perempuan, namanya Sekar.
Aku juga
tersiksa memendam rindu. Aku sering
mengingat percintaan
kita di Lembah Cemara, itu percintaan
dahsyat, aku tak
pernah bisa lupa. Tetapi, tadi malam caramu
bercinta lebih
dahsyat lagi. Sekar, aku tadinya cemburu
melihat Pranaraja
memegang lenganmu, tangannya hampir nyenggol
buah
dadamu."
Sekar tertawa menggoda. "Ia kasmaran
padaku, tetapi ia
sopan, selama tiga hari bersamanya, ia tidak
berani
menyentuhku. Ia tahu aku akan melawan
meskipun harus
korban jiwa."
Sekar sebenarnya baru empatbelas hari turun
gunung.
Tujuannya hanya satu yang paling penting, ia
ingin menemui
Wisang Geni. Ia menuju Lemah Tulis. Di
tengah jalan di desa
Gondang ia berjumpa bahkan tarung dengan
Gayatri. Di desa
itu ia mendengar berita perburuan widali di
gunung
Argowayang membuat ia mengubah perjalanan.
"Aku merasa pasti, kamu akan ke
Argowayang. Aku lantas
menuju Lembah Cemara mengajak nenek Kunti ke
Argowayang. Di tengah jalan ketemu rombongan
Kediri.
Mereka menggoda, terjadi tarung, senopati
Hanggada
kutempeleng sampai pipinya bengap. Muncul si
Pranaraja, aku
mampu mengimbangnya puluhan jurus. Itu sebab
mungkin ia
kasmaran padaku. Entah bagaimana caranya,
nenek Kunti
sudah ditawan. Mereka mengancam aku.
Kebetulan mereka
menuju Argowayang, jadi aku manda saja
menjadi tawanan
sambil mencari kesempatan menolong nenek
Kunti.
Selanjutnya kamu sudah tahu ceritanya."
"Ilmu silatmu sekarang maju pesat,
mungkin sudah lebih
tinggi dari aku, repot, sebagai suami aku
akan sulit
memerintah kamu. Bisa-bisa kamu menjajah
aku."
"Kamu ngaco, ilmu silat yang kau
perlihatkan ketika
membunuh Lembu Agra dan Lembu Ampai, mana
bisa
kulawan. Aku hanya bisa mengalahkan kamu di
sini, dalam
bercinta, membuat kamu kasmaran dan jatuh
bangun
mencintaiku."
"Kamu benar Sekar, aku kasmaran dan
setiap berada di
dekatmu, aku terangsang. Tadi waktu pertama
melihat kamu,
memandang wajah dan tubuhmu, aku sudah
hendak
menerkam, memeluk dan bercinta
denganmu." Geni mencium
mulut kekasihnya. Dan Sekar menggelinjang,
ketika tangan
dan mulut Geni sibuk menelusuri sekujur
tubuhnya. Keduanya
bercinta lagi untuk kesekian kalinya.
---ooo0dw0ooo---
Perkawinan
Matahari sudah lama tenggelam. Sinar bulan
malu-malu
sembunyi di balik awan. Tampak rumah yang
ditempati
rombongan Lemah Tulis. Wisang Geni sejak
sore semedi
memulihkan tenaganya yang banyak terkuras
beberapa hari
belakangan. Prawesti bersila di depannya.
Wajah gadis cantik
ini kelihatan gundah, gelisah dan cemberut.
Seharian ia
cemburu mengetahui hubungan Geni dengan
gadis India
begitu akrab. Apalagi kecantikan Gayatri
begitu menonjol.
Kemudian tadi malam sampai keesokan sore
Geni berduaan
bersama Sekar. "Pasti mereka
bercinta," gumamnya. Dia
bahkan cemburui Sekar yang dia tahu adalah
isteri Wisang
Geni.
Semua murid selesai santap malam. Mereka
istirahat
ngobrol di ruang tengah. Topik paling
menarik tentulah
pertarungan kemarin siang. Sepak terjang
sang ketua yang
luar biasa. Mereka takjub dan makin
mengagumi Geni. Juga
lega karena Lembu Agra dan Lembu Ampai sudah
tewas.
Dengan demikian dendam berdarah matinya
Walang Wulan
sudah lunas.
Mereka menebak-nebak ilmu silat yang
dimainkan ketua
waktu tarung lawan Lembu Ampai. Hebatnya
ketua bisa
mengelak dari serangan licik duabelas pisau
terbang yang
diolesi racun ganas. Dan siapa lagi si gadis
India cantik yang
menolong ketua. Tampaknya ketua punya
hubungan intim
dengan si gadis. Lalu muncul Sekar, isteri
ketua yang sudah
satu tahun menghilang.
Dyah Mekar tertawa geli. "Ada empat
perempuan yang jadi
isteri ketua, Sekar, Gayatri, Prawesti dan
tiba-tiba saja
Ekadasa muncul mengaku sudah bercinta dengan
ketua. Ketua
kita tak cuma hebat ilmu silatnya juga punya
jurus penakluk
perempuan yang ampuh."
Mereka mengakui Gayatri muda dan sangat
cantik. "Kupikir
ia cantik tak ada bandingan," komentar
Dyah Mekar.
"Menurutku, Sekar lebih cantik,"
kata Prastawana suami
Dyah. Tetapi dalam hati mereka prihatin akan
nasib Prawesti.
Bukankah Prawesti cukup lama berkorban
mencintai ketua.
Bahkan keintiman ketua dengan Prawesti sudah
seperti suami
isteri. Bagaimana teganya sang ketua
melupakan jasa baik
Prawesti.
Prawesti sedang gundah. Sebagai wanita,
perasaannya
mengatakan ketuanya sudah jatuh cinta pada
Gayatri.
Tampaknya Gayatri juga mencintai ketua,
bahkan terangterangan
memperlihatkan perhatian dan cintanya pada
ketua.
Prawesti dibakar cemburu. Ia memandang
lelaki yang
dicintainya itu. "Tahukah dia aku
sangat mencintainya, kenapa
dia lebih mencintai Gayatri, apakah ia akan
melupakan aku
begitu saja, apa yang harus kuperbuat, aku
bingung."
Selesai semedi, Wisang Geni berkata pada
Prawesti. "Aku
harus pergi menemui Gayatri." Ia
melangkah ke jendela.
Prawesti berdiri, sambil berkata lirih dan
agak sendu. "Ketua,
aku mohon jangan tinggalkan aku, biarkan aku
tetap
melayanimu. Kau sudah berjanji padaku."
Laki-laki itu memandang Prawesti. Ia
menghampiri,
memeluknya lembut. "Tidak, aku tak akan
meninggalkan
kamu, aku tak akan melupakan kamu
Westi."
Lelaki itu melompat lewat jendela dan
menghilang di
kegelapan malam Prawesti menatap keluar
jendela. Di luar
gelap gulita, segelap hatinya yang gundah.
Prawesti
berbaring, mendadak ia bangkit, melompati
jendela. Ia nekad
membuntuti Geni. "Aku akan ngintip dari
jauh, aku tak
percaya gadis India itu, mungkin dia
memasang perangkap."
Begitu Geni menginjak kaki di beranda rumah,
tiba-tiba
serangan bor maut mengancamnya. "Tahan
seranganmu, ini
aku." Urmila dan Shamita keluar dari
ruangan dalam "Oh
maaf, kami hanya berjaga-jaga, silahkan
masuk, putri
menunggumu di dalam."
Geni masuk. Ia melihat Gayatri duduk. Gadis
itu tersenyum,
ia senang melihat Geni. Di hadapannya sebuah
meja dan
sebuah kursi kosong. Di atas meja tersaji
hidangan. "Kamu
datang terlambat, tetapi tak apa, duduklah.
Mari kita makan."
Keduanya duduk berhadapan. Malam itu Gayatri
tampak
cantik luar biasa. Penerangan obor damar
yang remangremang
makin mempertegas kecantikannya. Ia
mengenakan
celana hitam dengan baju lengan pendek warna
hitam,
kontras dengan kulit tubuhnya yang putih.
Rambutnya
dikonde memperlihatkan lehernya yang jenjang
dan putih
bersih. Geni tak sadar memuji. "Kamu
cantik sekali."
Gayatri tersenyum "Terimakasih atas
pujianmu. Dan kamu
laki-laki tampan paling licik dan paling
kurangajar yang pernah
kutemui dalam hidupku. Bagaimana, kamu
bercinta
semalaman bersama Sekar, sudah puas?"
Wisang Geni tertawa, mengalihkan
pembicaraan. "Gayatri,
makanan ini baunya harum, tetapi tampak
asing bagiku,
makanan apa dan siapa yang masak?"
0 komentar:
Posting Komentar