Wisang Geni memandang ke tenda Kalayawana.
Dilihatnya
lelaki itu, kurus kering bertelanjang dada
dan bercelana hitam
sebatas lutut. Kalayawana duduk dengan
pongah. Tiga
muridnya berdiri di dekatnya. Amarah Geni
meluap.
"Kalayawana, keluar kau, hayo kita
jajal siapa lebih jago!"
Tantangan Geni itu menggema ke mana-mana.
Semua mata
memandang bergantian, dari Wisang Geni ke
arah
Kalayawana.
Tapi Kalayawana duduk tenang, ia meludah ke
tanah.
"Puuii! Kau pikir dengan mengalahkan
Sempani pendekar
goblok itu, kau sudah bisa melawanku? Aku
malas
meladenimu!"
Murid Kalayawana yang paling tua,
Kalabendana, berseru
lantang. "Hei, dulu aku tendang
pantatmu, kau lari terkencingkencing.
Sekarang tak tahu diri menantang
guruku."
Murid yang kedua, Kalajudha ikut nimbrung.
"Kau belum
pantas melawan guruku. Biar kami bertiga
yang
memperkosamu. Atau kau tak punya nyali
menghadapi kami
bertiga?"
"Sudah jangan banyak bacot, turunlah
kalian bertiga. Hari
ini akan kubayar lunas, darah orangtuaku!
Ayah dan Ibu,
saksikan hari ini hutang nyawa ini kutagih
sekaligus bersama
bunganya!"
Tiga murid Kalayawana memasuki arena dengan
sikap
pongah dan takabur. "Heh, heh, heh,
ternyata dia ini anak
Sukesih si bahenol itu. Sayang waktu itu aku
tak sempat
mencicipi tubuhnya, dia terlalu cepat mati
di Ganter, sungguh
sayang!"
Suara Kalamasura itu mengiang di telinga
Wisang Geni.
Kata-kata itu merasuk sampai ke otak dan
membangkitkan
kemarahan yang luar biasa. Wisang Geni
melesat,
menggunakan Waringin Sungsang dan jurus
Manusup (Masuk
nyelinap) dari Garudamukha. Pukulannya
mengarah pelipis
dan dada Kalamasura.
Kalabendana dan Kalajudha menyergap dari
samping.
Keduanya menggunakan Pangrahata (Cara untuk
memperoleh
jasa) satu dari sebelas jurus ilmu
Ghandarwapati. Sekejap saja
terjadi pertarungan seru, satu lawan tiga.
Pertarungan
berjalan imbang.
Meski menghadapi tiga lawan, tetapi dengan
keunggulan
ilmu ringan tubuh dan tenaga dalamnya, Geni
memberikan
perlawanan hebat. Dalam duapuluh jurus
terlihat tiga murid
Kalayawana itu selalu menghindari bentrokan
tangan. Tahu
rupanya kalah dalam tenaga, tiga orang itu
secara diam-diam
menguras tenaga Geni. Mereka mengurung rapat
dan secara
cerdik bergantian menyerang. Dengan cara ini
Geni menjadi
tidak berdaya, setiap ia menyerang lawan,
dua lainnya
menyerang secara bebarengan.
Lambat laun Wisang Geni mulai keteter. Ia
mulai frustasi.
Ia tak pernah bisa menyerang tuntas. Karena
dalam
menyerang sesaat kemudian ia menjadi yang
diserang. "Kalau
begini terus, aku akan cepat lelah. Dan ini
berbahaya."
Sambil bertarung Geni berpikir. Tapi sampai
limapuluh
jurus, ia belum juga menemukan cara
bertarung yang terbaik
untuk mengatasi keroyokan tiga lawan. Orang
mulai melihat
Geni jatuh di bawah angin Wisang Geni tak
lagi bisa
menyerang. Ia hanya bisa menangkis dan bertahan
rapat dari
serangan lawan.
Mendadak terlihat perubahan drastis. Geni
yang cuma bisa
bertahan semakin kewalahan. Gerakan Geni
mendadak kacau.
Tiga pukulan telak mengena tubuhnya, paha,
punggung, dan
pundak. Hanya sebab dilapisi tenaga Wiwaha
Geni masih bisa
mengatasi pukulan tersebut. Tetapi itu saja
sudah pertanda
bahaya lebih besar sedang mengancam murid
Lemah Tulis itu.
Wulan dan Sekar, tampaknya paling panik di
kubu Lemah
Tulis. Begitu juga Padeksa, Manjangan Puguh,
Waning Hyun
dan rombongannya. Geni tampaknya bertarung
tidak wajar.
Ada sesuatu yang mengganggu pikiran lelaki
itu. Apa itu?
Wulan melihat-lihat ke sekeliling. Matanya
menetap di
tenda Kalayawana. Ia melihat iblis tua itu
sedang
memejamkan mata dengan duduk bersila. Wulan
berbisik
pada Manjangan Puguh yang duduk di
sampingnya. "Kakang,
kau lihat Kalayawana! Aku yakin ia sedang
mengirim ilmu
jarak jauh untuk mengacau pikiran Geni.
Seperti kecurangan
yang ia lakukan kepada Sindu pendekar Ujung
Pangkah itu."
Bukan saja Wulan dan Manjangan Puguh, tetapi
Padeksa,
Gajah Watu dan rombongan Ranggawuni juga
bisa membaca
ketidakberesan yang sedang mengganggu Geni.
Tiba-tiba
Waning Hyun berkata kepada tokoh separuh
baya yang dari
tadi berdiam diri. "Paman Pamegat,
berbuatlah sesuatu,
tarung itu tidak adil!"
Sang Pamegat, tokoh misterius itu menjawab
dengan
menggumam. "Tak usah khawatir, aku
pikir tak lama lagi
Wisang Geni akan tertawa keras yang pasti
akan melenyapkan
pengaruh sihir kuburan Gondomayu."
Suara yang seperti bergumam itu hanya
didengar oleh
Wulan dan orang sekitarnya. Orang lain tidak
mendengar
karena suaranya cukup lirih. Tetapi anehnya,
suara itu mampu
menerobos telinga Wisang Geni. Pemuda ini
mendengar
ucapan Sang Pamegat. Ia sadar kini, rupanya
Kalayawana
telah main gila.
Iblis Gondomayu itu menggunakan Angampuhan,
ilmu
menguasai gelombang aliran udara dalam
radius tertentu. Dan
Kalayawana hanya perlu mempengaruhi udara
sekitar Wisang
Geni. Hal ini yang menyebabkan Geni tak bisa
menguasai
pendengaran dengan baik. Akibatnya ia tak
lagi bisa membaca
atau mendengar serangan dari belakang dan
samping yang
memang tidak bisa dilihatnya.
Mendadak orang mendengar "Wisang Geni
berkata,
"Terimakasih tuan atas
petunjukmu!"
Orang-orang tak tahu kepada siapa ucapan
terimakasih itu
ditujukan. Orang juga tak tahu bagaimana
caranya, mendadak
terjadi perubahan di gelanggang tarung.
Wisang Geni tiba-tiba
berteriak keras. Teriakan seperti kera
sedang marah. Lalu
tampak pemandangan unik Geni memainkan jurus
sambil
berteriak, terkadang ia tertawa di lain saat
dia marah.
Pertarungan berubah. Kali ini Geni kembali
mengimbangi
lawan-lawannya.
Sambil teriak dan tertawa menirukan kera,
pikiran Geni
mencari jalan keluar. Keadaaan seperti ini
tak boleh tanpa
perubahan. Ia harus menemukan cara
secepatnya sebelum
keletihan membelit tubuhnya "Kalau saja
aku bisa mainkan
Garudamukha Prasidha pasti lain
keadaannya"
Tiba-tiba seberkas cahaya melintas
dibenaknya belakangan
ini, setiap ia memikirkan Prasidha selalu
cahaya itu seperti
berkelebat dibenaknya. Apa itu?
Dalam benak Geni saat itu terlintas ucapan
penari Kinanti
bahwa ia mengucapkan kalimat Parahwanta
Angentasana
Dukharnawa selalu pada saat tubuhnya seperti
terdorong ke
samping atau ke depan atau ke belakang.
Geni seperti menemukan jalan keluarnya, ia
menemukan
cahaya itu kembali, tetapi mendadak lenyap.
Geni merasa
frustasi. Tanpa sadar ia berhenti tertawa
dan berteriak.
Akibatnya ilmu Angampuhan Kalayawana kembali
mengganggu indera pendengarannya
Saat itu pertarungan memasuki jurus
keseratus dan detikdetik
paling genting. Kalabendana menerjang dengan
hantaman keras ke pinggang kiri. Pada
saatyang sama
Kalajudha menyerang dari depan ke bagian
bawah Geni, dua
kakinya menggunting sambil tangannya memukul
perut dan
selangkangan. Kalamasura menghajar pelipis
dan pinggang
dari samping kanan.
Tak ada jalan keluar lagi, Geni harus
menghadapi tiga
pasang kaki dan tiga pasang tangan dalam
satu serangan
yang serentak. Juga gangguan Ilmu Angampuhan
yang
mengacau keseimbangannya Geni dalam bahaya
besar!
Mendadak, cahaya itu datang kembali.
Pikirannya menjadi
terang. Kalimat itu cuma menjelaskan
bagaimana sikap jiwa
yang pasrah pada saat kematian akan datang.
Kalimat itu
terpecahkan sudah! Terpecahkan justru pada
saat Geni dalam
keadaan kritis! "Hendaknya aku menjadi
perahumu untuk
menyeberangi lautan kesusahan ".
Kalimat itu artinya
sederhana sekali. Geni sadar,
"menyeberangi kesusahan'
artinya Menyeberangi dunia Menjalani
Kematian. Dan ’Aku
menjadi perahumu’ artinya sesuatu yang
kosong. Sesuatu
yang hampa! Ternyata kalimat itu hanya satu
sikap jiwa, kunci
lain yang tak kalah penting adalah gerak
yang diperlihatkan
penari Kinanti.
Tadi malam, penari itu menuturkan bahwa ia
bergerak ke
kanan karena ia sepertinya menerima tenaga
dorong dari kiri.
Ia bergerak ke depan juga lantaran karena
adanya tenaga
dorong dari belakang atau dari arah
berlawanan.
Geni berlaku nekad. Ia yakin ampuhnya tenaga
Wiwaha. Ia
pernah merasakan bobot pukulan Kalajudha
sebelumnya dan
ia yakin bisa menahannya lagi apabila
rencananya gagal.
Tetapi kalau ia berhasil maka itulah
penemuannya yang paling
penting. Geni nekad menggunakan jurus
Prasidha, ia tak lagi
takut tenaganya tak akan tersalur. Karena
kini ia mainkan
jurus Kacakrawartyan tanpa memaksakan
penyaluran tenaga
dalam. Satu kakinya diangkat melindungi selangkangan.
Tangan kirinya membuat lingkaran kecil ke
samping
menyambut pukulan Kalabendana. Tangan
kanannya
mendorong ke kanan. Jurus Kacakrawatyan
(Menguasai dunia)
digelar Geni tanpa tenaga sedikit pun!
Tanpa tenaga! Geni bersikap pasrah, tak ada
paksaan
untuk menggunakan tenaga melindungi tubuh
atau menerima
pukulan lawan. Tubuhnya kosong! Geni pasrah!
Ia rela mati!
Ia tahu kematian akan mengantarnya menemui
ayah
bundanya!
Mata Wulan membelalak. Ia melihat kekasihnya
menggelar
ilmu Prasidha dan ia tahu persis Geni belum
mampu
memainkan ilmu itu. Geni bunuh diri! Tubuh
Wulan kejang, dia
tahu dia tak lagi akan melihat Geni. Wulan
menutup mata dan
menghela napas. Habis sudah segala-galanya.
Tamat!
Manjangan Puguh, Gajah Watu, Waning Hyun,
dan semua
orang di kubu Wisang Geni menghela napas
membayangkan
matinya seorang murid Lemah Tulis yang
begitu penuh bakat.
Tubuh mereka membeku! Perasaan mereka semua
mati!
Hanya dua orang di situ yang menatap dengan
harap-harap
cemas, Padeksa dan Sang Pamegat!
Terdengar pekik mengerikan dari gelanggang
tarung.
Kalamasura terlempar dua tombak. Darah
menyembur dari
mulurnya. Ia mati sebelum tubuhnya menyentuh
tanah. Apa
yang terjadi?
Itulah saat di mana misteri Garudamukha
Prasidha terkuak
oleh Wisang Geni. Pada akhirnya terlihatlah
betapa
sederhananya ilmu Prasidha itu. Intinya
hanya "meminjam
tenaga lawan" dan mengeluarkannya
kembali dengan sama
besar. Bahkan bisa lebih besar lagi apabila
ditambah tenaga
sendiri.
Pada saat Geni dalam keadaan kritis. Tiga
serangan
berbarengan itu tidak datang pada saat
bersamaan. Pukulan
Kalabendana datang lebih dulu masuk ke dalam
putaran
tangan kiri Geni. Disusul serangan Kalajudha
yang
menghantam perut dan kaki Geni. Yang
terakhir adalah
pukulan Kalamasura
Jurus Kacakrawartyan telah memakan korban
Kalamasura,
sebab pukulan dialah yang paling terakhir
mengena tubuh
Geni. Ternyata jurus Garudamukha Prasidhaitu
telah
menyerap tenaga Kalabendana dan Kalajudha
kemudian
diteruskan ke Kalamasura
Kalabendana dan Kalajudha memekik dahsyat.
Kalayawana
yang sedang memusatkan perhatian terkejut
setengah
mampus. Mana mungkin di dalam keadaan di
atas angin,
mendadak saja Kalamasura bisa mati?
Kejadian itu begitu cepat. Semua orang
terkejut. Lagi-lagi
Wisang Geni memperlihatkan hasil di luar
dugaan. Dalam
keadaan terdesak hebat dan terancam jiwanya,
bukannya dia
yang mati malahan lawan yang mati. Mati
secara mengerikan!
Ketika mendengar jeritan mengerikan, tanpa
kontrol lagi
Wulan membuka matanya Ia tahu, itu bukan
suara Wisang
Geni. Tapi toh matanya membelalak melihat
Wisang Geni
segar bugar, malahan salah satu lawannya
mati.
Tanpa sadar mata Wulan basah. Ia menangis
melihat
keberhasilan kekasihnya "Oh Jagad Dewa
Batara, akhirnya ia
berhasil menembus misteri itu!"
Sekar tak mengerti perkataan Wulan.
"Apa, kenapa
mhakyu?"
"Dia berhasil memecahkan misteri ilmu
silatnya, bahkan
jurusnya menjadi dahsyat!" tutur Wulan
sambil tersenyum
Di gelanggang tarung, Kalabendana dan
Kalajudha tak
sempat berpikir kenapa keadaan bisa berbalik
seperti itu. Dari
posisi unggul mendadak menjadi terpuruk
bahkan saudaranya
mati mengenaskan. Amarah telah menggerakkan
tangan dan
kaki mereka dalam serangan paling dahsyat
Kalabendana
menggelar jurus Bhayattaka (Hebat
menakutkan) yang
mengerikan. Kalajudha dengan Durghanda yang
menguarkan
bau busuk.
Wisang Geni masih terpesona dengan hasil
yang
diperolehnya. Ia melihat serangan datang.
Sekali lagi ia
mencoba Prasidha seakan ia tak mau
membiarkan
penemuannya lenyap lagi Sekarang ia mainkan
jurus
Ahwamatyana (Biarlah aku yang membunuh).
Sebagian dari serangan lawan itu sempat
terangkis,
sebagian lagi menerpa tubuh Geni. Pada saat
yang hampir
bersamaan, hanya terpatu sepersekian detik,
tangan Geni
bergerak seperti mengusir ayam. Dari
tangannya keluar
tenaga maha dahsyat, satu maha dingin dan
satunya lagi
maha panas.
Sekali lagi terlihat pemandangan mengerikan.
Kalabendana
dan Kalajudha terpental dua tombak. Tubuh
Kalabendana
menggigil hebat, dari mulut keluar darah
hitam, matanya
melotot. Dua tangannya rusak hebat, hampir
tak ada tulang
yang utuh. Tapi ia masih hidup. Jika ia
masih hidup,
saudaranya justru tewas. Kalajudha mati
sebelum menyentuh
tanah. Darah membusa dari mulurnya. Tubuhnya
seperti
hangus. Ia mati mengerikan!
Semua kejadian itu berlangsung cepat. Orang
belum
sempat berpikir jernih, ketika terdengar
jeritan berbarengan.
Wulan menjerit melihat Wisang Geni jatuh
terduduk seperti
orang kehabisan tenaga Satu jeritan lagi
keluar dari mulut
Kalayawana yang seperti terbang melesat
memasuki arena.
Belum pernah dalam hidupnya, ia kalap seperti
saat itu
ketika menyaksikan tiga murid kesayangannya
mati dihajar
Wisang Geni. Kalayawana kalap. Ia tak mampu
membendung
keinginan menghancurleburkan tubuh dan jasad
Wisang Geni.
Ia menerjang dengan ilmu paling telengas.
Jeritan
Akashawakya (Suara di mana-mana) seperti
menguasai
delapan penjuru angin serta jurus Daitya
Naraka (Raksasa dari
neraka). Amuknya Kalayawana saat itu seperti
sosok raksasa
yang menerjang keluar dari neraka
Pada saat bersamaan tiga bayangan berkelebat
Manjangan
Puguh melesat dengan Waringin Sungsangyang
paling handal.
Macukunda dan Gajah Watu seperti terbang
menggunakan
Kilat Tatit, ilmu ringan tubuh yang mungkin
bisa disejajarkan
dengan Waringin Sungsang.
Manjangan Puguh sampai lebih dulu di samping
Wisang
Geni. Tak ada orang yang boleh mengganggu
selembar pun
rambut Wisang Geni, putra dari perempuan
yang pernah
dicintainya Kalau saja muridnya ini sampai
mati, Manjangan
Puguh tak akan sanggup menemui Sukesih kelak
di alam baka.
Apa kata Sukesih kepadanya nanti.
Hampir bersamaan Macukunda pun tiba di sisi
Wisang Geni.
Mau tak mau pendeta Mahameru ini memuji ilmu
ringan tubuh
Manjangan Puguh. Sungguh benar kata orang
Waringin
Sungsang ilmu ringan tubuh dari perguruan
Merapi tak ada
tandingannya. Bagaimana lagi kalau dimainkan
oleh Ki
Sagotra, pendekar Merapi yang menjadi guru
Manjangan
Puguh?
Gajah Watu sengaja memotong jalannya
Kalayawana
Pertemuan antara dua jago di tengah udara
ini cukup
menggemparkan. Terdengar beberapa kak
bentrokan tangan
dan kaki, sebelum dua jago itu memisahkan
diri. Keduanya
saling tatap!
"Kalayawana, kau berilmu tinggi. Anak
muda itu sudah
kehabisan tenaga menghadapi empat
lawan!" Sambil bicara
pendeta Macukunda memasang kuda-kuda
Kalayawana terdiam Matanya melotot. Ia
memandang tak
percaya kepada tiga muridnya. Dua sudah mati
Kalabendana
masih hidup tapi seperti sudah mati.
Kalayawana menghampiri
Kalabendana. Airmatanya berlinang melihat
penderitaan
muridnya. "Guru, sempurnakanlah aku.
Maafkan aku, guru.
Aku belum sanggup membalas budimu.
Sempurnakan aku,
guru!"
Kalayawana dengan berlinang airmata menekan
dada
muridnya Kalabendana mati sudah!
Orangtua kurus itu menatap Wisang Geni
dengan sinar
mata yang sulit dibaca artinya Tatapan mata
itu punya arti
tunggal, kematian mengerikan. Kebetulan
Wisang Geni pun
sedang menatapnya. Tak terhindarkan lagi
bentrokan mata
dua pendekar yang saling dendam!
"Kalayawana, separuh dari hutangmu pada
ayah bundaku
sudah terbayar! Tinggal separuh lagi, yaitu
jiwamu yang
kotor!" kata Geni dengan datar dan
dingin.
Kalayawana sudah berhasil mengendalikan
diri. Mendadak
ia melepaskan tawanya yang mengerikan yang
dilapisi ilmu
Angampuhan. Pekiknya terdengar dahsyat dan
bergelombang
serta memantulkan gema ke mana-mana. Sambil
mengumandangkan teriakannya ia melangkah
terus menuju
tendanya. Beberapa pelayan perempuan dan
beberapa murid
angkatan keduanya tak berani bergerak
melihat paras
mengerikan sang guru.
Wisang Geni bangun berdiri. Ia terduduk tadi
bukannya
kehabisan tenaga tetapi disebabkan terlalu
gembira akan
keberhasilannya
Ia merunduk menyentuh kaki Manjangan Puguh.
Gurunya
menyuruhnya berdiri. Geni kemudian
membungkuk ke arah
Gajah Watu. Ia juga menoleh ke tenda di mana
Sang Pamegat
berdiri, ia tahu pendekar itulah yang
memberitahu cara
mengatasi pengaruh sihir Kalayawana tadi,
Geni memberi
hormat.
”Terimakasih atas peringatanmu tadi."
Wisang Geni kemudian menoleh dan membungkuk
hormat
kepada pendeta Macukunda. "Terimakasih,
paman pendeta
sudah bersusah payah melindungiku"
Macukunda mengelusus-elus jenggotnya. Ia
heran melihat
Wisang Geni sudah dalam keadaan segar
seperti tak
mengalami pertarungan melelahkan. Ia senang
dan simpati
melihat kelakuan anak muda ini yang sopan
dan begitu tahu
aturan dan tak memperlihatkan rasa sombong
meski memiliki
ilmu begitu tinggi. "Ho... ho... anak
muda, kau boleh istirahat
sekarang. Nanti akan datang giliranmu
lagi!"
Dalam sekejap saja, gelanggang sudah kosong.
Tiga mayat
murid Kalayawana itu sudah digotong keluar.
Pertarungan
masih berlanjut dua partai lagi ketika
matahari masuk ke
peraduan. Macukunda mengumumkan pertarungan
diistirahatkan, akan dilanjutkan esok pagi.
Malam itu, satu malam paling bahagia bagi
orang-orang
Lemah Tulis, Padeksa dan Gajah Watu sebagai
yang paling tua
dikunjungi banyak orang. Tigapuluh orang
lebih mengaku
murid Lemah Tulis yang lolos dari
pembantaian duapuluh lima
tahun silam. Selama ini mereka terpencar
cerai berai, tak tahu
harus ke mana. Mereka bersembunyi dan
menyamar sebagai
petani atau pedagang biasa yang tidak
mengerti silat.
Pertemuan itu sangat menggembirakan Usia
mereka masih
muda ketika meloloskan diri duapuluh lima
tahun lalu, kini
rata-rata usianya sudah di atas empatpuluhan
bahkan tidak
sedikit yang berusia lebih dari separuh
abad. Padeksa, Gajah
Watu, Geni dan Wulan sibuk memeriksa dan
melakukan tanya
jawab.
Tidak sulit menentukan benar tidaknya mereka
sebagai
murid Lemah Tulis sebab satu sama lain di
antara mereka
sendiri sudah saling kenal. Bahkan semua
mereka berpelukpelukan
kangen sambil menutur pengalaman. Sangat
mengharukan memang.
Mereka benar-benar murid Lemah Tulis. Empat
di
antaranya adalah murid Gubar Baleman, murid
tertua Bergawa
yang mati di medan perang Ganter. Tiga orang
murid
Ranggaseta, murid kedua Bergawayang gugur di
Lemah Tulis.
Dua orang murid Gajah Kuning, murid ketiga
Bergawayang
mati di Ganter. Dua orang murid Kebo Jawa,
murid keempat
Bergawayang gugur di Ganter.
Tiga murid Bergawa lainnya, Lembu Agra,
Sukesih dan
Walang Wulan tidak punya murid karena waktu
itu masih
terlalu muda. Dua murid Gajah Kuning memeluk
hangat
Wisang Geni. Keduanya sudah berusia lebih
dari
empatpuluhan dengan perawakan sedang. Yang
bercambang
lebat, orangnya agak hitam, Gajah Nila. Yang
seorang lag;,
rambutnya jarang, bernama Gajah Lengar.
Keduanya gembira
bahwa putra guru mereka, sudah berangkat
dewasa dengan
ilmu silat yang begitu menakjubkan. Wisang
Geni pun sangat
senang menjumpai Gajah Nila dan Gajah Lengar
yang
bagaikan keluarga mendiang orangtuanya.
Ia memaksa Gajah Nila dan Gajah Lengar
bercerita perihal
orangtuanya. Malam itu Wisang Geni
mengumpulkan kembali
serpihan kenangan yang telah hilang belasan
tahun silam.
Dalam hati ia bangga. Ayahnya adalah
pendekar yang
menjunjung kebenaran, tak mengenal takut
selama hidupnya.
Ibunya seorang pendekar wanita berhati
singa. Mereka gugur
secara jantan di Ganter. Orangtuanya itu
sering menjadi
penolong rakyat dalam setiap pengembaraan.
Mereka tidak
menyukai penindasan dan kejahatan yang
dilakukan si kuat
terhadap si lemah.
Di malam dingin itu, Padeksa dan Gajah Watu
mengumpulkan semua murid Lemah Tulis.
Sementara itu
sejak tadi, rombongan Sang Pamegat,
Ranggawuni, Mahisa
Campaka dan delapan pendekar Tumapel sudah
memisahkan
diri, tak mau mencampuri urusan Lemah Tulis.
Sekar juga
memisahkan diri, kepada Geni ia berpesan
agar
menjemputnya nanti di tenda Dewi Obat.
"Sudah suratan dewa, malam ini kita
bertemu di sini.
Setelah kangmas Branjangan dan ketua Bergawa
meninggal,
kini tinggal aku dan dimas Gajah Watu
sebagai yang paling
tua di Lemah Tulis. Muridku cuma seorang
yaitu Wisang Geni.
Dimas pun cuma punya satu murid, yakni
Waning Hyun. Ada
dua murid kakang Branjangan yang masih
hidup, Dipta dan
Prastawana. Sedang murid kakang Bergawa yang
masih
hidup, hanya Lembu Agra dan Walang Wulan.
Kalian perlu
tahu, Lembu Agra itu murid pengkhianat, dia
seorang
penyusup yang puluhan tahun tidak kita
ketahui, malam itu
dialah yang meracuni air minum kita dengan
racun pelemas
tulang, itu sebab kita tak berdaya ketika
diserbu pasukan Arok
dan para begundalnya."
"Kalau tak diracun pelemas tulang itu
kangmas Bergawa
dan Branjangan sulit dikalahkan. Jelas kini
bahwa Lembu Agra
bukan lagi orang Lemah Tulis. Nama aslinya,
Ki Jaranan, dia
adalah keturunan ketua partai Turangga dan
kini ia ketua
partai itu. Ilmunya tinggi, karenanya kalian
jangan coba
membenturnya."
Di tengah-tengah pertemuan itu, Prastawana
melontarkan
suatu gagasan yang ternyata disambut baik
semua orang.
"Paman guru sudah lama kita semua,
murid-murid Lemah
Tulis kehilangan arah. Selama ini kita
bagaikan anak ayam
kehilangan induk. Kenapa paman Padeksa
sebagai yang tertua
tidak tampil sebagai ketua Lemah Tulis dan
memimpin kami "
Padeksa menolak. "Tak bisa! Aku sudah
tua lagi pula yang
kalian butuhkan adalah seorang ketua yang
masih punya
harapan hidup lebih lama. Kakang Bergawa
ketika ditunjuk
sebagai ketua, pada saat itu usianya baru
duapuluh delapan
tahun. Aturan tak tertulis di perguruan kita
menegaskan
perihal ketua yang harus dipilih secara
bulat adalah seorang
murid setia yang masih muda dan dari
generasi berikut.
Kangmas Bergawa adalah ketua lama, maka
ketua baru harus
murid dari angkatan di bawah kangmas
Bergawa. Karenanya
aku tidak layak untuk dipilih."
"Tapi paman, Lemah Tulis sekarang ini
sangat butuh
seorang ketua. Kita harus bisa memanfaatkan
pertemuan ini
yang jarang bisa terselenggara Ini jelas
restu dewa semata
Bagaimana kalau saat ini kita manfaatkan
untuk memilih
seorang ketua?"
Padeksa dan Gajah Watu saling pandang
kemudian
menyetujuinya "Kami berdua sudah tua,
kami hanya
mengarahkan pemilihan ini agar berlaku adil
dan bebas tanpa
tekanan seseorang. Biarlah waktu saja yang
menentukan!"
Terdengar kasak-kusuk. Orang membicarakan
figur ketua
Tapi tak ada yang lebih cocok dari Wisang
Geni. Kehebatan
ilmu silatnya sudah terbukti Apalagi ia
sudah menguasai
Garudamukha Prasidha pusaka perguruan yang
paling tinggi.
Sebagai putra dua pendekar Lemah Tulis tak
perlu diragukan,
apalagi ia dibesarkan bahkan menjadi murid
tunggal Padeksa.
Keberanian Wisang Geni pun sukar dicari
duanya, seperti
saat ia menantang Kalayawana. Pekertinya
patut jadi teladan,
ia tidak sombong meski berilmu tinggi Lima
syarat utama itu,
berasal dari keturunan baik-baik, memiliki
sifat berani,
berkepandaian tinggi, muda usia dan baik
budi pekertinya
membuat Wisang Geni tak tersaingi. Semua
murid Lemah
Tulis, tanpa kecuali, sepakat memilih Wisang
Geni sebagai
ketua perguruan
Padeksa dan Gajah Watu gembira mengetahui
semua
murid memilih Wisang Geni sebagai calon
tunggal Kedua tetua
Lemah Tulis pun sama pendapatnya Suara bulat
telah memilih
Wisang Geni sebagai ketua Lemah Tulis
membuat anak muda
itu merasa kikuk dan malu.
Makin banyak orang mendesak, Wisang Geni
makin tak
mau menerima jabatan itu. "Tidak
mungkin aku bisa! Kalian
pilih orang lain saja! Masih banyak yang
lebih pantas dari aku!
Masih banyak orang yang lebih tua dan lebih
pandai daripada
aku!"
Namun begitu Walang Wulan, Waning Hyun,
Padeksa,
Gajah Watu dan Manjangan Puguh memaksanya,
Wisang Geni
tak bisa lagi mengelak. Malam itu Wisang
Geni dengan
upacara sederhana diangkat jadi ketua Lemah
Tulis yang
ketujuh.
Wisang Geni kemudian mengucap pidato singkat
"Kawankawan,
di antara kalian ada yang lebih tua
daripadaku. Hal ini
membuat aku agak kikuk memimpin. Tetapi
kepercayaan
kalian kepadaku dan tanggungjawabku sebagai
murid Lemah
Tulis, aku akan berusaha mengembalikan
kejayaan perguruan
kita. Kawan-kawan, bantulah aku, tanpa,
bantuan kalian aku
tak mungkin berhasil."
Malam itu suasana meriah di kubu Lemah
Tulis. Hampir tak
ada seorang murid pun bisa memejamkan mata.
Mereka
ngobrol satu sama lain, menceritakan masa
lalu dan
pengalaman masing-masing. Ketika cerita
bergeser kepada
ketuanyayang baru, mereka menyebut nama
Wisang Geni
dengan rasa kagum.
Saat itu Wisang Geni duduk ngobrol dengan
gurunya
Manjangan Puguh. Lelaki ini tak kuasa
menahan harunya, ia
memeluk Geni dengan penuh perasaan. "Aku
bangga padamu,
Geni!"
Mendengar cerita perjalanan dan pengalaman
pahit Geni
sampai ia memperoleh dan mempelajari jurus
Wiwaha ilmu
kelas tinggi itu, Manjangan Puguh makin
mengagumi
keberuntungan muridnya. "Aku rasanya
pernah mendengar
cerita guru Sagotra, bahwa pendekar Lalawa
itu sangat tinggi
ilmu silatnya dan hampir tak punya
tandingan, ia adalah
pendekar pembela kebenaran. Banyak musuh
dari golongan
hitam mati di tangannya, yang masih hidup
akan segera kabur
bersembunyi ke mana pendekar hebat itu lewat.
Kamu
beruntung mewarisi ilmunya, Geni."
Malam semakin larut, Padeksa menyuruh Wisang
Geni
istirahat "Kau perlu mengumpulkan
tenaga, besok kau akan
menghadapi pertarungan yang lebih
berat"
Saat itu seorang gadis cantik menghampiri
Wisang Geni
yang duduk bersama Padeksa, Gajah Watu dan
Manjangan
Puguh. Gadis itu membawa nampan berisi
makanan yang
masih hangat Ketika gadis itu meletakkan
nampan di dekat
kakinya, ia harus merunduk. Saat itu Geni
sempat melihat
belahan buah dada si gadis. Anak itu masih
remaja namun
dadanya penuh dan montok. "Kamu
siapa?"
Gadis itu terkejut mendengar sapaan
ketuanya. Ia gugup
dan tak berani menengadah memandang wajah
tampan sang
ketua. "Aku, namaku Prawesti."
Padeksa tertawa. "Ketua menanyakan
siapa kamu, murid
siapa?"
Saat itulah, Prastawana mendekal. "Dia
cucu kangmas
Gubar Baleman, sejak kecil dia tinggal
bersama suami isteri
Jayasatru, murid Ranggaseta. Hei, Westi,
beri hormat pada
ketua."
Di tenda juga berkumpul murid angkatan dua,
seperti Dyah
Mekar putri Ranggaseta, Kebo Lanang dan
Jayasatru murid
pertama dan kedua Ranggaseta, kemudian
Daraka dan
Margana murid Gubar Baleman. Mereka adalah
murid-murid
yang kebetulan keracunan sehingga dipaksa
Bergawa untuk
meninggalkan perguruan. Wisang Geni
memerhatikan gerakan
bokong Prawesti ketika gadis itu beringsut
mundur kemudian
melangkah menjauh keluar tenda. "Gadis
itu tak hanya cantik
juga montok dan subur," kata Geni dalam
hati.
Mendadak saja ia teringat Walang Wulan dan
Sekar. Ia
ingat Sekar sedang pulang ke tenda neneknya,
tetapi ke mana
Wulan? Ia memandang sekeliling tetapi Wulan
tak terlihat. Ia
keluar mencari keliling tenda. Ia melihat
seorang perempuan
duduk di bawah pohon. Tak salah lagi itu
Wulan!
Malamku cahaya rembulan cukup terang. Wisang
Geni
mendekat, ia terkejut melihat air mata
mengalir dari sepasang
mata indah itu. "Kenapa menangis,
Wulan?"
Wulan menoleh memandang Geni. Wajahnya yang
cantik
berbinar ditimpa cahaya rembulan. Wulan
menggeleng kepala,
rambutnya menyibak ke sana kemari. "Tak
apa-apa. Aku
hanya memikirkan kebahagiaanmu. Kau kini
jadi ketua Lemah
Tulis dan aku bawahanmu. Kau akan banyak
disanjung orang,
perempuan yang cantik-cantik dan muda-muda
akan
mengelilingi engkau. Aku tak tahu di mana
nanti aku berdiri."
Wisang Geni memegang dagu kekasihnya.
"Kau tetap
berdiri di sampingku. Dengan kau di sisi,
aku akan lebih kuat
dan lebih tegar menantang kesulitan. Wulan,
jangan berpikir
yang bukan-bukan. Sekali aku mencintaimu,
sampai mati pun
tak akan luntur."
Terdengar suara mendehem. Manjangan Puguh
tiba-tiba
saja sudah berada di situ. Dua sejoli itu
sama sekak tak
mendengar langkah orang. Keduanya
tersipu-sipu malu. "Geni
dan Wulan, aku sudah tahu hubungan kalian.
Ada yang perlu
kusampaikan, suatu rahasia tentang dirimu,
Wulan. Tak
mungkin aku menyimpannya lebih lama. Wulan,
kau bukan
adikku!"
Perkataan itu membuat ledakan di telinga
Geni dan Wulan.
Dua sejoli itu kaget luar biasa. Manjangan
Puguh melanjutkan.
"Wulan, ayahmu seorang pendekar paling
banyak musuhnya.
Ia tak mau orang tahu bahwa ia punya anak, ia
khawatir
dendam musuh-musuhnya akan ditimpakan kepada
putrinya.
Itu sebabnya kau dititipkan kepadaku, ia
memaksaku untuk
mengakuimu sebagai adik kandung. Rahasia ini
hanya aku
yang tahu, kini rahasia itu menjadi milik
kita bertiga!"
Wajah Wulan pucat. Ia ingin tahu siapa orang
tuanya.
Tetapi ia takut bertanya. Ia takut
jawabannya akan tidak
menggembirakan. Wisang Geni tidak bisa
menahan diri. "Siapa
orangtua Wulan, guru?"
Manjangan Puguh menengadah menatap bulan.
"Ayahmu
adalah seorang yang paling kuhormati dan
kusegani. Dia, adik
baginda raja Kertajaya."
Mulut Wulan terkunci. Wisang Geni bagai
disambar
geledek. "Maksud guru, pendekar Mahisa
Walungan?"
"Ya, Wulan masih berdarah biru, darah
keraton!"
Wulan makin tenggelam dalam kebingungan.
Selama ini
Manjangan Puguh mengatakan orang tuanya
telah mati sejak
ia kecil. Dia ingat usianya sepuluh tahun
ketika dua pendekar
datang menjemput dari tangan kakeknya. Sang
kakek
memperkenalkan Manjangan Puguh sebagai kakak
kandungnya. Pendekar yang satunya, tidak
dikenal, meski
tampak akrab dengan sang kakek. Sejak itu
dia dipelihara oleh
guru Sagotra dan Manjangan Puguh sampai
kemudian
diserahkan kepada pendekar Bergawa, ketua
Lemah Tulis.
Dan sejak itu Wulan hanya tahu ia adalah
murid Ki Bergawa
dari Lemah Tulis. Wulan tak pernah tahu
siapa orangtuanya,
dimana ia di lahirkan. Suatu waktu ia
bertanya kepada
Manjangan Puguh, "Kangmas kamu kan
kakakku, tentu kamu
tahu siapa orangtua kita, ayo ceritakan
padaku." Manjangan
Puguh tidak menjawab, hanya mengatakan,
"Belum saatnya
kamu tahu!"
Kini sudah saatnya, begitu pikir Wulan.
Namun ia tetap
bingung dihadapkan pada cerita baru, cerita
yang sebenarnya,
tentang orangtuanya. Ia hampir tidak
percaya, bahwa ia masih
berdarah keraton. Ayahnya adalah Mahisa
Walungan yang
terkenal. Tetapi apa hebatnya, toh tak ada
perubahan dalam
dirinya. Ia masih saja Wulan yang kemarin.
"Siapa ibuku,
kakang, oh, aku harus memanggilmu apa?"
"Apa artinya panggilan, panggil aku
sesuka hatimu. Wulan,
ayahmu adalah sahabatku. Kami bersahabat
sejak masih
muda. Kamu masih ingat ketika aku dan
seorang pendekar
datang menjemputmu, kakekmu tampak akrab
dengannya
tetapi mereka tak mau memperkenalkan diri.
Dialah ayahmu,
kakang Mahisa Walungan."
Mahisa Walungan, adik kesayangan baginda
raja Kertajaya.
Ia gemar merantau, sambil menambah
kepandaian ilmu
silatnya. Dia sering bertarung membela
kebenaran. Ia tak suka
melihat penindasan dari yang kuat terhadap
si lemah, atau si
kaya terhadap si miskin Tak jarang ia
menghukum pejabat
desa yang ketahuan menggui uk.m kekuasaan
semena-mena.
Ia seorang yang menyukai kebebasan dan tak
suka diikat
dalam adat istiadat keraton yang kaku.
Suatu saat Walungan memergoki sekelompok
perampok
yang menjarah desa. Desa kacau, hiruk pikuk
penduduk yang
hei larian dikejar penjahat. Mereka merampok
binatang
ternak, sapi, ayam, bebek, kambing, sapi,
kerbau, babi.
Mereka menjarah harta benda Mereka juga
memerkosa para
wanita. Mahisa Walungan datangtepat pada
saat para
penjahat belum lama beraksi.
Hari itu Walungan ngamuk, hampir seluruh perampok
itu
tewas ditebas pedang hitamnya yang tajam
luar biasa.
Perampok yang masih hidup lari serabutan ke
hutan. Ia
mendengar suara tangis di mana mana. Banyak
perempuan
menangisi suaminya yang luka sebagian bahkan
tewas.
Mendadak seorang perempuan tua berlumuran
darah
menghampiri Walungan. "Tuan pendekar,
kamu tolong
putriku, ia dibawa lari penjahat, ke arah
sana."
Tidak ayal lagi, Walungan berkelebat
mengejar ke arah
hutan yang ditunjuk perempuan tua itu. Tak
berapa lama ia
mendengar jeritan perempuan. Ia belum
terlambat. Setelah
menghajar penjahat itu sampai tewas, ia
menghampiri
perempuan. Ia terpesona melihat kecantikan
gadis itu yang
hampir telanjang lantaran pakaiannya sudah
dicabik-cabik si
penjahat Walungan membuka sarung yang
melingkat di
pinggangnya, kemudian menutupi tubuh gadis
itu. Dua pasang
mata saling menatap.
Pendekar penolong jatuh cinta pada gadis
yang ditolong. Si
gadis jatuh cinta pada sang pendekar.
Walungan menetap di
desa itu, kawin dan bercinta dengan gadis
cantik itu.
"Ayahmu tak pernah berpisah dari ibumu,
sampai ketika
ibumu meninggal satu hari setelah melahirkan
kamu. Sesaat
sebelum maut merenggut nyawanya, ibumu
memeluk kamu
dan memohon pada suaminya agar memberi nama
Walang
Wulan," tutur Manjangan Puguh.
"Siapa nama ibu?"
"Namanya indah, Wulan Sari, nama indah
seperti
kecantikannya. Ayahmu memperkenalkan aku
dengan ibumu,
sungguh aku belum pernah melihat wanita
secantik ibumu.
Dia juga wanita dan isteri yang sangat setia
dan telaten
melayani suaminya. Tidak heran ayahmu tak mau
berpisah
dengan ibumu
"Ibumu setia dan sangat mencintai
suaminya. Ia tak pernah
bertanya asal-usul suaminya. Ia tidak tahu
bahwa lelaki yang
mengawini dirinya adalah seorang pangeran,
adik dari raja
yang paling berkuasa pada jamannya. Pada
saat hendak
melahirkan ia bertanya pada suaminya dan ia
tidak heran
ketika mengetahui suaminya seorang pangeran.
Selama itu
ibumu dan penduduk desa mengenal ayahmu
sebagai
pendekar Nagapasa yang kesohor membela
kebenaran dan
pembasmi penjahat"
Wulan terpesona akan cerita itu. Ia
menangis. Tapi ia tak
tahu kenapa ia menangis. Ia tak pernah
mengenal siapa
orangtuanya.
"Wulan, ada titipan penting dari ayahmu
untukmu. Ia
menitipkan ilmu Nagapasa ciptaannya sendiri.
Ia meramu
jurus hebat itu dan seluruh pendalamannya
atas semua jurus
silat yang ia pelajari selama pengembaraan.
Kini hanya kamu
pemilik tunggal ilmu dahsyat itu, bersiaplah
aku akan
mengajarimu"
Pada saat itu Geni pamit diri. Dalam adat
istiadat
kependekaran, tabu bagi Geni ikut mendengar
latihan ilmu
Nagapasa.
"Ayahmu mengajarkannya kepadaku setelah
aku
membawamu ke Lemah Tulis. Ia memaksaku
berjanji."
"Apa janjimu, kangmas?"
Manjangan Puguh tersenyum "Iya, kau mau
tahu apa
janjiku? Aku tak boleh mati dalam perang,
aku harus
melindungimu sampai kau dewasa dan kawin
kelak."
Walang Wulan berdiam diri. Manjangan Puguh
menghela
nafas. Tak sanggup membendung kenangan
lamanya, ia
menceritakan juga tentang cintanya kepada
Sukesih, istri
sahabatnya. Dan Sukesih juga meminta hal
yang sama,
menyuruh ia melarikan diri dari perang untuk
menyelamatkan
Wisang Geni
Wulan menatap lelaki itu dengan pandangan
iba. "Itu
sebabnya kau begitu memerhatikan Wisang
Geni?"
"Kalian berdua adalah putra dan putri
dari sahabatku. Aku
senang mengetahui hubunganmu dengan Geni.
Sekarang
kamu bersiaplah, Wulan, menerima ilmu
warisan dari
ayahmu."
Manjangan Puguh kemudian mengajarkan ilmu
Nagapasa
yang seluruhnya terdiri dari 18 jurus.
Inilah ilmu yang
menggunakan telapak tangan sebagai senjata.
Pada tingkat
yang tinggi, tamparan Nagapasa bisa mematahkan
pedang
atau golok. Tenaga yang digunakan adalah
tenaga panas.
Semalaman Wulan berlath ilmu silat dibimbing
Manjangan
Puguh. Pada saat yang sama, Geni berlari ke
tenda Dewi Obat
dan mengajak Sekar ke hutan. Semalaman Geni
bercinta
meluapkan birahi dan cintanya pada Sekar.
Bagi Wisang Geni,
Sekar adalah seorang dewi yang nyaris
sempurna. Perempuan
yang tubuhnya indah dan molek, membuat dia
tergila-gila. Di
dalam tubuh indah itu, terkumpul kesetiaan
dan kepasrahan
yang membuat Geni kasmaran hampir setiap
saat. Sekar
ibarat danau yang membuat Wisang Geni ingin
berenang,
menyelam dan meminum air sebanyak-banyaknya.
Dan
semakin banyak dia menenggak air danau itu,
semakin dia
ketagihan. Sekar ibarat candu bagi Geni.
---ooo0dw0ooo---
Pendekar Nomor Satu
Matahari pagi masih malu-malu, embun dan
kabut belum
sepenuhnya pergi. Udara masih sangat dingin,
tetapi di sekitar
arena tarung tampak kesibukan orang. Murid
Mahameru lalu
lalang di sana sini, melayani semua tamu.
Meskipun di hari
kemarin sudah jatuh banyak korban, baik yang
mati atau pun
yang luka, tetapi tampaknya tamu tidak
berkurang.
Setelah pertarungan kemarin, hari kedua ini
tidak banyak
pendekar yang tersisa. Hanya penonton yang
banyak. Semua
orang tahu, pertarungan hari ini akan
melibatkan para
pendekar kelas wahid Akan ada tontonan
jurus-jurus tanah
Jawa yang paling hebat yang selama ini hanya
didengar orang
tetapi jarang terlihat
Saat pendeta Macukunda mengucap kata-kata
pembukaan
dimulainya pertarungan, seorang lelaki
melompat masuk
arena. Lelaki itu sudah tua, seluruh rambut
dan kumisnya
putih. Usianya lebih separuh abad. Wajah
lelaki itu ada bekas
bacokan memanjang dari dahi sampai ke dagu.
"Aku jauh-jauh
datang dari Ujung Kulon. Aku masih punya
hutang piutang
dengan Nyi Pancasona. Mana dia, kemarin aku
melihatnya ada
di sini?"
Sebuah bayangan melesat masuk arena. Ia
mendarat
seperti daun kering. "Mau apa kau,
Grajagan? Kita sudah tuatua
begini, masih saja kau tak mau melupakan
peristiwa
dulu?"
"Ha... ha... siapa bilang kau sudah
tua? Sona aku cuma
ingin memperlihatkan jurus baruku ini.
Limabelas tahun kulatih
ilmu Sewubraja ini dan belum sekalipun aku
menggunakan
jurus ini. Aku liati ya ingin kamu sendiri
yang menjajalnya, ayo
mari kita main-main!"
Nyi Pancasona mencabut pedangnya. Lelaki
yang bernama
Grajagan itu memasang kuda-kuda kosong. Saat
berikutnya
terjadi pertarungan sengit. Jurus pedang
Dala-dala perguruan
Goranggareng cukup terkenal di dunia
persilatan. Banyak
pendekar di situ yang sangat ingin melihat
sendiri jurus
pedang dahsyat yang dimainkan langsung oleh
ketua
perguruannya sendiri.
Bisa dibayangkan kehebatannya. Sinar pedang
berkelebat
menyilaukan, mengurung tubuh Grajagan. Jurus
demi jurus
berlalu tampak Nyi Pancasona menguasai
pertandingan.
Pedangnya mengurung, tidak memberi peluang Grajagan
meloloskan diri. Tetapi bagi mata para ahli,
justru pendekar
bernama Grajagan itu yang unggul.
Itulah pertarungan antara dua sifat yang
bertentangan.
Ilmu pedang Dala-dala mengutamakan kecepatan
dan
ketajaman pedang. Sedang jurus tangan kosong
Sewubraja
menggunakan telapak tangan sebagai senjata
lebih
memanfaatkan kelambatan untuk mengatasi
kecepatan.
Ilmu Sewubraja itu dimainkan dengan tenaga
dalam yang
hebat sehingga terlihat lambat Telapak
tangan yang dilatih
hebat itu bahkan tak perlu takut ketebas
pedang. Telapak
tangan itu kebal senjata dan bisa digunakan
menyabet atau
menangkis pedang.
Manjangan Puguh mencolek pundak Wulan,
"Jurus si lelaki
itu agak mirip jurus Nagapasa tapi ada
bedanya. Telapak
tangan sama punya kekebalan, hanya ilmu
ayahmu
mengutamakan gerak yang cepat dan tepat
Sedang ilmu
orang itu mendasari gerak dari sifat lambat
dan kaku."
Wulan mendengar petuah dan pelajaran
Manjangan Puguh
sambil tetap memerhatikan arena pertarungan.
Sinar pedang
itu makin lama makin memudar. Tiba-tiba
sinar pedang itu
terhenti. Nyi Pancasona melihat kutungan
pedang di
tangannya. Grajagan melihat wajah perempuan
itu yang
tampak kecewa. "Hei, Sona, kamu tidak
kalah, kita sama-sama
menang. Pedangmu patah, tetapi telapak
tanganku luka. Kau
lihat tanganku!"
Nyi Pancasona tertawa hambar.
"Grajagan, kau sengaja
melukai dirimu, aku akui kau sekarang sudah
hebat!"
"Sungguhkah jurusku hebat? Bagaimana
kalau dipadu
dengan Sagotra? Hai, ke mana Sagotra
sembunyi?"
Nyi Pancasona memutar tubuh sambil melempar
kutungan
pedang yang amblas ke dalam tanah. "Aku
tidak tahu, kau cari
sendiri".
Tahu-tahu sesosok bayangan melesat ke dalam
arena.
Gerakannya sulit diikuti mata. Mirip gerakan
Manjangan Puguh
ketika masuk arena. Bedanya, ketika
menginjak tanah
Manjangan Puguh masih membuat debu sedikit
mengepul.
Tetapi kaki orang tua itu sama sekali tidak
mengusik debu.
Bayangan yang baru masuk itu memandang Nyi
Pancasona
dan Grajagan bergantian. Mendadak ketiganya
tertawakeras.
"He... he... tak terasa kita sudah
sama-sama tua," kata orang
itu.
Pancasona memandang lelaki tua itu dengan
mata
berbinar. "Kemana kau sembunyi selama
duapuluh tahun? Kau
sengaja sembunyi dariku, Sagotra! Aku tidak
terima baik!"
Kecuali Manjangan Puguh, semua orang di situ
terkejut.
Ternyata orang tua itu, Ki Sagotra, yang
terkenal dengan
julukan pendekar Merapi. Ditegur Nyi
Pancasona, Sagotra
gugup. "Aku... ketagihan mancing...
main dengan ombak.
Oh... hebat, mancing di pulau Sempu? Kalian
pasti suka di
sana."
"Hei, Sagotra, begini saja. Kita
bertarung, kalau kau
menang kau ajak aku dan Sona ke pulailmu.
Tapi kalau aku
menang maka kalian berdua jadi tamuku di
Ujung Kulon.
Tempatku juga di tepi pantai, bisa mancing
dan ombaknya
setinggi Mahameru ini. Hayo, apa kau berani
jajal jurus
Semibraja ini?"
"Baik, hayo, kita tarung. Orang-orang
ini perlu juga melihat
Bang Bang Alum Alum yang asli. Kemarin,
murid si Manjangan
Puguh yang dari Lemah Tulis memainkan
jurusku itu, buruk
sekali!"
Sesaat kemudian dua jago tua itu bertarung
sengit.
Terdengar suara tangan beradu tangan, kaki
beradu kaki.
Mereka bertarung sengit, tapi kaki mereka
tidak membuat
debu naik dari permukaan tanah. Pertanda
keduanya punya
ilmu ringan tubuh yang mumpuni. Namun orang
bisa
membedakan bahwa ilmu ringan tubuh Ki
Sagotra masih jauh
di atas lawannya. Gerak kakinya tak mengusik
debu,
sementara gerak kaki Grajagan membuat
sebagian debu
mengepul. Mata Wisang Geni dan Manjangan
Puguh tak
berkedip. Tampaknya Ki Sagotra
memperlihatkan cara yang
paling benar memainkan ilmu Bang Bang Alum
Alum. Diamdiam
Geni dan Manjangan Puguh berterimakasih.
Suatu ketika Grajagan menampar dada Sagotra.
Tangan
yang satu lagi mendorong ke arah pinggang.
Pendekar Merapi
ini menangkis dengan jurus Lokamandhala
(Muka permukaan
bumi) dari Bang Bang Alum Alum. Dua tangan
beradu keras.
Sagotra terlempar dua tombak ke belakang.
Tubuhnya
melayang ringan kena dorongan tenaga lawan.
Tapi, tubuh itu terhenti di udara, dan
anehnya tanpa
kakinya memijak tanah, Sagotra melayang
balik ke arah
Grajagan. Sungguh ilmu ringan tubuh yang tak
mungkin bisa
digelar manusia.
Aneh tapi nyata ilmu Waringin Sungsang yang
tadi
diperlihatkan Sagotra itu tak pernah dilihat
orang sebelumnya.
Kontan saja Grajagan berteriak marah,
"Bangsat kau Sagotra,
kau menipuku, sampai mampus pun aku tak akan
bisa
menyamai kepandaianmu."
Pada saat itu pendeta Macukunda melesat
masuk arena. "Ki
Sagotra, kau harus ikut bertarung lawan
orang-orang negeri
Cina. Kau tak boleh lari bersembunyi
lagi."
"Aku tak mau..."
"Kau harus mau, Ki Sagotra. Ini
menyangkut gengsi tanah
Jawa, bukan persoalan pribadi kita. Kalau
kau menolak, berarti
kau bukan pendekar tanah Jawa!"
Nyi Pancasona melesat masuk gelanggang, ia
menggenggam tangan dua lelaki sahabatnya
itu, Sagotra dan
Grajagan. Tiga orang itu bergendengan tangan
meninggalkan
gelanggang tarung. Sambil melesat pergi, Nyi
Pancasona
berkata, "Hai Pendeta Macukunda kamu
tak usah khawatir,
pada saatnya nanti kamu hanya perlu kirim
kabar ke pulau
Sempu dan pendekar Merapi pasti akan datang
membantu."
Di gelanggang tarung tinggal pendeta
Macukunda seorang.
Merasa tak pantas keluar gelanggang sebelum
bertarung,
Macukunda memberi hormat ke sekeliling.
"Aku pendeta buruk
terpaksa menyediakan tulangku yang tua ini
untuk dijajal
orang, hanya sebab ingin membela gengsi
tanah Jawa. Tak
ada ambisiku untuk memperlihatkan ilmu.
Silahkan siapa yang
ingin menjajal tulang tua ini."
Tak ada orang bersuara. Sunyi senyap.
Macukunda kembali
mengulang tantangannya. Sesosok bayangan
melesat masuk
arena.
0 komentar:
Posting Komentar