Saat itu di atas panggung, Sekar berkelebat
gesit mengelak
dan menyerang balik tiap serangan Kim Mei.
Keduanya tidak
menggunakan senjata, tangan kosong lawan
tangan kosong.
Sekar dengan 17 jurus Sapwa Tanggwa kontra
jurus Cakar
Elang Kim Mei.
Dalam limapuluh jurus tampak Sekar di atas
angin. Jurus
yang dimainkan banyak variasi dan seperti
gelombang
samudera, saling susul tak pernah putus. Kim
Mei kewalahan.
Tadinya ia merasa tak begitu perlu tarung,
tetapi dalam
keadaan terdesak egonya sebagai pendekar
menuntut ia
untuk menang. Ia mundur empat langkah,
mencabut golok
tipis dari punggungnya. "Nona, kita pakai
senjata, silahkan
kamu ambil senjatamu!"
Sekar tersenyum Ia menoleh ke arah Prawesti.
Saat itu
Prawesti melempar tongkat. Sekar
menangkapnya.
"Terimakasih, adik."
Tongkat warna hitam mengkilat, rupanya
terbuat dari
logam keras, tidak panjang, tidak juga
pendek. Ukuran
sepanjang empat jengkal. Ujungnya melekat
logam tajam.
Geni dan Gayatri belum pernah melihat
senjata itu. Di mana
Sekar menyimpannya?
Sesaat kemudian dua singa betina ini tarung
ketat.
Benturan golok dengan tongkat memercik
lelatu api. Tangan
Kim Mei kesemutan, ia menggerutu ternyata
tenaga dalam
perempuan muda iiu sangat unggul. Tak bisa
lain, Kim Mei
memutar goloknya lebih kencang dalam jurus
Golok Patuk
Elang.
Makin lama bertarung Sekar makin perkasa
sementara Kim
Mei terdesak. Pada jurus limapuluhan, Sekar
menggabung dan
mengulang kembali jurus andalan
Manguswapujeng (Mencium
lutut), Kalokikan Kanirmalan (Kesucian),
Raganararas (tertarik
pada perempuan), Cumangkrama (Menyetubuhi)
dan
Mangaksih (Memutus cinta). Kim Mei terdesak
hebat.
Goloknya mental disampok tongkat, ujung
tongkat meluncur
ke leher. Semangat Kim Mei terbang. Tanpa
sadar Sang
Pamegat berseru, "Jangan!"
Sejak awal memang Sekar tak punya maksud
membunuh.
Ia menurunkan ujung tongku dari sasaran
leher menurun
menggores pundak. Luka goresan itu merobek
baju, kulit
pundak yang putih beset mengeluarkan darah,
tetapi tidak
parah Hanya luka luar. Sekar melompat undur.
Kim Mei
menjura dengan membungkuk. "Aku kalah,
terimakasih atas
kebaikanmu"
Kim Mei turun dari panggung, sambil melirik
Sang Pamegat
Tadi ia mendengar seruan lelaki itu, ia
berterima kasih.
Mungkin saja seruan itu yang mencegah Sekar
sehingga tidak
menurunkan tangan kejam. Meskipun demikian,
dalam hati ia
gembira karena itu pertanda laki-laki itu
punya perhatian
padanya.
Ketika kembali ke tempatnya, Kim Mei
langsung dimaki Ciu
Tan. Tetapi ia balas memaki dengan nada
tinggi. Keduanya
bertengkar dalam bahasa Cina. Kim Mei
berseru, "Aku tak
punya kepentingan dengan pertarungan ini,
kau yang punya
kepentingan. Kamu yang ingin membalas
dendam, lalu kenapa
aku harus adu jiwa untuk
kepentinganmu?" Berkata demikian
Kim Mei mencari tempat duduk menyendiri.
Sian Hwa,
mendekatinya dan menolong membalut lukanya
Geni menyambut isterinya dengan wajah
berseri. "Tidak
sia-sia kamu pergi selama duabelas purnama,
ilmu silatmu
sekarang sudah masuk kelas utama"
Sambil mengatur pernafasan, Sekar mencubit
suaminya
"Bukan duabelas, tetapi limabelas
purnama lebih aku
berkorban, untuk mendapatkan ilmu silat
ini."
Saat itu di atas panggung, pertarungan
Macukunda dan
Mok Kong berlangsung sangat ketat dan
imbang. Macukunda
bersenjata dua tasbeh, besar dan kecil. Mok
Kong memainkan
jurus goloknya yang hebat. Bertarung dengan
senjata belum
ada keputusan siapa pemenangnya meskipun
sudah melebihi
seraius jurus. Pertarungan dilanjulkan
dengan tangan kosong,
adu tenaga pukulan sampai seratus jurus
lebih. Tampak kedua
pendekar ini kelelahan.
Akhirnya Mok Kong mundur, Macukunda pun
mundur.
Keduanya tertawa, kemudian sama-sama turun
panggung.
Pertarungan Gayatri dengan Dewi Pedang dari
Gurun Gobi
juga berakhir sama kuat. Keduanya tak mau
saling melukai.
Sesuai peraturan dan perjanjian, jika
pertarungan
berkesudahan imbang, artinya tidak ada
pemenangnya, maka
kedua petarung sama-sama dinyatakan
kehilangan hak
tarung.
Dengan demikian dari kubu tanah Jawa tinggal
Wisang
Geni dan Sekar yang boleh tarung, sedang di
kubu Cina hanya
Ciu Tan dan Mok Tang.
Gayatri berbisik kepada suaminya,
"Hati-hati dengan Ciu
Tan, ketika mengalahkan Jenggot Gunung Lawu,
aku melihat
sepertinya ia menyimpan jurus andalan.
Selain itu Mok Tang
bertugas menguras tenagamu, sehingga
tenagamu sudah
habis saat tarung lawan Ciu Tan." Sekar
menyela, "Aku akan
hadapi Mok Tang, biar kamu leluasa
menghadapi Ciu Tan."
Di depan umum Geni tidak malu-malu memeluk
dan
menciumi leher Sekar. Isterinya merasa geli.
Dia berbisik,
"Kamu istirahat saja, sekarang kamu
nonton saja hebatnya
ilmu silat suamimu, ini jurus yang belum
pernah aku mainkan.
Aku ingin menghadapi dua lawan itu
sekaligus, biar cepat
selesai."
Sekar tersenyum, pikirnya Geni hanya
bergurau.
Matahari berada di puncak, di atas panggung,
Mok Tang
berdiri dengan golok di tangan. Ia siap
dengan kuda-kudanya.
Dari tenaga maupun kematangan jurus golok,
Mok Tang lebih
tangguh dibanding saudara kembarnya.
Di bawah panggung Wisang Geni sedang memeta
diri,
mengingat Eyang Sepuh, mengingat angin dan
awan. "Jangan
rasakan bumi lupakan
bumi, tengadah memandang langit,
rasakan angin, bebaskan
diri macam awan. Rasakan angin di
bawah tapak kakimu.
Pusatkan pikiran tenagamu, hasratmu."
Dengan ringan Geni melompat ke panggung,
gerakannya
perlahan, kakinya menginjak panggung tanpa
suara, namun
panggung terasa bergetar. Menatap sepasang
mata Geni yang
macam macam sumur tanpa dasar, Mok Tang
merasa gentar.
Ia merasakan panggung bergetar padahal gerak
kaki Geni
seperti tidak bertenaga "Tetapi aku
sekarang sudah berada di
atas panggung, tak bisa mundur."
Berpikir begitu, Mok Tang
bergerak cepat, menyerang dengan jurus
andalannya. Cepat,
kencang, bertenaga dan ganas.
Geni mengelak, dan menyentil badan golok. Ia
menghindari
tendangan, menangkis pukulan, menyentil
tebasan golok.
"Semua manusia diperbudak
berbagai macam keinginan. Lihat
gerak awan yang mengikuti
gerak angin yang begitu merdeka,
bergerak semaunya, dan
hebatnya lagi ia berganti-ganti arah
sesukanya. Di dunia tak
ada suatu kekuatan pun yang bisa
menghentikan angin. "Wisang Geni
bergerak leluasa di antara
kepungan sinar golok.
Mendadak Geni lompat mundur jauh dari Mok
Tang.
"Tunggu, aku sebenarnya ingin menjajal
jurus sepasang golok
dari Mok Bersaudara yang terkenal, tetapi
kita tak bisa
melanggar peraturan dan perjanjian,
saudaramu sudah
kehilangan hak tarung. Pihakmu hanya tinggal
kamu berdua,
kupikir mungkin sebaiknya aku menghadapi
kalian berdua
sekaligus, biar pertarungan ini cepat
selesai."
Semua orang yang mendengar seruan Wisang
Geni,
terkejut. Gayatri bahkan menahan napas,
saking kagetnya.
Prawesti memegang dadanya, merasakan debar
jantung yang
bagai derap kaki kuda. Sekar terkesiap
telapak tangannya
berkeringat "Tadi kupikir dia bergurau,
tetapi dia benar-benar
gila, bagaimana mungkin bisa mengalahkan dua
lawan itu
sekaligus ?" Tanpa pikir panjang Sekar
melompat naik
panggung, "Aku ikut, dua lawan dua, itu
baru adil."
Macukunda dan para pendekar lain terkesiap.
"Apakah aku
tidak salah dengar," kata pendeta
Mahameru itu. Namun
seruan itu benar adanya, Geni menantang dua
lawan
sekaligus. Tetapi untunglah Sekar juga naik
panggung.
Begitu Sekar mendekat, Geni menyambar
pinggang
pinggang isterinya, memeluk mesra, menciumi
leher dan
berbisik. Lagaknya macam dua kekasih sedang
berkasih
mesra, dan yang tidak peduli dengan
orang-orang di
sekeliling. "Kau jangan membantah
suamimu, kamu turun
sekarang juga, biar aku selesaikan urusan
ini." Sekar menatap
mata suaminya. Mata itu berbinar, tajam dan
dalam bagai
sumur tak berdasar. Ketika tangan Geni
menepok bokongnya,
Sekar tahu dia harus mundur.
Semua aksi Wisang Geni seperti memandang
remeh
lawannya. Tak bisa menguasai amarahnya Ciu
Tan berteriak,
"Kamu sombong, kamu mencari mati
sendiri." Ia melompat ke
atas panggung. Saat inilah yang ditunggunya
selama dua
tahun lebih. Membalas dendam kematian adik
perguruannya.
Hutang darah bayar darah, hutang nyawa bayar
nyawa.
Ia langsung menabrak Geni dengan jurus
Liong-jiao-ciu
(Cakar naga) yang dicampur dengan Wan-coan
Put-toan
(Putar tak habis-habisnya). Mok Tang pun
tidak kalah
ganasnya, "Bukan maunya aku, tetapi
kamu sendiri yang
mencari mati. Sekarang aku sempurnakan
permintaanmu" Ia
menyerang ganas dengan Eng-jiao Kim-na-ciu
(Jurus cakar
elang) di tangan kiri dan Liang-gi To-hoat
(Jurus golok) di
tangan kanan.
Penonton menahan napas. Wisang Geni diserang
dari
segala penjuru Tetapi ia melayang-layang,
meliuk, menghindar
dengan gerak tangan macam orang menari.
Golok Mok Tang
membentur tembok, Cakar Naga Ciu Tan
menabrak ruang
kosong. Geni bersiul, memanggil angin. Ia
ingat petuah Eyang
Sepuh. Sekarang saatnya memperlihatkan
kekayaan ilmu silat
warisan Lemah Tulis. "Di
dunia, tidak ada satu kekuatan pun
yang bisa menghentikan angin.
Jadilah seperti angin 'bajra'
yang bisa semilir 'sirir
membuat orang ngantuk dan nyaman,
tapi bisa juga hamuk
macam 'leysus', 'nilapraconda',
'bajrapati' menghancurkan
apa saja yang dilewati. Jadilah
angin yang merdeka, maka
kamu bisa bergerak mengikuti
angin, bahkan bisa lebih
cepat dan lebih ringan dari angin.
Kosongkan pikiranmu,
rasakan angin di sekelilingmu. Angin itu
ada, kamu juga ada."
Tampaknya bergerak lamban namun Geni bisa
mengatasi
kecepatan golok dan Cakar Naga lawannya.
Terkadang Geni
bergerak cepat sehingga seperti hilang dari
pandangan mata.
Perlahan namun pasti dua lawannya mulai
merasa gentar,
Geni tak tersentuh. Geni mengelak dan
menangkis tergantung
situasi dan serangan lawan. Setiap kali
golok Mok Tang nyaris
mencincang tubuh Geni, sekonyong-konyong ada
tenaga yang
mendorong golok menebas rekannya sendiri.
Begitu Cakar
Naga Ciu Tan sering nyasar mengancam Mok
Tang.
"Awas, jangan terpancing, dia
menggunakan Si-nio-po-ciankin
(Empat tail menghantam seribu kati), dia
ingin mengadu
sesama kita." Peringatan Ciu Tan yang
disampaikan dalam
bahasa Cina, benar. Tetapi tidak seluruhnya
benar. Geni tidak
menggunakan jurus, dia hanya meniru
keperkasaan angin
yang bisa mengadu benda yang satu dengan
benda lainnya.
Seratus jurus berlalu, Geni semakin ringan
dan leluasa
bergerak. Di lain pihak Ciu Tan dan Mok Tang
sudah mandi
keringat, napas pun sudah terengah-engah.
Sekar dan Gayatri terpesona melihat
kehebatan suaminya.
"Selama ini dia sengaja menyembunyikan
ilmu silatnya yang
tinggi itu, kepandaiannya itu tinggi sekali,
sampai kapan pun
aku tidak akan bisa menandinginya,"
kata Gayatri.
"Dikeroyok kita berdua pun, dia masih
lebih unggul,"
tambah Sekar. Ada nada bangga dalam suara
dua perempuan
itu, bangga akan suaminya.
Penonton bergembira melihat situasi tarung,
mereka
perkirakan dalam sekejap lagi, Wisang Geni
akan
mengalahkan dua lawannya itu. Ciu Tan
mengerti situasi
buruk ini, ia sudah mengambil keputusan akan
adu jiwa.
Tetapi tidak demikian dengan Mok Tang, dia
memang dibayar
mahal oleh Ciu Tan untuk membantunya
membunuh Geni,
namun situasi dan kondisi sekarang sudah
sangat berbeda.
Dia tidak akan mungkin bisa mengalahkan Geni
meskipun Ciu
Tan ikut mengeroyok. Jika pertarungan
dilanjutkan, itu sama
halnya dengan mengantar nyawa.
Dan terus terang saja Mok Tang masih
menyayangi
kehidupannya. Saat itu ia berpikir akan
mundur keluar
gelanggang. Tetapi sudah terlambat.
Pada saat yang sama Geni bergerak cepat dan
ganas,
hamuk macam Leysus, Nilapraconda, Bajrapati.
Mok Tang dan
Ciu Tan merasa panggung bergetar. Geni
seperti hilang.
Padahal Geni masih berada di atas panggung,
berputar bagai
gasing. Papan dan balok panggung terangkat
dan meluruk ke
arah dua lawannya. Ciu Tan dan Mok Tang
kaget setengah
mati "Jurus apa ini?" Ciu Tan
berseru sambil berusaha
menangkis, karena sudah tak punya waktu
mengelak.
Penonton yang berada di sekitar panggung
lari pontangpanting
menyelamatkan diri. Kejadiannya memang
seperti
angin prahara yang meluruk dan hendak
menelan Ciu Tan dan
Mok Tang. Terdengar suara jeritan. Sesaat
kemudian prahara
itu berhenti. Ia menghilang seperti
datangnya, serba tiba-tiba
dan di luar dugaan.
Di antara debu dan daun kering yang
beterbangan, Wisang
Geni berdiri dengan anggun. Panggung itu
sudah lenyap,
hanya tersisa bekas-bekasnya. Mok Tang dan
Ciu Tan
tergeletak di tanah. Sio Lan berteriak
sambil lari memeluk
ayahnya. "Ayah!" Li Moy dan
pendekar Cina lainnya datang
membantu menyadarkan dua rekannya.
Terdengar suara Wisang Geni dingin dan kaku,
"Mereka
hanya pingsan dan luka ringan. Kalian pulang
saja ke Cina,
ilmu dari negeri seberang jangan jual lagak
di tanah Jawa ini.
Di negeri ini masih banyak pendekar hebat
yang bersembunyi.
Sekarang ini lebih baik kalian pulang ke
negerimu, tak ada
dendam tak ada hutang piutang dendam.
Hiduplah dengan
damai, ingatlah damai itu indah, karena
hidup ini juga sangat
indah."
Tidak berapa lama Ciu Tan dan Mok Tang sadar
dari
pingsan. Geni melanjutkan kata-katanya,
"Dendam tak pernah
berhenti, dendam akan mengejar seperti
bayangan maut.
Dendam akan berhenti jika salah satu di
antara pemburu dan
yang diburu, mati. Kenapa harus mati, kenapa
harus
membunuh kehidupan orang lain, padahal hidup
ini begitu
indah untuk dinikmati."
Wisang Geni menghampiri Gayatri dan Sekar
yang langsung
memeluknya. Tiga insan berpelukan mesra.
Prawesti
menghampiri, Geni merangkulnya. Keempat
insan itu
berpelukan sejenak. Tiga isterinya pada
awalnya sangat
tegang begitu Geni menantang dua lawan
sekaligus. Sekarang
mereka amat gembira menyaksikan keunggulan
sang suami.
Tetapi mereka pun tak bisa menyembunyikan
kekagumannya,
mereka hampir tak percaya apa yang dilihat,
saat Geni
mengembangkan jurus yang menghancurkan
panggung
sekaligus membuat dua lawannya pingsan.
Sambil menggigit perlahan telinga
kekasihnya, Sekar
berbisik halus, yang juga didengar Prawesti
dan Gayatri. "Itu
tadi ilmu apalagi, kekasihku?"
"Itu tadi jurus jatuh cinta, begitulah
jika aku jatuh cinta dan
bernafsu pada kalian, persis seperti angin
prahara," bisiknya
sambil tersenyum penuh arti.
Penonton yang tadinya lari menghindari balok
dan kayu
yang beterbangan, kembali lagi ke arena
tarung. Mereka
bertepuk, memuji kehebatan Wisang Geni,
Pendekar Tanah
Jawa. Seorang penyair terkenal, Ki Langlang
Jagad
mengumandangkan syair pendek.
Tak ada lawan, tak ada
tandingan,
cuma Wisang Geni seorang
yang lajak disebut Pendekar
Tanah Jawa.
Para pendekar utama yang ikut menyaksikan
kehebatan
Geni menaklukkan Ciu Tan dan Mok Tang
sekaligus, semua
merasa kagum "Tenaga dalam seperti itu,
belum pernah aku
melihatnya. Ia seperti dewa dalam mimpi kita,"
kata Manyar
Edan.
"Bagaimana mungkin seorang muda bisa
memiliki tenaga
dalam sedahsyat itu," kata Demung
Pragola. "Sungguh
beruntung Lemah Tulis memiliki seorang ketua
seperti Wisang
Geni. Ayah dan ibunya di dalam kubur pasti
gembira
menyaksikan kehebatan putranya."
Pendeta Macukunda tak kurang kagumnya.
"Sungguh Ki
Wisang Geni pendekar nomor satu."
Pendeta ini kemudian
memberi hormat kepada para pendekar Cina.
"Terimalah
hormatku, sebenarya dalam setiap pertarungan
pasti ada yang
menang dan ada yang kalah. Tetapi dalam
pertarungan
selama dua hari ini, tidak ada yang kalah
dan tidak ada yang
menang, melainkan persahabatan yang ada, aku
senang bisa
berteman dengan sampean semua."
Ciu Tan membalas hormat "Maafkan kami,
tamu yang tak
tahu diri. Kami mengaku kalah. Sungguh luar
biasa ilmu silat
Ki Wisang Geni, sulit menemukan seseorang
yang sanggup
menandinginya. Aku setuju dengan perkataan
pendeta
Macukunda, mulai sekarang ini yang ada di
antara kita adalah
teman sesama kita dan persahabatan."
Memang yang ada hanyalah persahabatan. Sang
Pamegat
melirik Kim Mei. Ia berkata menggunakan
tenaga dalam Suara
Tanpa Wujud mengirim suara ke perempuan Cina
yang cantik
itu. "Kim Mei, jangan lupa tempat
pertemuan kita, aku
menunggumu."
---ooo0dw0ooo---
Bunga Talasari
Pertarungan sudah usai. Beberapa hari
berkumpul di desa
Bangsal, akhirnya para pendekar Cina
mengambil jalan
masing-masing. Kim Mei, janda muda yang
cantik itu, pergi
pada hari pertama, tidak lama setelah
pertarungan usai.
Tampak seperti tergesa-gesa Kim Mei pamitan
kepada semua
rekannya. Dia mampir sejenak di rumah
mengambil
bungkusan pakaian dan kudanya, kemudian
pergi. Dia tidak
memberitahu tujuannya.
Ciu Tan berusaha mencegah, tetapi Kim Mei
menolak. Sio
Lan berusaha membujuk, "Kakak Mei, ayah
mencintaimu,
hanya ayah malu mengakuinya. Tadi dia minta
aku
menyampaikan lamaran. Ia melamar kamu untuk
menjadi
isterinya."
Kim Mei memeluk Sio Lan. "Aku hanya
kagum saja pada
ayahmu, perasaanku padanya tidak lebih dari
itu, sampaikan
maaf padanya aku tidak bisa menerima
lamarannya. Sekarang
ini aku harus pergi mencari jalan hidupku
sendiri."
"Apakah kamu pergi bertemu dengan
pendekar bernama
Pamegat itu?"
Kim Mei tidak menjawab langsung. Ia
bercerita, beberapa
waktu lalu ketika terjadi pertarungan Wisang
Geni dengan
Kalandara dan tiga muridnya di hutan tepi
desa Bangsal. "Saat
itu aku bertemu dengan dia. Pertemuan kedua
terjadi satu
pekan kemudian di desa Dayu, itu semua
kebetulan. Aku
dikeroyok penjahat lalu ia muncul
menolongku. Kupikir
semuanya kebetulan tetapi bisa saja itu
menjadi awal
perjodohanku. Aku ingin membereskan ini, aku
ingin kepastian
baik diriku maupun lelaki itu. Perkawinan
ineinei lukau
kejujuran pada awal dan harus dipertahankan
ke depan dan
hari ke hari. Aku mencari cinta yang
jujur."
Tetapi Kim Mei tidak menceritakan secara
rinci kejadian di
desa Dayu Pertemuan itu, merupakan awal dari
babak baru
kehidupan Kim Mei. Kematangan dan
perlindungan, yang
diperlihatkan Sang Pamegat berhasil menguak
pintu hatinya
yang sudah lama tertutup.
Kim Mei memeluk Sio Lan mengucap selamat
tinggal. Ia
melecut kudanya menuju desa Ngoro, satu hari
perjalanan
dari Bangsal. Ia baru memasuki gerbang desa,
lelaki itu sudah
menjemputnya.
Pertemuan itu mulanya agak kaku, lantas
mencair saat
keduanya menceritakan pengalaman diri
masing-masing.
Pamegat mengakui ia masih punya isteri dan
anak,
keluarganya menetap di lingkungan istana
Tumapel. Lelaki
berusia separuh baya itu menjelaskan bahwa
di tanah Jawa
merupakan hal biasa seorang lelaki memiliki
lebih dari seorang
isteri. Ia bahkan punya dua isteri dan lima
selir.
Pada mulanya Kim Mei terkejut namun bisa
menerimanya.
Di Cina pun seorang lelaki bisa punya isteri
dan selir. Hal yang
tak bisa diterimanya adalah ketidakjujuran.
Suaminya
terdahulu sering mengumbar janji dan kata
cinta, namun
kemudian mengkhianatinya dengan perbuatan
yang tak bisa
dia maafkan.
Menggenggam tangan Kim Mei, dengan suara
lirih namun
tegas, lelaki itu berkata, "Hari ini
aku melamarmu menjadi
isteriku, isteri utama, mungkin terlalu
cepat, tetapi keputusan
ini sudah kupikir matang dan tak perlu lagi
menanti waktu
untuk mengutarakannya. Tetapi kalau kamu
sendiri belum siap
untuk menjawab, aku akan menanti jawabanmu
sambil
sementara ini kita berteman dulu, aku akan
menemanimu
pesiar dan melihat-lihat keramaian di pusat
kerajaan
Tumapel."
Kim Mei punya kesan baik terhadap Sang
Pamegat.
Perasaannya mengatakan itu. Tidak urung ia
mengaku dirinya
seorang janda muda tetapi belum punya anak.
Ia pergi
meninggalkan suaminya setelah tiga bulan
kawin Dia
menceritakan pengalaman pahitnya lima tahun
lalu ketika
suaminya berlaku serong, memerkosa adiknya.
Lantaran
sayang dan takut terhadap kakaknya, adik Kim
Mei itu
menyimpan rahasia.
Tetapi suatu malam, Kim Mei memergoki cinta
rahasia itu.
Sang adik memohon ampun, bercerita terus
terang bahwa
pertama kalinya dia diperkosa. Kemudian
kejadian itu berulang
dan berulang. Lambat laun, hal itu menjadi
hubungan suka
sama suka. Adiknya mengakui telah jatuh
cinta dan bersedia
melakukan hubungan itu berulangkah sampai
hamil. Pada
mulanya Kim Mei sangat marah, tetapi rasa
sayangnya kepada
adiknya membuat dia tak berdaya. Dia tidak
membunuh dua
sejoli itu melainkan pergi meninggalkan
suaminya dan
adiknya. Sejak itu dia tak pernah percaya
pada lelaki.
Sudah banyak lelaki melamar dirinya, tetapi
sampai saat ini
ia belum tertarik seorang pun. Akan halnya
Sang Pamegat,
Kim Mei menerima lamarannya dan kawin satu
tahun
kemudian. Ia hidup bahagia, dimanjakan sang
suami. Sesuai
janji Sang Pamegat, dia memang menjadi
isteri utama dan
tinggal di lingkungan keraton. Sang Pamegat
semakin
menyintainya apalagi setelah Kim Mei
melahirkan dua putra
dan seorang putri.
Para pendekar Cina lainnya juga menjalani
hidup masingmasing.
Dua bersaudara Mok Kong dan Mok Tang setelah
mengantongi bayaran beberapa potong emas
dari Ciu Tan,
pulang ke Cina. Keduanya membeli
barang-barang berharga
dari tanah Jawa dan menjualnya di Cina.
Mereka mendirikan
perusahaan dagang dan ekspedisi mengantar
barang dan
manusia.
Ciu Tan mengambil pelajaran dari
kekalahannya. Dia tidak
lagi merasa ilmu silatnya paling hebat, dia
melihat bahwa ilmu
silat dan manusia tak punya batasan. Pepatah
Cina, di atas
langit masih ada langit, benar-benar
ckyakininya sekarang. Ciu
Tan benar-benar berubah, dia telah membuang
sikap
sombong dan takabur. Dia pulang ke Cina,
melangsungkan
pernikahan Sio Lan dengan Siauw Tong,
kemudian hidup
menyepi di gunung Wu Tang memperdalam ilmu
silat
Terkadang dia turun gunung menengok anak dan
cucunya
sambil menolong orang yang membutuhkan
pertolongan.
Pendekar Pedang dari Gurun Gobi, Sian Hwa,
memilih
menetap di tanah Jawa. Ia menyepi di rumah
kecil di samping
kediaman sang menantu Manjangan Puguh dan
putrinya. Ia
bahagia, setiap hari ia bermain dan mengurus
tiga orang cucu,
memberinya pelajaran dasar ilmu silat. Sian
Hwa tidak berniat
kembali ke Cina. Ia telah menemukan
ketenteraman dan
kebahagiaan di hari tua. Dia selalu ingat
kata-kata Wisang
Geni, usai pertarungan dahsyat itu.
"Damai itu indah, dan
kehidupan itu memang indah karenanya harus
dinikmati.''
Li Moy dan Sin Thong saling jatuh cinta,
mereka kawin
dalam upacara sederhana disaksikan
teman-teman dekat.
Pasangan ini pada mulanya hanya niat
bertualang mencari
benda-benda berharga untuk dibawa pulang dan
dijual di
Cina. Namun lama kelamaan, keduanya semakin
betah. Pada
akhirnya mereka menetap di negeri Jawa,
apalagi setelah Li
Moy melahirkan seorang putri.
Liong Kam memilih menetap di desa Bangsal,
berdagang
dan membuka warung makan. Ia seringkali
bertualang
berupaya menemukan jejak keris Gandring.
Pada akhirnya ia
memperoleh kabar, keris sakti itu masih
disimpan di keraton.
Namun tidak ada seorang pun yang bisa
memastikan di istana
Tumapel ataukah istana Kediri. Dan
menyaksikan penjagaan
dan pengawalan istana yang begitu angker,
niatnya mencuri
keris Gandring memudar dan akhirnya lenyap.
Ia mendengar
cerita banyaknya pendekar yang mengantar
nyawa karena
ingin menerobos istana mencuri keris.
Setelah bertualang
selama dua tahun, akhirnya Liong Kam pulang
ke tanah Cina.
---ooo0dw0ooo---
Besok adalah hari pertama dari bulan Asadha.
Hari itu, hari
terakhir bulan Iyestha, tigapuluh hari
setelah pertarungan di
desa Bangsal. Sebuah perahu layar besar
merapat di
pelabuhan Jedung. Kebanyakan penumpang
adalah pedagang
yang membawa barang dagangan dari Gujarat,
Malaka, Cina
dan India. Kesibukan merambah seputar
pelabuhan. Kuli
pengangkut barang, para pedagang kuda dan
kereta, tukang
jaja makanan, semua sibuk menawarkan jasa.
Di antara banyak manusia yang lalu lalang,
serombongan
orang asing menuruni tangga. Di depan sekali,
seorang lelaki
bertubuh kekar, tinggi jangkung dengan raut
wajah keras, ia
ketua perguruan Yudistira dari lereng
Himalaya. Lelaki separuh
baya itu dijuluki Tangan Besi, nama aslinya
Yudistira. Dalam
kisah Mahabrata, Yudistira adalah tokoh
welas asih, bijaksana
serta pemimpin dan kakak tertua dari Pandawa
Lima
bersaudara.
Tidak demikian dengan Yudistira dari lereng
Himalaya ini.
Dia lelaki yang terlalu keras kepala dan
selalu ngotot dalam
hal prinsip dan harga diri. Ia tampak kasar
dan kejam Air
mukanyakeras, jarang senyum bahkan mungkin
sudah lupa
bagaimana cara tersenyum Kumisnya tebal,
rambut panjang
digelung di atas kepala, kulitnya sawo
matang kemerahan
dibakar matahari. Ia mengenakan baju luar
panjang warna
hitam, dengan baju dalam lengan pendek warna
hijau. Ikat
pinggangnya lebar dari kulit rusa.
Berjalan di belakangnya, isterinya,
Satyawati yang dijuluki
Bunga Salju. Dalam sastra Mahabrata, nama
Satyawati adalah
isteri setia raja Santanuyang menjadi nenek
para Kurawa dan
Pandawa. Tinggi langsing, tubuhnya berisi,
kulitnya putih.
Meskipun ada kesan tua pada wajahnya namun
harus diakui ia
sangat cantik. Ia mengenakan busana jubah
panjang warna
hijau yang menutup hampir seluruh tubuhnya.
Di belakangnya, seorang lelaki muda, tinggi
besar, kulit
sawo matang dengan kumis dan brewok, rambut
panjang
dibiarkan terurai. Wajahnya tampak tegang
dan kejam, dia
Wasudeva, putra tunggal ketua perguruan
Arjapura. Di
belakangnya putra tertua Yudistira, Arjun
dan isterinya
Susmita. Diikuti putra kedua, Shankar
bersama Ayeshak,
isterinya. Arjun dan Shankar, lelaki muda,
tubuh mirip ayah
dengan wajah tampan mirip sang ibu Keduanya
mirip satu
sama lain dengan kulit sawo matang. Dua
isteri itu, baik
Ayeshak maupun Susmita, memiliki kecantikan
perempuan
Himalaya. Ayeshak sedikit lebih gemuk sedang
Susmita
tampak lebih langsing.
Di belakang mereka, sepasang suami isteri
yang adalah
murid utama Yudistira. Urutan paling akhir
adalah suami isteri
yang merupakan pembantu dan juru masak
keluarga. Tampak
dari gerak langkah dan keseimbangan tubuh,
sebelas orang itu
semuanya pendekar kelas atas. Jembatan papan
itu bergerak
berayun-ayun, tetapi kaki mereka seperti
melekat pada
pijakannya. Kecuali Yudistira dan isterinya,
mereka yang lain
semuanya membawa bungkusan yang gemblok di
punggungnya. Selain itu beberapa peti kayu
ukuran cukup
besar, yang semuanya berisi barang dagangan.
Mereka masuki warung makan yang tidak banyak
pengunjungnya. Dua pembantu itu ikut
nimbrung ke dapur,
sehingga pesanan ayam dan ikan bakar serta
minuman tersaji
dengan cepat Selain khawatir makanan
diracun, dua
pembantu itu mencampur masakan dengan bumbu
masak
khas Himalaya yang dibawanya. Mereka
menyantap hidangan
dengan lahap.
Empat murid perguruan Brantas menawarkan
diri menjadi
penunjuk jalan sekaligus menyewakan kereta
kuda untuk
barang-barang dagangan itu, dengan imbalan
jasa.
Sebenarnya semua anggota rombongan mengerti
bahasa
Jawa, tetapi karena Susmita yang paling
mahir maka
peremuan ini bertindak sebagai juru bahasa.
"Baik, kalian
berempat menjadi penunjuk jalan kami"
Dalam perjalanan Susmita menanyakan pada
murid Brantas
itu, pernahkah melihat tiga gadis India yang
tiba dengan
perahu layar sekitar tiga atau empat bulan
lalu. "Aku tahu,
memang sudah cukup lama, sudah tiga bulan
berlalu, mungkin
kalian lupa tetapi coba tolong
diingat-ingat," kata Susmita.
"Akhir akhir ini banyak orang asing
yang dalang ke negeri
ini, jadinya aku tak bisa mengenal dan
mengingat semua
orang yang sudah datang. Lagipula aku tidak
selalu berada di
sini. Tetapi kalau yang kamu cari itu
pendekar silat, aku tahu
ke mana harus mencarinya," jawab salah
seorang murid
Brantas.
Dia menyebut desa Bangsal, karena tigapuluh
hari lalu di
desa itu berlangsung pertarungan pendekar
negeri Jawa lawan
pendekar Cina. "Mungkin temanmu ikut
tarung atau sebagai
penonton, maka lebih baik kita ke sana
mencari keterangan
dari penduduk setempat"
Tetapi Yudistira memutuskan terlebih dahulu
pergi ke pusat
kerajaan Tumapel menjual barang dagangan
yang dibawanya.
"Di sepanjang jalan kita bisa mencari
berita tentang Gayatri.
Nanti, selesai urusan dagang, baru kita
mencari putriku,"
tukasnya.
Perjalanan dari pelabuhan Jedung menuju desa
Karangplosos, pusat kerajaan Tumapel,
diperkirakan memakan
waktu enam hari. Perjalanan memang tak bisa
cepat lantaran
barang-barang harus diangkut dengan kereta
kuda. Mereka
menunggang kuda termasuk empat penunjuk
jalan dari
perguruan Brantas. Di tengah jalan dua kali
mereka dicegat
perampok namun dengan ilmu silatnya yang
tinggi rombongan
pendekar asing itu dengan mudah bisa mengatasi.
Dari luar tampaknya anggota rombongan akur
satu sama
lainnya tetapi sebenarnya ada masalah ibarat
api dalam
sekam, sewaktu-waktu bisa meletup. Persoalan
tak lain
disebabkan ulah Wasudeva yang urakan. Lelaki
itu terbiasa
selalu memperoleh keinginannya karena sejak
masa kecil
semua permintaannya selalu dikabulkan
ayahnya.
Selama duapuluh hari perjalanan darat sejak
dari lereng
Himalaya sampai ke pelabuhan Puchet, dia
minta diperlakukan
istimewa. Tingkah lakunya kasar. Dia sering
memaki. Dia
memerintah kedua pembantu itu bahkan juga
terhadap Arjun
dan Shankar, seperti perintah seorang
majikan kepada budak.
Ucapannya kasar, sering membentak dan
memaki.
Ketika Arjun melapor kepada ayahnya,
Yudistira tak
menjawab langsung, hanya menjelaskan
Wasudeva itu tamu
kehormatan dan titipan sahabatnya, Arjapura.
Ketika isterinya,
Satyawati bicara tentang perilaku buruk
Wasudeva, jawaban
Yudistira sama, ia tamu kehormatan dan putra
seorang
sahabat
Selama perjalanan dari Himalaya menuju
Puchet, saat
rombongan bermalam di desa, sering kali
Wasudeva
menyelinap keluar rumah di malam hari. Suatu
malam,
Shankar dan Arjun membuntutinya.
Ternyata Wasudeva memerkosa wanita dan
membunuh
suaminya.
Dua bersaudara itu melapor ke ibunya. Kini
mereka
mengerti alasan Gayatri menolak perjodohan
dan lari ke tanah
Jawa. "Mungkin Gayatri mengetahui
kelakuan Wasudeva, atau
barangkah dia pernah digoda atau diganggu.
Jika memang
Wasudeva pernah mengganggu Gayatri, sunguh
aku akan
membunuhnya," kata Shankar kepada
ibunya.
"Kamu jangan ngaco, jangan gegabah,
semua harus pakai
pikiran jernih. Kamu harus tahu, dia selalu
benar dan
terhormat di mata ayahmu Jadi sementara
waktu ini kalian
sama sekali tidak boleh bentrok dengan
Wasudeva Tunggu
sampai ayahmu sadar," katanya.
Tiga orang itu, ibu dan dua putranya, kesal
dan kecewa
mengapa Yudistira mengajak Wasudeva ikut
dalam
rombongan. Waktu itu ayah mereka beralasan.
"Ia harus ikut
untuk memperjelas status perjodohan, jika
Gayatri setuju
maka persoalan selesai, segera kita kawinkan
mereka. Jika
Gayatri menolak maka dia harus dihukum, aku
sendiri yang
menghukum," kata Yudistira pada
isterinya saat hendak
berangkat.
Satyawati, tidak cuma setia namun patuh dan
taat kepada
suami sebagaimana perempuan Himalaya
umumnya. Tetapi
khusus soal Wasudeva, ia punya sikap
tersendiri. Ia membenci
Wasudeva karena secara tidak langsung
Manisha, putrinya,
mati disebabkan perbuatan Wasudeva. Dia
mengetahui
semuanya dari cerita Manisha sebelum
putrinya itu bunuh diri.
Wasudeva menghamili Manisha. Laki-laki itu
kemudian pergi
dengan janji akan kembali melamar dan
mengawini Manisha.
Tetapi dia ingkar janji, dia tak pernah
muncul lagi di
perguruan Yudistira, lari dari tanggung
jawab.
Waktu itu Satyawati mengutus Gayatri
ditemani dua murid
Urmila dan Shamita menemui Wasudeva di Arjapura.
Laki-laki
itu ingkar janji bahkan menuduh Manisha
dihamili lelaki lain.
Mendengar itu Satyawati dan putrinya sangat
marah tetapi
tidak berani menceritakan semuanya kepada
Yudistira. Tragedi
terjadi sewaktu Yudistira menerima lamaran
Mahesh,
pendekar dari Himalaya Timur untuk Manisha.
Dalam keadaan
hamil, Manisha tak mungkin bersedia menjadi
isteri Mahesh.
Agar aib tidak terbongkar, dia harus menolak
lamaran. Tetapi
tradisi kuno Himalaya melarang ini. Tradisi
turun temurun itu
mengajarkan seorang anak perempuan harus
bersedia kawin
dengan siapa saja lelaki yang ditentukan
sang ayah. Manisha
tidak punya pilihan lain, dia bunuh diri,
terjun dari tebingyang
curam
Bagi Satyawati dan anak-anaknya, Wasudeva
adalah mimpi
buruk.
Celakanya lagi, Yudistira sangat menyukai
Wasudeva. Di
mata Yudistira, Wasudeva tak mungkin
bersalah. Perlakuan
terhadap lelaki itu begitu istimewanya
sehingga seringkah
menimbulkan iri hati dua putranya. Satyawati
pernah
menanyakan pada suaminya, jawabannya hanya
itu-itu saja,
bahwa Wasudeva putra sahabatnya.
Persahabatan Yudistira dengan Arjapura
terbina sejak masa
muda. Keduanya sangat tergila-gila menuntut
ilmu silat
Yudistira yang usianya dua tahun lebih muda,
lebih cerdas dan
berbakat sehingga lama kelamaan Yudistira
lebih menonjol
dan lebih terkenal di kawasan Himalaya.
Diam-diam Arjapura
memendam rasa iri yang makin lama makin
subur menjadi
kebencian terpendam.
Perkawinan Yudistira dengan Satyawati makin
menambah
rasa iri dan benci Arjapura karena
sebenarnya ia pun menaruh
hati pada Satyawati. Dua lelaki itu
sama-sama mengenal
Satyawati saat bersama-sama merantau ke
gunung Bharwa,
sebuah desa di Himalaya. Satyawati, adalah
putri kepala suku
Namcha, seorang pendekar tangguh di kawasan
Timur
Himalaya. Dua pendekar itu sama-sama melamar
tetapi
Satyawati yang cantik jelita menjatuhkan
pilihan pada
Yudistira.
Belasan tahun kedua sahabat itu tidak
berjumpa. Dua
tahun sebelum Gayatri lari ke tanah Jawa,
Arjapura mengirim
putranya, Wasudeva, agar dibimbing
Yudistira. Secara rahasia,
Arjapura menginginkan putranya mencuri atau
mewarisi jurus
hebat Yudistira Atchai Zamin Par Kabhiyeh
Chand Sitare
(Kadang bulan dan bintang pun turun ke
bumi). Jika bisa
menguasai ilmu andalan itu maka Arjapura
yakin sanggup
mengalahkan Yudistira.
Wasudeva, lelaki mata keranjang. Tadinya ia
sudah
memiliki Manisha. Sang ayah sangat
bersuka-cita ingin cepat
melamar gadis itu. Tapi Wasudeva
tergila-gila dan kasmaran
akan kecantikan Gayatri. Dia menginginkan
Gayatri. Dia
berhasil membujuk ayahnya, untuk mengubah rencana
melamar Manisha dan sebagai gantinya melamar
Gayatri.
Sebenarnya Manisha sangat cantik, malahan
lebih cantik
dari adiknya. Tetapi di mata Wasudeva,
kecantikan Gayatri
lebih liar dan lebih primitif. Satu saat
ketika bertandang ke
perguruan Yudistira, ia pernah memergoki dua
bersaudara itu
basah kuyup kehujanan. Ia melihat perbedaan
dua gadis itu.
Manisha yang waktu itu sudah ia tiduri,
kecantikannya tampak
biasa. Tetapi kecantikan wajah dan tubuh
Gayatri, sangat
menggoda. Sejak itu Wasudeva tak pernah bisa
melupakan
kecantikan Gayatri. Dia tahu Gayatri
menolaknya, bahkan
membencinya selelah matinya Manisha. Dia
tahu Gayatri kabur
ke tanah Jawa, untuk menghindarinya. Tapi
dia tak peduli, dia
kasmaran. Dia tergila-gila ingin mengawini
Gayatri, tak peduli
gadis itu suka atau tidak suka.
Senja itu rombongan tiba di desa Dayu Saat
makan,
Shankar dan Arjun memerhatikan Wasudeva yang
tak
hentinya menatap tubuh gadis pelayan warung.
Gadis itu
adalah putri pemilik warung, cantik dan
montok. Shankar
memberi isyarat kepada Arjun. Malamnya, dua
dua saudara itu
berjaga, khawatir tingkah laku Wasudeva
memancing
keributan di desa. Tetapi malamku tidak
terjadi sesuatu.
Esok harinya rombongan melanjutkan
perjalanan. Ketika
malam tiba, mereka nginap di tengah hutan.
Saat itulah
Wasudeva menyelinap pergi. Arjun dan Shankar
terlambat
menyadari lelaki itu sudah tak ada di kemah.
Keduanya
bergegas ke warung di desa Dayu Keduanya
mengintip,
ternyata Wasudeva tak ada, si gadis juga tak
ada. Mereka
menunggu. Menjelang fajar, Wasudeva datang
membopong si
gadis. Ia memberi sesuatu, si gadis tertawa
senang. Shankar
dan Arjun saling pandang. "Dia
benar-benar gila," tukas
Shankar kesal.
Karangplosos desa yang cukup besar, ramai
dan menjadi
pusat perdagangan. Hampir semua pedagang
asing juga
pedagang lokal menjual barangnya di desa
ini. Pembelinya
datang dari desa-desa sekitar. Kebanyakan
adalah keluarga
para pejabatkerajaan Tumapel.
Rombongan Yudistira membawa barang dagangan
istimewa, sutera, perhiasan, permadani,
kosmetika dan
berbagai macam barang mewah. Mereka menyewa
rumah
besar selama beberapa hari, untuk tempat
tinggal sementara
juga untuk menjajakan dagangan yang dipajang
di serambi
rumah.
Barang dagangan cepat laku, selain harga
tidak mahal,
barang yang dijual adalah barang pilihan.
Para pejabat dan
isteri serta penduduk yang kaya berdatangan
berebut membeli
barang yang diminati. Satyawati yang cantik
dan anggun,
memimpin menantu dan murid wanitanya
melayani dengan
ramah dan sabar. Namun demikian tidak semua
pembeli
berlaku sopan.
Hari itu tiga lelaki yang dari dandanan
diduga berasal dari
keluarga kaya, berbuat onar. Melihat Ayeshak
cantik dan
montok, seorang di antaranya menggoda,
bahkan berupaya
meraba bokong isteri Shankar. Tetapi Ayeshak
bergerak cepat,
menepis tangan jahil itu. Lelaki itu marah.
Dia berteriak sambil memegang tangannya yang
tampak
memar,
"Hei, kenapa kamu main tampar, kurang
ajar kamu wanita
asing, beraninya kamu jual lagak di
sini." Suaranya keras dan
didengar banyak orang. Para pembeli,
sebagian ingin tahu apa
yang terjadi, sebagian lain tidak peduli.
Ayeshak berkata dengan suara rendah,
"Maaf, tuan. Tuan
sengaja hendak meraba bagian tubuh saya.
Perbuatan tuan
itu tidak pantas karena saya sudah bersuami,
maafkan saya."
Lelaki itu yang usianya sekitar tigapuluhan
menuding wajah
Ayeshak. "Kamu orang asing di sini,
harus sopan, harus tahu
diri apalagi kamu berdagang di desa
Karangplosos, ini wilayah
kerajaan Tumapel, kamu pasti mata-mata,
siapa kamu?"
Shankar muncul melihat isterinya kesulitan,
"Maaf tuan, dia
isteri saya, kami hanya berdagang, kami
mencari nafkah."
Seorang punggawa keraton bersama tiga
rekannya
menghampiri lelaki itu. Mereka kebetulan
lewat di situ. "Ada
apa?"
Lelaki itu terkejut memandang empat punggawa
keraton.
"Dia berlaku tidak sopan, dia orang
asing mungkin matamata."
Salah seorang punggawa, ternyata Ekadasa,
menghampiri
dan bertanya pada Shankar, "Kamu bisa
berbahasa Jawa, ada
apa?"
"Ah mungkin cuma salah f aham antara
tuan itu dengan
isteri saya, tetapi sudah beres, kok."
Wasudeva menyela di samping Shankar, sambil
menatap
Ekadasa. "Tuan itu mencoba menjamah
bokong saudaraku ini,
tetapi saudara perempuanku ini menangkis
tangan jahilnya,
lalu tuan itu marah, nah itulah cerita yang
sebenarnya," kata
Wasudeva tersenyum
Punggawa yang paling tua, Dwi, menuding
hidung lelaki
itu. "Kamu siapa? Mengapa mengganggu
tetamu asing?"
Lelaki itu merah mukanya. Suaranya bernada
takut. "Aku
putra Ki Kamandang dari desa bagian Timur.
Aku tidak
mengganggu mereka. Aku mau belanja."
"Huh anak pejabat, kamu mabuk
rupanya," lalu kepada
anak buah di sampingnya, Dwi berkata tegas,
"Bawa dia ke
penjara. Panggil bapaknya menghadap
aku." Ia menoleh ke
Ayesakh, "Maafkan orang itu, ia mabuk,
kalau ada gangguan,
tuan-tuan boleh melapor kepada punggawa
desa, selama tuan
berada di desa ini, kamu boleh merasa
aman."
Rombongan punggawa itu pergi.
Enam hari menetap di Karangplosos, semua
barang
dagangan habis terjual. Yudistira memutuskan
istirahat
beberapa hari, setelah itu baru melanjutkan
perjalanan ke
desa Bangsal. Dari keterangan yang
dikumpulkan selama
beberapa hari, semua sumber berita
membenarkan di desa
Bangsal telah terjadi pertarungan pendekar,
akhir bulan
Waisaka kemarin.
Jumlah pendekar yang hadir lebih dari
seratus bahkan
terdapat di antaranya para pendekar asing.
Tidak jelas siapasiapa
pendekar yang hadir, namun satu nama mencuat
sebagai paling jago, tanpa tandingan. Dia
Wisang Geni yang
dijuluki Pendekar Tanah Jawa. "Untuk
keterangan lebih
banyak kita memang harus pergi ke desa
Bangsal, mungkin
saja Gayatri bertiga Urmila dan Shamita juga
hadir di tempat
itu," kata Yudistira
Rombongan kemudian menyewa dua tenaga
penunjuk
jalan, karena empat murid Brantas sudah
pergi begitu mereka
tiba di Karangplosos. Mereka menuju desa
Bangsal. Perjalanan
tidak terburu-buru dan diselingi istirahat
di beberapa desa
untuk membeli rempah-rempah dan benda-benda
kuno yang
akan dijual di Malaka dan Puchet dalam
pelayaran pulang ke
Himalaya nanti.
Suatu hari rombongan tiba di desa Prigen,
sekitar satu hari
perjalanan dari gunung Welirang. Senja itu
udara dingin,
mendung. Desa itu sepi dan lengang. Sebagian
besar rumah
kosong, tampaknya telah ditinggalkan
penghuninya. Ada
beberapa rumah yang masih dihuni, namun
begitu melihat
rombongan Yudistira, mereka menutup pintu
dan jendela.
Rombongan berhenti di sebuah rumah besar
yang tak ada
penghuninya.
"Anak mantu Susmita, kamu bawa dua
orang, kamu selidiki
mengapa banyak rumah kosong, kupikir ada
yang aneh di
kampung ini," kata Yudistira sambil
memandang sekeliling.
Lima rumah sudah dikunjungi, Susmita
bertanya kepada
penghuni, namun orang-orang itu diam saja,
membisu.
Tampak pada wajah mereka mimik ketakutan. Di
rumah
keenam, penghuninya kakek dan nenek, ada dua
gadis remaja
dan seorang pemuda. Kakek membisu, tetapi
nenek tua itu
justru marah. "Kenapa kita takut,
ceritakan saja kepada
mereka, bagaimanapun juga kita semua pasti
akan dibunuh."
Nenek itu menceritakan kampungnya kedatangan
beberapa
lelaki jahat. Mereka datang sekitar sepuluh
hari lalu.
Pemimpinnya, Ki Lawungwesi julukannya
Tengkorak Putih.
Begundalnya enam orang. Mereka jahat dan
bejat Mereka
memerkosa gadis-gadis, merampok harta benda,
minum tuak
dan mabuk-mabukan.
Tidak ada penduduk yang bisa meloloskan
diri, usaha lolos
selalu ketahuan dan yang lelaki langsung
dibunuh atau
disuruh kerja keras membersihkan rumah,
memijit dan
menyediakan makanan Yang perempuan harus mau
menari,
untuk kemudian ditiduri, jika tidak mau akan
dipaksa,
diperkosa.
Sudah tigabelas perempuan diperkosa, sudah
tujuh lelaki
yang dibunuh. Penduduk lainnya menanti
giliran dengan
tegang dan tak berdaya. "Mereka tinggal
di rumah ujung sana
dekat hutan," kata pemuda remaja itu.
Salah seorang gadis
berlutut di kaki Susmita, "Nona, tolong
aku, aku takut
diperkosa."
Mata Susmita berkaca-kaca, wajahnya merah.
Dia
menjawab dengan geram, "Tidak ada orang
yang bisa
memerkosamu, tidak ada orang jahat yang
boleh mengganggu
kamu, selama aku ada di desa ini." Dia
balik dan menceritakan
kepada ayah mertuanya.
Yudistira mengeluh, berkata kepada diriya
sendiri. "Di
mana-mana ada manusia kotor, manusia
penindas, mereka
pikir tidak ada orang yang sanggup
menghentikan perilaku
buruknya. Apa yang mereka inginkan akan
mereka ambil
tanpa berpikir apakah itu merugikan atau
menghancurkan
hidup orang lain."
Dia menggeleng-geleng kepala. "Ada
manusia jahat,
moralnya lebih rendah dari binatang itu pun
jika binatang
punya moral. Orang-orang itu tahu tindakan
mereka akan
menghancurkan hidup orang lain, tetapi
dengan senang
mereka melakukan perbuatan biadab itu. Aku
tidak suka
orang-orang seperti itu, orang yang tidak
punya moral."
Keluarganya ikut berduka melihat mimik sedih
Yudistira.
Orangtua itu menoleh kepada putra tertua,
"Arjun kamu
hentikan kejahatan ini." Ia melangkah
masuk ke dalam rumah.
Arjun memandang rumah yang ditunjuk Susmita
sebagai
markas si Tengkorak Putih dan enam
begundalnya. Ia
mengumpulkan batu yang berserak di
sekitarnya. Ia meraup
dan melempar ke rumah itu. Batu-batu itu
beterbangan saling
susul menimbulkan suara mencicit. Rumah itu
bagaikan
hendak runtuh, dihujani begitu banyak batu.
Saat berikut
beberapa orang berlarian keluar sambil
teriak-teriak. "Hei
bangsat kurangajar, berani kamu mengganggu
tuanmu yang
sedang tidur."
Tidak lama kemudian, keluar dari rumah itu,
seorang lelaki
tua kepala botak, bersenjata tombak. Tubuhnya
masih kekar.
Ia bersama begundalnya menghampiri rombongan
Arjun. "Hei
ada wanita cantik, wah hebat, ini namanya
mendapat daging
rusa enak tanpa kita perlu berburu dan
memasak. Ketua,
setelah kamu memilih, ganti aku yang
memilih," kata lelaki
yang berbadan kekar sambil menunjuk Susmita.
"Aku mau dia.
Tubuhnya montok."
Sepasang mata indah Susmita merah
berkaca-kaca, ia
tertawa sambil melangkah menghampiri lelaki
itu. "Kamu mau
aku, mari dekat-dekat sini."
Lelaki itu tertawa. "Wah kamu juga suka
sama aku, mari
sini dewi yang cantik." Ia menghampiri
Susmita. Gerak tangan
Susmita tak terlihat, tamparannya menerpa
pipi kiri kemudian
kanan. Lelaki itu kaget, ia menangkis. Tapi
sia-sia. Tamparan
itu berulangkah, membuat pipinya lebamdan
berdarah. Ia
menangkis sambil teriak-teriak. Tapi
percuma. Tamparan itu
bertubi sampai akhirnya ia tak sanggup
membuka mulutnya
yang hancur. Darah meleleh. Ia meludah dan
hampir semua
giginya ikut bersama lendir dan darah.
0 komentar:
Posting Komentar