Pangeran Muda.
"Tapi waktunya sangat kurang, Anom.
Kalau waktu berlatih
saya gunakan untuk memperbaiki napas dan
daya tahan saya,
saya tidak akan dapat mengejar
pelajaran-pelajaran lain yang
masih sangat banyak," jawabnya.
"Pelajaran-pelajaran apa lagi yang
harus kita hadapi?"
tanya Pangeran Muda dengan penuh
keingintahuan.
"Oh, engkau datang terlambat, jadi
tidak sempat
mendengar apa-apa yang akan kita pelajari
sebelum kita
disumpah menjadi calon-calon puragabaya yang
sesungguhnya. Pertama pelajaran gerakan
ini...”
Sebelum Janur selesai dengan kalimatnya,
Pangeran Muda
menyelanya, "Pertama, penguasaan
keseimbangan."
"Bukan," ujar Janur. "Pertama
adalah latihan gerakangerakan
yang menyatukan gerakan penghindaran dan
penyerangan. Penguasaan keseimbangan
bukanlah pelajaran,
tetapi penyembuhan terhadap
kebiasaan-kebiasaan jelek yang
telah melekat pada diri kita. Sebenarnya
tulang-tulang serta
otot-otot kita dibuat sedemikian rupa hingga
kita akan selalu
seimbang. Akan tetapi, kita sering lalai
dengan otot-otot dan
tulang-tulang kita itu, sering menumbuhkan
kebiasaankebiasaan
jelek, hingga akhirnya otot-otot serta
tulang-tulang
kita berkembang ke arah yang salah. Maka
rusak pulalah
keseimbangan kita. Hal ini sangat berbeda
dengan binatangbinatang,
apalagi binatang-binatang buas yang hidup di
alam
bebas. Mereka menerima bakat-bakat tubuhnya
dari Sang
Hiang Tunggal dan mempergunakannya sesuai
dengan
alamnya, hingga penguasaan mereka terhadap
tubuh dan
keseimbangannya sangatlah baik. Nah, waktu
kita sudah
datang, pelatih-pelatih tidak mengajarkan
sesuatu kepada
kita, tetapi memberikan apa-apa yang
sebenarnya kita
lupakan di masa lalu."
"Kalau begitu, sudah empat bulan ini
kita belum selesai
dengan pelajaran pertama, Janur?"
"Memang, belum apa-apa. Apa artinya
empat bulan bagi
masa pendidikan yang lamanya akan mencapai
sepuluh tahun,
sekurang-kurangnya?"
"Sepuluh tahun?" seru Pangeran
Muda keheranan. "Lebih,
mungkin lima belas tahun. Dan selama itu
kita akan pelajari
semua mata pelajaran setahap demi setahap.
Setelah
penguasaan gerak, kita akan digembleng dalam
ketangkasan.
Setelah ketangkasan, pancaindra kita
dipertajam. Selama itu
kita diharuskan bertapa berulang-ulang,
untuk membersihkan
jiwa kita dari nafsu-nafsu dan keinginan
yang tidak pantas
bagi seorang puragabaya. Kita pun akan
terus-menerus
didampingi oleh Eyang Resi yang mengajarkan
ilmu-ilmu
agama yang menjadi dasar kepahlawanan. Dan
selama itu,
kita akan berulang-ulang dikirimkan untuk
berlatih, yaitu
dengan menghadapi musuh secara
sungguh-sungguh.
Mungkin kita akan dikirim ke daerah-daerah
yang diganggu
perampok atau bajak laut. Kalau peperangan
menghebat, kita
akan dikirim sebagai pengawal
panglima-panglima atau
panglima-panglima besar. Dalam setiap
kesempatan, ilmu kita
akan diuji. Dan siapa tahu kita gugur,"
kata Janur sambil
senyum.
'Janur, apakah dalam sepuluh tahun itu kita
dibolehkan
pulang kepada keluarga?" tanya Pangeran
Muda agak malumalu.
"Saya tidak tahu ... tapi kita dapat
bertanya kepada ...
Pamanda Rakean," jawab Janur, sambil
memandang dalamdalam
ke arah mata Pangeran Muda. Tampaknya dia
pun agak
malu.
"Bagaimanapun juga sudah sewajarnya
kita rindu pada
ayah dan ibu serta saudara-saudara kita,
Janur," kata
Pangeran Muda untuk menghilangkan rasa ragu-ragu
yang
sama-sama mereka pendam.
"Saya sudah rindu sekali, Anom, bahkan
sering
memimpikan mereka."
"Saya juga," jawab Pangeran Muda.
Lalu setelah
termenung melanjutkan, "Ya, sebaiknya
kita bertanya kepada
Pamanda Rakean, tetapi jangan dalam waktu
dekat ini. Lebih
baik bertanya nanti setelah tahun baru
mendekat."
Tampak Janur menyetujui usul itu, kemudian
ia bertanya,
"Berapa orangkah saudaramu?"
"Saya anak kedua, kakak saya wanita,
sudah berumur tujuh
belas tahun."
"Adik saya yang terkecil sedang lucu-lucunya,"
kata Janur.
"Ketika saya pergi dia menangis mau
ikut. Dalam mimpi, saya
berulang-ulang melihatnya," sambungnya
sambil tersenyum,
tetapi matanya penuh dengan kenangan.
"Baiklah," kata Pangeran Muda,
"saya akan mulai berlatih,
tolong perhatikan."
Berdiri Pangeran Muda di antara dua bangku
tempat
mereka tidur, lalu melakukan
gerakan-gerakan, di mana
tangan dan kaki dalam berbagai bentuk
berputar-putar pada
tumpuan berat badan. Janur memerhatikan
Pangeran Muda
sambil duduk di bangku, sekali-sekali dia memberikan
pendapat, kadang-kadang berdiri membetulkan,
kadangkadang
mendorong Pangeran Muda kalau Pangeran Muda
tampak keluar dari pusat titik berat
badannya.
Demikianlah latihan-latihan tambahan yang
biasa dilakukan
oleh Pangeran Muda dengan bantuan Janur atau
Raden Jalak
Sungsang itu. Biasanya latihan tambahan itu
dilakukan kalau
siangnya latihan tidak terlalu melelahkan,
atau kalau pelajaran
agama tidak diberikan oleh Eyang Resi
Tajimalela. Dengan
latihan-latihan tambahan itu, akhirnya
Pangeran Muda tidak
terlalu ketinggalan dalam kemampuan dan
pengetahuannya
tentang segala pelajaran.
LATIHAN-latihan gerakan dan keseimbangan
terus-menerus
dilakukan. Tujuannya adalah agar
gerakan-gerakan itu
menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari kebiasaan
bergerak pada tiap-tiap calon. Seandainya
gerakan-gerakan ini
sudah menjadi kebiasaan, para calon tidak
usah berpikir atau
mengatur siasat lagi kalau tiba-tiba
mendapat serangan.
Seluruh tubuh, seluruh anggota badan akan
bergerak
membuang serangan-serangan musuh dan
memasukkan
serangan balasan sekaligus.
Adapun cara menanamkan pola-pola gerakan
menjadi
kebiasaan ini dilakukan dengan sangat keras.
Mula-mula
calon-calon dilatih hingga gerakan-gerakan
sesuai dengan
pola-pola gerakan yang sudah ditentukan.
Setelah itu, latihan
berkelahi berpasang-pasangan dimulai agar
setiap calon dapat
merasakan sendiri guna dan keampuhan dari
gerakan-gerakan
itu. Latihan ini dilanjutkan, yaitu dengan
pemindahan tempat
atau waktu. Mula-mula latihan berkelahi
berpasangan
dilakukan di lapangan depan candi, setelah
itu dilakukan di
atas lapangan yang penuh dengan kerikil,
kemudian di atas
lapangan yang penuh dengan batu-batu besar,
kemudian
dilakukan di atas bidang yang sempit sekali,
hingga kalau
seorang calon bergerak terlalu jauh, ia akan
terjatuh ke
bawah. Terakhir latihan dilakukan di dalam
air sedalam leher.
Airnya dipilih, mula-mula yang tenang,
kemudian yang deras
arusnya. Demikian juga waktu latihan
diubah-ubah, kadangkadang
siang, kadang-kadang malam, kadang-kadang
subuh.
Dalam latihan-latihan itu tidak sedikit
kejadian-kejadian
yang menyebabkan jatuh korban. Kadang-kadang
ada pukulan
yang tidak terhindarkan, hingga terjadi
cedera. Kecelakaan
terkilir atau patah rusuk adalah biasa, dan
hal itu dirawat oleh
Pamanda Minda, seorang pelatih puragabaya
yang ahli di
bidang pengobatan. Dari Pamanda Minda
Pangeran Muda
mendapat penjelasan bahwa kalau calon-calon
tidak boleh
lebih dari lima belas tahun umurnya saat
masuk ke Padepokan
Tajimalela, hal itu berdasarkan dua
pertimbangan. Pertama,
karena masa pendidikan yang lama; kedua,
agar kalau terjadi
patah tulang mudah disambung lagi.
Di samping latihan menghindar dan menyerang
serta
membiasakan gerakan-gerakan badan sesuai
dengan polapola
yang ditentukan, terdapat pula latihan daya
tahan.
Pertama, calon-calon diberi latihan-latihan
yang setiap hari
harus dilakukan. Pagi-pagi ketika ayam-ayam
hutan berkokok,
para calon harus sudah berdiri dengan tegak
dan seimbang.
Pelatih menghitung sampai jumlah yang makin
lama makin
banyak. Mula-mula seratus, kemudian lima
ratus, kemudian
seribu, dan akhirnya dua ribu. Setelah
berdiri ini calon
diperintahkan berlari, melalui lapangan,
melalui padang
berbatu-batu, kemudian melalui hutan-hutan
yang berpohon
dan berjurang-jurang. Latihan-latihan yang
terutama
dilaksanakan untuk menggembleng penguasaan
keseimbangan ini diseling-seling dengan
latihan-latihan daya
tahan lainnya.
Di antaranya terdapat latihan melakukan
gerakan-gerakan
untuk waktu yang lama sekali dan hanya
berhenti kalau sudah
ada perintah berhenti dari pelatih. Latihan
yang sama
dilakukan dengan para calon berdiri di atas
jembatan yang
hanya terbuat dari dua buah tambang ijuk
besar.
Taraf lain adalah pelaksanaan gerakan di
dalam danau,
dengan hampir seluruh badan terendam.
Setelah itu, disusul
dengan gerakan di dalam sungai, dengan
setiap calon
menghadap ke arah arus. Berat air danau
sudah sangat
menguji daya tahan, arus sungai ternyata
lebih berat lagi,
hingga banyak calon-calon yang hampir
tenggelam karena
kelelahan. Seperti juga latihan penguasaan
keseimbangan,
latihan ketahanan dilakukan dalam waktu yang
berbeda-beda.
WAKTU Pangeran Muda baru saja datang ke
Padepokan
Tajimalela, yaitu pada hari pertama, sewaktu
menunjukkan
tempat-tempat latihan Pamanda Rakean dan
Mang Ogel
pernah menunjukkan sebuah jeram berganda.
Jeram ini airnya
yang pertama terjun ke dalam sebuah kolam
kecil yang
bundar ben-tuknya. Karena arusnya terjun di
salah satu sisi
kolam itu dengan arah yang miring terjadilah
putaran air yang
deras sekali, gemuruh, serta menguapkan
titik-titik air. Ulakan
air ini kemudian keluar dari salah satu sisi
bundaran itu, untuk
kemudian menghambur sebagai jeram baru yang
jatuh di
sebuah sungai besar yang ada di bawahnya.
Cerita-cerita tersebar dari mulut ke mulut
antara para calon
bahwa jeram ini merupakan jeram
"pembunuh" yang setiap
tiga tahun meminta korban dari
angkatan-angkatan calon
puragabaya yang berlatih di sana. Walaupun
tak ada di antara
calon yang berani meminta pembenaran atas
desas-desus itu
dari para pelatih—dan karena itu desas-desus,
tetap tinggal
desas-desus saja—jeram itu tetap menjadi
sumber kengerian
bagi calon-calon umumnya.
Kengerian ini ditambah dengan berbagai
pengalaman yang
tidak dapat diterangkan dengan akal sehat.
Dalam waktu
istirahat atau kalau para calon mendapat
tugas mengambil
kayu bakar membantu panakawan, biasanya para
calon
menghindari jeram itu. Akan tetapi, sering
pula calon-calon
beristirahat tidak jauh dari jeram itu
sehingga cukup jelas
mendengar deru air yang gemuruh.
Pada suatu kali Pangeran Muda bersama-sama
Rangga
mendapat tugas membantu Mang Ogel mengambil
kayu bakar
dekat jeram itu. Ketika mereka duduk-duduk
beristirahat, di
antara deru suara air terjun itu seolah-olah
terdengar jeritanjeritan
orang yang ketakutan dan sedang menghadapi
Malakat
Maut. Pangeran Muda dan Rangga saling
berpandangan, sadar
bahwa suara-suara itu dapat didengar oleh
mereka berdua.
Maka, kedua anak muda itu pun berlarilah ke
arah jeram,
dan memandang ke bawah, mencoba melihat
kalau-kalau ada
orang yang terjatuh ke dalam ulakan air itu.
Tapi tak seorang
pun mereka lihat di sana. Yang mereka lihat
hanyalah air yang
berputar, yang samar-samar tampak di balik
uap yang naik ke
angkasa. Kembali Pangeran Muda dan Rangga
saling
berpandangan, kemudian seraya mundur mereka
meninggalkan jeram itu.
Setelah itu, tak terdengar suara
jeritan-jeritan itu dan
mereka menyelesaikan tugas hingga usai. Akan
tetapi, ketika
mereka akan pulang, dan sambil mengusung
ikatan-ikatan
kayu bakar melangkah mengikuti Mang Ogel,
jeritan-jeritan itu
terdengar kembali dengan jelasnya. Pangeran
Muda pura-pura
tidak mendengar apa-apa dan berjalan terus.
Demikian juga
Rangga, atau dia tidak mendengar apa-apa
atau dia berpurapura.
Sedang Mang Ogel bernyanyi-nyanyi dan tampak
seperti
tidak mendengar apa-apa pula. Setelah
latihan jurus di dalam
danau dan sungai yang berarus, latihan dalam
air yang
terakhir dilakukan di jeram itu. Setelah
melakukan latihanlatihan
yang biasa dilakukan setiap hari,
calon-calon
diperintahkan berlari ke arah jeram itu.
Berdua-dua mereka
berbaris, antre untuk melakukan latihan.
Para pelatih
memegang tambang-tambang ijuk besar untuk
menurunkan
mereka. Ketika itu Pangeran Muda
berdampingan dengan
Janur yang berdiri di ekor barisan.
Sepasang demi sepasang calon diturunkan dan
setelah
pelatih melihat mereka tiba di tepi bundaran
ulakan air,
tambang ditarik lalu calon diperintah untuk
turun dan
mengambil kedudukan yang berlawanan di kedua
sisi
bundaran. Begitu masuk air, mereka
diperintahkan langsung
melakukan jurus menghantam arus air sambil
mundur.
Dalam menghadapi arus yang sangat deras itu
seorang
calon tidak boleh kehilangan keseimbangannya
karena ia bisa
hanyut terbanting-banting oleh air
menghantam cadas-cadas
yang runcing. Untuk mempertahankan
keseimbangan itu, para
calon harus mengendalikan berat badan mereka
dan dalam
sekejap harus melakukan sebanyak mungkin
jurus agar tidak
hanyut. Di samping itu, karena arus dalam
ulakan itu tidak
tetap, tetapi berbelok-belok sesuai dengan
bentuk cadascadas
yang bertonjolan di tepi ulakan, setiap
calon harus
dapat merasakan dengan setepat-tepatnya dari
mana
datangnya hantaman air. Hanya dengan
demikianlah seorang
calon akan dapat mempertahankan
keseimbangannya
sementara melayani hantaman arus yang kuat
dan berubahTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ubah dari depan, sambil berpijak pada dasar
ulakan yang
berbatu-batu itu.
Begitu pasangan pertama selesai diturunkan,
terdengarlah
deru air menjadi lebih hebat gemuruhnya.
Ulakan itu seolaholah
makhluk hidup, seekor binatang buas yang
dengan
marah mencoba membunuh orang-orang yang
mengusiknya.
Demikian juga, karena tenaga air ada yang
melawan, yaitu
oleh tenaga pukulan calon-calon yang ada di
dalamnya, buih
menyembur dan uap pun naik makin tebal.
Gemuruh air,
membubungnya uap, dan teriakan-teriakan pelatih
yang
memberikan perintah-perintah sungguh
menggetarkan hati.
Terdengar setiap calon berdoa, menyerahkan
diri kepada Sang
Hiang Tunggal dan Sunan Ambu.
Ketika waktu yang ditetapkan sudah
terlampaui, tambangtambang
besar diturunkan oieh para pelatih, kemudian
tambang-tambang ditarik dengan bantuan para
calon. Begitu
pasangan pertama selamat di bibir ulakan
sebelah atas,
mereka dipeluk dan ditepuk-tepuk oleh
kawan-kawannya,
kemudian dibaringkan di atas pasir untuk
melepaskan lelah
dan diperiksa oleh Pamanda Minda kalau-kalau
ada sendi yang
terkilir atau otot yang keluar dari
kedudukannya. Setelah itu,
pasangan kedua menyambung giliran yang
pertama dan
segala acara diulang kembali, di
tengah-tengah gemuruh
jeram yang mengaum dan menggeram setiap kali
pasangan
turun mengusiknya.
Pasangan demi pasangan melaksanakan giliran
mereka dan
naik kembali untuk berbaring di pasir karena
kelelahan.
Akhirnya, tibalah giliran Pangeran Muda
dengan Janur.
Dengan membaca-baca doa-doa penyerahan diri
di tangan
Sunan Ambu dan Sang Hiang Tunggal, Pangeran
Muda dan
Janur memegang tambang masing-masing, lalu
menuruni
tebing cadas yang menjadi dinding jeram itu.
Dalam jeram itu suasana hanya remang-remang
saja,
karena uap begitu tebalnya, sedang suara
gemuruh
memekakkan telinga, hingga seruan
pelatih-pelatih sayupsayup
saja terdengar. Sayup-sayup terdengar
perintah agar
Pangeran Muda dengan Janur mulai turun. Dari
dinding cadas
itu Pangeran Muda melangkah turun, dan baru
saja setengah
betisnya terendam, air seolah-olah menyambar
dan
mengguncangkan keseimbangannya. Untung kaki
Pangeran
Muda terlatih. Dengan sigap ditancapkannya
kedua kakinya itu
ke cadas-cadas di tepi ulakan air, sambil
terus merasa-rasakan
hantaman air. Perlahan-lahan Pangeran Muda
masuk lebih ke
dalam ulakan, ke arah arus yang menderu. Dan
secara tidak
diduga-duga, air melonjak, menghantam
dadanya, tetapi
gerakan-gerakan yang telah melekat menjadi
kebiasaan
menghindarkannya dari bahaya terpental.
Akhirnya, tibalah
Pangeran Muda di tengah-tengah arus. Di sana
Pangeran
Muda mulai melakukan gerakan-gerakan yang
bersifat
melayani hantaman air yang berubah-ubah arah
dan
derasnya. Karena perubahan arah dan deras
hantaman air ini
cepat sekali, sambil mundur Pangeran Muda
terus-menerus
melakukan gerakan-gerakan, sementara kedua
kakinya
meraba-raba, mencari pijakan yang mantap.
Waktu yang sekejap itu dirasakannya sangat
lama dan
kelelahan yang luar biasa mulai menyakiti
setiap ototnya.
Berulang-ulang air hampir berhasil
mengangkat pijakan
kakinya, berulang-ulang hantaman air menemui
sasaran tanpa
dilayani dengan baik, hingga Pangeran Muda
sempoyongan
sambil mundur.
Pada suatu saat terdengar suara batuk, dan
suara tercekik
dari seberang. Kemudian Pangeran Muda merasa
ada benda
licin yang menghantam bagian kiri
pinggangnya. Suatu benda
lain menangkap kakinya, hingga dengan
sempoyongan
Pangeran Muda harus mempertahankan
keseimbangannya.
Sekali lagi benda licin menghantam pahanya
kemudian
Pangeran Muda mendengar seruan-seruan dari
atas, dan
melihat uluran tambang berayun-ayun dalam
buih dan uap.
Pangeran Muda menangkap tambang itu,
kemudian dengan
susah payah merangkak ke atas, mengikuti
tarikan kawankawannya.
Setiba di atas Pangeran Muda menjatuhkan
diri, tetapi
hanya sekejap, karena para calon berteriak
memanggilmanggil
Janur yang ternyata belum menyambut uluran
tambang itu. Pangeran Muda ikut
berteriak-teriak. Sementara
itu, tampak Pamanda Anapaken dan Pamanda
Rakean
meluncur pada tambang, masuk ke dalam jeram.
Menerima
dua orang puragabaya itu gemuruhlah jeram,
mengaum dan
menggeram, sementara buih memercik ke atas.
Seolah-olah
air jadi bergejolak. Setelah beberapa lama,
dengan memanjati
tambang-tambang, muncullah kedua orang
puragabaya itu,
tetapi tanpa Janur.
Suasana jadi hening. Tak seorang pun berani
berkata. Doadoa
mulai dipanjatkan oleh ketiga puragabaya,
kemudian oleh
para calon yang di antaranya mengucapkannya
sambil
menangis. Di antara percikan air yang dingin
di pipi Pangeran
Muda, terasa ada dua titik yang panas. Janur
tidak keluar lagi
dari jeram itu.
Setelah mereka tidak terpukau lagi oleh
peristiwa itu,
Pamanda Rakean segera memberikan perintah
agar para calon
segera melakukan pencarian, yaitu di sungai
besar yang ber
ada di bawah ulakan air itu. Para pelatih
sendiri segera
menuruni ulakan air kembali dan setelah
beberapa lama
berada di sana mereka naik kembali dan
menyatakan bahwa
Janur sudah tidak ada dalam ulakan air itu.
Maka mereka pun
berlari-larilah menuruni lereng gunung yang
berhutan-hutan
menuju sungai besar yang gemuruh di dalam
jurang yang
dalam. Setiba di sana, tanpa memikirkan
keselamatan diri
masing-masing, para calon maupun ketiga
puragabaya itu
segera terjun, menyelami dasar sungai,
memeriksa lekukanlekukan
cadas dan batu-batu.
Pangeran Muda termasuk pada mereka yang
paling dulu
menerjuni sungai itu, walaupun baru saja
naik dari jeram
ulakan air. Ia lupa akan segala kelelahan
dan rasa sakit pada
otot-otot serta tulang-tulang. Diselaminya
setiap liku sungai
yang gemuruh berbusa-busa itu, diperiksanya
akar-akar
pohonan yang terjurai ke dalam air. Sementara
itu, tak putusTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
putusnya Pangeran Muda berdoa, mudah-mudahan
Janur
masih hidup.
Ternyata pencarian yang dilakukan untuk
waktu yang
s.ingat lama itu tidak menghasilkan apa-apa.
Mereka terpaksa
bergerak makin lama makin ke hilir. Namun
demikian, Janur
lidak ditemukan juga. Akhirnya, sampailah
mereka ke bagian
sungai yang sangat dalam dan tak dapat
diselami tanpa
membahayakan jiwa mereka. Walaupun begitu,
beberapa
calon, termasuk Pangeran Muda, masih mencoba
mengarungi
arus yang deras itu. Akhirnya, para
puragabaya yang cemas
berseru agar para calon naik dari dalam
sungai. Setelah para
calon berada di darat, melompatlah ketiga
puragabaya itu ke
dalam arus, lalu untuk beberapa lama tidak
muncul-muncul.
Ketika para calon sudah mulai cemas,
muncullah para pelatih
itu satu per satu di hilir sungai.
Melihat hal itu berlarilah para calon menuju
pelatih mereka.
Akan tetapi, setelah dekat mereka segera
menyadari bahwa
usaha para puragabaya yang menantang bahaya
itu sia-sia
juga. Maka berkumpullah mereka dengan wajah
sedih
memandang para puragabaya itu. Sementara
itu, hari menuju
ke senja, burung-burung tampak beterbangan
tergesa-gesa
kembali ke sarang masing-masing, kalong dan
kelelawar mulai
keluar, mengepak di langit yang berwarna
merah tembaga dipulas
oleh warna terakhir cahaya matahari.
"Jante," kata Pamanda Anapaken,
"pimpin para calon
pulang ke padepokan."
"Saya tidak akan ikut pulang,
Pamanda," kata Pangeran
Muda.
"Tidak. Semua harus pulang di bawah
pimpinan Jante, kami
bertiga akan melanjutkan pencarian. Harap
segala peristiwa
disampaikan kepada Eyang Resi. Kami segera
kembali setelah
mendapat isyarat Kahiangan tentang nasib
jalak Sungsang,"
lanjut Pamanda Anapaken.
Karena kepatuhan pada pelatih-pelatih
merupakan salah
satu kewajiban di Padepokan Tajimalela,
dengan membisu
para calon berjalanlah melalui hutan-hutan,
padang-padang
berbatu, kemudian lapangan pasir ke tempat
mereka masingmasing.
Jante melaporkan kepada sang Resi tentang
apa yang
terjadi; mendengar itu, sang Resi segera
pergi ke dalam candi,
memanjatkan doa-doa.
Walaupun pelajaran malam hari ditiadakan
karena peristiwa
itu, para calon tidak segera tidur. Mereka
berkumpul di sana
sini, mengobrol tentang
pengalaman-pengalaman mereka,
masing-masing dengan Janur. Mereka semua
sependapat
Janur adalah anak yang sangat halus
perangainya. Di samping
itu, ia adalah seorang di antara anak yang
paling berbakat
dalam ilmu kepuragabayaan. Gerakan-gerakan
perkelahian
dipelajarinya dengan cepat dan dikuasainya
secara sempurna.
Janurlah yang dalam latihan berpasangan
sukar
dirubuhkan.
Bahkan Jante, calon yang sangat tangkas,
berulang-ulang
dapat ditipu dan dijatuhkannya.
Bagi Pangeran Muda, Janur mempunyai
kedudukan yang
khusus. Bukan saja karena ia menjadi kawan
sekamarnya,
tetapi karena mereka mulai bersahabat.
Sementara itu, Janur
telah pula mengutangkan budi kepadanya.
Janurlah yang
membantunya dalam pelajaran, hingga Pangeran
Muda tidak
terlalu sukar mengurangi
ketinggalan-ketinggalan yang
disebabkan oleh keterlambatannya datang di
Padepokan
Tajimalela itu.
Akan tetapi, karena para puragabaya tidak
muncul-muncul,
akhirnya para calon pergi juga memasuki
kamar masingmasing.
Pangeran Muda memasuki kamarnya, lalu
memandang ke arah bangku yang kosong, yang
mungkin akan
kosong untuk selama-lamanya, atau diisi oleh
orang lain.
Belum pernah Pangeran Muda merasakan betapa
berbahayanya latihan-latihan yang diberikan
kepada caloncalon
puragabaya. Betapa besar petaruh yang
diberikan oleh
para calon dan keluarga mereka untuk mendapatkan
kehormatan menjadi pengawal pribadi sang
Prabu. Dengan
renungan-renungan seperti itu dan dengan
mulai merasakan
linu-linu pada otot-otot dan
tulang-tulangnya, akhirnya
terlenalah Pangeran Muda.
Entah berapa lama Pangeran Muda terbaring
lelap karena
pada suatu saat didengarnya ingar-bingar di
kamar sebelah.
Ketika dibukanya jendela, tampaklah hari
sudah mulai terang,
sedang para calon tampak berlarian menuju
lapangan.
Pangeran Muda segera bangkit, dan setelah
berpakaian
dibukanya pintu, lalu melangkah keluar
mengikuti yang lainlain.
Di tengah-tengah lapangan berkumpullah para
calon,
panakawan, puragabaya, dan Eyang Resi
Tajimalela. Melihat
hal itu, kecutlah hati Pangeran Muda. Suatu
firasat
mengatakan bahwa kejadian yang tidak dapat
dihindarkan
telah menimpa Janur dan seluruh keluarganya.
Di tengah-tengah kawan-kawan yang menitikkan
air mata,
di bawah pandangan mata para puragabaya dan
dengan
diiringi oleh doa-doa Eyang Resi,
terbaringlah Janur. Tidak lagi
ada kehidupan di badannya. Keesokan harinya
jenazah
dikirimkan kepada keluarganya, diiringkan
oleh beberapa calon
di bawah pimpinan Pamanda Minda dan
panakawan Jasik. Ke
dalam rombongan yang lima orang banyaknya
itu termasuklah
Pangeran Muda. '
Bab 6
Jante Jaluwuyung
Sebelum Raden Jalak Sungsang gugur dalam
latihan, Jante
yang nama sebenarnya Raden Jaluwuyung
sekamar dengan
salah seorang pelatih, yaitu Pamanda
Anapaken. Hal itu
merupakan pengecualian. Bukan saja karena
asrama itu
memang kekurangan ruangan, tetapi sebagai
calon yang
pandai, Jante dipilih untuk menjadi pembantu
para pelatih,
dan tinggalnya di kamar Pamanda Anapaken
memang sesuai
dengan kedudukannya. Akan tetapi, setelah
Janur tiada, Jante
pindah ke kamar Pangeran Muda.
''Ibunda meninggal waktu saya dilahirkan,
kemudian
ayahanda menikah dengan Bibinda, adik
sekandung Ibunda.
Saya adalah anak sulung dari adik-adik yang
tidak seibu. Saya
sering merasa adanya
ketidakadilan-ketidakadilan dalam hidup
ini. Untuk menguranginya, saya harus menjadi
orang baik.
Saya dianggap oleh Ayahanda dan seluruh
keluarga sebagai
anak sulung yang pantas, patut diturut oleh
adik-adik. Kiranya
puragabaya-puragabaya yang berkewajiban
mencari caloncalon
berpendapat bahwa saya pun pantas menjadi
puragabaya. Bagi saya, tidak ada bedanya
hidup di puri
Ayahanda atau di sini. Bukankah saya
sebenarnya tidak punya
ibu? Anom, ini rahasia, jangan katakan
kepada siapa pun
percakapan yang kaudengar dari
mulutku."
Pangeran Muda tersenyum dan mengangguk,
walaupun
agak heran juga mendengar percakapan yang
aneh dari
seorang yang berperangai manis seperti
Jante.
Walaupun setahun lebih tua, Jante tidaklah
lebih tinggi
darinya. Hanya badan Jante yang lebih kukuh,
otot-ototnya
lebih penuh dan kekar. Alisnya rendah dan
berbulu lebat,
sedang matanya yang kecil sangat kelam
warnanya.
Semuanya itu memberikan kesan seolah-olah
Jante selalu
murung; itulah, barangkali sebabnya orangtua
Jante memberi
nama Jaluwuyung. Dagu Jante agak persegi,
tetapi karena
suka tersenyum, dagunya yang persegi itu
tidaklah
memberikan kesan bahwa ia seorang yang
keras.
Kepindahan Jante ke kamarnya sungguh-sungguh
melegakan hati Pangeran Muda; pertama,
karena ia tidak akan
kesepian; kedua, karena Jante adalah calon
yang sangat
pandai, sehingga Pangeran Muda akan banyak
mendapat
bantuan darinya. Sedang bantuan ini
sungguh-sungguh
dibutuhkannya karena bagaimanapun juga
Pangeran Muda
adalah seorang calon yang terlambat datang.
Di luar latihan, di waktu senggang, sering
sekali Pangeran
Muda menanyakan tentang itu dan ini
bentuk-bentuk gerakan
atau berbagai jurus dan cara menggunakannya.
Jante yang
tampaknya senang mendapat kepercayaan dengan
giat
membantunya, dengan memberi
keterangan-keterangan dan
contoh-contoh. Sering di luar waktu latihan
Pangeran Muda
dan Jante turun kembali ke sudut lapangan,
lalu jante
memberikan contoh-contoh kepadanya.
Berulang-ulang pula
Pangeran Muda berlatih berkelahi berpasangan
dengannya,
dan hal itu sangat membantunya dalam
memahami apa-apa
yang harus dikuasainya sebagai calon
puragabaya.
'Anom, sebenarnya Janur lebih pandai
daripadaku. Setiap
pelatih berpendapat, bahwa dialah yang
paling berbakat di
antara kita. Sayang sekali daya tahannya
rendah, hingga ia
tidak sanggup menghadapi jeram itu. Saya
yakin, kalau ia
hidup ia akan jadi puragabaya yang paling
baik, ia akan
mengalahkan kita semua dalam
perkelahian," demikian kata
Jante pada suatu kali.
WALAUPUN belum paham benar tentang ilmu
perkelahian
yang diajarkan di Padepokan Tajimalela,
terasa oleh Pangeran
Muda bahwa Janur mempunyai bakat yang sangat
besar,
hingga bukan saja ia mudah mengerti apa yang
diajarkan oleh
pelatih-pelatih itu, tetapi terutama dengan
cepat ia dapat
menguasainya. Dalam latihan-latihan
berkelahi berpasangan,
menonton cara Janur tidak saja menimbulkan
rasa kagum,
tetapi juga rasa keindahan. Gerakan-gerakan
Janur bukanlah
lagi merupakan gerakan, tetapi merupakan
tarian. "Tari
Kematian," demikian Janur pernah
menyatakan kepada
Pangeran Muda.
"Anom, engkau pun termasuk berbakat,
sayang engkau
terlambat datang, jadi kau harus belajar
lebih keras," demikian
kata Jante pula.
Dengan latihan yang terus-menerus di bawah
para
puragabaya, dengan bantuan Jante dan
calon-calon lain,
akhirnya
Pangeran Muda menguasai ilmu perkelahian
yang diberikan
sebagai pelajaran di Padepokan Tajimalela.
Menguasai ilmu
perkelahian berarti gerakan-gerakan serta
jurus-jurus yang
dilakukan setiap hari telah melekat dan
tidak dapat
dihilangkan lagi dari pola gerakan Pangeran
Muda. Dalam
latihan-latihan itu, seluruh anggota badan
dan seluruh tubuh
Pangeran Muda bergerak dengan sendirinya
setiap mendapat
serangan. Gerakan-gerakan ini telah
disempurnakan begitu
rupa dalam latihan-latihan yang
terus-menerus, hingga bukan
saja dapat menghindarkan Pangeran Muda dari
pukulan
orang, tetapi juga dapat memberikan balasan
yang ampuh. Di
samping itu, Pangeran Muda menyadari bahwa
dalam latihanlatihan
itu akhirnya seluruh anggota badan bergerak
dengan
sendirinya, tanpa harus berpikir dahulu.
Kenyataan itu sangat
membesarkan hati Pangeran Muda karena
akhirnya segala
jerih payah yang dialaminya berbuah juga. Seluruh
tubuh
Pangeran Muda sekarang menjadi senjata yang
ampuh. Akan
tetapi, di samping itu Pangeran Muda pun
merasa cemas
karena anggota badannya itu seolah-olah
tidak dikuasainya
lagi dan memiliki kemauan sendiri. Hal ini
dapat
membahayakan karena seorang yang tidak
sengaja atau
secara bermain-main mencoba memukul Pangeran
Muda
mungkin akan mendapat balasan yang
membahayakan jiwa, di
luar keinginan Pangeran Muda sendiri.
Sekarang mengertilah
Pangeran Muda mengapa seorang puragabaya
dilarang keras
berkelahi karena hal itu akan berarti bahaya
bagi mereka yang
mencoba melawan puragabaya.
Ketika itu Pangeran Muda telah setahun penuh
berada di
Padepokan Tajimalela. Hasil pendidikan telah
terasa, bukan
saja oleh Pangeran Muda, tapi juga oleh
calon-calon yang lain.
Umumnya mereka telah menguasai
gerakan-gerakan yang
ampuh dan sudah menjadikan gerakan-gerakan
ilu sebagai
kebiasaan yang lekat pada setiap anggota
badan mereka.
Latihan-latihan berkelahi berpasangan atau
latihan-latihan
dalam cara pengeroyokan dilakukan dengan
lancar. Bagi
orang-orang yang tidak mengetahui,
latihan-latihan
perkelahian itu dapat saja disangka
latihan-latihan tari-menari
bersama Orang-orang awam akan menyangka
bahwa dalam
gerakan-gerakan yang seolah-olah lembut itu
tidak
mengandung bahaya. Hanya para puragabaya dan
para calon
yang menyadari bahwa gerakan-gerakan indah
yang dilakukan
dengan tangan, kaki, ataupun bagian tubuh
lainnya,
semuanya memungkinkan kematian atau cedera.
"Anom," kata Jante pada suatu sore
ketika mereka
beristirahat, "hanya dalam setahun saja
kita sudah berubah.
Di kawah mati ini di tengah-tengah hutan
larangan, kita telah
diubah menjadi binatang buas." Sambil
berkata demikian,
Jante memandang jarinya yang
panjang-panjang.
"Tubuh kita adalah binatang buas,
Jante, tetapi saya yakin
wejangan-wejangan Eyang Resi telah
memperhalus jiwa kita.
Sebaliknya, ketika saya masih berada di puri
Ayahanda, saya
merasa sebagai seekor binatang. Saya
berenang di kali, naik
kuda, berburu, berlatih memanah dan melempar
tombak,
mempergunakan belati, mengangkat gada dan
tameng. Ketika
itu saya baru menyadari bahwa saya memiliki
otot-otot.
Sekarang saya baru merasa, bahwa saya adalah
manusia, dan
sebagai manusia saya mengemban
kewajiban-kewajiban mulia
yang diletakkan Sang Hiang Tunggal di pundak
kita."
'Apakah yang kau maksud dengan
kewajiban-kewajiban
yang mulia itu, Anom?" Jante bertanya.
Pangeran Muda agak keheranan, mengapa hal
itu harus
ditanyakan oleh Jante. Walaupun begitu,
Pangeran Muda
segera menjawabnya, "Misalnya,
mengasihi sesama hidup,
yang kita lakukan dengan mengabdi kepada
sang Prabu dan
dengan berbuat baik selalu dalam kehidupan
sehari-hari."
'Apakah Eyang Resi pernah menerangkan hal
itu?" Jante
kembali bertanya.
"Pernah, tapi tidak dengan kata-kata
yang saya gunakan
itu," jawab Pangeran Muda.
"Tapi mengapa kita diajar cara-cara
berkelahi yang sangat
berbahaya? Bukankah itu bertentangan dengan
keharusan
berbuat baik?"
'Jante, kau pernah menanyakan hal itu
langsung kepada
Eyang Resi, dan Eyang Resi pernah
menjawabmu. Apakah kau
lupa lagi?"
'Anom, saya sangat mudah lupa tentang
pelajaranpelajaran
kerohanian. Terus terang saya sangat tidak
berbakat
untuk itu. Kau sangat berbakat untuk itu,
Anom," lanjutnya.
'Jante, segala kepandaian boleh kaukuasai
kalau kau
mampu. Segala kepandaian, termasuk
kepandaian berkelahi,
tidaklah jelek. Yangjelek adalah
penggunaannya. Seandainya
kepandaian kita digunakan untuk merampok
atau membunuh
orang-orang yang tidak bersalah, tentu saja
hal itu sangat
jelek. Akan tetapi, alangkah baiknya kalau
kita gunakan
kepandaian kita itu justru untuk melindungi
segala kebaikan
dalam kehidupan ini."
"Ilmu-ilmu rohani adalah bagianmu,
Anom. Bagianku
adalah mempergunakan otot-otot saja,"
ujar Jante.
Pangeran Muda tidak mengatakan apa-apa
mengenai
pernyataan temannya itu.
Karena Pangeran Muda berdiri, Jante rupanya
terdorong
untuk melanjutkan percakapannya, "Mulai
kemarau yang akan
datang kita akan menghadapi pelajaran yang
baru, yaitu
pelajaran ketangkasan. Menurut yang saya
dengar dari
beberapa panakawan, pelajaran ketangkasan
ini tidak kurang
berbahayanya daripada pelajaran keseimbangan
dan
perkelahian. Kalau dalam pelajaran yang lalu
kita terutama
menghadapi manusia sebagai lawan, dalam
pelajaran yang
akan datang alamlah yang menjadi lawan
kita."
Apa yang dikatakan Jante itu ternyata benar.
Dalam
pertengahan pertama tahun kedua, pelajaran
ketangkasan
dimulai. Ternyata pelajaran ini bukan saja
berbahaya seperti
pelajaran taraf pertama, bahkan lebih
berbahaya lagi.
Bab 7
Ular dan Bajing
Daerah-daerah di sekitar Padepokan
Tajimalela sungguhsungguh
merupakan daerah-daerah yang tepat untuk
menjadi
tempat latihan ketangkasan ini.
Jurang-jurang dari yang paling
landai hingga yang paling curam ada,
sungai-sungai yang
airnya paling tenang hingga yang paling
deras banyak;
demikian juga, padang-padang hingga
hutan-hutan rimba
terbuka untuk ditundukkan oleh keberanian
dan ketangkasan
manusia.
Latihan ketangkasan yang pertama adalah
latihan meniru
ular. Setiap calon diberi petunjuk-petunjuk
tentang cara
berjalan dan merangkak tanpa mengeluarkan
bunyi. Latihan
ini mula-mula dilakukan di dalam hutan di
mana terdapat
daun-daunan serta ranting-ranting kering
yang akan berbunyi
setiap mendapat sentuhan. Untuk melakukan
latihan ini, para
calon dengan sendirinya harus melepaskan
alas kaki yang
terbuat dari kulit mentah agar mereka dapat
meraba-raba
tanah serta benda-benda yang ada di atasnya
dengan tapak
kakinya itu. Hanya setelah saraf tapak kaki
peka maka para
calon dapat menghilangkan bunyi-bunyi yang
mungkin
dikeluarkan oleh benda-benda yang disentuh
oleh tapak kaki
mereka.
Latihan ini sangat melelahkan karena seluruh
perhatian
dipusatkan ke tapak kaki, suatu perbuatan
yang baru bagi
para calon sendiri. Di samping itu,
menghilangkan bunyi
bukanlah suatu yang mudah. Daun-daun yang
kering, rantingranting
bahkan rumput-rumputan, cenderung untuk
berbunyi
kalau mendapat sentuhan secara sembrono.
Adalah kewajiban
bagi seorang puragabaya untuk mengenal
berbagai benda
yang teraba oleh tapak kakinya, untuk
kemudian mengenal
kemampuannya mengeluarkan bunyi. Kalau
keduanya sudah
dikenal, baru ditentukan bagaimana ia akan
memijak benda
itu.
Taraf mengenal benda, mengenal kemampuannya
mengeluarkan bunyi dan taraf menentukan
bagaimana cara
memijak dengan sendirinya harus dilakukan
dalam waktu yang
singkat sekali karena para calon
diperintahkan bukan saja
harus dapat berjalan tanpa bunyi, tetapi
harus pula dapat
berjalan cepat. Inilah yang sangat
melelahkan para calon.
Latihan itu sungguh-sungguh memerlukan
pengerahan segala
kepekaan saraf.
Latihan berjalan tanpa bunyi ini dilakukan
di atas berbagai
daerah yang sifatnya berbeda-beda. Pertama,
di dalam semaksemak,
disusul di atas tanah yang berkerikil,
dilanjutkan
dengan di atas lumpur di rawa-rawa. Setelah
beberapa bulan
berlalu dan para pelatih menganggap para
calon cukup
menguasai pelajaran itu, latihan lanjutan
dilaksanakan.
Latihan lanjutan ini berupa latihan
merangkak tanpa bunyi.
Kalau dalam latihan pertama telapak kaki
yang dipertajam
sarafnya, dalam latihan merangkak seluruh
permukaan tubuh
diperhalus kepekaannya. Dalam latihan ini
para calon
diperintahkan benar-benar untuk meniru ular,
binatang yang
terkenal tidak pernah bersuara kalau
bergerak.
"Bagaimana kalau kita menangkap seekor
ular untuk
diamati?" katajante kepada Pamanda
Rakean pada suatu hari.
Rupanya pelatih itu sangat setuju karena
kemudian mulai
mengajak berunding tentang rencana itu.
"Kita akan menangkap ular sanca. Tidak
usah yang terlalu
besar, cukup yang bagian-bagian tubuhnya
dapat kita lihat
selagi dia bergerak."
Mendengar perkataan itu, para calon sangat
bergembira.
Bagaimanapun juga perburuan binatang
merupakan
kegemaran para bangsawan, termasuk
putra-putra mereka.
Sedang para calon puragabaya adalah
putra-putra bangsawan
Pajajaran. Oleh karena itu, begitu ditetapkan,
mereka
berangkat ke daerah rawa yang berdekatan
dengan
Padepokan untuk mencari ular besar itu.
Pencarian yang disangka akan dilakukan
beberapa hari,
ternyata dilakukan dalam waktu yang sangat
singkat. Ketiga
puragabaya yang menjadi pelatih mereka dengan
mendengusdengus
dan membaui udara secara mudah dapat
mengetahui
di mana ular besar itu berada.
"Di pohon kiara itu," seru Pamanda
Minda sambil memberi
isyarat kepada para calon agar mengikutinya.
Di satu tempat
di dalam hutan terdapat beberapa pohon
beringin besar. Di
bawah pohon beringin besar itu terdapat
jalan setapak yang
biasa dipergunakan oleh gerombolan babi atau
kijang. Di atas
pohon beringin itu ular-ular besar tinggal,
sambil mengintai
mangsa mereka yang sewaktu-waktu lewat di
bawah.
Ketika mereka sudah dekat ke pohon itu,
suasana seram
tiba-tiba mencekam hati Pangeran Muda.
Bagaimanapun juga
ular-ular sanca adalah binatang-binatang
yang sangat
perkasa. Di samping itu, binatang-binatang
buas ini menjadi
kesayangan para siluman. Melihat pohon yang
besar dan
gelap itu, meremanglah bulu kuduk Pangeran
Muda. Akan
tetapi, segala ketakutan itu segera hilang
setelah Pangeran
Muda melihat bagaimana tenang dan tabahnya
para
puragabaya yang berjalan di muka para calon.
Beberapa langkah lagi jauhnya dari pohon
beringin itu,
Pamanda Rakean mengacungkan tangan.
Rombongan pun
berhentilah.
"Tebang sebatang pohon, cari yang
lurus, besarnya jangan
melebihi pohon pisang, tetapi harus cukup
panjang."
Mendengar perintah itu pergilah beberapa
orang calon dengan
perlengkapan golok. Setelah yang lain
menunggu beberapa
lama, datanglah mereka kembali sambil dengan
susah payah
membawa batang pohon yang panjang dan lurus.
"Sediakan tambang yang panjang,"
kata Pamanda Anapaken.
Tambang pun segera diuraikan. Setelah siap,
ketiga
puragabaya berjalan ke depan, lalu tengadah.
"Ini, sebesar paha, apakah tidak
terlalu besar?" tanya
Pamanda Rakean kepada kedua temannya.
"Tidak," jawab Pamanda Anapaken.
Para calon pun tengadah dan dalam gelap
daun-daun
beringin itu, bergulunglah seekor ular
sanca, melilit-lilitkan
tubuhnya pada cabang-cabang pohon itu.
"Pamanda, awas!" kata seorang
calon. Mendengar suara
ketakutan dari calon itu, yang lain siaga.
'Ada apa?" tanya Pamanda Anapaken.
"Lihat, di pohon kiara yang kecil,
besar sekali!"
Semua berpaling ke arah yang ditunjukkan
oleh Rangga,
dan tampaklah oleh mereka seekor ular yang
sangat besar,
bergulung-gulung di antara daun-daunan.
Kepala ular yang
hampir sebesar kepala kuda terulur-ulur,
memandang kepada
mereka dengan matanya yang bercahaya dan
menyeramkan.
Melihat ular yang sangat besar itu mundurlah
para calon,
hingga Pamanda Rakean berkata, 'Jangan
takut. Walaupun
ular ini binatang yang sangat perkasa, ia
juga binatang yang
sangat bodoh. Ia tidak akan menyerang kita
kecuali kalau
lapar bahkan kalau lapar ia tidak akan
menyerang kita kalau
kita tidak lewat tepat di bawah pohon itu.
Ular adalah
binatang yang terikat oleh kebiasaan dan
karena sudah biasa
menangkap babi hutan di bawah pohonnya,
tidak di tempat
lain, ia tidak tahu lagi apakah
binatang-binatang yang tidak
lewat di bawah pohonnya dapat dimakannya
atau tidak. Jadi
janganlah takut, asal tentu saja jangan
berjalan di bawah
pohon itu karena engkau mungkin akan
disangka babi hutan
olehnya."
Setelah berkata demikian, dengan tangkas
seperti seekor
bajing, Pamanda Rakean memanjat pohon
beringin itu diikuti
oleh kedua kawannya. Mendengar ada yang
mengganggu,
ular sanca yang sebesar paha itu mengangkat
kepalanya dan
sambil menjulurkan lidahnya yang bercabang
berbunyi
berdesis-desis.
Seperti tiga ekor monyet, ketiga puragabaya
itu mendekati
ular itu dari berbagai arah. Pamanda Rakean
membuka kedua
tangannya, lalu mendekati kepala ular yang
bergerak-gerak di
antara akan melarikan diri dan akan
mengadakan perlawanan.
Dan ketika ular itu bergerak dan menjulurkan
kepalanya,
dengan sigap Pamanda Rakean menangkap
lehernya. Ular
menggulung dan mencoba membelitnya, tetapi
Pamanda
Minda sudah siap dan dengan segera menangkap
bagian
tengah tubuh ular itu. Pamanda Rakean segera
turun diikuti
Pamanda Minda sambil menarik tubuh ular itu.
Akan tetapi, hal
itu tidak mudah dilakukan karena ekor ular
itu dengan ketat
membelit sebuah cabang beringin. Pamanda
Anapaken segera
bertindak demi melihat kedua temannya
mendapat kesulitan.
Dibukanya dengan tekun ikatan ekor ular itu,
hingga akhirnya
lepas dan dengan mudah kedua temannya dapat
menarik
seluruh tubuh ular itu dengan mudahnya.
Setibanya di bawah ular itu mencoba
berontak, tetapi di
dalam tiga pasang tangan puragabaya yang
paham akan ilmu
tenaga, usaha ular itu tidaklah berarti. Dan
setelah tubuhnya
direntangkan sepanjang batang pohon yang
lurus itu,
Pamanda Rakean memerintahkan agar tambang
segera
diikatkan. 'Jangan terlalu keras, nanti
mati!" serunya. Para
calon pun bekerja dengan hati-hati, kemudian
rombongan
kembali dengan mengusung tubuh ular yang
sudah terikat
pada batang pohon itu. Begitu mereka tiba di
Padepokan,
segera ular itu dilepas dari batang itu,
lalu dipegang oleh para
calon yang dengan susah payah menahan
geliatan ular yang
berusaha melepaskan diri.
"Marilah kita lepaskan di padang
berkerikil dan kalian
mengamati bagaimana ular itu mempergunakan
tubuhnya
dalam meluncur," kata Pamanda Anapaken.
Rombongan itu
pun, dengan ular di tangan mereka,
berjalanlah ke padang
kerikil yang tidak jauh letaknya dari
Padepokan. Di padang
yang luas itu segera ular dilepaskan, dan
para calon sambil
tertawa-tawa dengan gembira berlari-lari
mengiringi ular yang
ketakutan dan kebingungan mencari-cari jalan
untuk
meloloskan diri.
Dengan menajamkan pandangan, Pangeran Muda
mengamati cara ular itu meluncur di atas
batu-batu dengan
tidak mengeluarkan bunyi, bahkan dengan
tidak
menggerakkan batu-batu sama sekali. Apakah
yang
menyebabkan ular itu dapat meluncurkan
badannya yang
besar seolah-olah benda yang ringan?
"Lihat!" kata Pamanda Anapaken
sambil berlari-lari, "lihat
gerakan-gerakan di bagian bawah badan ular
itu. Berat
badannya tidak dijatuhkan lurus-lurus ke
bawah, tetapi
dijatuhkannya ke depan, hingga tekanan
badannya tidak
mengenai batu-batu itu secara tepat, tetapi
hanya melintasi,
itulah sebabnya badan ular itu seolah-olah
menjadi ringan,
dan itu pula sebabnya ia meluncur begitu
cepat. Seluruh berat
badannya tidak diberi kesempatan menekan ke
arah tanah,
tetapi dilemparkannya ke depan.
"Lihat!"
Setelah mereka puas mengamati cara ular
meluncur,
dibiarkan oleh mereka ular yang kelelahan
itu pergi. Akan
tetapi, baru saja mereka berkumpul untuk
membahas apa
yang mereka amati, seorang panakawan berlari
sambil
berseru-seru, 'Juragan! Juragan! Jangan
dilepaskan!"
Ternyata orang itu Mang Rawing, seorang
panakawan yang
dikenal sebagai penggemar daging ular.
Pamanda Minda yang
berdiri tidak jauh dari ular itu meluncur
segera mencegat ular
itu lalu dengan sebuah sepakan di kepala
ular, dihentikannya
binatang yang malang itu. Hanya sebentar
saja ular itu
bergerak-gerak, kemudian Mang Rawing datang
mengangkat
mayatnya dan menyeretnya ke arah Padepokan
di bawah
pandangan mata para calon yang keheranan,
geli, atau jijik.
Pamanda Rakean berseru-seru, menarik
perhatian mereka
kembali pada pelajaran. Maka para calon pun
merangkaklah di
atas padang kerikil itu, mencoba melakukan
apa yang
dilihatnya pada gerakan-gerakan ular tadi.
Beberapa orang
calon merasa geli akan kelakuan mereka itu
dan tidak
menahan tertawa. Para puragabaya meminta
supaya mereka
diam. Dan latihan pun berjalanlah dengan
sungguh-sungguh.
Latihan itu berjalan hingga matahari condong
ke barat, dan
setelah para calon kelelahan, luka-luka, dan
penuh debu,
barulah para puragabaya menghentikannya.
Betapapun
lelahnya para calon tidaklah mengeluh, bukan
saja karena
dirasa bahwa kepandaian bergerak tanpa bunyi
itu memang
sangat penting, tetapi meniru-niru binatang
itu oleh
kebanyakan mereka dianggap perbuatan yang
lucu dan
menggembirakan. Oleh karena itu, sepanjang
jalan menuju
Padepokan mereka tetap tertawa-tawa dan
bersenda gurau,
saling memberikan pendapat tentang tingkah
laku masingmasing
waktu mereka berlatih.
Akan tetapi, ketika tiba di dekat dapur
Padepokan mereka
sangat terkejut. Mang Ogel, dengan muka yang
pucat dan
penuh keringat dingin tampak sedang
muntah-muntah dekat
kandang ayam. Pangeran Muda dengan yang
lain-lain segera
berlari mendekatinya. Mang Ogel sambil
memegang ulu
hatinya terus-menerus muntah, dan baru
setelah isi
lambungnya habis ia berhenti
menganga-ngangakan
mulutnya.
Setelah Mang Ogel tenang, seorang calon
memberinya
minum air dingin yang jernih dan sejuk. Dan
setelah tampak
tidak lagi pusing Pangeran Muda segera
bertanya; apa
sebabnya Mang Ogel begitu menderita.
"Demi para siluman, lebih baik saya
melihat si Rawing
dimakan ular daripada menyaksikan dia
melahap binatang
besar yang menjijikkan itu! Oooooooo ohek
ohek!"
Mengertilah Pangeran Muda apa yang terjadi
dengan Mang
Ogel. Rupanya para calon pun sekarang tahu
apa yang terjadi.
Maka tertawalah mereka, lupa akan
penderitaan Mang Ogel.
SETELAH berbulan-bulan latihan menjadi ular
ini dilakukan,
akhirnya para puragabaya menganggap para
calon sudah
cukup menguasai apa-apa yang harus mereka
lakukan. Pada
hari latihan terakhir mereka diharuskan
berjalan atau
merangkak tanpa bunyi dan tidak kelihatan
oleh para pelatih.
Ujian ini dilaksanakan dengan baik oleh para
calon, yang
seperti ular atau harimau meluncur dan
menyelinap di atas
berbagai macam tanah, di dalam semak-semak.
Hanya
beberapa orang saja sebelum sampai ke tempat
yang
ditentukan dapat dilihat oleh pelatih.
Sebagai hukuman
terhadap mereka ini, para pelatih
menyediakan batu-batu
untuk melempar para calon yang tidak sanggup
menyembunyikan kehadirannya. Pangeran Muda
termasuk
calon yang selamat, tidak pernah mendapat
lemparan batu
para pelatih yang cukup besar itu.
Setelah latihan ini dianggap selesai, dengan
pesan para
pelatih agar para calon terus-menerus
melatihnya sendiri,
latihan macam baru pun segera dimulai. Dalam
latihan ini,
kepandaian memanjat pohon dan menuruninya
digemblengkan pada para calon. Setelah
pohon, tebing-tebing,
juranglah yang menjadi tantangan mereka.
Seperti juga
latihan meniru ular, latihan meniru bajing
ini dilakukan pada
berbagai waktu, siang hari, malam hari,
subuh, atau pagi-pagi.
Kadang-kadang mata mereka dibiarkan terbuka,
kadangkadang
ditutup dengan kain hitam. Di samping itu,
pada taraftaraf
lanjutan mereka menaiki atau menuruni jurang
itu tidak
diperbolehkan mengeluarkan bunyi.
Dari hari ke hari, tebing-tebing, jurang
atau pohon-pohon
yang harus dipanjat berubah-ubah, makin lama
makin sukar
ditempuh dan makin berbahaya. Di samping
itu, suatu jurang
belum dapat diatasi oleh para calon, kalau
para calon belum
dapat menuruninya setelah selesai menaikinya.
Seperti juga
dalam waktu menaiki, pelaksanaan menuruni
jurang tidak
boleh mengeluarkan bunyi. Di samping itu,
para pelatih terusmenerus
menuntut kepada para calon agar pendakian
atau
penurunan dilakukan secepat-cepatnya.
Akan tetapi, karena sebelum latihan meniru
bajing ini
latihan meniru ular telah dilakukan,
bahaya-bahaya serta
kesukaran-kesukaran banyak sekali berkurang.
Para calon
telah memiliki saraf-saraf yang sangat peka,
hingga telapak
kaki mereka dapat mengenal batu-batu yang
goyah serta
dapat membahayakan dan dapat memilih
bagian-bagian cadas
mana yang dapat dijadikan pijakan dengan
aman.
Untuk dapat meniru bajing dengan sempurna,
para calon
pun diajari bagaimana caranya melompat dari
pohon ke
pohon, melompati jurang dari yang sempit
hingga yang lebar
sekali. Semuanya itu harus dilakukan pula
dalam kecepatan
yang setinggi-tingginya dan tanpa
mengeluarkan bunyi.
Ketika taraf terakhir dari latihan-latihan
ini hampir selesai,
seorang lagi di antara para calon gugur.
Yang sangat
menyedihkan, bukanlah karena kecelakaan itu
tidak dapat
dihindarkan lagi, tetapi justru sebaliknya.
Di samping itu,
kecelakaan yang terjadi bukanlah akibat
kelalaian sang calon,
tetapi karena benar-benar nasib buruk telah
menimpanya.
Ketika itu latihan yang sedang dilakukan adalah
latihan
menuruni jurang yang begitu curam, hingga
para calon harus
mendaki dan menuruninya dengan mempergunakan
tambang.
Elang, calon yang malang itu, mendapat
giliran beberapa
saat sebelum giliran calon terakhir. Dengan
mata tertutup oleh
kain hitam, dengan tangkas dipegangnya
tambang ijuk, lalu
kakinya yang sangat halus saraf-sarafnya
tanpa bunyi merabaraba
dengan cepat, memilih pijakan-pijakan yang
kukuh. Akan
tetapi, tiba-tiba angin bertiup dengan
kencang, menghempashempas
tebing jurang itu. Oleh tiupan angin yang
keras itu,
Elang tidak dapat meluncur dengan cepat.
Tubuhnya agak
terayun-ayun, walaupun tetap dapat berpijak
dengan kukuh.
Akan tetapi, ayunan-ayunan itu menyebabkan
salah satu
bagian dari tambang yang melekat di tebing
jurang itu
tergesek-gesek pada cadas yang runcing dan
menipis. Pada
saat tambang yang tipis ini tidak lagi dapat
menahan berat
badan Elang, putuslah tambang itu dan
melayanglah Elang,
lalu terhempas pada landasan jurang yang
bercadas-cadas
runcing.
Ketika ia diusung ke arah padepokan oleh
kawankawannya,
ia masih dapat berkata-kata, walaupun dengan
lemah. Akan tetapi, ketika ia telah
dibaringkan dalam ruangan
dekat candi dan ketika Pamanda Minda sedang
menyiapkan
alat-alat untuk membetulkan tulang-tulangnya
yang remuk,
nyawanya tidak dapat bertahan lebih lama
dalam tubuhnya
yang rusak itu. Maka latihan pun dihentikan
untuk satu
minggu lamanya. Pertama, sebagai tanda
berkabung karena
meninggalnya calon itu; kedua, karena
beberapa calon dengan
Pamanda Minda harus meninggalkan Padepokan
untuk
mengantarkan jenazah kepada keluarganya.
Dengan meninggalnya Elang, telah tiga orang
calon yang
mendapatkan kecelakaan, dengan seorang dapat
selamat
jiwanya, tetapi gagal sebagai calon. Dari
para panakawan,
Pangeran Muda mendapat penjelasan bahwa
angkatannya
termasuk angkatan yang nahas. Biasanya
kecelakaan dan
korban-korban tidak sebanyak itu.
"Mudah-mudahan dengan banyaknya
kecelakaan ini Sang
Hiang Tunggal berkenan untuk menjadikan
angkatan ini
menjadi puragabaya-puragabaya yang baik di
kemudian hari,"
kata Pangeran Muda.
"Nyakseni," ujar Mang Ogel.
Bab 8
Mang Ogel
Dihentikannya latihan-latihan serta
pelajaran-pelajaran lain
dalam waktu seminggu memberikan kesempatan
kepada para
calon yang bertempat tinggal dekat untuk
minta izin pulang
dahulu ke keluarga mereka masing-masing.
Eyang Resi
tampaknya tidak keberatan, bukan saja karena
sudah hampir
dua tahun para calon terus-menerus berlatih,
tetapi beliau pun
bermaksud meringankan dukacita yang dihadapi
para calon,
setelah korban-korban berjatuhan dalam
latihan itu.
Kesempatan ini pun dipergunakan oleh
Pangeran Muda
dengan sebaik-baiknya.
Waktu Pangeran Muda menghadap dengan
calon-calon lain
untuk meminta izin, kepada Pangeran Muda,
Eyang Resi
berpesan, 'Anom, di antara kawan-kawanmu
engkaulah satusatunya
putra bangsawan yang bertingkat pangeran.
Kalau di
rumah kau miliki peralatan-peralatan
kesatriaan yang dapat
kau sumbangkan pada Padepokan, Eyang
mengharap agar
Anom dapat membawanya kalau nanti kembali ke
sini."
"Dapatkah Eyang Resi menunjukkan
alat-alat kesatriaan
apakah yang diperlukan itu?" tanya
Pangeran Muda.
"Sebanyak mungkin. Misalnya, tombak,
panah, dan
perlengkapan lainnya yang tidak pernah
dipakai oleh
puragabaya, tetapi selalu dipergunakan oleh
seorang
bangsawan, khususnya bangsawan yang memangku
kedudukan sebagai perwira Jagabaya."
"Eyang Resi, kebetulan hamba memiliki
perlengkapan
kesatriaan itu. Hamba memiliki dua batang
tombak yang baik,
tiga panah, tutup dada dari logam, tameng,
ikat rambut dari
emas, cincin-cincin keluarga dari
emas," ujar Pangeran Muda.
"Anom, maksud Eyang tidak usahlah
barang-barang yang
mahal karena barang-barang itu kemudian akan
terbuang
setelah dipergunakan dalam upacara di
sini," lanjut Eyang
Resi.
"Kalau demikian lain lagi soalnya. Akan
tetapi, Anom perlu
menyadari, bahwa benda-benda itu akan
dibakar dalam
upacara," demikian penjelasan Eyang
Resi.
"Tidak apa, Eyang, karena sejak
sekarang hamba tidak
memerlukannya lagi; bahkan kalau hamba gagal
menjadi
puragabaya, hamba kira hamba akan terlalu
tua untuk
mencintai benda-benda itu."
"Baiklah, terserahlah kalau demikian,
Anom. Bawalah yang
sekiranya tidak akan menyusahkan Anom."
Kemudian terpikir oleh Pangeran Muda, bahwa
kalau harus
membawa perlengkapan itu dari puri
ayahandanya, Pangeran
Muda akan memerlukan seorang pembantu yang
membawa
sebagian dari perlengkapan itu. Seandainya
ia sendiri yang
harus membawa perlengkapan-perlengkapan itu,
mungkin
perjalanan akan menjadi sukar sekali untuk
ditempuh, hingga
kemungkinan terlambat pulang ke padepokan nenjadi
besar.
Teringatlah oleh Pangeran Muda akan Mang
Ogel yang
mungkin akan bersenang hati kalau diberi
kesempatan untuk
mengikutinya ke puri Anggadipati. Maka
berkatalah Pangeran
Muda, "Eyang Resi, untuk keperluan
membawa barang-barang
perlengkapan itu, dapatkah kiranya hamba
membawa
Panakawan Ogel sebagai pembantu?"
"Kalau ia tidak keberatan, Eyang
sendiri tidak terlalu
membutuhkan tenaganya sementara para calon
meninggalkan
padepokan."
"Kalau begitu, hamba akan membawanya,
Eyang Resi."
"Baik, Anom, sampai bertemu lagi,
selambat-lambatnya
dalam sepuluh hari," ujar Eyang Resi.
Mereka pun bubarlah.
MANG Ogel sangat gembira menerima usul itu,
dan
keesokan harinya, baru saja ayam berkokok,
sudah diketukketuknya
pintu ruangan Pangeran Muda. Waktu Pangeran
Muda keluar dan setelah membersihkan diri,
ternyata Mang
Ogel telah mempersiapkan segala-galanya.
Maka
keberangkatan pun dapat dilakukan dengan
segera.
Rombongan Pangeran Muda dan Mang Ogel adalah
rombongan pertama yang meninggalkan wilayah
Padepokan
Tajimalela.
Setelah melewati hutan-hutan larangan dan
jurang-jurang
yang curam yang menjadi penghalang bagi
orang luar untuk
dapat mengunjungi padepokan, sampailah
mereka di rimba
yang lebat di punggung gunung yang landai.
Sekarang
perjalanan tidak terlalu sukar ditempuh.
Oleh karena itu,
kedua pejalan ada kesempatan untuk
bercakap-cakap.
"Mang Ogel, sudah dua tahun kita
bergaul, tetapi karena
kesibukan masing-masing, saya belum sempat
bertanya-tanya
tentang asal usul Mang Ogel," kata
Pangeran Muda.
"Wah, repot Anom, sungguh repot!"
ujar Mang Ogel.
"Repot bagaimana, Mang?"
"Bayangkan, pada suatu hari Ayah
berkata, 'Ogel kamu
sekarang sudah besar, sudah waktunya punya
penghasilan
sendiri. Maukah kamu kumintakan kerja kepada
Kuwu?'
"Mendengar perkataan Ayah itu, alangkah
bangganya hati
Emang, karena merasa sudah dianggap dewasa.
Menurut
anggapan Emang, seorang dewasa itu jauh
lebih senang
daripada seorang anak atau yang belum
dianggap dewasa.
Orang dewasa mau mengadu jangkrik atau
mengadu domba
tidak akan ada yang mengusik. Lalu Emang
bertanya, 'Apakah
Juragan Kuwu sudah percaya pada Emang untuk
menjadi
gembala domba-dombanya?'
"Ayah menjawab, 'Kuwu akan mencoba
kemampuanmu
dahulu. Ia bersedia memercayakan sepuluh
ekor domba
kepadamu!' Belum selesai Ayah berkata, saya
sudah menyela,
Ah, Ayali, terlalu sedikit kalau hanya
sepuluh ekor, bagaimana
kalau dua puluh?' Ayah mula-mula tetap pada
pendiriannya,
yaitu bahwa sepuluh ekor cukup untuk
percobaan. Saya tahan
harga, kalau tidak dua puluh lebih baik
Emang tidak jadi
gembala saja. Akhirnya, Ayah mengalah dan
mengusahakan
agar Kuwu mau memercayakan sepuluh lagi dari
dombanya.
"Mengapa Emang berkeras untuk dapat dua
puluh ada
beberapa alasannya; pertama, kalau
mendapatkan dua puluh
kemungkinan mendapat upah lebih banyak.
Kalau ada dua
ekor domba yang beranak dari sepuluh, Emang
mendapat satu
ekor. Dari dua puluh mungkin yang beranak
empat ekor, jadi
berarti Emang akan mendapat dua ekor. Alasan
kedua adalah
bahwa dua puluh domba kemungkinan jumlah
jantannya lebih
banyak. Itu berarti bahwa Emang akan dapat
memiliki domba
aduan lebih dari satu ekor, selanjutnya, itu
berarti Emang
akan puas mengadu domba punya Kuwu dengan
domba yang
digembalakan oleh kawan-kawan Emang.
'Ayah rupanya tidak dapat menduga apa yang
ada dalam
pikiran Emang. Sebenarnya', usahanya untuk
mendapatkan
domba gembalaan adalah untuk mengalihkan
perhatian
Emang dari kesenangan mengadu jangkrik dan
ayam. Ayah
tidak berpikir panjang dan tidak menyangka
bahwa Emang
akan lebih merajalela lagi dalam kesenangan Emang
mengadu
binatang.
"Maka, beberapa hari kemudian Emang pun
sudah menjadi
gembala. Bayangkan, empat ekor domba jantan,
yang dua
sudah bertanduk panjang, yang dua sedang
tumbuh. Alangkah
menyenangkannya! Ayah tidak melihat mata
Emang bercahaya-
cahaya. Ia malah berkata, Jagalah dengan
hati-hati,
jangan meleng, nanti domba-domba itu
diserang anjing hutan
atau harimau tutul yang banyak berkeliaran
di tepi padang,
balikan siang hari.' Tentu saja Emang
mengiyakannya,
walaupun soal anjing hutan atau harimau tidak
menarik
perhatian Emang yang sudah tergila-gila pada
kegemaran
mengadu domba.
"Keesokan harinya Emang dengan
kawan-kawan berpesta
di padang itu, schari-harian mengadu domba,
hingga dombaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
domba jantan itu gemetar kelelahan. Masih
untung kalau
tanduknya tidak patah atau kepalanya pecah.
Walaupun
begitu, setelah beberapa lama Emang tidak
tahu lagi mana
yang menjadi binatang gembalaan Emang, mana
yang
menjadi gembalaan orang lain. Di samping
itu, banyak di
antara gembalaan Emangyang entah ke mana
perginya.
Bayangkan! Karena takut dimarahi, Emang
tidak pulang
dengan kawan-kawan, tetapi terus
mencari-cari domba
gembala itu. Memang beberapa ekor Emang
temukan kembali,
tapi kebanyakan entah ke mana. Mungkin telah
diseret oleh
harimau tutul atau diambil oleh
pencuri-pencuri. Menghadapi
kenyataan demikian, bingunglah Emang. Ketika
malam tiba,
Emang masih berada di tengah-tengah padang
dengan
beberapa ekor domba. Karena kebingungan,
Emang
tambatkan domba-domba itu pada sebatang
pohon, sedang
Emang sendiri duduk di salah sebuah
dahannya, sambil
termenung-menung mencari jalan keluar.
"Selagi Emang termenung-menung
demikian, dari jauh
tampaklah cahaya obor-obor. Tentu mereka
mencari Emang.
Melihat cahaya itu, karena kebingungan Emang
melepaskan
tambatan domba-domba, lalu menghalaunya,
Emang sendiri
berlari, lupa akan segala bahaya yang
mungkin terjadi, karena
di malam hari di padang itu biasa
berkeliaran anjing-anjing
hutan, mencari domba-domba yang ketinggalan.
Setelah
Emang tidak melihat cahaya-cahaya obor itu,
Emang baru
memanjat pohon kembali. Sepanjang malam
Emang
kedinginan di atas pohon itu dan keesokan
harinya, tak seekor
domba pun tampak, bahkan tempat yang Emang
kenal pun
sudah tidak ada lagi. Entah berapa lama dan berapa
jauh
Emang berlari-lari di padang yang luas itu.
Rupanya Emang
sudah tersesat.
"Dengan tidak tentu tujuan dan tidak
tahu apa yang harus
dilakukan, berjalanlah Emang mengikuti ujung
ibu jari kaki,
sepanjang jalan memetik buah-buahan, baru
setelah malam
tiba Emang ingat ke rumah, lalu menangis
terisak-isak. Tak
berani Emang menangis keras-keras, takut
didengar binatang
buas atau siluman. Malam itu pun Emang
kedinginan lagi di
atas pohon.
"Entah telah berapa hari Emang berada
di padang yang
berdekatan dengan hutan itu, Emang sudah
lupa lagi. Yang
Emang ingat adalah bahwa ketika itu pakaian
Emang sudah
tidak keruan, perut lapar dan sakit karena
hanya diisi buahbuahan
seadanya. Emang terus-menerus menangis, dan
berusaha untuk menemukan jalan pulang walaupun
tahu
bahwa Emang telah menyusahkan Ayah dan
mungkin Ayah
akan menghukum Emang karena perbuatan yang
sembrono
itu. Akan tetapi, apa pun yang akan Emang
derita di tangan
Ayah, Emang anggap lebih baik daripada harus
hidup di hutan
seorang diri.
"Pada suatu hari ketika Emang
mencari-cari jalan, tiba-tiba
Emang mendengar derap kaki kuda. Emang
ketakutan,
jangan-jangan yang lewat itu orang jahat.
Emang mengintip
dari balik semak-semak dan melihat seorang
tua setengah
baya diikuti oleh tiga orang anak umur empat
belasan,
semuanya naik kuda, dan semuanya adalah
bangsawan.
Emang sangat gembira, tetapi tidak sempat
minta tolong
karena mereka memacu kuda cepat sekali,
seolah-olah sedang
berlomba. Dengan putus asa Emang
berteriak-teriak, tetapi
karena tidak didengar, akhirnya Emang
menjatuhkan diri
sambil menangis tersedu-sedu karena kecewa
dan putus asa.
'Akan tetapi, kemudian Emang menyadari bahwa
Emang
dapat mengikuti mereka dengan menuruti jejak
kuda mereka.
Maka dengan menunduk, Emang berlari-lari
menuruti jejak itu,
dengan harapan akhirnya Emang dapat
menemukan jalan
besar yang biasa dilewati oleh manusia. Akan
tetapi, harapan
Emang itu meleset karena tapak-tapak kaki
kuda itu makin
lama makin jauh masuk ke dalam hutan dan
mendaki gunung
yang tinggi. Akan tetapi, karena sudah
kepalang, Emang
mengikutinya terus, walaupun sambil bimbang.
"Berulang-ulang Emang berhenti dan
sangsi, apakah yang
Emang ikuti itu manusia atau
guriang-guriang? Kalau manusia,
mengapa masuk hutan lebat? Akan tetapi,
jejak kuda itu
sungguh-sungguh menarik hati Emang, dan
Emang berlari
terus-menerus, takut-takut hari keburu
menjadi gelap.
Sepanjang hari Emang berlari, kadang-kadang
menyeberangi
sungai kecil, kadang-kadang menyelinap di
antara tebingtebing
cadas yang sempit. Kadang-kadang Emang
kehilangan
jejak itu, tetapi dengan kemauan yang keras,
akhirnya Emang
menemukan kembali. Lari, terus lari,
kadang-kadang jatuh
kadang-kadang kehabisan napas karena
mendaki, tetapi terus
lari dan lari.
"Tepat sebelum malam jatuh, tiba-tiba
Emang sampai di
sebuah tempat yang tinggi, dan ketika
melihat ke bawah,
tampaklah oleh Emang lapangan yang luas
berpasir, di
tengah-tengahnya terdapat bangunan-bangunan
yang aneh.
Emang gemetar ketakutan karena ketika itu
Emang yakin
bahwa yang Emang ikuti itu bukanlah manusia,
tetapi para
guriang. atau lebih celaka lagi para siluman
yang menggoda
dan menyesatkan Emang. Di antara
bangunan-bangunan itu
bergerak sosok-sosok tubuh, semuanya berbaju
putih. Emang
sangat ketakutan, lalu bersembunyi. Ketika
malam makin
larut, karena takut akan binatang buas,
Emang terpaksa
memanjat pohon lagi. Wah, dinginnya malam
itu. Maklum,
Emang berada di puncak gunung.
"Keesokan harinya, pagi-pagi benar
Emang terjaga dan
dengan heran melihat orang-orang atau
guriang-guriang yang
berpakaian putih itu melakukan hal-hal yang
aneh tapi
menyenangkan untuk dilihat. Mereka menari
berpasangpasangan,
beberapa orang mengawasi dan membetulkan
tarian-tarian yang dilakukan oleh mereka.
"Sedang asyik-asyik Emang menonton
tarian itu, tiba-tiba
dari bawah pohon terdengarlah bentakan,
'Turun!' dan ketika
Emang melihat ke bawah, seorang laki-laki
yang juga berbaju
putih tengadah dan memberi isyarat supaya
Emang turun.
Dengan gemetar Emang turun, dan setelah
berada di bawah
Emang disuruh mengikuti, berjalan ke arah
bangunanbangunan
yang aneh itu.
"Emang dibawa kepada seorang pendeta,
dan ditanya
mengapa Emang sampai di sana. Emang
menjelaskan
semuanya, dan setelah tuan rumah berunding,
pendeta itu
mengatakan, 'Kau harus rriengetahui bahwa
kau tersesat di
tempat pendidikan puragabaya. Hutan ini
adalah hutan
terlarang dan orang yang memasukinya tidak
boleh kembali
lagi karena mungkin akan membocorkan rahasia
letak tempat
latihan dan pendidikan ilmu rahasia ini. Kau
terpaksa harus
tinggal bersama kami.'
"Maka tinggallah Emang bersama mereka,
hingga sekarang.
Ketika itu Emang masih kecil dan masih tidak
tahu adat. Pada
suatu hari, setelah Emang tinggal lama di
padepokan dan
sering melihat latihan-latihan yang sangat
menarik hati
Emang, memohonlah Emang pada Eyang Resi,
Juragan Sepuh,
mungkinkah hamba diperkenankan ikut
belajar?'
'"Ogel, calon-calon puragabaya yang
kaulihat adalah hasil
pilihan yang sangat saksama. Mereka yang
jumlahnya hanya
lima belas orang itu dipilih dari
beratus-ratus putra
bangsawan. Yang pertama-tama menjadi ukuran
adalah
perangainya, kemudian keluarganya, kemudian
kesehatan dan
kecekatan tubuhnya. Engkau tidak mungkin
diizinkan menjadi
puragabaya, pertama, karena keluargamu tidak
kami ketahui,
kedua, engkau berbadan pendek dan bulat.
Walaupun begitu,
karena engkau patuh dan berkelakuan baik
serta banyak
membantu kami selama engkau di sini, aku
tidak hendak
mengecewakanmu.
'"Sejak hari ini, janganlah engkau
membersihkan halaman
atau lantai candi dan asrama. Janganlah kau
mengerjakan halhal
lain, kecuali mencari kayu bakar. Akan
tetapi,
kuperintahkan kepadamu, agar dalam mencari
kayu bakar itu
engkau tidak mempergunakan golok. Kau hanya
diperbolehkan mempergunakan tanganmu. Kau
harus
mendapatkan jumlah kayu bakar yang
dibutuhkan oleh
padepokan ini dengan hanya mempergunakan
kedua
tanganmu.'
"Emang merasa heran akan perintah itu.
Emang
menganggap bahwa Emang telah lancang meminta
ikut
latihan dengan para puragabaya. Oleh karena
itu, tugas yang
baru sebagai pencari kayu bakar Emang anggap
sebagai
hukuman. Apa boleh buat, Emang memang
bernasib jelek dan
harus menerima segala-galanya dengan tabah.
Maka sejak
hari itu Emang jadi tukang mencari kayu
bakar. Baru saja satu
kali mencari kayu bakar, tangan sudah
lecet-lecet dan sakitsakit.
Keesokan harinya penderitaan bertambah berat
lagi.
Lecet-lecet jadi bengkak dan bahkan terus
pecah. Hari ketiga
Emang mematah-matahkan dahan-dahan kecil
sambil
mengerang-erang kesakitan. Sungguh siksaan
yang luar biasa,
tetapi Emang tahan juga. Hari keempat
demikian juga,
akhirnya saraf-saraf Emang mati, dan
kesakitan jadi
berkurang, walaupun tangan Emang sudah tidak
seperti
tangan manusia lagi. Akan tetapi, karena
kebutuhan akan
kayu bakar terus ada, Emang harus tetap
bekerja,
mempergunakan tangan ini.
"Dengan tidak Emang sadari, ternyata
tangan Emang
kemudian menyesuaikan diri pada tugas itu.
Emang tidak
merasa sakit lagi, balikan makin lama
pekerjaan menjadi
makin ringan. Dan akhirnya pekerjaan
mematah-matahkan
dahan yang kering ataupun basah menjadi
semacam
permainan. Di samping itu, makin hari tangan
Emang menjadi
makin kuat dan besar, hingga akhirnya
seperti adanya
sekarang ini.
"Pada suatu hari, Emang disergap oleh
beberapa orang
calon, lalu dimasukkan ke dalam sebuah
penjara yang terbuat
dari besi yang tebalnya hampir menyamai
tebal ibu jari
tangan. Sambil tertawa-tawa mereka mengunci
Emang di
dalam dan berkata bahwa Emang tidak akan
mendapat
makanan kecuali kalau mau mengambil sendiri.
"Menghadapi lelucon itu mula-mula Emang
kebingungan,
kemudian Emang tak acuh karena menyangka
bahwa akhirnya
mereka akan membukakan kunci penjara besi
itu. Akan tetapi,
sampai hari hampir senja tak ada seorang pun
muncul. Rasa
lapar mulai menyiksa perut Emang, di samping
itu rasa kesal
pun meluap. Emang berteriak-teriak, tapi
hanya disahuti
dengan gelak tertawa dari jauh. Akhirnya,
Emang geram juga
dan mencoba-coba kekuatan besi itu. Dengan
keheranan
Emang melihat, betajia besi-besi itu
melengkung dengan
mudahnya antara jari-jari Emang.
"Ketika itu Emang mengerti bahwa mereka
memasukkan
Emang ke dalam penjara itu bukan main-main,
tetapi dalam
rangka menilai hasil latihan yang telah
diperintahkan oleh
Eyang Resi. Dan ketika mereka melihat Emang
berhasil keluar
dari kurungan besi itu, mereka sangat
gembira. Mereka
datang sambil mengucapkan selamat, sedang
malam harinya,
dengan mengelilingi api unggun yang besar,
diadakanlah
upacara pelulusan Emang.
"Dalam upacara itu, pakaian gembala
Emang dibakar,
bersama-sama dengan sapu, golok, alat-alat
masak, dan
lainlain, yaitu alatalat yang semenjak itu
tidak boleh lagi
Emang sentuh. Untuk mengganti alat-alat itu,
Emang diserahi
besi kendali kuda, besi tapal kaki kuda, dan
ikat pinggang,
yang walaupun bukan ikat pinggang
puragabaya, warna dan
bentuknya hampir sama. Hal itu menyatakan
bahwa Emang
pun berhak berkelahi kalau kebenaran dan
keadilan
membutuhkan tenaga Emang."
Demikianlah kisah kehidupan Mang Ogel, yang
dengan
penuh perhatian didengarkan oleh Pangeran
Muda.
"Apakah Emang pernah berkunjung kepada
orangtua
Emang?"
"Wah, tentu saja, Anom, karena akhirnya
Emang pun
merindukan mereka."
"Bagaimana mereka ketika bertemu
kembali dengan
Emang?"
"Mereka sudah tidak mengenal Emang lagi
karena entah
berapa tahun Emang berada di Padepokan sejak
Emang
melarikan diri."
"Lalu Emang bagaimana?"
"Emang bertanya kepada Ayah, apakah
anaknya yang
bernama Ogel itu ditemukan kembali atau
tidak. Jawabnya
tidak, karena anak itu telah dimakan
gerombolan anjing hutan
bersama domba-dombanya. Emang bertanya,
apakah Ayah
harus mengganti domba-domba itu, jawabnya
juga tidak,
karena kalau Ayah harus mengganti
domba-domba itu, Kuwu
harus mengganti nyawa Emang. Maka
persoalannya selesai."
Mendengar cerita itu legalah hati Pangeran
Muda.
Kemudian ditanyakan pula tentang bagaimana
Mang Ogel
mengenalkan diri kembali, "Bagaimana
ayah Emang mengenali
Emang?"
"Emang bertanya, 'Apakah Ogel itu
seorang anak yang
pernah tertimpa kuali besi di punggungnya
dan mendapatkan
luka yang seperti ini?' sambil membuka
pakaian dan
memperlihatkan punggung. Ayah membelalak,
lalu melihat
wajah Emang, setelah itu ia merangkul Emang
sambil
berteriak-teriak memanggil Ibu. Mereka
sangat bersenang hati
dengan nasib Emang, dan kepada para tetangga
selalu
menyatakan bahwa Emang jadi
puragabaya."
"Engkau puragabaya, Mang, walaupun
dengan gaya
tersendiri," ujar Pangeran Muda sambil
tersenyum dengan
tulus. Sementara itu, kuda mereka pun
berlari dengan sedang,
ladam kakinya berdepuk-depuk di tanah hutan
yang gembur.
Bab 9
Lembah Tengkorak
Sementara itu, kedua penunggang kuda tiba di
pinggir
jurang. Dari atas jurang itu terdapat suatu
celah, yaitu jalan
air yang biasa dipergunakan oleh para
penghuni Padepokan
Tajimalela sebagai jalan kalau mereka hendak
mengunjungi
dunia luar. Ketika Pangeran Muda dan Mang
Ogel hendak
melalui celah itu, mereka melihat dulu ke
sekeliling. Hati
mereka menjadi kecut ketika di bawah jurang
itu hutan samar
saja tampaknya, karena kabut naik dari
dataran rendah.
"Mang, kalau kita pulang kembali, kita
akan kemalaman
dijalan, tetapi kalau kita lanjutkan
perjalanan, mungkin kita
akan tersesat dalam kabut ini. Satu hal yang
dapat kita
harapkan bahwa setelah hari panas, kabut ini
akan menguap
dan naik ke angkasa," kata Pangeran
Muda sambil merenung
ke arah kabut yang sangat tebal itu.
"Anomlah yang memutuskan, Emang sendiri
sudah
berpengalaman dalam tersesat di hutan
hehehe," ujar Mang
Ogel.
Mendengar tertawa Mang Ogel hilanglah kecut
hati
Pangeran Muda.
"Mari kita untung-untungan saja, Mang.
Kalaupun kita
harus tidur di hutan, kita akan dapat
melindungi diri dan kudakuda
kita," kata Pangeran Muda sambil
menarik kendali,
memberi isyarat pada si Gambir supaya mulai
menuruni celah
jurang itu. Mang Ogel pun menghentakkan
kakinya ke arah
lambung kudanya yang pendek sambil berseru,
"Ha!" Maka
kedua kuda mereka pun berjalanlah dengan
hati-hati
menuruni celah curam itu.
Tidak berapa lama kemudian mereka pun sudah
tiba di
hutan yang ada di bawah jurang, kemudian
mulai berjalan di
bawah kabut yang rendah. Ternyata kabut itu
sangat tebal,
hingga pemandangan di hutan itu
remang-remang saja.
Pangeran Muda merasa seolah-olah mereka
sedang memasuki
gua yang remang-remang dan berudara dingin.
Kuda mereka
mendengus-dengus kedinginan, sedang
burung-burung hutan
yang ketakutan oleh kabut yang rendah itu
terbang ke sana
kemari sambil berbunyi, panggil-memanggil
dengan
kawannya. Begitu rendahnya kadang-kadang
burung-burung
itu terbang, hingga berulang-ulang mereka
menggelepar di
sekeliling kedua penunggang kuda itu, bahkan
kadang-kadang
menabraknya. Para penunggang kuda dengan
hati-hati, tapi
berkeras, terus berjalan sambil mengawasi
jalan setapak yang
ada di hadapan mereka.
Akan tetapi, makin lama kabut itu makin
tebal juga, hingga
akhirnya Pangeran Muda turun dari punggung
kuda diikuti
oleh Mang Ogel. Mereka berjalan menuntun
kuda masingmasing,
sementara kaki mereka meraba-raba rumputan
dan
semak-semak, menjaga agar mereka tidak
tersesat. Sambil
berjalan demikian Pangeran Muda tak
habis-habisnya berdoa,
mudah-mudahan matahari bersinar lebih terang
atau angin
kencang betiup, agar kabut yang tebal itu
melepaskan
cengkeramannya terhadap hutan itu. Akan
tetapi, doa-doa itu
sia-sia belaka, makin lama makin tebal juga
kabut itu, hingga
Pangeran Muda hanya sanggup melihat beberapa
langkah saja
sekeliling dirinya.
"Mang Ogel, talikan kendali kudamu pada
pelana kuda
saya, agar kita tidak terpisah." Mang
Ogel melakukan apa
yang diperintahkan oleh Pangeran Muda, dan
mereka pun
terus berjalan, dalam kabut yang makin lama
makin kelam
juga. Entah telah berapa lama mereka
berjalan, dan entah
arah mana mereka berjalan, tiba-tiba suatu
hal terjadi. Suara
tertawa yang keras dan menyeramkan tiba-tiba
terdengar
entah dari mana. Dari atas, kiri, dan kanan
atau belakang
tidak mereka ketahui. Mendengar suara
tertawa itu,
meremanglah bulu roma Pangeran Muda,
sementara itu si
Gambir mendengus-dengus sedang surainya
berdiri, matanya
liar mengawasi ke sekelilingnya.
"Sambal!" gerutu Mang Ogel.
"Dikiranya kita seperti anakanak,
dapat ditakut-takuti!" Akan tetapi,
kemudian terdengar
Mang Ogel membaca mantra-mantra mengusir
siluman.
Sementara itu, suara tertawa terdengar,
kadang-kadang jauh,
kadang-kadang dekat sekali. Setiap kali
suara itu terdengar
kuda-kuda jadi gelisah.
Kadang-kadang Pangeran Muda seolah-olah
melihat, dalam
keremangan itu ada sosok manusia atau
makhluk lain
bergerak. Tapi hanya selintas. Kemudian
terdengar suara lagi
kadang-kadang suara laki-laki, kadang-kadang
suara
perempuan. Pada suatu kali, ketika kabut
sedikit menipis,
Pangeran Muda melihat ada seorang perempuan,
dengan
telanjang bulat dan rambut terurai berlari sambil
tertawa di
dalam semak-semak itu. Rupanya si Gambir
melihatnya pula
dan meringkik sambil tidak mau melangkahkan
kakinya.
Pangeran menarik kendalinya agak keras dan
mereka pun
terus berjalan.
"Anom, kita tersesat ke dalam hutan
mereka," kata Mang
Ogel.
"Hutan siapa?" tanya Pangeran
Muda.
"Hutan makhluk-makhluk terkutuk
itu," ujar Mang Ogel.
"Mang, mereka tidak punya hutan. Mereka
tidak berhak
atas dunia ini. Tempat mereka sebenarnya di
Buana Larang.
Buana Pancatengah diserahkan oleh Sang Hiang
Tunggal pada
manusia. Para siluman itu tidak tahu
diri," jawab Pangeran
Muda.
Tiba-tiba bergelaklah suara tertawa dari
berbagai arah,
suara laki-laki dan perempuan, tetapi nada
tertawa itu sangat
berbeda dengan nada tertawa manusia,
menyeramkan,
menegangkan bulu roma. Pangeran Muda dan
Mang Ogel
tidak menyerah pada tekanan makhluk-makhluk
yang tidak
tampak itu. Mereka terus berjalan sambil
mengucapkan
mantra-mantra.
Kemudian terdengar suara baru, suara bayi
menangis di
dalam semak itu. Mang Ogel berhenti sejenak,
lalu berkata,
'Anom!" Sambil berkata demikian, ia
bergerak akan melangkah
ke arah suara bayi itu.
"Mang, jangan pedulikan!" kata
Pangeran Muda. Rupanya
Mang Ogel mengerti karena ia segera kembali
memegang
kendali kudanya dan terus mengikuti Pangeran
Muda yang
meraba-raba jalan dengan kakinya. Ternyata
suara bayi itu
mengikutinya, ke mana pun mereka pergi.
Kadang-kadang
terdengar pula suara tertawa sayup-sayup,
kadang-kadang
terdengar suara-suara lain yang tidak
dikenal, tetapi
semuanya menggelisahkan kuda-kuda mereka,
hingga sarafsaraf
mereka menjadi tertekan dan sangat tegang
karenanya.
"Anom, kita bisa gila kalau
terus-menerus begini," bisik
Mang Ogel.
"Bacalah mantra-mantra itu terus Mang
Ogel,
pertahankanlah pikiran waras kita dengan
mengutuk nama
mereka."
Pada suatu saat Pangeran Muda seolah-olah
melihat
sesosok tubuh melompat di hadapannya.
Nalurinya segera
menjawab hadangan itu dengan gerakan
menyerang yang
cepat bagai kilat. Akan tetapi, sosok tubuh
yang berkelebat di
hadapannya lenyap dalam sekejap. Kejadian
semacam itu
beberapa kali terulang, tetapi Pangeran Muda
tidak mau
tertipu untuk kedua kali. Dilangkahkannya
kakinya merabaraba
tanah menjaga agar mereka tidak terjatuh ke
dalam
jurang.
Akhirnya, kabut itu menipis juga dan
pandangan menjadi
lebih luas. Makin lama kabut makin menipis,
dan akhirnya
hutan yang di sekeliling tampak, walaupun
masih suram
kelihatannya. Pangeran Muda mulai merasa
lega, dan mereka
pun mulai menaiki punggung kuda
masing-masing.
'Anom, Mang Ogel tidak kenal dengan hutan
ini."
"Tidak jadi apa, Mang. Akhirnya kita
kan menemukan jalan
kembali, mari!" Mereka pun melanjutkan
perjalanan tanpa
bercakap-cakap. Dari jauh masih terdengar
suara tertawa
sayup-sayup, suara bayi pun masih terus
mengikuti mereka,
walaupun lebih lemah kedengarannya.
Tiba-tiba Pangeran Muda menghentikan
kudanya. Di
hadapan mereka terbentang hutan yang aneh
dan
menyeramkan. Pohon-pohon di sana tidak
berdaun, sedang
batang-batangnya yang berdiri bagai
rangka-rangka besar,
bentuknya seperti orang-orang yang sedang
disiksa,
menggeliat-geliat kesakitan. Sementara itu,
suasana sangat
sunyi, tak ada yang bergerak, tak ada suara,
bahkan angin
pun tidak bertiup di tempat itu.
Setelah sejenak berhenti, Pangeran Muda
melanjutkan
perjalanan, sambil terus membaca doa-doa. Pada
suatu
tempat dengan terkejut Pangeran Muda menahan
kendali si
Gambir, karena di hadapannya tiba-tiba saja
menganga
sebuah jurang yang sempit tapi dalam, yang
dasarnya tidak
kelihatan. Dari jurang itu keluar asap
berwarna, yang baunya
sungguh-sungguh tidak menyenangkan.
"Anom," bisik Mang Ogel,
"jauh sekali rupanya kita
tersesat. Jurang itu lubang para siluman
yang terowongannya
tentu saja berujung di Buana Larang,
kerajaan mereka yang
terkutuk itu."
"Sssssst," bisik Pangeran Muda,
sambil membelokkan si
Gambir. Mereka terus berjalan, bukan karena
tahu akan
tujuan, tetapi kalau tidak berjalan mereka
akan merasa sangat
tertekan. LJntunglah makin lama kabut makin
menipis, dan
suara-suara yang tidak menyenangkan yang
mengikuti mereka
makin lama makin sayup-sayup. Akhirnya,
tibalah mereka di
suatu padang terbuka, di pinggir suatu
lembah yang tidak
ditumbuhi pohon-pohonan. Pangeran Muda
memecut si
Gambir agar berlari di lembah itu, tetapi
tiba-tiba didengarnya
Mang Ogel berteriak, "Anom
berhenti!"
Pangeran Muda dengan cepat menghentikan
kudanya.
Mang Ogel segera tiba di sampingnya.
"Lihat," kata Mang Ogel sambil
menunjuk ke tengah
lembah. Di sana tampak benda-benda putih
yang tidaklah lain
kecuali tengkorak-tengkorak binatang dan
manusia.
"Lembah Kematian," bisik Pangeran
Muda yang pernah
mendengar dongeng orang tua-tua.
"Lembah Tengkorak."
"Mari kita teruskan perjalanan, mari
kita lihat tengkoraktengkorak
itu lebih dekat," kata Pangeran Muda.
'Jangan, Anom. Lebih baik kita
kembali," kata Mang Ogel
ketakutan. Akan tetapi, Pangeran Muda yang
merasa
penasaran tampaknya tidak akan mengurungkan
niatnya.
Mang Ogel menahan kembali si Gambir, sambil
tetap
memandang ke arah lembah luas yang dipenuhi
oleh tulangtulang
yang telah memutih. Di suatu tempat tampak
mayat
manusia setengah utuh, menyeringai dengan
tangan-tangan
yang menjulur seolah-olah hendak memeluk
sesuatu. "Jangan,
Anom!" bisik Mang Ogel. Sementara itu,
serombongan burung
yang terhalau oleh gumpalan kabut terbang
rendah. Mereka
berputar-putar, tetapi karena di mana-mana
kabut tebal
mendinding, burung-burung itu kemudian
terbang di atas
Lembah Tengkorak itu. Setelah itu,
pemandangan yang
mengherankan terjadi. Tiba-tiba saja
burung-burung itu
berjatuhan seperti batu-batu yang
dilemparkan dari langit ke
atas lembah itu. Beberapa burung selamat dan
berusaha
terbang melarikan diri dari atas lembah itu
sambil berteriakteriak.
Akan tetapi, mereka pun kemudian tidak
berdaya dan
berjatuhan. Beberapa ekor jatuh di dekat
Pangeran Muda dan
Mang Ogel.
"Sambal!" gertak Mang Ogel
perlahan-lahan. "Siluman
sungguhrsungguh sudah berkuasa penuh di
lembah itu, Anom.
Mari kita pergi!"
Sekarang Pangeran Muda menyadari akan bahaya
yang
tidak kelihatan yang mengancam nyawa mereka.
Dengan
patuh Pangeran Muda menarik kembali si Gambir,
dan mereka
pun berjalan menjauhi lembah yang menakutkan
itu.
Entah berapa lama mereka tersaruk-saruk di
dalam hutan
itu, akhirnya, pada suatu kali Mang Ogel
berseru, menyatakan
bahwa dia mengenal hutan itu.
"Kalau begitu, berjalanlah di muka,
Mang," kata Pangeran
Muda.
Mang Ogel berjalan di muka, dan akhirnya
tibalah mereka
di padang yang mereka kenali. Setelah
mengucapkan syukur
kepada para guriang yang melindungi mereka
di hutan
terkutuk itu, mereka beristirahat. Kemudian,
agar tidak kemalaman
di padang, mereka memacu kuda mereka ke arah
wilayah yang didiami manusia.
Bab 10
Kuntum Kenanga
Tidak berapa lama kemudian, ketika langit
berubah dari
biru menjadi nila, dan awan-awan yang perak
menjadi emas,
tampaklah sayup-sayup sebuah kampung. Akan
tetapi,
ternyata kampung yang mereka tuju itu sangat
besar. Ketika
Pangeran Muda menanyakan kepada Mang Ogel
tentang nama
kampung itu, Mang Ogel menjelaskan,
"Anom ini bukan
kampung. Rumah-rumah dan tempat-tempat
pemujaan di sini
banyak sekali. Oleh karena itu, malam ini
kita akan bermalam
di sebuah kota kecil yang diperintah oleh
Tumenggung
Wiratanu. Kota ini penduduknya rajin-rajin;
di samping bertani
mereka berdagang dan membuat kerajinan
tangan, hasil
pekerjaan tangan ini mereka kirim ke
Pelabuhan Negara
Kutabarang. Sang Prabu sudah beberapa kali
berkenan datang
ke kota ini, walaupun kecil, terutama karena
tertarik oleh
kegiatan niaga penduduknya."
"Kalau begitu, malam ini kita makan
besar, Mang. Rindu
benar rasanya lidah saya akan
makanan-makanan daerah
pedataran."
"Wah, sungguh-sungguh satu hati kita
ini, Anom! Mari kita
percepat kuda-kuda kita. Mereka pun sudah
rindu akan
rumput dataran rendah!" sambil berkata
demikian, dipacunya
kudanya dengan kencang.
Pangeran Muda terpaksa pula memecut si
Gambir yang
melonjak lari dan dengan penuh semangat
meluruskan uraturatnya
di dataran yang luas itu. Tidak berapa lama
kemudian
tibalah mereka di lawang kori kota itu.
Ketika melihat Mang Ogel yang tampak aneh
itu, para
gulang-gulang yang menjaga lawang kori
mula-mula raguragu
untuk mengizinkannya masuk. Akan tetapi,
setelah
mereka melihat Pangeran Muda yang dari ujung
rambut
hingga telapak kakinya menyinarkan
kesatriaan, dengan
hormat mereka mempersilakan kedua pengembara
itu
memasuki kota.
"Dapatkah saya mengetahui nama dan
keluarga Raden?"
tanya kepala gulang-gulang kepada Pangeran
Muda.
"Nama saya Anggadipati, ayahanda adalah
Pangeran
Anggadipati, tentu Saudara pun pernah
mendengar nama
beliau. Ini adalah pengawal saya, Mang
Ogel."
"Kami senang mendapatkan kunjungan
kehormatan dari
Pangeran Muda," sambung kepala
gulang-gulang itu.
"Paman, kami kemalaman dijalan. Kamilah
yang harus
berterima kasih pada keramahtamahan warga
kota yang telah
membuka pintunya bagi kami. Jadi, terima
kasih atas segala
kebaikan."
"Dipersilakan, Pangeran Muda."
Maka kedua orang pendatang itu pun masuklah
ke dalam
kota, dan tercengang ketika melihat
kemeriahan kota itu.
Ketika itu langit senja telah berwarna
tembaga. Oleh karena
itu, obor-obor yang dipasang sepanjang tepi
jalan yang lebar
menjadi makin terang tampaknya di kanan kiri
jalan, juga di
atas jalan, digantungkan orang berbagai
hiasan dari janurjanur
serta bunga-bungaan. Sementara itu,
orang-orang yang
hilir mudik, laki-laki, perempuan dan
anak-anak, berpakaian
indah-indah. Sedang mereka tampaknya sangat
sibuk pula.
"Paman, perayaan apakah yang sedang
diselenggarakan
oleh warga kota?" tanya Pangeran Muda
sambil memegang
kendali si Gambir yang dituntunnya dijalan
besar itu.
"Anak Muda, siang tadi panen baru saja
selesai dan malam
ini perayaan menghormati Sang Hiang Sri akan
dilakukan di
lapangan depan pendapa," kata orang
yang ditanya itu.
"Wah, kalau begitu malam ini Mang Ogel
akan mabuk tuak
dan tidur pulas karena nasi ketan
hehehe!" seru Mang Ogel
keriangan.
"Mang, engkau adalah seorang
puragabaya, terlarang bagi
kita untuk menyentuh makanan atau minuman
yang dapat
menghalau akal sehat dari kepala kita,"
kata Pangeran Muda
memberikan peringatan.
"Anom, Emang adalah puragabaya, tapi
dengan gaya
tersendiri sesuai dengan pendapat Anom hehehe.
Bagi
puragabaya gaya Mang Ogel kelebihan makan
atau minum
tidak dilarang. Demikian juga, akal sehat
Emang tidak usah
selalu ada dalam tempurung kepala Emang.
Kasihan Anom,
sekali-kali perlu juga dibiarkan cari hawa,
jalan-jalan hehehe."
"Baiklah Mang, asal jangan saya disuruh
memapah Emang
pulang ke penginapan dan janganlah Emang
muntahmuntah
karena mabuk nanti, seperti muntah-muntah
sehabis melihat
Rawing makan ular itu."
"Jangan takut, Anom. Emang
berpengalaman dalam minum
tuak. Tapi janganlah nanti diceritakan
kepada orang-orang di
padepokan, apalagi kepada Eyang Resi,
hehehe. Kalau Anom
usil, Emang tidak akan mau lagi menjadi
panakawan Anom
hehehe."
"Baiklah, sekarang marilah kita cari
tempat menginap,
Mang," ujar Pangeran Muda sambil
menuntun si Gambir
menyusuri tepi jalan besar yang meriah oleh
orang yang hilir
mudik, oleh pakaian mereka yang bagus-bagus
dan hiasanhiasan
di atas dan di pinggirnya.
Di bawah cahaya obor yang terang benderang
itu
tampaklah sebuah rumah besar yang di
depannya terdapat
beberapa ekor kuda yang ditambatkan pada
tiang-tiang
tambatan. Pangeran Muda dengan diikuti oleh
Mang Ogel
segera berjalan ke arah sana, lalu berhenti
sejenak,
memandang ke dalam rumah yang serambinya
luas dan
terang oleh lentera-lentera minyak kelapa.
"Mang, pegangkanlah kendali si Gambir.
Saya akan
menanyakan tempat," ujar Pangeran Muda.
"Tidak, Anom.
Emanglah yang pergi."
"Baiklah, mari saya pegangkan kendali
kudamu, Mang."
Mang Ogel pun masuk ke dalam serambi, lalu
menghilang di
balik sebuah pintu. Tak berapa lama kemudian
ia kembali dan
mengatakan bahwa tempat masih tersedia.
Setelah menambatkan kuda dan memberinya
rumput,
keratan ubi mentali, dedak, dan taburan
garam, Pangeran
Muda dan Mang Ogel membersihkan diri di
tempat yang
tersedia di belakang rumah penginapan yang
besar itu.
Setelah itu, mereka bersantap. Selesai
bersantap mereka
mengenakan pakaian yang pantas, tetapi
sangat sederhana.
Pangeran Muda mengajak Mang Ogel
melihat-lihat kota.
Untuk sampai di tempat pesta tidaklah sukar.
Dengan
mengikuti arus manusia yang hampir
berdesak-desakan di
jalan itu, sampailah Pangeran Muda dengan
Mang Ogel ke
sebuah lapangan yang sangat luas. Di
sekeliling lapangan itu
terdapat tempat duduk dan beberapa panggung
yang juga
diisi dengan tempat-tempat duduk.
Panggung-panggung itu
dihiasi dengan janur dan buah-buahan serta
bunga-bungaan
beraneka ragam. Di tengah-tengah lapang itu
sendiri berdirilah
menara tinggi yang terbuat dari
ikatan-ikatan padi yang
beribu-ribu jumlahnya. Di atas menara padi
itu berdiri rumahrumahan,
yang di dalamnya disemayamkan patung Sang
Hiang Sri yang terbuat dari emas murni. Di
kaki menara padi
itu ditanamkan orang panji-panji,
umbul-umbul yang tiangtiangnya
terdiri dari bambu-bambu betung. Kain
panji-panji
dan umbul-umbul itu terbuat dari sutra yang
merah, kuning,
putih, hijau, Jingga, nila warnanya. Dari
segala perlengkapan
itu sadarlah Pangeran Muda, bahwa kota kecil
ini termasuk
kota kecil yang maju dan kaya raya
penduduknya.
Ketika Pangeran Muda dan panakawannya sampai
di
lapangan, orang sudah berjejal-jejal.
Sementara itu, panggung
pun sudah diisi oleh pembesar-pembesar kota.
Pembesar dan
para bangsawan duduk di deretan terdepan, di
belakang
mereka duduklah putri-putri mereka yang
berpakaian
serbaindah dan mengenakan perhiasan-perhiasan
yang
gemerlapan. Melihat putri-putri serta
emban-emban yang
cantik, bertanyalah Mang Ogel, "Anom,
berapa tahun umurmu
sekarang?"
"Hampir tujuh belas, Mang.
Mengapa?" Pangeran Muda
bertanya karena heran mendengar pertanyaan
Mang Ogel
yang tidak disangka-sangka itu.
"Nah, tadi Anom menasihati Mang Ogel
agar tidak mabuk
tuak. Sekarang Emanglah yang mendapat
kesempatan
membalas. Emang hendak menasihati Anom: Awas
jangan
mabuk oleh kerlingan dan senyuman
gadis-gadis itu. Itu
bukan saja akan menghalaukan akal sehatmu,
bahkan
menghalaukan seluruh pikiranmu, Anom!"
"Mang Ogel, jangan takut.
"Gadis-gadis itu tidak menarik
perhatian saya," ujar
Pangeran Muda.
"Ala, ni anak! Kalau Anom tidak
memerhatikan mereka,
mereka yang akan memerhatikan Anom. Lihat
dirimu sendiri
dalam cermin, Anom. Walaupun kau belum tujuh
belas, orang
akan menyangka sekurang-kurangnya kau
berumur dua puluh.
Latihan-latihan dan udara sehat di padepokan
menumbuhkan
rohani dan jasmanimu dengan cepat. Jadi,
hati-hatilah."
"Jangan takut, Mang. Minumlah
sepuas-puasnya hingga
kau kehilangan akal warasmu," ujar
Pangeran Muda dengan
tersenyum
Mereka pun bergabunglah dengan orang banyak
yang
berjejal-jejal sekitar lapangan itu.
Ketika bulan muncul di atas benteng sebelah
timur kota,
dan menyaingi obor-obor dengan cahaya
peraknya, ditiup
oranglah trompet tiram, mendayu-dayu
bunyinya. Orangorang
yang ingar-bingar pun sunyilah, tanda
upacara
mengelu-elukan Nyai Sang Hiang Sri akan
dimulai. Dari
panggung terbesar di tepi lapangan itu
tampaklah
Tumenggung Wiratanu berdiri dari tempat
duduknya, dan
dengan didampingi oleh beberapa orang
pendeta kota ia mulai
berdoa dan berseru kepada Nyai Sang Hiang
Sri yang duduk
dengan megah dalam rumah-rumahan di atas
menara padi itu.
"Putri Sang Hiang
Tunggal yang pemurah
Sang Hiang Sri yang abadi
Lambang kehidupan dan
kesuburan
Seluruh warga kota Kuta
Kiara menyilakan
Sang Hiang Sri untuk
bersemayam selama-lamanya
di tengah-tengah
kami."
"Nyakseni" gumam pendeta-pendeta
yang diikuti oleh
khalayak. Dan sekarang, sebagai tanda
kegembiraan karena
Sang Hiang Sri telah berkenan melimpahkan
kemurahannya
kepada kita malam ini, semalam suntuk kita
akan berpesta
dan tidak akan pernah tidur, hingga matahari
menggantikan
purnama."
Selesai pembicaraan itu, dan sebelum
Tumenggung
Wiratanu kembali ke tempat duduknya, dari
kolong panggung
terdengarlah bunyi trompet diiringi gendang
yang
bersemangat, maka gemuruhlah seluruh tempat
itu oleh suara
bunyi-bunyian.
Tak lama kemudian melompatlah beberapa orang
ke dalam
gelanggang dan mulai menari. Mereka segera
diikuti oleh
kawan-kawannya yang lain, laki-laki,
perempuan, tua, dan
muda. Mereka menari sambil menyanyi
mengikuti irama
gendang, mengelilingi menara padi sambil
meliuk
melenggang. Melihat kegembiraan anak negeri
yang
diperlihatkan dalam tari dan nyanyi itu,
hangat pulalah hati
Pangeran Muda.
Kalau saja Pangeran Muda bukan seorang
bangsawan, dan
bangsawan tinggi pula, mungkin Pangeran Muda
sudah
menggabungkan diri dengan barisan yang
berlenggang-lenggok
dan melingkar-lingkar bagai ular itu. Akan
tetapi, karena
selalu sadar akan kedudukannya, Pangeran
Muda hanya
bertepuk.
"Mang Ogel, saya sudah beberapa kali
mengikuti pesta
macam itu, bahkan pernah ikut menari, tetapi
sekali ini
suasana meriah luar biasa," kata Pangeran
Muda. Akan tetapi,
ketika tidak ada yang menyahut, Pangeran
Muda segera
berpaling ke sampingnya. Ternyata Mang Ogel
tidak ada.
Pangeran Muda melihat ke kiri dan ke kanan
mencari-cari,
tetapi sia-sia, bukan saja karena orang
terlalu banyak, tetapi
orang-orang itu tidak tinggal diam, bergerak
kian kemari.
Pangeran Muda mulai kebingungan karena tanpa
Mang Ogel
mungkin ia akan tersesat mencari tempat
penginapan nanti.
Padahal ia bermaksud tidur sore-sore. Akan
tetapi, kemudian
hatniya menjadi lega kembali demi melihat
seorang yang
gemuk dan pendek menari-nari dan
melambai-lambaikan
tangannya yang lebar dan besar seperti
sepitan kepiting itu
dalam barisan manusia yang menari-nari dan
melingkarlingkar
mengelilingi menara padi itu.
Sementara itu, ke tengah-tengah orang banyak
itu
masuklah orang-orang yang mengusung
tempayan-tempayan
besar. Di belakang pengusung-pengusung
tempayan itu
berjalan pulalah pembawa niru-niru yang
penuh diisi cangkircangkir
tanah liat. Pembagian tuak dimulai, dan
orang-orang
pun terburu-buru mengelilingi
pengusung-pengusung
tempayan itu. Sementara itu, dari arah lain
diusung pula bakibaki
yang berisi makanan-makanan serta
buah-buahan. Yang
paling menarik perhatian Pangeran Muda dalam
sebuah baki
besar yang diusung oleh empat orang di atasnya
berisi seekor
babi hutan besar yang telah dibakar dan
dibumbui. Sambil
tertawa dan bersorak-sorak orang mengerumuni
babi bakar
itu, dan mulai mempergunakan pisau-pisau
untuk mengerat
dagingnya yang berlemak itu. Maka pesta itu
pun lengkaplah,
yang menari, yang makan, yang minum semua
sibuk.
Ketika sedang asyik memerhatikan segala
keramaian itu,
seseorang menyentuh tangan Pangeran Muda.
Ketika
Pangeran Muda berpaling tampaklah seorang
pemuda
menyodorkan secangkir tuak.
"Untuk memeriahkan kedatangan Sang
Hiang Sri, marilah
kita minum bersama," katanya.
"Terima kasih, kesehatan saya tidak
mengizinkan saya
minum-minuman memabukkan," jawab
Pangeran Muda,
terpaksa berdusta untuk tidak mengecewakan
kebaikan
pemuda itu.
"Sakit apa?" tanya pemuda itu keheranan,
"Saudara
kelihatannya sehat-sehat saja."
"Saya sendiri juga tidak tahu, hanya
dukun meminta
kepada saya agar tidak minum tuak dan
sebangsanya."
"Air gula boleh? Air buah-buahan?"
tanyanya. "Boleh,
terima kasih, tapi jangan menyusahkan."
"Tidak
menyusahkan," kata pemuda itu sambil
mengambil secangkir
air buah-buahan yang diterima oleh Pangeran
Muda setelah
mengucapkan terima kasih.
"Tampaknya Saudara orang baru,"
katanya pula.
"Saya baru saja datang tadi sore,"
ujar Pangeran Muda.
"Pantas, Saudara kelihatan asing dan
kesepian," kata pemuda
itu sambil tersenyum. "Marilah,
bergabunglah dengan kami,
orang muda tidak pantas berada di
sini," sambungnya. Sambil
berkata demikian dituntunnya Pangeran Muda
ke arah
panggung terbesar, kemudian, dengan melewati
tukangtukang
tabuh gamelan di bawah panggung, kawan
barunya itu
membawa Pangeran Muda ke dalam suatu tempat
di belakang
panggung yang remang-remang disinari
obor-obor kecil.
Di sana banyak sekali pemuda yang berumur
belasan
sampai dua puluhan. Mereka ada yang bermain
dadu, minum
tuak, makan, berpantun-pantunan. Umumnya
mereka putraputra
bangsawan. Hal itu kelihatan dari pakaian
mereka yang
bersulamkan benang emas atau benang perak,
sesuai dengan
tingkat kebangsawanan keluarga mereka.
Setiba di tempat itu,
kawan barunya disambut oleh kawan-kawannya,
seraya
berbisik-bisik serta tertawa-tawa pergilah
ia ke tempat lain,
lupa akan Pangeran Muda yang tertegun di
sana dan merasa
asing.
Semula Pangeran Muda bermaksud kembali ke
tempat
terang untuk menonton orang-orang yang
menari, tetapi
untuk mencapai tempat itu harus melangkahi
tukang-tukang
bunyi-bunyian yang berada di bawah panggung.
Seandainya
Pangeran Muda seorang warga kota yang telah
dikenal oleh
mereka, mungkin hal itu mudah saja
dilakukan. Akan tetapi,
karena merasa dirinya orang asing, hal itu
tidaklah
dilakukannya. Pangeran Muda malah memutuskan
untuk
tinggal di tempat pemuda-pemuda itu, sambil
meniru-niru
apa-apa yang mereka lakukan agar tidak
menarik perhatian.
Main dadu bukanlah kegemaran Pangeran Muda,
di
samping itu berjudi ditabukan bagi seorang
puragabaya dan
juga bagi seorang calon. Minum tuak demikian
juga. Setelah
melihat ke kiri dan ke kanan, tampaklah oleh
Pangeran Muda
seorang pemain kecapi buta, yang dengan
merdunya sedang
bernyanyi. Pangeran Muda segera melangkah ke
sana, lalu
ikut duduk di atas tikar di mana orang-orang
muda lain
sedang mengelilingi pemain kecapi itu.
Sambil mendengarkan nyanyian tukang kecapi
itu,
Pangeran Muda memerhatikan tingkah laku
orang-orang muda
di sana. Seorang muda memberikan uang logam
kepada
tukang kecapi buta itu, lalu meminta
dinyanyikan sebuah lagu.
Melihat itu, Pangeran Muda segera merogoh
uang kecil,
bermaksud meniru perbuatan orang lain agar
tidak merasa
terlalu asing dan agar tidak menarik
perhatian orang. Akan
tetapi, baru saja lagu selesai, pemuda lain
sudah memberikan
uang terlebih dahulu. Kali ini lagunya tidak
menarik hati
Pangeran Muda. Oleh karena itu,
dilayangkannya pandangan
ke sekeliling.
Mengertilah Pangeran Muda, mengapa
putra-putra
bangsawan berkumpul di bawah panggung besar
itu. Ketika
Pangeran Muda tengadah, berjajarlah
putri-putri dan gadisgadis
emban di atas panggung. Mengerti pula
Pangeran Muda
tentang kedudukan tukang kecapi buta, yaitu
sebagai orang
yang menyampaikan isi hati pemuda-pemuda
kepada pemudipemudi
yang berada di atas panggung itu. Pantas,
pikir
Pangeran Muda, kalau lagu-lagu yang
dinyanyikan oleh tukang
kecapi itu berupa lagu-lagu kasih asmara
semata. Dengan
menyadari hal itu, dikembalikanlah uang
logamnva ke dalam
kantongnya.
Sementara itu, tampak pula beberapa orang
tua yang sibuk
di tengah-tengah pemuda-pemuda itu, yaitu
orang-orang tua
laki-laki dan perempuan yang bolak-balik
naik-turun
panggung. Mak Comblang! pikir Pangeran Muda.
Pangeran
Muda mulai merasa tidak betah.
Permainan-permainan yang
disaksikannya, walaupun menarik
keingintahuannya, adalah
permainan-permainan orang-orang yang lebih
tua
daripadanya. Walaupun begitu, Pangeran Muda
tidak beranjak
dari tempat duduknya. Diperhatikannya segala
gerak-gerik
orang-orang muda dan gadis-gadis itu dengan
tekun.
Pada suatu saat datanglah seorang tua ke
dekatnya. Orang
ini dengan tidak disangka-sangka berbisik
kepadanya,
"Seseorang bertanya kepada Bibi tentang
Raden," katanya.
"Siapakah dia?" tanya Pangeran
Muda agak bingung.
"Yang duduk dekat tiang dan sedang
memandang bulan
itu," kata orang itu.
Pangeran Muda berpaling dan terhenyak,
karena orang
yang menanyakan tentang dirinya adalah
seorang putri.
Pangeran Muda tidak tahu, apakah ia merasa
takut, gembira,
terkejut, atau apa. Yang disadarinya
hanyalah jantungnya
berdegup dengan cepat. Ia pun tidak tahu apa
yang akan
dikatakannya kepada putri itu. Baru pertama
kali ia
menghadapi pengalaman yang mengguncangkan
dan
membingungkannya seperti itu.
"Siapakah dan dari manakah Raden? Nyi
Putri ingin sekali
mengetahui. Ia bertanya kepada Bibi, kalau
tidak salah Raden
baru pertama kali hadir di pesta seperti
ini."
"Saya orang asing, Bibi... dan... besok
sudah harus pergi ...
dari ... mana atau ke mana tidak boleh
disebutkan. Saya...
seorang cantrik dari suatu padepokan."
Orang tua itu tersenyum, lalu berkata,
"Mengapa harus
berdusta? Raden bukan seorang cantrik.
Kalaupun bukan
seorang pangeran yang sedang berkelana dan
cari
pengalaman, Raden mungkin seorang putra
bangsawan,
sekurang-kurangnya putra saudagar."
"Terserah kepada Bibi, tetapi apa yang
saya katakan itu
benar."
"Baiklah, tetapi Raden harus jawab
pertanyaan Nyai Putri,
supaya Bibi dapat mengatakan sesuatu."
"Bibi, katakan saya berterima kasih
akan keramahan Tuan
Putri, tetapi saya... saya adalah seorang
cantrik yang
melarikan diri dari padepokan untuk menonton
pesta ini. Kalau
rahasia tentang nama saya dibuka, saya akan
mendapat
kesukaran," ujar Pangeran Muda yang
kebingungan.
"Apakah Raden sudah mendapatkan
sekuntum bunga lain?"
"Apakah yang Bibi maksud?"
'Jangan pura-pura tidak tahu. Tapi baiklah,
Bibi akan
menyampaikan kata-kata Raden," kata
orang tua itu, lalu
berjalan ke dalam gelap. Tak lama kemudian
sudah tampak
berbisik-bisik dengan putri yang berada
dekat tiang, yang
asyik memandang bulan.
Pangeran Muda berdiri dari tempat duduknya,
lalu berjalan
dengan maksud meninggalkan tempat itu. Akan
tetapi, karena
banyaknya orang, akhirnya ia tertahan di
suatu tempat tidak
berapa jauh dari tempat semula. Sementara
Pangeran Muda
sedang berpikir-pikir, terjadilah suatu hal
yang menarik
perhatiannya. Pemuda-pemuda dan
pemudi-pemudi yang
berada di atas panggung mulai main
lempar-lemparan dengan
bunga-bunga, sementara orang tua mereka
bercakap-cakap
dan pura-pura tidak tahu. Tidak puas dengan
melemparkan
bunga kepada kekasih masing-masing, ada
pemudi-pemudi
yang melemparkan perhiasannya, demikian juga
pemudapemuda,
ada yang melemparkan gelang-gelang tangan
dan
cincin-cincin permatanya. Pangeran Muda
dengan gembira
memerhatikan permainan yang menyenangkan itu
Akan tetapi, kemudian hatinya menjadi kecut
kembali,
ketika dilihatnya putri itu sedang
memerhatikannya dan
tersenyum kepadanya. Pangeran Muda
kebingungan, gembira
bercampur cemas. Gembira karena putri itu
sangat cantik,
cemas karena hal itu baru pertama kali
dialaminya. Di samping
itu, ia merasa tidak senonoh karena terlalu
muda untuk
melakukan permainan seperti yang dilakukan
oleh yang lainlain.
Tampak pula olehnya bahwa sebenarnya tuan
putri jauh
lebih tua daripadanya.
Sementara Pangeran Muda bingung, tiba-tiba
putri itu
menaburkan bunga-bungaan kepadanya. Dari
baunya yang
segar Pangeran Muda tahu, bahwa bunga-bunga
itu adalah
bunga-bunga kenanga. Karena kebingungannya,
Pangeran
Muda segera meninggalkan tempat itu dan
walaupun
terhalang oleh orang yang berjejal-jejal ia
dapat menyelusup,
kembali ke lapangan depan panggung tempat
Mang Ogel
sedang menari dengan orang lain.
Melihat Mang Ogel menari sambil sempoyongan,
tertawalah
Pangeran Muda. Orang yang gemuk, pendek, dan
bertangan
besar itu tampaknya sudah mabuk oleh tuak,
bunyi-bunyian,
dan cahaya-cahaya obor. Sambil
tersenyum-senyum dan
berpegangan dengan orang-orang lain yang
mabuk, ia menarinari
dan menyanyi-nyanyi di tengah-tengah
ingar-bingar
bunyi-bunyian. Waktu Pangeran Muda asyik
tertawa-tawa
melihat Mang Ogel yang sempoyongan,
seseorang terasa
menyenggolnya dengan keras. Pangeran Muda
memberi jalan,
tetapi tidak ada orang yang lewat. Kemudian,
terasa lagi ada
yang menyenggolnya, lebih keras lagi.
Pangeran Muda sekarang penasaran, ia
berpaling, dan
tampaklah di belakangnya beberapa orang
pemuda
memandangnya dengan tajam sambil melipat
tangan di dada.
Mereka tampaknya marah kepada seseorang, dan
Pangeran
Muda pun melihat ke sekeliling, tapi tak
melihat ada pemuda
lain atau orang lain yang berhadapan dengan
pemudapemuda
yang berjajaran di belakangnya itu.
Pangeran Muda mulai cemas, kalau-kalau
orang-orang
muda itu bermaksud tidak baik terhadapnya.
Hal itu mungkin
saja, karena orang-orang itu mungkin saja
salah sangka dan
menganggap Pangeran Muda sebagai musuh atau
orang yang
dicarinya. Tampak oleh Pangeran Muda bahwa
orang-orang itu
bukanlah bangsawan-bangsawan yang biasa
dikerahkan
menghadapi masalah-masalah seperti itu.
Sementara itu, Pangeran Muda mulai cemas
oleh hal lain.
Kalau ia terlibat dalam perkelahian karena
salah mengerti,
mungkin ia akan dilepas sebagai calon
puragabaya. Di
samping itu, hal yang sangat ditakutinya
adalah dirinya
sendiri, karena setiap anggota tubuhnya
sangat berbahaya
bagi orang lain. Setiap jarinya, setiap
ujung tulang dan otototot
pada tubuhnya yang lampai itu adalah
senjata-senjata
yang sangat berbahaya dan kalau sudah
bergerak sukar
dikendalikan. Bagaimana kalau
senjata-senjata itu dipancingpancing
untuk bergerak oleh orang-orang yang tidak
menyadari akan bahayanya dan berbuat begitu
karena salah
sangka atau salah mengerti?
Karena kecemasan-kecemasan seperti itu,
Pangeran Muda
segera memikirkan cara-cara untuk menjauhi
orang-orang
yang tampaknya salah sangka itu. Hal itu
tidak sukar
dilakukannya. Kemampuannya bergerak seperti
ular,
dipergunakannya dalam menjauhi orang-orang
itu, dan dalam
sekejap mata Pangeran Muda sudah ada di
tempat lain, dan
sambil tertawa-tawa melihat penari-penari
yang telah mabuk
itu sempoyongan ke sana kemari, saling
tabrak satu sama lain.
Makin larut orang bukannya makin kurang,
tetapi
sebaliknya. Walaupun Pangeran Muda masih
senang
menonton berbagai bentuk pertunjukan yang
diadakan orang
di samping tari mengelilingi menara padi
itu, ingatannya akan
keberangkatannya esok hari mendorongnya
untuk segera
pulang ke penginapan. Setelah malam larut
benar, Pangeran
Muda segera mendekati Mang Ogel yang terus
juga menari,
walaupun sudah hampir tidak sanggup lagi
berdiri. Begitu
mereka bertemu, Pangeran Muda segera memegang
tangan
panakawannya itu, lalu menariknya keluar
gelanggang. Karena
sudah mabuk benar oleh tuak, Mang Ogel
hampir tidak lagi
dapat berjalan. Oleh karena itu, Pangeran
Muda terpaksa
harus memapahnya dan dengan tersaruk-saruk
membawanya
ke luar dari pusat keramaian itu.
Walaupun sudah hampir tidak dapat berjalan,
sambil
bersandar pada tangan Pangeran Muda, Mang
Ogel terus
berkata-kata dan tertawa-tawa.
"Hehehe orang-orang di sini sangat
baik-baik, ala, tuaktuaknya
tua-tua benar. Heh, Anom, mana gadismu? Pintar
juga Anom ini, dilepas sebentar sudah
kecantol. Hehehe,
seorang puragabaya tidak boleh mempergunakan
bungabunga,
apalagi bunga kenanga, Anom. Eyang Resi akan
murka, tapi biar, beliau tidak melihat kita
hehehe kita harus
pandai, dan minumlah banyak-banyak selagi
jauh dari
padepokan, makanlah banyak-banyak hehehe
selagi kita sehat
dan gagah perkasa aaaaahh."
Kaki Mang Ogel sudah tidak dapat berpijak
lagi, ia seolaholah
mau tidur di tangan Pangeran Muda. Oleh
karena itu,
Pangeran Muda terpaksa setengah
menggendongnya. Setelah
dari jauh tampak obor besar dinyalakan di
depan penginapan,
di suatu tempat yang gelap tiba-tiba
Pangeran Muda dihadang
oleh dua orang pemuda. Tampak dengan segera
bahwa
mereka adalah kedua orang badega yang
mendelik kepadanya
di tengah-tengah keramaian yang baru
ditinggalkannya.
Pangeran Muda berhenti melangkahkan kaki,
tapi ia pun tak
berkata apa-apa. Di hatinya timbul lagi
kecemasan, bagaimana
kalau orang ini memancing-mancing untuk
berkelahi.
"Berhenti!" kata salah seorang di
antara dua badega itu.
Pangeran Muda berhenti, sambil tetap
memegang Mang Ogel
yang sudah tertidur di tangannya.
"Saudara-saudara mungkin salah sangka.
Saya bukanlah
orang yang sedang Saudara-saudara
cari," kata Pangeran
Muda.
"Betul ini orangnya," kata
seseorang di dalam gelap, dan
ketika Pangeran Muda berpaling ke sana,
tampaklah lima
orang pemuda lainnya, seorang di antaranya
adalah
bangsawan muda yang sangat mewah pakaiannya.
Bangsawan muda inilah yang baru saja
berkata.
"Saya yakin Saudara-saudara salah
sangka," kata Pangeran
Muda, sementara itu didudukkannya Mang Ogel
yang telah
mendengkur di sebuah bangku yang ada di tepi
jalan.
"Pengecut! Kau tidak akan dapat
meloloskan diri, bunga
kenanga itu masih kau selipkan di ikat
kepalamu," kata salah
seorang pemuda yang berdiri dekat bangsawan
muda yang
berpakaian mewah itu.
"Saya ingin melihat tampang orang ini
dengan jelas," kata
bangsawan muda itu sambil melangkah.
"Den Bagus, hati-hati, siapa tahu orang
yang tampaknya
pengecut ini membahayakan," kata salah
seorang di antara
pemuda itu.
"Saya tidak akan berbuat apa-apa karena
saya tidak ada
urusan dengan Saudara-saudara," kata
Pangeran Muda,
menujukan kata-katanya kepada yang disebut
Den Bagus itu.
"Kau punya urusan dengan kami. Kau telah
berani
mengganggu gadis-gadis kota ini, kau tak
tahu diri, kau orang
asing di tempat ini. Kau harus merasai
sendiri bagaimana
akibatnya kalau kau tak tahu diri."
Alangkah herannya Pangeran Muda mendengar
tuduhan
itu. Berkatalah Pangeran Muda, "Saya
tidak pernah
mengganggu siapa-siapa, apalagi gadis."
"Kau dusta. Apa yang kau pesankan
melalui Mak Comblang
itu? Tidakkah kami lihat? Tidakkah kami
dengar? Kau sangka
kami pun buta, dan tidak bisa melihat bunga
kenanga yang
kau sisipkan di tutup kepalamu," kata
Den Bagus.
Pangeran Muda meraba-raba ikat kepalanya,
dan terasalah
suatu benda, dan ketika diambil tampak bahwa
benda itu
adalah sekuntum kenanga. Teringatlah
Pangeran Muda
bagaimana putri itu menaburkan bunga-bunga
kenanga
kepadanya. Tentu kenanga itu adalah salah
satu yang
tersangkut dan tertinggal pada ikat
kepalanya.
"Saya tidak menyisipkan bunga ini.
Bunga ini dilemparkan
kepada saya lalu tertinggal," katanya
dengan cemas.
"Pengecut! Mayang Cinde tidak tahu
pemuda yang menarik
perhatiannya adalah seorang pengecut yang
menjijikkan!
Pah!"
"Soalnya bukan pengecut atau pemberani,
soalnya ada
salah paham. Saya tidak berbuat apa-apa
kepada siapa pun,
dan kalau ada bunga di kepala saya, itu di
luar tanggung
jawab saya!"
"Pengecut!"
Sementara itu ketujuh pemuda itu sudah
mengelilinginya.
"Kalau begitu, bawalah saya ke
pengadilan kota, panggillah
gadis dan perempuan tua itu sebagai
saksi," kata Pangeran
Muda. Dalam hatinya berdoa, semoga
pemuda-pemuda itu
tidak mencoba memukulnya karena ia takut
tidak bisa
mengendalikan tubuhnya sendiri.
"Saya anggota Baros" kata salah
seorang pemuda itu.
"Saya juga," kata yang lain,
sementara itu mereka mulai
menyepak dan memukul Pangeran Muda dari
berbagai arah.
Pangeran Muda berusaha sekuat tenaga
menguasai tubuhnya
agar tidak memberikan balasan. Apa yang
teringat olehnya
adalah hukuman yang mungkin dijatuhkan
kepadanya oleh
Eyang Resi, seandainya ia terlibat dalam
perkelahian yang siasia
seperti itu. Untuk menghindarkan bahaya yang
dimungkinkan oleh pukulan-pukulan pemuda-pemuda
itu,
Pangeran Muda mengeraskan otot-ototnya dan
menghindarkan agar sepakan dan
pukulan-pukulan itu tidak
mengenai bagian-bagian tubuh yang lemah.
Karena Pangeran Muda tidak melawan, mungkin
mereka
menganggap Pangeran Muda benar-benar
pengecut.
Anggapan ini menambah semangat mereka untuk
menyiksa.
Pangeran Muda didorong ke dalam selokan.
Pangeran Muda
benar-benar menyerah diri pada siksaan
mereka itu. Dari
dalam selokan Pangeran Muda diseret, dan
sambil terusmenerus
mendapatkan pukulan dan sepakan dibawa ke
sebuah ruangan yang gelap dan besar. Di sana
penyiksaan
dilakukan kembali lebih hebat lagi.
Betapapun Pangeran Muda
menghindarkan, tak urung darah mengalir dari
siku dan
dengkul Pangeran Muda, begitu juga dari
bibir atas yang luka
karena sepakan. Selama itu, Pangeran Muda
terus-menerus
melindungi bagian-bagian dirinya yang lemah,
dan karena
tidak melawan dan berdiam diri, mungkin
akhirnya para
penyiksa menganggap Pangeran Muda telah
jatuh pingsan.
Seseorang pergi dan kembali dengan seguci
air. Air
disiramkan ke kepala Pangeran Muda, dan
pemukulanpemukulan
dimulai lagi. Setelah mereka tampak puas dan
ayam jantan berkokok untuk pertama kali,
Pangeran Muda
mendengar mereka pergi, lalu mengunci
ruangan yang gelap
dan besar itu, setelah satu-satunya lentera
di dalam ruangan
itu dipadamkan. Dengan tubuh linu-linu dan
darah terasa asin
dalam mulutnya, Pangeran Muda mengucapkan
syukur karena
sudah dapat mengendalikan diri dan tidak
melakukan gerakanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gerakan yang begitu berbahaya yang hanya
terdapat pada
anggota-anggota tubuh seorang puragabaya.
Setelah berbaring sebentar melepaskan lelah,
ia pun
bangkit,
lalu meraba-raba dalam gelap itu.
0 komentar:
Posting Komentar