Esoknya, hari pertama bulan Srawana, fajar
baru
menyingsing, rombongan siap-siap berangkat.
Gayatri
memeluk Sekar dan Prawesti. Ketiganya
menangis. Gayatri
menangis di pundak Sekar. "Mbakyu
Sekar, ajak Geni cepat
menyusul ke pelabuhan Jedung, waktu sangat
sempit, satu
hari saja terlambat maka aku sudah berangkat
ke Himalaya."
Sekar tersedu-sedu mengiyakan. "Aku
tunggu dia di sini,
kita pasti akan menyusulmu, secepatnya. Itu
pasti adikku,
jangan khawatir."
Saat itu tanpa setahu Gayatri dan Sekar yang
masih
berpelukan, Prawesti menghampiri Yudistira
dan isterinya.
"Pendekar Himalaya yang kenamaan, kamu
tidak pantas dan
tidak adil jika menghukum putrimu Kalau kamu
lakukan itu,
maka kamu adalah seorang ayah yang tak punya
tanggungjawab, ayah yang jahat, dan sedikit
pun tidak
menyayangi kemanusiaan."
Alis Yudistira berdiri. Ia menatap gadis
cantik ini. "Kamu
siapa, berani lancang bicara padaku?"
"Aku orang kecil, tetapi jika kamu
memang suka
membunuh, kamu ambil nyawaku sebagai penukar
hukuman
Gayatri, karena aku lihat kamu ini seorang
ayah yang haus
darah."
Tubuh Yudistira gemetar, saking marahnya.
"Aku tanya,
kamu siapa, apa hubunganmu dengan Wisang
Geni?"
"Aku isteri Wisang Geni!"
Saat itu Gayatri dan Sekar sudah melihat apa
yang
dilakukan Prawesti. "Gayatri lihat, itu
Prawesti sedang bicara
dengan ayahmu. Anak edan itu, apa yang dia
lakukan?"
Gayatri menggeleng kepala. "Aku sudah
berpesan padanya,
jangan menentang ayahku. Tetapi dia
melanggar pesanku.
Mbak, sekarang apa yang harus kita lakukan?"
Melihat Yudistira memegang dahi, isterinya
tahu suaminya
sedang berpikir keras, memikirkan sesuatu
yang pelik. Tak
sabar Satyawati bertanya kepada Prawesti.
"Jadi kamu itu
isteri Wisang Geni, dan Gayatri juga
isterinya, begitu
maksudmu?"
Diam-diam di dalam hati Prawesti memaki
Wisang Geni.
Berita ini pasti membangkitkan amarah
orangtua Gayatri. Ia
menjawab lirih, "Aku pikir kakak
Gayatri sudah memberitahu
kalian. Tetapi biarlah, karena aku sudah
terlanjur akan
kuceritakan seluruhnya. Pendekar Himalaya yang
terhormat,
anak menantumu yang namanya Wisang Geni itu,
dia punya
tiga isteri. Nomor satu, Sekar, itu
orangnya," sambil ia
menunjuk arah Sekar.
Ia melanjutkan, "Nomor dua, kakak
Gayatri. Nomor tiga,
aku, Prawesti. Mungkin di masa datang, dia
akan menambah
isteri lagi, sebab sekarang ini Sekar dan
Gayatri sedang hamil.
Itu sebab dia pergi ke gunung Bromo, mencari
obat penguat
kandungan. Dia ingin banyak anak. Kamu akan
menjadi kakek
dari banyak cucu, pendekar Himalaya."
Yudistira merasa darahnya seperti mendidih.
Bagaimana
mungkin ada cerita gila macam ini. Tanpa
sadar, ia berteriak,
keras dan membahana.
"Gayatriiiiiiii!"
Teriakan itu dilandasi tenaga dalam tingkat
tinggi. Suaranya
memantul menggema di tebing dan hutan. Semua
orang
terkejut. Prawesti kaget, mundur sampai di
dekat Sekar dan
Gayatri. Dalam hati Gayatri berteriak,
"Mati aku sekarang!"
Satyawati menggenggam tangan suaminya.
Tangan itu
gemetar. Sesaat kemudian Yudistira diam,
menenangkan diri.
"Ini benar-benar gila, kisah ini lebih
gila dari cerita dan kisah
yang pernah kudengar. Gayatri, kamu kawin
dengan lelaki
yang sudah beristeri?"
Kalimat terakhir ini dia kirim lewat tenaga
dalam sehingga
hanya Gayatri sendiri yang mendengarnya.
Gayatri mengirim
suara juga dengan tenaga serupa.
"Maafkan aku, ayah, aku
jatuh cinta padanya karena dia sangat
mencintaiku, dia sangat
kasmaran padaku!"
Yudistira tertawa. "Baik kita lihat
bersama nanti, apakah dia
benar-benar mencintaimu dan apakah dia
sungguh pendekar
sejati, kuharap saja kata-katamu benar dan
suamimu itu
menyusul kita ke Jedung. Kita tunggu dia di
Jedung."
---ooo0dw0ooo---
Pada malam di penghujung bulan Asadha, saat
Gayatri
sedang menghadapi pertemuan keluarga di
rumahnya di
lereng Welirang, saat yang sama Wisang Geni
bertengkar
dengan Manohara di dalam goa kecil itu.
"Kau bisa saja
menawan aku di sini dengan tidak
mengantarkan aku keluar
dari hutan kamboja dan padang ilalang, itu
urusanmu. Tetapi
aku tetap harus berangkat besok pagi,
isteriku sedang
menanti aku."
Manohara mendekap Geni. "Aku tak pernah
berpikir akan
menawanmu di sini, aku bukan perempuan
murahan yang
licik. Aku akan mengantarmu keluar tetapi
aku akan
membuntuti sampai gunung Welirang. Aku akan
mohon, kalau
perlu mengemis pada Sekar dan Gayatri, aku
hanya ingin
bersamamu sampai hari tua."
Geni menolak, alasannya ia perlu menghemat
waktu, jalan
cepat agar tidak terlambat. "Apanya
yang terlambat," tukas
gadis cantik itu. "Malam kemarin, kamu
mengatakan tidak
terburu-buru dan masih ada sisa waktu dua
malam lagi, tetapi
sekarang ini kamu bilang akan terlambat.
Tidak perlu
beralasan katakan saja kalau kamu sudah
bosan, kalau kau
cuma pura-pura menyintai dan menyukai aku,
kamu kan
sudah puas selama dua hari meniduri aku,
merayu dan
merayu, tak pernah berhenti."
Geni diam saja. Manohara semakin liar.
"Aku pikir Sekar
dan Gayatri pasti mau menerima aku sebagai
selirmu. Tak ada
wanita yang sanggup menjadi isterimu,
melayanimu sendirian,
dengan kekuatan dan nafsumu yang tidak
normal itu. Kamu
perlu paling tidak empat atau lima selir
selain dua istrimu itu.
Sekarang baru Prawesti, masih ada lowongan
tiga selir lagi.
Kenapa? Kamu takut pada Gayatri, takut pada
Sekar? Lucu
sekali, pendekar tanpa tandingan di tanah
Jawa ini takut pada
isteri-isterinya."
Wisang Geni menerkam gadis itu.
"Mulutmu tajam. Kamu
ini memang kucing liar." Ia memeluk
Manohara, menepuknepuk
bokongnya macam orangtua yang memarahi dan
memukuli pantat anaknya yang nakal.
"Benar apa kataku, kamu sudah
terangsang lagi, kan,"
sambil berkata demikian, Manohara berontak
dan mengecup
mulut lelaki itu Malam itu, Geni kembali
menggeluti tubuh
molek Manohara, sementara di tempat lain
Gayatri menangis
dalam pelukan Satyawati berulang kak
menyebut nama Geni,
sampai ia tertidur. Dalam tidurnya Gayatri
bermimpi
berpelukan dengan Geni di sebuah goa kecil
di tengah kebun
bunga di istana keraton Tumapel.
Esok pagi, ketika fajar menyingsing di hari
pertama bulan
Srawana, pada saat Gayatri pamitan dengan
keluarga Gajah
Lengar dan Gajah Nila serta murid-murid
Lemah Tulis lainnya,
saat yang sama di kaki gunung Bromo, Wisang
Geni
terbangun dari tidur lelap.
Manohara masih terbaring bugil di
sampingnya. Geni
teringat isterinya. Ia harus berangkat
sekarang ini. Samarsamar
ia melihat cahaya fajar menerobos sela pintu
goa. Ia
mengenakan pakaian.
Manohara terjaga. "Aku ikut."
Suara gadis itu tegas.
Manohara cepat mengenakan pakaian. "Aku
ikut, aku tak mau
ditinggal. Aku ikut, ke neraka pun aku ikut,
kamu tak punya
hak mencegah aku."
Geni tak bisa lagi menghalangi tekad si
gadis. "Bagaimana
dengan gurumu, kamu kan harus pamitan dengan
dia."
Manohara tertawa genit. "Itu tandanya
kamu setuju, begitu
kan suamiku?"
"Bukan suami, kamu bukan isteriku
tetapi selir."
"Kamu salah, Geni. Aku memang selir,
tetapi kau tetap
suamiku."
"Sudah tak perlu berdebat lagi, aku tanya
tentang gurumu"
Manohara mendekat dan memeluk Geni.
"Kau sudah
menyatakan menyintai, menyukai aku dan
selalu bernafsu jika
aku di dekatmu Itu saja sudah cukup bagiku,
aku tak perlu
yang lain, belakangan nanti baru aku pamitan
pada guru, pasti
ia tidak akan marah."
Keduanya bergegas berangkat. Begitu keluar
dari kawasan
ilalang, keduanya bersamplokan jalan dengan
tiga perempuan.
Kalandara, Kemara dan Dumilah. Tiga
perempuan itu kaget.
Geni tersenyum, agak malu. Manohara melompat
mendekati
gurunya, memeluk dan berbisik di telinganya,
"Ibu, aku sudah
menjadi isteri Wisang Geni, dua malam dia
meniduri aku,
sekarang aku ikut dengannya menemui Sekar
dan Gayatri, dua
isterinya itu."
Gurunya itu diam, agak bingung. "Apakah
kamu sudah pikir
matang dan masak, bisakah kamu mendapatkan
cintanya,
apakah dia bukannya hanya mempermainkan
kamu, nak?"
"Memang aku tidak punya pengalaman
dalam bercinta
tetapi aku tahu dia tidak mempermainkan aku,
jangan
khawatir, aku bisa membawa diri, ibu"
Kalandara memberi hormat, "Tuan pendekar,
pertarungan
di desa Bangsal telah mengangkat namamu
sebagai pendekar
tanpa tandingan, kamu yang nomor satu di
tanah Jawa ini.
Ilmu silatku jauh di bawah kehebatanmu, aku
tak akan bisa
menuntutmu jika semisal kamu mempermainkan
Manohara,
tetapi sebagai pendekar terhormat aku
mengharap kamu
memelihara Manohara dengan baik. Jangan
sia-siakan dia. Dia
anak yang baik, aku mengambilnya sejak bayi,
tidak tahu
siapa ayah ibunya, ia sudah seperti anakku
sendiri, aku sangat
menyayanginya, berat bagiku berpisah
dengannya."
Lalu dengan agak malu-malu dia memandang
Geni dan
bertanya, "Kapan-kapan kalau aku kangen
kepadanya, boleh
aku berkunjung?"
Wisang Geni membungkuk hormat "Sekarang
ini ibu adalah
ibu mertuaku, jadi kapan saja ibu mau
berkunjung aku
persilahkan, tapi jika boleh aku memberi
saran, jauhi
permusuhan dengan siapa pun dan jauhi
keraton yang mana
pun juga. Tetapi bagaimanapun juga semua
terserah padamu.
Sekarang aku mohon pamit, sekalian mengajak
Manohara."
Gadis itu pamitan dengan kedua kakak perguruan
dan ibu
angkatnya kemudian berlari menyusul Geni.
Sesampainya di
desa kecil itu, Geni menyisipkan uang ke
pemilik kandang dan
mengambil si Hitam "Kuda bagus, ini
pasti kuda unggulan,
perkasa seperti tuannya," kata Manohara
tersenyum
menggoda. "Kamu naiklah, biar aku
berlari," kata Geni.
Perjalanan dilakukan tanpa henti, istirahat
sejenak hanya
untuk makan siang. Waktu senja mereka tiba
di desa kecil
dekat kali Bejik. Manohara memohon agar
istirahat "Pahaku
lecet."
Geni setuju karena perjalanan sudah lebih
dari separuh.
Jika besok pagi berangkat, mungkin malamnya
sudah tiba di
Welirang Keduanya bermalam di rumah
penduduk. Manohara
mengeluh, tubuhnya pegaL Ia hendak keluar
kamar, Geni
menegur. "Mau ke mana?"
Agak malu gadis itu menjawab mencari tukang
pijit.
Geni merasa lucu. "Memang kamu kenapa,
capek?"
Gadis itu menggeleng. Geni menggapai,
"Kenapa kamu
tidak minta tolong padaku?"
Manohara menyahut cepat, "Tidak boleh,
mestinya aku
memijit kamu, kamu kan suamiku jadi aku yang
harus
melayanimu"
Geni menarik tangannya. "Kubantu dengan
tenaga dalam."
Ia menyuruh Manohara membuka baju atasnya,
lalu
menyalurkan tenaga Wiwaha melalui punggung
si gadis.
Manohara merasa tenaga panas merasuk ke
semua bagian
tubuh. Keringat merembes dari pori-pori si
gadis, menebar
aroma wangi bunga. Selesai pengobatan, hari
sudah malam.
Di luar gelap. Gadis itu berpakaian, lalu
keluar, "Aku mencari
makanan."
Esoknya, mereka melanjutkan perjalanan.
Mereka berdua
menunggang si hitam. Karena pahanya lecet,
gadis itu duduk
menyamping di depan Geni. Ia bercerita,
terkadang kisah
humor membuat Geni tertawa. Suatu saat ia
menoleh
memandang lekat wajah Geni. "Sebenarnya
kamu tidak terlalu
tampan, tetapi ada sesuatu dalam tubuhmu
yang memancar
daya tarik. Pertama lihat kamu, aku langsung
jatuh cinta.
Ketika kamu memegang gemas bokongku, aku
tahu kamu
juga tertarik padaku. Sejak itu aku
mengkhayalketemu
denganmu Aku sepatutnya berterimakasih pada
Dewi Obat
sehingga kamu pergi mencari bunga talasari,
tanpa itu
mungkin seumur hidup aku tak pernah ketemu
kamu, tak
pernah bisa menjadi isterimu Sekarang ini
aku bahagia." Ia
memeluk Geni, "Aku menyintaimu"
Geni memperlambat lari si hitam. Manohara
menggumam,
"Kamu terangsang, sayang?"
Geni mengangguk. Manohara menuntun tangan
Geni ke
buah dadanya. "Aku juga, Geni."
Dia menunjuk. "Di semak itu
saja."
Geni menunjuk ke depan, "Di depan tidak
jauh lagi, ada
gubuk tua."
Ketika Geni bercinta dengan Manohara di
gubuk tua dekat
kaki gunung Welirang, pada saat yang sama
Gayatri dan
rombongan tiba di desa Tangkur yang jaraknya
setengah hari
perjalanan ke pelabuhan Jedung.
Gayatri merenung. "Oh Geni kamu ada di
mana, saat ini
kamu pasti di tengah jalan dan malam nanti
tiba di rumah.
Esok pagi atau mungkin malam ini juga kamu
berangkat ke
Jedung. Jikalau kita dengan perjalanan
lamban bisa tiga hari,
kamu mungkin bisa dua hari, berarti tiga
hari lagi baru kamu
tiba di Jedung."
Geni masih berpelukan dengan Manohara. Dari
gubuk itu
ke rumah di lereng Welirang, sekitar
setengah hari. "Jika
berangkat sekarang, kita sampai di rumah
pada malam hari.
Kamu capek?"
Manohara memang merasa capek, meskipun sudah
dibantu
dengan tenaga dalam. Perjalanan berkuda
serta pergumulan
dengan Geni, membuat ia merasa letih. Tetapi
ia tak mau
mengecewakan kekasihnya. "Aku tidak
terlalu capek, ayo kita
berangkat biar cepat sampai dan istirahat di
rumah."
Malam hari, Geni dan Manohara tiba di rumah.
Ia
memanggil nama Sekar dan Gayatri. Namun yang
keluar
menjemput Sekar, Prawesti bersama Gajah
Lengar, Gajah Nila
dan isteri mereka. "Mana Gayatri?"
Geni termenung
mendengar cerita Sekar. "Jadi waktu aku
bercinta dengan
Manohara, pada saat itu Gayatri menghadapi
saat kritis diadili
ayahnya. Dia menderita saat aku asyik
bercinta, ini benarbenar
gila, aku memang gila," katanya dalam
hati
Tak lupa Geni memperkenalkan Manohara kepada
Sekar
dan Prawesti. Sebenarnya ketiganya sudah
saling kenal. Tidak
diduga mereka kini berkumpul satu rumah
sebagai isteri sang
pendekar Wisang Geni.
"Sekarang juga aku berangkat ke Jedung,
sendiri, karena
aku akan melakukan perjalanan cepat, jika
kalian ikut maka
hanya memperlambat perjalanan."
Tetapi Sekar memaksa ikut, "Aku tak
tahu apa yang
menghadangmu di perjalanan, karenanya aku
harus ikut. Biar
cepat, kita menunggang si hitam dan si
putih. Prawesti dan
Manohara menyusul dengan kuda lain."
Prawesti menyahut, "Baik, kami berdua
menyusul." Dia
mengajak Manohara mempersiapkan perbekalan.
Tak lama
kemudian, setelah menerima buntalan pakaian
dan bekal
makanan, Geni dan Sekar berangkat.
Sepasang kuda perkasa itu berlari tak kenal
lelah. Geni
bahkan memaksa perjalanan malam hari.
Meskipun gelap
namun ia masih mengenal jalanan dari
Welirang menuju Dayu.
Keesokannya mereka sudah melewati desa Dayu.
Mereka
memacu kudanya terus. Malam harinya tiba di
desa Pandan,
mereka istirahat di rumah penduduk.
Meskipun letih namun Geni lebih mengutamakan
Sekar
yang sedang hamil. Dia membantu dengan
penyaluran tenaga
dalam memulihkan tenaga isterinya. Selesai
membantu
isterinya, Geni mengambil posisi semedi.
"Kita istirahat
sekadarnya, tengah malam nanti kita
melanjutkan perjalanan,"
kata Geni sambil semedi menata tenaga
dalamnya.
Selesai semedi Geni melihat isterinya sedang
berbaring
memunggungi dia. Sesaat dia bimbang dan
ragu. Dia merasa
tidak tega membangunkan Sekar tetapi pada
sisi lain dia ingin
secepatnya tiba di Jedung. Dia menggamit
lengan isterinya.
"Sekar, kita berangkat sekarang."
"Kamu berangkat sekarang saja tetapi
sendirian. Aku
menyusul besok pagi atau besok siang."
Suara Sekar lirih dan
dingin. Samar-samar Geni menangkap suara sesegukan
dan
isak tangis yang ditahan-tahan.
"Sekar, ada apa, mengapa kamu menangis?
Kamu letih?"
Geni memegang lengan isterinya. Tetapi Sekar
menepis
tangan suaminya, dia berkata ketus,
"Jangan pura-pura, aku
lebih suka kalau kamu berterus terang, itu
lebih baik bagiku
meskipun misalnya terasa pahit."
"Aku tidak mengerti apa persoalannya,
mengapa kamu
mendadak marah seperti ini?" tanya Geni
lirih.
Perempuan itu membalik tubuh. Matanya
menatap dengan
penuh kemarahan. Ada api di dalam mata yang
indah itu.
"Terimakasih kamu sudah membantu aku
dengan tenagamu
yang hebat, tenagaku sudah pulih, aku sudah
siap
menunggang kuda sehari semalam lagi bahkan
kalau perlu
dua hari dua malam sampai aku mati di atas
punggung kuda."
"Aku tahu kamu marah, tetapi apa
salahku?"
Kata-kata Geni itu menambah kemarahan Sekar.
"Aku tahu,
Geni. Kamu membantu aku bukan karena sayang
dan cinta,
tetapi supaya aku bisa menunggang kuda
sehari semalam lagi,
iya kan. Supaya kamu cepat bertemu dengan
Gayatri-muyang
sangat kau cintai itu."
Wisang Geni bingung. Dia tahu isterinya
marah. Tidak
biasanya Sekar marah. Berarti ada sesuatu
yang telah
menyinggung perasaannya yang membuat dia
marah. "Iya
kamu benar, kita melakukan perjalanan cepat
ke Jedung
supaya tidak terlambat sebab kita harus
mencegah jangan
sampai Gayatri dibawa pulang ayahnya ke
Himalaya."
Mendengar itu, Sekar meledak dalam tangis
dan marah.
"Kamu telah membohongi aku, selama ini
aku mempercayai
kamu, percaya bahwa kamu mencintai aku. Aku
mohon
padamu Geni, jangan bohongi aku dengan
rayuan manismu
itu. Katakan dengan jujur, kamu tidak
mencintai aku, kamu
hanya kasmaran pada tubuhku. Katakan, tak
usah ragu, sebab
aku tak akan berubah, tetap saja mencintai
kamu
sebagaimana adanya cintaku yang kemarin.
Cintaku tetap
sama seperukemarin maupun hari ini. Cintaku
tak akan
luntur., tapi tolong jangan bohongi aku,
jangan menyakiti aku
dengan membohongi aku."
Geni memegang tangan isterinya, menciumi
tangan yang
jari-jarinya lentik. "Aku tidak pernah
bohong, aku
mencintaimu, aku kasmaran padamu, itu hal
yang benar,
bukan rayuan atau kebohongan. Bagaimana kamu
bisa bicara
seperti itu, mengatakan aku membohongi
kamu?"
Dia menarik tangannya dari genggaman
suaminya. "Aku tak
mau pergi sekarang, aku tak mau berdebat,
aku ngantuk dan
mau tidur. Kalau kamu mau pergi, pergilah,
tinggalkan aku di
sini, biar aku mati ditelan macan jangan
urusi aku, kamu
pergilah ke Jedung urus isterimu itu!"
Pada akhirnya Geni mengerti mengapa Sekar
mendadak
marah. "Oh dia cemburu," katanya
dalam hati. Geni bergerak
sebat, tangannya menotok urat di pundak
isterinya. Karena
tak menduga akan diserang, Sekar tak bisa
berkelit.
Seandainya mengetahui akan diserang pun
Sekar tidak akan
mampu mengelak. Dua tangannya lemas, tetapi
kakunya
masih bertenaga. Dia hendak bergerak, tetapi
tangan Geni
sudah menotok pangkal pahanya. Sekar rubuh
di dipan. "Geni,
mau apa kamu?"
"Apa lagi, ya mau memeluk kamu."
"Aku tak mau, tidak mau!"
"Sekarang, ceritakan padaku, mengapa
kamu marah, kamu
cemburu?"
"Aku tidak cemburu Gayatri adalah adik
dan sahabatku.
Tetapi aku marah karena merasa kamu bohongi.
Tenagamu
mumpuni, kamu mampu melakukan perjalanan
gila seperti ini.
Tetapi aku tidak sekuat kamu, apalagi dalam
keadaan hamil.
Tetapi kamu tidak memikirkan aku, apakah aku
kuat atau letih
atau mau mati, kamu hanya memikirkan
Gayatri. Hanya
Gayatri yang ada di dalam benakmu Padahal
kamu sering
berbisik di telingaku, Oh Sekar, aku
mencintaimu, aku
kasmaran padamu, kamu lebih istimewa dari
Gayatri atau
perempuan mana pun. Itu rayuan beracun. Aku
hanya mohon
padamu, sejak malam ini, jangan merayuku
lagi, jika perlu
tubuhku, kamu hanya perlu berteriak Sekar
kemari, aku ingin
bercinta denganmu! Maka aku akan datang,
buka pakaian dan
membiarkan kamu meniduri aku. Bagiku itu
lebih jelas dan
lebih jujur."
Wisang Geni tertawa geli. Sekar melotot
merasa
disepelekan. Dia hendak bicara tetapi tangan
Geni cepat
membungkam mulurnya. Sekar meronta dan
menggigit tangan
yang membungkam mulurnya. Geni membiarkan.
Mata Sekar
melotot tetapi tidak tega menyakiti
suaminya, akhirnya gigitan
itu mengendur.
"Maafkan aku, Sekar. Aku sungguh
goblok, aku tidak
berpikir waras. Seharusnya aku memberimu
waktu istirahat,
aku berlaku tidak pantas memaksa kamu
berkuda sehari
semalaman. Maafkan aku, isteriku." Dia
melihat mata isterinya
berbinar, ada rasa gembira. Geni
melanjutkan, "Sekar, aku
tidak pernah membohongi kamu Aku berkata
jujur bahwa aku
hanya mencintaimu seorang," Geni
menarik tangannya dari
mulut isterinya.
"Kamu bohong, bohong!" Sekar
berteriak. Sesaat kemudian
dia melanjutkan lirih, "Kamu mencintai
Gayatri. Adapun aku,
kamu hanya butuh tubuhku, butuh cara aku
melayanimu
dalam bercinta."
Wisang Geni memeluk dan menciumi leher
isterinya yang
berkeringat lalu tangannya yang kekar
memegang dua pipi
perempuan cantik itu. "Kamu dengar
Sekar, jangan keras
kepala, aku hanya mencintai kamu
seorang!"
"Jangan bohong, katakan saja, kamu
mencintai Gayatri dan
kamu akan mati apabila tidak bertemu
dengannya di Jedung,
kamu juga akan mati jika dia pergike
Himalaya, dan kamu
akan mengajak semua orang-orangmu pergi ke
Himalaya
mengejar cintamu yang hilang itu. Katakan
saja Geni, jangan
khawatir, aku tidak akan berubah, aku tetap
mencintaimu,"
Sekar bicara berapi-api meski dengan nada
yang rendah dan
lirih.
Lelaki itu diam. Pikirannya bekerja. "Jika
Gayatri dibawa
pulang ke Himalaya karena aku terlambat
datang, apakah aku
akan menyusul dia ke Himalaya? Mengajak
semua isteriku?
Atau pergi sendirian? Bagaimana jika
sesampai di Jedung,
Gayatri sudah dihukum dan tewas misalnya,
apa yang akan
aku lakukan?"
Melihat suaminya diam, Sekar beranggapan
semua
tuduhannya benar. Sekar memeluk suaminya,
amarahnya
reda. "Geni, aku tetap mencintaimu, aku
akan ikut kamu, ke
mana pun, ke Himalaya pun aku ikut. Tetapi
kamu tak perlu
merayuku dan membohongi aku, jujur saja, aku
tak akan
marah. Aku hanya marah jika aku
dibohongi."
Geni duduk di pembaringan, menatap mata
indah isterinya.
Mendengar ucapan Sekar yang legowo itu, Geni
semakin
mencintainya. "Sekar, aku sudah lama
berpikir tentang diriku
dan hubunganku dengan kamu, Wulan, Gayatri
dan
perempuan lain. Sekarang baru aku sadar,
bahwa
sesungguhnya cintaku hanya satu, aku tidak
bisa mencintai
dua perempuan sekaligus. Aku hanya mencintai
satu
perempuan, perempuan lain cuma nafsu
birahi!" Sekar
memotong cepat, "Dia, Gayatri! Iya
kan?"
Seperti tidak mendengar apa yang dikatakan
isterinya, Geni
melanjutkan dengan mimik serius.
"Pertanyaanmu tadi, jikalau
Gayatri dibawa paksa ayahnya, apakah aku
akan menyusul ke
Himalaya? Aku bisa menjawabnya sekarang ini
karena aku
sudah tahu siapa sebenarnya perempuan yang
paling kucinta "
Sekar menatap suaminya, diam menanti ucapan
selanjutnya.
"Bagiku tidak penting, apakah Gayatri
pulang ke Himalaya
atau tetap di sini. Juga tidak penting
apakah aku akan
menyusul ke Himalaya atau tidak. Aku bisa
saja tidak
menyusul Gayatri ke Himalaya, hal itu tidak
besar artinya
bagiku. Artinya aku bisa hidup meskipun
tanpa Gayatri, seperti
halnya Wulan, aku bisa hidup setelah Wulan
mati. Terhadap
Gayatri, Wulan, Prawesti dan semua
perempuan, aku hanya
ingin meniduri mereka, aku tidak mencintai
mereka, aku
hanya bernafsu. Jika mereka pergi, aku bisa
mendapatkan
perempuan lain. Tak ada bedanya." Geni
menatap isterinya
dengan sinar mata yang memancarkan sejuta
makna cinta.
"Tetapi terhadap perempuan bernama
Sekar, aku
nicimuiaiiiya, aku tidak mau kehilangan dia,
aku tidak bisa
membayangkan bagaimana aku menjalani hidup
tanpa dia di
sisiku." Geni memeluk dan mencium
isterinya. Sekar bereaksi
dengan liar. "Geni, benarkah apa yang
kudengar, benarkah
kamu mencintai aku seperti itu?"
"Terhadapmu aku mencinta dan bernafsu.
Kepada Gayatri
dan perempuan lain, hanya nafsu birahi
belaka."
"Apakah itu rayuanmu lagi, ataukah
ungkapan jujur? Sejak
kapan kamu mengetahui perbedaan itu?"
"Aku jujur, Sekar. Sejak di hutan cemara,
aku sudah
mencintaimu Tapi selama ini kupikir aku
mencintai kalian
semua. Pertanyaanmu tadi telah menggugah
hati dan
pikiranku. Seandainya kamu, yang dibawa lari
ke Himalaya,
aku tidak akan ragu dan akan segera
menyusulmu apa pun
resikonya. Tetapi jika Gayatri, aku masih
akan
mempertimbangkan resiko untung ruginya, ini
adalah
perasaanku yang paling jujur. Aku ingin
cepat sampai di
Jedung karena ingin mencegah keberangkatan
Gayatri, itu
tanggungjawabku sebagai suami"
Sekar menciumi wajah dan leher suaminya.
"Geni, aku
merasa aku adalah perempuan paling beruntung
di kolong
langit, paling bahagia. Aku mencintaimu,
suamiku, dengan
segenap raga dan jiwaku" Keduanya larut
dalam bhahinya
cinta. Selesai bercinta, Sekar berbisik,
"Aku bahagia suamiku."
Dia memijit dan mengelus-elus tubuh Geni
sampai suaminya
tertidur pulas. Keesokan harinya, tubuh
suami isteri itu bugar
kembali. Sebelum matahari terbit, keduanya
sudah berada di
atas kuda tunggangan.
---ooo0dw0ooo---
Tarung Untuk Cinta
Malam hari waktu Geni dan Sekar nginap di
desa Pandan,
saat bersamaan Gayatri bersama Susmita dan
Ayeshak pergi
menemui nakhoda perahu. Mereka mendengar
kabar perahu
akan berangkat besok siang, padahal menurut
perhitungan
Gayatri, paling cepat Wisang Geni baru akan
tiba satu hari
kemudian. "Kita harus memberi uang
tambahan sebagai
penggembira kepada nakhoda, agar mau menunda
keberangkatan perahu sekitar dua hari,"
kata Susmita dalam
perjalanan. Tetapi tiga perempuan itu lupa
membawa uang.
Mendadak Gayatri teringat kalung emasnya, ia
meraba
lehernya. Kepada sang nakhoda, Gayatri
menyodorkan kalung
emas dengan liontin bergambar garuda, hadiah
perkawinannya dari permaisuri Tumapel,
Waning Hyun. "Ini
sebagai jaminan, kamu simpan, nanti besok
siang akan aku
tebus. Tolong tunda keberangkatan kapalmu
dua hari, aku
menanti seseorang. Dia akan menemuiku di
sini dua hari lagi"
Nakhoda itu tersenyum Ia berlaku ramah dan
sopan.
"Tentu orang yang ditunggu itu sangat
penting buat nonanona."
"Ya dia suamiku, aku harus ketemu dia
dulu"
"Maafkan saya, nona, kalau boleh tahu,
kalung ini milik
keraton Tumapel. Boleh aku tahu siapa
nona?" Ia bertanya
sopan sambil menolak menyentuh kalung itu.
"Kalung ini hadiah perkawinanku dari
permaisuri Waning
Hyun, dan supaya kamu tahu, suamiku Wisang
Geni punya
hubungan erat dengan keraton Tumapel."
"Benar juga perkiraanku, nona pasti
orang penting, nama
suami nona sangat terkenal di seluruh tanah
Jawa. Untuk dia,
untuk nona saya akan kerjakan permintaan
nona, tetapi maaf
saya tidak berasi menyentuh kalung emas itu."
Ia mengantar tiga perempuan itu sampai ke
tempat yang
aman. "Saya masih hulubalang keraton
Tumapel, bagi kami
para hulubalang melihat kalung tersebut sama
seperti
berhadapan dengan yang mulia permaisuri.
Sehingga
permintaan nona sama dengan perintah keraton
yang harus
saya patuhi. Perahu ini akan berangkat
sesuai permintaan
nona yang muka."
"Gila, hebat sekali suamimu itu,
bagaimana mungkin dia
bisa bersahabat dengan permaisuri raja, eh
Gayatri, kamu
musti ngajak kita berdua mengunjungi
keraton," tukas
Ayeshak gembira. Dua kakak ipar makin kagum
ketika Gayatri
menjelaskan bahwa Wisang Geni adalah kakak
seperguruan
dari permaisuri Waning Hyun.
Esok harinya, semua penumpang menerima
pengumuman,
penundaan jadwal berangkat Ditunda selama
dua hari, kata
nakhoda ada sedikit perbaikan di lambung
perahu. Bagi para
pedagang, penundaan sudah merupakan hal yang
biasa dan
sering terjadi.
Sepanjang hari Gayatri hanya menunggu
kedatangan
kekasihnya. Sewaktu malam tiba Gayatri mulai
diserang
perasaan ragu. Apakah Geni akan datang
menjemputnya?
Bagaimana kalau dia tidak datang? Bagaimana
kalau dia
mendapat halangan yang tak mampu dia atasi
sehingga
terlambat tiba di sini?
Keesokan pagi, nakhoda datang menemuinya. Ia
memohon
maaf, tak bisa lagi menunda keberangkatan,
karena khawatir
ketemu topan di tengah lautan. Ia hanya bisa
menunda satu
hari, sehingga sesuai perhitungan angin,
maka siang hari,
perahu sudah harus berangkat "Maafkan
saya, nona yang
mulia."
Matahari sangat terik. Udara panas.
Pelabuhan sangat
sibuk. Banyak pedagang dan pekerja pelabuhan
lalu lalang
naik turun perahu. Awak kapal sudah
mempersiapkan layar.
Gayatri duduk bertopang dagu di buritan,
memandang jauh ke
daratan, mengharap munculnya Wisang Geni.
Ibunya dan dua
kakak iparnya, ikut-ikutan gelisah. Tiga
perempuan itu
terkadang ragu akan kesetiaan Wisang Geni.
"Apakah dia akan
datang, demi wanita yang dicintainya? Apakah
dia benarbenar
mencintai Gayatri?"
Empat perempuan itu tidak mengetahui ketika
itu Yudistira
sudah berdiri di belakang mereka. Suaranya terdengar
lirih,
"Dia pasti akan datang, tak ada seorang
laki-laki pun yang
bodoh dan gila yang mau melepas isterinya
yang cantik pergi
ke tanah seberang tanpa dia berusaha
mencegahnya. Katakataku
berlaku jikalau dia sangat mencintai
isterinya. Jikalau
cintanya cepat luntur, maka dia tidak akan
menyusul Gayatri
ke Jedung."
Yudistira menepuk pundak putrinya.
"Tetapi ayah punya
firasat bahwa dia tak akan melepaskan
engkau, jika dia
terlambat karena sesuatu sebab, dia pasti
akan menyusul
mencarimu ke Himalaya. Percayalah pada
ayahmu Sebenarnya
aku ingin sekali berjumpa Pendekar Nomor
Satu Tanah Jawa
ini. Aku ingin menjajal ilmu silatnya, juga
ingin tahu jurus apa
yang dia gunakan sehingga bisa menaklukkan
kekerasan hati
Gayatri putriku yang cantik ini."
Mendengar itu, tangis Gayatri semakin
menjadi-jadi.
Satyawati memeluk putrinya, mengelus-elus
kepalanya.
Hatinya terguncang menyaksikan kesedihan
putri belahan
jiwanya.
Saat itu perahu layar sudah bergerak melaut.
"Tak ada
harapan lagi, suamiku sudah melupakan aku"
Gayatri merasa
tubuhnya lemas. Airmata sudah memenuhi
sepasang mata
coklatnya membual pandangannya kabur.
Samar-samar, karena terhalang butiran
airmata, sepertinya
ia melihat sepasang kuda sedang berlari
kencang menuju ke
arah perahu. Gayatri masih seperti orang
linglung, tanpa sadar
dia menggumam, suaranya lirih dan memelas,
"Itu kudaku si
Putih, dan di depannya itu si Hitam, siapa
penunggangnya,
apakah dia suamiku Wisang Geni?"
Rupanya suara batinnya itu mendapat jawaban.
Saat itu
terdengar suara siulan khas Wisang Geni.
Nyaring,
memekakkan telinga. Suara siul itu panjang.
Bagai tersentak dari alam khayal Gayatri
kembali berpijak di
alam nyata. Gayatri berseru, "Itu
suamiku, Geni oh akhirnya
kamu datang juga, kekasihku." Suaranya
lirih tetapi padat
nada gembira dan bahagia.
Mendadak saja siulan panjang itu terhenti,
sesaat laut sunyi
senyap. Lalu terdengar suara mengumandang,
"Gayatri,
isteriku, kekasihku, aku datang."
Gayatri mengucak matanya, menghapus
airmatanya, kini ia
bisa melihat nyata. Ia melihat Geni melompat
turun dari
punggung si Hitam yang sedang berlari
kencang. Lelaki itu
berlari pesat di samping kudanya. Ia bahkan
melewati
kecepatan kuda. Debu dan dedaunan tersibak
diterjang angin
puyuh kecepatan Geni. Tidak hanya sendirian,
di belakang
Geni, seorang wanita berlari kencang. Dia
Sekar.
Begitu sampai di ujung dermaga, Geni
melompat dan
melayang ke laut sambil meneriakkan tertawa
khas dari
lembah kera. Ia tak lagi bersiul. Suara
tawanya
mengumandang di laut lepas, menimbulkan
suasana magis
yang seram. Dia berlari di atas permukaan
laut, di antara
kecipak ombak. Mendekati perahu, ia melempar
sepotong
papan ke permukaan laut. Kakinya menjejak
papan dan saat
berikut ia melayang turun di geladak perahu.
Selang beberapa
saat kemudian Sekar juga melayang turun
berpijak di geladak.
"Suamiku, akhirnya kamu datang
juga," kata Gayatri di
tengah kekaguman semua orang yang
menyaksikan sepak
terjang Geni termasuk para pedagang dan awak
kapal.
Nakhoda itu sempat berkomentar,
"Rupanya dialah orang
yang ditunggu-tunggu si nona Gayatri, inikah
Wisang Geni
yang berjuluk Pendekar Tanah Jawa itu, wuah
hebat sekali
ilmu silatnya."
Geni menyahut seruan Gayatri dengan gairah.
"Ke mana
pun kamu pergi Gayatri, aku akan mengejarmu,
ke Himalaya
pun aku akan mengejarmu" Lelaki itu
berdiri tidak jauh dari
Gayatri. Ia melihat isterinya dikelilingi
orang-orang yang
wajahnya hampir mirip satu sama lain. Geni
membungkuk
memberi hormat tetapi tidak bergerak
mendekat. Dia berhatihati.
Gayatri hendak berlari ke arah Geni tetapi
tangan ibunya
menggenggam erat. "Jangan, jangan
begitu, sabar dulu
anakku," bisiknya perlahan. Dia
membatalkan niatnya, dia
memandang suaminya dengan pandangan penuh
cinta dan
bahagia. Gundah, gelisah dan ketakutan sudah
sirna dari
wajah cantiknya. "Suamiku akan
membereskan semua
persoalanku," katanya dalam hati.
Yudistira dan semua keluarga memerhatikan
lelaki itu.
Dilihatnya Wisang Geni sosok lelaki biasa,
cukup tampan tetapi
aura kelaki-lakiannya lebih menonjol.
Rambutnya beruban,
panjang, putih keperakan, tubuhnya sawo
matang dan kekar.
Dari sepak terjangnya, terlihat jelas
tingkat ilmu silatnya yang
tinggi. Satu tombak di belakang Geni,
seorang perempuan
cantik jelita berdiri dengan siaga dan
kuda-kuda mantap.
Menyaksikan ilmu ringan tubuh ketika Wisang
Geni lari
membelah ombak dan siulannya yang bertenaga,
diam-diam
Yudistira merasa kagum. Itulah kepandaian
pendekar kelas
utama. Ketika Geni menginjak kakinya di
geladak perahu, tak
ada bunyi suara. Ia mendarat seringan
kupu-kupu tetapi
geladak kapal seperti bergetar.
Pada saat berbarengan, Geni merasa ada orang
menyerang
dirinya.
Ia ingat janjinya pada Gayatri. Sesaat dia
diam, tidak
melawan. Saat berikutnya dia merasa hawa
pukulan itu ganas
dan bisa menewaskannya. Dia tak bisa diam
begitu saja
menanti maut. Dia bereaksi melapisi seluruh
tubuhnya dengan
tenaga Wiwaha dan dua tangannya menangkis
sekaligus
menolak pukulan yang mengarah dada dan
kepalanya.
"Dessss! Dessss!" Tangan dua
pendekar itu beradu di
udara.
Wisang Geni tidak menduga, ilmu silat lawan
cukup aneh.
Jurus pukulan lawan itu bergelombang, saat
tangan bentrok
saat berikut pukulan lawan menerobos masuk
dan
menghantam pundak Geni. Karena pukulan lawan
itu adalah
pukulan susulan maka tenaganya tidak lagi
penuh. Namun
tetap saja Wisang Geni terdorong tiga tindak
ke belakang,
jatuh dan terduduk di geladak.
Gayatri berteriak, "Geni, kenapa kamu
diam."
Pada saat yang sama, Sekar berkelebat dan
menghadang di
depan Geni, sambil teriak keras, "Kamu
curang, pengecut,
kamu membokong!"
Orang itu, ternyata Wasudeva Tanpa merasa
malu dia
melanjutkan serangan, dia ingin menghabisi
Wisang Geni.
Tetapi Sekar menghadapinya dengan gesit dan
terampil. Dia
heran melihat gadis cantik jelita tetapi
punya ilmu silat yang
tinggi. Dalam beberapa jurus Sekar berhasil
menghalau semua
serangan Wasudeva
Masih dalam posisi duduk bersila di geladak,
Geni
mengerahkan pernapasan Wiwaha. Tenaga
dinginnya berganti
panas, dalam porsi paling maksimal
berputar-putar dan
menyembuhkan luka di pundaknya
Gayatri berseru, suaranya serak tanpa
gelisah. "Geni,
mengapa kamu tidak melawan?"
"Aku sudah berjanji padamu aku tidak
akan tarung
melawan keluargamu, ayah atau kakakmu."
Geni batuk-batuk,
darah meleleh dari sudut mulutnya. Tampaknya
memang agak
parah, namun sebenarnya luka Geni sudah
lebih membaik
setelah pengerahan tenaga Wiwaha itu.
Gayatri berteriak, suaranya keras bercampur
kemarahan.
"Geni kamu terluka. Dia bukan
keluargaku, dia Wasudeva, dia
akan membunuhmu"
Mendengar itu Geni sadar dan mengerti
mengapa serangan
orang itu demikian ganas dan keji. Jika
tidak memiliki tenaga
Wiwaha dipastikan dia sekarang sudah tewas
tergeletak di
geladak kapal "Aku tak boleh diam dan
manda dipukul,"
pikirnya Dia melejit dan berdiri tegar di
atas geladak. Dia
berkata pada isterinya, "Sekar, kamu
mundur, aku akan
bereskan binatang ini."
Sekar mundur ke belakang Geni. Dia mendengar
Gayatri
memanggilnya, "Mbakyu, kemari dekat
aku."
Dua lelaki itu berhadapan.
Wajah Wasudeva tampak beringas. Mana mau dia
melepas
korbannya. Dia mengetahui lawannya terluka,
karena
pukulannya tadi mengena telak. Meskipun ada
semacam
tenaga tolakan dari tubuh Geni, tetapi dia
yakin lawannya itu
sudah terluka Dia melihat Wisang Geni ibarat
ikan sudah
masuk jaringnya. Dia tak mau menyia-siakan
kesempatan
yang ada. Dia bahkan tak peduli apakah
perbuatannya
membokong itu mendatangkan cela dan aib, dia
tak bisa
berpikir lain kecuali rasa cemburu dan
kebenciannya harus dia
lampiaskan. Dia harus membunuh Wisang Geni,
karena lakilaki
itu telah merebut Gayatri dari tangannya dan
telah
menikmati keindahan dan kecantikan Gayatri.
Peluang sudah di depan mata, sekarang atau
tidak sama
sekali, berpikir demikian Wasudeva merancang
serangan
berantai yang dahsyat Jurus Arjapura ini
belum pernah ia
peragakan karena selama ini semua lawannya
rontok lewat
jurus-jurus ringan.
Melihat jurus itu Yudistira terkesiap, ia
mengenal jurus
maut Sapno Tasafar Haimeri Dilka Yeh
Bhawarhai (Inilah
perjalanan impian, inilah pusaran tujuan
hatiku). Jurus ini
pernah dipakai sahabatnya, Arjapura, tarung
dan membunuh
belasan perampok gurun yang tangguh.
Wisang Geni terkesiap. Jurus lawan itu aneh,
pukulan yang
mengarah ke kiri mendadak bisa berubah ke
kanan, atas
menjadi bawah dan sebaliknya. Saat itu Geni
masih dalam
pemulihan tenaga Wirvaha. Ia bergerak pesat,
mengelak jika
tahu diri terancam, merunduk dan melompat
untuk
menghindar, geraknya tidak leluasa karena
tenaganya belum
pulih. Tendangan Wasudeva menerpa pahanya
dan jiwanya
kini terancam jurus lawan yang mengarah
titik kematian. Dia
teringat pesan Eyang Sepuh, "jika
terdesak, tangkis dan balas
menyerang. Jangan bertahan, karena menyerang
adalah lebih
menguntungkan."
Dan Geni tak lagi mengelak, ia balas
menyerang. Serangan
lawan dibalas serangan. Geni bergerak bagai
pusaran, tangan
membuat lingkaran, tubuhnya ikut berputar
seperti gaya
menari.
Tujuh kali terdengar bentrokan tangan.
Wasudeva merasa
pukulannya membentur tembok yang bersifat
membal. Dia
heran bagaimana mungkin seorang yang sudah
terluka tenaga
dalamnya masih punya tenaga sehebat itu. Hal
ini membuat
dia penasaran, dia memukul sambil menambah
kekuatan
tenaga pukulannya.
Dalam beberapa gebrakan tadi Wisang Geni
telah peroleh
keuntungan, tenaga pukulan lawan memancing
tenaga
Wiwaha bereaksi. Proses penyembuhan luka
bahkan lebih
cepat dari perkiraan. Inilah kelebihan
tenaga dalam Wiwaha
yang bagaikan mukjizat.
Bentrokan tangan yang kedelapan membuat
Wasudeva
mundur beberapa langkah, Wisang Geni pun
mundur
beberapa langkah. Keduanya kini terpisah
jauh. Wisang Geni
memberi hormat pada Wasudeva. "Kamukah
yang bernama
Wasudeva, kukira tadi kamu salah seorang
anggota keluarga
isteriku, itu sebabnya aku tidak melawan
sehingga kamu bisa
memukulku. Sebab aku sudah berjanji tidak
akan bertarung
dengan keluarga isteriku, apa pun
alasannya."
Semua orang mendengar ucapan lelaki bernama
Wisang
Geni itu. Sebelum Gayatri menyahut.
Yudistira berkata dengan
suaranya yang serak berwibawa, "Aku
ayah Gayatri, namaku
Yudistira. Dia ini ibunya. Dan dua lelaki
itu kakaknya, Arjun
dan Shankar. Orang yang bertarung denganmu
itu, Wasudeva,
lelaki yang merasa jodohnya telah kamu
rampas!"
Wisang Geni membungkuk memberi hormat pada
Yudistira,
Arjun, Shankar dan tiga wanita yang berdiri
di samping
Gayatri. "Aku yang rendah ini, Wisang
Geni, menghatur salam
hormat kepada keluarga isteriku." Dia
kemudian menoleh
kepada Wasudeva. "Mengapa kamu memukul
dan
menyerangku tanpa basa-basi sedikit pun. Itu
namanya
serangan gelap."
Wajah Wasudeva merah padam saking marahnya.
"Jahanam busuk, hari ini aku akan
mencabut nyawamu,
bersiaplah untuk mati."
Gayatri berteriak, "Curang, kamu
pengecut, kamu
membokong orang, kemudian menantang orang
yang
terluka." Ia menoleh ke arah Sekar yang
berdiri di
sampingnya. "Mbakyu, ayo kita lawan
dia."
"Sabar adik, pasti Geni bisa mengatasi
dia."
Gayatri masih belum puas. Ia berseru,
"Aku sudah katakan
sebelumnya padamu Wasudeva, kamu tak akan
bisa menang
lawan suamiku."
Pada detik itu Yudistira berseru kepada
nakhoda perahu,
"Putar kembali perahumu ke pelabuhan,
kerugian nanti aku
yang tanggung, Arjun dan Shankar, jika ia
tidak memutar
kembali perahu layar ini, kamu patahkan
kemudi dan
layarnya."
Dua ibu dan anak, Satyawati dan Gayatri
seperti
mendengar sesuatu yang datang dari alam
mimpi. Hampir
tidak bisa dipercaya, mendengar Yudistira
memerintahkan
perahu untuk kembali ke daratan.
Keheranan semakin bertambah ketika Yudistira
berkata
kepada Wasudeva, "Ayahmu adalah
pendekar ternama, kamu
juga seorang pendekar Himalaya yang punya
kehormatan.
Kamu harus memberi lawanmu itu waktu
istirahat untuk
memulihkan tenaganya. Dan kamu pendekar
Wisang Geni,
berapa lama kamu membutuhkan waktu
memulihkan
tenagamu?"
"Terimakasih atas kemurahan hati paduka
tuan, hamba
yang rendah hanya butuh sedikit waktu untuk
menghilangkan
capek." Dia kemudian memainkan empat
posisi semedi
Wiwaha. Dalam sekejap, uap tipis melayang di
atas kepalanya.
Hanya dalam waktu yang sangat singkat Geni
sudah siap.
"Pendekar Wasudeva yang terhormat,
silahkan tuan memilih
tempat pertarungan."
Tenaga dalam Wisang Geni sudah pulih seperti
sediakala.
Ia tidak terluka parah. Hanya kena guncangan
yang tidak
terlalu berbahaya. Ketika pukulan menerpa
pundaknya, saat
itu juga tenaga Wiwaha yang melapis tubuh
Geni telah
memunahkan sebagian besar pukulan lawan. Itu
sebab dia
hanya butuh sedikit waktu untuk memulihkan
diri.
Tadi ketika darah menetes dari ujung mulut
Geni, tangan
Gayatri dingin, basah dan berkeringat.
Sekarang wanita cantik
itu tampak tenang, dia percaya kekasihnya
akan
menyelesaikan kemelut persoalan keluarganya.
Yudistira merasa heran bercampur kagum,
bagaimana
mungkin setelah terluka oleh pukulan telak
lawannya, Wisang
Geni bisa secepat itu pulih. "Mungkin
saja ia terlalu memaksa
diri, padahal tenaganya belum seluruhnya
pulih," gumam
Yudistira dalam batin.
Kala itu, perahu sudah berbalik arah menuju
pelabuhan.
Para pekerja siap-siap untuk melempar sauh.
Saat yang sama
Wasudeva berteriak marah, "Kamu yang
seharusnya memilih
tempat yang layak menjadi kuburan
bagimu"
Wasudeva menyerang gencar. Pukulannya tetap
saja aneh.
Ia memainkan jurus andalan lainnya Is Mein Doobjana
Zarasa
Lamba Chupata Khwab Milgaya (Banyak waktu
yang lenyap
kini telah kembali)) dan Hum Samundar Ke
Andaarchale
(Menuju kedalaman laut samudera).
Wisang Geni tak mau memandang ringan
jurus-jurus aneh
lawan. Ia meladeni dengan pikiran terpusat
pada gerak lawan.
Ke mana arah serangan lawan datang, Geni
mengelak gesit.
Ia membalas serangan dengan serangan,
kakinya tak lagi
memijak lantai perahu. Dia melayang dengan
ringan, namun
pukulannya terasa berat berbobot menimbulkan
kesiuran
angin panas dan dingin bergantian. Bentrokan
tangan
berulang kali, jerit marah Wasudeva mewarnai
serangannya
yang mau adu jiwa.
Limapuluh jurus berlalu, Wasudeva unggul di
atas angin
karena sepertinya Geni ragu-ragu. Gayatri
melihat ini, ia
berseru, "Geni kenapa kamu tidak
memainkan jurus Leysus
dan Prahara? Kamu ingatkan cerita
penderitaan kakak
Manisha, meskipun kakakku itu sudah mati
tetapi dia tetap
kakak iparmu. Serang dia!"
Wisang Geni sibuk menghindar dan menangkis
serangan
gencar lawan. Mendadak suara Wasudeva seakan
memecah
gendang telinganya. Itu gema suara yang
aneh. Geni
mendengarnya sangat keras, hampir memecahkan
gendang
telinganya, sedang bagi telinga orang lain
terdengar normal.
Teriakan Wasudeva itu mengandung sihir dan
magis tingkat
tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar