"Sama sekali tidak, Adinda.
Kereta-kereta kerajaan tiap hari
hilir-mudik antara ibu kota dengan kota-kota
kerajaan lainnya.
Kakanda kenal baik dengan petugas yang
menguasai dan
mengurus kereta-kereta ini. Jadi, tidak
menyusahkan sama
sekali. Bahkan Kakanda pun akan berusaha
untuk suatu kali
berkunjung ke Galuh."
"Terima kasih banyak, Kakanda, dan maaf
kalau terlalu
menyusahkan."
"Sama sekali tidak, Adinda."
Mereka keluar dari ruangan itu dan ketika
mereka berjalan
di lorong besar yang diterangi oleh
lentera-lentera minyak,
Pangeran Rangga Wesi berhenti berjalan dan
memegang
tangan Pangeran Muda sambil menunjuk ke arah
rombongan
bangsawan yang juga berjalan di lorong
besar.
"Itulah sang Prabu, yang berjalan di
tengah," kata
Pangeran Rangga Wesi kepadanya.
Pangeran Muda memandang ke arah seorang tua
yang
bersuasana agung. Beliau diiringi oleh
beberapa orang
bangsawan lain, sedang di belakang beliau
berjalan
puragabaya-pura-gabaya yang sudah
dikenalnya, yaitu Geger
Malela, Rangga
Gempol, Girang Pinji, dan puragabaya Rangga
Sena.
Sejenak kemudian, mereka pun sudah kembali
ke ruangan
tempat bangsawan-bangsawan muda belajar. Di
sana
Ayahanda sudah menunggu.
PANGERAN Muda meninggalkan istana ketika
malam sudah
larut sekali. Ketika tiba di pintu sayap
barat istana dan dalam
ruangan tempat Ardalepa menunggu, tampak
oleh Pangeran
Muda pemuda itu murung.
"Apa yang terjadi, Ardalepa?"
"Beberapa orang kawan saya ditangkap
oleh jagabaya,
demikian juga bangsawan-bangsawan muda dari
utara kota."
"Karena perkelahian itu?"
"Ya, kami dianggap mengganggu
ketenteraman umum,
Anom."
"Apakah tuduhan itu salah?"
Ardalepa tidak menjawab. Mereka segera
meninggalkan
ruangan itu dan masuk ke dalam malam yang
diterangi oleh
obor-obor sepanjang jalan.
Di samping obor-obor itu, malam diterangi
oleh bintangbintang
di langit yang cerah. Pangeran Muda teringat
pada
malam-malam di kota Medang, di saat-saat ia
mengintip Putri
Yuta Inten. Keresahan mulai lagi mengganggu
hatinya yang
dipenuhi dengan berbagai pertanyaan: Apakah
Gita dan Jatun
serta kawan-kawannya berhasil menyampaikan
surat-surat
dan perhiasan yang dikirimkannya kepada
Putri Yuta Inten?
Mungkinkah mereka mendapat kesukaran atau
diketahui oleh
Raden Banyak Citra, lalu perbuatan itu
dianggap tidak sopan
oleh bangsawan yang keras itu? Mungkinkah
Gita dan Jatun
dirampok di tengah jalan dan surat serta
perhiasan itu
melayang dan tidak diketahui nasibnya?
Bagaimana kalau
surat itu disalahgunakan oleh orang-orang
jahat?
Sambil berjalan dengan gelisah, Pangeran
Muda pun
berharap semoga di kepuragabayaan sudah tiba
Gita dengan
kawan-kawannya. Akan tetapi, ketika mereka
tiba di sana,
yang tampak hanyalah para calon yang sedang
membicarakan
nasib para panakawan yang diambil oleh
jagabaya akibat
terlibat dalam perkelahian. Sebenarnya para
calon tidak
tertarik benar oleh kejadian itu. Demikian
juga Pangeran
Muda, yang menganggap kejadian itu sebagai
suatu hal yang
sewajarnya.
Yang menarik perhatian Pangeran Muda adalah
Jante
Jalawuyung yang kalau dikehendaki oleh Sang
Hiang Tunggal
akan jadi iparnya. Belakangan ini Jante
menempati tempat
khusus dalam hati Pangeran Muda. Rasa
persahabatan
berubah menjadi rasa sayang persaudaraan.
Walaupun
demikian Pangeran Muda belum berani
membukakan isi
hatinya kepada Jante. Pertama, anak muda itu
sangat
tertutup; kedua, wataknya yang keras
mencegah Pangeran
Muda untuk membicarakan hal-hal semacam itu
dengan dia.
Akan tetapi, rasa sayangnya tidak berarti
berkurang pada anak
muda itu. Malam itu juga Pangeran Muda
memilih salah
sebuah senjata kecil yang indah, sebuah badik
yang pamornya
disulam dengan emas. Dengan membawa senjata
itu,
Pangeran Muda berkunjung ke kamar Jante.
"Silakan duduk, Anom."
'Jante, saya dengar kau mendapat tugas di
Kutabarang.
Saya harus pergi ke Galuh, kita akan sangat
berjauhan."
"Ya, Anom, sekurang-kurangnya kita
tidak akan bertemu
dalam tiga tahun," ujar Jante sambil
memandang kepadanya.
'Jante, kau sangat baik kepadaku selama ini,
saya ingin
mengucapkan terima kasihku kepadamu, tapi
kata-kata tidak
cukup untuk itu. Demikian juga cara lain,
tidak akan dapat
mengucapkan terima kasih dan rasa ...
persahabatanku
kepadamu. Akan tetapi, saya tetap ingin
mengucapkannya dan
untuk itu terimalah badik kecil ini sebagai
rasa terima kasih
saya dan tanda mata selama kita
berpisah."
Jante memandang benda itu, lalu menerimanya,
kemudian
ia berdiri merangkul Pangeran Muda.
"Seandainya, di dunia ini lebih banyak
orang yang seperti
engkau, Anom," kata Jante sambil
menekankan tangannya ke
pundak Pangeran Muda.
Rasa sayang dan rasa terharu bergalau dalam
hati
Pangeran Muda. Tak lama kemudian mereka pun
berpisahlah
karena malam sudah sangat larut.
KEESOKAN harinya dengan tidak sabar Pangeran
Muda
masih menunggu kedatangan Gita dan
kawan-kawan yang
seharusnya hari itu sudah tiba di Pakuan
Pajajaran. Karena
ketidaksabarannya itu, Pangeran Muda
memutuskan untuk
menunggu mereka di gerbang kota, sambil
berbincangbincang
dengan perwira jaga dan tukang-tukang kuda
yang
telah dikenalnya. Dengan ditemani oleh
Ardalepa, pergilah
Pangeran Muda ke sana.
Baru sejenak mereka tiba di sana, dari jauh
tampaklah
rombongan Gita. Pangeran Muda menjemputnya
dan dengan
bertubi-tubi bertanya tentang hasil tugas
mereka. Gita yang
masih kehabisan napas tidak banyak menjawab,
tetapi
menyerahkan sebuah kotak-lontar kecil yang
indah dan harum
baunya.
"Dari Tuan Putri," katanya kepada
Pangeran Muda.
Pangeran Muda menerimanya, lalu membawa Gita
ke
kepuragabayaan untuk istirahat dan minum
sebentar. Setelah
itu, sesuai dengan pesan Ayahanda, rombongan
Gita disuruh
pergi ke sayap barat istana, untuk menginap
dan menerima
pesan-pesan dan barang-barang dari Ayahanda
sebelum
mereka kembali ke Puri Anggadipati.
Setelah rombongan Gita segar kembali dan,
dengan diantar
Ardalepa, meninggalkan kepuragabayaan untuk
bertemu
dengan Ayahanda di sayap barat istana.
Pangeran Muda
segera masuk ke ruangannya dan dengan
mengunci diri mulai
membuka kotak lontar kecil yang indah itu.
Dengan tangan gemetar, dipegangnya helai
pertama daun
lontar yang berisi tulisan Putri Yuta Inten
yang kecil-kecil tapi
jelas dan cantik itu:
Kakanda,
Hamba seperti seorang yang sudah lama
menginginkan
sebuah permata, kemudian karena nasibnyayang
baik,
permatayang sudah lama diinginkannya itu
diberikan
kepadanya, tetapi baru saja sekejap
dipegangnya sudah harus
diserahkan kembali untuk disimpan di
tempatyang tidak
diketahuinya.
Kakanda,
Perasaan apakah namanyayang bergulat dalam
kalbu
hambayang menyebabkan hamba berurai air mata
tapi juga
mendorong hamba bersenandung dan tertawa.
Hamba
bukanlah hamba seperti lima hari yang lalu,
yang dengan hati
berat oleh rindu dan putus-asa, sempoyongan
di lorong-lorong
puri Ayahanda, sebuah bayang-bayang yang
sudah kehilangan
segala keinginan lain, kecuali mengikuti ke
mana Kakanda
pergi, menunggu di dekat tempat Kakanda
berada.
Dan kalau tangan hamba menyulam bunga-bunga
emas di
atas kain hitam atau bunga-bunga aneka warna
di atas kain
putih, khayal hamba pun menyulam berbagai
kisah asmara
antara kita berdua, kisah-kisahyang lebih
indah
daripadayangpernah dialami atau akan dialami
oleh manusia,
kisah-kisahyang lebih indah dari aneka
bunga-bungayang
hamba lukiskan pada kain-kain itu.
Alangkah nikmatnya menjalin khayalan menjadi
pengalaman-pengalaman yang indah. Akan
tetapi, hamba
bukan seorang Pohaciyang karena kasih Sunan
Ambu dapat
menjelmakan segalayang diinginkannya. Hamba
adalah
manusia biasa, seorang gadis yang sangat
sia-sia, yang
setelah berkhayal harus kembali mengakui
kenyataan. Hamba
mesti kembali mengerjakan pekerjaan
kewanitaan sehari-hari
dan menyadari bahwa hamba adalah seorang
yang
menginginkan sesuatu yang berada di luar
jangkauan seorang
gadis. Ah, betapa tersiksa nasib seekor
pungguk yang
memandang bulan dan memimpikan bulan itu
menjadi
miliknya.
Akan tetapi, pagi itu, tiba-tiba bulan itu
turun ke pangkuan
hamba. Hamba hampir-hampir tidak percaya
pada apa yang
terjadi. Bahkan sampai beberapa hariyang
lalu hamba masih
meragu-ragukan diri hamba sendiri.
Mungkinkah siluman
sudah lama sekali merebut kesadaran hamba,
hingga hamba
tidak lagi dapat membedakan khayal dan
kenyataan? Apakah
benar-benar Pangeran Anggadipati memanjat
benteng dahulu
sebelum beliau meninggalkan Medang?
Mungkinkah itu hanya
merupakan khayalan seorang gadis yang
terlalu sedih karena
akan ditinggalkan oleh sese-orangyang
dicintainya untuk
selama-lamanya? Hamba bertanya pada Emban
hamba,
apakah segala kejadian itu benar-benar
terjadi atau hanya
khayalan? Ketika dia mengatakanya, hamba
ragu-ragu,
kemudian tidak percaya, kemudian hamba
berdukacita.
Lalu datanglah surat Kakanda, dengan
perhiasan-perhiasan
yang indahyang menjadi wakil kasih sayang
Kakanda.
Sekarang, kalau hamba merasa ragu-ragu akan
diri hamba,
hamba tinggal membuka kotak lontar dan
meraba perhiasan
yang selalu ada di ranjang hamba. Hamba
adalah seorang
gadis yang paling berbahagia tapi juga
paling berat
menanggung rindu dan diganggu kecemasan.
Berbahagia
karena hidupnya telah diberi arti dan
diperindah oleh seorang
kesatria yang menjadi pujaannya. Akan
tetapi, juga
menanggung rindu yang hampir tidak
tertahankan karena
kesatriayang baru saja didapatnya sudah harus
meninggalkannya, entah untuk berapa, lama
akan berada di
tempat yang jauh. Kecemasan pun
menghantuinya karena
kesatria itu adalah pahlawan yang
pekerjaannya
menundukkan kejahatan dan hidup di
tengah-tengah bahaya.
Kakanda, perasaan apakah namanya yang
menyebabkan
hamba menangis dan tertawa? Perasaan apakah
namanyayang timbul dari pergulatan antara
kebahagiaan,
kerinduan, dan kecemasan? Dan, akankah hamba
kuat
menanggungkannya sampai Kakanda kembali?
Kalau Kakanda
tidak hendak menyiksa hamba, jagalah diri
Kakanda dari
segala bahaya, dan pulanglah segera kepada
hambayang
menantikan Kakanda senantiasa di kota,
Medang Yuta Inten.
Selesai membaca surat itu berdirilah
Pangeran Muda,
kemudian duduk lagi, kemudian berdiri dan
berjalan mondarmandir
dalam ruangannya. Setelah duduk kembali
untuk
beberapa lama, ia mulai membaca surat itu
kembali dan
setelah selesai membaca untuk ketiga
kalinya, dipakainya
pakaian perjalanan, lalu ia keluar dari
kamarnya menuju
kamar puragabaya Geger Malela yang menjadi
penguasa
kepuragabayaan. Akan tetapi, puragabaya itu
masih belum
kembali dari istana. Maka, tanpa memberi
tahu dan minta
dikawal oleh panakawannya Ardalepa, Pangeran
Muda
berjalan menuju istana kembali.
Sampai gerbang istana malam sudah larut,
untung penjaga
gerbang masih belum diganti, jadi masih
mengenalnya dan
mengizinkan Pangeran Muda masuk. Ternyata
pula Ayahanda
sudah beradu, dan Pangeran Muda langsung
menuju ruangan
tengah, tempat Pangeran Rangga Wesi belajar
dengan
bangsawan-bangsawan muda lainnya serta Putra
Mahkota.
Untung, karena ketekunan bangsawan-bangsawan
muda itu
mereka belum pulang dan masih belajar dan
bertukar pikiran
satu sama lain.
Setelah Pangeran Muda minta izin bertemu
dengan
Pangeran Rangga Wesi, seorang gulang-gulang
menyampaikan permohonannya itu kepada
Pangeran Rangga
Wesi yang dengan terkejut segera menemui
Pangeran Muda.
'Apakah yang terjadi Adinda? Sakitkah
engkau?" tanyanya
dengan cemas sambil memandang ke wajah
Pangeran Muda.
Untuk beberapa lama, Pangeran Muda tidak
menjawab, tetapi
dengan gemetar menyampaikan surat Yuta Inten
itu ke
tangan Pangeran Rangga Wesi, untuk kemudian
menariknya
kembali dan minta maaf. Pangeran Muda
berkata, "Kakanda,
hamba menerima surat. Hamba mohon maaf dan
minta
bantuan Kakanda, kapan hamba akan diperintahkan
untuk
pergi ke Galuh?"
"Maksudmu, bagaimana?" tanya
Pangeran Rangga Wesi
yang dengan cepat mengerti keadaan Pangeran
Muda.
"Kalau masih ada waktu, hamba bermaksud
pergi ke
Medang dahulu." Mendengar keterangan
itu termenunglah
Pangeran Rangga Wesi. Akan tetapi, setelah
beberapa lama ia
memegang pundak Pangeran Muda lalu
mengajaknya masuk
ke dalam dan mempersilakannya duduk.
Setelah mempersilakan duduk, Pangeran Rangga
Wesi
masuk ke ruangan belajar lain. Tak lama
kemudian kembali
dengan Putra Mahkota yang ternyata masih
mengenal
Pangeran Muda.
"Selamat datang, Anggadipati,"
ujar Putra Mahkota.
Pangeran Muda segera menghaturkan sembah.
Rupanya
masalah Pangeran Muda sudah dibicarakan
Pangeran Rangga
Wesi karena Putra Mahkota kemudian berkata,
"Begini,
Anggadipati. Sebenarnya para calon sudah
harus berangkat
dalam waktu seminggu. Sedang kau sendiri
karena bertugas di
tempat yang paling jauh, lusa sudah harus
meninggalkan ibu
kota. Walaupun begitu, saya dapat
mengusahakan
pengunduran waktu, tetapi tentu tidak lebih
dari satu hari
karena kalau lebih dari satu hari akan
mengganggu seluruh
rencana. Tentu hal itu tidak
kauinginkan."
"Hamba serahkan pada kebijaksanaan
Gusti Anom," ujar
Pangeran Muda.
"Kalau begitu tunggulah, saya harus
bertemu dengan
Pamanda Geger Malela yang bertanggung jawab
dalam
masalah ini," ujar Putra Mahkota seraya
mengajak Pangeran
Rangga Wesi meninggalkan ruangan itu dan
berjalan ke arah
ruangan lain. Tinggal Pangeran Muda dengan
beberapa orang
bangsawan muda yang sedang tekun belajar,
walaupun hari
sudah larut malam.
Pangeran Muda baru menyadari bahwa
perbuatannya
sangat nekat. Ia telah mengganggu bangsawan
muda yang
sedang belajar. Ia telah mengganggu Putra
Mahkota, dan ia
pun akan mengganggu puragabaya Geger Malela
yang
mungkin harus mengubah segala rencana semula
dalam
waktu singkat seandainya mengizinkan
Pangeran Muda untuk
mengunjungi Putri Yuta Inten sebelum pergi
ke Galuh. Apakah
pandangan dan anggapan para bangsawan serta
puragabaya
itu terhadapnya nanti? Mungkinkah
permohonannya itu
dianggap suatu kelancangan hingga akan
merendahkan
martabatnya sebagai calon?
Timbul niat dalam hati Pangeran Muda untuk
menggagalkan rencananya yang datang
tiba-tiba itu. Akan
tetapi, bayangan Putri Yuta Inten timbul
kembali dalam
kesadarannya, hingga tekadnya bertambah
keras untuk pergi
ke Medang dahulu sebelum berangkat. Ia tidak
dapat
membayangkan penderitaan macam apa yang akan
dideritanya seandainya sebelum pergi ke
negeri yang sangat
jauh itu tidak bertemu dulu dengan putri
yang dirindukannya.
Tak lama kemudian muncul pulalah Pangeran
Rangga Wesi
dengan Putra Mahkota, berjalan menuju
kepadanya,
"Anggadipati, Pamanda Geger Malela
tidak dapat
menangguhkan kepergianmu lebih dari satu
hari. Paling
lambat kau harus sudah berangkat hari
setelah lusa," ujar
Putra Mahkota.
"Terima kasih atas jerih payah Gusti
Anom," ujar Pangeran
Muda.
'Jadi, kau mau pergi juga ke Medang,
Adinda?" Pangeran
Rangga Wesi bertanya dengan terkejut.
"Ya, Kakanda."
"Adinda, tapi itu berarti kau harus
melakukan perjalanan
malam. Malam hari bukan saja jalan-jalan
gelap, tetapi
binatang-binatang buas berkeliaran dari
hutan ke padangpadang.
Di samping itu, banyak orang jahat."
"Doa Kakanda hamba mohonkan," ujar
Pangeran Muda.
"Rangga Wesi, biarlah Anggadipati
pergi. Bukankah kau
juga seperti dia dan sering memaksaku pergi
ke wilayah Kutabarang
untuk bertemu dengan kakaknya?"
"Gusti Anom, tapi hamba cemas akan
nasib Adinda
Anggadipati," ujar Pangeran Rangga
Wesi.
"Bagaimana kalau kita sediakan lima
orang pengawal?"
Putra Mahkota bertanya.
"Ya, itu pikiran yang baik," ujar
Pangeran Rangga Wesi.
"Tidak usah menyusahkan, Gusti Anom. Di
samping itu,
Kakanda, si Gambir sangat cepat larinya,
tidak mungkin dapat
diikuti oleh kuda para pengawal. Lagi pula,
hamba tidak
merasa perlu dikawal."
Setelah bertukar pikiran beberapa saat,
akhirnya
diputuskan Pangeran Rangga Wesi menyediakan
lima orang
pengawal. Tak berapa lama kemudian, seperti
dikejar Malakal
Maut, Pangeran Muda pun telah memacu kudanya
di bawah
berjuta-juta bintang yang berkelipan di
angkasa. Ia diikuti oleh
lima orang penunggang kuda lain yang makin
lama makin jauh
ditinggalkan oleh si Gambir dan akhirnya
tidak tampak lagi.
PERJALANAN antara ibu kota dengan kota
Medang yang
biasanya ditempuh dalam dua hari, dengan
malam hari
beristirahat, Pangeran Muda menempuhnya
dalam satu hari
satu malam tanpa beristirahat dahulu. Pada
sore hari itu,
Pangeran Muda sudah berada di wilayah yang
berada di
bawah kekuasaan Raden Banyak Citra. Makin
dekat ke kota
Medang, makin cepat Pangeran Muda melarikan
si Gambir.
Akan tetapi, pada suatu kampung yang berada
tidak jauh lagi
dari kota Medang, Pangeran Muda berhenti.
Dan setelah
menitipkan si Gambir untuk diurus dan
setelah menyewa
seekor kuda yang kuat dari penduduk,
Pangeran Muda
melanjutkan perjalanan kembali dengan
menunggang kuda
yang masih segar itu. Ketika malam turun,
sayup-sayup
terlihatah menara-menara kota Medang. Dan
ketika malam
mulai gelap, tibalah Pangeran Muda di depan
gerbang kota.
Akan tetapi karena terlambat, gerbang itu
sudah ditutup rapat.
Pangeran Muda membalikkan kuda, lalu mencari
kampung
terdekat untuk menitipkan kuda itu agar
tidak menjadi mangsa
serigala. Setelah selesai membuatjanji
dengan seorang petani
yang tinggal di rumah yang berpagar tinggi
di tengah-tengah
padang, Pangeran Muda pun pergilah dengan
berjalan kaki.
Karena rumah petani itu tidak jauh dari
dinding kota Medang,
dalam beberapa saat Pangeran Muda sudah
berada di bawah
dinding benteng, terlindung oleh gelap
malam.
Seperti seekor bajing, Pangeran Muda memanjatinya.
Begitu Pangeran Muda tiba di atas,
sekelompok gulang-gulang
yang sedang berjaga berkeliling lewat di
dekatnya. Pangeran
Muda terpaksa bergantung untuk beberapa
saat, menunggu
hingga gulang-gulang itu berlalu. Setelah
mereka berlalu,
Pangeran Muda berjalan di atas jalan yang
sempit di atas
dinding benteng itu. Dalam remang-remang
malam itu
dicarinya atap rumah-rumah yang paling
tinggi yang menjadi
tempat kediaman keluarga Banyak Citra.
Setelah
ditemukannya, Pangeran Muda segera menuruni
dinding
benteng, kemudian berjalan dalam
lorong-lorong yang
walaupun lengang, masih belum ditinggalkan
sama sekali oleh
penduduk kota. Setelah beberapa lama
berjalan, tibalah
Pangeran Muda di suatu rumah besar yang
dinding
bentengnya sangat tinggi dan
gerbang-gerbang-nya dikawal
oleh sejumlah gulang-gulang. Pangeran Muda
berdiri di
tempat yang gelap sambil memeriksa dinding
benteng dari
jauh. Kemudian ditetapkannya tempat yang
akan dipanjatinya,
yaitu dinding benteng yang di sebelah
dalamnya terdapat
sebuah pohon. Melalui pohon itulah Pangeran
Muda
bermaksud meluncur dan masuk ke halaman
dalam rumah
keluarga Banyak Citra. Akan tetapi,
ditunggunya sampai
malam bertambah gelap sebelum rencananya itu
dilaksanakan.
Ketika saatnya sudah tiba dan para
gulang-gulang lengah,
memanjatlah Pangeran Muda. Dari dinding
benteng ia
melompat ke arah dahan pohon tanjung tanpa
mengeluarkan
bunyi. Setelah> meluncur ke bawah ia pun
berjalan menuju
jendela ruangan Putri Yuta Inten. Mujur
jendela itu masih
terbuka karena malam belum larut. Akan
tetapi, para gulanggulang
masih sibuk hilir-mudik di lorong-lorong,
hingga
Pangeran Muda tidak dapat segera mendekati
jendela itu.
Akan tetapi, begitu kesempatan tiba,
Pangeran Muda segera
mengendap menuju jendela besar itu.
Seperti pada waktu pertama kali dilihatnya,
di dalam kamar
itu Putri Yuta Inten sedang menjalin
rambutnya di depan
cermin, sementara emban tua itu sedang
membereskan
berbagai barang bekas Putri Yuta Inten
menyulam. Pangeran
Muda berpikir sejenak, bagaimana supaya
kedatangannya
tidak mengejutkan gadis itu. Setelah berdiri
beberapa lama,
diputuskannya untuk mengetuk jendela itu,
lalu hal itu
dilakukannya.
Putri Yuta Inten melihat ke arah jendela,
dan sambil
menutup mulutnya berdiri dari tempat
duduknya, memandang
kepada Pangeran Muda. Pangeran Muda
meletakkan
telunjuknya di bibir, lalu dengan tangkas
melompati jendela
itu. Emban tua itu melihatnya dan menjerit
dengan suara
tertahan. Pangeran Muda memberinya isyarat
supaya ia diam.
Untuk beberapa lama kedua remaja itu berdiri
berhadapan
dan saling memandang, seolah-olah menganggap
satu sama
lain makhluk aneh yang baru dilihat untuk
pertama kali.
Kemudian, seperti digerakkan oleh tenaga
gaib, kedua muda
remaja itu menghambur ke arah satu sama
lain. Pangeran
Muda hanya sekejap melihat bagaimana emban
tua itu
membalikkan badan membelakangi mereka,
kemudian seluruh
kesadarannya terpusat pada bibir Yuta Inten,
wajahnya dan
seluruh kehadirannya, lembut dan hangat
melekat di dadanya.
Entah untuk berapa lama mereka berlaku
seperti itu, pada
suatu saat Putri Yuta Inten bertanya, ”Jalan
mana Kakanda
masuk?"
"Tak ada dinding yang menghalangi kasih
sayang," ujar
Pangeran Muda.
Kemudian rambut Putri Yuta Inten yang lembut
dan ikal itu
menenggelamkan wajah Pangeran Muda dalam
impian yang
memabukkan. Pada suatu kali terdengar emban
tua itu
mendeham, dan kedua remaja itu melepaskan
diri masingmasing.
"Sebentar lagi ayam jantan
berkokok," kata emban tua itu.
"Kakanda, tidurlah malam ini di rumah
penduduk kota, esok
pagi kita menghadap kepada Ayahanda.
Sebenarnya ingin
sekali hamba mempersilakan Kakanda tidur di
dalam rumah
kami, tetapi Ayahanda tidak akan menyetujui
hal itu. Kecuali
kalau kita membangunkannya dan meminta izin
kepada beliau
terlebih dahulu," ujar Putri Yuta Inten
sambil memegang
tangan Pangeran Muda.
"Adinda, tapi malam ini juga Kakanda
harus kembali ke
Pakuan, untuk kemudian berangkat ke Galuh
untuk bertugas.
Kakanda telah melakukan perjalanan selama
satu hari satu
malam agar dapat bertemu dahulu dengan kau
sekarang."
Mendengar penjelasan itu, Putri Yuta Inten
membukakan
matanya yang jelita, penuh dengan rasa heran
dan cemas.
'Jadi, Kakanda melakukan perjalanan malam
hari, seorang
diri?"
"Tidak, Adinda, Kakanda diiringi oleh
lima orang pengawal,"
ujar Pangeran Muda.
"Jadi ... jadi Kakanda datang hanya
untuk bertemu ...
sebentar saja?" kata gadis itu, seraya
menyandarkan dirinya
ke dada Pangeran Muda kemudian mulai
menangis terisakisak.
Pangeran Muda tidak tahu apa yang harus
dilakukannya
kecuali mengeratkan pelukan dan mengusap-usap
rambut
gadis itu. Lalu dengan mata gabak, Yuta
Inten tengadah
kepadanya dan berkata, "Jadi, Kakanda
harus pergi sekarang
juga, sebelum bertemu dengan keluarga
hamba?"
"Begitulah, rupanya Adinda."
Hanya setelah emban tua yang cemas itu
memperingatkan,
mereka berpisah dan berunding tentang
rencana-rencana
mereka selanjutnya.
"Kita akan berpisah, mungkin untuk tiga
tahun, tetapi
mudah-mudahan dalam tiga tahun itu Kakanda
dapat kembali
ke Pajajaran barat ini untuk bertemu dengan
kau dan seluruh
keluarga. Atau siapa tahu kita dapat bertemu
di Pakuan. Kalau
ada sesuatu yang harus disampaikan kepada
Kakanda,
sampaikanlah kepada Pangeran Rangga Wesi di
Pakuan
Pajajaran. Ia adalah calon suami Ayunda
Ringgit Sari dan telah
berjanji akan membantu kita. Janganlah ragu-ragu,
sampaikanlah segala berita kepada Kakanda
melalui Pangeran
Rangga Wesi."
"Baiklah, Kakanda. Apakah sudah tiba
saatnya hamba
memberi tahu kepada Ayahanda tentang hal
kita ini?"
"Jelaskanlah segalanya dan sampaikan
salam serta
permintaan maaf Kakanda kepadanya karena
Kakanda tidak
sempat bertemu kembali dengan beliau sebelum
bertugas."
"Baiklah, Kakanda. Hamba akan dapat
mengenakan
perhiasan dari Kakanda itu dengan
terang-terangan," ujar
Putri Yuta Inten seraya tersenyum.
"Sekarang, tibalah saatnya Kakanda
untuk meninggalkan
kau, Adinda," ujar Pangeran Muda.
Emban tua itu membalikkan tubuhnya dan
berpura-pura
membereskan alat-alat jahitan untuk kesekian
kalinya. Akan
tetapi, betapapun beratnya bagi mereka untuk
berpisah,
akhirnya dengan uraian air mata, Pangeran
Muda keluar
ruangan dan setelah beberapa kali memanjati
dinding
kemudian dinding benteng kota, telah berada
lagi di padang
terbuka.
Setelah berganti kuda, dan kembali
mengendarai si Gambir,
dan setelah berjalan sepanjang hari dan
sepanjang malam,
pada subuh hari ketiga tibalah kembali
Pangeran Muda ke
Pakuan Pajajaran.
"Kau sudah ada di sini lagi,
Anggadipati?" tanya
puragabaya Geger Malela.
"Hamba berterima kasih dan mohon maaf
telah
mengganggu rencana Kakanda semula,"
kata Pangeran Muda.
"Tidak apa. Esok pagi kau harus sudah
berangkat."
00de00kz00
Bab 16
Rawa Siluman
Keesokan harinya kebanyakan dari para calon
yang
menginap di kepuragabayaan telah mendapat
tugas masingmasing.
Termasuk ke dalam gelombang pengiriman
pertama
ini adalah Pangeran Muda. Sebagai
satu-satunya di antara
para calon yang ditugaskan ke Pajajaran
timur, Pangeran
Muda diikutsertakan dengan rombongan
kerajaan yang terdiri
dari sebuah kereta dan dua puluh orang
anggota rombongan,
lima belas di antaranya pengawal. Di antara
anggota
rombongan yang lima orang, termasuk Pangeran
Muda,
adalah petugas-petugas kerajaan. Pada saat
yang ditetapkan,
berangkatah rombongan itu menuju ke timur.
Berbeda dengan perjalanan yang dilakukan di
bagian utara
dan barat kerajaan, perjalanan ke bagian
timur dan selatan
kerajaan kebanyakan melalui dataran tinggi.
Pemandangan
seperti padang-padang terbuka dan
bukit-bukit hampir tidak
ada. Yang harus ditempuh kebanyakan berupa
jalan-jalan
sempit di sela-sela tebing jurang,
hutan-hutan lebat, gununggunung
berhutan yang pohon-pohonnya besar dan
berjanggut.
Kampung-kampung di daerah ini berbeda pula
dengan
kampung-kampung di dataran rendah.
Rumah-rumah hampir
tidak kelihatan di balik pohon-pohonan yang
berdaun rindang,
sedang di samping pagar-pagar tinggi yang
mengelilingi
kampung-kampung itu, rumah-rumah bertiang
sangat tinggi
pula. Untuk memasuki beberapa rumah,
kadang-kadang orang
harus menggunakan tangga. Dari kawan
seperjalanannya,
Pangeran Muda mendapatkan keterangan bahwa
di dataran
tinggi itu banyak binatang buas, yang paling
ditakuti adalah
ular-ular berbisa. Itulah sebabnya
rumah-rumah bertiang
tinggi-tinggi.
Karena rombongan sangat besar, soal keamanan
tidaklah
mengkhawatirkan. Perampok-perampok tidak
akan berani
mengganggu suatu rombongan yang dikawal oleh
lima belas
orang gulang-gulang Oleh karena itu, selama
di perjalanan tak
ada gangguan-gangguan dari manusia, kecuali
dari alam,
seperti pohon-pohon yang tumbang ke jalan,
pendakian-pendakian
yang terlalu curam, jalan berlumpur yang
menyebabkan roda-roda kereta tertanam dan
kereta harus
diangkat bersama-sama, dan sebagainya.
Setelah perjalanan
yang sukar itu dilalui selama lima hari,
dataran rendah mulai
terbentang di hadapan rombongan. Maka mereka
pun menarik
napas panjang karena lega. Dua hari
perjalanan lagi, dengan
dua malam menginap di tengah padang dan
sebuah kampung,
tibalah rombongan di kota Galuh yang tua
itu.
Kota Galuh bukan saja sudah sangat tua dan
didirikan
beratus tahun yang lampau, tetapi juga
bersuasana tua. Luas
kota itu dan tebal dinding bentengnya hampir
menandingi kota
Pakuan Pajajaran, tetapi jumlah penduduknya
dan
kesibukannya sangat kecil kalau dibandingkan
dengan ibu
kota. Karena tuanya, dinding-dinding benteng
itu kehitaman
tampaknya, demikian juga rumah-rumah dan bangunanbangunannya.
Oleh karena itu, suasana kota itu sangat
murung.
Setelah berapa lama melewati lorong-lorong
kota itu,
akhirnya tibalah rombongan di depan sebuah
bangunan yang
paling besar, tempat beberapa orang
bangsawan keluar
dengan diiringi oleh pengawal-pengawal
mereka. Sementara
anggota-anggota rombongan lain berurusan
dengan para
bangsawan, Pangeran Muda diperkenalkan
kepada Pangeran
Rangga Wisesa yang menerimanya dengan ramah
dan
gembira.
"Mudah-mudahan engkau senang tinggal di
sini, anak
muda. Oh, siapa namamu?" tanya Pangeran
yang setengah
baya itu.
"Anggadipati, Panglima, seperti
tertulis pada surat
pengantar itu," ujar Pangeran Muda
dengan hormat.
"Suasana daerah ini akan sangat berbeda
dengan Pajajaran
barat atau utara. Wilayah ini ditinggalkan
oleh penduduknya
yang memilih daerah barat atau utara yang
lebih ramai dan
lebih aman, itulah sebabnya kota ini tampak
terlalu besar.
Kebanyakan yang tinggal di sini adalah
petani-petani dan
prajurit, sedang kaum pedagang dan cerdik
cendekia memilih
Pajajaran barat dan utara. Tapi bagaimanapun
juga ini adalah
bagian Pajajaran. Kita harus
mengembangkannya kembali di
berbagai bidangnya. Nah, penugasanmu ke sini
adalah untuk
membantuku dalam soal pengembangan kembali
itu,
khususnya di bidang keamanan."
"Mudah-mudahan hamba dapat memenuhi
harapan,
Panglima," ujar Pangeran Muda.
"Daerah rawa-rawa tentu merupakan
daerah yang baru
bagimu, anak muda," ujar Panglima itu.
"Ya, Panglima," ujar Pangeran
Muda. Dan sambil
berbincang-bincang seperti itu tibalah mereka
di atas gerbang
benteng. Para gulang-gulang mempersilakan
mereka untuk
memasuki kandangjaga yang tepat terletak di
atas gerbang
kedua dari kota Galuh, yaitu gerbang yang
menghadap ke
selatan.
KETIKA itu hari sudah menuju gelap, langit
dipenuhi oleh
keluang dan kelelawar. Akan tetapi, dengan
agak keheranan,
Pangeran Muda melihat para gulang-gulang
belum juga
menutup gerbang kota. Ia bertanya kepada
Panglima, apakah
belum waktunya para gulang-gulang menutup
pintu kota itu.
"Sebentar lagi, anak muda. Sebentar
lagi rombongan
terakhir petani dari daerah rawa-rawa akan
memasuki kota.
Mereka sudah setengah tahun lamanya terpaksa
tidur di
dalam kota karena di kampung mereka keamanan
tidak
terjamin," kata Panglima.
"Hamba tidak mengerti maksud
Panglima," ujar Pangeran
Muda.
"Begini, anak muda. Saya justru
ditugaskan di wilayah ini
untuk menghadapi masalah keamanan yang
pelik. Sebelum
saya datang ke sini, hampir seluruh penduduk
kampung
terpaksa mengungsi ke kota setiap malam
karena
merajalelanya penjarah-penjarah dan
pembunuh-pembunuh.
Setelah diadakan gerakan-gerakan
pembersihan, umumnya
kampung-kampung di luar benteng cukup aman,
kecuali yang
berdekatan dengan rawa. Sudah berulang-ulang
dilaksanakan
pencarian ke daerah rawa-rawa itu, tetapi
hasilnya tidak
banyak. Kita belum menemukan jejak
penjahat-penjahat ini."
'Apakah pengejaran masih terus
dilakukan?"
"Masih. Tiga kelompok jagabaya
masing-masing berjumlah
dua puluh lima orang terus-menerus menyisir
hutan-hutan dan
rawa-rawa serta padang-padang sempit. Akan
tetapi, hasilnya
tidak banyak, jejak mereka sukar dicari di
daerah yang
bersungai-sungai ini. Lebih mudah mencari
musuh di padangpadang
utara daripada di sini, anak muda,"
kata Panglima.
Pada saat itu muncullah rombongan terakhir
petani-petani
yang mengungsi itu. Obor-obor mereka
berkobar-kobar di
tengah-tengah kegelapan. Suara roda pedati,
suara ternak
serta percakapan dan suara tangis anak-anak
sayup-sayup
terdengar. Pangeran Muda memerhatikan
rombongan yang
makin dekat itu dengan penuh perhatian. Dan
ketika mereka
sudah berada di bawah dinding benteng serta
mulai melewati
kandang jaga, tampaklah rakyat yang prihatin
itu berbondongbondong.
Pemandangan itu menyedihkan hati Pangeran
Muda.
"Seandainya mereka terus-menerus harus
mengungsi ke
dalam kota setiap malam, akhirnya
kepercayaan mereka
kepada kerajaan akan menurun. Mungkin karena
bosan
mereka akan menyerah pada pengacau-pengacau
itu dan
memutuskan untuk membayar pajak kepada
mereka. Kalau
sudah demikian, kita sudah setengah kalah
karena berarti
kerajaan sudah kehilangan rakyatnya,"
ujar Panglima.
"Apakah hal seperti itu mungkin terjadi
Panglima?"
"Saya datang ke sini menghadapi keadaan
yang sudah
sangat jelek, anak muda. Sebenarnya, saya
belum dapat
menetapkan betapa jeleknya keadaan karena
baru enam
bulan saya berada di sini. Akan tetapi,
kalau keadaannya
seperti sekarang, keadaan yang paling jelek
mungkin saja
terjadi. Berulang-ulang saya hampir meminta
bala bantuan
sejumlah besar jagabaya untuk mencari
pengacau-pengacau
itu, tetapi harga diri saya belum
mengizinkan untuk itu.
Demikian juga saya berpendapat, kalau
sejumlah jagabaya
ditempatkan dan terikat di sini, mungkin hal
itu sebenarnya
yang diinginkan oleh lawan-lawan kita. Jadi,
yang penting
adalah menemukan cara-cara pengepungan dan
pencarian
yang tepat, sesuai dengan keadaan medan di
sini. Dan itu
sedang terus-menerus kita cari."
Keesokan harinya, sebagai pengawal pribadi
Panglima,
Pangeran Muda ikut menghadiri perundingan
yang dilakukan
oleh Panglima dengan pembantu-pembantunya.
Pertama-tama
diterima laporan terakhir dari daerah
rawa-rawa yang
dianggap oleh Panglima sebagai tempat
persembunyian para
pengacau itu. Kemudian diadakan pembahasan
dan diambil
kesimpulan oleh Panglima dan para
pembantunya. Dilakukan
pula perkiraan mengenai gerakan yang harus
dilakukan
kemudian.
Setelah perundingan hari itu selesai, dan
ketika Panglima
sedang meninggalkan ruangan, seorang
penunggang kuda
datang tergopoh-gopoh membawa laporan.
Panglima
membaca laporan itu dan dengan wajah suram
mengatakan
kepada Pangeran Muda bahwa sepuluh orang
jagabaya
tenggelam di salah sebuah rawa yang letaknya
tidak dapat
ditetapkan.
"Yang saya butuhkan sebenarnya
kira-kira sepuluh orang
puragabaya, tetapi kalau saya meminta
bantuan sepuluh
orang puragabaya, saya tidak usah lagi berpangkat
panglima
jagabaya," kata Pangeran Rangga Wisesa.
Tampak beliau
sangat berkecil hati dengan adanya laporan
terakhir itu.
Dengan adanya laporan terakhir itu, rapat
terpaksa dibuka
kembali dan perundingan dilanjutkan hingga
siang, di mana
diputuskan jumlah jagabaya yang lebih besar
dikerahkan ke
daerah selatan wilayah Galuh itu.
Dua minggu setelah peristiwa tenggelamnya
sepuluh orang
jagabaya, kejadian yang menyedihkan terulang
kembali, di
mana tiga jagabaya lain tewas karena
penghadangan yang
direncanakan dengan baik oleh
pengacau-pengacau itu.
Terdorong oleh keinginan lebih banyak
membantu Panglima
Rangga Wisesa, dan terdorong pula oleh
keinginan
mengetahui lebih banyak tentang daerah
kekuasaan Galuh,
Pangeran Muda mengusulkan dirinya untuk
mengikuti salah
satu rombongan jagabaya yang melakukan
pencarian tempat
persembunyian gerombolan pengacau itu.
"Tugas utamamu adalah sebagai pengawal
pribadiku, anak
muda. Tugas kedua adalah menyumbangkan
pikiran-pikiran
dalam perundingan karena seorang puragabaya adalah
orang
yang menguasai soal-soal siasat peperangan.
Sedang
mengikuti jagabaya bukan saja tidak termasuk
ke dalam
tugasmu, tetapi mungkin akan merendahkan
martabat
kepuragabayaan," ujar Panglima.
0 komentar:
Posting Komentar