Ia tetap bergaul erat dan akrab dengan anak
muridnya.
Namun, ia masih mengerjakan kebiasaan yang
baru, duduk
menyendiri dan melamun. Padeksa, Gajah Watu,
Sekar dan
Wulan tak bisa mencegah kebiasaan ini.
Karena begitu
kebiasaannya disebut-sebut, Geni langsung
berdiam diri
seperti anak kecil yang merajuk.
Makin hari kebiasaan Geni semakin mencolok.
Waktunya
kini lebih sering dihabiskan sendirian,
duduk melamun atau
berlatih silat sendirian. Ia tak lagi
mengurus dirinya, agak
mirip orang tak waras. Anehnya, ia berlatih
silat seperti orang
pemula, mulai dari tingkat dasar.
Jurus-jurus sederhana yang
pernah dipelajari para pemula, itu yang
dilatihnya seharian.
Ia hampir tak pernah tidur. Ia juga menjauh
dari Sekar dan
Wulan. Kalau sebelum itu hampir setiap malam
ia bercinta
dengan Wulan atau Sekar, sekarang tidak
lagi. Hanya sekaliTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sekali ia meniduri isterinya. Itu pun dengan
cara dan
perlakuan kasar. Tak ada lagi basa-basi atau
ungkapan
romantis dalam bercinta. Sekar dan Wulan tak
berani
menolak. Keduanya bingung, mengapa terjadi
perubahan
dalam diri suaminya.
Padeksa dan Gajah Watu kehabisan akaL Tak
tahu harus
berbuat apa. Wulan dan Sekar hanya bisa
menangis, iba akan
nasib kekasihnya. Suatu hari Manjangan Puguh
dan Mei Hwa
datang bertamu. Ia terkejut dan terenyuh
melihat keadaan
muridnya.
"Kita tak boleh diam saja dan pasrah
menerima kenyataan
pahit ini. Keadaan Geni sangat kritis. Kita
harus melakukan
sesuatu. Aku akan pergi menjemput Ki
Waragang. Dan paman
Gajah Watu berdua, Sekar menjemput Dewi Obat
di Lembah
Cemara. Kita harus bergerak cepat, lebih
cepat lebih bagus.
Kita berangkat sekarang!"
Dua pekan menjelang hari tarung antara
pendekar tanah
Jawa dengan jago-jago daratan Cina, datang
dua utusan
Mahameru menemui Padeksa. Setawasatra, murid
paling
berbakat dari
Mahameru didampingi kekasihnya Rorowangi,
murid nomor
dua Nyi Pujawati Keduanya membawa surat dari
pendeta
Macukunda, minta agar Wisang Geni segera
datang dan
berkumpul di bukit Penanggungan.
Selama ini Wisang Geni sudah mirip orang
hilang ingatan.
Ia tak mau didekati orang, ia curiga pada
setiap orang bahkan
juga Wulan, Sekar dan Padeksa. Jika ada yang
mendekat,
Geni kontan pasang kuda-kuda, kalau sudah
begitu tak ada
yang berani mendekat. Tak seorang pun bisa
menandingi ilmu
silat Geni jika dia memberontak. Itu sebab
Padeksa tak
mampu menyembunyikan keadaan Geni dari dua
tetamu itu.
Rorowangi terkejut melihat keadaan Geni yang
dulu secara
diam diam pernah dirindukannya. Ia tak
pernah mengira Geni
bisa berubah menjadi orang hilang ingatan.
Setawastra
membawa kabar itu ke gurunya. Dan pendeta
Macukunda
segera berunding dengan Sang Pamegat untuk
memilih
pendekar pengganti Wisang Geni. Pilihan
akhirnya jatuh pada
Ki Demung Pragola. Kabar kehebatan Wisang
Geni yang
mengalahkan dua jago Jambudwipa tidak lagi
dibincangkan
orang. Kabar yang beredar kini adalah Wisang
Geni jadi gila
lantaran mempelajari ilmu sesat.
Dua hari setelah kedatangan utusan Mahameru,
Manjangan
Puguh tiba dengan seorang lelaki tua, Ki
Waragang, tabib sakti
yang pernah merawat Wisang Geni waktu kecil.
Esok harinya
Gajah Watu dan Sekar datang bersama Dewi
Obat. Dua tabib
yang saat itu dikenal sebagai yang paling
jago di tanah Jawa,
pun sama bingungnya. Keduanya tak tahu
penyakit apa yang
membuat Geni hilang ingatan.
"Kemungkinan besar, Geni sakit
ingatan lantaran terlalu banyak
berpikir," tukas Waragang
setelah mendengar cerita Wulan dan Sekar.
Waragang memikirkan ramuan yang bisa menyembuhkan
orang yang mengalami tekanan pikiran
berlebihan. "Aku bisa
membuat ramuan itu, tetapi kita harus
temukan cara untuk
meminumkannya pada Geni. Sampai saat ini, ia
tak bisa
didekati siapa pun."
Dewi Obat berkata lirih, "Ki, aku pikir
lebih baik sekarang ini
kamu bikin ramuan obat itu, sementara kita
semua
memikirkan cara meminumkannya."
Waragang membuka bungkusan pakaiannya. Di
dalamnya
banyak tabung bambu yang berisi ramuan obat.
Sementara ia
meracik dan mencampur ramuan, Dewi Obat
bersama Sekar,
Wulan, Padeksa, Gajah Watu berpikir keras.
"Banyak pendekar
ahli mengalami hal yang sama dengan Geni,
pemahaman ilmu
silat yang melebihi kesanggupan pikiran,
membuat seseorang
bisa gila bahkan tewas," kata Padeksa.
"Sebenarnya ilmu apa
yang sedang ia pikirkan?"
Wulan dan Sekar mengulang sekali lagi
kejadian di hutan,
ketika Geni berteriak memanggil Eyang Sepuh
Suryajagad
Mendadak dewi Obat memanggil Wulan dan Sekar
menjauh.
"Sudah berapa lama kamu tidak bercinta
dengan Geni?"
Agak malu-malu dua perempuan itu mengatakan,
sudah
sejak tujuh hari. Geni tampaknya tak mau
mendekat lagi. Ia
tidur sendirian, ketika didekati Wulan atau
Sekar, ia berteriak
mengusir, "Jangan ganggu aku,
pergi!"
Tiba-tiba Dewi Obat teringat sesuatu, ia
berseru, "Ada akal,
kalian berdua bisa membuat Geni minum ramuan
itu." Ia lalu
menjelaskan rencananya. Wulan dan Sekar
manggutmanggut.
"Apa saja akan kulakukan agar dia
sembuh," kata
Sekar. Rencana itu disetujui Waragang, Gajah
Watu dan
Padeksa.
Malam itu ketika semua murid sudah tidur
lelap, seperti
biasanya Geni berlatih silat di bawah sinar
bulan, di
pekarangan rumahnya. Terdengar sayup-sayup
suara Gajah
Watu yang menceritakan kisah Ksiti Sundari
kasmaran. Di
beranda rumah, Sekar setengah bugil
menarikan Kinanti
Prasidha yang kebetulan saja ia pelajari
saat bosan menjalani
penyembuhan wajah buriknya di Lembah Cemara
Cerita itu, suara lelaki seperti tembang Ki
Dalang dengan
Sekar yang menari Kinanti dengan penuh
goyang birahi, telah
menarik perhatian Geni. Ia menghampiri
beranda rumah. Ia
menyaksikan goyang bokong, paha dan hentakan
kaki yang
membuat buah dada Sekar membusung mengundang
birahi.
Geni yang sudah mandi keringat hasil latihan
silat, cepat sekali
terangsang. Ia mendekat lalu tiba-tiba
memeluk Sekar,
menciumi gadis itu dengan nafasnya panas
membara Sekar
bereaksi tak kalah ganasnya, membuat Geni
makin terperosok
ke lautan birahi. Sekar menarik tangan
suaminya masuk
rumah. Di dalam rumah Wulan menanti dengan
bugil,
langsung mengeroyok Geni. Terjadilah
pergumulan birahi. Di
tengah mabuk kasmaran, Wulan dan Sekar
bergantian
meminumkan ramuan yang langsung ditenggak
Geni tanpa
curiga
Semalaman Geni dengan kasar dan brutal
meniduri dua
isterinya, membuat Sekar dan Wulan
kesakitan. Tetapi apalah
arti sakit dibanding keinginan mereka melihat
suaminya
sembuh. Besok paginya, Geni tampak sudah
membaik. Malam
hari, rencana itu diulang lagi, demikian
seterusnya sampai
empat malam.
Hari itu Wisang Geni sudah mulai membaik.
Ingatannya
mulai pulih. Apalagi Sekardan Wulan tak
pernah bosan
mendampingi. Keduanya bercerita tentang masa
lalu. Geni
sudah bisa tertawa. hal ini membuat Waragang
dan Dewi Obat
gembira. Apalagi Geni rajin minum ramuan Ki
Waragang. Hari
keenam setelah kehadiran dua tabib sakti,
Geni sudah pulih
seperti sediakala.
Kepada Wulan dan Sekar, Geni menceritakan
perjalanan
batinnya sejak malam hari di hutan Wajak
sampai saat ia
menemukan inti ajaran Garudamukha Prasidha
dalam
pertarungan lawan Malini. "Inilah jurus
yang disebut Eyang
sebagai Jurus Penakluk Raja. Aku sudah
hampir menguasai
seutuhnya, hanya tinggal satu dua bagian
saja," katanya pada
dua isterinya.
Sebenarnya ia telah menembus pencerahan
Sringara dan
Bhava tetapi ada sesuatu yang seperti titik
bayangan kabur di
depannya. Ia tahu bahwa ia harus sampai ke
titik tersebut.
"Aku berterimakasih kepada kalian
semua, guru Waragang
dan Dewi Obat serta dua isteriku dan guru
Padeksa serta
paman Gajah Watu, tanpa kalian mungkin aku
sudah tewas
atau gila.Tetapi aku harus terus mencari
pengertian itu. Kalian
jangan khawatir."
Wisang Geni seharusnya merasakan Sringara
dalam
pengalaman hidupnya baru ia bisa menguasai
sempurna
Sringara delapan rasa itu seperti bisikan
Eyang Sepuh, Glana
(Sedih), Harsa (Gembira), Syura (Berani),
Prabhawa
(Kekuasaan), Raga (Nafsu birahi), Kamuka
(Jatuh cinta), Haju
(Keselamatan), Kapejah (Kematian).
Menyelusuri delapan rasa itu ternyata bukan
hal yang
mudah. Geni melakukan kesalahan besar karena
terlampau
memaksakan diri. Seharusnya delapan rasa itu
ditelusuri
sambil ia menyelami asam garam kehidupan
dunia. Ia nyaris
tewas karena tenaga itu berbalik menghantam
otak dan
hampir merusak seluruh jaringan pikiran. Ia
selamat lantaran
memiliki ilmu Wiwaha. Ilmu langka ajaran
pendekar Lalawa ini
sama tua dengan Garudamukha ajaran Prabu
Erlangga punya
dua sisi yang sama besar pengaruhnya, sisi
kekuatan untuk
bertarung dan sisi kelaki-lakian. Arti
Wiwaha adalah Kakawin.
Tak heran kalau Geni punya tenaga besar
panas dan dingin
untuk bertarung. Selain itu Geni juga sama
besar dalam hal
nafsu birahi serta keperkasaan sebagai
lelaki. Ia bisa selamat
karena kecerdasan Dewi Obat, ramuan obat
Waragang, dan
pengorbanan dua isterinya.
Tetapi rasa khawatir orang-orang itu timbul
lagi sehabis
makan siang. Geni berlatih silat di tengah
panas matahari.
Mulanya orang menganggap sebagai hal wajar
malahan
senang karena dengan menyaksikan Geni
bersilat, mereka
dapat memetik keuntungan.
Namun, ketika sampai malam hari belum juga
Geni
berhenti, orang mulai khawatir. Semalaman
penuh, Geni
belum juga menghentikan latihannya. Bahkan
berlanjut
sampai pagi harinya.
Semua orang terutama Wulan dan Sekar tidak
tidur
semalaman, menemani Geni. Mereka khawatir
melihat
keadaan Geni. Anehnya silat yang dimainkan
Geni mirip jurus
Lemah Tulis tetapi banyak perubahan yang
aneh. Tetapi Geni
memainkannya dengan hebat.
Geni tidak mengutamakan kehebatan jurus atau
ilmu
tenaga dalam. Ia bersilat sesuai perasaan
hati Ada kalanya ia
menggeram marah dan bersilat cepat serta
beringas.
Terkadang ia bersilat lambat dan tampak
seperti orang
berduka. Saat berikutnya seperti sikap
seorang raja yang
memiliki pengaruh.
Delapan rasa dan satu aksi yang ia mainkan
itu merupakan
inti permainan silatnya, inti dari Jurus
Penakluk Raja yang
kesohor. Tentu saja tidak dimengerti oleh
sebagian besar
murid Lemah tulis. Padeksa dan Gajah Watu
menduga-duga
ilmu apa yang sedang dimainkan Geni, tetapi
mereka tak bisa
menjawab.
Siang hari, matahari tepat di atas kepala.
Geni berhenti.
Tepat satu hari satu malam ia berlatih. Ia
tertawa senang.
"Akhirnya aku dapatkan juga Jurus
Penakluk Raja itu."
Ia melihat berkeliling. Ia tertawa melihat
Wulan dan Sekar
duduk bersandar di tiang beranda, mata
terpejam. Rupanya
semalaman tidak tidur. Tetapi tertawanya
terhenti ketika
melihat semua murid memandang kepadanya.
Geni kemudian
menjelaskan perjalanan dirinya mencari
pencerahan ilmu silat
sudah selesai. "Kalian tak perlu cemas,
aku sudah selesai
berlatih!"
---ooo0dw0ooo---
Pertarungan Puncak
Perjalanan panjang yang melelahkan Geni
sejak
pencerahan ilmu Wiwaha di lembah kera dan
penemuan
Prasidha telah berakhir pada hari kemarin.
Resiko hampir gila
dan hampir tewas telah mewarnai
perjalanannya dalam
penguasaan ilmu silat kelas utama. Dendam
atas kematian
orangtuanya dan semangat membayar semua
hutang darah
perguruannya membuat Wisang Geni tak pernah
surut dalam
melangkah. Tujuannya jelas, ingin melunasi
dendam serta
ambisi besar mengangkat kembali citra Lemah
Tulis yang
sudah terpuruk selama duapuluh lima tahun.
Pencerahan ilmu silat dimulainya ketika dia
menemukan
rahasia kehebatan Prasidha saat tarung lawan
tiga murid
Kalayawana di Mahameru Dia berhasil menembus
misteri
memahami inti falsafah jurus pusaka itu.
Kalimat Parahwanta
Angentasana Dukharnawa (Hendaknya menjadi
perahumu
menyeberangi lautan kesusahan) telah
sempurna dipahaminya
pada saat-saat terakhir ketika nyawanya
berada di ambang
maut.
Jurus Prasidha itu, intinya adalah menyedot
dan
menyimpan tenaga pukulan lawan lalu
dikembalikan dengan
tenaga yang sama atau bahkan berlipatganda.
Jika
Garudamukha mengandalkan tenaga kasar
berasal dari nafsu
amarah dan kekuasaan manusia, maka Prasidha
mengutamakan tenaga batin leburnya dua
tenaga inti Gama
(Amarah) dan Kadharmestati yang diperoleh
dari tenaga
dingin. Adanya tenaga panas dan dingin
Wiwaha membuat
Prasidha makin dahsyat.
Setelah menguasai Prasidha Geni mendapatkan
hal baru
Bisikan Eyang Sepuh Suryajagad membuka lagi
tabir ilmu silat
tingkat lebih tinggi. Jurus Penakluk Raja
lewat delapan rasa
menuju satu aksi. Delapan Sringara menuju
satu Bhava.
Tetapi ia terlampau bernafsu menyelesaikan
secepatnya
sesuatu yang seharusnya ditempuh dalam
proses pencerahan
yang panjang melalui pengalaman asam garam
kehidupan.
Nyaris saja ia celaka!
Memang sebagian telah ia temukan saat tarung
lawan
Malini dan Kumara. Namun ketika masuk lebih
dalam
mengorek delapan rasa ia terjebak dalam
pemikiran yang
njelimet, melingkar dan tak pernah putus.
Pertolongan Dewi
Obat, Waragang, Sekar dan Wulan pun
sebenarnya sia-sia.
Geni tidak tertolong lagi dari kegilaan dan
maut. Ramuan
waragang, rencana Dewi Obat, tari Kinanti
dan terapi bercinta
Sekar dan Wulan pun sesungguhnya sia-sia.
Geni tidak
tertolong kecuali datangnya suatu keajaiban.
Di saat kritis itulah, Eyang Sepuh
Suryajagad datang
menolong. Setiap malam selama tiga malam
berturutan Eyang
Sepuh hadir di samping Geni. Orangtua itu
datang dengan
sembunyi Ia menggelar tenaga dalamnya yang
sudah
mencapai kesempurnaan, membuat siapa saja
yang berada di
dekat Geni, tertidur pulas.
Ia memijat dahi, mengurut kepala dan seluruh
tubuh Geni.
"Semoga Dewa membantuku, cucuku ini
adalah murid Lemah
Tulis satu-satunya yang bisa mengangkat
citra perguruan, jika
dia mati, Lemah Tulis akan terkubur. Sudah
tugasku si tua,
menjaga dan memeliharanya."
Kehadiran dan pertolongan Eyang Sepuh yang
tersembunyi,
membuat semua orang mengira pengobatan Dewi
Obat dan
Waragang berjalan sukses. Tetapi Geni
samar-samar
mengetahui adanya tangan halus empuk yang
mengirim
tenaga maha dahsyat menelusuri seluruh tubuh
dengan
sasaran utama di bagian otak. Tenaga itu
menarik dan
menghidupkan kembali tenaga Wiwaha sampai
saatnya tenaga
Wiwaha bekerja normal.
Orang itu pasti memiliki ilmu silat dahsyat
tak terukur.
Tetapi setiap hendak membuka mata melihat
siapa orangnya,
ia gagaL Ia tak pernah tahu siapa, tetapi ia
yakin dialah Eyang
Sepuh. Ketika ia sembuh, pikirannya sudah
kembali normal, ia
berpura-pura tetap mengikuti terapi
pengobatan Dewi Obat
dan Waragang serta demonstrasi bercinta
Sekar dan Wulan.
Tak seorang pun yang tahu.
Setelah melewati masa kritis itu, Geni
ragu-ragu
melanjutkan pendalaman Jurus Penakluk Raja,
takut gagal
yang berakhir kehilangan akal waras lagi.
Saat itulah,
terdengar suara bisikan, "Kenapa harus
takut, takut dan
berani sama saja. Jurus Penakluk Raja
terlalu ampuh dan
agung sehingga pantas untuk dipelajari
meskipun ada resiko
kematian di situ."
Geni tahu, itu suara Eyang Sepuh. "Jadi
memang benar
yang tiap malam menolong aku adalah Eyang
Sepuh." Timbul
semangat dan keberanian Geni. Ia berlatih
kembali,
memainkan delapan rasa menuju satu aksi.
Mulanya ia
mempersiapkan sikap jiwa delapan rasa
kemudian baru
memainkan jurus-jurus Prasidha. Tahapan
berikut ia berhasil
memainkan jurus Bhava berbarengan sikap jiwa
delapan rasa.
Tidak ada kesulitan atau hambatan setiap ia
memainkan
aksi jurus. Itulah yang disebut Jurus
Penakluk Raja, ilmu dari
segala ilmu Wisang Geni bahkan tidak sadar
bahwa ia kini
telah melompati tingkat kepandaian silat
kelas utama.
Hari itu, suatu pagi yang cerah Geni terjaga
dari tidur
lelapnya. Ia melihat dua isterinya masih
tidur lelap dalam
keadaan bugil. Ia memerhatikan dua perempuan
itu. Tubuh
keduanya, sama molek, sama-sama sintal.
Tetapi dari wajah,
tampak Sekar lebih cantik. Geni menepuk
bokong keduanya
yang langsung lompat saking terkejutnya.
Geni tertawa,
sembari lari melesat keluar rumah. Ia
menemui gurunya,
Padeksa.
Padeksa sedang berlatih Prasidha. Geni
menanti kemudian
setelah melihat gurunya istirahat, ia
menegur, "Guru, kenapa
pagi ini perguruan kita tampak sepi?"
"Sebagian murid utama dan lapis kedua,
dua hari lalu
sudah berangkat ke bukit Penanggungan,
bersama dimas
Gajah Watu."
"Oh, mereka menonton pertarungan
pendekar tanah Jawa
lawan orang-orang Kuangchou itu? Guru, aku
pikir, sebaiknya
aku juga pergi ke sana?"
Padeksa menatap muridnya. "Cucuku,
selama kamu sakit,
ada utusan Mahameru datang mengundang kamu.
Belakangan
aku mendengar bahwa mereka telah mengganti
dirimu dengan
Demung Pragola. Tarung itu akan dilaksanakan
pada saat
purnama bulan Aswina, tempatnya di hutan
bagian selatan
bukit Penanggungan, sekarang masih ada sisa
waktu tiga hari
lagi. Jika kau bergegas menunggang kuda, kau
akan tiba pada
siang di hari tarung."
Sebelum Geni menjawab, terdengar suara
Wulan, "Aku dan
Sekar ikut bersamamu" Dua perempuan itu
sudah berada di
situ.
"Guru, aku ke sana hanya sekadar nonton
tarung. Aku tak
punya maksud unjuk jago." Ia menoleh ke
dua isterinya. "Jadi
sebaiknya aku pergi sendiri saja."
"Geni, ajaklah isterimu. Kamu perlu ada
yang menemani.
Biar aku yang menjaga perdikan ini."
Dua perempuan itu cepat berkemas dan
menyediakan
kuda. Geni bertiga kemudian pamit pada
Padeksa dan
sebagian murid. Mereka melecut kuda
tunggangannya masingmasing.
Malam hari mereka istirahat di hutan. Mereka
menemukan tempat bermalam yang tersembunyi
dan aman.
Setelah makan malam, Geni memeluk Sekar dan
Wulan
menciumi dua isterinya, melucuti pakaian dan
bercinta. "Kamu
sekarang sudah normal. Sudah pulih seperti
biasa. Tetapi
waktu kamu masih sakit, perilakumu
mengerikan. Kamu brutal
dan kasar, seluruh tubuhku sakit,"
bisik Sekar. "Kamu hampir
membunuh kami berdua, sepanjang malam kamu
menyakiti
kami. Geni, kamu tidak lagi menciumi tetapi
menggigit. Kamu
lihat saja bekas gigitanmu masih ada,"
kata Wulan sambil
memperlihatkan bekas merah di sisi buah
dadanya dekat
ketiak.
Geni tertawa geli. "Kalian berteriak
kesakitan?"
"Gila kamu, mana mungkin kami
berteriak, malu didengar
orang!" kata Sekar sambil menindih
tubuh suaminya.
Esok paginya mereka melanjutkan perjalanan.
Siang hari
mereka istirahat di sebuah desa kecil. Lima
orang tampak
mengawasi saat ketiganya memasuki warung
makan. Salah
seorang mendekati pemilik warung.
"Lelaki itu penjahat cabul
dua wanita itu tawanan dan terpaksa
mengikuti kemauan
lelaki itu karena takut mati. Kami orang
baik-baik ingin
menolong dua wanita itu, maka tolong kamu
bantu kami
mencampur racun di dalam makanan mereka.
Racun ini tidak
berbahaya, hanya membuat orang menjadi lemas
tak
berdaya."
Pemilik warung manggut kepala.
Saking laparnya, semua jenis makanan
dipesan.
Menyaksikan dua isterinya makan begitu
lahap, Geni tak
sampai hati. Ia makan sekadarnya, suap demi
suap. Tiba-tiba
Wulan dan Sekar, hampir berbarengan memegang
kerongkongan, dan mengeluarkan suara ngorok
Geni terkejut. Ia tahu ada racun dalam
makanan. Karena ia
belum makan banyak racun belum menyerang
dirinya. Ia
kerahkan tenaga Wiwaha aliran dingin menghentikan
kerja
pencernaan kemudian tenaga panas menguras
dan
mendorong makanan yang masuk tadi, keluar
lagi Saat
berikutnya, ia membungkuk dan memuntahkan
semua isi
perutnya.
Pada saat berbarengan, lima kawanan tadi
menyerang
dengan berbagai macam senjata. Wulan dan
Sekar sudah
rubuh dengan mulut berbusa. Geni tak ayal
lagi, menjatuhkan
diri telentang, dua tangannya menepuk
punggung dua
isterinya, sementara dua kakinya menendang
bangku-bangku
dan meja ke arah lawan. Tenaga Wiwaha
membanjir
menerobos punggung Wulan dan Sekar
berputar-putar di
perut.
Lima lelaki itu terkejut, tak menyangka
bahwa Geni masih
bisa memberikan perlawanan hebat meskipun
sudah menelan
makanan beracun. Karena terkejut, tak
menyangka, maka dua
orang kena hantaman kursi. Keduanya terjengkang
dengan
kepala berdarah, sakit tetapi tidak tewas.
Tiga lainnya sibuk
mengelak.
Geni bergerak pesat Ia tahu racun sangat
ganas dan
mematikan. Tak ada jalan lain, dia harus
memilih siapa yang
dia tolong lebih dahulu, resikonyayang
belakangan bisa lebih
parah. Pada saat kritis itu secara naluriah
Wisang Geni akan
mendahulukan perempuan yang lebih
dicintainya. Pikiran dan
gerakannya spontan, dia mendahulukan Sekar.
Belakangan
memang dia tahu bahwa dia sangat mencintai
Sekar. Dia
menggapai tubuh Sekar, mengurut perutnya
dengan tenaga
besar, satu tangan lainnya mengerahkan
tenaga Wiwaha
menerbos punggung Sekar. Selang beberapa
saat, dia ganti
memeluk Wulan dan melakukan penyembuhan
dengan cara
yang sama
Saat itu lima musuh meluruk maju,
serangannya ganas.
Untung bagi Geni, kepandaian mereka bukan
dari kalangan
atas, sehingga bisa diatasi. Tetapi serangan
itu telah
menghambat penyembuhan Wulan. Geni menepuk
punggung
Sekar, tangan lain menekan perut Wulan,
kemudian
menggendong keduanya melompat menjauh. Terpisah
agak
jauh dari musuhnya, dia menekan dan mengurut
perut Sekar
yang langsung muntah-muntah, semua isi
perutnya terkuras
keluar. Tak lama kemudian, Wulan pun muntah.
Geni merasa
lega, pertolongan pertama sudah selesai.
Pada tahapan itu,
nyawa dua isterinya sudah bisa diselamatkan.
Geni berbalik
menghadap lima penjahat itu, "Siapa
kalian? Aku tidak kenal
kalian, mengapa kalian memusuhi aku?"
Lima orang itu menyerang membabi-buta Salah
seorang
berseru. "Kamu Wisang Geni telah
membunuh guru kami, Ki
Sempani, kami harus balas dendam!"
Geni tak menanti lagi. Ia bergerak cepat
mengandalkan
Waringin Sungsang dan Jurus Penakluk Raja
sekadar ingin
menjajal jurus barunya itu. Tetapi hasilnya
luar biasa. Tolakan
dua tangan sambil memutar dan mendorong,
membuat lima
penjahat itu saling hantam satu sama lain.
Dua orang tewas
oleh senjata kawinnya, tiga lainnya luka
parah. Mereka
memandang Geni dengan mata mendclong, tak
percaya. "Ilmu
siluman!" kata yang seorang.
Tadinya ia sangat marah, tetapi belakangan
ia merasa
kasihan. "Kalian membalas dendam
kematian gurumu, itu
perbuatan lelaki sejati, tak peduli jahat
atau buruk
kelakuanmu. Kamu pergilah! Lupakan dendam
kalian!
Percuma, dendam tak akan pernah selesai.
Pergilah, bawa
serta mayat temanmu!" Orang itu kabur.
Setelah mencari keliling, Geni menemukan si
pemilik
warung sedang bersembunyi ketakutan. Geni
memanggil
berulangkali dengan seruan marah. Pemilik
warung muncul
dengan ketakutan. Ia menyembah minta ampun.
Geni
membentak, "Cepat kamu ambil tuak yang
banyak!"
Geni memaksa dua isterinya membuka mulut. Ia
menuang
tuak ke mulut. Hampir empat tabung, masuk
kerongkongan
Wulan dan Sekar. Ia mendudukkan mereka,
kemudian dua
tangannya menempel di punggung dan mulai
mengurut
disertai pengerahan tenaga dalam. Tenaga
panas yang
disalurkan, membuat dua isterinya merintih
kesakitan. Isi
perut macam dibakar. Tak lama keduanya
muntah lagi,
memuntahkan air tuak yang berbusa.
Melihat dua isterinya masih lemah, Geni
memutuskan
menunda perjalanan. Pemilik warung yang
merasa bersalah
namun tidak mendapat hukuman, menebus
kesalahannya
dengan menyediakan kamar di rumahnya sendiri
untuk tiga
orang itu menginap.
Semalaman Geni bergantian menyembuhkan Sekar
dan
Wulan. Menjelang fajar, ia istirahat, tidur.
Dua perempuan itu
memandang sang suami dengan penuh rasa cinta
dan
terimakasih. Keduanya memijit tubuh dan kaki
Geni yang tidur
pulas.
Esok harinya, ketika matahari sudah di atas
kepala, mereka
melanjutkan perjalanan. Tetapi perjalanan
tak bisa cepat
karena tubuh Wulan dan Sekar masih lemas.
Untuk mengejar
waktu yang terbuang, mereka nginap di hutan.
Keesokan hari,
melihat kondisi tubuh kedua istrinya
membaik, Geni
memaksakan perjalanan cepat. Siangnya mereka
tiba di
selatan bukit Penanggungan.
Geni takjub melihat suasana di bukit itu. Di
tengah
kerilmunan penonton, sebuah panggung raksasa
berdiri
dengan megahnya. Di atas panggung dua sosok
bayangan
sedang bertempur sengit. Begitu banyak
penonton, tapi
anehnya suasana justru sangat sepi. Geni
bertiga terlambat,
karena pertarungan sudah tiba pada partai
terakhir. Ketiganya
berdesakan maju mendekati panggung. Mereka
berdiri di
antara murid-murid Mahameru. Di atas
panggung Geni melihat
pendeta Macukunda sedang tarung sengit
dengan seorang
lelaki kurus. Ketua Mahameru memainkan
tasbih menghadapi
serangan dahsyat sepasang golok.
Mencari-cari wajah yang dia kenal, Geni
gembira mengenali
Ki Antasena, saudara seperguruan Macukunda.
Geni menegur
ramah. Ki Antasena melihat dengan sinar mata
aneh,
kemudian mengalih pandangan ke atas
panggung. Geni
mengikuti pandangan Ki Antasena. Di panggung
pertarungan,
Macukunda terdesak. Senjata tasbih yang
memainkan
duapuluh satu jurus ilmu andalan Mahameru,
Brahmanagrha,
ternyata tak mampu membendung permainan
sepasang golok
lawan. Geni mendengar bunyi napas Macukunda sudah
ibarat
dengus kuda yang habis berlari jauh.
Suasana yang begitu sunyi dan lenggang
membuat dengus
napas ketua Mahameru terdengar lebih jelas.
Lelaki yang jadi
lawannya, seorang tua dengan jenggot dan
kumis putih bagai
salju tertawa terbahak-bahak. Lelaki itu
memutar golok
semakin gencar.
Geni melihat keadaan sudah semakin
berbahaya. Sesaat
lagi Macukunda akan roboh. Saat itu Geni
mendengar keluhan
seorang perempuan yang suaranya seperti ia
kenal. "Begitu
Macukunda roboh, habis sudah nama besar
tanah Jawa."
Wisang Geni berpikir sesaat. Ia bertanya
kepada
perempuan itu yang ternyata Rorowangi,
kekasih Setawastra.
"Apa maksudmu, oh kamu adik Rorowangi,
apa maksudmu
nama tanah Jawa habis?"
Rorowangi terkejut melihat Wisang Geni,
"Oh kamu Ki
Wisang Geni, kau sudah sembuh, syukurlah!
Kau baru datang
rupanya, jago-jago kita sudah kalah semua,
harapan tinggal
pada pendeta Macukunda. Tapi lihatlah
sendiri, apa masih ada
harapan?"
Tadi sebelum Geni tiba, sudah diselesaikan
empat
pertarungan. Kok Bun satu-satunya jago pihak
lawan yang
kalah, ia dikalahkan Ki Antaboga. Jago-jago
Kuangchou
lainnya menang meski pun lewat keunggulan
tipis.
Pak Beng mengalahkan dua lawan beruntun,
Antaboga dan
Sang Pamegat. Kemudian Liong Kam mengalahkan
Demung
Pragola. Jago nomor satu Kuangchou, Sam Hong
mengalahkan pendekar Merapi, Ki Sagotra
dalam pertarungan
yang paling seru. Dan kini yang sedang
dihadapi pendeta
Macukunda adalah jago nomor dua Cina, Sin
Thong.
Geni menoleh memandang Sekar dan Wulan yang
ikut
mendengar penuturan Rorowangi. Geni seperti
bisa membaca
pikiran Wulan.
Pikiran yang sama seperti apa yang ia
pikirkan. Ia tak bisa
berdiam diri, karena bagaimanapun juga hal
ini menyangkut
gengsi tanah Jawa. Tak sabar lagi, Wisang
Geni melompat ke
atas panggung dengan menggunakan jurus
Paghasa dari
Waringin Sungsang.
Begitu mendekat panggung pertarungan, Geni
mengibas
dua tangannya. Satu mengarah ke dada Sin
Thong. Satunya
lagi ke pendeta Macukunda. Gebrakan
tiba-tiba oleh Geni
mendatangkan kegaduhan di kalangan penonton.
Macukunda
dan Sin Thong yang sedang memusatkan
perhatian, merasa
ada serangan angin keras yang mendorong
mereka surut
beberapa langkah.
Sin Thong berteriak marah. Ia memaki dalam
bahasa Cina.
Wisang Geni tidak mengerti. Tetapi tiba-tiba
timbul humornya,
ia membalas dengan meniru perkataan Sin
Thong dalam logat
Jawa yang kental!
Suasana penonton yang tadi begitu sunyi
karena merasa
prihatin atas kekalahan jago-jago negeri
sendiri, berobah
gaduh. Mereka yang pernah hadir di Mahameru
dan Tajinan
menyaksikan sepak terjang Geni, kontan
berseru, "Itu Wisang
Geni!"
Dua bulan belakangan ini nama Wisang Geni
berkibar di
dunia kependekaran, dia dikenal hampir semua
pendekar silat.
Kemenangan atas Kalayawana dan sepasang
pendekar India
memang pantas jadi bahan kekaguman orang.
Kemarin pun
namanya disebut-sebut berkaitan kabar yang
mengatakan ia
gila lantaran melatih ilmu sesat.
Sin Thong memandang Wisang Geni dengan
amarah luar
biasa. Ia memaki dalam bahasa Cina. Geni
tertawa dingin,
balas memaki dengan meniru ucapan Sin Thong.
Amarah Sin
Thong memuncak.
Dari gebrakan Geni tadi, Sin Thong tahu
lawannya berilmu
tinggi Itu sebabnya sambil memaki, Sin Thong
menyerang
sengit. Sepasang goloknya, mengarah
empatbelas jalan darah
Geni. Melihat lawan begitu telengas, Geni
segera
mengerahkan jurus Sikepdehak yang inti
gerakannya adalah
tangkap dan dorong.
Geni seperti menyampok punggung golok dan
mendorongnya ke sisi berlawanan, gerakan itu
dilakukan
seperti tidak menggunakan tenaga, namun
hasilnya luar biasa.
Sepasang golok lawan saling beradu dan Sin
Thong terdorong
surut dua langkah.
Pada saat itu melayang dua sosok tubuh ke
atas panggung.
Geni mengenal yang wanita, yakni Mei Hwa,
yang sekarang
sudah menjadi isteri Manjangan Puguh,
gurunya. Seorang lagi,
lelaki kurus jangkung berusia sekitar
limapuluhan. Lelaki itu
menuding Macukunda dan berkata setengah
teriak dengan
logat Cina yang patah-patah. Rupanya ia
sedikit gagu Mei
Hwa menerjemahkan, ”beginikah jago tanah
jawa
bertanding, kalian sudah kalah, lantas mau
sengaja
mengacau, hayo cepat mengaku kalah!"
Wisang Geni balas membentak, "Siapa
kau, berani
mengatakan tanah Jawa kalah. Aku belum
bertanding
bagaimana bisa kalah?"
"Aku, Sam Hong dari partai Whu Than,
aku pemimpin
rombongan Kuangchou ini. Kau pura-pura tidak
tahu atau
memang matamu tidak melihat semua jago tanah
Jawa sudah
kalah!" Mei Hwa sibuk menerjemahkan
dari bahasa Cina ke
Jawa dan juga sebaliknya dari bahasa Jawa ke
bahasa Cina.
"Tidak bisa! Aku belum bertanding, tak
bisa dikatakan
tanah Jawa kalah! Kalau kalian sudah kalahkan
aku, baru
boleh temberang dan tepuk dada."
"Kamu siapa, kita sudah membuat aturan
sebelum
pertarungan dimulai, yaitu masing-masing
kubu diwakili lima
pendekar. Siapa yang menang paling akhir,
dia yang keluar
sebagai pemenang. Jago kalian sudah kalah semua.
Apalagi
yang mau dibicarakan!"
Wisang Geni tahu bahwa ia harus memancing
kemarahan
orang-orang Kuangchou agar mau membuka
pertarungan lagi.
Karena ia yakin dengan pengendalian Jurus
Penakluk Raja ia
akan mampu menghadapi siapa saja di pihak
lawan. Kalaupun
kalah, ia tak akan kecewa karena sudah
berusaha. Lagipula
inilah kesempatan bagus mengangkat kembali
citra dan
kebesaran nama Lemah Tulis.
"Hei, goblok! Aku adalah salah satu
peserta yang menang
di puncak Mahameru jadi aku berhak tarung
dengan kalian.
Lagipula pendeta Macukunda belum kalah, jadi
layak saja jika
aku maju menggantikan beliau."
Ketika itu Mei Hwa berbisik-bisik pada Sam
Hong. Sebelum
dia mengatakan sesuatu, Geni telah
mendahuluinya. "Ya,
bagus, Mei Hwa, kau seorang juru bahasa yang
pintar.
Katakan pada ketua partaimu itu, bahwa aku
punya ilmu
sangat tinggi. Aku adalah jagonya jago, jadi
kalau dia takut
suruh saja dia pulang ke Cina dan bertapa di
puncak gunung!"
Sam Hong berkata dengan nada hormat.
"Rupanya tuan
seorang ketua partai besar, tapi kenapa tuan
tidak menepati
janji. Tuan datang terlambat sehingga tempat
tuan diberikan
kepada teman pendekar lain."
Wisang Geni terdesak. Tapi ia tak mau kalah.
Ia menyahut
sembarangan. "Siapa bilang aku
terlambat, lihat aku berdiri di
sini, sekarang aku ambil kembali jatahku,
tidak salah kan?
Lagipula semua ini salahmu, kenapa kamu
tentukan hari
pertarungan pada hari perkawinanku. Aku
terpaksa kawin
dulu, baru datang ke sini."
"Benarkah, tuan merayakan pernikahan
dulu? Aku ucapkan
selamat, tapi mana isteri tuan apakah tuan
bawa serta?"
Saat itu juga Wulan dan Sekar melambungkan
tubuh dan
salto ke atas panggung. "Kenapa apa
ketua partai Whu Thang
tak percaya pada omongan suamiku?" kata
Wulan.
Sam Hong berulang-ulang memberi selamat
dengan
menjura. "Oh dua perempuan ini isteri
kamu. Tetapi sayang
aku tetap tak percaya omong kosong ini.
Lagipula jika benar,
perkawinan ini tak ada hubungannya dengan
pertarungan.
Aturan tetap aturan, tanah Jawa sudah kalah,
habis perkara."
Kini Wisang Geni benar-benar naik pitam.
"Hei, kau dan
kawanmu cepat pergi dari sini, sebelum
hidung kalian
kupindahkan ke pantat atau kaki kalian
kupindahkan ke
telinga. Kau tahu, kalian tak punya
keberanian menghadapi
aku, bilang saja takut dan berlutut di
depanku, baru aku beri
ampun!"
Sepasang mata Sam Hong berkilat. Ia marah.
Tiba-tiba Sin
Thong menghampiri Sam Hong dan bicara dalam
bahasa Cina.
Selang sesaat, Sam Hong berkata kepada
Wisang Geni dan
juga ditujukan kepada semua penonton.
"Baik, karena pendekar Wisang Geni
mendesak, maka kami
akan bertarung dengan dia. Tapi kalian harus
janji, setelah dia
kalah tak boleh ada lagi yang menantang
kami. Kalau kalian
sepakat baru kami siap!"
Semua penonton menjawab serempak
"Setuju!"
Sam Hong segera melompat turun bersama Mei
Hwa diikuti
pendeta Macukunda, Wulan dan Sekar. Tinggal
Wisang Geni
dan Sin Thong yang akan tarung.
Sin Thong memberi hormat, "Silahkan
tuan mengambil
senjata!"
Wisang Geni tertawa keras, sengaja pamer
tertawa dari
lembah kera kemudian menjawab, "Maaf,
aku tak pernah
pakai senjata!"
Tanpa sungkan Sin Thong menyerang sengit. Ia
memutar
sepasang goloknya bagai titiran dan
menyerang semua jalan
darah kematian. Geni menyambut dengan
tertawa dingin.
Terlihat ia seperti orang bersedih hati,
tangannya ditopang ke
dagu, dua kakinya seperti berjalan gontai,
tangannya yang
lain mendorong ke depan.
Percuma memutar goloknya dengan gencar, ada
tenaga
besar yang membuat Sin Thong terpukul
mundur. Pendekar
Kuangchou ini terkejut, ilmu apa itu dan
betapa besar tenaga
yang dikeluarkan Geni
Tetapi pendekar cina ini tak mengendurkan
serangan,
dalam sepuluh jurus ia sudah mengurung Geni
rapat rapat.
Terlihat kilat putaran golok di sekeliling
tubuh Geni. Tetapi
jangankan mengena telak, menyentuh kulit
Geni saja tak bisa.
Pendekar Lemah Tulis itu tak terjamah.
Geni melihat dan mencari kelemahan lawan. Ia
merasa
sudah cukup berlaku kendur, ia harus
secepatnya
menyelesaikan tarung pertama ini. Masih ada
beberapa tarung
lain yang akan dilaluinya. Segera ia
rciainkan jurus Prasada
Atishasha (Menara sangat tinggi) dari
Prasidha dengan
perasaan Prabhawa. Inilah Jurus Penakluk
Raja, ilmu dari
segala ilmu.
Kekuasaan atau sikap Prabhawa yang melapis
jurus
Prasada Atishasha yang merupakan penampilan
Jurus
Penakluk Raja itu berhasil membuat sepasang
golok Sin Thong
mental ke udara, tangan Geni terus melaju
menerobos
pertahanan dan menggedor pundak lawan.
Pendekar Cina itu
terpental keluar panggung. Dua goloknya
jatuh persis di
tangan Geni yang segera menekuk patah
menjadi delapan
potong. Sin Thong berdiri gontai, muntah
darah kemudian
terduduk lagi.
Wisang Geni seperti tak peduli keadaan
sekeliling, ia
memandang ke arah Sam Hong dengan pandangan
menghina.
Sam Hong merasa darahnya mendidih. Tapi
sebelum ia
melompat, Pak Beng melompat duluan. Tanpa
basa basi, Pak
Beng segera menyerang dengan tangan kosong.
Ia terkenal
dengan pukulan racun dingin. Antaboga dan
Sang Pamegat
yang kena hajar tangan dinginnya masih saja
menggigil
sampai sekarang. Wisang Geni tersenyum dan
berseru dengan
nada sinis, "Kau pamer tenaga dingin di
daerah panas, baik
aku mau lihat mana lebih dingin tenagamu
atau tenagaku?"
Sambil berkata demikian, Geni melontar
pukulan dengan
Jurus Penakluk Raja dengan aksi jurus
Nanawidha dari Bang
Bang Alum Alum dan rasa sikap hayu
(Keselamatan).
Hebatnya Jurus Penakluk Raja adalah rasa
diambil dari
delapan sikap jiwa sementara bhava atau aksi
tidak harus dari
Prasidha tapi bisa dengan jurus apa saja.
Mei Hwa masih saja rajin menerjemahkan semua
percakapan di atas panggung. Mendengar Geni
mau adu
tenaga pukulan dingin, diam-diam Pak Beng
merasa senang.
Ia yakin, sekali hantam Geni akan rubuh!
Sebab tenaga
dinginnya ini yang dilatih di puncak gunung
bersalju selama ini
tak pernah tertandingi. Di daratan Cina
hampir tak ada
pendekar yang berani adu tenaga dingin
dengannya.
Terdengar benturan tenaga, keras lawan
keras. Hawa
dingin menyambar ke mana-mana, penonton di
bawah
panggung merasa kedinginan, hampir beku.
Beberapa
benturan tenaga pukulan menyusul. Wisang
Geni menggelar
Jurus Penakluk Raja dengan Sringara sikap
Syura (Berani)
dengan menggabung empat jurus Nanawidha,
Gora Andaka,
Kinabasang, hokamandala semuanya dari Bang
Bang Alum
Alum. Tujuh kali terjadi benturan tenaga,
Geni tetap berdiri
tegar. Pak Beng juga berdiri, hanya mendadak
tubuhnya
menggigil hebat. Pak Beng roboh dengan wajah
keabu-abuan,
bibirnya pucat dengan tubuh gemetaran hebat.
Penonton bersorak riuh. Wajah semua anggota
tamu pucat
pasi. Tidak bisa tidak, kini Sam Hong harus
maju meski dalam
hati ia agak gentar. Tetapi ini masalah gengsi,
lebih baik mati
daripada menanggung malu. Sam Hong meloncat
ke
panggung. Ia berseru, suaranya menggema. Mei
Hwa
menerjemahkan. "Ketua Lemah Tulis
ternyata seorang
pendekar dengan ilmu kepandaian hebat, aku
kagum
dibuatnya. Terpaksa aku harus mencoba unjuk
kepandaianku
yang tak seberapa ini".
Wisang Geni menatap lawannya ini, yang
merupakan
pendekar kenamaan Cina dan juga kepala
rombongan. Ia
melihat ke dalam mata lawannya. Mata
lawannya itu bening,
jernih dan berbinar-binar. Itu tanda bahwa
Sam Hong memiliki
tenaga dalam hebat yang tak terukur.
Karenanya Geni tak
mau meremehkan lawannya ini. Diam-diam ia
menebak
lawannya pasti lebih tangguh dan lebih lihai
dibanding Sin
Thong ataupun Pak Beng.
Sam Hong bertanya yang diterjemahkan Mei
Hwa. "Aku
akan menanti di bawah panggung, sampai
pendekar Wisang
Geni merasa sudah cukup beristirahat, karena
aku tak mau
mengambil keuntungan dari keadaan tuan yang
letih."
Dengan nada angkuh dan sikap jumawa Wisang
Geni
menegaskan ia tak perlu istirahat.
"Tadi itu, aku hanya
melakukan pemanasan saja, karena aku tahu
bakal
menghadapi pendekar hebat dari Cina yang
bernama Sam
Hong. Nah silahkan tuan memulai!"
Pertarungan tak terelakkan, keduanya berlaga
dengan
tangan kosong. Sam Hong dengan delapanbelas
jurus Naga
Membalik Bumi diladeni Geni yang memainkan
Jurus Penakluk
Raja namun kini dengan jurus-jurus dari
Garudamukha
Prasidha yakni Sikbwiriya (Cintaku
kepadanya),
Sanakanilamatra (Sebesar angin terkecil),
Agniwisa (Pijar api),
Silmujugtundaghata (Menukik ke bawah),
Prasada Atishasha
(Menara tinggi bukan main), Akwamatyana
(Biarlah aku
membunuh) dan Kacakrawartyan (Penguasaan
dunia).
Tujuh jurus Prasidha yang diulang dua kali
putaran tak
membuat Sam Hong kesulitan. Sepertinya Geni
merasa tenaga
menghisap dari Prasidha ternyata tidak
berarti apa-apa bagi
Sam Hong. Pertarungan dari saat ke saat
semakin seru. Sam
Hong benar-benar seorang jago sejati Ilmu
Naga Membalik
Bumi merupakan gabungan tenaga keras dan
lunak, panas
dan dingin. Wisang Geni kewalahan, ilmu
Prasidha dan yang
diikuti Bang Bang Alum Alum tak berdaya
mengimbangi
kekuatan lawan.
Sam Hong benar-benar tangguh, jurus-jurusnya
penuh
perubahan yang membingungkan disertai
penggunaan tenaga
dalam hebat. Geni sekarang mengerti mengapa
pendekar
Merapi, Sagotra, dikalahkan pendekar kelas
wahid Wu Than
ini. Pada jurus limapuluh, tamparan keras
Sam Hong
menerobos dan menggenjot dada dan pundak
Geni.
Geni sempat menangkis sehingga pukulan itu
tidak
mengena telak dan tenaga pukulan juga sudah
hilang lebih
dari separuh. Kendali demikian, Geni merasa
darahnya
bergolak hebat, nyaris ia memuntahkan darah.
Sam Hong tahu
lawannya terluka, maka ia tak mau memberi
kesempatan. Ia
menyerang gencar dan telengas. Ia tak peduli
soal mati hidup
lagi. Dia ingin menang, agar kematian
putranya bisa
terungkap. Sesuai perjanjian jika tanah Jawa
kalah maka
seluruh pendekar tanah Jawa harus mencari
dan menemukan
pembunuh putra Sam Hong itu.
Wisang Geni terdesak, saat itu Sam Hong
memukul dari
dua arah berlawanan, gerakan menggunting
yang banyak
kembangan tipu, jurus Naga Langit Mengawini
Naga Bumi,
salah satu jurus paling hebat dan ganas dari
ilmuNagaMembalik Bumi. Geni dalam bahaya.
Tenaga
dalamnya masih belum teratur akibat pukulan
Sam Hong yang
cukup keras itu.
Dia tak punya jalan keluar. Sebab ia tahu
begitu menangkis
maka serangan kaki Sam Hong akan lebih
mengancam lagi. Ia
bisa membaca itu dari pasangan kuda-kuda Sam
Hong. Ini
soal mati dan hidup! Tidak ayal lagi, Geni
menggelar Waringin
Sungsang dengan sikap Harsa (Gembira).
Pukulan Sam Hong
jatuh di tempat kosong, Geni melejit mundur.
Sam Hong
memburu, "Mau lari ke mana kamu"
Katanya dalam bahasa
Cina.
Geni melejit mundur memutari panggung, Sam
Hong
mengejar dengan pukulan-pukulan mematikan.
Tetapi berkat
ilmu ringan tubuh Geni yang sangat mumpuni,
Sam Hong tak
mampu mengejarnya. Karuan membuat pendekar
Cina ini
semakin marah.
Dalam beberapa saat itu, memanfaatkan waktu
kejarkejaran
tadi, Geni berhasil menghimpun kembali
tenaga
Wiwaha meskipun dada dan pundaknya masih
sakit. Merasa
sudah cukup menghindar dan merasa tenaganya
sudah mulai
teratur, Geni kembali bertarung dalam jarak
dekat.
Tetapi jurus-jurus aneh dari Naga Membalik
Bumi kembali
unjuk keunggulan. Beberapa kali ancaman itu
nyaris menerpa
tubuh Geni. Pertarungan memasuki jurus
limapuluhan dan
Wisang Geni masih saja terdesak. Suatu
ketika Sam Hong
menghantam dengan jurus dahsyat Ekor Naga
Menghentak
Bumi. Tenaganya penuh, tampaknya Sam Hong
ingin adu
pukulan karena ia memang mengandalkan jurus
ampuhnya
itu.
Wisang Geni tak ingin terus berlari. Ia
ingin menyudahi
tarung secepatnya. Karenanya ia kerahkan
rasa Kapejah,
perasaan seseorang waktu hendak mati. Dan
Bahva yang ia
pilih adalah jurus Akwamatyana dari
Garudamukha Prasidha
(Biarlah aku mati atau kau yang mati).
"Plaak, plaak, plaak! Plaak, plaak,
plak! Dess, dess, desss!"
Sembilan kali benturan tangan dan kaki,
menimbulkan
suara keras. Penonton di bawah panggung
merasakan
kesiuran angin panas dan dingin. Untuk
pertama kalinya sejak
menguasai ilmu silat tingkat tinggi, baru
hari ini Geni
menemukan tandingan. Tenaga Sam Hong
sesungguhnya
masih di bawah kekuatan Wiwaha namun jurus
Naga
pendekar Cina itu bisa membuat tenaga
pukulannya ibarat
gelombang.
Adu pukulan itu menimbulkan akibat pada
kedua pendekar.
Geni merasa darahnya meluap kemudian mereda,
dadanya
merasa ngilu, dua lututnya bergetar hebat.
Tubuhnya oleng,
hampir jatuh. Mata jeli Geni sempat melihat
keadaan Sam
Hong.
Tampak mata Sam Hong melotot, tubuhnya
bergetar hebat.
Ia jatuh terduduk dengan posisi menghadap
Geni. Mendadak
dua kepalan tangan Sam Hong bergerak putar
ke atas
kemudian turun mengarah kepala sendiri. Sam
Hong hendak
bunuh diri! Wisang Geni berteriak,
"Jangan", sambil ia
melayang ke arah Sam Hong. Ia berupaya
hendak menahan
tangan Sam Hong, mencegah pendekar Cina itu
bunuh diri.
Ternyata tidak, Sam Hong merancang strategi
tipuan. Jika
Geni tidak berupaya menolong, paling tidak
Geni akan
terkejut. Saat itulah gerak tangan itu akan
berubah menjadi
jurus Lidah Api Naga Bumi Menelan Korban
menghantam
kepala dan dada lawan.
Jika Geni bergerak maju hendak menolong,
maka jurus itu
akan lebih mudah mengenai sasaran. Dan sudah
pasti akan
menelan korban. Geni bakal kena hantaman!
Sam Hong
terpaksa memainkan akal bulus ini, meski di
dalam hati ia
merasa malu dan risih. Bagi seorang pendekar
garis lurus,
menciderai lawan dengan cara membokong dan
berlaku
curang adalah suatu aib tersendiri.
Memang itulah yang terjadi! Geni bergerak
maju hendak
menolong. Geni melakukan itu tanpa persiapan
dan tidak tahu
bahwa di balik tipuan itu, ia akan diserang
dengan jurus
mematikan.
Sam Hong berteriak gembira. Begitu Geni
berada di
depannya, dua tangan yang mengarah kepala
sendiri itu
berubah arah, memutar di atas kepala dan
menghantam dada
Geni. Tenaganya penuh, Sam Hong telah
menguras seluruh
tenaganya disalurkan dalam jurus maut itu.
Jarak sangat
dekat, Geni tak punya peluang menghindar.
Semangat Geni
terbang. "Matilah aku!"
Di saat-saat terakhir itu, Geni pasrah
secara mutlak! Mati
sekarang atau mati besok sama saja, selamat
tinggal dunia,
selamat tinggal Wulan dan Sekar, isteri dan
kekasihku! Secara
naluriah sikapnya Sringara adalah Kapejah
kematian dan
Kemuka cinta. Ia pasrah mati, tetapi dalam
keadaan mencintai
dua kekasihnya. Namun sebagai manusia yang
ingin hidup,
tanpa sadar ia menarik dua bahunya merapat
ke dada sambil
dua tangannya berdekap melindungi dada
sekaligus
memainkan Bhava jurus Sikhmriya (Cintaku
kepadanya) dari
Garudamukha Prasidha.
"Desss, desss, desss, dess!"
Terdengar suara bentrokan tenaga. Dua tangan
Sam Hong
membentur dua tangan Geni yang melindungi
dada. Saat
berikut Sikhmriya beraksi, satu tangan tetap
menahan dua
tangan lawan, tangan lainnya diangkat ke
atas, berputar dan
mendorong ke depan. Tangannya telak
menghantam dada
Sam Hong, sambil ia berseru, "Kalau pun
harus mati, maka
kita mati berdua!"
Semua penonton menahan napas. Wisang Geni
terlempar
ke belakang sambil memuntahkan darah segar.
Sam Hong tak bersuara lagi, dadanya melesak
ke dalam,
tulang-tulangnya patah. Ia tewas di tempat.
Tragis, seorang
pendekar kenamaan dari daratan Cina, tewas
secara
memilukan di bukit Penanggungan. Berita ini
bakal
menggegerkan dunia persilatan di daratan
Cina.
Pada saat itu beberapa bayangan melompat ke
atas
panggung. Wulan dan Sekar segera merangkul
suaminya.
Wulan memangku kepala, Sekar memeluk
tubuhnya. Dua
perempuan cantik itu berseru dengan tangis,
"Geni, jangan
mati!"
Manjangan Puguh dan Gajah Waiu berjaga-jaga
di sisi Geni.
Saat berikutnya Geni membuka mata. "Aku
masih hidup.
Bagaimana dengan Sam Hong?" Ia memaksa
diri duduk
dengan dibantu dua isterinya. Ia melihat
beberapa pendekar
Cina memegang dan menggotong mayat Sam Hong.
Manjangan Puguh berkata lirih, "Sam
Hong mati!" Ia
memegang lengan Mei Hwa, isterinya Perempuan
Cina itu
bersandar di pundak suaminya Ada warna duka
dalam wajah
Mei Hwa Ia sudah pamit tadi sebelum
pertarungan, bahwa ia
tak akan kembali ke Cina karena mengikuti
suaminya,
Manjangan Puguh. Berita ini juga akan
membuat ibu Mei Hwa,
seorang pendekar kenamaan Sian Hwa, Dewi
Pedang Gurun
Gobi bersedih.
"Geni bagaimana lukamu?" Sekar
bertanya dengan suara
gemetar saking tegang memikirkan keselamatan
kekasihnya.
Tanpa mendengar jawaban Geni, sebenarnya ia
menyadari
luka suaminya cukup parah.
"Aku tak apa-apa. Luka ini memang cukup
parah, aku perlu
waktu satu bulan untuk sembuh" Geni
memandang wajah dua
isterinya yang tampak sayu dan bersimbah
airmata "Jikalau
saja tadi aku tidak mengingat kalian berdua,
mengingat cinta
kalian padaku dan merasakan cintaku pada
kalian, mungkin
aku sudah mati sekarang ini!" Dua
perempuan itu tak
mengerti apa hubungannya cinta dengan
pertarungan mati
hidup tadi, tetapi keduanya diam dan hanya
manggut saja.
Geni melanjutkan, "Tetapi Sam Hong,
sungguh kasihan,
harus mati seperti itu. Aku heran mengapa ia
mengambil jalan
pintas dan nekad. Ia memojokkan aku,
serangannya itu cuma
aku atau dia yang hidup. Salah seorang harus
mati! Bagiku tak
ada pilihan lagipula jurusku itu keluar
begitu saja untuk
menyelamatkan diri meski sebenarnya aku
sudah pasrah mati,
bagiku mati sekarang atau mati besok, sama
saja, mati dan
hidup pun, sama saja!"
0 komentar:
Posting Komentar