Prawesti tersipu malu. "Tapi paman,
melihat cintanyayang
begitu besar kepada bibi guru Wulan, apa
mungkin dia bisa
menyinta perempuan lain? Dia juga masih
punya isteri lain,
Sekar yang entah ada di mana."
Jayasatru tersenyum Kini ia yakin Prawesti
mencintai sang
ketua. Hanya gadis itu malu. "Semua
laki-laki butuh
perempuan, begitu sebaliknya. Dan aku yakin
ketua
membutuhkan lebih dari seorang isteri.
Apalagi Sekar sudah
satu tahun ini tak ketahuan rimbanya. Ketua
tak mungkin
sendirian terus. Tinggal kini, siapa
perempuan yang bisa
menarik hatinya. Kau harus tahu, banyak
perempuan yang
ingin menjadi isteri ketua."
Sebelum pergi, dia berbisik ke telinga
Prawesti. "Kau harus
mendekatinya, berusaha menarik
hatinya."
Prawesti kembali merenung. "Ya, pasti
banyak perempuan
yang ingin menjadi istri atau kekasih ketua,
bagaimana
dengan aku?"
Prawesti berusia duapuluh tahun, sudah tak
punyakeluarga
sejak kecil. Kakeknya, GubarBaleman dan
empat murid
termasuk ayahnya gugur di perang Ganter. Dia
melihat semua
kawan perempuannya sepakat tidak lagi
melayani ketua. Gadis
cantik itu tersenyum Tetapi senyum lenyap
ketika teringat
Rahayu, murid Mahameru itu, yang hari itu
datang bersamasama
ketua. "Apa hubungannya dengan ketua?
Benar kata
paman Jaya, bakal banyak perempuan yang
mengejar ketua."
Hari sudah siang, Prawesti ingat tugasnya
menyediakan
makanan untuk ketua. Ia menuju dapur. Di
tengah jalan,
berpapasan dengan dua murid wanita. Keduanya
menegur
Prawesti, mengatakan santapan siang sudah
siap. Prawesti
mengucap terimakasih.
Prawesti melihat Wisang Geni duduk semedi.
Ia meletakkan
nampan di atas tikar. Ia memerhatikan lelaki
yang dipujanya
itu. Sudah lama ia mengagumi Wisang Geni,
tetapi tak pernah
berpikir akan menyintainya. Hanya kagum
Terbatas pada rasa
kagum saja. Tetapi kini perasaannya berubah.
Dari kagum
menjadi kasihan kemudian cinta.
Kemarin, Geni hanya berdua dengan Prawesti
yang
melayani makan siangnya. Mendadak Geni
menarik tubuh
Prawesti dan memeluk gadis itu sambil
menyebut nama
Wulan. Prawesti hendak berontak melepaskan
diri, tetapi
tenaganya hilang. Ada keinginan yang tak
dapat ditolak,
keinginan untuk pasrah. Dan ia memang pasrah
ketika Geni
menciumi dengan bernafsu. Ia tak sadar
secara spontan
mengimbanginya dengan bernafsu. Beberapa
saatkemudian
Geni sadar. Dia minta maaf, telah berlaku
tidak senonoh.
Tetapi dia heran lantaran Prawesti tidak
marah, malah
tersenyum dengan sinar mata berbinar.
Prawesti masih
ingatketika itu dia mengatakan. "Tidak
apa-apa ketua, aku
senang bisa membuat ketua senang."
Setelah kejadian itu Geni sering kali
menyentuh tangan
atau menepuk bahu gadis itu. Dan Prawesti
mulai berani
mengimbangi dengan sentuhan mesra. Keduanya
mulai
membiasakan saling sentuh. Prawesti kemudian
melangkah
lebih jauh, memijit betis dan telapak kaki
sampai lelaki itu
tertidur.
Terdengar suara Geni yang membual Prawesti
sadar dari
lamunan. "Kamu melamun apa?"
"Tidak, aku tidak melamun. Aku menanti
perintah, aku siap
untuk melayanimu"
"Kulihat kau tersenyum tadi, apa yang
membuatmu
senang."
"Aku senang, bisa melayani ketua."
Wisang Geni memerhatikan seksama gadis di
hadapannya.
Tidak salah Prawesti dijuluki kembang Lemah
Tulis, dia cantik,
kulit tubuh kuning sawo. Rambut panjang
terurai. Matanya
bulat gemerlap dengan sepasang alis tebal.
Mulurnya agak
lebar namun pantas. Tubuhnya sedang, tidak
tinggi dan tidak
pendek, sintal dengan buah dada yang
menonjol.
Gadis itu duduk di atas lipatan dua kakinya.
Cantik dan
montok. Geni merasa gejolak birahi. Tak bisa
menahan diri
lagi, Geni melesat dari duduknya, dalam
sekejap sudah berada
di sampingnya. Tangannya meraih tubuh si
gadis, memeluk
gemas, menciuminya dengan penuh nafsu.
Prawesti dari
semula diam dan pasif menjadi bernafsu dan
liar.
Sejak ciuman yang pertama kemarin, gadis itu
sering
melamun merindu ciuman dan pelukan Geni.
Karenanya begitu
lelaki itu memeluk dan menciumnya, tanpa
bisa ditahan lagi
Prawesti balas mengimbangi dengan memeluk
erat dan
ciuman yang bernafsu.
Geni terengah-engah berbisik. "Aku tak
tahan lagi. Kamu
membuat birahiku tak terkendali."
"Ketua, aku pasrah, aku siap
melayanimu, aku milikmu,
ambillah."
"Kita hanya berdua, jangan panggil aku
ketua...."
"Ya, ambillah, nikmatilah tubuhku, aku
rela dan pasrah,
Mas." Saat dua anak manusia itu
tenggelam dalam lautan
nafsu birahi, pada saat yang sama di pendopo
yang tidak jauh
dari rumah Geni, Gajah Watu dan Padeksa
duduk berhadapan
dengan salah seorang murid, Jayasatru Ketiga
lelaki itu
tersenyum memandang ke arah rumah ketua
Lemah Tulis.
Senyum yang penuh arti
Padeksa, tertawa senang. "Adalah lebih
baik bagi Lemah
Tulis jika Wisang Geni mengawini Prawesti.
Karena
sebenarnya aku kurang setuju ia beristeri
Sekar, tetapi apa
boleh buat sudah terjadi. Aku lebih senang
jika Geni memilih
orang sendiri."
Di bilik ketua Lemah Tulis, Geni berbaring
di samping
Prawesti. Pada masa itu terutama di dunia
kependekaran,
orang tidak terikat batasan moral agama
serta kepercayaan
sehingga hubungan intim di luar pernikahan
antara lelaki dan
wanita bisa saja terjadi. Meskipun demikian
Geni tetap merasa
bersalah lantaran selama ini ia mengaku
menyintai Walang
Wulan dan Sekar, dua isterinya. Tetapi hanya
hanya terpaut
lima hari setelah Wulan dikubur, ia telah
meniduri Prawesti. Ia
merasa telah mengkhianati Wulan dan juga
Sekar.
Prawesti seperti mengetahui apa yang dipikir
ketuanya. Dia
pun merasakan hal yang sama, ada rasa
bersalah, sepertinya
dia telah mengkhianati bibi gurunya, Wulan
"Ketua, mohon
ampun, aku yang bersalah, hukumlah aku, tapi
jangan
salahkan dirimu."
Geni memeluk Prawesti. "Aku yang salah,
padahal sebagai
ketua perdikan seharusnya aku bisa menahan
diri, aku
menyesal telah merenggut perawanmu."
"Ketua, aku rela perawanku kau ambil,
tubuh dan cintaku
kini milikmu, ketua. Aku senang dan bahagia,
meski aku
merasa seperti mengkhianati bibi
Wulan."
Geni menghela nafas. "Sebenarnya Wulan
telah merestui
malahan menganjurkan aku mengawinimu."
"Apa? Restu? Aku tak mengerti,
ketua."
"Sebelum ajal Wulan berpesan agar aku
cepat mencari
Sekar. Katanya, nafsu kelaki-lakianku sangat
besar karenanya
aku butuh lebih dari seorang isteri. Ia
menyebut namamu
sebagai calon, katanya kau muda, cantik dan
pasti akan setia
mendampingiku."
"Apakah benar begitu? Apakah aku memang
cantik?"
Geni memeluk Prawesti. "Kau memang
cantik, masih
perawan dan sangat menggoda."
Prawesti malu-malu, memeluk Geni dan
menyembunyikan
wajahnya di dada lelaki itu. "Bibi
Wulan memang benar, aku
pasti akan setia mendampingimu."
Geni menciumi wajah Prawesti. Perempuan itu
melarikan
wajahnya ke dada Geni. "Mas, aku tanya
padamu kau jawab
dengan jujur? Kamu bersedia?"
Lelaki itu mengiyakan dengan menggerutu.
Nafsunya
berkobar lagi. Tangannya meraba-raba semua
bagian tubuh
Prawesti.
"Ketua, kau jawab dulu pertanyaanku,
nanti baru aku layani
lagi."
"Kau memerintah aku?"
"Aku membujuk, bukan memerintah, dan
itu pun pada
saat-saat tertentu seperti sekarang ini, di
saat lain aku adalah
budakmu, pelayanmu yang siap melayanimu
bahkan
seandainya kau meminta nyawaku pun."
Geni tertawa. "Tanyalah."
Prawesti memeluk, menyembunyikan wajahnya di
dada
Geni.
"Mas, Sekar isterimu itu, ia sangal
cantik, lebih cantik dari
aku. Kau pasti mencintainya. Bagaimana
kisahmu
dengannya?"
Geni menceritakan pengalamannya dengan
Sekar, dua
tahun lalu. Ia terluka oleh pukulan
Kalayawana dan dipaksa
menelan racun oleh pasangan pendekar dari
India, Kumara
dan Malini. Kemudian Sekar membawanya ke
Lembah
Cemara, memaksa neneknya mengobati. Nyatanya
Dewi Obat
yang kesohor itu hanya sanggup mengusir
sebagian racun,
memperpanjang usianya tiga bulan. Nyawanya
tertolong
setelah secara kebetulan terjatuh di jurang
di kaki gunung
Lejar, malahan di tempat itulah Geni
menemukan ilmu Wimihn
warisan pendekar Lalawa.
"Kamu bercinta dengannya? Katamu ia
bekas penyakit
cacar?" Geni tertawa merasa lucu akan
kecemburuan gadis
itu. "Waktu itu memang tubuhnya penuh
bercak cacar. Tapi
sekarang sudah sembuh. Lagipula Sekar memang
cantik,
tubuhnya indah dan ia membuat aku kasmaran.
Aku sangat
mencintainya."
"Jika harus memilih satu di antaranya,
kamu memilih siapa,
Sekar atau bibi Wulan?"
Geni teringat saat dua isterinya luka
keracunan. Saat itu ia
hai us memilih mendahulukan Wulan atau
Sekar. Nalurinya
mendorong ia menolong Sekar lebih dahulu.
"Aku mencintai
Sekar. Selama satu tahun lebih, sudah
empatbelas purnama,
aku rindu dan selalu teringat Sekar. Tetapi
aku juga mencintai
Wulan."
Mendadak dengan gesitnya Prawesti berpindah
posisi. Dia
kini tengkurap di atas tubuh Geni. Dia
menatap mata lelaki itu.
”Mas Geni, ketuaku yang mulia, jika kau
bertemu lagi dengan
Sekar isterimu, atau perempuan lain yang
cantik dan montok,
apakah kau akan mencampakkan aku?"
Geni melihat sepasang mata bening Prawesti,
tajam dan
menantang, tak ada rasa takut. Saat itu Geni
tahu persis
betapa beraninya perempuan ini. Juga cantik.
Berani, setia
dan cantik, adalah tiga sifat yang jika
dimiliki seorang
perempuan maka berbahagialah lelaki yang
meyuntingnya.
"Tidak, aku tak akan meninggalkanmu
Tapi...."
Prawesti memotong ucapan Geni, tangannya
membekap
mulut lelaki itu. Dia tahu sekarang belum
waktunya meminta
cinta Wisang Geni. Belum waktunya mengharap
Geni
mengawininya karena lelaki itu baru lima
hari kematian isteri.
Juga masih ada Sekar dalam ingatan Geni.
Tetapi sekarang
satmya memancing janji lelaki itu.
"Mas, ingat kau sudah
berjanji tak akan meninggalkan aku. Kau
boleh bercinta
dengan perempuan lain, aku tak peduli
meskipun aku akan
cemburu, tetapi kau sudah berjanji dan janji
pendekar utama
tanah Jawa adalah janji yang tak boleh
diingkari. Jika kau
mencintai perempuan lain kau harus ingat
akan janjimu, kamu
harus menerima pengabdianku sebagai salah
satu isteri atau
selirmu, aku akan setia di sisimu,
melayanimu, kau harus janji
ketuaku yang mulia."
"Aku sudah berjanji tidak akan
meninggalkanmu, hanya
tentang kawin atau menjadi isteri, aku tidak
berani berjanji.
Tetapi Westi, mengapa kau lakukan semua ini,
mengapa kamu
pasrah dan rela menjadi pelayanku,
kenapa?"
Prawesti tersenyum Dia mengecup mulut Geni.
Menatapnya
dengan penuh rasa cinta. "Kau tidak
sadar, kau tidak tahu,
atau pura-pura tak tahu bahwa aku
mencintaimu. Aku tak
mungkin bisa hidup jika kau tinggalkan,
mungkin aku akan
bunuh diri."
"Kita kan baru saja berdekatan. Baru
lima hari."
"Aku sudah mencintaimu sejak pertama
kali melihatmu,
tetapi waktu itu kau kan suami bibi Wulan
dan juga ketua
perdikan, aku tak berani memperlihatkan
cintaku, bisa menjadi
tertawaan dan hinaan orang."
Wisang Geni memeluk Prawesti erat dan rapat
seakan
hendak menelan perempuan itu dan menyatukan
dengan
dirinya.
---ooo0dw0ooo---
Hutan rimba di kaki gunung Bromo masih
berselimut kabut
tebal. Suasana sepi dan lengang. Tak ada
tanda-tanda
kehidupan selain kicau burung dan kokok ayam
jantan. Pagi
itu udara bersih, berembun dan dingin. Dari
kerimbunan hutan
muncul dua lelaki berlari pesat menguak
kabut. Keduanya
berhenti di lapangan luas yang ditumbuhi ilalang
setinggi
dada. Keduanya saling pandang.
"Apa benar ini tempatnya?" Lelaki
jangkung berkumis lebat
memecah kesunyian pagi.
"Tak salah lagi, ini Lembah Bunga,
mungkin kita baru
sampai di tapal batas," sahut temannya
yang bertubuh pendek
gemuk
Lelaki jangkung itu, menghela napas panjang,
memenuhi
parunya dengan udara bersih pegunungan. Ia
berseru,
lantang dan keras. "Kami utusan keraton
Kediri, ingin bertemu
Penguasa Cantik dari Lembah Bunga, Nyi
Kalandara."
Suara ini mengumandang jauh, berulang-ulang dipantulkan
gema. Pertanda tenaga dalam si jangkung ini
cukup berbobot.
Belum juga gema suara ini lenyap, terdengar
tawa gelak.
Tawa ini berderai panjang, mirip ringkik
kuda. Seorang lelaki
berpakaian putih muncul mendekat.
"Hm... kalian dari keraton
Kediri, kalian pasti punya nyawa rangkap
berani datang
kemari. Dan kau tadi pamer tenaga dalam atau
memang
benar-benar kulonuwun"
Dua utusan Keraton Kediri itu menahan rasa
dongkol
karena tugas yang diembannya jauh lebih
penting dari
meladeni sikap temberang lelaki berbaju
putih. "Oh sama
sekali tidak. Tak ada maksud kami pamer
kepandaian di
Lembah Bunga yang ketuanya begitu kesohor,
cantik dan
berilmu tinggi. Tetapi kami juga bukan
sembarang orang, kami
diutus keraton Kediri, Paduka Raja Yang Muka
Panji Tohjaya,
pesan penting untuk ketua Lembah Bunga"
Sekonyong-konyong lelaki berbaju putih
menerkam dengan
dua tangan terpentang. Gaya menyerang yang
unik.
Menyerang ganas tetapi dengan membiarkan
pertahanan
sendiri terbuka Jarak yang dua tombak itu
bukan rintangan
baginya Desir angin tajam menerpa kedua tamu
yang tak
pernah menyangka ada aturan main macam itu
Serangan unik itu berubah di tengah jalan.
Dari posisi
tangan terbentang berganti menekuk tangan di
depan dada
kemudian menjotos lurus ke dada lawan. Pada
saat
berbarengan tangan larinya mencakar wajah
lawan disusul
tendangan lurus mengarah selangkangan lawan.
Sasarannya
adalah si jangkung.
Lelaki jangkung ini terkejut sesaat. Ia
bergerak cepat.
Tanpa menggeser kuda-kudanya, ia
mendoyongkan tubuh ke
kiri memunahkan cakar lawan. Tangan kanannya
membuat
dua gerakan, menangkis pukulan dan tendangan
sementara
tangan kirinya balas menjotos pinggang
lawan.
Semua berlangsung cepat Hanya dalam sekali
tarikan
nafas. Serangan lelaki jangkung jatuh di
tempat kosong. Lelaki
berbaju putih, meminjam tenaga tangkisan
lawan, melesatke
tetamu pendek gemuk Kali ini tendangan
potong mengawali
serangannya.
Lelaki gemuk tertawa sinis. Ia menggeser
langkah,
menghindar. Keadaan berbalik, kedudukan
lelaki berbaju putih
kini terancam Lelaki gemuk memukul keras
menggunakan dua
tangan. "Kena kau!" Tetapi ia
tertipu. Jurus aneh lelaki baju
putih tidak putus di situ saja. Tendangan
potong tadi cuma
pancingan.
Begitu si gemuk menghindar, si baju putih
melakukan gerak
putar sambil menekuk tubuh dilanjutkan
dengan tendangan
mengarah leher. Itu belum semua. Dari posisi
setengah
jungkir tangannya mengirim pukulan keras ke
selangkangan
lawan.
Tamu gemuk itu terkejut. Serangan lawan tak
mungkin
dihindari kecuali melempar diri ke belakang.
Dan memang ia
berhasil lolos, namun tetap saja ia merasa
malu. Pertarungan
sudah usai. Dua tamu Kediri merasa kagum
Hebat kepandaian
lelaki baju putih itu. Sekali serang ia
melepas enam pukulan
berantai, serba cepat
Lelaki jangkung merangkapkan dua tangannya
di dada. Ia
memberi hormat "Hebat Jurus Lembah
Bunga bukan nama
kosong. Tetapi belum cukup untuk
menakuti-nakuti utusan
keraton Kediri."
Tampak ia mendongkol namun bicaranya
terputus. Ia
melihat dua perempuan baju putih berdiri tak
jauh dari tempat
perkelahian. Dua perempuan itu bergerak
cepat, seperti
terbang. Keduanya cantik. "Ah...
Kampak, kamu mengejutkan
tamu kita. Tetapi bagus juga, kita bisa
menyaksikan
kepandaian orang-orang Kediri," kata
gadis yang lebih tua,
usianya sekitar tigapuluhan.
Tamu jangkung memperkenalkan diri "Aku
Krepa, dan
kawanku ini Cucut. Kami utusan Mapatih Ki
Lembu Ampai dari
keraton Paduka Raja Panji Tohjaya. Paduka
Mapatih
menyampaikan salam persahabatan kepada ketua
Lembah
Bunga, Nyi Kalandara."
"Sampean dari kelompok Patlikur Sinelir?"
tanya si gadis.
"Tidak, kami belum beruntung dan belum
cukup
kepandaian untuk bisa masuk regu Sinelir,
maaf siapa
gerangan nona?"
"Aku, Mawar dan adikku ini Seruni, kami
murid Nyi
Dumilah. Dan kawanku ini, Kampak dia tukang
kebun. Kalian
mau jumpa ketua perguruan kami, mari ikuti
kami."
Keduanya bergerak cepat, sengaja
memperlihatkan ilmu
ringan tubuh. Ringan seperti kupu-kupu.
Cepat seperti burung
elang. Mereka bergerak pesat menerobos
kerimbunan hutan.
Krepa dan Cucut berupaya keras membuntuti.
Tak berapa
lama, mereka tiba di kebun yang luas. Tampak
berbagai
macam bunga tertata rapi dalam beberapa
kelompok sesuai
warnanya. Di tengah kebun, seorang perempuan
duduk di
atas batu hitam yang besar. Bajunya panjang,
warna merah.
Rambutnya panjang tergerai sebatas dada. Dia
cantik, meski
tak bisa menyembunyikan ketuaan di wajahnya.
Matanya berkilat-kilat Pandangannya tajam
dan dingin. Mau
tidak mau dua utusan Keraton Kediri itu
bergidik. Dalam hari
keduanya mengakui perempuan tua itu
menebarkan rasa
takut. Tiga wanita berbaju hitam berdiri di
sampingnya.
Mereka murid-murid utama.
Kemara, murid pertama, berusia empatpuluhan,
tidak
cantik namun tampak sexy dan genit. Dumilah
murid kedua
usianya lebih muda sekitar tigapuluhan,
tidak cantik namun
punya daya tarik pada tubuhnya yang montok
dengan
pandangan mata genit. Manohara murid bungsu
berusia
duapuluh tahun, masih perawan, wajah cantik.
Tubuhnya
molek, lingkar pinggang kecil, bokong semok
dengan
payudara menonjol. "Akulah Kalandara,
ketua Lembah Bunga.
Cepat katakan apa pesan Lembu Ampai, atau
mungkin juga
ada pesan dari rajamu."
Krepa dan Cucut membungkuk hormat. Krepa
merogoh
sesuatu dari balik bajunya. Mendadak
Kalandara mengerakkan
tangannya. Angin keras dan dingin mendorong
Krepa mundur
dua langkah. Bumbung berisi surat dalam
genggamannya
melayang tersedot ke tangan Kalandara. Tentu
saja Krepa dan
Cucut terkejut. Pertunjukan tenaga dalam
yang tinggi. Sekali
sentak bumbung pecah di udara dan selembar
kulit melayang.
Kulit itu terhenti di udara, tergantung begitu
saja, di depan
Kalandara. "Dumilah, kau baca surat
itu," perintahnya pada si
murid.
Dumilah menggerakkan tangannya dan surat itu
melayang
ke tempat ia berdiri. Ini juga pertunjukan
tenaga dalam yang
tinggi Dua tangan Dumilah memegang lembar
kulit itu dan
membacanya.
"Sobatku Nyi Kalandara, terimalah
hormatku, sudah sekian
tahun kita tidak berjumpa, tentu
kepandaianmu semakin
tinggi, aku khawatir aku tak lagi bisa
mengimbangimu, aku
perlu tenagamu untuk sama-sama bekerja di
keraton Kediri,
kita akan menghadapi banyak pertarungan, di
antaranya
menghadapi Wisang Geni orang yang sudah
membunuh kakak
perguruanmu, datanglah ke istana Paduka Yang
Muka Raja
Panji Tohjaya, aku tunggu. Dari Mapatih
Lembu Ampai."
"Ha... ha... haa... haaa...
hahahaha...." Suara tertawa
Kalandara menggema di seantero hutan. Krepa
dan Cucut
terkejut. Itu tawa khas Lembah Bunga. Konon
tawa merdu itu
mengandung daya magis yang merangsang birahi
lawan.
Orang tak akan curiga mengira hanya tertawa
biasa. Namun
pada puncaknya, orangyang mendengar akan
merasa darah
mengalir ke otak. Saat kemudian darah
merembes keluar dari
telinga, hidung, mata diikuti kejang-kejang,
lalu mati
Dua punggawa keraton Kediri ini sudah
diwanti-wanti
Mapatih Lembu Ampai saat berangkat tentang
bahayanya ilmu
tawa dari Lembah Bunga. Teringat itu kontan
saja Krepa dan
Cucut membentengi diri dengan tenaga dalam.
Tetapi seperti
awalnya, mendadak saja tawa itu berhenti.
"Percuma
mengerahkan tenagamu, Ki Sanak. Aku memang
tak mau
melukai kalian. Jika mau, kalian tak akan mampu
bertahan
meskipun kalian siap dengan tenaga
dalam."
Kalandara tersenyum "Kalian akan
diantar keluar dari hutan
ini, tanpa diantar kalian akan tersesat.
Katakan kepada Lembu
Ampai, aku setuju bergabung dan aku akan
datang
menjenguknya dalam waktu dekat Dumilah dan
Manohara,
antar mereka keluar."
Tamat Jilid 1
---ooo0dw0ooo---
Wisang Geni - Pendekar
Tanpa
Tandingan
Jilid 2
Daftar Isi
14. Rahasia
Kidung......................................................................
341
15. Limabelas
Purnama..............................................................
359
16. Pendekar Tanah
Seberang....................................................
380
17. Menunggang
Angin..............................................................
402
18. Pertarungan
Argowayang....................................................
427
19.
Perkawinan...........................................................................
.. 456
20. Perempuan
Hamil.................................................................
481
21. Selamat
Tinggal.....................................................................
500
22. Goa Cinta Di Tebing
Cinta.................................................
519
23. Damai Itu
Indah....................................................................
546
24. Bunga
Talasari........................................................................
575
25. Memburu
Cinta.....................................................................
604
26. Tarung Untuk
Cinta..............................................................
623
---000odw0ooo---
Rahasia Kidung
Hari itu, sepuluh hari setelah kematian
Walang Wulan,
seperti biasa, Prawesti menyediakan makan
siang untuk
Wisang Geni. Selesai keduanya bersantap,
Prawesti dengan
manja merebahkan diri di pangkuan sang
ketua. Hubungan
dua insan itu makin intim seperti layaknya
suami isteri.
"Prawesti, aku merasa tidak pantas
menjadikan kamu
sebagai pelampiasan nafsu birahi dan rasa
rindu akan
isteriku."
Gadis itu menyentuh bibir Geni dengan jari.
"Mas, jangan
sebut itu lagi, sudah aku katakan, aku
bersedia dan rela
menjadi pelayanmu. Aku tahu, kau masih
mencintai Sekar,
masih merindukan dia, sering di malam hari
kau memanggil
namanya. Kau juga belum bisa melupakan bibi
Wulan, dan
mungkin dalam waktu dekat ini kamu sulit mencintai
perempuan lain, aku bisa mengerti Dan aku
tak peduli."
Prawesti memegang tangan Geni, menciumi
tangan itu.
"Kangmas Geni, yang penting bagiku kau
telah berjanji,
membolehkan aku tetap melayanimu sebagai
pelayan. Itu saja
aku sudah bahagia, karena sejak lama aku
menyintaimu
Hanya waktu itu, kau masih suami bibi Wulan,
kau juga
seorang ketua, maka cintaku kusimpan dalam
hatiku, hanya
menjadi milikku sendiri. Sekarang ini aku
bahagia, kau
memeluk aku, kau lelaki pertama yang
memiliki diriku, yang
pertama dan terakhir."
Geni terharu Dia memeluk dan mencium
Prawesti. "Walang
Wulan telah membawa mati cintaku, Sekar
membawa lari
cintaku, sementara ini aku memang tak
mungkin mencintai
perempuan lain. Aku minla maaf, Westi."
Tidak mungkin Geni bisa merahasiakan
hubungannya
dengan Prawesti karena sehari-hari gadis itu
berada di dalam
biliknya. Hanya berdua, terkadang sepanjang
malam. Sebelum
timbul gunjingan, maka Geni menceritakan
hubungan itu
kepada Padeksa dan Gajah Watu. Dua tokoh
sepuh itu
tersenyum gembira dan merestui hubunganku.
Begitu juga
Jayasatru
Tiga orang itu sadar sepenuhnya, bahwa
kehadiran
Prawesti pada saat di mana Geni memerlukan
seorang
perempuan telah banyak menolong lelaki itu.
Padeksa
menegaskan kepada Gajah Watu dan Jayasatru
bahwa
Prawesti telah menyelamatkan ketua Lemah
Tulis dari
kegoncangan batin. Gadis itu hadir dengan
cintanya yang
tulus dan hangat telah menarik Geni keluar
dari lamunan yang
berkepanjangan. Prawesti tak pernah memberi
kesempatan
Geni untuk menyendiri dan melamun.
Dari hari ke hari meskipun Prawesti setia
melayaninya
namun Wisang Geni tidak bisa melupakan
kematian isterinya.
Dendamnya kepada Lembu Agra terasa seperti
api yang
membara di dadanya. Terkadang ia merasa
hendak mengejar
dan melumat habis pembunuh keji itu. Tetapi
ia tahu tak
mungkin bisa menemukan lelaki itu yang
menghilang begitu
saja, tak ada jejak.
Dia yakin Agra sedang memperdalam ilmu
andalannya Pitu
Sopakara. Dan pada saatnya nanti, suatu hari
kapan dan di
mana, pertarungan mati hidup dia dengan Lembu
Agra pasti
terjadi. Hutang nyawa Wulan, harus ditagih
sekaligus dengan
bunganya.
Seringkali ia mengingat pengalamannya berdua
dan
bercinta dengan Wulan, pada saat dimana
Prawesti tidak
berada di sampingnya. Geni sering tersenyum
mengingat
perkenalan pertama dengan Wulan. Dia
teringat air terjun di
hutan dawuk di lereng gunung Arjuno. Di
tempat itulah
pertama kali dia jumpa Wulan. Waktu itu
mereka berkenalan
menggunakan nama samaran, Ambara, dan Sari.
Itulah awal
perjalanan cinta yang begitu indah.
Rindu kepada Wulan dan Sekar sering
mengganggunya
meskipun Prawesti berada di sampingnya.
Malam itu, Geni
merindukan Sekar dan Wulan. Ia memeluk,
menciumi
Prawesti. Bercinta dengan gadis muda itu,
sambil
membayangkan dua isterinya. Ia membayangkan
Sekar yang
begitu cantik. Ia seakan melihat Wulan
dengan sentuhan
keibuannya.
Tengah malam, Prawesti tidur lelap, saking
letihnya. Gadis
itu tak mengeluh mengeluh kendati setiap
hari harus melayani
ketuanya. Dan selalu seusai bercinta,
Prawesti akan tidur tak
sadar diri. Selagi ia tidur, Wisang Geni
mengendap-endap
keluar kamar.
Wisang Geni menerobos kegelapan malam.
Karena
hebatnya ringan tubuh Waringin Sungsang, tak
seorang pun
murid Lemah Tulis yang melihat kepergian
ketuanya. Penjaga
gerbang pun tak bisa memergoki gerakan Geni
di gelapnya
malam. Wisang Geni memutuskan pergi ke air
terjun yang
penuh kenangan.
Esok paginya, Prawesti bangun dari tidur
mendapatkan
Geni tak ada lagi di kamar. Gadis itu panik.
Dia mencari ke
seluruh pelosok perdikan, Geni tak ada.
Kabar merambah
cepat. Semua murid ikut mencari tetapi
Wisang Geni bagai
lenyap ditelan bumi. Batin Prawesti terpukul
Dia menangis,
mengira ada kesalahan tanpa sadar yang dia
lakukan yang
membuat lelaki itu marah.
Malam itu bulan tertutup awan tebal. Di
hutan dawuk
suasana sepi. Hujan deras bagai tercurah
dari langit. Suara
guruh dan petir menggelegar menambah seram
suasana
hutan. Suara air terjun pun tak kalah
kerasnya. Malam itu air
terjun sangat deras disebabkan meluapnya air
kali Bango di
bagian hilir.
Dalam kegelapan itu terlihat bayangan
manusia bersilat di
bawah air terjun. Gerakannya luar biasa.
Cepat, hampir tak
tertangkap oleh mata manusia biasa.
Tenaganya besar,
terlihat dari air terjun yang tersibak ke
sana ke mari kena
hantaman. Air yang tercurah dari atas
terbelah ke sana sini,
dihantam tenaga yang sangat besar.
Geni bukan berlatih silat, melainkan
melampiaskan
perasaan dendamnya. Dia memukul dan
menendang seakanakan
Lembu Agra yang diserangnya.
Sepanjang malam, Geni bersilat. Tidak pernah
berhenti. Dia
bergerak terus dari saat ke saat Sejak sore
hari sampai
menjelang matahari terbit. Esok harinya dia
beristirahat,
mencari makan. Buah-buahan dan ikan.
Kemudian
melanjutkan latihannya.
Sudah tujuh hari dia berlatih di air terjun.
Pada mulanya dia
melampiaskan rasa dendamnya. Memukul air
dengan sejadijadinya,
membayangkan Lembu Agra di depannya. Hari
kedua
ia mulai berpikir tentang ilmu silat. Ia
teringat saat amarahnya
meluap dan memuncak melihat Wulan dihantam
Lembu Agra,
tanpa dikendalikan mendadak tenaga Wiwaha
tersalurkan
sempurna ke seluruh tubuhnya. Senjata
punggawa Sinelir tak
mempan melukai kulitnya. Hanya dengan sekali
serangan dia
bisa mematikan tiga punggawa itu dan melukai
Lembu Agra.
Dia mencoba mengulang, mengumpulkan tenaga
Witvaha
secara utuh dan sempurna namun sia-sia.
Tenaga itu ada dan
cukup besar tetapi ada sebagian tenaga yang
bergerak liar.
Tenaga liar itulah yang belum mampu dia
kendalikan.
Geni merenung dan memikirkan misteri tenaga
Wiwaha itu.
Dia ingat ketika mengalahkan pendekar daratan
Cina, Sam
Hong dua tahun lalu, tenaga Wiwaha itu juga
muncul dan
terhimpun secara sempurna. Dalam pertarungan
menghadapi
Lembu Agra dan Lembu Ampai, tenaga itu juga
muncul secara
misterius.
Ada kesamaan dalam dua peristiwa itu. Tenaga
itu muncul
secara spontan pada saat dia menghadapi
situasi kritis. Ketika
itu pukulan Sam Hong jika mengena telak
sudah pasti akan
membunuhnya. Dia tak bisa menghindar lagi
Jika itu terjadi,
dia pasti mati. Spontan saja dalam saat
kritis antara mati dan
hidup, tenaga Witvaha itu muncul merambah
langsung ke
seluruh tubuh dan menghasilkan tenaga yang
sangat besar
dan dahsyat.
Tetapi dalam keadaan biasa, tenaga itu tidak
bisa
dihimpun. Geni tercenung, bagaimana nasibnya
jika dalam
situasi kritis, tenaga ku tidak muncul.
Pertanyaan ini
menantang Geni untuk menemukan cara
menghimpun dan
mengeluarkan tenaga Wiwaha yang dahsyat itu
secara utuh.
Pada hari ketujuh mendadak dia teringat
kepergiannya ke
hutan ini tanpa memberitahu siapa pun, tidak
juga kepada
Prawesti. Ada perasaan aneh ketika teringat
Prawesti. Ia
membayangkan tubuh gadis itu yang montok dan
segar. Geni
merasa adanya keinginan keras memeluk tubuh
perempuan
itu. Hasrat yang cukup besar. Tidak sabar
lagi, siang itu juga
Geni menggelar Waringin Sungsang berlari
menuju Lemah
Tulis. Esok hari saat matahari hampir
terbenam, Geni sampai
di perdikan Lemah Tulis. Murid-murid heboh,
melihat ketuanya
tiba-tiba muncul. Geni menemui Padeksa dan
Gajah Watu. Dia
menceritakan kepergiannya ke air terjun.
Pembicaraan menyinggung misteri tenaga
Wiwaha. Dia
menjelaskan semua proses munculnya tenaga
Wiwaha secara
utuh dan sempurna itu. Dia bertanya-tanya,
kenapa hanya
dalam keadaan kritis, tenaga itu muncul.
Bagaimana jika
dalam situasi kritis tetapi tenaga itu tidak
muncul.
"Sebenarnya kamu tak perlu terlalu
risau. Tenaga Wiwaha
yang kau miliki, meski tidak keluar secara
sempurna, tetapi itu
sudah lebih dari cukup menjadikan kamu sulit
dicari
tandingannya."
Wisang Geni tidak setuju kesimpulan Gajah
Watu. Dia
meyakinkan guru dan paman gurunya itu, Lembu
Agra dengan
Pitu Sopakara bakal menjadi lawan yang
sangat berbahaya
bagi Lemah Tulis. Ilmu silatnya yang tinggi,
kebencian dan
dendamnya yang menggunung terhadap Lemah
Tulis,
membuat Lembu Agra akan membunuh siapa saja
murid
Lemah Tulis yang ditemuinya. Tidak menutup
kemungkinan
dia akan mempersiapkan siasat untuk
menghancurkan
perguruan Lemah Tulis.
"Guru dan paman perlu tahu, ketika aku
melihat Wulan
terkena pukulan Agra, saat itu spontan
tenaga Wiwaha muncul
secara sempurna dan utuh. Saat itulah aku
memukul Agra, dia
menangkis. Dia terlempar ke belakang atau
melempar diri ke
belakang, tetapi yang pasti tenaganya sangat
besar. Dia bisa
menangkis pukulanku ia muntah darah, tetapi
ia masih punya
tenaga. Jadi aku yakin ia tidak terluka
parah. Jika aku
menyerang terus, mungkin aku bisa
membunuhnya atau
paling sedikit membuat dia terluka parah,
tetapi saat itu aku
memilih menolong Wulan, sehingga pengkhianat
itu lolos.
Paman tahu, sebelum dia pergi, dia mengancam
bahwa saat
itu dia baru berada di tingkat lima Pitu
Sopakara, dia berjanji
akan menembus tingkat tujuh untuk adu jiwa
denganku."
"Menurutmu, ilmu silat pengkhianat itu
bakal semakin
tangguh dan dahsyat, bahkan mungkin sulit
bagimu untuk
menandinginya. Nah, jika kau sendiri tidak
bisa menandingi
dia, apalagi dengan kita dan semua murid
perdikan ini," kata
Gajah Watu.
Kini ketiganya yakin Lembu Agra dengan ilmu
Pilu Sopakara
menjadi ancaman besar bagi Lemah Tulis. Geni
tidak tahu
ampuhnya jurus ganas peninggalan ketua
partai Turangga itu.
Ketika adu pukulan, Geni tidak merasakan
kehebatan ilmu
lawan, karena pada saat itu tenaga Wiwaha
masih lebih
unggul dari Pitu Sopakara tingkat lima. Geni
memang belum
merasakan akibat pukulan Pitu Sopakara,
tetapi lewat
penuturan Wulan bisa dibayangkan hebatnya
ilmu itu. Wulan
sendiri telah merasakan ampuhnya pukulan
Pitu Sopakara.
luka hebat yang dibawanya ke liang kubur.
Geni masih ingat kata-kata Wulan menjelang
ajalnya.
Pukulan Agra telah menghancurkan tubuh
bagian dalam. Tak
ada bekas di bagian luar tubuh, sebab yang
rusak adalah
tubuh bagian dalam. Rahimnya terluka, janin
dalam rahim
mati seketika. Ilmu yang ganas. Pukulan itu
baru tingkat lima.
Menurut Padeksa, jurus Pitu Sopakara tingkat
tujuh jauh lebih
ganas, tak cuma dahsyat tenaganya juga
mengandung sihir
dan racun.
Geni sadar jatuh bangun Lemah Tulis kini
tergantung pada
dirinya.
Pada saatnya nanti akan terjadi pertarungan
lawan Lembu
Agra. Jika belum menemukan cara mengatasi
jurus ganas Pitu
Sepaham, sama artinya dengan kemenangan di
pihak Lembu
Agra. Dan itu berarti kematian bagi Wisang
Geni.
Jika itu yang terjadi, maka tidak cuma
hutang darah Wulan
tidak terbayar melainkan juga kehancuran
bagi Lemah Tulis.
Jika Wisang Geni kalah dan mati, maka tak
ada lagi orang
Lemah Tulis yang mampu menandingi Lembu
Agra. Itu alamat
buruk. Karena tujuan utama partai Turangga
berikut Lembu
Agra sudah jelas, akan melenyapkan Lemah
Tulis dari muka
bumi
Hari sudah malam ketika Wisang Geni memasuki
rumahnya. Ada cahaya di bilik dalam. Geni
melihat Prawesti
duduk bersimpuh di dekat tikar. Ada makanan
tersaji. Prawesti
duduk dengan kepala tunduk, rambutnya
menutupi wajah.
Geni duduk di samping perempuan itu. Dia
mendengar isak
perlahan. Dia memegang kepala Prawesti,
menyentuh dengan
lembut. Prawesti menoleh. Airmata membasahi
pipinya. Sinar
matanya sayu
Wisang Geni merasa heran. "Ada apa,
Westi?"
Mendadak Prawesti membungkuk dan memegang
kaki
lelaki itu. "Ketua maafkan aku, ampuni
salahku, aku memang
tidak tahu diri. Tetapi mengapa ketua pergi
secara diam-diam,
aku mencari, semua orang ikut mencari, ke
mana ketua
pergi?"
Lelaki itu tersenyum "Aku pergi ke mana
aku ingin pergi,
aku tak perlu melapor kepada siapa pun
juga."
Tidak menyangka akan memperoleh jawaban
seperti itu,
Prawesti bingung. Sebagai ketua memang benar
Wisang Geni
tak perlu memberitahu kepada siapa pun.
Sadar
kesalahannya, Prawesti minta maaf. Suasana
yang kaku
mencair saat makan malam. Wisang Geni
menyantap dengan
lahap. Dia bertanya siapa yang masak.
"Aku yang masak, ketua. Apakah tidak
cocok?"
"Enak, enak."
Wisang Geni menanyakan kejadian di Lemah
Tulis selama
kepergiannya. Tidak ada kejadian penting.
Selama beberapa
hari, semua murid mencari ketuanya.
Prawesti tidak menceritakan betapa dia tiap
malam
menangis merindukan Geni. Dia khawatir,
mungkin ada
kesalahan yang tidak dia sengaja yang
membuat lelaki itu
marah dan pergi. Dia khawatir Geni pergi
untuk waktu yang
lama. Selama delapan hari itu Prawesti
gelisah dan berduka.
Tetapi Prawesti bahagia ketika malam tiba.
Wisang Geni
menumpahkan rasa rindu dengan cumbu rayu
yang membuat
Prawesti melupakan derita selama delapan
hari.
Geni menceritakan apa yang dilakukannya di
air terjun di
kaki gunung Arjuno. Prawesti memberanikan
diri meminta
agar Geni mengajaknya berlatih di tempat
itu. Mendengar
permohonan Prawesti itu mendadak saja lelaki
itu teringat
sesuatu. Jika semua murid Lemah Tulis,
khususnya murid
utama berlatih di air terjun, akan cepat
meningkatkan
kedigjayaan mereka. Dalam menghadapi ancaman
permusuhan dari Lembu Agra dan mungkin juga
pihak keraton
Kediri, Geni merasa Lemah Tulis harus
mempersiapkan diri
sebaik-baiknya.
Hari itu Geni sebagai ketua mengumumkan
keadaan
darurat. Semua murid Lemah Tulis harus
mempersiapkan diri
menghadapi serangan dari pihak luar. Juga
waspada terhadap
tamu yang datang berkunjung. Wisang Geni
memanggil
Jayasatru dan Prastawana. Dari silsilah
perguruan Prastawana
lebih tinggi dari Jayasatru. Prastawana
murid angkatan satu
dari empat tokoh Lemah Tulis, sedang
Jayasatru hanya murid
dari Ranggaseta.
Pada kesempatan lain yang terpisah, Wisang
Geni
memanggil dua murid wanita, Raditin dan
Kirana. Keduanya
belum bersuami meski usia sudah
empatpuluhan. Raditin,
murid tidak langsung Padeksa dan kakak
perguruan Wisang
Geni. Sedang Kirana, murid Branjangan yang
kini menjadi
murid kebanggaan Gajah Watu. Empat murid
tersebut
mendapat tugas khusus mengawasi semua murid.
Peristiwa
seperempat abad lalu ketika Lemah Tulis
disusupi murid
pengkhianat, tak boleh terjadi lagi.
Keempatnya bertugas
mengawasi dan menyelidik secara diam-diam
seluruh kegiatan
dan aktifitas murid Lemah Tulis.
Dia berlaku cerdik, merahasiakan tugas
Raditin dan Kirana
begitu juga Jayasatru dan Prastawana.
Kelompok Prastawana
tidak mengetahui tugas kelompok Raditin,
begitu sebaliknya.
Dia menugaskan empat murid itu melapor
kepada Padeksa
dan Gajah Watu jika pada saat dibutuhkan
Geni sedang tidak
berada di tempat
Dua tahun belakangan, Wisang Geni bersama
Padeksa dan
Gajah Watu memberi latihan ilmu silat
menggunakan senjata.
Selama ini dalam tradisi Lemah Tulis, ilmu
menggunakan
senjata tidak dikenal. Jurus Garudamukha dan
pada tingkatan
Prasidha adalah jurus tangan kosong.
Sebagai ketua, dengan bantuan Padeksa dan
Gajah Watu,
Wisang Geni mencipta jurus senjata keris,
tombak, golok,
pedang dan pisau atau pedang pendek. Meskipun
menggunakan senjata namun semua jurus
dibedah dari ilmu
Garudamukha dan Prasidha. Hasilnya memang
nyata, hampir
semua murid Lemah Tulis mengalami
peningkatan ilmu
silatnya.
Dua hari kemudian Geni bersama Prawesti dan
tujuhbelas
murid utama berangkat ke hutan dawuk di kaki
gunung
Arjuno. Sebagian besar lainnya tetap
berlatih di perdikan.
Di hutan dawuk di air terjun itu selama
hampir satu bulan
Wisang Geni melatih langsung murid-murid
Lemah Tulis.
Semuanya mengalami kemajuan pesat, tenaga
dalam maupun
penguasaan jurus tangan kosong dan jurus
senjata. Tekanan
air terjun yang besar dan berat, sangat
membantu. Muridmurid
Lemah Tulis semakin kagum akan kehebatan
ketuanya.
Geni tidak hanya melatih tetapi juga memberi
contoh dengan
gerak tubuh dan tenaga batin.
Geni tidak hanya sibuk melatih. Pada waktu
luang, dia terus
memikirkan misteri penyempurnaan tenaga
Wiwaha. Di balik
air terjun, terdapat goa yang tersembunyi Di
goa itulah Geni
bersemedi, merenung dan mencari jawaban dari
misteri itu.
Pada waktu tertentu Prawesti datang
menjenguk. Karena
tak mungkin membawa makanan menerobos air
terjun tanpa
makanan tersebut basah, maka Prawesti
terkadang memasak
di dalam goa. Prawesti juga tidak malu jika
harus bermalam di
dalam goa karena hubungannya dengan Geni
sudah bukan
rahasia lagi.
Geni berusaha menggali lagi alam bawah
sadarnya,
pengalaman saat mempelajari Wiwaha
peninggalan pendekar
Lalawa di gunung Lejar. Seingatnya dia sudah
rampung
menyelesaikan empat tahapan Wiwaha. Jurus
satu Tepung
Ropoh, Sambung Kalem, jurus dua Kitrang Raja
Pati, jurus tiga
Ngrupak Jajahaning Mungsuh dan jurus empat
Pethuk Ali
Golong Pikir.
Tidak ada yang tertinggal. Semua sudah
dipelajari dan
hasilnya sudah nyata, tenaga dalamnya sulit
dicari tandingan
Dia bahkan sanggup mengubah tenaga panas dan
dingin
sesuka hati, bisa memukul dengan tenaga
dingin, saat berikut
menghantam dengan tenaga panas. Dia ingat
dalam beberapa
pertarungan tingkat tinggi, tenaga Wiwaha
telah membuktikan
keampuhannya. Sejak memiliki tenaga Wiwaha
itu, dia tak
pernah bisa dikalahkan orang. Selama ini dia
yakin akan
kekuatan dirinya, tetapi sekarang ini
menghadapi ancaman
Lembu Agra, dia merasa ragu.
0 komentar:
Posting Komentar