Keesokan pagi, Geni terbangun. Ia tak
melihat Sari di
tempatnya. Matanya mencari-cari ketika
telinganya
mendengar suara. Di antara gemuruh air
terjun, ada suara
lain. Ia mendengar kecipak air dan lantunan
kidung wanita.
Suaranya merdu, suara Sari. Diam-diam ia
menuju pintu goa.
Di mulut goa, di balik air terjun, terdapat
kolam. Air kolam
beriak dan berkecipak. Pagi itu kolam
terselimuti kabut dan
uap air. Geni melihat samar-samar tubuh
telanjang Sari yang
berenang kian kemari. "Oh, kemarin itu,
ia pura-pura tidak
bisa berenang, supaya aku menggendongnya.
Nyatanya dia
mahir berenang." Geni mengintip dan
melahap sepuasnya
tubuh molek Sari Kulit kuning sawo yang
begitu indahnya.
"Ambara, kalau sudah puas ngintip,
tolong kamu ambilkan
kain sarung milikmu itu," katanya
dengan suara cekikikan.
Geni ikut tertawa. "Sari, kamu cantik
dan tubuhmu indah."
Keduanya duduk di mulut goa sambil melahap
ikan marong.
Pagi itu matahari bersinar garang. Sinarnya
memantul
menembus tirai air terjun menerangi goa. Goa
itu terasa
hangat. Sari menyukai goa tersembunyi ini.
"Eh Ambara, kalau
kita hendak keluar goa, bagaimana caranya
supaya pakaian
tidak basah?"
"Tidak ada jalan lain kecuali berenang.
Kamu harus
berenang dengan berpakaian, kemudian
mengeringkan
pakaianmu di panas matahari. Bisa juga kau
berenang
telanjang, membungkus pakaianmu supaya tidak
basah."
Sari termenung. Geni memandang wajah cantik
itu. Tibatiba
terlintas dalam pikirannya, pertemuan
Mahameru "Sari,
dalam percakapan kita yang lalu, tampaknya
kau banyak
mengetahui tentang pertemuan Mahameru Aku
tidak tahu
maksud pertemuan itu, tetapi aku mendengar
omongan
orang, pertemuan itu akan dihadiri banyak
pendekar dengan
ilmu silat yang tinggi. Apa tujuan dan
maksud pertemuan itu?"
Belum lama berselang tersiar berita ke semua
penjuru
dunia kependekaran tanah Jawa, bahwa akan
ada pertemuan
besar di perguruan Mahameru pada hari
pertama bulan
Bhadrapada. Undangan sudah disebar ke semua
pendekar
kelas utama tanah Jawa. Semua diundang,
tidak peduli
apakah dari golongan putih atau golongan
hitam Pertemuan
itu untuk menentukan dan memilih lima pendekar
paling jago
di tanah Jawa yang akan mewakili tanah Jawa
menghadapi
tantangan para pendekar Kuangchou Lima
pendekar tanah
Jawa lawan lima jagoan Kuangchou, pada
tengah bulan
Aswina, empatpuluh lima hari setelah
pertemuan di Mahameru
Asal muasal tantangan itu menurut cerita
dari mulut ke
mulut, lantaran orang-orang Kuangchou
menuduh para
pendekar tanah Jawa bertanggungjawab
membunuh dan
merampok sekelompok pedagang Kuangchou di
dekat desa
Bareng sekitar kali Ginting pada bulan
Phalguna tahun lalu.
Rombongan pedagang Kuangchou dirampok,
tujuhbelas orang
Kuangchou dibunuh, hanya empat orang yang
lolos. Mereka
yang lolos pulang membawa berita ke
Kuangchou. Di antara
yang mati, salah seorangnya adalah pendekar
muda, putra
tunggal pendekar yang paling dihormati dan
disegani di
daratan Cina, Sam Hong.
Sampai sekarang ini, para pelaku perampokan
dan
pembunuhan itu belum ketahuan, siapa dan
dari kelompok
mana. Lantaran tidak tahu kepada siapa harus
menuntut
tanggngjawab dan membalas dendam, maka
orang-orang
Kuangchou melayangkan surat tantangan.
Perjanjian yang
disertakan cukup sederhana, jika para
pendekar Kuangchou
kalah, maka urusan selesai sampai di situ.
Jika Kuangchou
menang, maka semua pendekar tanah Jawa harus
mencari
dan menemukan pelakunya kemudian menyerahkan
kepada
pihak Kuangchou untuk diadili.
Selama gadis itu bercerita, Geni tak sesaat
pun melepas
pandangan dari kecantikan yang terpampang di
depan
matanya. Cara gadis itu bertutur melalui
gerak mulutnya yang
indah membuat Geni semakin terpesona.
Sari selesai bertutur, ia menegur Geni.
"Hei, kenapa kamu
memandangi aku terus-terusan?"
"Kamu cantik Sari, aku menyukaimu, aku,
aku
mencintaimu"
Sari terkejut. Tidak menduga kalimat itu
keluar dari mulut
Geni. Ia terpana memandang lelaki di
hadapannya itu. Ia tidak
bisa berkata-kata, mulurnya seakan terkunci.
Ia diam saja,
ketika tangan Geni yang kekar memeluknya.
"Sari, kenapa kau
diam?" Geni memegang dagunya, menatap
matanya. Sari
memejam mata, malu.
Geni mengecup bibirnya. Gadis itu diam tak
bereaksi, saat
berikut Sari bernafsu. Ia memegang kepala
dan menjambak
rambut Geni. Mulutnya yang tadinya diam,
berubah liar. Nafas
kedua insan itu semakin panas. Keduanya
bergumul
bergulingan di lantai goa. Tangan Geni
merambah ke seluruh
tubuhnya. Sari terengah-engah, mendadak ia
mendorong
tubuh Geni, melepaskan diri dari pelukan.
Geni terengah-engah menahan birahi,
bertanya, "Kenapa,
kamu tidak suka ?"
Masih terengah-engah, Sari tertawa.
"Kamu bodoh, apakah
barusan tadi itu tandanya aku tidak suka
atau tandanya aku
suka?"
Geni memeluk Sari, menciumnya lagi. Sari
merapatkan
tubuhnya, balas mencium dengan bernafsu.
Sesaat kemudian
ia melepaskan din. "Ambara, jangan
sekarang, lukaku masih
sakit. Terutama luka di bagian dada. Lukanya
belum kering."
Ia tertawa sambil mendorong tubuh Geni.
Lelaki ini
memegang tangannya, sekali lagi ia
menggumuli tubuh si
gadis. "Jangan sekarang," kata
Sari. Ia berbisik di telinga Geni.
"Tunggu tiga malam lagi, saat itu
lukaku pasti sudah kering,
tidak perih lagi."
Melewati dua hari Geni berlatih silat di air
terjun. Seperti
biasa, ia tidak berlatih jurus Garudamurkha,
ia memperlancar
jurus Bang Bang Alam Alam dan Waringin
Sungsang. Ia
menyembunyikan asal-usulnya. Sementara Sari
lebih sering
menghabiskan waktu di dalam goa, berlatih
tenaga dalam.
Sesungguhnya tenaga dalamnya sudah pulih.
Namun ia perlu
waktu memikirkan hubungannya dengan lelaki
bernama
Ambara itu. "Ini hubungan yang aneh dan
unik. Baru satu hari
berkenalan dia sudah menyatakan mencintaiku,
apakah
bukannya nafsu birahi, mungkin juga dia
mengatur siasat dan
tipuan. Dia hanya mengincar tubuhku, setelah
menikmati
tubuhku, dia akan pergi meninggalkan aku. Ia
akan
menertawakan aku. Tetapi mungkinkah dia
selicik itu?"
Dua hari dilalui Geni dan Sari hanya dalam
batas
percakapan. Geni sudah tergila-gila akan
pesona wajah dan
tubuh Sari. Tiap saat memandang Sari, nafsu
birahinya
bergejolak. Tetapi hasratnya tak pernah
terpenuhi. Beberapa
kali keduanya berciuman, berpelukan dan
bergumul Hanya
sebatas itu. Pada akhirnya Sari mendorong
dan menolak
secara halus.
Malam ku, ketika Sari sudah lelap dalam
tidur, ia
terbangun. Ia merasa seseorang menciumi
kakinya. "Ambara,
apa yang kau lakukan, mengapa menciumi
kakiku?"
Geni tetap menciumi betis dan dengkul si
gadis. Sari
merasa geli tetapi tidak berniat menarik
kakinya, tidak juga
menertawakan karena khawatir lelaki itu
tersinggung. Geni
berkata lirih. "Sari, aku mohon maaf.
Aku sudah kasmaran,
tidak ada obatnya kecuali mendapatkan kau
sebagai isteriku."
Malam itu setelah selama tiga hari tinggal
bersama Geni
dalam goa, Sari telah memantapkan
keputusannya. "Malam ini
saatnya aku berterus-terang, agar semuanya
tidak menjadi
kacau," katanya dalam hati Ia lalu
mengumpulkan
keberaniannya "Ambara, aku mengerti
perasaanmu. Tetapi
kita baru tiga hari berkenalan, aku belum
mengenal kamu dan
kamu juga belum mengenal aku secara
keseluruhan. Aku pikir
mungkin kamu hanya terpengaruh nafsu. Kita
perlu waktu
untuk lebih mengenal diri
masing-masing."
Lelaki itu tersentak. "Apakah memang
aku terpengaruh
nafsu birahi seperti yang ia katakan?"
Geni membantah
pikirannya. "Sari aku tidak terpengaruh
nafsu, aku benarbenar
mencintaimu, aku tidak main-main."
"Ambara, kamu tidak mengenal aku, kamu
tidak tahu
bahwa aku sebenarnya lebih tua usia dari
kamu Aku juga
bukan gadis perawan seperti bayanganmu, aku
sudah tua."
Geni tertawa lirih, agak tersinggung.
"Tak mungkin. Usiaku
tigapuluh lima tahun, kamu kutaksir sekitar
duapuluh, bahkan
mungkin delapanbelas atau sembilanbelas. Kau
jangan
mencari-cari alasan. Aku tahu kamu juga mencintaiku,
aku
melihat itu di matamu Kau tak bisa menipu
dirimu sendiri."
"Kamu harus percaya! Apa yang kukatakan
adalah
sesungguhnya, usiaku empatpuluh dua tahun.
Memang aku
tampak muda, awet muda karena aku berlatih
ilmu Karma
Amamadang dari pendekar tua asal desa
Panawijen. Aku juga
sudah tidak perawan lagi, sudah dua lelaki
yang pernah
meniduriku."
Geni tertawa geli.
"Kenapa tertawa? Kamu menertawakan
aku?" Sari
cemberut.
"Tidak, aku tidak menertawakan kamu Aku
geli mendengar
alasan itu. Bagiku, semua itu tidak ada
artinya. Aku tetap
mencintaimu, apakah kamu berusia empatpuluh
dua tahun,
apakah kamu lebih tua dari aku, apakah kamu
sudah tidak
perawan lagi, apakah kamu sudah pernah
bercinta dengan
dua orang lelaki sebelumnya, semua itu aku
tidak peduli. Aku
mencintaimu karena keadaanmu sekarang ini
dan tak ada
hubungannya dengan masa lalumu"
"Kamu gila!"
"Ya memang aku gila, sudah kukatakan
padamu, aku
kasmaran dan mencintaimu, tak ada obatnya
kecuali
menjadikan kamu isteriku, aku
bersungguh-sungguh."
Sari menatap lelaki itu dengan pandangan
penuh arti cinta.
"Sini Ambara, kekasihku, peluk
aku."
Geni mendekap tubuh molek itu, menciumi
wajahnya.
"Kamu mau menjadi isteriku? Apakah kamu
juga
mencintaiku?"
Sari mengangguk, membalas ciuman dengan
bernafsu.
Namun saat Geni sudah tak mampu
mengendalikan diri,
seperti biasa Sari menolak tubuhnya.
Geni bertanya, "Kenapa?"
Sari mencium dada lelaki itu, merasakan
keringat dan bau
khas lelaki bernama Ambara. "Aku pernah
dikecewakan lelaki,
mereka hanya menginginkan tubuhku, setelah
puas mereka
pergi dan tak pernah kembali. Ambara,
kuharap kamu
mengerti keadaanku, aku percaya kamu
mencintaiku, aku pun
mencintaimu, tetapi aku masih bingung apakah
ini yang
disebut cinta ataukah hanya nafsu birahi
belaka."
Geni mengecup mulurnya. "Aku akan sabar
menunggu
sampai kau siap menerimaku. Aku sangat
mencintaimu Sari."
Sari memeluk lelaki itu "Aku juga
mencintaimu Ambara,
apakah sudah ada wanita lain dalam hidupmu
?"
”Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang
membuat aku
jatuh cinta dan kasmaran seperti kepadamu
sekarang ini.
Memang ada beberapa perempuan yang singgah
dalam
hidupku, tetapi mereka hanya melintas, tidak
ada yang
istimewa. Hanya kamu yang istimewa, Sari ”
Setelah lima hari berdiam di goa, tenaga
Sari sudah pulih
seperti sediakala. Pagi itu, kedua insan
yang sedang jatuh
cinta itu sepakat bepergian bersama. Mereka
menuju Selatan
menyusur kali Bangu. Di jaman itu, sungai
merupakan lalu
lintas paling mudah dan murah bagi para
pelancong dan
pedagang. Di sekitar kak Porong dan kak
Brantas, perairan
sungai sangat aman. Orang hanya perlu
menyewa perahu
milik perguruan Brantas dan keamanan mereka
pasti terjamin.
Sepasang kekasih itu menyewa perahu
berukuran sedang
yang cukup untuk tujuh delapan orang
penumpang. Di bagian
tengah ada gubuk beratap daun nyiur, tempat
penumpang
berlindung dari panas mentari. Tukang perahu
seorang lelaki
kurus berusia separuh baya dibantu seorang
anak remaja.
"Kami hanya sampai di batas desa Gadang
saja, anak muda,"
kata pemilik perahu ketika Geni minta diantar
sampai daerah
yang terdekat dengan desa Wajak.
"Kenapa Pak, kami akan membayar
lebih," kata Sari.
Orangtua itu menggeleng. "Itu daerah
perbatasan
kekuasaan perguruan Brantas. Di daerah itu
jika seseorang
mau naik perahu harus menyewa milik
perguruan Brantas. Itu
sebab kami hanya mengantar sampean sampai
batas daerah
itu saja."
Perjalanan air ke desa Gadang biasanya tiga
hari. Malam
hari, istirahat. Memang berbahaya di malam
gelap pekat
mengarungi sungai yang penuh buaya pemakan
manusia.
Pemilik perahu berdua cucunya nginap di
daratan di rumah
kerabatnya. Wisang Geni berdua Sari tetap di
perahu yang
ditambat di tepi sungai.
Berada hanya dua-duaan dalam gubuk perahu
yang sempit
dibuai ayunan kendaraan air, mendatangkan
perasaan yang
sulit dilukiskan bagi pasangan kekasih itu.
Mereka berpelukan.
Ada rasa bahagia dan rasa enggan berpisah.
Tak bisa
dilukiskan dengan kata-kata. Geni semakin
terperosok ke
jurang cinta, kasmaran.
Begitu juga Sari yang merasa tak mungkin
bisa hidup tanpa
Geni di sampingnya. "Aku sudah
mencintai Ambara, ia telah
merebut seluruh hatiku, Ambara tidak cuma
telah
menyelamatkan aku dari aib besar, tetapi
telah memberiku
kehangatan cinta."
Banyak lelaki menyatakan cinta, tetapi ia
tak pernah tei
gila-gila seperti saat Geni berbisik di
telinganya. "Sari aku
mencintaimu, aku sudah jatuh di bawah pesona
kecantikanmu. Cintailah aku, jika tidak aku
pasti mati
memelas."
Waktu itu Sari membalas dengan bernafsu.
"Ambara, aku
juga mencintaimu"
Dia mengenal beberapa lelaki tapi belum
seorang pun
membuatnya merasa enggan berpisah. Tetapi
entah mengapa
ia merasa enggan berpisah dengan Geni. Bukan
cuma enggan
berpisah. Lebih dari itu Geni telah
mendatangkan perasaan
yang membingungkan. Ia dibuatnya lupa alam
sekeliling.
"Tidak salah orang bilang cinta itu
nikmat. Aku tak perlu
menyesal mencintai Ambara Aku tahu, ia
tergila-gila dan
sangat mencintaiku. Bisa kulihat dan
kurasakan."
Bagi Geni, Sari ibarat rembulan di tengah
gelapnya malam.
Selama ini ia tak pernah dicintai dan
mencintai perempuan. Ia
pernah meniduri beberapa perempuan tetapi
hanya sebatas
kebutuhan jasmani. Inilah pertama kali ia
kasmaran pada
perempuan.
Cinta memang aneh. Cinta bisa datang dengan
tiba-tiba.
Pada saat lain, cinta bisa berubah menjadi
kebencian, juga
secara mendadak. Kalau cinta sudah datang,
mekar dan
tumbuh subur maka manusia sulit
mengendalikannya dan sulit
menghentikannya.
Segala sesuatu tak pernah tidak mengikuti
hukum alam,
selalu bila seseorang mengalami saat-saat
paling getir dalam
hidupnya, waktu berjalan serasa lama dan
panjang.
Sebaliknya jika mengalami saat yang paling
menggembirakan
dan membahagiakan, rasanya waktu berjalan
begitu cepat dan
singkat.
Bahagia, itulah yang dirasakan dua insan
yang mabuk
cinta, Sari dan Ambara. Hari itu, hari
pertama dalam
perjalanan. Sejak siang hari, dua insan itu
sudah dirangsang
nafsu birahi. Namun ada rasa malu terhadap
pemilik perahu
dan cucunya.
Tetapi malam harinya, ketika kakek dan
cucunya itu nginap
di desa, dua kekasih itu tak mampu lagi
mengekang diri.
Keduanya berbaring berdempetan. Sari menatap
Geni dengan
sinar mata cinta dan nafsu. Nafasnya terasa
panas. Ia
mengelus dada Geni, pahanya melingkar di
atas paha Geni.
"Ambara, aku sangat mencintaimu,
berjanjilah kamu tidak
mempermainkan aku, kamu tidak akan pergi
meninggalkan
aku."
Geni mengelus buah dadanya. Nafasnya memburu
"Aku
akan mati dan mayatku dimakan binatang, jika
aku
membohongimu, Sari aku sangat
mencintaimu" Geni melucuti
pakaian Sari, menciumi sekujur tubuhnya
membuat gadis itu
menggelinjang.
"Ambara, aku tidak perawan lagi. Sudah
dua lelaki
sebelumnya."
Geni memeluk erat, seakan hendak melumat dan
menelan
tubuh molek itu. "Sudah kukatakan
beberapa kali bahwa aku
tak peduli soal itu, aku hanya butuh
cintamu"
Sari berbisik dengan bernafsu, "Kau
butuh cintaku dan
tubuhku. Malam ini, kamu boleh mengambil
semuanya, tetapi
berjanjilah akan memberikan cintamu hanya
untuk aku."
Tanpa terasa tiga hari perjalanan sungai.
Setiap malam,
pemilik perahu dan cucunya tidur di daratan.
Setiap malam
dua kekasih itu bercinta di atas perahu,
memadu cinta dan
merenangi nafsu birahi. Dari malam sampai
pagi hari. Cinta
dan nafsu sepertinya menyatu dalam nafas dua
kekasih itu.
---ooo0dw0ooo---
Perpisahan
Desa Gadang cukup ramai. Kebanyakan
pendatang adalah
para pedagang yang singgah bermalam sebelum
melanjutkan
perjalanan esok harinya. Siang hari itu di
warung makan Mbok
Lemu dipenuhi pengunjung. Semua bangku dan
kursi sudah
terisi. Bahkan sebagian orang rela berdiri
menunggu giliran
tempat kosong. Masakan Mbok Lemu memang
terkenal enak
dan murah.
Wisang Geni dan Sari beruntung. Datang lebih
pagi
sehingga mendapat tempat di dekat jendela
menghadap
sungai. Warung itu tidak jauh dari sungai di
mana banyak
perahu ditambat. Sudah tiga hari mereka
menyantap makanan
seadanya, kini ada masakan lezat, tak heran
mereka makan
dengan lahap. Mendadak Geni menunda
makannya. Ia
menatap lama ke sungai. Melihat lagak
kekasihnya, Sari ikut
memandang ke arah sungai.
Terlihat pemandangan ganjil. Seorang lelaki
tinggi besar
dengan tongkat panjang melompat-lompat dari
satu perahu ke
perahu lain. Ia memburu seorang gadis. Lucu.
Setiap hampir
kena hantaman tongkat, gadis itu melompat
dengan pesat.
Tongkat menghantam angin Saat itu si gadis
kurus berlari
pesat ke arah warung makan. Ia menerobos dan
menyelinap
di antara kursi dan meja. Geraknya sangat
pesat. Pengejarnya
seorang lelaki tinggi besar. Tampaknya si
pengejar itu sangat
marah, dia mendorong dan menabrak pengunjung
sambil
berteriak-teriak murka.
Geni memuji akal cerdik si gadis. Pasti
sulit menangkap
gadis itu di antara begitu banyak orang,
kursi dan meja.
Pengejar itu pasti kewalahan. Benar! Seorang
lelaki
pengunjung yang didorong dengan kasar,
memaki maki.
"Kamu pendekar macam apa, tingkahmu
kasar dan biadab."
Belum sempat orang itu melanjutkan makiannya,
tongkat
lelaki itu menghantam kepalanya. Batok
kepalanya pecah.
Orang-orang geger, serabutan lari
menghindar. Seketika saja
warung makan itu sunyi sepi. Gadis kurus
ikut menghilang.
Di warung hanya tinggal beberapa orang
termasuk Geni
dan Sari. Lelaki itu memandang berkliling.
Ia tinggi besar
dengan perut gendut, tampangnya buruk. Sorot
matanya
tajam menatap dua sejoli itu. Sari merasa
rikuh ditatap.
Tatapan yang kurang ajar. "Ini pasti
pendekar gadungan,"
pikir Sari.
Lelaki berwajah buruk itu menghampiri meja
Geni. Ia
tersenyum kepada Sari. Tampak giginya yang
hitam dan
jarang. "Eh wong ayu, kamu lihat gadis
kurus yang tadi masuk
warung ini?"
Sari enggan menjawab. Geni menjawab.
"Dia lari ke
sungai!"
Lelaki itu menggebrak tongkat ke tanah.
"Aku tidak tanya
kamu, aku tanya wong ayu itu."
Belum sempat Geni atau Sari menjawab, dari
arah sungai si
gadis kurus datang berlari. "Hei
Tambapreto, pendekar cabul,
pemerkosa perempuan, aku ada di sini, dasar
orang jelek,
goblok, ayo kejar aku, Tambapreto jelek, gendut,
bangkotan."
Lelaki yang bernama Tambapreto sangat murka
Ia
berteriak keras saking murkanya. "Aku
bunuh kamu, bangsat
kurus." Sambil menyumpah serapah ia
melompati jendela dan
mengejar si gadis kurus. Tubuhnya besar
tetapi gerakannya
gesit. Ilmu ringan tubuhnya tinggi Jelas dia
bukan orang
sembarangan.
Sepasang mata Geni bersinar. Sari sempat
menangkap
sorot mata kekasihnya. "Sari kamu
tunggu di sini, aku ada
urusan dengan bajingan Tambapreto itu."
Wisang Geni melompat jendela mengejar
Tambapreto. Sari
tidak membuang waktu, ikut mengejar setelah
sebelumnya
melempar uang logam ke meja Mbok Lemu
Terjadi kejarkejaran,
menuju ke hutan. Gadis kurus itu paling
depan, di
belakangnya berurutan Tambapreto, disusul
Wisang Geni dan
Sari.
Tiba di hutan pinggir desa. Gadis kurus
berhenti.
Tambapreto menyerbu langsung mengemplang
dengan
tongkat. Tidak mirip tongkat, karena
ukurannya lebih besar
dari tongkat biasa. Di ujungnya ada ukiran
kepala ular, terbuat
dari logam Gadis itu mengelak gesit sambil
memaki,
"Tambapreto, hari ini ajalmu tiba,
bersiaplah untuk mati"
"Kamu bangsat mulut lancang, siapa kamu
sebenarnya? Aju
urusanmu dengan aku? Katakan sebelum
kuhancurkan
kepalamu!"
"Kamu pendekar cabul. Sudah banyak anak
gadis dan isteri
orang yang kamu perkosa dan kamu hancurkan
hidup mereka.
Kamu juga ikut dalam rombongan yang
menghancurkan
Lemah Tulis. Dosamu sudah bertumpuk, cuma
bisa dicuci
dalam neraka jahanam!"
"Ha... ha... ha... jadi kamu sisa-sisa
orang Lemah Tulis.
Kebetulan aku memang sudah bersumpah
membasmi semua
orang Lemah Tulis. Tetapi aku tak perlu
cepat-cepat
membunuhmu, aku memang lagi mencari gadis
kurus untuk
jadi selirku"
"Bangsat mulut busuk!" Keduanya
langsung tarung.
Tambapreto menyerang ganas dengan tongkat
kepala ularnya.
Si gadis dengan gesit melompat mundur sambil
menghunus
kerisnya. Keris itu mengeluarkan cahaya
warna warni dan
mengkilat dijilat sinar matahari. Itu keris
pusaka!
Wisang Geni terkesiap mendengar dialog keras
dua seteru
itu. Tak disangkanya si gadis berasal dari
Lemah Tulis. "Siapa
dia, murid siapa? Tak peduli siapa dia, aku
harus
membantunya. Tanpa alasan itu pun, aku harus
membunuh
Tambapreto, hutang nyawa bayar nyawa. Dia
telah
membunuh paman Gubar Baleman,"
gumamnya.
Hanya sejenak Tambapreto tertegun. Agak
gentar ia
melihat keris pusaka itu. "Tetapi apa
hebatnya keris itu di
tangan anak ingusan, tak lama lagi keris itu
akan menjadi
milikku." Berpikir demikian ia maju
menggebrak dengan
tongkat mautnya.
Pertarungan berlangsung seru Tambapreto
menyerang
ganas, memanfaatkan tongkatnya yang panjang,
berat serta
dikendalikan tenaga dalam yang sudah dilatih
puluhan tahun.
Gadis kurus mengandalkan ringan tubuh dan
keris pusakanya.
Tambapreto tidak leluasa memainkan jurus
tongkatnya karena
dia harus menghindari benturan senjata. Tahu
gelagat, gadis
itu menyerang makin gencar mengandalkan
kehebatan
kerisnya. Tetapi lambat laun kelihatan
Tambapreto masih lebih
lihai. Seandainya tak ada keris pusaka itu
sudah dari tadi gadis
kurus itu kena hajar.
Wisang Geni melompat masuk arena.
"Tambapreto kamu
hutang darah orang-orang Lemah Tulis, hari
ini kamu harus
mati!"
Tambapreto dan juga gadis itu terkejut. Dari
tadi mereka
sudah melihat adanya dua pendatang, Wisang
Geni dan Sari.
Kalau Tambapreto menyumpah serapah, si gadis
justru girang
dengan datangnya bantuan. Pertarungan kian
seru.
Tambapreto bukan pendekar sembarangan. Ia
memang segan
akan keampuhan keris pusaka di tangan si
gadis. Tetapi
terhadap Geni yang bertangan kosong, ia tak
segan segan
menyerang dengan jurus maut andalannya
Saraslamba
(Tangkai Panah). Tongkat bergerat ibarat
ular hidup. Kadang
mematuk dan menyodok kemudian menyabet dan
mengemplang. Ia tetap saja menghindari
benturan dengan
keris si gadis. Setiap diserang si gadis,
Tambapreto
menghindar sambil tetap menyerang Geni
dengan gencar.
Lambat laun, Geni tampak terdesak dan
terancam.
Rupanya si gadis tak mengerti siasat tarung
Tambapreto.
Semakin ia menekan Tambapreto, semakin besar
serangan
Tambapreto mengarah Geni. Karuan saja Geni
kalang kabut.
Geni mengeluh, "Gadis ini tak kenal
terimakasih, sudah
kubantu malah ia ikut menekanku."
Tambapreto berseru, "Sebut namamu
sebelum kepalamu
pecah berantakan!" Tongkatnya mematuk
dan mengemplang
ke arah kepala dan pundak Geni.
Wisang Geni tak menjawab. Ia memusatkan
perhatian pada
serangan lawan. Masuk ke dalam pertarungan
tanpa
persiapan, itu kesalahannya yang membuatnya
terdesak
hebat. Kini ia cuma bisa bertahan sambil
menanti kesempatan
memperbaiki posisi. Akhirnya kesempatan itu
pun datang.
Tongkat mengemplang dari atas ke bawah. Ia
berlaku nekad.
Ia menanti sampai tongkat hanya berjarak
satu jengkal dari
kepalanya. Sari terkejut. Tanpa sadar ia
menjerit. Tidak cuma
menjerit, ia bergerak cepat menerobos
pertarungan.
Pada saat itu Geni merasakan angin tongkat
menerpa
kepalanya mendatangkan rasa pedih. Tenaga
dalam
Tambapreto ternyata kuat melebihi
perkiraannya. Tindakan
nekad itu dilakukan Geni dengan perhitungan
matang. Ia tahu
melawan Tambapreto yang ilmunya demikian
tinggi, salah
hitung sedikit saja, kepala bisa pecah. Geni
membuat gerakan
setengah jungkir ke belakang sambil memutar
tubuh, itulah
jurus indah Sumpetitut (Jungkir dan
Berputar) dari
Garudamukha.
Gerakan yang cukup berani, salah hitung
sedikit kepala bisa
pecah berantakan.
Tongkat itu menerpa angin. Wisang Geni
lolos. Gerakan itu
telah memisahkan Geni dari lawannya sekitar
satu tombak.
Tak buang waktu lagi, Geni merentang dua
tangan ke
samping, mirip burung garuda mengepak sayap,
mirip juga
gerak penari. Kaku dan luwes. Dua sifat yang
bertentangan
tetapi dirangkum dalam satu gerak, jurus
Makanjaran (Menari
dengan Lengan Terkembang) dari Garudamukha.
Saat bersamaan Sari ikut menyerang
Tambapreto,
membokong dari belakang. Tambapreto merasa
kesiuran
angin keras mengancam punggungnya. Serangan
keris si
gadis kurus itu mengincar empat titik mati
di tubuh bagian
kirinya. Tambapreto terkesiap. Dua gadis itu
menyerang
dengan jurus mematikan. Terpaksa untuk
selamat ia harus
menarik tongkatnya yang tadi luput
menghantam kepala Geni.
Ia menarik tongkat sambil memutar badan dan
menyodok
pangkal tongkat ke arah Sari. Sementara
tubuhnya melangkah
ke kanan, melayangkan tendangan ke
pergelangan tangan
gadis kurus yang menggenggam keris.
Kini Wisang Geni yang terkejut. Dari mana
Sari mempelajari
Warayangungas (Anak Panah Tembus) jurus
bersahaja dari
Garudamukha yang unik dan punya banyak
perubahan. Jurus
itu ampuh. Sodokan dua tangan bergantian
ibarat patokan
paruh garuda, mengeluarkan tenaga yang
saling mendukung.
"Ini rame, seru, sungguh rame, ayo mari
kita mainkan jurus
Garudamukha bersama-sama," seru gadis
kurus itu. Seruan
yang mengejutkan Sari dan Geni, namun
keduanya tidak
berpikir lama untuk menyatakan kesepakatan
dalam gerak.
Dua tangan Wisang Geni tidak berhenti, ia
memainkan
jurus Makanjaran (Menari dengan Lengan
Terkembang),
menyerang dengan amarah dan kebencian
membuat
tenaganya berlipat ganda.
Gadis kurus tidak tinggal diam, kerisnya
menyerang bagai
patok garuda dalam jurus Dekungpulir
(Berputar dan Bengkok
Tak Beraturan), mengarah tujuh titik
kematian lawan. Saat itu
juga Sari setelah mengelak dari serangan
tongkat lawan,
mengulang lagi jurus Warayangungas mengarah
dua kaki
lawan.
Tambapreto tak pernah menyangka akan
mengalami hari
senaas itu dalam hidupnya. Umu silat tiga
anak muda itu jauh
di bawah kepandaiannya. Kalau satu lawan satu
tak sampai
limapuluh jurus, ia sudah akan memukul
remukkepala mereka.
Itu sebab ia setengah main-main menghadapi
si gadis kurus.
Tetapi apa yang dialaminya sekarang sungguh
luar biasa.
Tiga anak muda itu pun tak pernah menyangka
bahwa
jurus Garudamukha yang dimainkan bersama
ternyata sangat
ampuh.
Serangan gabungan itu ternyata telah
mengunci semua
jalan keluar Tambapreto.
Tetapi Tambapreto bukan pendekar
sembarangan. Ia
sudah malang melintang puluhan tahun di
dunia
kependekaran, sering menghadapi ancaman
bahaya yang tak
terbilang banyaknya. Ia mengemplang kepala
Sari, sambil
memutar tubuh ia melayangkan sapuan tongkat
ke gadis
kurus dan tendangan berantai ke dada Geni.
Ia memunahkan
serangan dengan serangan.
Dalam satu gebrakan ia sudah melayangkan
serangan ke
tiga penjuru Tambapreto hebat. Tetapi Sari
tak kurang
lihainya. Ia tak menarik serangan. Agaknya
tongkat akan
menghantam kepalanya, ternyata tidak. Sari
mengubah
kedudukan jongkok menjadi merata tanah,
ketika tongkat
lewat di kepalanya. Ia melenting, memburu
dan menghajar
selangkangan lawan. Itu jurus Manusup (Masuk
Nyelinap)
digabung Sumpetutit (Jungkir dan Berputar).
Tambapreto terkesiap. "Celaka!"
serunya. Memang ia
celaka. Serangan Sari membuatnya terkejut
sehingga
serangannya ke gadis kurus tertahan. Si
gadis dengan jurus
Mangapeksa (Menanti) berhasil menebas
tongkat dan terus
menikam dada. Geni mematahkan tendangan
berantainya,
balas menghantam pundaknya.
Tambapreo tak sempat mengelak. Perut dan
dadanya robek
di tiga tempat oleh tusukan keris. Pundaknya
patah dihajar
Geni. Dia bisa menyelamatkan selangkangannya
tetapi
serangan susulan Sari mengena telak tulang
punggungnya. Ia
menjerit. Lengkingnya mendirikan bulu roma.
Ia melempar
diri, ingin menghindar dari serangan
susulan. Tetapi
gerakannya sudah lamban. Tubuhnya tak lagi
mau menurut
perintah.
Tiga anak muda itu seperti mengikuti satu
perintah,
serempak memburu lawan. Tendangan Geni,
pukulan Sari dan
tusukan keris gadis kurus itu susul menyusul
menerpa tubuh
Tambapreto. Tubuh lelaki tinggi besar itu
jatuh berdebum di
tanah. Darah muncrat dari mulut dan
luka-lukanya. Matanya
melotot, memandang tiga anak muda itu dengan
penuh sesal.
"Kenapa tidak sejak awal aku berlaku
telengas dan
bersungguh-sungguh mungkin tak senaas ini
nasibku." Tetapi
sesal kemudian tak berguna. Saat berikut
rubuhnya
mengejang, seluruh urat tubuhnya mencuat. Ia
mati
penasaran.
Sesaat tiga pendekar itu memandang mayat
Tambapreto.
Gadis kurus itu menghela nafas. Seakan baru
sadar, Sari
memandang Geni dan gadis kurus itu bergantian.
"Kita pasti
satu perguruan, sama-sama dari Lemah Tulis.
Siapa guru
kalian?"
Gadis kurus tertawa, suaranya merdu.
"Kau yang bertanya,
maka kamu yang harus memperkenalkan diri
lebih dahulu."
Sari dengan wajah kemerahan memandang tajam
kekasihnya. "Ambara, siapa gurumu yang
sesungguhnya,
kamu tak bisa mengelabui aku sebab setahuku
tak ada
pendekar Lemah Tulis yang bernama
Waragang."
Wisang Geni tersenyum Ia merasa lucu melihat
wajah Sari
tampak serius dan tegang. "Pesan guru,
aku harus hati-hati
sebab Lemah Tulis banyak musuhnya, maaf
terpaksa aku
menggunakan nama Ambara, itu pun tidak
sengaja."
Saat itu lima bayangan berkelebat dan
berdiri di depan tiga
anak muda itu. Mereka memberi hormat kepada
si gadis.
"Maaf kami terlambat, tuan putri."
Gadis kurus itu tertawa, ia memberi hormat
kepada Geni
dan Sari. "Maaf aku tak banyak waktu,
lain kali saja kita
berkenalan." Ia melenggang pergi
diikuti lima orang itu. Dua
muda mudi itu tak sempat mencegah. Keduanya
saling
pandang. Wisang Geni tersenyum senang.
"Maafkan aku, Sari,
jika selama ini aku tidak berterusterang.
Tetapi Waragang
memang salah seorang guruku, ia mengajari
aku ilmu
pengobatan. Namaku Wisang Geni."
Sari memotong penuturan Geni. "Oh jadi
kamu putranya
kakang Gajah Kuning dan mbak Sukesih. Kamu
yang ditolong
kakakku Manjangan Puguh dari keraton
duapuluh lima tahun
lalu itu!"
"Tetapi kamu sendiri murid siapa,
Sari?"
Sari tertawa. Tak urung ia malu, wajahnya
kemerahan.
"Namaku bukan Sari, namaku Walang
Wulan, adik perguruan
ayahmu, jadi aku ini bibi gurumu."
Tiba-tiba saja gadis itu
terkejut. Ia mengucapkan kata
"bibi" dengan nada biasa.
Tetapi ketika mendengar ucapannya sendiri,
ia terkejut. Ada
sesuatu yang terbang dari sanubarinya.
"Jika aku bibinya,
berarti ia keponakan muridku, bagaimana
mungkin bisa ada
hubungan cinta di antara kita?"
Berpikir demikian, tiba-tiba Wulan memutar
tubuh dan
berlari sambil mendekap wajahnya. Geni
terkejut. Karuan saja
ia lantas mengejar. "Sari, tunggu,
tunggu dulu."
Walang Wulan berhenti. Ia menoleh dan
memandang Geni
dengan wajah bersimbah air mata.
"Jangan panggil aku Sari,
aku Wulan, aku bibimu, panggil aku bibi,
bibi Wulan."
Geni bingung. Ia tidak tahu mengapa Wulan
menangis.
Apakah sebab ia menggunakan nama samaran
Ambara. Tetapi
Wulan juga menyamar dengan nama Sari.
"Baiklah Sari, aku
memang bersalah menggunakan nama Ambara.
Tetapi kamu
juga menyembunyikan nama aslimu, sebenarnya
kita impas.
Lantas mengapa kamu menangis, tidak perlu
sakit hati, Sari eh
Wulan." Geni tertawa.
Pelan-pelan Wulan berhasil menguasai diri.
Ia memandang
Geni. Dilihatnya Geni biasa-biasa saja,
artinya lelaki itu tak
terpengaruh adanya fakta hubungan bibi guru
dan murid
keponakan. Diam-diam wulan merasa heran.
Penasaran dan
aga kkecewa, dia menatap Geni. "Kamu
tak tahu ataukah
pura-pura tidak tahu, atau kamu tak peduli
karena kamu tidak
sungguh-sungguh mencintaiku. Kamu tidak tahu
apa yang
kurasakan sekarang ini."
Kini Wisang Geni sungguh-sungguh bingung.
"Ada apa?
Apa salahku. Kenapa kamu marah?" Geni
melangkah dan
memegang lengan Wulan
Wulan menarik lengannya. Tetapi Geni
memegangnya erat
Wulan berontak tetapi ia tak berdaya ketika
Geni menarik
tubuhnya dan memeluknya. Wulan berkata
dengan terisak.
"Geni, tak boleh, kamu tak boleh
memeluk aku, aku ini bibi
guru, kamu bahkan tak boleh memegang
tanganku, kamu tak
boleh meniduriku lagi."
Geni mendesah, "Tidak ada aturan
seperti itu." Geni
memegang kepala Wulan dan menciumi wajah
kekasihnya itu.
Ia menjilati air mata dan mencium mulurnya.
Wulan membalas
ciuman dengan bernafsu. Ia terengah-engah. "Geni,
tidak
boleh begini, tidak boleh, aku ini
bibimu"
Geni menjawab dengan suara bergetar. Ada
sedikit
ketakutan akan kehilangan perempuan yang
dicintainya ini.
"Perasaanmu itu tidak benar, aku murid
Padeksa, kamu murid
paman Bergawa. Kita setara sesama saudara
seperguruan.
Kamu juga bukan bibiku, bukan saudara
orangtuaku, kita tak
ada hubungan apa-apa."
"Aku lebih tua!"
"Sudah kukatakan berulangkali, bahwa
aku tak peduli
masalah usia, lagi pula kamu lebih cantik
dan lebih muda
dibanding gadis remaja. Sudahlah Wulan, ayo
kita cari tempat
nginap, hari sudah senja, tak lama lagi
malam tiba."
Wulan merasa bangga dan senang. Ia bangga
akan
keteguhan cinta Geni. Ia senang Geni
sungguh-sungguh
mencintanya. Tetapi bagaimana tanggapan
orang terhadap
hubungan ini, percintaan bibi guru dengan
keponakan murid?
Wulan berkata dengan nada getir. "Geni,
adat melarang kita
untuk bercinta, bibi guru tak boleh menjadi
isteri keponakan
muridnya. Ini sudah kodrat dewata."
Sambil melangkah masuk desa dia menggandeng
lengan
Wulan "Kenapa kamu keras kepala. Kita
saudara seperguruan,
Wulan, kamu kakak seperguruan, aku adik,
cuma itu. Tak ada
hubungan apa-apa, tak ada hubungan bibi guru
dan
keponakan murid Mengapa kamu masih ngotot
soal bibi dan
keponakan." Geni berhenti, memegang dua
lengan Wulan,
menatap mata gadis itu. "Apakah kamu
tidak mencintaiku
lagi? Coba, katakan kamu tidak mencintaiku
lagi."
Wulan menggeleng kepala. "Aku
mencintaimu, Geni." Ia
terisak, menangis lagi. "Mengapa kau
bukan Ambara, benarbenar
Ambara yang sudah meniduri aku, Ambara yang
mencintaiku dari malam sampai pagi di atas
perahu. Mengapa
tiba-tiba kamu beralih menjadi Wisang Geni
putra kakang
Gajah Kuning dan mbak Sukesih?"
0 komentar:
Posting Komentar