"Perwira jagabaya melaporkan, dari
jejak dan keteranganketerangan
yang dapat dikumpulkan, kemungkinan Jante
melarikan diri ke dalam hutan terlarang di
sebelah selatan
Kutabarang. Hutan ini belum pernah dimasuki
manusia,
kecuali penjahat-penjahat dan para petapa
yang mencari sepi.
Juga jalan ke sana begitu sukarnya, hingga
jagabaya-jagabaya
yang ditugaskan umumnya tidak dapat memasuki
daerah
hutan sedalam yang diharapkan.
Tumbuh-tumbuhan rambat,
binatang-binatang buas, ular-ular raksasa
menjadi penghalang
mereka."
"Dapatkah kami mendapatkan bantuan dari
para
jagabaya?" tanya Pamanda Rakean.
"Tentu saja, justru penunjuk jalan
telah tersedia untuk
mengantarkan Saudara-saudara ke tempat jejak
terakhir itu,"
ujar Pangeran Jayapati. Ketika perundingan
sedang berjalan,
beberapa orang jagabaya tiba dengan berita
yang
mengejutkan.
"Tiga orang bangsawan yang sedang
berburu terbunuh.
Dari keterangan kawan-kawannya, yang
menyerang mereka
bukanlah binatang buas, tetapi manusia,
walaupun lebih
tangkas dari binatang buas."
Para puragabaya saling memandang satu sama
lain.
"Di hutan mana peristiwa itu
terjadi?"
"Dekat hutan larangan," ujar
jagabaya itu. Sekali lagi para
puragabaya saling berpandangan. Dan dalam
perundingan
selanjutnya, para puragabaya meminta kepada
Pangeran
Jayapati untuk segera dikirim ke tempat di
sekitar peristiwa itu
terjadi.
Keberangkatan rombongan pencari ditangguhkan
sampai
keesokan hatinya, sedang pada malam harinya
para
puragabaya dijamu dahulu oleh Pangeran
Jayapati. Malam itu,
Pangeran Muda tidak dapat tidur, begitu
banyak perasaan
yang mengharu-biru hatinya.
Pertama keanehan Jante sendiri, yang di
samping
kemurungannya yang makin lama makin
menonjol, juga sering
aneh dalam pembicaraannya. Menurut pendapat
Pangeran
Muda, Jante sering sekali mengatakan hal-hal
yang
memperlihatkan bahwa kesadaran Jante tidak
berpijak dengan
kukuh di atas kenyataan. Sedang dari
pikiran-pikirannya yang
tidak mendasar, pikiran-pikiran jelek
tentang orang lainlah
yang menguasai kesadaran Jante.
Pangeran Muda sangat menyesal hal itu tidak
sempat
dikabarkannya kepada Eyang Resi dan para
pelatih. Kesibukan
Pangeran Muda dan Putri Yuta Inten merebut
seluruh
perhatian Pangeran Muda. Dan Jante, walaupun
makin hari
makin menjadi aneh, terlupakan olehnya.
Pangeran Muda
sungguh-sungguh menyesal karenanya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, tujuh
orang
penunggang kuda putih dengan penunjuk jalan
dua
orangjagabaya yang berkuda hitam ke luar
dari gerbang kota
Kutabarang menuju ke arah hutan yang lebat
dan menakutkan
di sebelah selatan.
UNTUK mendapat keterangan yang lebih
lengkap,
rombongan tidak langsung memasuki hutan
lebat itu, tetapi
berjalan menuju sekelompok kampung untuk
bertanya kepada
para petani yang menjadi pengiring
bangsawan-bangsawan
pemburu yang malang itu. Setiba di kampung
yang dituju,
para puragabaya tidak segera dapat menemukan
para petani
itu, karena mereka sudah bekerja di huma
mereka masingmasing.
Oleh karena itu, dari kampung beriringlah
para
puragabaya dengan penunjuk jalan menuju
perhumaan.
Orang pertama yang menjadi saksi kejadian
itu ketika
ditanya menjelaskan, ketika para bangsawan
berburu di tepi
hutan, salah seorang di antara mereka
melihat gerakan di
dalam semak yang dekat sekali dengan hutan.
Seorang di
antara bangsawan itu turun dari kudanya,
lalu dengan diiringi
oleh beberapa ekor anjing menghambur ke
dalam semak itu
dengan tombak di tangan. Akan tetapi,
tiba-tiba bangsawan
itu berteriak dan rubuh. Ketika para
pengiringnya datang ke
sana, bangsawan itu terbaring dengan dari
mulutnya
mengeluarkan darah. Ketika diperiksa tulang
selangka dan
beberapa buah rusuknya patah bekas pukulan
yang dahsyat.
Sementara itu, para pengiringnya melihat
seorang manusia
menyelinap tanpa mengeluarkan bunyi antara
semak-semak
itu. Walaupun anjing-anjing mengejarnya,
anjing-anjing itu
kemudian kehilangan jejaknya.
Kawan-kawan bangsawan yang malang itu
mengejar
bayangan dalam semak-semak yang tinggi ituj
tetapi tidak
berapa lama kemudian mereka pun menghadapi
nasib yang
sama. Tulang-tulang rusuk, tangan, dan
bahkan tulang-tulang
jari mereka remuk. Dan ketika mereka dibawa
pulang, di
perjalanan jiwa mereka meninggalkan tubuh
mereka yang
menderita itu.
"Kami ditugaskan untuk mencari orangku,
Paman," kata
Pamanda Rakean. Sambil berkata demikian
Pamanda Rakean
memberi isyarat kepada jagabaya pengantar
itu untuk
melanjutkan perjalanan. Maka rombongan pun
berjalanlah
beriring di jalan-jalan setapak dalam
perhumaan itu.
Beberapa orang petani lagi mereka mintai
keterangan,
tetapi jawabnya umumnya tidak menambah
keteranganketerangan
yang diberikan oleh kawan-kawannya. Di
antara
petani ada yang mengatakan bahwa menurut
pendapatnya
yang menyerang dan membunuh tiga orang bangsawan
itu
bukan manusia, akan tetapi siluman.
"Mengapa Paman berpendapat
demikian?"
"Saya sempat melihat mata makhluk itu,
dan dari nyalanya
saya berpendapat, walaupun bertubuh manusia,
ia bukanlah
manusia, tapi siluman yang lolos dari Buana
Larang dan
merajalela di hutan terlarang itu."
Dengan sedih, Pangeran Muda menyadari,
anggapan petani
itu dapat diterima. Pangeran Muda barulah
menyadari
sekarang, pandangan mata Jante belakangan
ini memang
memberikan kesan yang sangat aneh. Pandangan
mata Jante
kadang-kadang sangat mengerikan. Pandangan
itu
menyinarkan ketakutan serta kebencian yang
luar biasa
terhadap sekelilingnya. Pangeran Muda mulai
bertanya di
dalam hati, mungkinkah siluman-siluman telah
merebut jiwa
Jante dan menjadikan Jante budaknya untuk
melaksanakan
rencana-rencana jahat di Buana Pancatengah
ini?
Sementara Pangeran Muda termenung-menung,
Pamanda
Rakean memerintahkan agar rombongan bergerak
kembali.
Setelah bertanya kepada beberapa petani
lagi, mereka pun
bergerak meninggalkan perkampungan-perkampungan
itu.
Mereka menuju ke hutan lebat yang membentang
di hadapan
mereka. Karena jalan-jalan sempit ke arah
hutan itu, mereka
berjalan beriringan,
denganjagabayapenunjukjalan berjalan di
muka. Setelah bergerak terus-menerus hingga
matahari
berada di puncaknya, mereka pun tibalah di
bagian ladang
yang bersemak-semak. Jagabaya pengantar
menunjukkan
tempat-tempat di mana peristiwa yang
menyedihkan itu
terjadi.
Di samping dari luka-luka yang sempat mereka
periksa
pada tubuh bangsawan-bangsawan yang menjadi
korban,
jejak-jejak yang tampak dalam semak-semak
itu menjelaskan
bahwa yang melakukan perbuatan yang
mengerikan itu benarbenar
seorang puragabaya.
SORE itu para puragabaya menitipkan kuda
mereka dalam
sebuah kampung kecil di tepi hutan yang mata
pencarian
penduduknya mencari madu di dekat hutan.
Setelah itu
mereka tidak terus beristirahat, tetapi
langsung memasuki
hutan, mengikuti jejak Jante. Akan tetapi,
karena jejak itu
telah lama dan telah banyak manusia lain
serta binatang yang
memijaknya kembali, pencarian mereka tidak
membawa
mereka ke mana-mana. Dan ketika matahari
hampir terbenam
Pamanda Rakean berseru memanggil anak-anak
buahnya.
"Kita tidak akan menemukannya hari ini.
Kita lebih baik
bermalam dahulu sambil merencanakan
pencarian yang lebih
saksama esok pagi."
Para puragabaya yang sudah lelah menyetujui
pendapat
itu, dan mereka pun berjalanlah ke arah
kampung pencari
madu itu. Keesokan harinya pencarian
dilakukan dengan lebih
saksama. Mereka lebih dalam lagi memasuki
hutan yang
belum dibuka oleh orang-orang Kutabarang
maupun orangorang
Kuta Kiara. Akan tetapi, tidak ditemukan
jejak yang
segar, sementara jejak lama makin
samar-samar. Karena
banyaknya jurang kecil yang dapat dilompati
oleh seorang
puragabaya, jejak itu hampir tidak akan
dapat membimbing
mereka menemukan orang yang meninggalkannya.
Pada hari ketiga datanglah berita dari
Kutabarang, dibawa
oleh tiga orang jagabaya utusan Pangeran
Jayapati. Berita itu
menyatakan bahwa kampung yang berada di tepi
barat hutan
larangan pernah kedatangan seorang asing.
Orang itu dengan
mudah menaiki pagar kampung yang tinggi,
kemudian setelah
masuk dan mengambil makanan, menghilang
kembali ke
dalam hutan. Gambaran penduduk kampung
tentang orang
yang datang dari hutan itu cocok dengan
gambaran Jante.
Oleh karena itu, rombongan puragabaya pun
bergeraklah ke
arah kampung itu. Keesokan harinya dengan
diantar oleh
beberapa orangjagabaya dan penduduk kampung,
mereka
bergerak ke timur, memasuki sebuah hutan
yang angker.
Berbeda dengan hutan di bagian-bagian lain
yang bertanah
hitam dan subur, hutan yang baru ini
bercadas-cadas di
berbagai bagiannya. Tebing-tebing yang curam
umumnya
telanjang karena kerasnya cadas. Hanya
rumput-rumput palias
yang tumbuh di permukaan tebing jurang yang
curam itu.
Akan tetapi, lembah-lembah ditumbuhi oleh
hutan yang lebat,
yang selain terdiri dari tumbuhan-tumbuhan
rambat yang
sukar ditembus, terdiri pula dari
tumbuh-tumbuhan berduri.
Sungguh tepat kalau ada orang yang bertapa
atau
menyembunyikan diri di tempat seperti itu.
Dan dalam hutan
itu pulalah para puragabaya bergerak.
Dengan saksama mereka meneliti jejak-jejak
yang ada di
sana, melihat celah-celah cadas dan gua-gua,
sementara
mereka mendengus-dengus dengan udara,
mencoba membaui
udara dengan hidung yang daya penciumannya
telah menjadi
kuat karena latihan di Padepokan Tajimalela.
Pada suatu saat
raung harimau kumbang terdengar, dan Ginggi
tampak berkelebat-
kelebat di antara semak-semak untuk beberapa
saat.
Ia muncul sambil menggerutu-gerutu sambil
menyeret
binatang yang telah mati sambil menyusut
titik-titik darah dari
tangannya yang kena cakar binatang buas itu.
"Tidak apa-apa?" tanya Pamanda
Rakean serata meraba
kantong obat-obatan yang disandangnya.
"Berilah saya sedikit penawar
racun," ujar Ginggi sambil
menyodorkan tangannya yang menderita
luka-luka yang
panjang tapi dangkal. Pamanda Rakean
mengeluarkan obat
penawar racun, lalu menaburkannya di atas
luka itu. Ketika
mereka berkumpul melihat-lihat harimau
kumbang yang
terbaring di atas cadas, Girang datang dan
berbisik, "Saya
telah membauinya."
"Di mana?"
Girang memalingkan mukanya ke arah sebuah
tebing cadas
yang menjulang. Pada tebing cadas mereka
melihat celah
besar dan kelam. Pamanda Rakean memberi
isyarat agar
anak-anak buahnya duduk. Mereka pun duduklah
berkeliling
menurut kebiasaan puragabaya. Setelah mereka
hening,
berkatalah Pamanda Rakean, "Tugas kita
adalah membawa
Jante ke padepokan. Hal itu perlu kita
lakukan dengan cara
yang lembut, cara biasa. Dan kalau dia dapat
kita bawa,
hendaknya dia mengikuti kita dengan
kesadarannya, dan tidak
dengan paksaan atau tipu daya. Untuk tidak
merasa bahwa
dia dikepung atau diburu, sebaiknya kita
tidak datang
bersama-sama. Seorang atau dua orang datang
kepadanya,
lalu menjelaskan maksud kedatangan kita. Kalau
dia lunak
hatinya, langsunglah bawa dia pulang.
Tinggalkanlah yang lain
seolah-olah yang lain tidak ada di sini.
Seandainya, dia
berkeras dan membangkang, kita serahkan
segalanya pada
Sang Hiang Tunggal yang akan memberi
petunjuk kepada kita
bagaimana kita harus mengabdi kepada
kerajaan dalam
menghadapi masalah yang menyedihkan
ini."
"Pamanda Rakean, sayalah kawannya yang
paling dekat, di
samping itu ... saya adalah calon
iparnya," kata Pangeran
Muda kepada Pamanda Rakean. Mendengar itu,
tak ada yang
berbicara.
Kemudian Pamanda Rakeanpun berkatalah,
"Kalau begitu,
baiklah. Anom, kau tahu watak dan isi hati
Jante. Berusahalah
agar dia sadar akan keadaannya."
Sambil berkata demikian Pamanda Rakean
melepaskan
tambang puragabaya yang tersembunyi di balik
sarungnya,
lalu memberi isyarat kepada yang lain agar
juga melonggarkan
ikatan-ikatan tambang itu, agar kalau
diperlukan dapat
dipergunakan. Melihat tambang-tambang itu
berdukacitalah
Pangeran Muda. Tiba-tiba ia menyadari,
bagaimana seorang
manusia yang telah bertahun-tahun dididik
untuk
kebudimanan, keluhuran, dan keagungan,
tiba-tiba berubah
dan terpaksa harus diperlakukan oleh
sesamanya seperti
binatang buas. Dalam saat-saat itu tiba-tiba
Pangeran Muda
benci kepada tubuhnya sendiri. Setiap
anggota, setiap otot,
setiap jari-jarinya telah menjadi senjata
yang sangat
berbahaya dan dapat mengakibatkan kerusakan
dan dukacita
di dunia ini. Akan tetapi, kesedihan dan
kebenciannya itu
dengan segera bergulat dengan kesadaran,
bahwa segalanya
tidak dapat dihindarkan. Ia seorang
bangsawan, seorang
kesatria Pajajaran yang jiwa-raga-nya tidak
menjadi miliknya,
tetapi milik kerajaan.
Seraya termenung demikian Pangeran Muda
mengurai
tambang dari ikatannya, lalu menyerahkannya
kepada salah
seorang kawannya, "Lebih baik saya
menyimpan.tambang ini,
supaya Jante tidak curiga," katanya.
Pamanda Rakean tampak
setuju, dan Pangeran Muda pun bangkitlah.
"Pamanda, lebih baik Anom tidak seorang
diri," ujar Rangga
yang selama ini diam.
Pamanda Rakean termenung sejenak, kemudian
berkata,
"Anomlah yang memutuskan."
"Mungkin kalau seorang diri lebih
mencurigakan, oleh
karena itu kalau Rangga mau, saya bersedia
ditemani."
"Baiklah," ujar Pamanda Rakean,
maka Rangga pun
bangkitlah, setelah memberikan tambang dan
senjata
pendeknya pada Elang. Kedua puragabaya muda
itu pun
meninggalkan kawan-kawannya yang terlindung
di balik
semak-semak. Mereka berjalan menuju ke arah
tebing yang
sangat curam yang bercelah di salah satu
tempatnya.
Pangeran Muda berjalan di depan, diikuti
oleh Rangga yang
terdengar membaca mantra-mantra mengusir
siluman. Mereka
melangkah tanpa menimbulkan suara, makin
lama mereka
makin dekat ke muka celah itu. Mereka
berusaha agar
berjalan biasa dan dengan demikian tidak
menimbulkan
sangkaan pada Jante bahwa mereka datang
untuk
mengepung dan menangkapnya. Makin lama
mereka makin
dekat, dan jantung
Pangeran Muda mulai berdegup dengan keras.
Ketika
mereka masih cukup jauh dari mulut celah
itu, tiba-tiba
terdengarlah suara Jante, "Rangga!
Anom! Berhenti, jangan
mendekat, atau kalian mati!"
Pangeran Muda dan Rangga terpukau bagai dua
patung,
berdiri tidak bergerak-gerak. Kemudian
Pangeran Muda
menarik napas panjang dan berbisik pada
Rangga untuk
melangkah terus. Setelah itu berserulah
Pangeran Muda,
"Jante, kami datang untuk menjemputmu.
Pulanglah bersama
kami, janganlah takut, dalam pengadilan kami
akan
membelamu. Saya pun tahu siapa Raden Bagus
Wiratanu.
Saya yakin, mereka pantas terbunuh dalam
perkelahian itu."
"Anom!" seru Jante dari dalam gua
itu. "Saya ragu-ragu
mengenai apa yang ada dalam pikiranmu,"
katanya,
sementara itu ia tidak tampak.
"Saya tidak pernah bercabang lidah
kepadamu, kau adalah
sahabat dan calon iparku. Saya sayang
kepadamu."
"Bohong!" seru Jante.
Pangeran Muda terhenyak. 'Jante, kau tidak
adil," kata
Pangeran Muda pula.
"Kalian semua hendak membunuhku dari
dulu. Dalam
latihan, Anapaken selalu hendak membunuhku.
Dalam ujian,
Geger Malela akan membunuhku dan bajuku
terbakar. Lalu
bangsawan-bangsawan itu dengan badik mereka
hendak
membunuhku. Lalu aku diburu seperti binatang
buas di pinggir
hutan! Anom, jangan percaya kepada
manusia!"
Seandainya Jante sebelumnya tidak pernah
berbicara aneh,
tentu saja perkataannya yang baru saja akan
mengejutkan
Pangeran Muda. Akan tetapi, sekarang
Pangeran Muda tidak
terkejut lagi. Apa yang diucapkan Jante
tidaklah benar, tetapi
hal itu sesuai dengan
kecenderungan-kecenderungan jalan
pikiran Jante yang sebelumnya didengar oleh
Pangeran Muda.
Pangeran Muda tidak terkejut lagi, ia
berdukacita sedalamdalamnya.
Jelas sekarang baginya bahwa siluman telah
menguasai seluruh kesadaran Jante.
Tanpa mengajak Rangga, Pangeran Muda
melangkah.
Rangga mengikuti. Mereka berjalan menuju
mulut gua itu.
Setelah mereka tiba di depannya, mereka
berhenti, dan
memandang ke dalam.
'Jante!Jante!" seru Pangeran Muda yang
terdengar hanya
gema suaranya, sedang Jante tidak menjawab.
Setelah
beberapa kali memanggil-manggil kembali,
akhirnya Pangeran
Muda memberi isyarat kepada Rangga agar
memasuki mulut
gua itu. Mereka pun melangkah dengan
hati-hati dan
waspada.
Walaupun mulutnya kecil, ternyata terowongan
gua itu
sangat besar. Di lantainya berserakan
tulang-tulang binatang
dan bahkan ada tulang-tulang yang tampak
seperti tulang
manusia. Pangeran Muda beranggapan, mungkin
sebelum
didiami oleh Jante gua itu menjadi tempat
tinggal harimau
lodaya atau binatang pemakan daging lainnya.
Sementara
melihat ke sekeliling, Pangeran Muda dengan
waspada terus
melangkah mengikuti lorong gua yang makin
lama makin
dalam masuk ke dalam perut gunung batu itu.
Suasana makin
lama makin hening, dan udara makin lama
makin kelam dalam
gua itu. Akan tetapi, berkat mata yang
terlatih dan diberi obatobatan
di Padepokan Tajimalela, tidak sukar bagi
kedua
puragabaya muda itu untuk dapat melihat
dengan jelas.
'Jante! Jante! Janteeeeeeeeee!" seru
Rangga.
Hanya gema yang menjawab, sahut-menyahut
dari tebing
ke tebing jurang. Sementara itu mereka makin
dalam
memasuki perut gunung batu itu. Tiba-tiba
mereka melihat
cahaya. Mereka menghentikan langkah
masing-masing dan
mengawasi ke sekeliling ke arah lekuk-lekuk
cadas di dalam
ruangan gua yang melebar. Di salah satu
sudut gua itu
berdirilah Jante, dengan matanya yang
bersinar liar
memandang kepada mereka.
Melihat Jante ketika itu, seram bercampur
dukacita meliputi
hati Pangeran Muda. Pakaian Jante sudah
tidak menentu lagi,
tinggal kain-kain yang kotor dan cabik penuh
bekas-bekas
darah. Sementara itu, rambut Jante yang
tidak kalah kotor
tampak kusut masai dan lengket. Jambang dan
kumis Jante
yang tumbuh panjang hampir menyebabkan
Pangeran Muda
tidak mengenalinya lagi.
"Kalian datang untuk membunuhku!"
tiba-tiba Jante
berkata.
'Jante!" seru Pangeran Muda dan Rangga
bersama-sama.
"Kalian jangan coba-coba mendekat,
kalian tidak akan
sanggup! Orang yang akan mampu membunuhku
sudah mati.
Hanya si Janur yang akan dapat membunuhku,
tapi ia telah
mati di dalam jeram siluman itu!"
Dengan dukacita yang sangat dalam, Pangeran
Muda
menyadari bahwa siluman sudah menguasai
seluruh pikiran
dan perasaan Jante. Orang yang dihadapinya
bukanlah Jante,
tapi siluman yang meminjam tubuh Jante yang
menyebabkan
malapetaka dan dukacita. Cahaya mata Jante
sudah terlalu
berubah untuk dapat dikenal lagi, demikian
juga seluruh
jiwanya. Akan tetapi, harapan Pangeran Muda
tidaklah putus.
Seraya berdoa di dalam hati, Pangeran Muda
mendekat dan
berkata, 'Jante, segala yang kaukatakan itu
hanyalah
khayalanmu, tak ada orang yang akan
membunuhmu."
"Anom, engkau orang baik, tapi aku
tidak percaya
kepadamu," sambil berkata demikian
Jante berjalan mendekat,
memandang ke dalam mata Pangeran Muda
seolah-olah
hendak melihat sesuatu di dalamnya.
"Dan kau Rangga, kau badut, di balik
leluconmu kau
rancang pembunuhan-pembunuhan yang paling
pengecut!
Kau tidak akan mampu membunuhku,
badut!" teriaknya pula,
parau. Teriakannya itu bergema dalam gua dan
di tebingtebing
jurang. Sementara udara masih bergetar oleh
suara
teriakkan Jante dan tertawanya yang
menyeramkan, Pangeran
Muda mendengar Rangga berbisik.
"Ia gila, siluman telah merebut seluruh
jiwanya dan
menjadikan dia budaknya!" katanya
dengan keheranan dan
terpukau.
Tiba-tiba dari luar gua terdengar pula
orang-orang datang.
Para puragabaya yang cemas di bawah pimpinan
Pamanda
Rakean mengikuti Pangeran Muda dan Rangga.
Tiba-tiba mata
Jante menjadi liar dan buas. Ia memandang ke
arah
puragabaya-puragabaya lalu berkata,
"Kalian akan menangkap
dan membunuhku seperti binatang, coba!"
Sambil berkata demikian, tiba-tiba ia
menyerang ke arah
Pangeran Muda dan Rangga dengan loncatan ke
depan dan
dua serangan yang berbahaya. Pangeran Muda
dan Rangga
mengelak pada waktunya. Dan ketika mereka
bersiap untuk
menerima serangan baru, tiba-tiba Jante
melompat dan
menghilang ke dalam salah sebuah lubang
dalam gua itu.
Pangeran Muda segera menyusulnya, demikian
juga Rangga.
Sementara itu, para puragabaya yang lain pun
bergerak.
Tetapi mereka mencari jalan-jalan lain,
dengan harapan dapat
menghadang Jante.
Pangeran Muda diikuti oleh Rangga
berlari-lari dalam lorong
yang gelap dan panjang, yang tiba-tiba saja
keluar di puncak
gunung cadas itu. Begitu Pangeran Muda melangkahi
ambang
gua itu, Jante menyerangnya bagai kilat.
Pukulan tangannya
yang kuat itu mendesing. Untung Pangeran
Muda sudah
bersiap, dan begitu serangan tiba, Pangeran
Muda sempat
meloncat ke tempat lain, lalu berdiri dengan
jurang menganga
di belakangnya.
Begitu serangannya meleset Jante tidak
berhenti, tetapi
segera menyerbu Rangga. Rangga tidak dapat
menghindarkan
dan terpaksa melayani serangan itu dengan
sebaik-baiknya.
Suatu rentetan pertukaran pukulan terjadi
dengan cepat, dan
tiba-tiba Rangga melepaskan diri dari
pergulatan itu. Ia
melompat, kemudian mundur perlahan-lahan
menjauhi Jante.
Jante tertawa dengan keras, dan dengan
secepat kilat
menyerang ke arah Pangeran Muda. Pangeran
Muda
mengibaskan serangan itu, dan dalam pada itu
sadar bahwa
dengan demikian Jante akan terjatuh ke dalam
jurang.
Ingatan yang datang secepat kilat itu
menyebabkan Pangeran
Muda mencoba menangkap pinggang jante. Ia
hanya dapat
menangkap cabikan baju Jante, dan karena
tarikan yang
keras, kuda-kuda Pangeran Muda tercabut, dan
Pangeran
Muda pun berguling ke arah tepi jurang.
Sementara itu, Jante
yang terlempar oleh serangannya sendiri
melayang sambil
mengeluarkan teriakan yang dahsyat. Kemudian
suara
tubuhnya terdengar menghantam dasar jurang
yang terdiri
dari cadas itu.
Ketika Pangeran Muda bangkit dari sela-sela
cadas tempat
ia terguling, para puragabaya datang ke
dekatnya. Ada yang
langsung membantu membangunkannya, ada pula
yang
melihat ke dalam jurang tempat Jante
terjatuh. Sementara itu,
Rangga tiba-tiba terjatuh.
"Rangga!" seru Ginggi sambil
mendekat.
Rangga memegang tulang selangkanya. Paman
Rakean
segera menolong. Ternyata tulang selangka
itu remuk, dan
Pamanda Rakean segera mengeluarkan bebat dan
penawar
sakit. Sementara Rangga diurus, Pangeran
Muda dengan dua
orang puragabaya menuruni jurang yang
bercadas-cadas itu.
Setiba mereka di bawah segera mereka memburu
ke arah
tempat tubuh Jante terbaring. Sambil
terbaring matanya yang
liar dan buas memandang ke arah mereka.
Ketika Pangeran
Muda mendekat, ia tiba-tiba bangkit dan
mengambil sikap
seperti akan menyerang. Akan tetapi,
kemudian tubuhnya
gemetar.
'Jahanam!" serunya keras sekali,
disahuti oleh tebingtebing.
Ketika ia memaki itu keluarlah darah dari
mulutnya.
Lalu ia rubuh kembali ke sela-sela cadas,
dan tidak lama
kemudian matanya yang liar itu menjadi
suram, lalu
kelopaknya gemetar, tapi tidak menutup.
Ketika Girang memegang pergelangan
tangannya, ia
mengangguk kepada yang lain. Yang lain
mengerti, dan air
mata tidak dapat ditahan, keluar dari mata
Pangeran Muda.
Untuk beberapa lama Pangeran Muda melihat
Jante yang
sudah tidak bernyawa lagi. Aneh, setelah
pemuda itu
meninggal, segala keliaran dan kebuasan
dengan
mengherankan meninggalkan seluruh dirinya.
Jante berbaring
dengan tenang, seperti seorang anak yang sedang
tidur
nyenyak.
Tak lama kemudian rombongan pun menuruni
hutan
bercadas-cadas itu dengan dua usungan.
Rangga diusung
karena tulang selangkanya yang remuk
menyebabkan dia
sangat lemah. Jante sendiri, setelah
pakaiannya diganti dan
tubuhnya dibersihkan, terbaring dalam
usungan kedua, tenang
dan megah, seperti seorang pahlawan yang
gugur dan dibawa
dari suatu medan perang.
000dw000kz000
Bab 19
Seorang Qalon Baru
Beberapa hari setelah peristiwa yang sangat
menyedihkan
itu, dari Padepokan Tajimalela Pangeran Muda
memacu si
Bulan ke arah kota Medang. Ia berangkat
seorang diri, dan
sepanjang hari tidak berhenti memacu
kudanya, didorong oleh
hatinya yang gelisah dan berdukacita.
Pada hari kedua, ketika hari menuju senja,
tampaklah di
depannya menara-menara benteng kota Medang.
Pangeran
Muda makin cepat memacu kudanya dan ketika
gerbang kota
itu sudah tampak, tiba-tiba dari arah depan
datanglah
penunggang kuda lain yang dikenalnya, yaitu
Mang Ogel.
Ketika mereka bertemu di tengah-tengah jalan
itu, Mang Ogel
segera turun.
"Anom, tenanglah, marilah kita segera
kembali ke
Padepokan. Setelah segalanya menjadi tenang,
kita dapat
merencanakan untuk berkunjung ke kota
Medang!"
Segala firasat jelek dan kegelisahan seperti
menjelmakan
dirinya dengan tingkah laku Mang Ogel yang
kelihatan
bingung dan bersedih hati itu. Pangeran Muda
turun dari
kudanya, lalu bertanya, "Mang Ogel,
katakanlah kepada saya
apa yang terjadi."
Mang Ogel kelihatan sangat bersedih hati dan
juga tidak
mau memulai pembicaraan.
"Mang Ogel, katakanlah."
"Anom, seluruh kota seperti hendak
mengamuk mendengar
berita kematian putra sulung penguasanya.
Semua kaum lakilaki,
hingga kepada anak-anak dipersenjatai, dan
engkau
dicaci maki dengan kata-kata yang hanya
boleh didengar oleh
siluman. Sedang malam ini, mereka akan
melakukan upacara
sumpah pembalasan dendam terhadapmu. Karena
itu, tenangkanlah
dan tabahkanlah hatimu. Marilah kita pulang
ke
padepokan, dan kalau suasana sudah sedikit
berubah, kita
akan kembali dan menjelaskan
segala-galanya."
"Mang Ogel, tapi saya tidak
bersalah."
'Anom, kemarahan tidak pernah memberi
kesempatan
kepada siapa pun untuk mencari kebenaran,
yang dicarinya
hanyalah kesalahan."
"Tidak, Mang Ogel, saya harus
menjelaskan semuanya,"
kata Pangeran Muda.
'Anom!" seru Mang Ogel ketakutan,
seraya menangkap
tangan Pangeran Muda yang memegang pelana si
Bulan.
Kedua tangan yang besar itu, seperti dua
sepitan dari besi
menjepit pergelangan tangan Pangeran Muda.
Pangeran Muda
tidak dapat bergerak karena tenaga Pangeran
Muda telah
dibekukan oleh Mang Ogel yang sangat hafal
akan ilmu tenaga
itu.
"Mang Ogel, berilah kesempatan pada
saya untuk pergi ke
kota Medang, untuk bertemu dengan Yuta Inten
dan
menjelaskan segalanya. Sekurang-kurangnya
kepadanya."
Mang Ogel termenung, lalu berkala,
"Ingat Anoin,
pertemuanmu dengan putri itu belum tentu
memperbaiki
keadaan. Bahkan siapa tahu malah
memperjeleknya. Di
samping iiu, Mang Ogel tidak menjamin
keselamatanmu serta
keselamatan orang lain. Segala perbuatanmu
adalah tanggung
jawabmu. Mang Ogel sudah memberimu
peringatan, dan
engkau adalah seorang dewasa yang sudah
pantas memiliki
pikiran waras. Di samping itu, engkau adalah
seorang
puragabaya yang berkewajiban selalu
berpikiran waras."
Sambil berkata demikian, Mang Ogel
melepaskan
tangannya. Mendengar perkataan Mang Ogel
itu, lemahlah
seluruh sendi Pangeran Muda. Kakinya hampir
tidak sanggup
menahan berat tubuhnya. Ia pun bersandar
pada pelana si
Bulan, air mata panas di kelopak matanya.
Mang Ogel berjalan ke arahnya, dan sambil
memegang
pundaknya berkata, "Pergilah nanti ke
sana, tetapi setelah
malam gelap. Masuklah ke kamar putri itu,
dan jelaskanlah
segalanya, kemudian kita pulang ke
padepokan. Mintalah
petunjuk Eyang Resi untuk tindakan-tindakan
yang bijaksana
selanjutnya. Bertapalah di padepokan, atau
bertapalah dalam
kesibukan baktimu pada kerajaan,
mudah-mudahan Sang
Hiang Tunggal mendengar doa-doamu."
Mendengar itu, agak ringanlah penderitaan
Pangeran Muda.
Ia memandang kepada Mang Ogel yang tersenyum
sayu
kepadanya. Kemudian ia berpaling ke arah menara-menara
kota Medang yang samar-samar di langit yang
kelam. Tak
lama kemudian, kedua orang penunggang kuda
itu pun telah
bergerak beriringan menuju kota Medang yang
gerbangnya
sudah ditutup rapat.
SAMBIL menunggu malam bertambah gelap,
Pangeran
Muda dengan Mang Ogel melepaskan kuda mereka
di dekat
mata air. Selagi mereka menunggu kuda-kuda
mereka minum,
langkah derap kuda terdengar dari arah barat
menuju mereka.
Seorang gulang-gulang begitu tiba melompat
.dari kuda, lalu
berkata, "Apakah ini Pangeran Anggadipati
Muda?"
"Ya," ujar Pangeran Muda.
"Hamba membawa surat dari Pakuan
Pajajaran untuk
Pangeran Muda."
"Dari siapa? Oh!" Pangeran Muda
melihat kotak lontar yang
dikenalnya dari Ayahanda Pangeran Muda
bertanya,
"Bagaimana kau dapat menyusul saya?
Dari mana pula kau
datang?"
"Saya dari Kutabarang, Pangeran Muda.
Pangeran Jayapati
menerima surat ini, lalu memerintah empat
orang gulanggulang
menuju ke suatu tempat. Di sana kami
mendapat
kabar bahwa Pangeran Muda tidak berada di
padepokan dan
orang yang harus menerima surat menyarankan
kepada kami
agar menyusul ke kota Medang. Kami menuruti
saran itu dan
ketika kami beristirahat, seseorang
memberikan keterangan
bahwa siang tadi seorang penunggang kuda
putih lewat. Kami
berbeda pendapat, yang tiga orang berpendapat
belum tentu
penunggang kuda putih itu Pangeran Muda.
Saya sendiri
punya firasat bahwa itu Pangeran Muda, lalu
saya
memutuskan untuk menyusul seorang diri,
sementara yang
lain menunggu di kampung yang letaknya tidak
jauh dari sini.
Sepanjang jalan saya bertanya kepada
orang-orang kampung,
apakah mereka melihat penunggang kuda putih,
seorang
kesatria. Mereka menunjuk ke arah
sini."
"Kecerdikanmu patut dihargai. Terima
kasih, dan
sampaikan pula terima kasih kepada Pangeran
Jayapati. Kau
tak akan kulupakan," lanjut Pangeran
Muda.
"Terima kasih kembali, Pangeran Muda,
tugas hamba
selesai, dan hamba mengundurkan diri."
Setelah gulang-gulang itu hilang dalam kelam
malam
Pangeran Muda dengan bantuan cahaya bintang
dapal
membaca tulisan di atas lontar itu.
Anakku,
Ayahanda sedang sangat
sibuk, tetapi kegembiraan dan
kebanggaan mendorong
Ayahanda mengucapkan selamat
kepadamu. Sang Prabu dan
Putra Mahkota sangat berkenan
dengan
perbuatan-perbuatanmu untuk kerajaan selama ini.
Penangkapan pemimpin
pengacau dan penyerangan ke
seberang Cipamali masih
segar di dalam ingatan penghuni
istana, dan sekarang kau
telah pula berhasil membunuh
puragabaya yang gila dan
membahayakan itu (siapakah nama
puragabaya itu?). Sang
Prabu sungguh-sungguh sangat
berkenan, dan engkau
telah mengangkat kehormatan keluarga
kita di mata beliau.
Berulang-ulang beliau berkunjung
kepadaku, hanya untuk
memperbincangkan engkau. Terakhir
beliau menawarkan apakah
kau bersedia menjadi pengawal
pribadi beliau. Anakku,
ini suatu kehormatan dan kemuliaan
bagimu dan bagi seluruh
keluarga kita. Kukirimkan pula surat
kepada Ibunda dan Ayunda
di rumah. Mereka pasti akan
berbahagia mendengar
beritayang menggembirakan itu.
Anakku, pikirkanlah
baik-baik tawaran sang Prabu yang
sangat jarang terjadi
bagipuragabaya-puragabayayang masih
muda dan masih belum
banyak pengalaman seperti engkau.
Sekian dulu, ayahmu
sangat sibuk tapi sangat bergembira,
Anggadipati.
Pangeran Muda tidak tahu, perasaan apa yang
tergerak
dalam hatinya setelah membaca surat itu.
Yang disadari
hanyalah, bahwa tangannya yang memegang
kotak lontar itu
gemetar, walaupun malam sekali-sekali tidak
dingin. Pangeran
Muda memasukkan kotak lontar itu ke dalam
kantong pelana,
dan setelah menitipkan kendali si Bulan pada
Mang Ogel,
berangkatlah Pangeran Muda seorang diri,
berjalan menuju
bayangan benteng kota yang kelam itu.
SETELAH memanjati benteng lapisan luar,
Pangeran Muda
melompati beberapa benteng lain, dan setelah
meluncur pada
sebatang pohon, tibalah dekat jendela kamar
Putri Yuta Inten.
Akan tetapi, seluruh ruangan dalam rumah
besar itu gelap
belaka. Pangeran Muda mengendap-endap di
lorong.
Semuanya sunyi. Maka Pangeran Muda pun
kembali
memanjati benteng, dan setelah melewati
beberapa atap
rumah, tibalah di atas benteng yang
melingkari lapangan kota.
Ternyata seluruh penduduk kota berkumpul di
sana. Di antara
mereka, di suatu tempat yang dimuliakan,
tampaklah seluruh
keluarga Banyak Citra. Laki-lakinya
berpakaian perang, sedang
wanita-wanitanya berpakaian perkabungan.
Di tengah-tengah lapangan kota dinyalakan
api unggun
yang sangat besar. Apinya berkobar-kobar
menerangi seluruh
lapangan. Pada suatu saat, majulah seorang
bangsawan muda
ke depan, sedang bangsawan-bangsawan muda
lain berdiri di
belakangnya. Bangsawan muda itu mengacungkan
tangan
kanannya, lalu berseru, "Demi
kehormatan keluarga Banyak
Citra dan warga kota Medang, kami bertekad
untuk membalas
dendam dan membunuh pembunuh sahabat kami,
Jante
Jaluwuyung. Kami akan meminum darahnya,
memakan
hatinya, dan menyerahkan bangkainya pada
anjing. Semoga
tekad kami direstui Sang Hiang Tunggal, Maha
Penghukum,
Maha adil."
Ucapan itu diikuti oleh ucapan
bangsawan-bangsawan dan
pemuda-pemuda lain yang berkumpul
mengelilingi api unggun
besar itu. Setelah ikrar diucapkan, Banyak
Sumba, adik lakilaki
Putri Yuta Inten maju, ia mencabut sebuah
senjata dari
pinggangnya, lalu melemparkannya ke dalam
api yang
menyala. Pangeran Muda ingat badik kecil
bergagang gading
yang pernah dihadiahkan kepada anak itu.
Pangeran Muda
merasa tertusuk melihat pemandangan yang
menyatakan
kekerasan hati seorang anak yang masih kecil
itu. Akan tetapi,
pemandangan yang lebih meremukkan kalbunya
segera
menyusul. Setelah ragu-ragu, Yuta Inten,
berjalan ke depan,
ayahnya tegak seperti patung, tidak melihat
kepadanya, tetapi
kebisuannya seolah-olah memesona seluruh
hadirin untuk
melakukan hal-hal yang memperlihatkan bahwa
mereka
berdiri di pihak laki-laki yang keras itu
untuk membalas
dendam kepada Pangeran Muda. Setelah
beberapa lama
berdiri di dekat api yang berkobar-kobar itu,
Putri Yuta Inten
melepaskan kedua gelang yang dipakainya,
subangnya, dan
kalungnya, lalu tusuk konde, yang kesemuanya
merupakan
hadiah dari Pangeran Muda. Benda-benda yang
sangat
berharga itu dilemparkan ke dalam api.
Kemudian gadis itu
jatuh terduduk, dan dipapah kembali ke
tempat keluarga
mereka oleh emban. Melihat pemandangan itu,
hampir jatuh
Pangeran Muda dari atas benteng.
Pemandangan-pemandangan yang tidak kurang
fasihnya
dalam mengucapkan tekad membalas dendam dan
kebencian
diperlihatkan berturut-turut. Pangeran Muda
tidak dapat
melihat pemandangan-pemandangan seperti itu
lebih lama
lagi. Ia merangkak, lalu terbaring di dalam
lekuk benteng yang
gelap. Ketika segalanya sudah sunyi dan dari
arah lapangan
itu tidak terdengar lagi teriakan-teriakan,
Pangeran Muda
bangkit, lalu merangkak ke arah kaputren,
menuju ruangan
Putri Yuta Inten. Setiba di sana dilihatnya
jendela tertutup,
walaupun di dalam ruangan tampak cahaya
remang-remang.
Pangeran Muda menyelinap, lalu membuka
jendela itu dengan
hati-hati, kemudian meloncat ke dalam.
Putri Yuta Inten dengan pakaian berkabung
yang belum
ditanggalkannya berdiri, dan dengan jeritan
yang tercekik
berseru, "Pembunuh!"
0 komentar:
Posting Komentar