Dia meraih tubuh Wulan, memeluk erat.
"Wulan, aku tak akan
pernah galak terhadapmu, sekarang atau pun
kelak. Aku akan
batasi diri bergaul dengan perempuan. Tapi
ada syaratnya."
Wulan bertanya manja. "Apa?"
"Tidak di sini, mari kuajak kamu ke
suatu tempat." Geni
menggandeng tangan kekasihnya. Keduanya
melesat ke
kerimbunan hutan. Sekar memandang kepergian
dua insan itu
dengan senyum
Di kerimbunan pepohonan, Geni melucuti
pakaian Wulan.
Mereka bercinta dan menikmati birahi yang
panas membara.
Sambil mengerang, terengah-engah, Wulan
berbisik, "Kamu
belum katakan syaratnya tadi."
"Kamu tak boleh menyimpan persoalan,
jika ada persoalan,
utarakan saja padaku."
"Cuma itu?"
"Ya cuma itu."
Sembari memeluk suaminya, Wulan berbisik
lirih, "Geni,
tadi, saat kita bergandengan menuju hutan,
aku melihat
Sekar, artinya ia melihat kita pergi
berduaan."
"Tidak ada masalah, Sekar sudah
mengerti. Sekar dan
kamu harus mengerti bahwa aku harus melayani
dua isteri.
Lain kali, aku akan mengajak Sekar dan kamu
yang melihat
kepergianku berdua Sekar."
Wulan berbisik, menggelitik telinga
kekasihnya. "Terbalik,
bukan kamu yang melayani dua isteri tetapi kami
berdua yang
harus melayani kamu. Bahkan mungkin dalam
masa datang,
akan ada perempuan lain lagi yang masuk ke
dalam keluarga
ini."
"Kenapa mengatakan adanya perempuan
lain lagi?"
Wulan tertawa geli ketika tangan Geni
menggelitik
tubuhnya. "Aku tahu, sebab melihat
gelagat birahimu, setelah
memahami ilmu Wiwaha tampak perubahan dalam
dirimu,
kamu semakin cepat terangsang birahi dan
makin perkasa."
Keduanya tertawa lirih sambil tetap.
menikmati pelukan
asmara di tengah malam yang remang-remang
disinari cahaya
rembulan.
---ooo0dw0ooo---
Jurus Penakluk Raja
Hari ini adalah awal dari hari esok.
Pertemuan adalah awal
dari suatu perpisahan. Beberapa hari
bersama-sama, ngobrol
bercanda, makan minum dan tidur, tanpa
terasa telah
menumbuhkan rasa pertemanan yang akrab.
Rombongan
besar itu berpencar. Demung Pragola bersama
cucu dan anak
buahnya pulang ke markas partainya. Sebelum
pergi Demung
Pragola menjanjikan bantuan kepada Wisang
Geni, kapan saja
diperlukan.
Rombongan Sang Pamegat bersama Ranggawuni,
Mahisa
Campaka, Waning Hyun dan delapan pendekar
Tumapel
melanjutkan tujuan asalnya. Wisang Geni yang
dulunya tawar
terhadap tiga pangeran ini, belakangan mulai
hangat. Ia
memberi hormat sambil mengucap salam
perpisahan.
Sekoyong-koyong Waning Hyun yang berdiri di
samping
Ranggawuni memperingatkan Geni.
"Kangmas Wisang Geni, kamu sekarang
ketua Lemah Tulis,
kamu juga kakak perguruanku, tetapi kamu
tetap masih
hutang satu permintaan padaku. Jangan lupa,
suatu waktu
nanti aku akan menagih janji itu, awas kamu
tak boleh
ingkar."
Wisang Geni tertawa. "Tanpa berhutang
janji pun, kalau di
perintah seorang permaisuri agung, mana
berani aku
menolak."
Melihat Waning Hyun tersipu-sipu. Ranggawuni
tertawa
terbahak-bahak. "Kangmas Geni, kamu
sekarang tak lagi kaku
seperti dulu pertama kali bertemu kami.
Sobat, berhati-hatilah
memimpin Lemah Tulis. Makin tinggi kau duduk
makin besar
angin yang akan menerpamu, hati-hati dan
waspada terhadap
siapa pun!"
Rombongan Lemah Tulis melanjutkan
perjalanan. Lima hari
kemudian sampai di Gayu, sebuah desa kecil
di kaki gunung
Wclirang. Lima hari itu bagi Manjangan Puguh
adalah
pengalaman baru. Selama lima hari itu ia
merasa dikejar-kejar
Mei Hwa. Setiap ia sendirian, Mei Hwa selalu
menghampiri dan
mengajaknya bicara
Dia seperti melihat wajah Mei Hwa di
mana-mana.
Hidungnya yang bangir mungil, matanya yang
sipit indah
gemerlap, rambutnya yang halus lurus, bibir
yang mungil,
semuanya seperti akrab dengannya.
Perawakannya yang
tinggi jangkung, tidak kurus dan tidak gemuk
selalu jadi bahan
lamunan.
Manjangan Puguh seorang lelaki berjiwa polos
yang tak
pernah menyembunyikan perasaannya. Ia terus
memikirkan
Mei Hwa. Sampai suatu saat ia dihadapkan
pada pilihan sulit.
Pergi jauh dari perempuan Cina itu, atau
menghampiri
perempuan itu dan mengatakan bahwa ia
mencintainya.
Tetapi ia bimbang. Ada rasa khawatir,
cintanya akan ditolak.
Ia merasa sudah tua, usia separuh abad,
apakah Mei Hwa
mau menerima cintanya? Ia makin kesal
terhadap dirinya,
mengapa menjadi begitu lemah, tak mampu
mengambil
keputusan tegas.
Perpisahan selalu membawa kenangan. Bagi
Manjangan
Puguh, yang selalu berpindah tempat dan tak
pernah diam
lama di suatu tempat, perpisahan adalah
kawannya yang
paling akrab. Hari itu ia sulit memutuskan
mengikuti
rombongan Wisang Geni ke Lemah Tulis, pergi
mengembara
seorang diri atau mengawani rombongan Mei
Hwa ke bukit
Penanggungan. Ia bingung memilih, seperti
kebingungan
dirinya yang tidak punya keberanian
mengutarakan cintanya
pada Mei Hwa.
Tadi malam, bagi Manjangan Puguh suatu hari
yang tak
akan terlupa. Mei Hwa menghampirinya,
memegang
tangannya dan menatap lekat-lekat matanya.
Ia sepertinya
melihat sinar mata yang mengandung cinta.
Apakah benar,
Mei Hwa mencintai dirinya sebagaimana ia
mencintainya?
Gadis itu berkata lirih, "Mas Puguh, di
dalam rombongan ini
aku adalah pemimpinnya karena aku pandai
bahasa Jawa.
Tetapi pengalamanku cetek, apalagi aku
sangat asing dengan
negeri ini, aku mohon bantuanmu mengantar
kami ke bukit
Penanggungan. Di bukit itu kami akan menanti
rombongan
ketua Sam Hong. Kamu mau mengantar
kami?"
Entah mengapa Manjangan Puguh justru
menjawab yang
tidak sesuai bahkan bertentangan dengan
kemauannya. "Aku
tidak bisa, aku masih punya urusan
lain." Ia melihat wajah Mei
Hwa yang kecewa, bahkan matanya merah basah.
Ia
menyesal, tetapi tak mampu meralat
jawabannya tadi.
Siang hari itu, di batas desa Gayu, dua
rombongan itu
sampai di persimpangan jalan. Ke kiri menuju
Trowulan,
markas perdikan Lemah Tulis. Ke kanan menuju
bukit
Penanggungan. Jari Manjangan Puguh menunjuk
lurus ke
depan. "Kalau ke utara terus, kalian
akan sampai di bukit
Penanggungan."
Mata Mei Hwa berkaca-kaca. Ia dan keempat
kawannya
memberi hormat kepada semua orang. Matanya
memandang
Manjangan Puguh penuh arti. Sepasang mata
sipit itu, basah
tapi masih bening dan berkilat. Manjangan
Puguh menyukai
keindahan mata itu. Hatinya tergugah, tapi
ia tak bisa
mengambil keputusan. Dalam hatinya ia merasa
malu,
mencintai gadis usia duapuluhan, padahal dia
sendiri sudah
hampir setengah abad. Ia malu terhadap Geni
dan yang
lainnya. Juga terhadap Mei Hwa.
Manjangan Puguh tak sanggup menatap
lama-lama mata
Mei Hwa. Cepat ia membalik dan melangkah
mendahului
rombongan Lemah Tulis. Ia berjalan menuju
Trowulan. Mei
Hwa masih berdiri tak bergerak Mata gadis
itu menatap
kekosongan.
Wisang Geni berbisik pada Wulan. Perempuan
ini manggut,
lalu berseru, "Paman, tunggu dulu,
lebih baik paman
mengawani Mei Hwa dan rombongannya, kalau
terjadi apaapa
terhadap mereka, nama kita semua akan cemar.
Lagi
pula, paman, kau bukan anggota Lemah Tulis
apa gunanya ke
Trowulan?"
Manjangan Puguh berhenti, berpikir sejenak,
ia berbalik.
"Kau benar juga. Aku bukan orang Lemah
Tulis, buat apa ikut
ke Trowulan. Baik, aku akan mengawani
orang-orang Cina ini
sampai desa di depan."
Sambil berkata Manjangan Puguh melesat
Sekejap saja ia
sudah berdiri di dekat Mei Hwa. Mata gadis
itu berbinar,
wajahnya menjadi cerah. Tanpa merasa malu ia
mengucap,
"Terimakasih," sambil menjura
kepada Geni dan Wulan. Tidak
disadari baik Manjangan Puguh maupun Mei Hwa
bahwa
keputusan itu telah mengubah jalan hidup
keduanya.
Tiga hari kemudian rombongan Wisang Geni
tiba di desa
Tumbas di tepi Kali Gunting. Dari situ
menuju Trowulan hanya
lebih kurang satu hari. Hari sudah senja,
Wisang Geni
memutuskan bermalam di batas desa. Dia
mengutus Gajah
Nila ke desa, mencari makanan dan
keterangan.
Matahari sudah lama masuk peraduan ketika
Gajah Nila
kembali.
Bersamanya ikut Kebo Lanang, murid pertama
Ranggascta
dan sepasang suami isteri. Mereka membawa
banyak
makanan seperti ketela, ubi, ikan asin, ayam
dan daging sapi
yang sudah dikeringkan. Tak lama kemudian
tempat itu penuh
kesibukan.
Gajah Nila memperkenalkan suami isteri itu
kepada Wisang
Geni. Seorang laki-laki tampan berusia
sekitar empatpuluhan,
Baruna. Isterinya sedikit lebih muda.
Keduanya lama tinggal di
desa dekat Lemah Tulis, karenanya tahu
banyak situasi dan
keadaan perdikan.
Selama dua hari di batas desa Tumbas itu,
satu persatu
murid Lemah Tulis berdatangan. Ternyata
selama ini Lemah
Tulis masih memiliki murid yang bertebar di
mana-mana dan
berlatih sendiri secara sembunyi Namun meski
pun hidup
berpencar, tetapi secara diam-diam mereka
tetap saling
berhubungan. Hanya selama ini belum berani
memperkenalkan diri di depan umum
Ketika semua orang sudah beristirahat, Gajah
Nila
membawa Baruna, menghadap Wisang Geni. Di
situ duduk
juga Walang Wulan, Padeksa dan Gajah Watu.
Tidak
ketinggalan di situ adalah Sekar. Karena
Sekar adalah isteri
Wisang Geni, maka boleh saja hadir dalam
perbincangan
Lemah Tulis. Baruna menceritakan panjang
lebar segala
sesuatu yang diketahuinya tentang tanah
perdikan Lemah
Tulis.
Tanah perdikan itu belum lama berselang
telah dikuasai
orang-orang dari partai Cundha, ketuanya
bernama Tita
Sahaja. Saat ini perdkan itu sedang ramai,
karena kedatangan
beberapa tokoh dari kalangan hitam Di
antaranya ada
Sepasang Iblis Sapikerep dan ketua partai
Bajul Ireng, yakni
Jayawikata.
"Kebetulan sekali, dua iblis Sapikerep
dan Jayawikata ada di
sana, aku tak perlu susah-susah mencari
mereka. Guru, siapa
itu Tita Sahaja?"
"Kakek itu salah seorang yang ikut
dalam penyerbuan ke
Lemah Tulis dan perang Ganter. Ia kawan
dekat Ken Arok
semasa muda. Ilmunya cukup tinggi, mungkin
oleh Sapikerep
dan Jayawikata, dia diharapkan dapat
mengimbangimu! Kita
harus berhati-hati, kupikir mereka sudah tahu
kita akan
datang."
Wisang Geni menyuruh Gajah Nila dan
Jayasatru
mempersiapkan pertemuan seluruh anak murid
Lemah Tulis.
Sebagian murid Lemah Tulis terutama yang
tidak hadir di
Mahameru hanya mendengar cerita kehebatan
Wisang Geni.
Tetapi ketika mereka melihat wajah ketuanya
yang masih
begitu muda, timbul keraguan. Apa mungkin,
ketua yang
begini muda usia punya ilmu hebat sampai
bisa membunuh
Kalayawana bahkan menjadi salah seorang dari
lima pendekar
utama tanah Jawa? Begitu kira-kira keraguan
di benak
mereka. Pertemuan berlangsung singkat,
Wisang Geni
menggambarkan apa saja yang harus dilakukan
untuk
membangun kembali perdikan Lemah Tulis yang
sudah
duapuluh lima tahun tenggelam
"Kerja keras, berlatih keras, tidak
kenal lelah, tidak kenal
putus asa, dan yang paling penting kita
semua harus menjaga
memelihara persatuan dan pertemanan di
antara sesama
murid Lemah Tulis. Ingat, mulai sekarang,
semua murid kita,
terutama murid baru, harus diketahui asal
usulnya. Tak boleh
lagi ada penyusup, tak boleh lagi ada murid
pengkhianat yang
meracuni makanan dan air minum kita. Harus
ada
kesepakatan bahwa siapa yang membuat
kesalahan harus
dihukum, siapa pun dia, bahkan jika aku
ketua kalian bersalah
dan melanggar peraturan, silahkan
hukum'"
Semua murid memerhatikan seksama penegasan
sang
ketua. Lebih lanjut Wisang Geni mengajak
semua murid untuk
menyerbu dan merebut kembali tanah perdikan
Lemah Tulis
dari tangan partai Cundha. "Pertama
yang harus kita lakukan
adalah merebut kembali Lemah Tulis. Malam
ini, kalian
waspada dan berjaga-jaga. Aku akan
menyelidik keadaan di
perdikan, melihat apakah mereka
mempersiapkan jebakan
atau tidak. Selama aku tidak ada, semua
urusan disini
kuserahkan pada paman Gajah Watu sebagai
penanggungjawab. Besok pagi, kita akan
menyerang. Satu hal
lagi, pastikan di antara kalian tidak ada
pengkhianat?"
Semua murid menyambut dengan semangat
meluap. Sudah
lama mereka tarmimpi datangnya saat ini.
Selama ini mereka
merasa seperti buronan saja. Tak berani
memperkenalkan diri
sebagai murid Lemah Tulis karena takut
disatroni musuhmusuh
lihai. Ternyata saat yang dinanti-nanti
akhirnya tiba
bahkan mereka sudah punya ketua baru yang
ilmu silatnya
sangat tinggi.
Wisang Geni melakukan perjalanan cepat.
Kalau berjalan
biasa tanah perdikan itu bisa dicapai dalam
satu hari. Tetapi
Geni yang menggunakan Waringin Sungsang tiba
sebelum
tengah malam Tak sulit menemukan perdikan
itu, karena peta
yang digambar Baruna cukup jelas. Bulan
ditutup mendung
tebal, Geni melihat perdikan dikelilingi
pepohonan sebagai
pagar batas. Ia tersenyum dan menemukan cara
paling bagus
dan aman. Menggunakan Waringin Sungsang ia
melompat dari
satu pohon ke pohon lain.
Ada beberapa penjaga malam berkeliling. Di
antara sekian
banyak rumah, tampak satu bangunan besar
mendapat
pengawalan paling ketat. Geni menduga itu
mungkin markas
pusarnya. Bagaimanapun juga ia harus
mendekati bangunan
itu, mengintai rencana lawan. Ia dengan
jurus Warayang dari
Waritigin Sungsang bergerak dari satu tempat
ke tempat lain.
Gerakan Wisang Geni terlalu cepat untuk bisa
dilihat mata,
apalagi di malam hari yang rembulannya
tertutup mendung
tebaL Sampai di bangunan besar, ia sembunyi
di bawah
wuwungan.
Dari situ ia bisa mengintai ke ruangan
tengah. Tampaknya
ada pesta. Empat perempuan separuh bugil
menari diiringi
musik tabuh. Beberapa lelaki duduk
menyaksikan sambil
makan-minum Meja hidangan penuh makanan dan
minuman,
seseorang masuk ruangan. Ia melapor adanya
rombongan
besar bermalam di hutan di batas desa
Tumbas. "Tidak tahu
siapa rombongan itu tapi jumlahnya sekitar
limapuluh orang.
Mereka semua orang-orang yang mengerti
silat."
Lelaki yang dikenal sebagai Jayawikata
berseru. "Itu sudah
pasti mereka, orang-orang Lemah Tulis yang
dipimpin Wisang
Geni. Kita harus bersiap-siap sekarang ini,
jangan sampai kita
diserang saat kita semuanya sedang
tidur."
Seorang lelaki yang tidak dikenal Geni,
berusia sekitar
tujuhpuluh tahun, mengusir pergi si pelapor
tadi. "Aku sudah
siapkan semuanya. Di mana-mana ada jebakan,
kalau malam
ini mereka berani menyerbu, itu sama saja
dengan bunuh diri!
Aku yakin mereka akan datang besok siang.
Alasannya,
mereka menganggap dirinya golongan pendekar
jadi mau
tarung secara terang-terangan. Justru
kesombongan mereka
itu yang akan kita manfaatkan. Sekali lagi
sejarah akan
mencatat kehancuran Lemah Tulis!"
Wisang Geni terkesiap. Rupanya benar yang
dikatakan
Padeksa, mereka sudah mempersiapkan diri.
Apa jebakan itu,
Geni tak tahu. Tiba-tiba Geni merasa telapak
kakinya gatal. Ia
hendak menggaruk, tapi ditahannya. Merasa
tak ada lagi yang
perlu diketahui, Geni melesat pergi. Rasa
gatal di kakinya
menjadi-jadi waktu ia tiba di luar batas
perdikan. Ketika
tangannya menyentuh telapak kaki, ia
terkejut. Kakinya itu
panas, bengkak dan berair. Racun ganas!
Tak ayal lagi Geni duduk bersila. Ia
mengerahkan tenaga
Wiwaha di kedua kakinya. Hampir sepenanakan
nasi kemudian
kakinya mulai membaik. Kakinya masih
bengkak, namun
sudah kurang gatal. Sebenarnya ia bisa
menyembuhkan
kakinya dengan ramuan, tetapi di malam hari
tak mungkin
bisa menemukan daun obat Satu-satunya jalan,
cepat kembali
ke rombongan.
Tapi bagaimana caranya? Berlari, tidak
mungkin sebab
racun itu akan menjalar lebih ganas lagi
Berjalan, juga tidak
mungkin, sebab akan makan waktu lama.
Menanti pagi hari,
kemudian baru mencari daun obat, juga tak mungkin,
orangorang
Lemah Tulis akan gelisah menanti.
Satu-satunya jalan ia
harus mencari kuda.
Terpaksa ia mencuri kuda dari salah satu
rumah penduduk.
Ia melecut kuda secepatnya dan tiba di desa
Tumbas saat
fajar menyingsing. Kedatangannya disambut
beberapa murid.
Ia minta Sekar menyiapkan air hangat di
tempayan. Sambil
merendam kaki, ia mengerahkan tenaga
dalamnya. Air di
dalam ember mendidih, selang sesaat menjadi
dingin. Wulan
dan Sekar duduk di dekat kekasihnya,
bergantian melayani
kebutuhan Geni.
Wulan, Sekar, Padeksa dan Gajah Watu serta
beberapa
murid lain memerhatikan wajah ketuanya. Tak
ada tandatanda
yang mengkhawatirkan, apalagi tadi Geni
mengatakan
bahwa ia cuma kena racun ringan. Racun itu
tidak bisa
menembus ke dalam tubuh tetapi bisa merusak
telapak
kakinya.
Wisang Geni selesai dengan pengobatannya
ketika
matahari pagi sudah memperlihatkan diri
sepenuhnya. Geni
masih belum mau menceritakan pengalamannya.
Ia semedi.
Selang beberapa lama, kakinya sudah tidak
gatal lagi,
meskipun masih bengkak. Masih ada bekas
racun di kaki,
warnanya agak biru kehitaman.
Setelah merasa agak baikan, Geni memaksa
diri berkeliling
di hutan, mencari ramuan daun dan rumput.
Sebagian ramuan
ditumbuk kemudian dilabur ke kaki, sebagian
lagi direbus dan
diminum Lalu ia semedi sambil melonjorkan
kaki. Ketika siang
hari, tampak kakinya sudah pulih seperti
sediakala.
Wisang Geni memanggil Padeksa, Gajah Watu
dan
beberapa murid utama. Ia menceritakan
pengalamannya
ketika mengintai Lemah Tulis.
"Jebakannya itu garam beracun
yang disebar di tanah sekeliling sehingga
penyerang akan
keracunan kakinya. Racun ini akan mengganas
apabila yang
keracunan menggunakan tenaga."
Setelah semua murid mengutarakan pendapat,
akhirnya
Geni menjelaskan siasat. "Kita
berangkat siang ini. Tapi
sebelum itu kita sebar isu akan menyerang
besok siang. Kita
akan sampai sekitar tengah malam. Istirahat,
lalu menjelang
fajar, kita serang. Gunakan karung berisi
pasir dan batu-batu
besar yang akan kita tebar di pekarangan.
Itu tempat pijakan
kaki. Selain itu, kalian lumuri kaki dengan
ramuan obat yang
sudah kusediakan lalu bungkus dengan kain
yang agak tebal,
menjaga jangan sampai kena racun."
Geni mengumpulkan semua anggota, membagi
tugas.
Sekelompok menyediakan karung. Sesampai di
tepi
perdikan, baru diisi pasir. Sekelompok lain,
membuat busur
dan anak panah. Ujung panah dibungkus kain,
nanti berfungsi
sebagai panah api.
Perjalanan ke Lemah Tulis telah
membangkitkan semangat
semua murid Mereka melangkah tegap. Tepat
tengah malam
mereka sampai di hutan dekat perdikan. Semua
kelompok siap
dengan tugasnya. Siap mengubah sejarah.
Inilah saat-saat
kebangkitan Lemah Tulis!
Beberapa saat menjelang fajar, ketika orang
masih enggan
membuka mata, Wisang Geni memberi aba-aba
menyerang.
Dari segala penjuru, mereka melepas anak
panah berapi. Tak
lama berselang semua bangunan di perdikan
itu menyala!
Musuh berlarian keluar. Suasana hiruk pikuk
dan kacau. Tepat
dugaan Geni, ternyata banyak anggota partai
Cundha yang tak
mengetahui kalau tanah di sekitarnya sudah
ditabur racun.
Mereka hanya diberitahu agar melangkah di
atas batu-batu
yang telah diatur rapi. Tetapi di malam hari
dan dalam
suasana hiruk pikuk diserang musuh, tak ada
lagi yang
mengingat aturan itu. Akibatnya mereka
memijak tanah yang
bertabur garam beracun, satu demi satu
korban di pihak
Cundha berjatuhan.
Tidak lama kemudian Wisang Geni memberi
aba-aba
menyerang. Karung pasir dan batu besar
dilempar ke dalam
pekarangan, berbarengan murid-murid Lemah
Tulis menyerbu
masuk. Geni, Gajah Watu, Wulan berada paling
depan.
Gajah Watu tarung lawan Sepasang Iblis
Sapikerep. Wulan
lawan Jayawikata. Sekar dan murid lainnya
tarung lawan
orang-orang Cundha. Geni menghadapi si orang
tua yang
ternyata adalah ketua partai Cundha, Tita
Sahaja!
Di mana-mana pertarungan sengit. Murid-murid
Lemah
Tulis dengan ganas membabat kian kemari.
Anggota partai
Cundha lari tercerai berai. Luput dari hamuk
anak murid
Lemah Tulis mereka mati disengat garam
beracun.
Pertarungan tidak lama, tanah perdikan itu
resmi jatuh ke
tangan pemiliknya.
Pertarungan antara tiga pemimpin sudah
mendekati akhir.
Tak percuma selama ini Wulan memperdalam
ilmu Prasidba
dari Wisang Geni. Pada mulanya Wulan agak
terdesak. Suatu
ketika ia terancam pukulan yang mengarah ke
dada. Melihat
tak ada jalan keluar, Wulan memasrahkan diri
sambil
menggelar jurus Akwamatyana dari ilmu
Prasidba. Jayawikata
hanya sempat memekik sebelum terjengkang dua
tombak ke
belakang. Tulang dadanya remuk, ia mati
sebelum menyentuh
tanah.
Gajah Watu sebetulnya kewalahan dikeroyok
Sepasang Iblis
Sapikerep. Namun, karena Lembusana belum
pulih dari luka
pedang Ki Antaboga ketika tarung di
Mahameru, maka Gajah
Watu tinggal memerhatikan si iblis
perempuan, Lembani. Dan
saat Wulan mengalahkan Jayawikata, saat yang
sama Gajah
Watu menghantam leher Lembani. Iblis ini
terlempar dengan
leher patah, mati seketika!
Lembusana kalap melihat isterinya mati. Ia
menyerang
tanpa peduli pada lukanya yang belum sembuh.
Gajah Watu
menyambut dengan jurus Dekungpulir dan
Sikepdehak.
Tangan dan kaki Gajah Watu berputar dengan
mendorong.
Bentrokan tenaga tak terhindar. Gajah Watu
undur dua
langkah. Lembusana tetap di tempat, wajahnya
pucat. Dari
mulurnya keluar darah, tubuhnya bergoyang,
saat berikutnya
ia jatuh tertelungkup, mati! Selesai sudah
perjalanan hidup
yang kelam tiga pendekar kalangan hitam,
Jayawikata dan
pasangan suami isteri Sapikerep. Duapuluh
lima tahun silam
mereka ikut andil dalam pembantaian berdarah
murid-murid
Lemah Tulis, sekarang nyawa dan hidup mereka
dihentikan
oleh orang-orang Lemah Tulis. Hutang nyawa
bayar nyawa!
Pertarungan antara Wisang Geni dengan Tita
Sahaja
berlangsung seru sejak awal. Murid-murid
Lemah Tulis
menonton takjub. Ketua mereka ternyata
seorang berilmu
tinggi meski usianya masih muda. Sepanjang
pertarungan itu,
terdengar bentrokan tenagayang bersuara
keras. Tita Sahaja
memainkan jurus andalannya Gelap Ngampar dan
Gelap Sewu
Geni berganti-ganti menggunakan Garudamukha
dan Bang
Bang Alum Alum.
Sengaja Geni tak mau menggunakan Prasidha
karena ingin
menguji tenaganya sendiri. Ia ingin adu tenaga
habis-habisan,
ingin tahu sampai di mana kekuatan Wiwaha
menghadapi
lawan istimewa ini. Baru kali ini Geni
menemukan lawan
dengan tenaga luar dan tenaga batin yang
begitu tinggi
Namun sekuat apa pun tenaga Tita Sahaja,
tampaknya
Wimkm jauh lebih sempurna. Makin bertarung,
tenaga Geni
makin besar. Panas yang membara dan dingin
yang membeku
silih berganti menyiksa Tita Sahaja.
Melampaui jurus
limapuluh, Tita Sahaja yang sudah terdesak
hebat terpaksa
menggunakan pukulan paling dahsyat yang
dimilikinya.
Amarahnya meluap, ia membentak keras dan
mengerahkan
segenap tenaga. Mati atau hidup!
Geni melihat ini, ia juga mengerahkan
segenap tenaga
dinginnya. Terjadi adu tenaga dalam yang
dahsyat. Angin
dingin dan tangan Geni menyambar ke segala
penjuru dan
terasa oleh sebagian murid Lemah Tulis.
Mereka yang belum
pernah melihat sepak terjang Geni, kini
takjub akan kehebatan
ketuanya.
Yang paling celaka, Tita Sahaja. Bentrokan
tenaga itu telah
membuatnya nyaris beku. Ia menggigil hebat.
Dari mata,
hidung, mulut dan telinga merembes darah.
"Ilmu apa itu?" Ia
bertanya, tapi tak sempat mendengar
jawabannya. Nyawanya
melayang!
Pertarungan selesai lebih cepat dari
perkiraan. Di pihak
Lemah Tulis tidak ada korban jiwa, hanya
beberapa murid
yang luka. Tetapi di pihak lawan, sebagian
besar mati di
pekarangan, sebagian lagi di luar perdikan.
Pagi itu, Lemah Tulis memulai hari yang
baru. Semua murid
membersihkan pekarangan, membuang garam
beracun.
Mereka bekerja dengan riang. Mayat-mayat
orang partai
Cundha dikubur dalam satu liang besar di
luar perdikan.
Semua bangunan dibongkar kemudian membangun
yang baru
sesuai kebutuhan dan rencana.
Selama beberapa hari, Wisang Geni sibuk
menjalankan
tugas sebagai ketua. Waktunya yang senggang
digunakan
untuk melatih para murid atau berkeliling
membantu
pembangunan. Malam hari ia istirahat bersama
Wulan dan
Sekar. Dua isteri itu sekarang sudah makin
rukun, mau
bercanda dan bekerjasama. Bahkan tidak
jarang mereka
bercinta, dua isteri menggumuli Geni.
Hampir setiap pagi dan malam Geni membantu
penyembuhan tenaga Padeksa. Tubuh Padeksa
semakin
membaik, ia sudah sembuh namun tenaga
dalamnya belum
pulih sepenuhnya.
Pada saat-saat tertentu Geni melatih
beberapa murid
utama secara bersamaan. Kemudian beberapa
murid utama ini
melatih beberapa murid di bawahnya.
Tampaknya roda
kehidupan Lemah Tulis mulai berputar kembali
setelah
duapuluh lima tahun lamanya terbenam dalam
lumpur
kehinaan.
Hanya dalam waktu duapuluh hari, keadaan
perdikan
Lemah Tulis langsung berubah. Secara fisik
terlihat bangunan
dan saluran pengairan mulai berfungsi. Di
sisi lain mulai timbul
kepercayaan diri pada setiap anak murid.
Sepak terjang Wisang Geni menjadi
pembicaraan para
murid. Sebagai ketua ia tegas, berani dan
bijaksana. Sebagai
manusia biasa, ia mau duduk sama rendah dengan
para
murid, makan bersama bahkan ikut menebang
kayu dan
menggali sumur. Terkadang ia larut dalam
canda bersama
mereka. Makin hari para murid makin segan,
hormat dan
sayang pada ketua mereka yang masih berusia
muda ini.
Tiba saatnya Wisang Goni berangkat ke
Tajinan, memenuhi
janji tarung pada Malini dan Kumara. Malam
menjelang
berangkat, Wulan membujuk Geni untuk
mengajaknya. Geni
keberatan mengingat Lemah Tulis kekurangan
tenaga.
"Wulan, kamu harus membantu perguruan.
Guru Padeksa
belum pulih seluruhnya. Hanya seorang yang
bisa diandalkan,
paman Gajah Watu selain beberapa murid
utama. Itu sebab
tenagamu diperlukan di sini. Aku akan cepat
kembali." Geni
melihat air muka Wulan yang murung.
"Kamu mengajak Sekar?" tukasnya
dengan suara bergetar.
Geni mengangguk, mengiyakan.
Seperti anak kecil, ia merengek. "Aku
mau ikut, Geni!" Geni
belum sempat menyahut, terdengar suara Sekar
mengusulkan
agar Wulan ikut serta. Mau tak mau Geni
akhirnya bertanya
pada Padeksa. Orang tua ini tertawa geli.
Dalam hati ia
merasa lucu melihat dua isteri itu tidak mau
berpisah dari
suaminya. "Sekarang ini Lemah Tulis tak
akan kekurangan
tenaga. Lagipula siapa yang akan menyerang
kita? Justru
kamu yang perlu ditemani, maka ajak saja dua
isterimu itu.
Ingat Geni, yang kamu hadapi itu dua orang
yang ilmu
silatnya tergolong kelas atas. Kamu harus
waspada dan
berhati-hati!"
Dalam perjalanan menuju Tajinan, Wisang
Geni, Wulan dan
Sekar lebih sering berbincang mengenai ilmu
silat. Berkat
latihan dan bimbingan Geni, sekarang Wulan
sudah menguasai
Prasidha dan bisa menggunakan saat
dibutuhkan. Selain itu
Wulan pun mulai menguasai warisan ayahnya,
ilmu Nagapasa.
Geni tak lupa menyediakan waktu membimbing
Sekar
khususnya dalam peningkatan tenaga dalam.
Pada saat tertentu Wisang Geni menghabiskan
waktu
memikirkan pertarungan nanti. Ia pernah
bertempur dengan
Malini selama tigapuluh jurus di Mahameru.
Waktu itu ia
terkejut sebab dalam setiap bentrokan
tangan, ia merasa
tenaganya seperti amblas ke tempat kosong.
Malini seperti
sebuah sumur yang dalam, yang menyedot
seluruh tenaga
pukulannya. Ketika ia tanyakan, Padeksa
menegaskan itulah
ilmu yang meminjam tenaga bumi. Inti ilmu
tersebut, adalah
daya tarik bumi. Setiap benda kalau dilempar
akan jatuh ke
tanah. Makin tinggi keberadaan benda dan
makin berat bobot
benda itu maka kejatuhannya akan bertambah
keras.
Prinsip ilmu itu hampir sama dengan
Prasidha. Bedanya
Prasidha meminjam tenaga musuh untuk memukul
kembali
musuh. Sedang ilmu Tenaga Bumi menyalurkan
tenaga
pukulan musuh lenyap ke bumi, makin lama
musuh akan
kehabisan tenaga. Selelah itu barulah musuh
dihajar. Wisang
Geni berpikir, apakah Prasidha bisa
mengatasi ilmu pendekar
India itu?
Pertanyaan ini menghantui Geni sepanjang
jalan.
Bagaimana kalau Prasidha ternyata tak mampu
mengatasi
ilmu lawan itu? Memang ia berhasil
meyakinkan Padeksa dan
Gajah Watu bahwa ia bisa mengatasi dua
pendekar
Jambudwipa itu. Tapi dalam hatinya ia tak
yakin bisa menang.
Sejak masih di Trowulan ia sudah memikirkan
cara
menghadapi ilmu Tenaga Bumi itu? Namun
sampai saat ini
pun, ia belum menemukan jawaban yang tepat.
Ia tahu, ia tak
punya pegangan untuk menang.
Malam itu ketika nginap di hutan dekat
perbatasan desa
Wajak. Wisang Geni temukan pengalaman aneh.
Setelah
bercinta dengan dua isterinya sepanjang
malam, Geni
terbangun saat ambang fajar. Ia merasa ada
orang yang
mengusik tidurnya. Ia menengok kedua
isterinya, mereka tidur
lelap.
Ia seperti mimpi mendengar suara kidung
Penakluk Raja
sayup-sayup mengelus pendengarannya. Suara
itu seperti
bisikan lembut dan merdu yang mengiang di
telinganya. Ia
menengok keliling, tapi tak melihat ada
orang. Merasa
penasaran ia membangunkan Wulan dan Sekar.
"Kau
mendengar orang menyanyikan kidung Penakluk
Raja?"
Sekar mengerutkan kening, mencoba mendengar
dengan
penuh perhatian, lalu menggeleng kepala.
Wulan tak
mendengarnya. Wisang Geni memukul kepala,
ternyata ia
tidak bermimpi, suara kidung itu masih saja
terdengar di
telinga berulang-ulang. Mulanya ia mengira
itu perbuatan si
Kidung Maut. Tapi ia teringat Kidung Maut
tak pernah
menyanyikan syair kepala kidung. Sedangkan
kidung yang
mengiang di telinganya justru lengkap. Suara
itu juga bukan
suara si Kidung Maut, yang didengarnya kali
ini lembut, sejuk
dan nikmat.
Sekar dan Wulan melanjutkan tidurnya. Wisang
Geni tetap
terjaga. Ia masih mendengar kidung.
Sekonyong-konyong
kidung berhenti dan lenyap begitu saja.
Kemudian suara itu
datang lagi. Tapi tidak berkidung. Suara
yang sama kini
bersyair.
Tidak sedih, tidak
gembira,
tidak berani, tidak
kuasa,
tidak birahi, tidak
cinta,
tidak selamat, tidak
mati.
Delapan jalan, satu
tujuan.
Tidak sedih atau sedih
sama saja!
Ada atau tidak ada, sama
sajal
Delapan jalan menuju satu
tujuan,
delapan dan satu, sama
saja!
Geni tidak bingung lagi. Ia tahu ada orang
sakti yang mainmain
dengannya. Itu ilmu mengirim suara paling
dahsyat yang
cuma ada dalam dongeng. Orangnya tak
terlihat tapi suaranya
ada. Tak ada suara, namun ia bisa menangkap
kata demi kata
yang diucapkan orang itu. Ucapan itu
berulang sampai dua
kali.
Wisang Geni berbicara sendiri. "Ini
petunjuk, tapi petunjuk
tentang apa. Orang sakti, tolong jawab
pertanyaanku."
Suaraku terdengar lagi. "Pertanyaan
atau jawaban, sama
saja! Bisa bertanya, harus bisa menjawab!
Selamat tinggal,
cucuku!"
Wisang Geni hampir pingsan. Benar-benar dia
orang sakti
yang memberi petunjuk. Tapi petunjuk tentang
apa, ilmu silat?
Kalau ilmu silat, ilmu apa? Tiba-tiba Geni
melompat saking
terkejutnya. Apakah mungkin itu petunjuk
tentang Jurus
Penakluk Raja? Kemungkinan besar, iya, sebab
bukankah
semua tadi diawali dengan kidung Penakluk
Raja? Orang itu
pasti Eyang Sepuh Suryajagad, tidak bisa
tidak!
Berpikir demikian Geni berlari sambil
berseru memanggil,
"Eyang! Eyang, jangan pergi!"
Suara Geni membangunkan seluruh penghuni
hutan,
bergema di mana-mana. Wulan dan Sekar
melompat dari tidur
saking terkejutnya. Wulan mengejar menangkap
Geni,
"Kenapa? Ada apa, Geni?"
Tiba-tiba Wisang Geni menelungkup di tanah.
Ia menangis
sambil memukul tanah. "Bodoh! Tolol!
Aku pantas mampus!
Kenapa tidak dan awal aku tahu bahwa dia
adalah Eyang
Sepuh Suryajagad!"
Wulan dan Sekar bingung melihat tingkah laku
Geni.
Apakah benar Eyang Sepuh tadi hadir di sini?
Wulan melihat
berkeliling. Tak ada siapa pun. Hutan itu
sepi, tak ada seorang
manusia pun Hanya kicau burung dan kokok
ayam di ambang
fajar.
Wisang Geni duduk semedi, memusatkan
pikiran, mencari
tahu apa sebenarnya kejadian yang ia alami
tadi? Wulan dan
Sekar lak bisa berbuat apa-apa, duduk
bersandar di pohon
mengawasi sang suami. Sekar bergumam dalam
hati, ia
bertanya-tanya, apa mungkin Geni kena samber
dedemit,
semacam kerasukan setan.
Dua hari Geni berusaha memecahkan petunjuk
Eyang
Sepuh.
Tidak sedih, tidak
gembira,
tidak berani, tidak
kuasa,
tidak birahi, tidak
cinta,
tidak selamat, tidak
mati.
Delapan jalan, satu
tujuan.
Tidak sedih atau sedih
sama saja!
ada atau tidak ada, sama
saja!
Delapan jalan menuju satu
tujuan,
delapan dan satu, sama
saja!
Apa maksudnya, 'Delapan jalan menuju satu
tujuan,
delapan dan satu sama saja!" Bahkan
ketika tiba di desa
Tajinan, Geni tetap belum temukan pegangan
untuk
menghadapi dua pendekar Jambudwipa itu.
Siang itu Geni
bertiga tiba di warung makan di mana pertama
kali ia jumpa
Sekar. Tampak banyak orang menanti di sana.
Ia gembira
melihat Manjangan Puguh. Di samping gurunya,
ia melihat Mei
Hwa dan empat pengawalnya. Di situ juga
hadir beberapa
murid Mahameru, juga murid perguruan lain.
Tak lama kemudian dua pendekar Jambudwipa
itu tiba.
Malini mengenakan celana hitam dan sutra
merah yang
berlapis-lapis dililitkan di tubuhnya.
Kumara mengenakan
celana dan baju hitam. Malini berseru,
"Rupanya sudah
banyak orang di sini. Wisang Geni, apakah
mereka datang
untuk menonton atau membantumu?"
"Jangan sombong, kita akan bertempur
satu lawan satu
tanpa ada yang ikut campur. Atau mungkin kau
mau maju
berdua?"
"Tak perlu berdua, aku sendiri saja
sudah bisa
membunuhmu. Geni. Karenanya masih ada
kesempatan kamu
mundur jika kamu beritahu di mana
persembunyian kakek
gurumu yang pengecut itu. Terus terang kau
bukan lawanku."
"Kau mimpi di siang bolong, sudah
kukatakan hutang
piutang Eyang Sepuh dengan kalian, sudah
kuambil alih!"
Pertarungan tak terhindarkan lagi. Geni dan
Malini saling
gempur. Tanpa ayal, Geni menggelar semua
ilmu andalannya.
Bergantian ia menyerang dengan mengerahkan
tenaga
Wiwaha-nya. Malini tak mau kalah, ia mainkan
jurus-jurus
aneh.
Malini berkata sinis, "Cuma begini saja
ilmu Lemah Tulis,
tak ada yang hebat. Kau bukan tandinganku,
Geni. Aku heran,
kenapa kau mau membuang jiwa untuk orang tua
pengecut
itu?"
Tigapuluh jurus berlalu. Geni tahu lawan mulai
memainkan
ilmu Tenaga Bumi. Semua pukulan Geni seperti
nyemplung di
sumur, tak berbekas. Melihat itu Geni
berlaku cerdik
memancing lawan untuk menyerang. "Ia
pasti menyerang
hebat kalau tahu aku tak menggunakan
tenaga".
Benar perhitungannya. Malini memukul dengan
tenaga
bagai air bah. Tanpa ragu Geni menyambut
dengan jurus
Kacakrawartyan yakni "Penguasaan
dunia" dari Garudamukha
Prasidha.
Kembali Geni kalah tenaga. Ia terlempar dua
tombak.
Begitu kakinya mendarat Geni merasa dadanya
sesak, darah
merembes di ujung mulurnya. Malini tersenyum
dingin.
"Sudah kubilang kamu tidak akan bisa
melawanku, bagaimana
rasanya jurusku tadi namanya Mandi Bersih di
Sungai
Gangga!"
Namun diam-diam dia mengakui kehebatan
tenaga dalam
Geni. Kena hantaman sehebat itu ia masih
bisa berdiri tegar.
Tangannya menyapu bekas darah di mulurnya.
"Belum, aku
belum kalah!"
Malini bangkit marahnya. Ia menyerbu ganas.
Geni melesat
dengan Antarlina. Pertarungan jadi menarik,
Malini menyerang
dan Geni mengelak dengan berlari. Geni
berhasil menemukan
cara mengatasi Tenaga Bumi lawan.
"Harus kupancing dia
tarung di udara. Jika tidak memijak bumi,
aku rasa Tenaga
Bumi itu tidak bisa ia gunakan."
Berlarian dengan Waringin Sungsang Geni
punya dua
maksud. Memancing Malini bertarung di udara
dan mencuri
waktu memulihkan tenaganya. Karena betapa
pun hebat
tenaga Wiwaha, kena hajaran sehebat itu
tetap membutuhkan
waktu untuk memulihkan luka dalam itu.
Suatu ketika Geni menggunakan jurus
Sumujugtundaghata
dari Prasidha menyambut hantaman keras
Malini. Rencana
Geni berjalan mulus, bentrokan tenaga
terjadi di udara.
Keduanya dalam keadaan melayang, tidak
memijak bumi Tapi
bukannya berhasil, Geni justru merasakan
tenaga dinginnya
membalik menghantam dirinya. Cepat ia
mengerahkan tenaga
panas untuk bertahan.
Pertarungan berlanjut, Geni semakin
kewalahan, ternyata di
udara pun ilmu Prasidha tak bisa melumpuhkan
perlawanan
Malini.
Limapuluh jurus berlalu. Malini tertawa, ia
berbisik dengan
memendam suara sehingga hanya Geni yang
mendengarnya.
'Pulang dari Mahameru, temanku Kumara
cemburu, ia
kemudian melamar aku menjadi isterinya.
Geni, aku
menyukaimu, aku akan menolak lamaran itu,
jika kamu mau
menjadikan aku isterimu Dan semua urusan ini
akan
kulupakan. Bagaimanapun kamu tak bisa
mengalah kau aku,
percuma kau memancing pertarungan sambil
melayang di
udara. Tak ada gunanya. Di udara atau pun di
bumi sama
saja, jurusku sama hebatnya. Kamu tetap akan
mati."
Kata-kata Malini "di udara atau pun di
bumi, sama saja"
dan pernyataan cintanya itu mengingatkan
Geni akan petunjuk
dari Eyang Sepuh. "Katanya ia cinta
padaku, mungkinkah itu?
Benar atau tidak benar, cinta dan tidak
cinta, sama saja. Di
udara dan di bumi, sama saja. Tidak sedih,
tidak gembira,
tidak berani, tidak kuasa, tidak birahi,
tidak cinta, tidak
selamat, tidak mati. Delapan jalan satu
tujuan. Tidak sedih
atau sedih, sama saja! Ada atau tiada, sama
saja! Delapan
jalan menuju satu tujuan, delapan dan satu,
sama saja!"
Geni bicara sendiri namun bisa didengar
Malini. "Cinta atau
tidak cinta, sama saja. Ya, tarung di udara
atau pun di bumi,
sama saja, aku tetap kalah. Menang atau
kalah, sama saja.
Dua sifat yang berlawanan namun tetap sama.
Kenapa?
Dipukul atau memukul, sama saja. Kenapa?
Delapan dan satu,
sama saja. Delapan jalan menuju satu tujuan,
apa itu? Kenapa
menyebut delapan, bukannya sembilan atau
sepuluh. Tetapi
delapan dengan sepuluh, sama saja. Kalau
delapan sama
dengan satu, empat juga sama dengan delapan,
sama juga
dengan satu."
Malini kesal mendengar jawaban Geni.
"Jadi kamu menolak
cinta dan uluran tangan berteman denganku,
kamu kurang
ajar Geni, kuhajar kamu, biar tahu
rasa!" Ia menyerang
gencar.
Geni berpikir. Dia berpikir terus sementara
tubuhnya tak
henti bergerak menghindar dan menangkis
gempuran Malini
yang makin gencar dan ganas. Dua pukulan
Malini
menghantam tubuh Geni. Ia terhempas ke kanan
dan ke kiri,
dua kali ia muntah darah.
Manjangan Puguh mencekal tangan Mei Hwa
erat,
meremas keras. Berulang kali ia hendak
bangkit menolong
Geni, Mei Hwa menahannya. "Muridmu itu
sedang berlatih
dalam bertarung. Ia tak apa-apa."
Sekar marah mendengar komentar Mei Hwa.
"Kau bicara
apa, dia muntah darah, masih kamu bilang dia
tak apa-apa?"
"Sekar dan Wulan, tenanglah. Biasanya
orang yang sudah
muntah darah itu sudah tak mampu lagi
bertarung. Kalau
Geni, ia muntah darah tetapi masih saja bisa
adu tenaga Itu
kan aneh?"
Memang aneh, Geni merasa terombang-ambing di
tengah
lautan luas. Tak ada daya menentang ganasnya
ombak.
Kenapa dua hal yang berlawanan dikatakan
sama saja
Delapan dan satu sama saja.
Satu dan empat, .sama saja. Apa maksudnya?
Geni merasa makin dekat dengan tujuan. Apa
tujuannya, ia
tak tahu. Ia tak ambil pusing dibulan-bulani
pukulan dahsyat
Malini. Dipukul atau tidak dipukul, memukul
atau dipukul,
sama saja. Mati sekarang, hari ini dengan mati
besok atau
mati lima tahun lagi, sama saja. Tidak ada
bedanya. Sama
saja, yaitu mati! Tetapi waktunya bisa beda,
hari ini, besok,
dua hari, satu tahun, lima tahun. Sama saja,
mati adalah satu.
Waktu bisa banyak, lima atau delapan.
Delapan sama dengan
satu, satu sama dengan lima. Lantas
tiba-tiba ia berteriak,
"Memang sama, intinya kan mati?
Bagaimana dengan sedih dan tidak sedih, sama
saja.
Memang sama, karena intinya adalah rasa atau
sringara.
Gembira dan tidak gembira, sama saja, itu
juga rasa. Kalau
ada rasa, tentu lanjutannya harus ada aksi
atau bhava. Hidup
dan mati. Hidup bisa merasa dan bisa
beraksi. Tetapi mati,
tidak bisa merasa dan tidak bisa beraksi.
Inti dari Prasidha
adalah merasakan pukulan lawan, menerima
pukulan lawan,
itu yang namanya rasa atau sringara kemudian
melontarkan
apa yang dirasakan itu menjadi aksi atau
bhava. Makin cepat
dan makin bertenaga pukulan lawan itu maka
bhava yang
dilontarkan juga sama cepat dan sama
besarnya.
Geni merasa gembira luar biasa. Melompat
seperti anak
kecil mendapat mainan. Teka teki itu sudah
terjawab. Misteri
bagaimana cara memainkan Prasidha telah
terungkap. Saat itu
pukulan Malini kembali menggoncang tubuhnya.
Kalau tadinya
menerima pukulan Geni merasa darahnya
meluap, ingin
muntah. Sekarang, tidak lagi, pukulan itu
seperti pukulan
biasa yang tidak bertenaga. Geni menerima
pukulan itu
dengan menggerak rasa tidak sakit, kemudian
aksi membuang
tenaga lawan. Geni memainkan tiga jurus
gabungan
Mangapeksa (Menanti), Kumawashaken
(Menguasai) dan
Sikepdehak (Tangkap dorong). Ada rasa
gembira dalam diri
Geni, menguak misteri sringara dan bhava,
tetapi ia juga kesal
dan marah. "Kau sudah memukul aku
berulang kali, kini
rasakan tamparanku, anak nakal!"
"Plakkk!"
Malini terpelanting ke belakang. Ia jatuh
berdiri di atas dua
kaki. Ia heran, ia tak melihat gerakan Geni,
tahu-tahu saja
pipinya kena tampar. Ilmu siluman! Bagaimana
Geni
menamparnya tadi, ia tak tahu. Ia merasa ada
cairan kental di
mulurnya, ia meludah. Ia marah luar biasa
melihat dua giginya
copot.
Malini marah, menyerang ganas. Geni mengelak
dan
menampar bokong Malini. Ia tak cuma menampar
namun
meremas bokong perempuan itu. Malini makin
marah. Geni
mencengkeram leher, lalu tiba-tiba tangannya
ke bawah,
meremas buah dada perempuan itu.
Kontan Malini melompat mundur. Ia tak habis
pikir
bagaimana mungkin Geni bisa meremas
bokongnya, meremas
buah dadanya tanpa ia sanggup menangkis.
"Kurangajar, ia
telah menghina aku habis-habisan, tetapi
ilmu apa itu?
Bagaimana jika ia menurunkan tangan jahat.
Aku bisa mati
atau paling tidak terluka parah!"
gumamnya dalam hati.
Pada saat itu, Kumara sudah masuk ke medan
tarung,
berdiri di sisi Malini. Ia bercakap-cakap
dengan Malini dalam
bahasa India. Tampak Malini sekali-sekali
manggut kemudian
menggeleng kepala. Sedang Kumara kelihatan
berang,
wajahnya yang agak hitam semakin seram
karena marah dan
malu.
Tanpa basa-basi, Kumara menyerang. Pukulan
berantai
disertai tenaga dalam dahsyat sepertinya
akan melumat habis
tubuh Geni. Menggunakan Waringin Sungsang
Geni
meloloskan diri Namun tak hanya mengelak,
Geni kini
membalas dengan dua jurus Bang Bang Alum
Alum yakni
Nanawidha (Beraneka warna) dan Nyakra
Manggilingan
(Selalu berputar-putar), pukulannya cepat,
ringkas dan
bertenaga Kumara terpental mundur sambil
memegang
pundaknya Ia menyerang sekali lagi, kini
Geni membalas
kontan dengan jurus lain dari Bang Bang Alum
Alum yaitu
Bahni Aempuh Toya (Api menyerang air) dengan
tenaga
panas. Kumara kena gampar di pungungnya
Punggungnya
merah kehitaman, bajunya koyak seperti
hangus.
Melihat rekannya kesakitan, Malini maju
mendampingi
Kumara Keduanya berbincang lirih. Lalu
Malini berseru,
"Wisang Geni kamu menggunakan ilmu
siluman, karena itu
kami akan maju berdua, apakah kamu takut?
Jika takut kamu
cepat mundur menyerah dan mengaku di mana Ki
Suryajagad
bersembunyi"
Sekar berteriak dari pinggiran, "Hei,
wanita goblok, tak
punya malu, sudah keok masih tak tahu malu,
sekarang mau
main curang dua mengeroyok satu"
"Kamu mau bela kekasihmu, maju saja
sekalian biar
kucabik-cabik wajahmu yang burik."
Malini seperti kelepasan
omong. Ia heran tanpa sadar ia berseru,
"Hei kamu sudah
tidak burik lagi, waktu di Mahameru aku
tidak begitu
perhatikan. Kamu cantik, pantas saja Wisang
Geni tergila-gila
padamu!"
Geni tertawa "Kamu ini tak tahu diri,
kenapa masih mau
tarung lawan kakek guruku, menghadapi aku
cucu muridnya
saja, kalian tak ungkulan apalagi melawan
Eyang Suryajagad.
Kalian mau maju berdua, ya mau saja, dari
dulu aku sudah
tahu persis kalian ini tak punya malu."
Tidak menanti lebih lama lagi, dua pendekar
India itu
langsung menyerbu mengeroyok Wisang Geni.
Hebat! Duadua,
Malini dan Kumara, menyerang dengan jurus
mematikan.
Semua di situ terperanjat tapi tak kuasa
menolong Geni.
Apalagi tahu, dua pendekar asing itu
memiliki ilmu silat yang
tak terukur tingginya.
Sekar membanting kakinya, "Tadi kan mas
Geni sudah
menang, kenapa mau meladeni keroyokan
mereka, wah bisa
runyam ini, mbak Wulan bagaimana ini?"
Wulan yang sedang melotot nonton tarung
hebat itu,
menggeleng kepala, "Aku tak tahu,
Sekar."
Pertarungan jadi lain. Tadi seorang diri
Malini menghajar
Wisang Geni sampai babak belur. Kemudian
setelah
memperoleh pencerahan dan menemukan inti
Prasidha Geni
menghajar balik Malini. Kini berdua, Kumara
dan Malini
bahkan tampak terdesak. Geni memainkan
Garudamukha dan
Bang Bang Alum Alum dengan leluasa. Duapuluh
jurus berlalu,
dua pendekar asing itu terdesak, bernapas
pun sulit! Dalam
keadaan bingung dan frustasi, Kumara dan
Malini berlaku
nekad Adu jiwa!
Mereka menggelar jurus yang paling
diandalkan perguruan
mereka Atehai Zaminpar Kabhiyeh Chand Sitare
(Kadang
bulan dan bintang pun turun ke bumi), jurus
yang bisa
digunakan dua atau tiga orang secara
bersatupadu. Dua
pasang tangan saling bantu, mencakar dan
memukul dengan
seluruh kekuatan yang ada.
Geni melihat datangnya serangan, bukannya
mengelak
malah maju menerjang. Dua tangan melakukan
gerak
memutar kemudian mendorong. Ia menggabung
dua jurus
Garudamukha Prasidha yaitu Agniwisa (Bisa
api, pijar) dan
Sanakanilamatra (Sebesar angin yang
terkecil). Itu jurus
sederhana, tetapi sulit dimainkan secara
gabung karena
mengandung unsur berlawanan yakni gerak
putar dan gerak
dorong dengan tenaga yang dikeluarkan luar
biasa besarnya.
Tetapi Geni memainkan dua jurus gabungan itu
dalam satu
gerak yang mulus dan bertenaga. Satu lagi
bukti kehebatan
Wiwaha, hasilnya luar biasa! Terjadi bentrok
tenaga, dua
tangan Geni mampu menahan empat tangan
lawannya. Tetapi
pada saat-saat terakhir Geni mengurangi
tenaganya. Dan
inilah yang menyelamatkan nyawa dua pendekar
India itu
sehingga tidak tewas atau terluka parah.
Kumara dan Malini terpental mundur. Dari
mulut Kumara
merembes darah. Malini merasa dadanya sesak.
Dua pendekar
asing itu jatuh terduduk, luka dalam!
Keduanya heran!
Tadinya terdesak hebat bahkan nyaris mati,
mendadak Geni
bisa menjadi begitu perkasa. "Ilmu apa
ini? Apakah ilmu ini
yang digunakan Ki Suryajagad ketika
mengalahkan paman
guru Lahagawe?" gumam Kumara dalam
bahasa India. Malini
mendengar keluhan kekasihnya itu, tetapi tak
mau menjawab.
Geni tertawa. "Kau memukul aku begitu
banyak, tapi aku
cuma membalas sedikit. Kau untung banyak.
Tapi sama saja,
untung atau rugi, sama saja. Kalian
pulanglah ke negerimu,
tanah Jawa ini terlalu angker buat kalian
orang-orang asing."
Sekonyong-konyong pusaran angin mendatangi
arena
tarung, tetapi sebelum memasuki arena
tarung, pusaran angin
itu menjauh sambil membawa serta debu,
ranting dan
dedaunan. Terdengar suara lembut dan mesra,
"Kalian
pulanglah, sampaikan salam dan maafku pada
Lahagawe,
katakan salam hormat dari pemilik Jurus
Penakluk Raja." Saat
berikut terdengar kidung Penakluk Raja
ditembang, suaranya
lembut, dingin namun ada ketegasan seorang
penguasa.
Ilmu dari seberang
Tak boleh tepuk dada
Di Tanah Jawa ini
Dari gunung Lejar
Jurus penakluk Raja
Ilmu dari segala ilmu
Melenggang ke Barat
Meluruk ke Timur
Merangsak ke Utara
Merantau ke Selatan
Tak ada lawan Tak ada
Tandingan
Ilmu dari segala ilmu
Wisang Geni melihat di kejauhan bayangan
putih
melenggang santai. Hanya sekejap kemudian
suara kidung
dan bayangan itu lenyap dari pandangan. Ia
menatap
bayangan itu dengan mata mendelong. Geni
berkata perlahan.
"Kenapa Eyang tak memberi kesempatan
aku sungkem?"
Dia melangkah berat, seperti kehilangan
sesuatu. Dia
menengadah langit, menggumam "Kenapa,
eyang pergi begitu
saja? Kenapa tidak mau kutemui? Tapi kenapa
aku bertanya,
orang bertanya harus tahu jawabannya!"
Kumara dan Malini menyaksikan sepak terjang
kakek
berjubah putih itu, merasakan angin Lesus
bawaan si kakek
serta kidung yang dinyanyikan dengan tenaga
dahsyat serta
mengandung wibawa kekuasaan. Dalam hati
mereka
mengakui takkan mungkin bisa menandingi ilmu
silat tokoh
sakti itu. Keduanya duduk bersila di tanah,
mengerahkan
tenaga mengobati luka dalamnya. Sia-sia.
Tenaga mereka
belum bisa digunakan. Perlu waktu satu bulan
untuk
memulihkan tenaga
Geni menghampiri dua musuhnya itu. "Aku
tahu rahasiamu
Kalian adalah si Kidung Maut itu. Kalian
membunuh banyak
orang. Sekarang kalian luka dan mungkin satu
bulan lagi baru
bisa sembuh. Kalau aku buka rahasiamu
sekarang ini, banyak
orang akan mengejar kalian, membalas dendam
kematian
keluarganya, kalian akan dikejar ratusan
orang."
Kumara dan Malini memandang ketakutan. Butir
keringat
dingin muncul di wajahnya Selama ini dengan
ilmu yang
begitu tinggi, mereka tidak pernah membayangkan
akan
dikalahkan seseorang apalagi sampai terluka,
mereka tak
sekali pun ketakutan. Tapi kini di saat luka
parah dan
membayangkan diri dikeroyok orang banyak,
mereka bergidik
ketakutan. Keduanya menatap Geni seperti
meminta belas
kasihan.
Wisang Geni tertawa "Kamu tak pernah
menyangka,
beberapa bulan lalu, kalian memaksa aku
menelan racun,
sekarang justru nyawa kalian berada di
tanganku Sekali balik
tangan, kamu mati Semua tergantung kalian,
masih mau
menyimpan dendam, masih mau berhitung dendam
dengan
Lemah Tulis? Cerita dendam ini tak akan
pernah habis. Tapi
buat apa? Dendam atau tidak dendam sama saja
Pergilah,
pulanglah ke negerimu, senangkan hatimu di
sana. Jangan
memikirkan dendam."
Dua pendekar asing itu melenggang pergi
dengan sejuta
kesal dan kagum. Kesal tak mampu mengalahkan
Geni Kagum
akan ilmu silat Geni yang begitu dahsyat.
Semua yang hadir di situ, sekali lagi
melihat kehebatan
Wisang Geni. Seperti di Mahameru ia selalu
mengawali dari
posisi kalah dan terdesak untuk kemudian
merebut
kemenangan dengan begitu fantastis. Tetapi
hanya
Manjangan Puguh dan Walang Wulan saja yang
tahu bahwa
Wisang Geni menang lantaran menemukan
keajaiban,
memecahkan rahasia jurus silat di tengah
pertarungan
merupakan hal yang mustahil dan yang hanya
bisa dilakukan
orang yang cerdas dan beruntung.
Wulan tak mengerti ilmu apa yang diperoleh
kekasihnya.
Sebulan yang lalu di Mahameru, Geni menang
karena secara
ajaib berhasil memecahkan rahasia ilmu
Prasidha. Tadi itu,
ilmu apalagi yang di peroleh kekasihnya itu.
Wulan yakin
keajaiban itu ada hubungannya dengan
keanehan yang terjadi
beberapa malam lalu di hutan dekat desa
Wajak. Ketika
seperti orang kesurupan. Geni
berteriak-teriak memanggil
Eyang Sepuh Suryajagad.
Wulan dan Sekar menghampiri kekasihnya.
Mereka
terkejut, seperti disambar halilintar. Mata
membelalak
menatap rambut di kepala Geni. Rambut yang
tadinya
berwarna hitam legam, kini hampir semua
dipenuhi uban.
Rambut yang tadinya agak keriting, sekarang
menjadi lurus.
Dan wajah kekasihnya itu seperti menunjukkan
keletihan dari
perjalanan jauh. Geni tampak lebih tua dan
lebih dewasa
namun di balik itu tersimpan wibawa dan
ketegasan.
Geni memang seperti orang yang letih fisik
dan mental.
Rambutnya yang penuh uban menunjukkan
perjalanan fisik
yang jauh. Ia tampak lebih tua beberapa
tahun. Kelakuan dan
tabiatnya pun ikut berubah. Ketika Sekar
menunjukkan
perubahan rambutnya yang uban, Geni cuma
tertawa. "Hitam,
putih, abu-abu sama saja, tak perlu
dipusingkan."
Banyak orang yang pernah atau belum pernah
ia kenal
datang mengucapkan selamat dan memuji
kehebatannya.
Tetapi Wisang Geni menyambut tawar, seperti
tak mengalami
sesuatu yang hebat. Wulan dan Sekar, dua
perempuan yang
sangat mengenal Geni, mulai menangkap
perubahan sikap
pembawaan kekasihnya.
Hari itu setelah makan dan istirahat, Geni
bertiga Sekar dan
Wulan pamitan kepada semua orang. Manjangan
Puguh
memeluk murid dan putra sahabatnya itu.
"Ilmu silatmu
sekarang sudah maju pesat, kamu sudah
menjadi pendekar
kelas utama, hati-hati dan waspada, jangan
terbuai sanjungan
dan nafsu kekuasaan. Geni jika kamu butuh
sesuatu, kamu
cari aku di bukit Penanggungan, sementara
aku menetap di
sana." Manjangan Puguh berkata sambil
melirik Mei Hwa yang
berdiri di sampingnya.
Keintiman Manjangan Puguh dengan Mei Hwa tak
luput dari
mata Wisang Geni. Ia berbisik, "Guru,
apakah kamu dengan
Mei Hwa, sudah berkawan akrab ?"
Mei Hwa tersenyum agak malu-malu. "Kami
sudah kawin,
beberapa hari lalu."
Karuan saja Geni, Wulan dan Sekar memberi
hormat dan
ucapan selamat. Wulan bahkan memeluk Mei
Hwa. "Syukur,
akhirnya kamu bisa mencairkan hati pamanku
itu."
Mei Hwa menarik Wulan menjauh. "Dia
sudah cerita
semuanya padaku, tentang perasaan cintanya
pada ibunya
Geni, pendekar Sukesih. Sejak itu ia
berkelana dan bercinta
dengan banyak perempuan cantik, tetapi tak
ada yang hebat
secantik Sukesih. Katanya, ia telah
menemukan Sukesih dalam
diriku. Kini ia sudah bisa menerima kejadian
itu sebagai masa
lalu yang bisa ia lupakan dan tinggalkan,
sekarang ia memiliki
aku, dan ia merasa bahagia karena aku
mencintainya,
sesungguhnya ia lelaki yang romantis
meskipun agak kaku dan
tegas."
"Tetapi bagaimana dengan kedudukanmu
sebagai utusan
para pendekar Cina dalam tarung
mendatang?"
"Aku kan hanya sebagai utusan, sebagai
juru bahasa, jadi
tidak ada pengaruh apa-apa"
"Setelah pertarungan, apa kamu pulang
ke negerimu?"
"Aku sudah memutuskan tetap tinggal di
negeri ini sejak
aku menjadi isteri pamanmu. Di negeri Cina
ada pepatah yang
khusus bagi kaum wanita, jika kamu kawin
dengan penjahat,
maka kamu juga menjadi penjahat. Itu
ungkapan yang
artinya, perempuan Cina itu akan setia
mengikuti ke mana
suaminya pergi." Mei Hwa menoleh ke
arah Sekar yang
mendampingi Geni. "Wulan, apakah Sekar
sudah jadi isteri
Geni?"
Wulan tersenyum Ia berbisik ke telinga Mei
Hwa "Untung
ada Sekar, jadi kami berdua bisa bergantian
melayani Geni."
Mei Hwa memandang Wulan, kemudian tertawa
geli. Ia
sepertinya mengerti apa maksud ucapan Wulan.
Dua
perempuan itu semakin akrab satu sama lain.
Keduanya
berpelukan ketika harus berpisah.
Dalam perjalanan pulang ke Lemah Tulis,
Wulan dan Sekar
makin bingung melihat suaminya. Mereka
semakin banyak
menemukan perubahan dalam diri kekasihnya
Wisang Geni
kini lebih peka terhadap lingkungan. Dalam
sekejap mata, ia
bisa berubah sedih, gembira, marah ataupun
berdiam diri.
Dalam waktu sehari-hari ia kini banyak
berdiam diri,
menyendiri dan berpikir. Sekar dan Wulan
merasa harus
menanyakan kepada Geni.
Wulan memberanikan diri menanyakan kepada
Geni kenapa
ia lebih suka menyendiri dan berdiam diri.
"Tak ada apa-apa,
aku biasa-biasa saja. Aku hanya perlu waktu
untuk berpikir,
ada sesuatu dalam diriku yang menuntut, aku
sendiri tak tahu
apa itu?"
Beberapa hari kemudian mereka sampai di
Lemah Tulis.
Semua murid menyambut dengan suka cita.
Rupanya kabar
kemenangan Geni lebih cepat datang. Wisang
Geni kembali
sibuk sebagai seorang ketua.
Kepada Padeksa dan Gajah Watu, Geni hanya
bercerita
singkat tentang pertarungannya. Dua sepuh
perguruan itu
heran. Keduanya melihat perubahan Geni yang
bingung,
seperti seseorang yang sedang dilanda
persoalan yang
membutuhkan pemikiran keras.
0 komentar:
Posting Komentar