Dialah Sang Pamegat, tokoh sakti yang
misterius yang
menyertai rombongan Ranggawuni.
"Pendeta berbudi luhur,
semua orang tahu kehebatanmu. Tapi belum ada
yang melihat
secara langsung caramu bertarung. Mereka
ingin melihat
kehebatanmu, tapi tak ada yang berani
mencoba. Biar aku,
Panji Patipati, yang menjadi mitra
tandingmu, maafkan aku
dan tolong berlaku murah padaku!"
"Kau terlalu merendah, Ki Panji. Aku
sudah lama
mengagumimu!"
Dua pendekar ternama langsung saling gebrak
membuat
semua orang meleletkan lidah. Macukunda
tanpa segan-segan
memainkan ilmu Brahmanagrha yang terdiri 21
jurus. Ilmu
Mahameru ini mengambil panutan pada sifat
Gereh dan
Sedung. Itu sebabnya terkadang pukulan
Macukunda berbunyi
bagai suara guntur dan badai. Tenaga besar
dan bunyi yang
mengguntur membuat gebrak Macukunda ini
sangat
berwibawa.
Panji Patipati, tokoh misterius dari keraton
Tumapel ini,
tidak kalah galak. Ilmu Tanding Tinanding
dan Jala Ampir
digelar bergantian dengan ilmu simpanannya
yang membuat
ia digelari orang Sang Pamegat. Tujuhbelas
jurus Pamegat itu
termasuk ilmu kelas atas, menggunakan
kecepatan dan
kejelian burung elang serta terkaman macan
kumbang sebagai
panutan.
Tak terasa limapuluh jurus telah berlalu.
Macukunda pun
mulai mengeluarkan ilmunya yang lain
Sasraludira yang terdiri
dari duapuluh lima tata cara mencengkeram
titik kematian.
Berulang kali terjadi bentrokan tangan dan
kaki di tanah
maupun udara. Sungguh pertarungan tingkat
atas. Lewat
seratus jurus, mendadak keduanya memisahkan
diri. Baju di
pundak kanan Sang Pamegat hancur. Begitu
pula baju di
bagian perut Macukunda. Kedua pendekar ini
saling hormat,
kemudian sama-sama meninggalkan gelanggang
tarung.
Pertarungan demi pertarungan berlangsung.
Jayawitaka
dihajar sungsang sumbal oleh Geriting,
pendekar dari Utara.
Dan Geriting tak ungkulan menghadapi ilmu
Pedang Tanpa
Suara dari Ki Antaboga, ketua perguruan
Ngantang.
Berikutnya, Harsup, tokoh kebanci-bancian
dari Nusa
Barung dengan tipu muslihatnya yang licik
menghajar
mampus Ki Sawung. Harsup kemudian kabur
ketika
berhadapan dengan sepasang Setan Sapikerep.
Tadinya
Wisang Geni hendak turun gelanggang
menghadapi dua Setan
Sapikerep itu tetapi kedahuluan oleh
Banjalit, yang dijuluki
pendekar Selatan.
Hampir duaratus jurus lebih bertarung
akhirnya Banjalit
harus menyerah. Dadanya kena hantaman kaki
sang isteri,
Lembani, disusul pukulan sang suami,
Lembusana. Melempar
diri ke belakang beberapa tombak, Banjalit
berjongkok Ia
memasang kuda-kuda dalam sikap adu jiwa,
apalagi lawan
masih akan menyerang. Melihat sikap lawan
yang garang dan
siap adu jiwa, pasangan suami isteri itu,
batal menyerang.
Saat berikut Banjalit keluar gelanggang
dengan sikap gagah.
Menghadapi sepasang suami isteri Sapikerep
itu, Ki
Antaboga masuk arena bersama isterinya, Nyi
Kudadu. Terjadi
pertarungan antara dua pasang suami isteri.
Antaboga dengan
Pedang Tanpa Suara sedang Nyi Kudadu
menggunakan ilmu
Seribu Pedang Sejuta Bunga. Suami isteri
Sapikerep
menggunakan sepasang tombak pendek.
Seratus jurus berlangsung, pasangan dan
Ngantang itu
terlihat unggul dan mendesak habis pasangan
Sapikerep. Pada
akhirnya dua tebasan beruntun dari Ki
Antaboga berhasil
melukai telak Lembusana yang jatuh
bergulingan. Darah
mengucur dan pundak dan lengannya. Lembani
menggotong
suaminya keluar arena
Matahari telah berada di puncaknya ketika
Macukunda
melompat masuk gelanggang. Ia memberi hormat
berkeliling.
"Sampai saai mi hanya tinggal beberapa
orang yang belum
terkalahkan. Aku dan Ki Pamegat, dalam
pertarungan kami
tadi tak ada yang kalah dan tak ada yang
menang. Aku
menantang siapa yang mau menantang aku si
pendeta
Macukunda atau siapa juga yang mau menantang
sang
Pamegat."
Tak seorang pun yang keluar menantang dua
tokoh sakti
itu. Ilmu dua orang itu sudah terbukti
kehebatannya.
"Baik, kalau demikian, sudah tiga orang
yang terpilih dari
luna yang kita cari. Aku si pendeta
Macukunda, Sang Pamegat
dan Pendekar Merapi. Siapa yang tidak setuju
atau keberatan
silahkan angkat suara."
Hening, tak ada suara. Kemudian terdengar
suara tertawa
bagaikan ringkik kuda, panjang, kering dan
bergelombang.
Begitu suara tawa itu berhenti, dari kemah
sebelah timur
melayang sesosok bayangan ke arena.
Kalayawana!
"Pendeta Macukunda, tiga orang pilihan
itu kurasa tidak
ada lagi yang menantang. Itu artinya semua
orang setuju. Kini
masih tersisa dua lowongan, aku mau satu.
Kalau tak ada
yang menantangku, berarti aku terpilih.
Sebenarnya aku ingin
tarung lawan pendekar Lemah Tulis yang
kemarin membunuh
muridku dan menantang aku, mana dia, apakah
masih berani
maju menantang aku?"
Suara Kalayawana menggaung dan mengema ke
empat
penjuru, itu ilmu Angampuban yang menjadi
andalannya.
Dalam hati ia mengharap agar Wisang Geni
masuk
gelanggang tarung, sungguh ia akan remas
batang lehernya.
Dan memang Wisang Geni sudah bersiap dari
tadi. Geni
sudah pamit pada Padeksa. Ketika itu
Manjangan Puguh
memegang lengan muridnya. "Geni, jangan
maju, biar aku
saja yang menghadapinya."
"Tidak guru, ini kewajibanku sebagai
seorang anak, ini
dendam berdarah yang sudah lama kuinginkan.
Tak ada
keinginan yang lebih kuinginkan selain
membunuh
Kalayawana! Guru biarkan aku maju!"
Gajah Watu menyela, "Ilmu silatnya
sangat tinggi, apa kau
yakin bisa mengatasinya?"
Geni tertawa lirih. "Aku yakin akan
kemampuan Wiwaha
dan ilmu Prasidha, aku bisa
mengatasinya!"
Padeksa berkata lirih, "Geni,
hati-hati, dia punya ilmu sihir
yang bisa membuat lawan lupa ingatan."
"Aku akan mengingatnya guru!"
Geni melangkah sambil melirik Wulan dan
Sekar dengan
mesra. Bibir Wulan bergerak, "Geni
hati-hati!" Tetapi suaranya
tersumbat di kerongkongan. Dua kekasih Geni
itu merasa
tegang yang amat sangat. Karena mereka tahu
betapa tinggi
kepandaian silat Kalayawana, tanpa sadar
Wulan
menggumam, apakah Geni mampu menahannya.
Wisang Geni melompat masuk arena. Ia
menggunakan
jurus handal Waringin Sungsang yakni Mesat
(Meloncat
dengan kecepatan tinggi). Dalam sekejap mata
ia sudah
berdiri beberapa tombak berhadapan dengan
Kalayawana.
Geni menatap tajam mata Kalayawana. Mata
musuh yang
hanya satu itu mencorong bagai bola matahari
yang panas
dan siap membakar apa saja di depannya.
Tetapi Geni tak
merasa takut sedikit pun. Ia merasa mampu
mengatasi musuh
besarnya itu.
"Kau, berani juga mengantar jiwamu.
Sebentar lagi akan
kupatahkan batang lehermu, mengantar kamu ke
kubur, di
sana kamu harus minta maaf pada tiga
muridku."
"Kalayawana, jangan banyak bacot. Kau
hutang nyawa
ayah ibuku, kau juga ikut andil
menghancurkan perguruanku.
Selain itu perbuatanmu membuat banyak orang
lain sengsara.
Kau terlalu, banyak berbuat kejahatan, aku
tidak bisa
membiarkan kamu hidup lebih lama lagi di
dunia."
Kalayawana tertawa keras. Ia mulai
mengalunkan aji
Begananta, suaranya bagai jarum yang
menusuk-nusuk
gendang telinga. Geni tidak ayal lantas
mengeluarkan suara
Tawa Kera. Sambil tetap perang tertawa, dua
seteru yang
sama-sama punya dendam kesumat sebesar
gunung ini saling
gebrak menggunakan jurus-jurus telengas dan
sengit.
Seluruh ilmu simpanan dari kuburan Gondomayu
dikeluarkan Kalayawana dengan pengerahan
tenaga besar.
Jurus dari ilmu Ghandarwapati seperti hendak
meluluh
lantakkan tubuh Wisang Geni. Tetapi anak
muda yang sudah
makin pengalaman dalam pertarungan tak mau
terburu nafsu.
Itu memang pesan gurunya, Padeksa.
"Jangan marah, jangan
terburu nafsu, tenang seperti air danau yang
tidak terusik
bahkan oleh angin semilir pun."
Setelah tadi secara tidak langsung
memperoleh petunjuk
pendekar Sagotra, kini Wisang Geni lebih
mulus dalam
menggelar Bang Bang Alum Alum. Jurus handal
dari gunung
Merapi ini kadang diselingi Garudamukha
dengan kegesitan
enam jurus gerak Waringin Sungsang.
Pertarungan
berlangsung ketat dan sengit. Sampai seratus
jurus,
kedudukan masih imbang.
Dalam hati Kalayawana heran, empat bulan
lalu ia
menghajar Wisang Geni hanya dengan sekali
pukul.
Bagaimana mungkin, sekarang anak muda ini
bisa
mengimbanginya sampai seratus jurus lebih.
Tadinya ia
menganggap kematian tiga muridnya sebagai
keteledoran dan
kesemberonoan muridnya. Tetapi kini ia tahu,
memang
kepandaian Geni sudah tergolong kelas satu.
Dalam ilmu ringan tubuh, Wisang Geni lebih
unggul.
Tenaga dalam sama imbang. Kalayawana unggul
dalam
pengalaman. Itu sebab pertarungan
berlangsung imbang.
Memasuki jurus seratus limapuluh Geni
sedikit demi sedikit
mulai meningkatkan kadar tenaga dan
kecepatan dalam tiap
geraknya. Kalayawana mulai keder.
Mengetahui dirinya mulai berada bawah angin,
Kalayawana
mulai menggunakan ilmu hitamnya. Lewat
tertawa
Angampuban yang bergantian dengan
Akashawakya,
Kalayawana menggunakan ilmu sihir. Matanya
menatap Geni
dengan berkedip-kedip mesra. Ia mengubah
cara
berkelahinya, tidak lagi menggunakan tinju
atau cakar,
melainkan pukulan telapak tangan.
Wisang Geni merasa aneh. Kalayawana yang
buruk rupa itu
terkadang bisa salin wajah menjadi Wulan.
Makin lama wajah
dan tubuh Wulan lebih sering menggantikan
Kalayawana.
Wisang Geni tahu ini sihir buatan lawan,
tetapi ia tak tahu cara
mengatasinya. Suatu saat Geni menarik
pukulannya karena
takut melukai Wulan. Sebaliknya pukulan
keras Kalayawana
menghantam dadanya.
Penonton menjerit Wisang Geni melempar diri
empat
langkah ke belakang. Ia muntah darah. Untung
baginya
tenaga Wiwaha telah melapis dirinya sehingga
pukulan tidak
sampai telak dan merusak. Sedang Kalayawana
melihat
pukulannya berhasil mengena lawan, kontan
menyerbu
dengan geram Ia ingin membunuh dan melumat
Geni.
Mengetahui kondisi kritis Geni melejit
dengan Antarlina jurus
melenyapkan diri dari Waringin Sungsang.
Kalayawana memburu, Geni melejit dengan
Antarlina. Geni
merasa dadanya masih sakit. Beberapa saat
kemudian rasa
sakit itu lenyap. Ia tahu tenaga Wtwiiba
telah menyembuhkan
lukanya,
Geni kembali bertarung rapat, kali ini ia mengeluarkan
jurus
Sikhwiriya (cintaku kepadanya) dari ilmu
Garudamukha
Prasidha.Jurus ini dilukiskan sebagai luapan
rasa cinta
Abhimanyu kepada Ksiti Sundari dalam cerita
Gatotkacasraya.
Tanpa sadar Geni memilih jurus ini karena
melihat Kalayawana
berubah menjadi Wulan di hadapannya.
Pada saaat itu Kalayawana menyerang dengan
Daitya
Naraka (Raksasa dari Neraka) jurus telengas
dari
Ghandanvapati. Tangan kanan mencengkeram
dada, tangan
kiri memukul pelipis, disertai tendangan ke
selangkangan.
Hebatnya jurus ini masih dibantu pengaruh
sihir serta tertawa
Angatnpuhan. Wisang Geni seperti melihat
Wulan mendekat
kepadanya. Tangan Wulan hendak mengelus
dada, tangan
yang lain mengelus kepalanya.
Dari pikiran sadarnya Geni tahu Kalayawana
menyerang
dengan jurus mematikan. Tapi pandangannya
melihat Wulan
melompat hendak membelai dan mengelusnya,
Geni tidak
tega menggunakan jurus maut, takut melukai
Wulan
seandainya itu benar Wulan. Tapi Geni juga
takut jika bukan
Wulan, maka ia akan kena hajar Kalayawana.
Akhirnya Geni pasrah. Sikap jiwa saat
menggunakan
Prasidha itu Geni memilih sikap Sikhwiriya
sebagai pernyataan
cintanya, "Kalau pun mati tak apalah
asal kau tahu betapa
cintaku padamu". Dua tangan Geni
menyongsong pukulan
lawan. Kakinya ditekuk ke bawah sehingga
tendangan
Kalayawana yang mengarah ke selangkangan
akan mendarat
di perut.
Kalayawana melihat sepasang mata Geni
berbinar namun
bergoyang. Ia yakin Geni masih dalam
pengaruh sihirnya.
Tanpa belas kasihan Kalayawana menyalurkan
seluruh
tenaganya ke dua tangan. "Mampus
kamu!" teriaknya.
Saat berikut Kalayawana mencelos, tenaganya
seperti
menerobos ke dalam sumur yang tak berdasar.
Ia sangat
terkejut, berniat hendak menarik kembali
tenaganya, tetapi
semua sudah terlambat Tenaganya seperti
ditarik dan disedot
masuk dalam sumur. Kemudian dari tangan Geni
muncul
keluar gelombang tenaga besar yang luar
biasa dinginnya.
Tenaga itu menerobos melalui tangan
Kalayawana dan
melanda seluruh tubuhnya. Kalayawana
berteriak. Teriakan
yang membangkitkan bulu roma.
Kalayawana terlempar dua tombak, terletang
di tanah
dengan darah keluar dari semua lobang
tubuhnya.
Kalayawana memandang Wisang Geni dengan
heran dan
penasaran. "Ilmu apa itu, ilmu siluman
dari mana, katakan
ilmu apa itu biar aku tidak penasaran?"
Wisang Geni yang baru saja terbebas dari
sihir memandang
Kalayawana dengan kasihan. Ia menjawab
dengan suara yang
agak keras, supaya didengar banyak orang.
"Itu ilmu paling
handal dari Lemah Tulis namanya Garudamukha
Prasidha dan
jurus yang kugunakan namanya Sikwiriya,
sudahlah
Kalayawana, aku sudah membayar lunas
kematian dua
orangtuaku, pergilah ke neraka membawa serta
semua
kejahatanmu, tanah Jawa tak memerlukan orang
jahat seperti
kamu, Kalayawana!"
Saat itu juga Kalayawana memejamkan mata.
Mati! Sesaat
penonton membisu, kemudian menyambut
kemenangan
Wisang Geni dengan tepuk tangan. Orang-orang
Lemah Tulis
yang paling getol menyambut kemenangan
ketuanya.
Padeksa, Gajah Watu, Walang Wulan dan Sekar
berdiri
bertepuk tangan.
Memang mencengangkan, suatu kejutan besar,
seorang
anak muda yang belum punya nama ternyata
mampu
menghabisi petualangan Kalayawana yang
selama ini tidak
pernah terkalahkan. Meskipun ia dari Lemah
Tulis, perguruan
yang pernah begitu populer, hal itu tetap
kejutan yang paling
menggegerkan.
Wisang Geni kendati telah unjuk kebolehan
dengan
membunuh Sempani dan tiga murid Kalayawana,
pada
mulanya tetap diramalkan hanya akan
menghantar nyawa di
tangan Kalayawana. Tetapi kenyataan justru
terbalik, Geni
akhirnya keluar sebagai pemenang. Sebagian
penonton
merasa senang, bagi mereka satu dari sekian
orang jahat dan
telengas di kolong langit akhirnya mati juga
Sebagian pendekar menduga-duga ilmu apa yang
digunakan Wisang Geni dalam tiga pertarungan
yang begitu
mencekam Ketika Geni menjawab pertanyaan
Kalayawana
yang sekarat, tak ada lagi keheranan dari
wajah mereka.
Kalau itu memang ilmu paling handal dari
Lemah Tulis, maka
tidak salah lagi kalau perdikan itu pernah
berjaya duapuluh
tahun silam.
Berdiri dari kursi, Pendeta Macukunda
mengucap selamat
kepada Wisang Geni sebagai pendekar muda
pendatang baru
di dunia persilatan. Macukunda kemudian
berseru kepada
Padeksa dan Gajah Watu. "Berbahagialah
sampean berdua,
aku melihat masa depan yang cerah menanti
Lemah Tulis di
depan mata."
Padeksa mengucapkan terimakasih sekaligus
permisi untuk
suatu berita perguruan. "Hari ini
kepada para pendekar
sekalian yang ada di sini, kami berdua,
Padeksa dan Gajah
Watu memberitahu bahwa sejak kehilangan
ketua duapuluh
lima tahun yang lalu, baru kini kami
memiliki seorang ketua.
Dialah ketua perdikan Lemah Tulis yang
ketujuh, namanya
Wisang Geni."
Wisang Geni memberi hormat ke seluruh arena,
"Aku yang
muda ingin mengumumkan bahwa sejak hari ini
Lemah Tulis
tak lagi punya ikatan perguruan dengan Lembu
Agra. Dia
murid busuk yang berkhianat yang menaruh
racun pelemas
tulang ke sumur perguruan. Akibatnya kami
semua keracunan
sehingga lawan dengan mudah mengalahkan
kami. Perlu
diketahui bahwa ia sebenarnya adalah murid
keturunan partai
Turangga, nama aslinya Jaranan, kini ia
menjabat ketua partai
itu."
Pengumuman itu sangat mengejutkan. Baru
sekarang
terungkap tabir misteri mengapa perguruan
sehebat Lemah
Tulis sampai hancur dan nyaris punah
duapuluh lima tahun
yang lalu.
Macukunda memecahkan kesunyian "Hayo,
siapa lagi yang
mau menantang Ki Wisang Geni, ketua Lemah
Tulis yang baru
ini. Atau mungkin menantang Ki Antaboga
ketua perguruan
Ngantang?"
Wisang Geni beranjak hendak meninggalkan
gelanggang
tarung, ketika terdengar suara bentakan
nyaring, "Tunggu!"
Seorang wanita cantik melangkah masuk gelanggang
tarung. Ia berjalan biasa, sepertinya tak
peduli akan
pandangan orang yang kagum melihat
kecantikannya.
Pakaiannya aneh. Celana panjang longgar
sebatas perut.
Bagian perutnya terbuka, memperlihatkan
perut yang rata dan
putih bersih. Di bagian dada, baju ketat
yang memperlihatkan
bentuk buah dada yang montok. Ia mengenakan
selendang
dari sutera warna putih sama seperti warna
pakaiannya. Ia
cantik, hidung bangir, mulut agak lebar,
rambut panjang
dibiarkan terurai melebihi pundak. Tinggi
semampai. Matanya
berbinar memandang Wisang Geni.
"Kita ketemu lagi, Wisang Geni yang
tampan."
Wisang Geni gugup menjawab, "Kau...
kau..."
"Kenapa kau gugup, aku tetap Malini
yang dulu. Kalau dulu
kau tak kuberi obat penawar racun, tentu
sekarang ini kau
sudah mati. Seharusnya kau berterima kasih
padaku."
Wisang Geni meluap amarahnya. "Kau
perempuan bangsat,
kau telah meracuni aku dan Sekar. Kalau saja
tak ada Dewi
Obat yang menolong, aku pasti sudah mati!
Aku tak suka
bertempur dengan perempuan, panggil keluar
lakimu!"
"Ah lagi-lagi kamu cemburu, Geni. Sudah
berulang kali
kukatakan Kumara itu cuma teman
perjalanan."
Wisang Geni kewalahan, ia berpikir keras.
"Perempuan ini
gila dan tak tahu malu, ia ingin
mempermalukan aku di depan
umum Apa kata orang nanti tentang aku? Apa
kata Wulan dan
Sekar?"
Wisang Geni tak tahu apa yang harus
diperbuat. Mendadak
terdengar suara bisikan Malini di
telinganya. Ini ilmu mengirim
suara jarak jauh. "Wisang Geni, cepat
kamu beritahu di mana
kakek gurumu bersembunyi, kalau kau masih
membandel
juga, akan aku umumkan bahwa dulu kita
pernah bercinta dan
sekarang ini aku hamiL"
Tubuh Wisang Geni gemetar, keringat
membasahi dahinya.
Tanpa sadar ia menoleh ke tenda mencari-cari
wajah Wulan.
Terdengar bentakan nyaring Malini.
"Hayo! Tunggu apa lagi!"
"Baik akan aku bawa kamu ke gunung
Lejar. Tapi besok
baru kita berangkat," jawab Geni dengan
gugup.
Malini tertawa dingin suaranya nyaring
sehingga semua
orang mendengar. "Tidak! Aku tak mau
besok! Aku mau
sekarang juga kita berangkat!"
Pada saat yang kritis itu tiba-tiba melesat
sesosok
bayangan masuk gelanggang. Ia berdiri di
samping Wisang
Geni. Gadis itu Sekar. Mendadak sekilas
Wisang Geni melihat
Malini menggerakkan tangan, menyerang Sekar.
Tidak ayal
lagi Geni memotong serangan Malini dengan
serangan. Sekar
tertawa. Ia tampak cantik, lebih cantik dari
Malini karena
Sekar tampak masih muda, segar dan ceria.
Mata Sekar
melotot marah, berlagak seperti seorang ibu
yang sedang
memarahi putrinya yang nakal.
"Malini, rupanya kau masih mengenali
aku. Itu sebab kamu
menyerangku, kamu ingin membunuhku, agar kau
bisa
memfitnah Wisang Geni dengan leluasa, bukan?
Aku heran di
dunia ini ada perempuan macam kamu yang tak
kenal malu."
"Kau belum mati rupanya, seharusnya
kamu jangan muncul
supaya bisa hidup lebih lama lagi."
"Maksudmu, kamu mau membunuh aku?"
"Hari ini aku sungguh akan mencabut
nyawamu!" Berkata
demikian perempuan dari negeri Jambudwipa
itu menyerbu
Sekar dengan serangan beruntun. Wisang Geni
tak tinggal
diam, ia tahu Sekar tak akan bisa menangkal
serangan
dahsyat itu. Segera terjadi pertempuran
sengit antara Geni
dan Malini. Jurus demi jurus berlalu dengan
cepat, tanpa
terasa pertarungan memasuki jurus yang
ketigapuluh.
Pada saat itu melayang sesosok bayangan ke
arena.
Seorang lelaki dengan pakaian aneh masuk
arena. Bercelana
longgar yang diikat di pergelangan kaki.
Bajunya sempit,
tanpa lengan dengan dada terbuka,
memperlihatkan bulu
dadanya yang lebat. Rambutnya hitam pekat,
keriting dan
digelung di atas kepala. Hidungnya mancung.
Banyak
persamaan dengan perempuan asing itu.
Empat bayangan menerobos gelanggang tarung.
"Siapa
kalian yang berani mengacau di Mahameru? Apa
kalian pikir
tak ada orang yang bisa mengusirmu?"
Empat orang itu tak
lain, saudara seperguruan Macukunda yang
selama dua hari
ini tidak pernah jauh dari sang ketua
Mahameru.
Lelaki asing itu, Kumara, memandang tajam
empat
pendekar Mahameru. Pada saat itu, Malini
menarik
serangannya, melakukan salto ke belakang dan
tepat berdiri di
samping Kumara. "Hebat, ilmu kamu sudah
jauh maju.
Jawablah dengan jujur, Wisang Geni. Kamu
seorang ketua
Lemah Tulis, harus punya kehormatan. Kami
berdua punya
hutang piutang dengan seorang ketua Lemah
Tulis yang
duapuluh lima tahun silam mengalahkan
pamanku Lahagawe
di perang Ganter, katakan di mana kami bisa
temui orang tua
itu!"
"Aku tak pernah ketemu dengan Eyang
Sepuh Suryajagad.
Aku tak tahu beliau ada di mana. Kalau kau
memang punya
hutang piutang dengan beliau, kamu alihkan
padaku. Aku
yang bertanggungjawab atas semua hutang
piutang Lemah
Tulis!"
"Begitu pun bagus. Kamu sebagai ketua
Lemah Tulis, kamu
yang bertanggungjawab. Juga kudengar kamu
tadi
mengatakan kamu sudah menguasai ilmu tingkat
tinggi
perguruanmu yang bernama jurus Prasidha.
Baiklah kita akan
berjumpa satu bulan lagi di tempat pertama
kali kita jumpa".
Selesai berkata, Kumara memegang tangan
Malini, keduanya
bergandengan meninggalkan gelanggang tarung
seperti
melayang saja. Ilmu ringan tubuh yang
diperlihatkan tidak
berada di bawah jago-jago tanah Jawa.
Wisang Geni mengucap terima kasih kepada
empat
pendekar Mahameru itu. Ia menggenggam tangan
Sekar dan
meninggalkan gelanggang tarung.
Ki Antasena, yang tertua dari keempat
pendekar itu
melontarkan pertanyaan ke sekeliling arena.
"Kalau tidak ada
lagi pendekar yang menantang maka
pertarungan ini akan
segera ditutup!"
Arena pertarungan lengang dan sepi. Mendadak
terdengar
bentakan memecah kesunyian,
"Tunggu!"
Seorang lelaki berpakaian penuh tambalan
dengan jenggot
dan kumis yang sudah putih semua, melangkah
cepat
memasuki gelanggang urung. Tubuhnya tinggi
dan tegap,
langkahnya lebar, mengingatkan orang pada
tokoh Pandawa
yang tinggi besar, Bratasena. Tak salah lagi
dialah Ki Demung
Pragola! Ia menoleh ke sekeliling.
"Mana dia Wisang Geni,
jangan lari kamu. Mana kejantananmu, ke mana
kau bawa
kabur cucuku? Hayo tunjukkan rupamu, sedikit
saja kau
ganggu rambut cucuku, jiwamu ku kirim ke
neraka! Geni
keluar kau, ayo temui aku!"
Wisang Geni masuk kembali ke gelanggang, ia
merasa
heran. Ia memandang Wulan yang juga
keheranan.
"Bukankah cucilmu sudah kulepaskan
waktu itu, malah
dijemput oleh anak buahmu sendiri!"
"Bohong kamu, anak buahku kamu bunuh,
mana bisa ada
urusan seperti itu! Ternyata Lembu Agra
benar, kau memang
penjahat yang berpura-pura menjadi pendekar
berjiwa
ksatria!"
Mendengar nama Lembu Agra, secara naluriah
Geni
berpaling memandang kemah di mana ia melihat
Sempani
menginap bersama Lembu Agra kemarin. Sekilas
ia melihat
bayangan berkelebat dan jerit suara anak
kecil memanggil,
"Kakek!"
Saat itu juga Geni melesat menggunakan jurus
Mesat
disambung dengan Warayang dua jurus hebat
dari Waringin
Sungsang. Gerakan Geni susah diikuti mata.
Dalam keadaan
terdesak tenaga Wiwaha memperlihatkan
keampuhannya,
dorongan tenaga yang begitu besar membuat
gerakannya
cepat dan pesat seperti kelebatnya kilat.
Sesaat kemudian Geni sudah mengancam Lembu
Agra yang
lari sambil memondong seorang gadis kecil.
Dalam hal ilmu
ringan tubuh Lembu Agra berada di bawah
kemampuan
Wisang Geni, apalagi dengan memondong tubuh
gadis kecil
itu, maka dalam sekejap mata Wisang Geni
sudah mendekat.
Tahu sulit meloloskan diri dari kejaran
Geni, Lembu Agra
melempar tubuh gadis kecil itu. Tubuh gadis
kecil itu melesat
ke arah batu besar.
Wisang Geni terkejut, tak ayal lagi ia
berbelok arah,
menggunakan jurus Antarlina dengan segala kekuatan
tenaganya. Tapi ia terlambat, tubuh gadis
kecil itu melayang
lebih cepat. Terdengar jerit banyak orang,
mereka
membayangkan kepala gadis itu akan pecah
berantakan.
Mendadak tubuh Geni seperti terlontar ke
depan, sambil kedua
tangannya mengirim pukulan jarak jauh. Itu
jurus
Warayangungas dari Garudamukha. Batu itu
pecah berantakan
dan hancur menjadi debu Tubuh gadis kecil
itu melesat
melewati pecahan batu yang berantakan.
Sesaat kemudian
Geni menjambret tubuh gadis kecil itu yang
pingsan saking
kagetnya.
Beberapa saat kemudian Demung Pragola tiba
di tempat itu
diikuti hampir semua orang. Ki Demung yang
tinggi besar itu
segera merebut cucunya dari tangan Geni dan
memeluknya
erat. "Untung kamu selamat, nduk",
katanya dengan suara
penuh haru.
Setelah ketenangan mereda, semua orang
kembali ke
tempat masing-masing. Demung Pragola
mengucap terima
kasih kepada Geni. Ia juga menyapa Wulan,
Padeksa, dan
Gajah Watu dengan akrab. Memang benar,
Demung Pragola
adalah sahabat mendiang Bergawa. Pada
mulanya Pragola
heran, mengapa Lembu Agra menyandera
cucunya. Tetapi
setelah mendengar cerita perihal
pengkhianatan itu, Pragola
mengerti duduk persoalannya.
Pendeta Macukunda menghampiri dan menyapa
Demung
Pragola dengan akrab, "Hei, Pragola,
kenapa baru sekarang
datang? Tarung belum berakhir, masih ada
kesempatan kalau
kau mau ikut bersaing. Kau tinggal pilih
menantang pendekar
yang mana di antara lima pemenangnya. Aku
Macukunda atau
sang Pamegat atau Ki Sagotra dari gunung
Merapi atau Ki
Wisang Geni ketua Lemah Tulis atau Ki
Antaboga ketua
Ngantang? Hayo kau pilih yang mana?"
"Ha... ha... aku tak tertarik. Mereka
yang kau sebut tadi
semuanya pendekar yang pantas mewakili tanah
Jawa. Satusatunya
yang belum kukenal cuma Ki Wisang Geni.
Tetapi
kepandaian yang diperlihatkan tadi ketika
menyelamatkan
cucuku, itu ilmu silat kelas atas. Aku tak
perlu ragu lagi! Dia
pantas mewakili tanah Jawa." Setelah
basa-basi secukupnya,
Demung Pragola bersama cucu dan beberapa
anak buahnya
pamit mundur. Tetapi Macukunda mengajak
Pragola
sahabatnya itu untuk nginap satu hari lagi.
"Hb... ho... orang bilang habis gelap
akan datanglah
terang, Lemah Tulis sekarang sedang
kejatuhan bintang.
Kamu tahu, riwayat dan petualangan
Kalayawana dari
Gondowayu berakhir di tangan Ki Wisang Geni,
begitu juga
Sempani, opo ora hebat itu?"
Akhirnya pertarungan para pendekar di puncak
Mahameru
selesai sudah. Macukunda mengucap
terimakasih kepada
semua orangyang telah menghadiri pertemuan.
Ia
mengumumkan lima nama pemenangnya, yang
nantinya akan
mewakili tanah Jawa dalam adu kepandaian
lawan jago-jago
dari daratan Cina.
Tetapi sebelum kumpulan orang-orang itu
bubar turun
gunung, lima orang dengan dandanan dan wajah
yang asing
mendekati gelanggang tarung. Semua orang
memandang
kelompok orang asing itu dengan heran dan
takjub.
Seorang di antaranya perempuan. Ia cantik
berkulit putih
bersih mengenakan celana dan kemeja panjang,
warna hitam
Ia maju sambil merangkap dua tangan memberi
hormat
kepada semua orang di sita. "Kami
utusan dari Kuangchou,
kami ingin berjumpa dengan pimpinan
persilatan tanah Jawa."
Suara gadis itu terdengar bening dan empuk,
meski
logatnya kaku dan patah-patah. Ki Demung
Pragola menjawab
spontan, "Di tanah Jawa ini belum ada
seorang pemimpin
persilatan atau yang disebut sebagai orang
nomor satu Kami
belum pernah melakukan pemilihan sepertiitu.
Tapi nona bisa
ketemu dengan ketua Mahameru, pendeta
Macukunda yang
cukup bijaksana dan berilmu tinggi, ini dia
orangnya."
Gadis itu membungkuk menghormat. "Nama
saya Mei Hwa,
saya mengucap selamat panjang umur bagi
ketua Mahameru
dan semua pendekar di tanah Jawa ini. Saya
bersama empat
orang teman, yang ini Liong Sam, ini Put
Hai, Siong Bu Kam,
dan itu Tan Bing. Kami datang membawa pesan
dari
pemimpin rimba persilatan di negeri kami,
Sam Hong."
Macukunda memerhatikan satu per satu orang
asing di
hadapannya. "Apa pesannya, nona. Boleh
dijelaskan di sini
juga, apakah itu rahasia penting?"
Ketika itu sepasang mata Mei Hwa yang indah
memandang
Manjangan Puguh. Mei Hwa menegur dengan
ramah, "Tak
tahunya kembali saya berjumpa dengan
pendekar budiman Ki
Manjangan Puguh, hormat saya untuk anda
semoga panjang
umur, terimakasih atas pertolongan tuan
pendekar."
Manjangan Puguh agak gugup menjawab,
"Nona, itu tak
perlu terlalu diingat, setiap orang harus
menolong orang lain
yang sedang memerlukan pertolongan. Aku
hanya membantu
kalian mengusir sekelompok penjahat dan
menunjuk jalan ke
Mahameru ini, bukan sesuatu yang terlalu
besar."
Mata sipitnya berbinar ketika ia mengangguk,
"Bagaimanapun juga pertolongan itu
tetap suatu jasa baik
yang harus diingat." Mei Hwa memandang
Manjangan Puguh
dengan senyumnya yang manis.
Mei Hwa kemudian menoleh ke arah Macukunda
dan
tersenyum ramah. "Maaf, saya harus
mendahulukan pendekar
yang telah menolong kami dari kesulitan.
Tentang apakah itu
rahasia, penting atau tidak, saya serahkan
kebijaksanaan
kepada bapak pendeta."
Mei Hwa merogoh surat dari balik bajunya,
lalu diserahkan
kepada Macukunda. Pendeta ini membuka surat
dan membaca
pesan yang ditulis dalam aksara Jawa.
Macukunda menghela
nafas.
"Pendekar sekalian, surat ini berisi
pesan adu tanding
antara pihak tanah Jawa dengan Kuangchou.
Pertandingan
dimajukan dua Inilah lantaran perhitungan
arus dan angin
dalam pelayaran. Dengan demikian
pertandingan akan
berlangsung tepat di malam purnama bulan
Aswina, berarti
masih ada waktu empatpuluh lima hari lagi.
Tempatnya di
hutan bagian selatan bukit
Penanggungan".
Hari masih belum senja, sehingga semua orang
masih
sempat pamitan turun gunung. Tanpa malu-malu
Mei Hwa
mendekati Manjangan Puguh, menanyakan di
mana ia bisa
menginap supaya pagi-pagi sekali bisa turun
gunung. Sebelum
Manjangan Puguh menjawab, Wulan mendahului
mengajak
Mei Hwa bergabung. "Kamu ikut kami
turun gunung, nanti
malam kita sama-sama mencari tempat
bermalam"
Wisang Geni mengajak Sekar. Keduanya
kemudian pamit
pada nenek Dewi Obat. Sambil memeluk
neneknya Sekar
menangis dan berbisik, "Aku harus
mengikuti suamiku, nek."
Rombongan besar Lemah Tulis bersama kelompok
Ranggawuni dan lima utusan Kuangchou
sama-sama turun
gunung. Di tengah jalan Wisang Geni melihat
wajah Wulan
agak muram Tak seperti biasa, diam-diam Geni
mendekati.
Tetapi Wulan tidak memberi reaksi seperti
biasa, malahan
menjauh. Dalam hati Geni berpikir mungkin
Wulan malu jalan
berdampingan. Geni menoleh mencari di mana
Sekar,
dilihatnya gadis itu berjalan bersama
Prawesti, cucu Gubar
Baleman itu.
Malam itu rombongan bermalam di sebuah desa.
Kebetulan
kepala desanya adalah anggota dan anak buah
Demung
Pragola sehingga tidak sulit untuk meminjam
balairung balai
desa yang luas dan terbuka untuk tempat
bermalam
Sehabis santap malam, semua orang duduk
dalam
beberapa kelompok. Semua tampak gembira,
cerita tentang
pertarungan Mahameru seakan tak pernah
habis. Ada seorang
yang malam itu justru sangat gundah, dia
Walang Wulan.
Wajahnya murung, seperti halnya mendung yang
menutupi
kecantikan bulan. Malam sudah agak larut
tapi Wulan tak bisa
memejamkan mata.
Pikirannya menerawang ke mana-mana. Ia
berpikir macammacam
Ia melihat bagaimana Sekar tadi siang berani
menghadapi bahaya maut demi menolong Wisang
Geni.
Kepandaian Sekar terlalu rendah, tetapi ia
berani menerobos
arena menghadapi Malini yang kosen dan
berilmu tinggi.
Masih banyak gadis-gadis lain yang lebih
muda yang mau
berkorban jiwa demi Geni. Masih banyak gadis
muda lainnya
yang mau menyerahkan diri menjadi isteri
atau selir dari ketua
Lemah Tulis yang perkasa itu.
Wulan makin mengenal diri sendiri, ia adalah
tipe
perempuan pencemburu Ia tahu akan banyak
gadis memburu
Geni. "Bisa bisa aku mati lantaran
cemburu setiap hari,"
bisiknya. Wulan menarik kesimpulan sepihak,
kedudukannya
sebagai ketua Lemah Tulis membuat Wisang
Geni kini bukan
milik Walang Wulan sendiri, tetapi milik
orang banyak.
Entah bagaimana tiba-tiba Waning Hyun sudah
duduk di
sampingnya. "Mbakyu Wulan, aku tahu apa
yang kau pikirkan.
Biar kutebak, tapi kau harus jujur, jika
tepat kamu harus
membenarkan ?"
"Mana mungkin kamu tahu apa yang
kupikirkan?" Wulan
tadinya memiliki rasa tidak suka pada Waning
Hyun setelah
mengetahui dirinya adalah putri Mahisa
Walungan sementara
Hyun adalah cucu Ken Arok. Dendam perang
Ganter menjadi
sebab. Tetapi Wulan akhirnya bisa menerima
kenyataan
bahwa sejarah masa lalu Kertajaya, Mahisa
Walungan, Ken
Arok tak ada sangkut paut dan hubungan
langsung dengan dia
dan Waning Hyun. Pelan pelan Wulan mulai
menyukai putri
keraton ini.
"Mbakyu, kamu memikirkan Wisang Geni,
dia sekarang
ketua Lemah Tulis yang mungkin akan
melupakan kamu,
benar kan?"
Wulan memandang heran pada adik seperguruan
ini.
"Bagaimana kamu bisa menebak
jitu?"
Waning Hyun menghela nafas, duduk menyandar
kepalanya ke pundak Wulan. "Mbakyu, aku
juga sering
memikirkan nasibku kalau kelak menjadi
isteri raja.
Ranggawuni suatu hari pasti akan menjadi
raja. Seorang raja
di tanah Jawa harus memiliki banyak selir.
Dan aku harus
menerima kenyataan ini, rela melihat suamiku
membagi
cintanya kepada perempuan lain. Bukan itu
saja, suamiku juga
bukan milikku lagi, dia milik kerajaan,
milik rakyat, dia harus
menyisihkan banyak waktu untuk kerajaan dan
rakyatnya. Aku
mungkin hanya kebagian sisa waktunya yang
lowong.
Keadaanmu dengan Wisang Geni masih jauh
lebih ringan
ketimbang yang kuhadapi, mbakyu."
Wulan terkejut, ia menatap Waning Hyun
dengan nanar.
"Tetapi kamu tahu dari mana kalau aku
sedang memikirkan
Geni?"
"Aku perempuan, mbakyu. Aku melihat
wajahmu yang
gundah seharian ini, padahal Geni begitu
hebat mengangkat
citra dan derajat Lemah Tulis. Kau bahkan
menjauh dari Geni.
Aku lantas menarik kesimpulan, pasti ada
yang tidak beres
menyangkut hubunganmu dengan Geni."
"Kupikir memang Geni kini bukan lagi
milikku, aku harus
rela dan ikhlas melepasnya."
"Kalau itu keputusan kalian berdua, aku
tak bisa komentar
apa-apa. Tetapi kalau itu keputusanmu
sendiri, tanpa setahu
Geni, maka itulah keputusan paling
bodoh!"
Walang Wulan terkejut, ia mengerutkan
kening. Waning
Hyun tampaknya tak peduli kata-katanya telah
membuat
wajah Wulan memerah saking malu dan
tersinggung. Ia
melanjutkan dengan wejangan yang bermaknakan
falsafah
hidup. Sulit dibayangkan gadis muda memiliki
wawasan hidup
yang begitu luas.
"Hidup ini cuma mengenal dua sisi.
Mimpi dan kenyataan.
Kalau sedang memburu sesuatu yang kita
inginkan, itu
namanya mengejar mimpi. Kalau gagal, kita
tidak rugi, sebab
kita cuma kehilangan mimpi. Lain hal kalau
kehilangan sesuatu
yang sudah dalam genggaman, yang sudah kita
miliki. Itu
namanya rugi. Kata guru, kejarlah mimpi
dengan ngotot dan
kerja keras, hasilnya bisa gagal, bisa
sukses. Kalau gagal
jangan putus asa. Di sisi lain kita harus
ngotot dan berupaya
keras mempertahankan apa yang sudah menjadi
milik kita.
Dalam hal ini kita tak boleh gagal, kita
harus berjuang keras
mempertahankannya!"
Wulan memandang Waning Hyun dengan takjub.
"Dari
mana kau peroleh pelajaran hidup itu?"
"Siapa lagi kalau bukan guru Gajah
Watu. Kamu tahu,
mbakyu, guruku itu pernah mencintai seorang
gadis pendekar,
tetapi dia telah menyia-nyiakan kesempatan
mendapatkan
gadis itu sebagai isteri. Dia menyesal, itu
sebab sampai
sekarang dia tak mau terikat oleh seorang
wanita pun,
padahal di keraton banyak gadis yang mau
menjadi isterinya."
Wulan terkejut, tetapi menyembunyikan
wajahnya. Dia
takut jangan sampai Waning Hyun membaca
pikirannya.
Sebab dia tahu, siapa gadis yang dimaksud
Gajah Watu itu.
"Jadi sebenarnya dia mencintai aku?
Seandainya dia melamar
aku, pasti aku bersedia waktu itu. Tetapi
dia hanya
membutuhkan tubuhku saja," katanya
dalam hati. Dia tanpa
memandang adik seperguruannya, dia bertanya
dengan
berdebar-debar. "Gurumu, menyebut siapa
gadis itu, aku jadi
ingin tahu?"
Waning Hyun menggeleng kepala. 'Tidak. Kata
guruku, itu
rahasia yang akan dibawanya sebagai kenangan
pribadi.
Tetapi dari pengalaman itu, dia memberiku
nasehat, jangan
melepas apa yang sudah ada di dalam
genggaman, jangan
bodoh!"
"Kira-kira apa yang harus kuperbuat,
adik manis?"
"Bukan lagi kira-kira, tapi suatu
keharusan! Kamu harus
mempertahankan Wisang Geni, apapun
rintangannya! Kamu
sudah memperoleh cintanya, kini tinggal kamu
pertahankan
itu! Kamu mimpi hidup berdampingan
dengannya, nah
kejarlah mimpi itu dengan larimu yang paling
kencang!"
"Adik Hyun, kamu masih begini muda tapi
pandanganmu
tentang hidup, bukan main luas dan
bijaksananya!"
Waning Hyun menghela napas. "Mbakyu,
aku tadinya
hanya mempersiapkan diri menjadi isteri
seorang lelaki. Tetapi
belakangan ini aku harus menerima kenyataan lain,
menjadi
isteri seorang pangeran yang tak lama lagi
akan menjadi raja.
Aku harus siap melepas kebebasan dan
kemerdekaan yang
sudah membesarkan aku selama ini."
Wulan memeluk Hyun. "Apalagi yang
membuat kau gelisah.
Mimpi seorang puteri keraton adalah menjadi
isteri seorang
raja, kau seharusnya bahagia!"
"Ya, seharusnya demikian." Suara
Waning Hyun terdengar
agak parau. Ada suara duka di dalamnya.
Keduanya beranjak masuk ke dalam kamar.
Wulan masih
memikirkan pembicaraannya dengan Waning Hyun
dan
bagaimana sikapnya menghadapi Wisang Geni.
Ia sudah
hendak tidur ketika terdengar suara orang
menyanyikan
kidung Jurus Penakluk Raja. Suaranya dingin
dan sinis, ciri
suara seorang pembunuh. Suara itu bening dan
jernih,
pertanda tenaga dalam orang itu dari pendekar
kelas atas.
Di tengah gelapnya malam, udara yang dingin
serta
heningnya suasana, kidung itu membangkitkan
bulu roma.
Ada hawa pembunuhan yang terbawa dalam nada
suara si
penyanyi.
Dari gunung Lejar
Jurus penakluk
Raja Ilmu dari segala
ilmu
Melenggang ke Barat
Meluruk ke Timur
Merangsak ke Utara
Merantau ke Selatan
Tak ada lawan
Tak ada tandingan
Ilmu dari segala ilmu
Tiga perempuan di kamar iiu melompat bangun,
terutama
Mei Hwa yang dari tadi sudah pulas. Gadis
dari Kuangchou ini
tak mengerti apa persoalannya. Ia bangun
karena mendengar
suara ribut yang ditimbulkan tiga rekan
sekamarnya, Waning
Hyun, Sekar dan Walang Wulan.
Wulan berseru perlahan, "Itu Kidung
Maut!" "Tiga kali
kidung dinyanyikan Berarti malam ini sebelum
fajar
menyingsing, ada tiga orang yang jiwanya
bakal melayang di
rumah ini. Sungguh temberang si Kidung Maut,
tidak tahukah
dia bahwa di rumah ini berkumpul banyak jago
dari kalangan
kelas atas?" Kata-kata Wulan itu
semakin membuat Mei Hwa
bingung.
Tetapi gadis Kuangchou itu tak sempat bertanya
lebih
lanjut. Terdengar suara Ki Demung Pragola
membelah
kesunyian malam yang sudah mulai hangat
suasananya.
"Harap semua orang berkumpul di ruang
tengah! Kita bentuk
lingkaran dengan setiap orang menghadap
keluar."
Ruangan itu memang besar dan luas. Semua
orang sudah
berkumpul di ruang tengah. Seluruhnya
terhitung tigapuluh
tujuh orang, termasuk tuan rumah dan
keluarganya, Ki
Demung Pragola mendudukkan cucunya di
dekatnya. "Nduk,
kau tak boleh berpisah dengan kakek, biar
sesaat pun! Ingat
itu, nduk”
Demung Pragola memandang semua orang. Di
situ ada
Padeksa, Gajah Watu, Sang Pamegat, Manjangan
Puguh,
Wisang Geni, Ranggawuni, Mahisa Cempaka,
Waning Hyun,
Walang Wulan, delapan pendekar Tumapel, lima
utusan dari
Kuangchou, beberapa murid Lemah Tulis dan
beberapa murid
perguruan DemungPragola.
Melihat wataknya yang agak berangasan, tak
heran
Demung Pragola kesal bagai kebakaran
jenggot. "Sungguh
sombong dan temberang si Kidung Maut itu. Ia
terlalu
memandang enteng kita semua yang ada di
sini. Aku Demung
Pragola merasa terhina kalau sampai ada
orang yang menjadi
korban sementara aku ada di sini. Tuan-tuan
apa yang harus
kita lakukan?"
Sang Pamegat seperti juga Ki Demung Pragola
merasa
sangat terhina dengan kejadian ini.
"Kita tunggu saja, sampai
di mana kehebatan si Kidung Maut itu. Aku
ingin melihat
apakah darahnya juga merah seperti
darahku?"
Manjangan Puguh memandang Wisang Geni yang
kebetulan sedang menatapnya. Hampir tujuh
purnama silam
dia bertiga Padeksa dan Wisang Geni
menghadapi situasi
sama. Waktu itu si Kidung Maut berhasil
memenuhi
kebiasaannya, membunuh orang sesuai jumlah
kidung yang
dia lembangkan. Apakah kali ini ia juga akan
berhasil lagi
membunuh orang sesuai keinginannya?
Manjangan Puguh berjalan hilir mudik,
tampaknya ia
sedang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia
bertanya kepada
muridnya, "Ketika tadi bertempur dengan
perempuan
Jambudwipa itu, apakah kau temukan sesuatu
yang aneh,
Geni?”
"Tidak, tak ada yang aneh guru!"
Mata Geni melihat Sekar
dan Wulan yang duduk jauh dari tempatnya. Ia
menggapai
dua gadis itu agar duduk di dekatnya. Dua
perempuan itu
beranjak mendekati tempat Geni.
Manjangan Puguh melanjutkan pembahasannya,
hanya
berdua Wisang Geni, tak ada orang yang
mendengarnya
karena pembicaraan dilakukan dengan ilmu
pendam suara.
"Maksudku begini, setahun lalu kita
bertiga bersama Ki
Padeksa pernah tarung dengan si Kidung Maut.
Waktu itu kita
sepakat si Kidung Maut sesungguhnya adalah
seorang
perempuan. Sejak hari itu aku mengejar
pembunuh kejam itu.
Dari beberapa kejadian aku yakin pembunuh
itu terdiri dua
orang. Keduanya berilmu tinggi Satu di
antaranya perempuan.
Satunya lagi kuyakin laki-laki. Dan aku
yakin malam ini,
keduanya akan turun tangan bersama."
Wisang Geni terkesiap. "Kalau begitu
malam ini kita
menghadapi lawan berat. Satu Kidung Maut
saja sudah sulit di
lawan, apalagi kini dua orang. Kita tak
boleh lengah, benarbenar
harus waspada."
"Geni, setahun lalu kau mengatakan
mencium wewangian
perempuan waktu kau bergebrak dengan si
Kidung Maut,
kamu masih ingat? Tadi waktu kau bertarung
dengan Malini,
adakah kau mencium aroma wewangian yang
sama?"
Wisang Geni berdiam, mencoba
mengingat-ingat. Saat itu
semua orang diam, masing-masing sibuk menata
diri,
mempersiapkan tenaga menghadapi serangan
yang mendadak
dari iblis pencabut nyawa itu. Geni bertanya
pada gurunya,
"Guru, kenapa kau mencurigai perempuan
dari negeri
Jambudwipa itu?"
Tetapi sebelum dia menjawab, dia terkejut
dengan
kehadiran Mei Hwa yang melangkah
mendekatinya dan duduk
di sampingnya. "Pendekar Puguh, siapa
orang yang menyanyi
tadi, mengapa semua orang panik dan
bersiap-siap seperti
mau bertarung?"
Pendekar ini terkejut mendengar pertanyaan
Mei Hwa, ia
heran melihat sikap wanita Cina ini yang
memperlihatkan
perhatian kepadanya. Ia menjawab dengan
tersenyum
"Penyanyi kidung itu adalah pembunuh
kejam, dia selalu
membunuh dengan terlebih dahulu menyanyikan
kidung
tersebut, tadi tiga kali dia mengulang
kidung itu artinya dia
akan membunuh tiga orang di antara kita, dan
itu akan dia
lakukan sebelum fajar menyingsing."
Puguh menoleh kepada Wisang Geni. Dia bicara
lirih,
sengaja biar Mei Hwa juga bisa mendengar.
"Selama
penyelidikan aku temukan keanehan bahwa
orang
Jambudwipa itu sering kali berada di sekitar
tempat
pembunuhan. Seperti malam ini, bukankah tadi
siang kita
bertemu mereka?"
Tiba-tiba Wisang Geni berseru, suaranya agak
keras, "Guru,
memang dia!" Dia kemudian menyambung
bicaranya dengan
suara lirih. "Tadi memang aku mencium
wewangian. Tapi
wewangian yang tadi masih asing bagiku, tak
bisa kuingat
atau membandingkannya. Lain hal saat aku dan
Sekar dipaksa
menelan racun oleh Malini dan Kumara, waktu
itu Malini
berdiri dekat denganku, sehingga aku mencium
wewangian
yang rasanya pernah kukenal. Hanya saat itu
aku lupa. Kini
aku ingat, wewangian itu sama, wewangian
yang dipakai
Malini sama wanginya dengan wewangian yang
dipakai si
Kidung Maut. Tetapi guru mungkinkah dua
pendekar asing itu
yang menyamar sebagai Kidung Maut?"
Manjangan Puguh manggut-manggut.
"Tadinya, aku sedikit
ragu, kini tidak lagi. Aku berani
mempertaruhkan kepalaku, si
Kidung Maut adalah dua pendekar Jambudwipa
itu, aku pasti!"
Mei Hwa penasaran. "Tapi apa kira-kira
alasan mereka?
Mengapa mereka suka membunuh?"
Wisang Geni berseru, "Guru, aku tahu
sebabnya! Ketika aku
terluka, mereka membujuk aku, mereka akan
menyembuhkan
lukaku kalau kuberitahu di mana tempat Eyang
Sepuh
Suryajagad bertapa. Tadi pagi, kembali ia
menanyakan hal
yang sama dengan ancaman akan memfitnah
diriku di depan
umum Ia juga menyebut Resi Lahagawe yang
pernah dihajar
Eyang Sepuh di perang Ganter. Hubungannya
jelas, dengan
menyanyikan kidung Jurus Penakluk Raja yang
pernah
dinyanyikan Eyang Sepuh, mereka memancing
agar Eyang
Sepuh mau keluar dari pertapaan."
Manjangan Puguh tertawa. "Itu sebabnya,
setiap
menyanyikan kidung itu, kepala kidung tidak
ikut
dinyanyikan!"
Mei Hwa memegang tangan Manjangan Puguh,
"Kangmas
Puguh, aku ingin mendengarkan kidung
Penakluk Raja yang
lengkap."
Jantung Manjangan Puguh berdebar kencang.
Dia juga
merasa heran dengan dirinya, mendadak saja
dia timbul birahi
dan rangsangan nafsu saat Mei Hwa duduk di
dekatnya. Bahu
Mei Hwa sesekali menempel dengan bahunya.
Kini tangan
gadis Kuangchou itu malah menggenggam
tangannya. Puguh
menggunakan ilmu pendam suara ditujukan
kepada gadis
cantik itu. Dia menyanyikan kidung yang
lengkap.
Ilmu dari seberang
Tak boleh tepuk dada
Di Tanah Jawa ini
Dari Gunung Lejar
Jurus Penakluk Raja
Ilmu dari segala Ilmu
Melenggang ke Barat
Meluruk ke Timur
Merangsak ke Utara
Merantau ke Selatan
Tak ada Lawan
Tak ada Tandingan
Ilmu dari segala Ilmu
Suara Puguh kasar dan gemetaran, tetapi Mei
Hwa
meleletkan lidah. Dalam hatinya ia kagum
terhadap pencipta
kidung. Kagum bahwa orang itu begitu percaya
pada ilmunya.
Dan bahwa ilmu tiada tandingan tentu bukan
sembarang ilmu.
Ilmu dari segala ilmu
Mei Hwa masih mau bertanya, tetapi dicegah
oleh Puguh.
Karena saat itu dia melihat Wisang Geni
berjalan keluar
menuju alam terbuka.
Gerak gerik Wisang Geni tidak luput dari
pengamatan
Wulan dan Sekar. Keduanya saling memberi
isyarat, keduanya
mengikuti Geni melangkah keluar. Wulan
bertanya. "Geni, ke
mana kau?" Ada rasa khawatir dalam
getar suaranya.
Wisang Geni menoleh, dia menggapai dua
kekasihnya itu.
Ketiganya menjauh dari rumah besar. Dua
perempuan itu
terkejut ketika Wisang Geni tertawa,
menggunakan tenaga
dalam. Tertawanya, khas tertawa lembah kera.
Tawa itu
berkumandang ke segala penjuru, panjang
bergelombang,
jernih dan lepas. Geni sengaja menggunakan
tenaga Wiwaha
sehingga siapa pun yang mendengar pasti akan
meleletkan
lidah kagum akan kekuatan tenaga dalam Geni
Bahkan tokoh
seperti Sang Pamegat, dan Demung Praloga,
sampai terpaku
di tempatnya.
Mendadak tertawa itu terhenti, saat
berikutnya terdengar
suara Geni. "Kalian berdua hentikan
pembunuhan yang tak
ada gunanya ini Satu purnama mendatang, aku
akan menemui
kalian berdua untuk melunasi segala hutang
piutang di antara
kita. Tempatnya di warung tempat kita
bertemu dulu."
Suara Geni ini terdengar jelas, lantang dan
jernih
menerobos ke empat penjuru angin. Gemanya
terdengar jauh
nun di sana saling bersahutan. Lama sekali
baru gema itu
lenyap. Semua orang di situ termasuk Mei Hwa
dan empat
kawannya, mengakui hebatnya tenaga dalam
Geni.
Demung Pragola menghela napas. "Sungguh
benar kata
orang, gelombang di belakang selalu
menghempas gelombang
di depannya. Dari mana Lemah Tulis bisa
memperoleh murid
seperti Wisang Geni. Sayang aku tak melihat
bagaimana ia
menghabisi riwayat Kalayawana."
Malam sunyi sepi. Tak lama terdengar suara
kidung
dinyanyikan orang. Makin lama suara kidung
makin menjauh
sampai akhirnya lenyap ditelan kebisuan
malam
Manjangan Puguh tampak kesal. "Mereka
sudah pergi!"
Demung Pragola dan Padeksa hampir bersamaan
menyahut, "Tak boleh percaya. Kita
harus tetap waspada dan
tetap berkumpul bersama-sama di ruangan
ini."
Mei Hwa menegur Manjangan Puguh.
"Kenapa kau kesal,
kangmas. Dengan perginya iblis pembunuh kan
kita tak perlu
bertempur lagi."
Manjangan Puguh menatap wajah cantik di
depannya. Ia
tak bisa menyembunyikan perasaan
tertariknya. Dua kali gadis
itu memanggilnya kangmas. Agak gugup Manjangan
menjawab. "Benar katamu. Tapi aku
khawatir keselamatan
Wisang Geni dalam pertarungannya dengan dua
orang itu."
"Kamu tak usah khawatir. Muridmu itu
memiliki ilmu silat
yang jarang bisa dicari bandingannya. Tenaga
dalam seperti
itu di negeriku mungkin hanya dimiliki oleh
ketua Sam Hong
saja. Tetapi mas, jika muridmu sebegitu
hebatnya tentu kamu
sebagai gurunya memiliki ilmu silat yang
lebih hebat lagi."
"Tidak bisa mengukur ilmu silat
seseorang dengan cara
begitu. Dulu, memang dia pernah kudidik sebagai
murid,
tetapi waktu berjalan terus, dia punya jalan
lain, aku
menempuh jalan lain. Aku senang bahwa
muridku
memperoleh keberuntungan sehingga ilmu
silatnya meningkat
pesat, aku rasa sekarang ini dia sudah
mencapai tingkatan di
atasku. Dan aku sangat bangga padanya."
Mei Hwa tersenyum Ia memegang tangan
Manjangan
Puguh yang tentu saja bertambah gugup.
"Mas, kamu
pendekar yang bermoraL Aku bersyukur kamu
tidak termasuk
dalam lima jago tanah Jawa yang akan pibu
adu silat dengan
jagoan kami."
"Kenapa kamu berkata demikian."
Mei Hwa merunduk. "Aku tak mau kamu
terluka."
Manjangan Puguh terkesiap. Ia
bertanya-tanya, apakah
gadis cantik ini menyatakan perasaan cinta
kepadanya? Ia
masih gugup ketika Mei Hwa menggenggam
tangannya dan
menarik menjauh dari orang-orang.
"Kangmas Puguh, ketika
kamu menolong kami dari keroyokan penjahat,
kamu sudah
memeluk tubuhku Terus terang selama ini,
tubuhku belum
pernah dipeluk seorang lelaki. Aku mau
tanya, kamu harus
jawab jujur, kamu bisa melakukan pertolongan
itu tanpa harus
memeluk aku, kenapa kamu memeluk aku?"
Manjangan Puguh tersenyum "Mei Hwa, aku
tahu kamu
punya ilmu silat yang mungkin tidak berada
di bawah
tingkatanku, mengapa kamu tidak menghajar
penjahat itu,
tetapi pura-pura lemah dan memberi
kesempatan aku
menolongmu, kamu juga tidak berontak malah
membiarkan
aku memelukmu?"
Mei Hwa tersipu-sipu. Ia merunduk. "Aku
yang bertanya
dulu, kamu tak boleh balik bertanya, kamu
harus
menjawabnya dulu."
Manjangan Puguh menoleh sekeliling. Tak ada
orang yang
memerhatikan. Ia memegang tangan Mei Hwa,
menciumi
tangan itu. "Aku menyukaimu sejak
pertama melihatmu, Mei
Hwa." Berikutnya dua insan itu terlibat
dalam pembicaraan
akrab.
Di sudut sana Ranggawuni juga sedang ngobrol
dengan
Waning Hyun. Sedang di luar ruangan, dekat
taman, Wisang
Geni dan Walang Wulan saling menatap.
Ternyata Waning
Hyun berhasil mengubah sikap Wulan, yang
tadinya serba
ragu kini hangat kembali.
"Geni, kau kini sudah jadi ketua, aku
bawahanmu Dalam
soal ilmu ilmu silat, kamu pun lebih kuat.
Sebagai suami, kamu
tentu punya banyak kelebihan, aku mau tanya
apakah
nantinya kamu akan berlaku galak
terhadapku?"
Geni tak menjawab, malahan balas bertanya,
"Kenapa
seharian ini kau menjauh dariku, apakah aku
berbuat sesuatu
yang membuatmu marah atau tersinggung?"
"Kau belum menjawab pertanyaanku!"
"Kau jawab dulu pertanyaanku!"
Wulan menggeleng.
Geni tersenyum "Kamu terkadang memang
keras kepala."
0 komentar:
Posting Komentar