Berapa lama ia semedi, ia tak sadar.
Mendadak pikirannya
tergugah. Bayangan gadis penari membayang di
depan
matanya. Satu demi satu gambaran jurus itu
muncul di
benaknya. Utuh! Bagai terbius ia bangkit
mengikuti gerak tari
si gadis. Ia mengurut tujuh jurus tari yang
sudah ia
sempurnakan dengan tujuh jurus yang
diajarkan Padeksa,
memainkan Garudamukha Prasidha.
Ia sadar kini jurus pusaka Lemah Tulis itu
sudah jadi
miliknya. "Tetapi aku tak lama lagi
akan mati, jurus dahsyat ini
akan ikut terkubur. Ini tak boleh terjadi,
aku harus berjuang
hidup, selamatkan jurus ini, menemui Wulan
dan Sekar,
membalas kematian orangtua dan guru-guruku.
Masih
banyakyang harus kukerjakan, aku tak boleh mati!"
Geni berlatih terus. Matahari terbenam
Lereng gunung
menjadi kelam Bagai kesurupan Geni berlatih
terus. Ketika ia
berhenti, mendadak saja ia berteriak kaget.
"Bukankah aku
sudah kehabisan tenaga, lantas mengapa aku
bisa bersilat
sepanjang siang? Dari mana datangnya
tenagaku, mungkinkah
dari jurus pusaka ini."
Berpikir demikian, Geni mencoba memukul.
Ternyata
pukulannya tak mengeluarkan tenaga besar.
Sama sekali tak
ada tenaga batin. Tetapi ia tak kecewa, ia
bahkan gembira,
lantaran merasa tubuhnya segar. "Ini
pasti berkat latihan
Garudamukha Prasidha tapi apa mungkin cuma
setengah hari
sudah mendatangkan manfaat sebesar
ini." Ia ingat petuah
Padeksa. "Jurus Garudamukha Prasidha
menyita waktu latihan
sekitar dua tahun. Itu pun jika orang itu
sudah punya tenaga
dalam hasil latihan sepuluh tahunan.
Sementara orang awam
yang tak punya tenaga batin terlatih, tak
mungkin bisa
menguasai jurus pusaka ini. Pada pokoknya
jurus pusaka ini
hanya bisa dilatih apabila kita memiliki
tenaga batin mumpuni,
sebab ilmu ini adalah untuk menyempurnakan
dan
meningkatkan tenaga batin yang sudah kira
miliki."
Ia tak tahu apa yang terjadi. Ia cuma tahu
tubuhnya kini
segar. Ia merasa gembira Namun mendadak saja
ia
menggeliat. Rasa dingin yang amat sangat
menusuk
tulangnya, ia menggigil hebat. Tubuhnya
terbanting dan
terguling. Tanpa sadar ia menggelinding ke
jurang terjal. Geni
merasa tubuhnya melayang. Dia jatuh ke dalam
jurang.
Tubuhnya menggigil tetapi ia berpikir cepat.
Ingin selamat.
Tangan menggapai apa yang bisa diraihnya.
Tubuhnya melayang di udara Ia melihat di
bawah gelap
gulita. Tetapi samar-samar di kegelapan
malam ia melihat
sebuah batu cadas menonjol. Tidak berpikir
lagi, dia spontan
bereaksi memutar tubuhnya dalam sikap
Makanjaran (Menari
dengan Lengan Terkembang). Di tengah udara
ia menari
memutar dua tangannya Aneh memang, dalam
keadaan kritis
itu mendadak muncul tenaga istimewa Jurus
Makanjaran yang
sempurna telah menyelamatkan nyawanya Ia
menggerakkan
tubuh sehinggakakinya menjejak tepat di atas
batu cadas itu.
Kakinya sakit. Tetapi ia selamat. Anehnya
rasa dingin
mendadak lenyap. Geni menengadah. Ada
sedikit cahaya
bulan. Tempat dari mana ia jatuh, tidak
terlalu tinggi. Tetapi
tak mungkin bisa naik ke sana, tebing sangat
terjal. Ke bawah,
gelap gulita "Lebih baik aku menanti
sampai matahari terbit."
Menanti terbitnya matahari, Geni duduk
semedi di batu
cadas yang tak terlalu luas. Ia berlatih,
menggerakkan tubuh
mengikuti jurus pusaka Garudamukha Prasidha
untuk
mengusir rasa dingin yang mengiringi
turunnya embun dan
kabut pegunungan. Ia tak perlu menanti lama,
menyaksikan
fajar mulai menyingsing. Matahari masih
sembunyi di ufuk
Timur namun cahayanya sudah menerangi alam
sekeliling.
Kini Geni bisa melihat ke bawah. Tak tampak
dasar. Embun
dan kabut menutupi pandangannya. Ke atas, ia
melihat
tebingyang terjal dengan permukaan yang
licin, mustahil ia
bisa memanjat ke atas. Lagipula menuruni
tebing jauh lebih
mudah dan lebih ringan dibanding memanjat ke
atas. Ia
memutuskan menuruni tebing, mungkin di dasar
jurang ada
kehidupan. Ia mengamati dengan teliti dalam
radius pendek ia
bisa melihat jelas. Tebing di bawahnya tidak
rata dan tidak
licin. Tampak beberapa batu menonjol, bisa
dijadikan
pegangan dan pijakan.
Manusia memang aneh. Kemarin dan hari-hari
sebelumnya,
Geni bahkan mencari mati, tak ingin hidup.
Tetapi sejak jatuh
dari tebing, semangatnya untuk hidup dan
menyelamatkan
nyawa justru menggebu. Ia ingat nasehat Dewi
Obat
kepadanya berdua Sekar, "Kalian musti
tabah, hidup harus
diperjuangkan. Geni, jika kamu menetap di
sini kamu pasti
mati muda, tetapi jika pergi memperjuangkan
hidup, adu
peluang kamu sembuh dan hidup lanjut. Saat
itu kalian bisa
bertemu lagi."
Tekadnya besar, semangatnya tinggi,
kemauannya keras
untuk mencari selamat. Satu-satunya jalan
menuruni tebing
menuju dasar jurang yang jaraknya tak bisa
diukur. Gagal pun
tak ada yang perlu dirisaukan. Gagal berarti
mati Dan soal
mati, ia sudah harus mati hari-hari kemarin,
mungkin juga
beberapa hari ke depan.
Menuruni tebing terjal yang penuh batu cadas
hanya
dengan tangan dan kaki sungguh penderitaan
yang menyiksa.
Cadas yang keras dan tajam telah merobek
tangan dan kaki.
Hampir sekujur tubuhnya lecet berdarah.
Namun Geni pantang
menyerah.
Ia memandang ke bawah, kabut menghalangi
pandangan
meskipun terik matahari mulai membakar.
Keringat dan darah
membasahi tubuh. Tulang dan ototnya meregang
menjerit
memohon istirahat. Geni bergerak terus. Ia
seakan tak peduli
apa yang akan terjadi. Ia membayangkan Sekar
sedang
menantinya di dasar jurang, Sekar dengan
kenikmatan
cintanya. Juga Wulan, perempuan montok itu
tergolek di
dalam goa di dasar jurang, tumit, betis dan
pahanya yang
indah menggodanya. Dua wanita itu sedang
menanti di dasar
jurang. Tetapi dasar jurang, belum juga
tampak. "Mungkin
aku harus menuruni jurang ini sampai ajal
menjemputku tetapi
apa peduliku, akan kulakukan sampai mati
pun," gumamnya.
Menuruni tebing jurang ia selalu melihat ke
bawah,
mencari-cari batu tempat pijakan. Suatu
ketika matanya
menangkap sesuatu yang bergerak, di bawah.
Selang sesaat
ketika lebih jauh menurun ia berteriak
gembira Itu pucuk
pepohonan. Semangatnya bangkit. Semakin
mendekati dasar
jurang semakin mudah menuruni tebing.
Ketika kakinya menginjak dasar jurang,
dengkulnya
menggeletar hebat diikuti tubuhnya yang
mengejang. Ia jatuh.
Ia berbaring diam karena tahu bahwa semuanya
itu
disebabkan keletihan yang amat sangat. Ia
tak mampu
menggerakkan kaki dan tangan. Ia melirik
tangannya, penuh
darah. Jari-jari dan telapak tangan luka,
lecet dan terkelupas.
Rasanya perih, seluruh rubuhnya perih. Ia
lama diam,
akhirnya tertidur pulas di bawah pohon besar
yang rindang.
---ooo0dw0ooo---
Pendekar Lalawa
Wajah Kalayawana tampak mengerikan, matanya
yang
hanya sebelah itu menyala seperti matahari.
Merah dan
memancarkan panas luar biasa. Orang jahat
itu tertawa keras
sambil melancarkan pukulan berantai. Wisang
Geni berusaha
mengelak tetapi tubuhnya tak mampu bergerak.
Dia merasa
sakit, tubuhnya terguncang keras dilanda
beberapa pukulan
Kalayawana. Saat berikut dia merasa tubuhnya
terlempar,
melayang-layang ke suatu tempat.
Tiba-tiba Wisang Geni melihat seorang dewi
yang cantik
muncul, wajah dan tubuhnya mirip Sekar.
Wajahnya cantik tak
ada bekas cacar. Dia berseru memanggil,
"Sekar!" Tetapi sang
dewi tidak menengok ke arahnya melainkan
mengejar dan
mengusir Kalayawana yang lari ketakutan.
Sang dewi balik
menghampirinya.
Wisang Geni masih merasakan dirinya
melayang-layang,
dan dia tak bisa menghentikan gerak
tubuhnya. Dia tak punya
daya untuk menguasai tubuhnya sendiri,
tenaganya lenyap.
Dalam ketidakberdayaan dia melihat sang dewi
tersenyum
padanya dan menarik dia turun ke bumi,
mengelus dan
memijit-mijit tubuhnya. Dia merasa aman dan
nyaman. Dia
memerhatikan sang dewi, ternyata bukan
Sekar, tetapi mirip
Sekar.
Mendadak dia melihat cahaya terang benderang
menerangi
alam. Cahaya itu menuju ke arahnya. Dia tak
bisa mengelak,
karena tubuhnya tak bisa bergerak. Cahaya
itu menerpa
kepalanya. Geni merasa kepalanya pecah.
Tetapi aneh, dia
tidak mati Dia membuka matanya. Samar-samar
dia melihat
sang dewi sedang memijit m tubuhnya. Saat
berikut, pelanpelan
wajah sang dewi yang tadinya cantik berubah
menjadi
kera yang menyeringai. Tidak hanya seekor
kera tetapi
beberapa ekor. Saking terkejut spontan dia
memejamkan
mata.
"Apakah aku sudah mati lalu dihidupkan
kembali dengan
wujud lain, wujud kera? Apakah aku hidup di
dunia kera? Tapi
ke mana perginya dewi cantik tadi yang telah
menolong aku?
Apakah tadi hanya mimpi?"
Tiba-tiba terdengar jeritan yang melengking
keras.
Kemudian sepasang tangan berbulu memeluk dan
menggendongnya. Geni masih tetap memejamkan
mata. Dia
merasakan tubuhnya digendong seseorang yang
tangannya
berbulu lebat. Apakah makhluk itu seekor
kera? Belum sempat
berpikir lebih jauh, dia merasa tubuhnya
melayang. "Apa yang
terjadi?" Dia membuka mata. Tampak
pohon-pohon dan
tebing berputar. "Celaka rupanya aku
dilempar." Pikirannya
belum stabil ketika dia merasa tubuhnya
kecebur dalam air.
Saking terkejutnya air menerobos masuk mulut
dan
hidungnya. Gerak refleks menolong diri, kaki
Geni menendang
air dan muncul ke permukaan.
Matanya masih nanar, pikirannya pelan-pelan
mulai bekerja
normal Dia melihat keliling. Ternyata dia
berada di sebuah
kolam besar yang diapit tebing-tebing
terjal. Jalan keluar dari
kolam hanya satu tepian. Tetapi di situ
berdiri sekumpulan
kera berteriak-teriak sambil menuding ke
arahnya. Geni
memberanikan diri berenang ke tepian, jika
tidak maka dia
akan tenggelam karena tenaganya masih belum
pulih.
Lagipula, air kolam itu panas, sangat panas.
"Oh ternyata aku belum mati," ia
ingat kini, ia berada di
dasar jurang setelah susah payah menuruni
tebing terjal.
"Rupanya di dasar jurang ini ada
kehidupan juga. Mungkinkah
ada manusia hidup di sini, atau cuma
kera-kera liar?" Banyak
pertanyaan belum terjawab, dia akhirnya
sampai di tepian
kolam meski berenang dengan susah payah.
Seekor kera besar, rupanya pemimpin di
antara mereka,
berteriak melengking. Teriakannya keras.
Teriakan itu
membuat kera-kera lain lari ketakutan dan
menyingkir jauh.
Kera besar kemudian membantu Geni duduk di
tepi kolam
Sesaat Geni tak tahu harus berbuat apa.
Seekor kera kecil
datang membawa bebuahan. Tidak banyak, hanya
dua.
Warnanya merah, ukuran dan bentuknya mirip
mangga Ia
menyodorkan kepada Geni. Rasanya enak, gurih
dan harum
baunya. Buah itu terasa dingin di mulut
namun terasa hangat
di perut.
Kera kecil melompat-lompat. Gembira. Kera
besar meraba
luka di tubuh Geni, lalu menunjuk kolam Geni
melihat lukalukanya,
kulit dan dagingnya lecet ketika menuruni
tebing.
Hampir tak ada bagian tubuh yang tidak luka.
Geni
memandang kera besar. Ia mengerti apa maksud
makhluk itu.
"Ia ingin aku mencuci luka dengan air
kolam," gumamnya.
Ketika ia meraup air untuk mencuci luka
tiba-tiba kera
besar mendorongnya. Ia terpental ke dalam
kolam Terdengar
suara riuh. Kera-kera itu berjingkrak sambil
tertawa. Riuh.
Wisang Geni merasa lucu, berenang ke tepian.
Tetapi kera
besar itu melompat-lompat dengan air muka
marah. Ketika
Geni merapat ke tepian, kera besar
immendorongnya kembali
ke air. Kera itu menuding ke suatu tempat.
Geni mengikuti arah yang ditunjuk. Itu
bagian kolam yang
paling ujung dan paling pojok. Di situ tidak
terlihat sesuatu
apa pun. Selain suara kera yang masih saja
bising, kolam itu
punya kesan teduh dan lengang. Bahkan ada
semacam
nuansa angker dan magis. Air kolam di bagian
pojok itu tidak
beriak. Seluruh permukaannya terselubung uap
panas yang
tebal. Geni berenang ke bagian itu.
Air di kolam itu panas. Tetapi makin
mendekati pojok
kolam, air semakin panas. Anehnya lagi, ia
merasa ada
mahluk hidup lain yang bergerak di bawah.
Sesuatu yang
menggerayangi dan menggelitik tubuhnya. Ia
menyelam.
Ternyata ikan. Jumlahnya banyak dan jinak.
Makin ke pojok kolam, air makin panas, uap
panas makin
tebal, membuat dia sulit untuk bernafas.
Geni tidak tahan
berlama-lama di situ. Tak hanya sulit
bernafas, panasnya air
seperti hendak merebus tubuhnya. Ia berbalik
arah berenang
ke tepian.
Mendekati tepi kolam, ia melihat kumpulan
kera itu
berjingkrak, menjerit dan melengking.
Tampaknya marah atau
tidak puas. Kera besar menggerakkan tangan,
menyuruh Geni
kembali ke pojok kolam. Geni merapat ke
tepian. Kera besar
menghalanginya, malah mendorong dia kembali
ke kolam Tak
sadar Geni berteriak, "Panas, aku tak
tahan! Istirahat dulu!"
Seakan mengerti, kera besar membantu Geni
naik dari
kolam. Ia mengajak Geni ke bagian lain
kolam. Kolam itu
besar dan luas. Memerhatikan lebih cermat
ternyata kolam
besar itu terdiri dua bagian yang menjadi
satu. Batas pemisah
hanya dinding batu kasar warna hitam.
Dinding itu nyaris tak
terlihat sebab terendam sedikit di bawah
permukaan air.
Memerhatikan lebih lanjut Geni menemukan
perbedaan.
Kolam di mana tadi ia berenang, ada uap yang
menyelimuti
hampir seluruh permukaan. Tetapi kolam yang
satu ini,
berbeda. Di bagian kolam ini tak ada uap
panas. Tampak uap
tipis dan bening mengambang di permukaan.
Kolam ini
kelihatan angker. Airnya tenang tak bergerak
seperti
menyimpan misteri.
Geni mendekati tepi kolam hendak meraup air.
Mendadak
kera besar mendorongnya. Begitu tubuhnya
tercebur di kolam,
Geni berteriak. Seperti pengalaman
sebelumnya, saking
terkejut tanpa sengaja ia meneguk air. Air
kolam itu dingin,
sangat dingin Tubuhnya seperti ditusuk
ribuan jarum es. Ia
menggigil hebat.
Cepat ia berenang ke tepian. Kera besar
melompat girang,
lalu mendorongnya kembali ke kolam Tubuh
Geni menggigil
hebat Giginya saling beradu. "Gila!
Dingin luar biasa, aku tak
tahan!"
Dia berenang ke tepian. Kali ini kera besar
berlaku baik,
menariknya keluar dari kolam. Begitu
menginjak tanah, Geni
langsung nyebur ke kolam air panas. Rasa
dinginnya mereda.
Ia keluar dari kolam, duduk di sebuah batu
besar dekat kolam
Kera besar tertawa sambil menunjuk dada
Geni. Ia melihat
luka-lukanya. Aneh, luka-luka itu tampak
bersih. Luka yang
kecil yang hanya tergores batu tajam, mulai
rapat Sedang luka
besar dan lebar memperlihatkan tanda-tanda
membaik.
Wisang Geni takjub. Dua kolam ini suatu
keajaiban alam.
Yang satu airnya panas luar biasa. Satu
lainnya dingin nyaris
membeku. Anehnya karena dinding batas yang
tidak tinggi, air
kedua kolam ini bercampur menjadi satu. Tapi
sifat panas dan
dingin itu tetap terpelihara Air yang panas
tak bisa
melenyapkan sifat dingin air kolam tetangga,
begitu
sebaliknya. Geni memandang sekeliling. Ke
mana dia
memandang ke situ matanya terbentur tebing
terjal bagai tak
berujung. Lembah itu menyerupai silmur
raksasa yang
dikelilingi tebing terjal. Tak mungkin bisa
didaki manusia
kecuali dia memiliki ilmu silat tinggi.
Tanahnya subur. Di mana-mana tampak
pepohonan
dengan daun rimbun serta buah-buahan warna
warni. Macammacam
buah. Melihat ini, dia tidak perlu khawatir
mati
kelaparan. "Mati? Aku masih hidup,
tetapi terpencil dan
terasing dalam jurang ini sama halnya dengan
mati Apakah ini
bentuk lain dari kematianku? Tetapi kenapa
aku harus peduli,
bagaimanapun juga ajalku sudah semakin
dekat," katanya
dalam hati
Dia tidak sempat melamun atau berpikir jauh,
kera besar
datang lagi mendorong. Dia tak bisa
menghindar, tercebur ke
kolam panas.
Kalau tadinya ilia merasa enggan, sekai ang
dia mencoba
menikmati bei main main di kolam panas.
Berganti-ganti dia
berenang di kolam dingin dan panas. Ketika
matahari
terbenam, Geni sudah mulai terbiasa dengan
panas dan
dinginnya air kolam. Ia juga mulai
bersahabat dengan kerakera.
Sikapnya pasrah. Tak ada yang bisa
dilakukannya untuk
keluar dari lembah. Lagipula, dia tak punya
kepentingan lagi
untuk keluar sebab bagaimanapun juga dia
akan mati Dan
mati di lembah ini atau mati di luar lembah,
sama saja, tak
ada bedanya, tetap sama, mati! Geni berpikir
sederhana, dia
harus pasrah menjalani hidup seperti apa
yang ada di depan
mata dan menikmatinya. Dia memang tak punya
pilihan. Dia
mencari tempat untuk bermalam, semacam goa.
Jika tak ada
goa maka dia berpikir akan membangun rumah
sederhana. Di
sekitarnya terdapat banyak pohon yang
rimbun. Tapi dia tak
punya perkakas. Setelah berkeliling akhirnya
dia menemukan
sebuah goa kecil, cukup untuk satu orang.
Dibantu kera-kera
ia membersihkan goa.
Tanpa disadarinya sudah tiga hari ia tinggal
di lembah. Tiap
hari bergaul dengan kera Makan buah,
menangkap ikan
kolam. Ikannya gemuk dan berlemak. Selama
itu dia hanya
sekali-sekali diserang rasa dingin. Geni
menghitung hari,
menurut perhitungan Dewi Obat, kemarin
seharusnya dia
sudah mati
Tetapi aneh. Bukan saja belum mati Malah
rasa dingin dan
nyeri mulai berkurang. Tampaknya ada
tanda-tanda sembuh.
"Tetapi benarkah, aku akan sembuh?
Apakah berkat khasiat
kolam dingin dan panas itu atau buah-buahan
dan ikan yang
kumakan? Barangkali juga tenagaku sudah
mulai pulih?"
Berpikir demikian, dia coba memukul udara
Tetapi tak ada
tanda-tanda tenaganya pulih. Tetap lemah
seperti manusia
biasa. Meskipun demikian kegembiraannya tak
berkurang.
Paling tidak tubuhnya kini segar dan racun
dingin itu tak lagi
merongrong tubuhnya
Hanya begitu teringat akan tugas kewajiban
yang diberikan
Padeksa, ia merasa kepala seperti digodam
palu besar.
Apakah seterusnya ia harus tinggal di lembah
ini? Bagaimana
dengan Lemah Tulis? Hutang jiwa orangtua dan
gurugurunya?
Bagaimana dengan Wulan dan Sekar, dua
perempuan yang dia cintai? Lalu Padeksa dan
Gajah Watu,
juga Manjangan Puguh?
Pertanyaan itu silih berganti menjejali
benak. Ia duduk
bersila, memusatkan pikiran untuk melupakan
semua
pertanyaan tadi. Dia berusaha mengingat
hal-hal lain,
mendadak dia teringat gadis molek yang
menari kinanti
l'mstdha. Dia ing.u kembali jin us-jurus
yang sudah
digabungnya selama beberapa hari kemarin. Ia
bangkit dan
mulai bersilat. Cukup lama ia berlatih, tak
disadarinya kerakera
bergerombol di sekelilingnya. Terdengar
celoteh bising.
Seekor di antaranya yang bertubuh besar
melangkah maju.
Ia berceloteh menunjuk Geni kemudian
memukul-mukul
dadanya sendiri. Setelah tiga hari bergaul
Geni mulai mengerti
apa maksudnya. "Oh, dia menantangku
berkelahi." Ia menoleh
memandang kera besar. Pemimpin kera itu
melompat-lompat
seperti tak sabar ingin menyaksikan
pertarungan "Celaka!
Kalau aku masih punya tenaga dalam, tentu
tidak sulit
mengatasi lawan ini. Tetapi dengan keadaanku
seperti
sekarang, sulit bagiku untuk menang."
Belum sempat Geni menentukan sikap dan
mengatur
strategi, ia sudah diserang. Dua tangan
lawan menerkam
mencakar dada dan kepala. Ia menghindar
dengan jurus
Parasada Sltishasha dari Garudamukha
Prasidha. Lutut kanan
terangkat, dua tangan mengembang, persis
sikap menara
tinggi yang menantang badai sebagaimana arti
dan makna
jurusnya.
Serangan lawan berhasil ditangkis. Tetapi
bentrokan tenaga
membuat Geni terdesak mundur dua langkah.
Seperti
mengerti unggul tenaga, kera itu mencecer
terus dengan
serangan cakar. Tak terhindarkan Geni
terpelanting,
terbanting keras ke tanah. Tiga kali cakar
kera itu melukai
dada dan pundak Geni, darah menetes.
Kera itu memburu terus, hendak menerkam dan
menghabisi Geni. Tiba-tiba terdengar
teriakan kera besar.
Suara lengkingnya keras. Kera yang jadi
lawan Geni, mundur
ketakutan dan bersembunyi di balik
kerilmunan kawannya.
Kera besar memapah Geni ke tepi kolam. Geni
sangat malu.
Hanya satu gebrakan, ia terjungkal di tangan
seekor kera.
Ingin rasanya ia sembunyi ke dalam tanah.
Kera besar
menunjuk dada Geni dan kolam Kemudian ia bergerak
seperti
orang bersilat Ia mengulangi lagi. Menunjuk
Geni, menunjuk
kolam, lalu bersilat lagi.
Wisang Geni tidak mengerti maksud kawannya,
menggeleng kepala. Kera besar berlari ke
sebuah batu besar.
Ia mengangkat batu dan melontarkan ke atas,
menangkapnya
dengan mudah. Dia melempar lagi dan
menangkap kembali.
Kera besar memainkan batu yang besar dan
berat itu seperti
anak laki-laki memainkan bola. Sekali lagi
kera besar
menunjuk Geni kemudian menunjuk kolam,
membusungkan
dada dan mengangkat dua tangan sambil
berteriak keras.
Terdengar dahsyat, gemanya dipantul tebing
berulang-ulang.
Geni kagum, ternyata sahabatya itu memiliki
tenaga luar
biasa. Dia akhirnya mengerti apa maksud si
kera besar.
"Menunjuk kolam, dia menyuruhku
berlatih di kolam supaya
kuat. Tapi bagaimana cara berlatih di kolam,
apakah hanya
berenang setiap hari?"
Dia belum mengerti. Tetapi dia sepertinya
merasa bahwa
kolam itu menyimpan misteri yang belum
terkuak. Dalam
beberapa hari itu, luka-luka di tubuhnya
sudah mengering dan
sembuh. Air kolam itu punya khasiat. Begitu
juga buahbuahan
dan ikan yang dimakannya setiap hari.
Tiba-tiba dia teringat kata-kata Dewi Obat,
"Kamu akan
sembuh dengan sendirinya apabila memiliki
tenaga panas dan
tenaga dingin pada taraf tinggi." Ia
berpikir keras.
"Mungkinkah aku bisa memperoleh tenaga
itu dari air kolam
ini? Sifat panas dan dingin kolam ini berada
di taraf paling
tinggi. Namun bagaimana cara memindahkan dua
tenaga
panas dan dingin menjadi bagian tubuhnya?
Kera besar memerhatikan Geni. Sepertinya dia
tahu
temannya sedang berpikir keras. Dia tak mau
mengganggu.
Dia menoleh ke kumpulan anak buahnya,
berteriak menyuruh
mereka bubar. Geni berpikir dan mencoba
menemukan cara
latihan, tetapi dia tak juga memperoleh
jawaban memuaskan.
"Biarlah mungkin aku akan memperoleh
jawabannya, masih
banyak waktu."
Pagi hari seperti biasa, ia berenang di
kolam. Berenang ke
sana kemari, menyelam dan memburu ikan. Ia
tak pernah bisa
menangkap ikan lagi. Selain tidak lagi
jinak, ikan itu selalu
bersembunyi di pojok kolam, bagian terdalam
yang tak
mampu didekati Geni. Pada kolam dingin, air
di pojokan itu
teramat dingin. Makin dekat semakin dingin
membeku. Geni
tak bisa mendekat Jika mengejar ikan dan
ikan itu berenang
memasuki daerah pojok itu, Geni terpaksa
balik badan. Tidak
tahan akan air dingin yang nyaris membekukan
darahnya.
Anehnya, meski begitu dinginnya, tetapi air
di situ tidak
membeku. Keadaan hampir sama di kolam panas,
Geni tak
pernah bisa memasuki kawasan pojok yang
airnya panas tidak
tertahankan.
Terbersit sesuatu dalam benaknya,
"Mengapa aku tidak
berusaha mendekati pojok dasar kolam, ada
apa sebenarnya
di bagian pojok itu?"
Pikiran ini membuatnya bersemangat. Ada
tantangan, dan
dia menyukai tantangan. Seharian dia
berusaha mendekati
pojokan itu. Sedikit demi sedikit ia mulai
mencapai kemajuan.
Dalam upaya menaklukkan pojokan kolam ia
teringat
petuah gurunya, Gubar Baleman. Ia masih
berusia sembilan
tahun waktu itu. "Geni, untuk mengejar
dan memperoleh
sesuatu, kamu harus sabar, tekun dan ulet.
Kamu harus bisa
bertahan di suatu tempat atau di suatu
keadaan yang kamu
sendiri sudah merasa tidak mungkin bisa
bertahan lagi. Itu
kunci kehidupan, Geni!"
Waktu berjalan terus. Setelah berjuang
selama enam hari,
Geni akhirnya bisa mendekati pojokan kolam.
Di pojokan dasar
kolam, di bagian sudut yang sempit, ada
lubang sebesar
kepala manusia. Hawa panas luar biasa
merembes keluar dari
situ. Rupanya itulah sumber tenaga panas. Di
kolam dingin,
lain lagi. Ada sebongkah batu sebesar kepala
manusia.
Warnanya putih mengkilat menerangi dasar
kolam. Geni
terkejut ketika meraba batu, sangat dingin.
Rupanya batu
itulah sumber air dingin. Anehnya tak ada
lilmut yang melekat
di batu itu. Anehnya juga, begitu dinginnya
tetapi air di
sekitarnya tidak membeku.
Geni merasa aneh, ketika menemukan lukisan
di dinding
kolam. Ia bisa melihat jelas karena
penerangan dari batu
putih. Ada empat kelompok lukisan. Satu
kelompok terdiri tiga
lukisan. Untuk memeriksa lebih teliti, Geni
naik ke permukaan,
menghirup udara, lalu menyelam lagi. Lukisan
itu seperti
digurat dengan benda tajam, namun melihat
kerasnya
dinding, jelas orang itu memiliki tenaga
dalam dahsyat.
Lukisan menggambar duabelas orang dalam
berbagai posisi.
Di atasnya ada tulisan bahasa Sansekerta.
Dari ujung kolam menuju
ukiran kera di tebing, di tengah
jarak itu aku menyimpan
jurus Wiwaha dptaanku, aku Lalawa,
pendekar tanpa tandingan.
Petunjuk itu singkat namun jelas. Geni naik
ke permukaan.
Mencari ujung kolam, mencari ukiran kera di
tebing. Mungkin
sudah lama dimakan usia, sebagian tebing
sudah dipenuhi
lilmut dan rumput liar. Ia tak putus asa,
mencari terus,
membersihkan tebing, mencari tebing yang
dimaksud. Hari
ketiga, ia menemukan lukisan kera
berjingkrak. Geni
menghitung jarak ke ujung kolam dingin,
empatpuluh empat
langkah. Ia melangkah balik dan berhenti
pada jarak langkah
duapuluh dua. "Di sini tepatnya, tempat
di mana pendekar
Lalawa menyimpan jurus Wiwaha, tetapi apa
itu jurus
Wiwaha, apakah jurus hebat? Pasti hebat,
karena di akhir
pesannya, pendekar itu menulis bahwa dia tak
punya
tandingan. Tidak punya tandingan, artinya
tidak bisa
dikalahkan. Luar biasa!" berpikir
demikian, Geni bersemangat
la menggali tempat itu dengan tombak
berkarat yang dia
temukan di dekat situ. Kera besar dan
kawannya ikut
menggali. Cepat sekali lubang menganga. Tak
lama kemudian
Geni merasa tombaknya membentur benda keras,
batu cadas.
Berulang kali ia menghantam, jangankan
hancur, lecet pun
tidak. Bahkan tombaknya bengkok. Ia terpaksa
menggali di
sekelilingnya. Ternyata permukaan batu itu
cukup luas. Batu
itu, warnanya hitam legam, permukaannya
rata.
Geni istirahat. Ia memandang permukaan batu.
"Apakah
aku salah menggali tempat, ataukah batu ini
hanya sebuah
peti? Barangkah ada petunjuk lebih
lanjut." Berpikir begitu
Geni membersihkan tanah yang lengket di
permukaan batu. Ia
menemukan tulisan Sansekerta diukir di
bagian atas batu.
Huruf kecil namun bisa dibaca dengan jelas.
Bahasa itu akrab
dengannya sebab sejak kecil ia dididik
membaca dan menulis
dalam bahasa Jawa kuno dan Sansekerta, baik
aksara maupun
Esan. Diam-diam dia berterimakasih pada
gurunya, Waragang.
Ia terkesiap ketika membacanya.
Kamu berjodoh menjadi
muridku, aku pendekar Lalawa, tak
punya tandingan di kolong
langit. Terimalah jurus Wiwaha
artinya perkawinan,
mengawinkan dua unsur panas dan dingin
menjadi tenaga batin.
Kalau kamu bodoh, kamu mati. Kalau
cerdas, kamu pantas
mewarisi jurus ini. Aku mencipta jurus ini
setelah menemukan kolam
dingin dan panas. Jantan betina,
siang malam, air panas
air dingin, semua bertentangan. Tapi
aku telah mengawinkan dua
unsur berlawanan itu dan
menyerapnya menjadi
tenaga dalam yang berkekuatan
dahsyat. Jika kolam ini
masih ada maka akan sangat
membantu dalam berlatih.
Perhatian dan pikiran Geni terpusat pada
rangkaian tulisan.
Petunjuk melatih tenaga batin di dalam air.
Seluruhnya ada
empat jurus yang harus dilatih berurutan.
Tulisan diakhiri
gambar kelelawar dan huruf
"Lalawa".
Orangtua dan semua gurunya banyak
menceritakan namanama
pendekar kosen jaman dulu, namun seingat
Geni dia tak
pernah mendengar nama Lalawa. Siapa pendekar
hebat itu,
yang tak punya tandingan di kolong langit.
Ia melanjutkan
penggalian, sampai batu itu muncul di
permukaan. Ia mencuci
batu, menemukan banyak tulisan di empat sisi
batu.
Ia merenung, memuji ketelitian dan
kecerdasan pendekar
Lalawa.
”Seandainya seseorang menemukan batu besar
dengan
tulisan itu, tak akan berguna. Sebab jurus
itu tak mungkin
dipelajari tanpa melihat gambar dan
keterangan kunci yang
diukir di dinding kolam dingin. "Ia
sengaja memisahkan
tempat simpanan ilmu sedemikian rupa
sehingga hanya yang
berjodoh yang bisa menemukan. Lagipula tak
akan ada orang
yang kesasar sampai di jurang tak
berpenghuni ini. Aku
kebetulan saja jatuh dan nyasar ke lembah
ini. Kalau aku tak
menemukan tulisan dan gambar di dasar kolam
dingin tak
mungkin aku bisa memperoleh ilmu ini. Cara
menyimpan ilmu
ini mirip cara leluhur Lemah Tulis menyimpan
jurus
Garudamukha Prasidha ke dalam tarian
Kinanti” katanya.
Ia menatap batu hitam. Ada perasaan akrab
dalam dirinya
menatap lukisan kelelawar dan nama Lalawa.
Dengan ilmu
Wiwaha pendekar Lalawa tak menemui tandingan
di kolong
langit. Begitu hebatkah ilmu itu. Jika ia
bisa mewarisi ilmu itu,
pasti lukanya akan sembuh, seperti kata Dewi
Obat bahwa ia
akan sembuh jika memperoleh tenaga panas dan
dingin pada
tingkat tinggi. "Tetapi berapa lama aku
mempelajari ilmu ini.
Ah, tak usah kupikirkan karena sebenarnya
aku sudah mati
beberapa hari lalu."
Geni bimbang, dia bertanya-tanya
sesungguhnya pendekar
Lalawa itu dari golongan bersih atau
kalangan sesat, selain itu
apakah boleh mempelajari dan mewarisi
ilmunya? Ia
kemudian teringat petuah gurunya, Mahisa
Walungan,
semasih dia kecil, "Geni, ilmu itu tak
ada yang sesat. Semua
ilmu pada dasarnya bersih dan lurus. Yang
kotor dan sesat
adalah orangnya. Batin yang kotor
memancarkan perbuatan
jahat, batin yang bersih mendorong seseorang
melakukan
perbuatan baik."
Keragu-raguannya lenyap. Dia tersenyum
kemudian
memberi hormat kepada tulisan nama Lalawa.
"Terimalah aku
sebagai muridmu, guru Lalawa, aku berjanji
akan melakukan
perbuatan mulia dengan jurus Wiwaha yang kau
wariskan
kepadaku."
Ia menoleh dan tersenyum ketika kera-kera
itu berjingkrak
gembira dan berceloteh senang. "Apakah
kera-kera ini turun
temurun lahir di lembah ini? Mungkin ratusan
tahun lalu,
kakek moyang mereka, pernah menjadi pelayan
guru Lalawa.
Kalau benar demikian, sungguh luar biasa
bahwa mereka
begitu setia pada pesan leluhurnya."
Ia tak membuang waktu lagi. Ia mulai
belajar. Inti ilmu
Wiwaha adalah menyerap panas dan dingin dari
luar tubuh
dan meresapkannya ke dalam tubuh, kemudian
mengelolanya
menjadi kekuatan batin yang jika disalurkan
keluar menjadi
tenaga dahsyat Jurus satu Tepung
Rapah Sambung Kalen
artinya mengawrnkan dua unsur yang
bertetangga.
Geni memang cerdas. Ia segera mengerti yang
dimaksud
jurus satu berkaitan dengan lukisan nomor
satu yang
dilihatnya di dasar kolam dingin. Lukisan
seorang berdiri dan
bertumpu pada ibu jari kaki, dua kaki lurus
dengan lutut
ditekuk, dua tangan terentang ke samping.
Latihan harus
dilakukan di dasar kolam bergantian di kolam
panas dan
dingin. Di kolam dingin, dua tangan
terentang dan digerakgerakkan
ke arah dalam sampai menyentuh dada. Di
kolam
panas gerakan kebalikannya. Gerak tangan dan
lutut yang
ditekuk dilakukan dengan lambat, makin lambat
makin bagus.
Setelah menguasai ini maka gerak di kolam
dingin diubah,
menjadi tangan digerakkan dari dada ke arah
luar sampai
terentang, sedang di kolam panas menjadi
kebalikannya. Jika
sudah menguasai latihan ini, maka
penyempurnaan jurus satu
dilakukan di udara terbuka, dari pagi,
siang, malam sampai
dini hari. Latihan sangat berat, tetapi
semangat Geni sangat
tinggi. Ia ingin menyelesaikan latihan dan
segera keluar dari
jurang ini.
0 komentar:
Posting Komentar