Prawesti tak menyangka mendapat perlakuan
setegas itu
dari Wisang Geni. Malam itu kepada Dyah
Mekar dan
Prastawana, ia mengatakan menyesal mengikuti
saran dan
ajakan Ekadasa. "Aku tahu tak
seharusnya malam itu aku dan
Ekadasa memukul Gayatri muntah darah. Karena
aku melihat
bahwa ketua dan Gayatri tidak tarung, mereka
seperti
menikmati musik dan tari. Tak ada sesuatu
pun yang
membahayakan jiwa ketua. Aku marah dan
cemburu,
sehingga begitu Ekadasa mengajak menyerbu
masuk dan
menghantam Gayatri, seperti orang tolol aku
ikut saja."
Prawesti menyesal, tetapi nasi sudah menjadi
bubur. "Aku
juga masih berlaku tolol ketika Ekadasa
bercerita pada Sekar
tentang tipu daya Gayatri memikat ketua, aku
ikut-ikutan. Aku
tahu itu cerita tidak jujur dan perbuatan
tercela. Mengapa aku
begitu tolol mau diajak Ekadasa berbuat
hal-hal yang
sebenarnya bertentangan dengan hati
nuraniku. Atas semua
kesalahanku itu, pantas jika ketua kecewa
dan marah padaku,
dan aku tak akan mungkin menyalahkan ketua
atas
keputusannya itu. Aku tak tahu harus
bagaimana, karena aku
hanya mencintai ketua, seluruh hidupku tak
ada artinya kini
jika tidak bersama ketua."
Dyah Mekar diam, ia menangis, terharu
mendengar
pengakuan Prawesti. Ia berjanji meski
menghadapi resiko, ia
akan mohon agar ketua mengampuni Prawesti.
Pada kesempatan itu, Prastawana melapor
kepada
ketuanya. "Maaf ketua, tadi tiga
pendekar Cina mendatangi
kami, menantang adu ilmu silat di desa
Bangsal akhir bulan
Waisaka, tiga puluh hari lagi. Katanya,
terserah ketua jika
ingin membawa bantuan. Jumlah mereka sebelas
orang.
Tantangan juga telah disampaikan kepada
perguruan
Mahameru dan Brantas."
Sepasang mata Wisang Geni berkilat. Tampak
dingin dan
kejam "Tidak ada waktu untuk istirahat,
ada-ada saja
persoalan, mengenai tantangan para pendekar
Cina aku akan
bicara dengan kakek Padeksa dan Gajah Watu
pada saatnya
nanti."
Geni kemudian berpesan kepada semua murid,
"Aku akan
turun gunung, mencari tempat aman mengobati
isteriku.
Kemudian aku ke Lemah Tulis membicarakan
segala
sesuatunya. Kalian hati-hati, widali itu
ganas dan tak
terkalahkan, mungkin lebih baik pulang saja
ke Lemah Tulis.
Hati-hati, sampai jumpa di Lemah
Tulis." Geni menuntun
tangan dua isterinya melenggang keluar
rumah.
Murid-murid Lemah Tulis saling berdebat,
kembali ke
Lemah Tulis atau tetap di gunung. Prawesti
ngotot bertahan.
"Aku harus berjuang memperoleh widali,
jika mati terbunuh
tak ada bedanya, sekarang pun aku sudah mati
setelah
ditinggal pergi lelaki yang kucinta," kata
Prawesti lirih pada
Dyah Mekar yang mendampinginya.
Geni bersama Sekar, Gayatri dan dua pembantu
turun
gunung, Kumara dan Malini tetap berburu
widali. Mereka sejak
awal berencana berburu widali, jika
beruntung darah widali
akan membantu tenaga batin dalam upaya
mengalahkan
Wisang Geni. Tetapi dengan Wisang Geni sudah
menjadi
suami Gayatri, rencana tarung jadi batal,
tetapi perburuan
widali tidak berubah.
---ooo0dw0ooo---
Perempuan Hamil
Senja di hari terakhir bulan Caitra,
matahari bersinar merah
lembut. Desa Limo di lereng gunung
Argowayang biasanya
tenang dan damai. Semua penduduk sudah
mengungsi. Tetapi
kehadiran para pendekar membuat suasana
ramai. Tidak lama
lagi, saat tengah malam dan gelap
menyelimuti gunung, itulah
saat widali sakti keluar dari persembunyiannya,
mencari
mangsa atau dimangsa.
Di sana sini tampak para pendekar bersiap
dan siaga. Ada
yang mengasah senjata, ada yang semedi
menata tenaga
dalam Semua dengan kesibukannya. Sayup-sayup
dari jauh
terdengar suara seruling yang merdu. Seorang
lelaki usia
empatpuluhan berbaju putih muncul dari kaki
gunung. Ia
diikuti sepuluh pria dan wanita yang
semuanya berbaju hitam
Mereka mendatangi rumah rombongan Lemah
Tulis.
"Aku dari Gunung Lawu, namaku Daraka,
aku murid
pendekar Bagaspati dari gunung Lawu Aku
datang untuk
menemui Ki Wisang Geni, ketua Lemah
Tulis."
Prastawana dan Gajah Lengar memberi hormat.
"Tak
disangka kami mendapat kunjungan perguruan
Lawu yang
masyhur, selamat datang ke gubuk kami.
Sayang sekali ketua
kami sudah turun gunung sejak tadi siang.
Apakah ada
keperluan penting atau pesan yang bisa kami
sampaikan
nanti."
Daraka tampak kecewa, ia memberi tanda ke
temannya,
salah seorang perempuan maju ke depan.
Wanita ini,
perutnya besar. "Ini saudaraku, Kemini,
ia diperkosa Ki Wisang
Geni beberapa bulan lalu, kini ia hamil.
Kami datang
mengantarkan perempuan ini." Tentu saja
kabar ini membuat
semua murid Lemah Tulis gigcr. Terkejut.
Semula tidak
percaya, tetapi dalam hati mereka percaya
mengingat sepak
terjang Wisang Geni yang memang doyan wanita.
Lima
perempuan sudah terpikat menjadi kekasihnya,
Walang
Wulan, Sekar, Prawesti, Ekadasa dan sekarang
Gayatri.
Diam-diam mereka mencela perbuatan ketuanya.
Kasakkusuk
tanda gelisah menjalar ke semua murid. Hanya
Prawesti
dan Gajah Lengar yang tidak percaya begitu
saja berita
mesum itu. Sebelum Prawesti maju, Dyah Mekar
yang lebih
pengalaman maju. Ia minta ijin memeriksa
Kemini. Memegang
nadi dan meraba perut perempuan itu.
"Kamu hamil tua,
sudah hampir melahirkan. Kamu diperkosa di
mana?"
"Di desa Papar, waktu itu aku sedang
menjalani tugas guru
untuk menolong keluarga yang anaknya diculik
perampok di
hutan dekat desa Pagu. Di situlah aku
bertemu Wisang Geni,
ia menculik aku, ilmunya sangat tinggi
sehingga aku tak
berdaya, kemudian aku dibawa ke desa Papar,
ia bersama tiga
muridnya. Kemudian malam harinya aku
diperkosa. Berulang
kali sepanjang malam."
Prawesti memotong bicara, nadanya agak
marah. "Jika
kamu benar diperkosa, tentu kamu mengenal
wajah dan
tubuhnya, coba kamu ceritakan bagaimana
bentuk wajah dan
tampang Ki Wisang Geni."
"Ia memerkosa aku beberapa kali sampai
pagi, setelah
memerkosa, ia pergi dan berpesan supaya aku
mencarinya ke
Lemah Tulis, ia mengaku ketua Lemah Tulis,
namanya Wisang
Geni."
"Kamu kenal bentuk tubuh dan
wajahnya?" Tanya ulang
Prawesti.
Agak malu-malu Kemini menjelaskan sambil ia
menatap
ujung kakinya. "Ia tampan, kurus,
langsing, rambutnya
panjang dikuncir dan digelung di atas
kepala."
"Usianya kira-kira berapa, sudah tua
atau masih muda?"
"Mungkin sekitar limapuluhan."
Terdengar suara kasak-kusuk lagi di
rombongan Lemah
Tulis. Gajah Lengar semakin tidak percaya
itu perbuatan
Wisang Geni. "Rambutnya hitam?"
"Ya sudah tentu rambutnya hitam!"
"Sebelum itu, apakah kamu pernah jumpa
dengan lelaki
tersebut?" Kemini menggeleng kepala.
"Dadanya dirajah
dengan lukisan seekor kuda."
Dyah Meka rberbisik pada Prawesti. Tampak
Prawesti
menggeleng kepala. Dyah Mekar kemudian
berkata lirih
kepada Kemini dan Daraka. "Ketua kami
memang benar
bernama Wisang Geni, tetapi laki-laki itu
bukan ketua kami,
dia orang lain."
Suara Daraka agak tinggi, "Orang itu
mengaku Wisang Geni
ketua Lemah Tulis, mana bisa dia
oranglain." Kemini
menambahkan, "Lagi pula tiga muridnya
itu memanggil dia
guru, terkadang memanggil guru Geni."
Prastawana menyela. "Kami semua murid
Lemah Tulis,
memanggil Wisang Geni dengan panggilan
ketua, kami tak
pernah memanggilnya guru, sebab dia
melarang, itu
dianggapnya sebagai pantangan besar.
Lagipula ketua kami
belum punya murid dan belum mengangkat
murid."
Semua murid Lemah Tulis yang tadinya dalam
hati sempat
mengutuk perbuatan ketuanya, diam-diam
menyesal.
Prastawana melanjutkan penjelasan kepada
Daraka. "Maaf
pendekar, ketua kami memang benar bernama
Wisang Geni,
rambutnya gondrong tetapi tidak panjang dan
tidak digelung,
rambutnya penuh uban putih keperakan, yang
di malam hari
tampak jelas."
Kemudian ia melanjutkan dengan suara yang
lebih tegas
lagi. "Ketua kami juga tidak jangkung
dan tidak kurus, ia
bertubuh gempal dan tidak terlalu tinggi,
mungkin sama tinggi
dengan aku. Di dadanya tak ada rajah gambar
kuda. Dan yang
paling penting, sembilan bulan atau satu
tahun lalu, ketua
kami selalu berada bersama kami di perdikan
Lemah Tulis, ia
sibuk melatih kami, dan selama itu ia
didampingi isterinya,
kami berani memastikan lelaki yang memerkosa
saudara
perempuan ini bukan ketua kami yang bernama
Wisang Geni,
mungkin lelaki lain yang sengaja mencemarkan
nama ketua
kami."
Daraka terkejut. "Gila. Jika benar
demikian siapa lelaki itu
Apakah kami bisa berjumpa dengan ketua Ki
Wisang Geni?"
"Maaf tuan pendekar yang kami hormati,
sudah kami
katakan, ketua kami sudah turun gunung, ia
tak mau ikutikutan
berburu widali, begini saja, jika sampean
masih belum
percaya boleh saja datang berkunjung ke
perdikan Lemah
Tulis, mungkin sekitar sepuluh hari lagi
ketua sudah pulang."
Setelah mengucapkan maaf, Daraka dan
rombongan
pendekar gunung Lawu berlalu. Mereka tidak
langsung turun
gunung, barangkah mau ikut berburu widali.
Sementara murid
Lemah Tulis masuk kembali ke ruang dalam.
Prawesti masuk
ke bilik tempatnya bersama Dyah Mekar. Murid
lainnya
berkumpul di ruang tengah. Dalam hati merasa
bersalah
sempat menyalahkan ketuanya.
Prastawana dan Gajah Lengar membincangkan
kejadian
aneh itu.
Setelah berpikir sejenak, Prastawana
mengatakan
kemungkinan besar lelaki pemerkosa itu
adalah Lembu Agra.
"Dia amat dendam terhadap ketua, ciri
tubuhnya persis seperti
penuturan Kemini. Sembilan purnama lalu ia
masih hidup, ia
sengaja melakukan pemerkosaan untuk merusak
nama ketua
dan perdikan Lemah Tulis."
Gajah Lengar dan rekan lainnya setuju.
"Tetapi bagaimana
pun Lembu Agra sudah mati sehingga tak ada
saksi kecuali
perempuan bernama Kemini itu sendiri. Apakah
tak mungkin
itu adalah bagian rencana musuh tersembunyi
yang ingin
merusak nama ketua kita."
Di dalam bilik Prawesti bersemedi. Ia
memusatkan pikiran
menata tenaga dalamnya. Tetapi berulangkali
gagal. Wajah
Wisang Geni membayang terus. Ia marah kepada
diri sendiri.
"Mengapa aku begitu tolol mengikuti
ajakan Ekadasa?
Padahal aku ingin hidup bersama ketua. Tetapi
mengapa dia
tidak memaafkan aku, apakah dia tak tahu
betapa aku
mencintainya, dia harus tahu bahwa aku
terperosok, mengapa
mendapat hukuman begini berat? Dia tidak
memaafkan,
berarti dia tidak butuh aku. Mungkin ia tak
mau diganggu,
hanya ingin bercinta dengan dua isterinya
yang memang lebih
cantik dari aku. Aku memang melakukan hal
yang bodoh. Aku
memang pantas mati, tak ada harganya aku
untuk hidup.
Semua orang Lemah Tulis akan melecehkan
bahwa aku sudah
dibuang ketua, ibarat habis manis sepah
dibuang. Aku malu.
Ke mana aku harus pergi?"
Prawesti termenung. "Sekarang apa yang
harus kulakukan?
Aku pikir aku harus adu jiwa dengan widali
sakti, biar aku
mati, aku tak peduli, namun bila beruntung
dan berhasil
menghirup darahnya, aku akan menjadi
tangguh, aku akan
melatih semua ilmu silat yang diajarkan
ketua, siapa tahu
suatu waktu nanti aku berkesempatan menolong
ketua,
menolong Lemah Tulis."
Ia membayangkan saat ini Wisang Geni, Sekar
dan Gayatri
sedang bercumbu. Ia menangis dalam hari.
"Aku tidak
dendam, aku tidak sakit hati kepada ketua,
karena cintaku
kepadanya tak pernah mati Aku pernah
mendengar bibi Wulan
mengatakan, seorang wanita adalah
sungguh-sungguh
perempuan jika ia hanya mengenal satu lelaki
saja, hanya
mencintai satu lelaki saja dan tak ada lelaki
kedua yang
dicintainya. Apa pun yang terjadi cintaku
kepada ketua itu
akan kubawa sampai akhir hayatku"
Tak disangka Ekadasa berkunjung. Prawesti
masih di kamar
sedang semedi. Keduanya sama-sama mencintai
Geni tetapi
yang kemudian ditinggal pergi begitu saja.
Ekadasa
mencurahkan isi hatinya kepada Prawesti. Ia
mencintai Geni
sejak awal jumpa di Lemah Tulis ketika
bokongnya diremas
Geni. Ia tak pernah lupa kejadian itu. Bagi
orang lain mungkin
seperti pelecehan, baginya pertanda Geni
punya perhatian
padanya. Lagipula ia merasa bokongnya semok
dan punya
daya tarik tersendiri.
Ketika Wisang Geni berkunjung ke istana
Tumapel, ia
sempat menggoda lelaki itu dengan kerling
matanya. Malam
itu tercapai keinginannya, Geni mendatangi
ia di kamarnya.
Mereka bercinta dua hari, tak pernah puas.
Tak habishabisnya
Geni mencumbu Lelaki itu sangat perkasa.
"Aku
pernah tidur dengan lelaki lain, tetapi Geni
luar biasa. Aku
harus mendapatkan dia. Prawesti aku tahu
kamu juga
mencintainya, aku pikir kita harus
kerjasama, mengatur siasat
memisahkan Gayatri dari Wisang Geni,"
katanya kepada
Prawesti.
Ekadasa perempuan yang matang pada usianya
yang
duapuluhan, kulit kuning kecoklatan, cantik
jelita, hidung
sedikit bangir dengan mulut yang menarik,
potongan tubuh
montok dengan payudara menonjol, lingkar
pinggangnya kecil,
rambut panjang digelung. Ia cantik dan tahu
persis bagaimana
memanfaatkan kecantikannya itu.
Dia percaya kecantikan dirinya, ia tahu
banyak lelaki
mendambakannya. Tetapi ia hanya menginginkan
Wisang Geni
seorang. Ia marah melihat Geni mencium
Gayatri malam itu,
tetapi lebih marah lagi mengetahui keduanya
telah menikah
dan Geni telah menceraikan dia berdua
Prawesti. Tanpa sadar
ia berkata lirih, "Apa hebatnya Sekar
dan perempuan India itu,
keduanya memang cantik, tetapi malam itu di
keraton aku
telah perlihatkan kepada Geni bahwa akulah
yang layak
menjadi isterinya."
"Maksudmu tadi bekerjasama, apa dan
bagaimana?" tanya
Prawesti bingung.
"Kita pisahkan Gayatri dari Wisang
Geni. Perempuan itu
sekarang luka parah, aku akan kirim orang
membunuhnya.
Tetapi yang kita perlukan adalah saat
perempuan itu berada
sendirian, karenanya kiia harus pancing agar
Geni pergi
meskipun setengah hari saja."
Mata Prawesti terbelalak. "Tidak,
akutakmaumengkhianatiketua, aku tak mau
membunuh orang
tak berdosa, kamu pergi saja Ekadasa, aku
tidak tertarik."
Ekadasa marah. "Kamu perempuan lemah,
apakah kamu
mami saja dicampakkan begitu saja oleh
lelaki setelah dia
puas meniduri kamu, benar-benar kamu lemah
dan tak
bermartabat"
Prawesti naik darah, setengah berteriak ia
mengusir
Ekadasa. "Iya, memang aku lemah, kamu
pergi saja, aku tak
mau berkawan dengan orang yang akan memusuhi
ketua,
pergilah kamu."
Mendengar suara bernada tinggi Prawesti itu,
Dyah Mekar
dan Gajah Lengar masuk kamar, "Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa," tukas
Prawesti. Saat bersamaan
Ekadasa melangkah keluar kamar. "Aku
pergi," katanya.
Malam di lereng Argowayang. Gelap gulita
karena sinar
rembulan terhalang mendung tebal. Hanya ada
kelap-kelip
lampu damar di rumah. Suasana seram dan
mencekam Para
pendekar berada di luar rumah, berjalan ke
sana kemari,
mencari kesempatan berjumpa widali, memangsa
atau
dimangsa.
Widali keluar dari persembunyian Sepasang
matanyay ang
bersinar gemerlap mengintai dari balik
semak. Manjangan
Puguh dan Mei Hwa saat itu berada di dekat
semak,
sekonyong-konyong Manjangan Puguh merasa
udara bergetar
di dekatnya. Kontan ia bereaksi cepat,
memutar tubuh,
merunduk dan melayang pergi. Pada zaman itu,
selain
gurunya sendiri pendekar Merapi, Ki Sagotra,
tidak ada lagi
pendekar yang mampu menandingi ilmu ringan
tubuh
Manjangan Puguh.
Mungkin pertama kali selama puluhan tahun,
serangan
widali gagal. Sergapan dan terjangan
binatang itu sangat
cepat dan sulit diikuti mata. Puguh hanya
melihat ada benda
terbang melesat di sisi tubuhnya, tetapi
tidak jelas bentuknya.
Puguh tidak berhenti sesaat pun, ia bergerak
sambil berteriak
memanggil Mei Hwa isterinya. Tangannya
meraih tangan Mei
dan keduanya melesat menjauh dari semak.
"Gila. Jikalau saja
aku tak curiga adanya getaran udara di
sekitar tubuhku, dan
jika terlambat sesaat, dan jika aku tak
mengunakan Waringin
Sungsang tingkat paling tinggi dengan
pukulan Bang Bang
Alum Alum, mungkin saat ini aku sudah mati.
Binatang itu
menghilang begitu saja, ke mana dia?"
Manjangan Puguh merasa tangan Mei Hwa dingin
dan
basah. ”Koko, aku merasa ngeri dan seram,
binatang itu tak
mungkin bisa dikalahkan, kurasa lebih baik
kita turun gunung
saja."
Puguh memikirkan hal yang sama. 'Lebih baik
begitu, kita
pergi saja, aku sudah kangen pada anak kita.
Ayo Mei,
sekalian kita ajak ibumu, widali itu sangat
berbahaya."
Tetapi Sian Hwa memilih menetap bersama
kawankawannya.
"Aku sudah jumpa dengan kamu, aku sudah
senang. Melihat kamu hidup bahagia, aku pun
senang.
Pergilah kalian, rawat cucuku baik-baik, di
sini memang sangat
berbahaya seperti katamu itu."
Malam kelam makin mencekam ketika turun
hujan deras.
Suara guruh dan kilat menambah seram
suasana. Air hujan
mengalir deras menuruni lereng. Tanah
menjadi licin. Para
pendekar makin kalang kabut dicekam rasa
gentar, di sana
sini terdengar jeritan orang, lolong
serigala dan suara widali
yang mirip jerit kucing. Widali bergerak
cepat seperti kilat
halilintar dan terkamannya tak pernah
meleset. Satu persatu
para pendekar tewas dengan luka menganga di
bagian leher.
Hampir tengah malam, suasana masih mencekam.
Tiba-tiba
suasana senyap. Hujan, guruh dan kilat
halilintar perlahanlahan
reda kemudian menghilang. Semua senyap.
Hanya
terdengar desir angin malam. Widali itu
menghilang setelah
memangsa korban. Tujuhbelas nyawa melayang,
semuanya
dengan luka menganga di leher. Widali itu
menggigit dan
mengisap darah, ia merobek leher korban
sehingga hampir
putus. Melihat bekas luka bisa dipastikan
mulut widali itu
cukup lebar, itu artinya binatang sakti itu
lebih besar dari
kucing atau musang biasa.
Rombongan Kediri kehilangan lima punggawa
dan seorang
anggota Sinelir. Rombongan Tumapel
kehilangan dua
pendekar utamanya, Catur dan Sapta,
rombongan Lemah Tulis
kehilangan Kebo Lanang, rombongan Mahameru
kehilangan
Matangga, salah seorang murid utamanya,
rombongan
Berantas juga kehilangan dua muridnya. Masih
banyak korban
pendekar dari perguruan lain, jumlah
seluruhnya tujuh belas
nyawa. Semuanya dimangsa widali hanya dalam
setengah
malam. Dunia persilatan seakan berduka
memperingati petaka
hebat itu, betapa tinggi pun ilmu silat dan
jumlah pendekar
yang begitu banyak ternyata tidak cukup
untuk menahan
amuk dan sepak terjang widali sakti.
Ekadasa meratapi mayat Sapta, lelaki yang
sebenarnya
sangat mencintainya. Jikalau saja ia tidak
terpikat oleh
kejantanan Wisang Geni, ia pasti menerima
lamaran Sapta.
Semua sudah jadi bubui. Wisang Geni pergi
dari pelukannya,
Sapta tewas di gunung Argowayang. Tadinya ia
memimpikan
memperoleh darah widali yang akan membuat ia
sakti
mandraguna. Setelah itu ia akan mencari
Wisang Geni,
membunuh Gayatri dan menanyakan pada lelaki
itu apakah ia
masih mencintainya atau tidak. Ia yakin Geni
pasti masih
menginginkan tubuhnya yang penuh daya tarik
itu. Ternyata
mimpi itu hanya tinggal mimpi. Namun ia
tetap bertekad akan
mencari Wisang Geni.
---ooo0dw0ooo---
Setelah perjalanan santai dari lereng
Argowayang, senja
hari Geni dan empat perempuan itu tiba di
desa Kipang, desa
terpencil agak jauh dari gunung Argowayang.
Tak ada warung
makan, tak ada penginapan. Geni menyewa
rumah penduduk,
sekaligus membayar makanan untuk makan
malam.
Selesai santap malam, Geni dan dua isterinya
masuk
kamar. Ia berpesan kepada Urmila dan Shamita
agar berjagajaga
sementara pengobatan dengan tenaga dalam
berlangsung. Tangan Geni menempel di
punggung halus
isterinya, tenaga dalam menerobos bergantian
panas dan
dingin. Tubuh Gayatri menggigil kedinginan,
saat berikut
berkeringat kepanasan.
Geni menjelaskan akan lebih cepat sembuh
jika bisa
mengurut di tempat yang kena pukulan.
Gayatri mengangguk.
Ia merasa tak perlu malu, meskipun di kamar
itu ada Sekar. Ia
membuka kebaya, membiarkan tubuh atas
telanjang.
Keduanya berhadapan. Gayatri melihat Geni
memejam mata,
satu tangan Geni menempel di pundak, satu
lainnya di celah
antara buah dada. Hampir separuh malam Geni
mengobati
isterinya. Tanda merah kebiruan di dua
tempat itu mulai
berkurang. "Cukup Geni, aku sudah
baikan," sambil berkata
Gayatri menata kembali letak bajunya.
Ia melihat Sekar tidur pulas. Sedangkan Geni
masih bersila
menata tenaga dalam. Keringat membasahi
sekujur tubuh
Geni menebar aroma kelaki-lakian. Gayatri
berbaring di dipan
berdampingan dengan Sekar. Sambil menatap
punggung lelaki
itu, Gayatri berpikir, " Dipan ini
kecil dan sempit, tapi kalau
dipaksakan cukup untuk tiga orang."
Geni membuka mata. Ia melihat Gayatri dan
Sekar
berbaring. Perempuan India itu menatap
kekasihnya. "Tadi,
mengapa kamu pejamkan mata, tak mau
memandang buah
dadaku padahal di kamar ini suasana gelap,
tak ada
penerangan?"
"Aku tak mau terganggu pemusatan
pikiranku. Paling tidak
kamu harus istirahat dua malam lagi, baru
bisa sembuh."
Gayatri tertawa. "Apakah kau bisa tahan
tidur bersamaku
dan Sekar dua malam tanpa kamu berbuat
apa-apa?"
"Supaya kamu cepat sembuh, aku harus
berusaha
menahan diri."
Pada saat itu Sekar sudah terjaga. Ia
memeluk punggung
Geni. Kakinya melingkar di paha Geni.
"Kenapa harus
menahan diri, apa yang ada mari kita nikmati
Gayatri ayo kita
keroyok suami ini." Ketiganya tenggelam
dalam lautan birahi
yang panas membara
Menjelang pagi tiga kekasih itu masih
berpelukan. Geni di
tengah di impit tubuh dua isterinya. Sambil
mengelus dada
Geni yang berbulu lebat, Gayatri berbisik,
"Geni, kamu tahu
apa yang membuat aku mencintaimu?" Geni
menggeleng
kepala. Gayatri melanjutkan, "Aku jatuh
cinta lantaran kamu
dengan cara yang licik dan kurangajar
berhasil menciumku.
Selama hidup aku belum pernah dicium
laki-laki, sehingga
ciuman itu menjadi candu yang membuat aku
memikirkan
kamu terus. Aku marah dan kesal tetapi
rindu. Kamu telah
memberiku sesuatu yang indah yang bahkan
belum pernah
ada dalam mimpiku."
"Lantas malam ini bagaimana?"
Gayatri tertawa. "Seluruh tubuhku
sakit, sakit tetapi nikmat.
Aku bahagia karena tidak salah memutuskan
hal penting
dalam hidup, mendapatkan kau sebagai suami
sekaligus
kenikmatan tubuh, meskipun untuk semua itu
aku harus
menukar dengan nyawaku."
Geni menciumi wajah isterinya. "Kamu
tak akan mati, aku
tak akan membiarkan kamu mati, dalam waktu
dua bulan ini
aku akan mencari jalan keluar untuk
mengatasi persoalanmu"
Sekar ikut bicara, ingin tahu lebih banyak
tentang Gayatri.
"Kamu tak akan mati, apa sulitnya
masalahmu itu? Di dunia ini
terjadi banyak kecelakaan yang tidak bisa
kita hindari. Tetapi
juga ada kecelakaan yang bisa ditolong.
Lihat contoh, suami
kita ini, ia luka parah kena pukulan dingin
Kalayawana dan
telan pil racun Kumara dan Malini, usianya
hanya bisa sampai
tiga purnama, tetapi buktinya, ia sembuh
bahkan mendapat
ilmu dahsyat membuat ilmu silam ya sulit
ditandingi dan
menjadi suami yang perkasa seperti sekarang
ini. Jadi aku
pikir, masalahmu pasti akan teratasi,
percayalah Gayatri."
Gayatri memeluk erat, menyembunyikan
wajahnya di dada
Geni. "Terimakasih, Sekar, kamu sangat
baik. Sesungguhnya
aku tidak menyesal, setetes penyesalan pun
tak ada dalam
dadaku, aku bahagia hidup bertiga seperti
ini. Untuk itu,
tidaklah rugi jika aku harus menebus dengan
nyawaku Aku
anak bontot ketua perguruan Yudistira di
Himalaya, ayahku
berpegang keras pada tradisi kuno, anak
perempuan harus
patuh pada jodoh yang diatur ayah."
Gayatri berbaring terlentang, pikirannya
menerawang jauh.
Ia seperti melihat ayah dan kakaknya yang
galak serta wajah
ibunya yang lembut tetapi tak berdaya.
"Dua bulan lagi, pada
akhir bulan Iyestha atau awal bulan Asadha,
di situlah jadwal
kematianku sudah tertulis. Tak ada yang bisa
menolongku."
Sekar penasaran. "Siapa bilang tidak
ada yang bisa
menolong, aku dan Geni dan juga kamu akan
berupaya keras
menyelamatkan kamu, jangan khawatir, kita
pasti bisa."
"Aku punya seorang kakak perempuan,
namanya Manisha
dan dua kakak laki-laki, Arjun dan Shankar.
Ada seorang lakilaki
bernama Wasudeva, putra tunggal ketua
perguruan
Arjapura Suatu hari, satu tahun lalu,
Wasudeva datang
bertamu untuk diskusi ilmu silat. Manisha
jatuh cinta padanya,
ia menjanjikan cinta yang tulus, ia meniduri
kakak.
Berulangkali. Kemudian ia pergi, berjanji
kembali dua bulan
lagi, melamar dan mengawini Manisha.
"Tiga bulan kemudian Manisha hamil.
Ayah dan dua
kakakku tidak tahu. Manisha hanya
menceritakan pada ibu
dan aku, ibu menyuruh aku bersumpah tak
boleh
menceritakan pada ayah dan kakak. Sebab bisa
terjadi
pertumpahan darah antara dua perguruan. Ibu
lalu mengutus
aku bertiga Urmila dan Shamita menemui
Wasudeva,
memberitahu Manisha hamil. Ia tertawa sinis,
malah menuduh
Manisha tak punya kehormatan, yang bisa
ditiduri lelaki siapa
pun. Aku tak berdaya, aku pulang membawa
kabar buruk
"Tapi Manisha masih setia menanti.
Hamil lima bulan,
Wasudeva tetap tak muncul Saat itulah datang
lamaran
Mahesh, pendekar dari Himalaya Timur. Ayah
menjodohkan
kakak dengan Mahesh. Tak mungkin kakak
menerima
perkawinan itu, sebab aib hamil itu pasti
akan terbongkar, tak
ada jalan lain, setelah berpesan kepadaku,
kakak diam-diam
pergi dan bunuh diri terjun dari
tebing."
"Kakakmu Manisha itu cantik?"
"Ia sangat cantik, lebih cantik dari
aku, ia tidak bisa silat
tetapi ia mahir sastra dan sangat cerdas. Ia
mengajari kami
semua, berbahasa Jawa. Saat itu kami sadar
suatu waktu
nanti mungkin kami akan melancong ke tanah
Jawa mencari
Ki Suryajagad menebus kekalahan kakek
Lahagawe."
"Nasib kakakmu amat tragis, apakah
sampai sekarang tak
seorang pun dari keluargamu yang mengetahui
kelakuan
Wasudeva itu?" tanya Sekar sambil
menciumi dada suaminya.
"Ceritanya panjang. Setelah kematian
kakak, Wasudeva
datang berkunjung. Ia merayuku, aku benci
dan muak
melihatnya. Ia melamar aku pada ayah Ayah
setuju. Aku tak
bisa menceritakan perlakuan buruknya
terhadap Manisha
kepada ayah. Tetapi tak mungkin aku menerima
perjodohan
ini, mustahil aku kawin dengan Wasudeva, dia
bejat dan aku
tidak suka tampangnya, tidak ada jalan lain,
terpaksa aku
kabur ke negeri Jawa."
"Kenapa ke negeri Jawa?"
"Aku ingin lari dari Wasudeva, makin
jauh makin baik,
mungkin dia tak akan berani kemari, semoga
saja demikian."
"Lantas penyakitmu itu?" tanya
Sekar.
"Aku sehat, tak ada penyakit. Tetapi
yang pasti, ayah, ibu
dan dua kakakku akan datang ke negeri ini,
mereka akan
menjemput aku, menghukumku. Mereka akan
muncul pada
akhir bulan Iyestha atau awal bulan Asadha,
di situlah hari
kematianku. Ayah membunuhku atau aku harus
bunuh diri. Itu
sebab aku cepat minta kau menikahi aku, agar
bisa menikmati
cinta yang indah selama dua bulan, aku ingin
bersenangsenang
sampai puncak kenikmatan, setelah itu jika
harus mati
bunuh diri, aku rela."
"Tidak Gayatri, kita akan hidup lama.
Aku senang kamu
sehat, tak punya penyakit, kalau hanya itu
kesulitanmu, aku
yakin bisa kita atasi bersama. Kita
tinggalkan keramaian dunia
ini, kita pergi ke suatu desa terpencil, tak
akan ada orang bisa
menemukan kita, kita bertiga menetap sampai
hari tua," kata
Geni.
"Kamu mau pergi meninggalkan
perguruanmu Lemah Tulis,
apakah kamu tidak takut dituduh sebagai
ketua yang tidak
bertanggungjawab, apa tanggung jawabmukepada
leluhurmu,
kepada guru-gurumu?"
"Aku akan meletakkan jabatan ketua ini
dengan baik-baik,
memberikan jabatan ini kepada orang lain,
begitu kan?"
Gayatri menatap dalam-dalam mata suaminya.
"Kamu mau
melakukan itu semua untuk aku?"
"Sekar dan Gayatri, kalian dengar,
sebenarnya aku bosan
dan jenuh dengan pertarungan di dunia
persilatan ini. Jika
kalah, mati. Jika menang, pasti akan ada
orang lain yang
mencari untuk balas dendam. Begini terus,
tak pernah
berhenti. Satu bulan lagi aku harus
berhadapan dengan para
pendekar negeri Cina, ini juga urusan balas
dendam karena
aku pernah mengalahkan tiga pendekar utama
Cina, satu di
antaranya Sam Hong bahkan mati di tanganku.
Semua itu
tarung resmi di bukit Penanggungan. Sekarang
para pendekar
Cina datang menantang aku, balas dendam. Aku
bosan.
Akhirnya aku berpikir untuk mengundurkan
diri dari
keramaian. Aku senang jika bisa hidup
bersama kalian di suatu
tempat terpencil."
Gayatri terharu. Ia memeluk dan mencium
kekasihnya.
Geni membalas dengan nafsu menggebu. Tiga
insan itu larut
lagi dalam nafsu birahi. Bercinta dalam
suasana hati saling
membutuhkan.
Pada saat itu, di pagi hari yang sejuk,
Urmila dan Shamita
telah memutuskan langkah. Keduanya berunding
lama untuk
sampai pada keputusan itu. Ketika Gayatri
keluar dari kamar,
ia melihat dua pembantunya sedang duduk
menghadapi
sarapan pagi yang baru saja diantar pemilik
rumah. Lima
orang itu melahap sarapan singkong dan ayam
bakar.
Pada kesempatan itu Urmila dan Shamita
menyampaikan
maksud mereka hasil pemikiran semalam.
Keduanya merasa
tidak lagi layak mendampingi Gayatri.
"Putri, kamu adik
perguruan kami, tetapi ilmu silatmu lebih
tinggi, kau juga putri
guru kami, tugas kami selama ini adalah
mengawalmu. Tetapi
sekarang keadaan sudah lain, kamu sudah
bersuami."
Gayatri memotong bicara Urmila yang mulai
tersendatsendat
saking terharu. "Kamu ingin
meninggalkan aku, begitu?
Katakan saja kalau memang benar, aku tak
akan marah."
Shamita memegang tangan Gayatri.
"Suamimu akan
melindungi dan dengan ilmu silat yang
diniilikinya aku kira
kamu cukup aman. Apalagi kamu juga punya
ilmu silat
mumpuni. Kami pikir tak enak mengganggu
kalian yang
sedang mabuk cinta, biarkan kami pergi,
siapa tahu kami
ketemu jodoh di negeri indah ini."
Selesai sarapan, dua pembantu itu memeluk
Gayatri.
Perpisahan yang mengharukan. Tiga perempuan
itu menangis.
Urmila berkata di tengah tangisnya,
"Putri, kami belum
berencana pulang ke India, kami akan
melancong di negeri ini,
tapi kami tetap akan memantau dirimu, jika
kamu dalam
kesulitan kami rela berkorban jiwa untukmu,
urusan dengan
Wasudeva kami akan ikut membelamu meski
untuk itu kami
akan dihukum guru."
Dua pembantunya pergi, Gayatri menangis dan
berlari
masuk bilik kamarnya. Sekar memburu,
menghibur hatinya.
"Selama ini kami selalu bersama-sama,
sejak masih kecil, kami
bermain bersama, setiap ada kesulitan, keduanya
selalu
membantu. Mereka sudah seperti kakak bagiku
Kini mereka
pergi, aku merasa kehilangan. Tetapi mereka
punya hak untuk
mencari masa depan sendiri, usianya masih
duapuluh lima,
semoga bisa mendapat kebahagiaan seperti
yang aku cicipi
sekarang ini."
Tiga hari di desa Kipang, Gayatri sudah
hampir sembuh. Ia
kini sudah bisa menggunakan tenaga dalam
meski belum
seluruhnya pulih. Rasa ngilu dan sakit di
dada serta
pundaknya sudah lenyap. Pagi hari itu Geni
membawa dua
isterinya menuju Lemah Tulis. Mereka
menunggang kuda, dua
hari kemudian tiba di perguruan. Hari sudah
senja.
Wisang Geni dan dua isterinya langsung
menghadap
Padeksa dan Gajah Watu. Waktu itu Geni sudah
mendandani
Gayatri dengan pakaian pendekai Jawa. Ia
tampak cantik
gemerlap, kulitnya yang putih tampak
mencolok di bawah baju
dan celana warna hitam. Rambutnya yang
panjang digelung
dengan ikat kepala warna putih. Hidungnya
bangir, bibir tebal,
mulut lebar bagai busur serta dua bola mata
berwarna coklat
yang berlindung di balik bulu mata lentik,
menegaskan
kecantikan seorang perempuan India.
Padeksa dan Gajah Watu terperanjat ketika
Wisang Geni
memperkenakan Gayatri dan Sekar sebagai
isterinya. Sesaat
dua orang tua itu terdiam, keduanya
mengamati Sekar dan
Gayatri, mencoba membandingkan cantiknya dua
isteri Geni
itu. Mereka pernah mengagumi kecantikan
Sekar. Gayatri tak
kalah cantik. Dua wanita itu memang cantik
dan jelita.
Kecantikan Gayatri adalah kecantikan wanita
asing, cantik
India. Kecantikan Sekar, cantiknya perempuan
Jawa.
Dua kakek itu membatin mungkin Geni terpikat
kecantikan
yang luar biasa itu tetapi tidak tahu
kelakuan dan isi hati si
perempuan. Padeksa membatin, "Apa yang
kutakutkan
akhirnya terjadi, Wisang Geni kawin dengan
orang luar, ah
kasihan si Prawesti, bagaimana perasaannya."
Keduanya lebih kaget lagi mendengar
penjelasan Geni
bahwa Gayatri adalah cucu pendekar Lahagawe
yang pernah
dikalahkan Eyang Sepuh Suryajagad di perang
Ganter.
Sebagai orang tua yang sudah banyak
pengalaman hidup
keduanya tidak memperlihatkan rasa curiga.
Namun Geni dan
Gayatri tahu bahwa dua kakek itu curiga
perkawinan hanya
alasan Gayatri membalas dendam. Dua kakek
lebih heran
mendengar Geni meninggalkan Argowayang saat
di mana
widali sakti keluar dari persembunyian.
"Mengapa kau pergi
meninggalkan anak buahmu?" tanya
Padeksa kecewa.
Geni merasa aneh. "Kenapa kakek
bertanya itu, aku
memilih pergi dan mereka memilih berburu
widali, itu pilihan
masing-masing. Mereka juga bukan anak kecil
yang harus
kutemani dan kulindungi terus."
Padeksa terdiam Gajah Watu memecah
kesunyian. "Geni,
sejak dua hari lalu, perdikan kita
kedatangan tamu, sampai
hari ini sudah tujuh perempuan yang diantar
keluarganya
masing-masing. Mereka hamil dan menuduh
seorang bernama
Wisang Geni yang ketua Lemah Tulis telah
memerkosa
mereka."
Geni terkejut. Gayatri ikut terkejut.
"Aku tak pernah
melakukan perbuatan terkutuk itu, aku belum
sekali pun
pernah memerkosa perempuan, aku pantang
melakukan
perbuatan terkutuk itu, pasti fitnah, pasti
suatu kekeliruan."
Gajah Watu berkata dengan nada datar,
"Perempuanperempuan
itu menantimu di pendopo, silahkan keluar
temui
mereka."
Geni seperti linglung, berdiri dan hendak
melangkah.
Tangan Gayatri memegangnya. "Jangan
sekarang, jangan
temui mereka sekarang. Nanti saja, kau
istirahat dulu."
"Kenapa kamu menghalangi, dia harus
berani
bertanggungjawab atas perbuatannya,"
suara Padeksa ketus.
Gayatri beringsut mendekati Sekar, keduanya
bisik-bisik,
kemudian Gayatri kembali dan berkata lirih,
"Maaf, aku tak
percaya suamiku melakukan perbuatan itu, aku
punya alasan
kuat, kakek mau dengar?"
Geni memandang isterinya. Ia berharap
Gayatri dan Sekar
bisa menolongnya. Ini aib besar. Terdengar
suara Gayatri,
"Tadi ketika masuk pintu gerbang dan
melewati pendopo aku
melihat banyak orang, aku melihat beberapa
perempuan.
Tetapi saat kita lewat tak seorang pun yang
berteriak
menyebut nama suamiku, tidak seorang pun.
Ini bukti, mereka
melihat suamiku, tetapi mereka tidak
mengenal suamiku,
padahal hari masih senja, matahari masih
terang. Ini bukti
jelas. Itu sebabnya aku mencegah suamiku
menemui mereka
sekarang."
Dua orangtua itu mengagumi kecerdasan
Gayatri. Tetapi
sebelum mereka bicara, gadis India ini sudah
melanjutkan
bicara, "Aku katakan tadi, aku sangat
yakin suamiku tidak
melakukan perbuatan itu, mengapa aku yakin?"
Ia menatap
dua kakek itu yang menahan nafas ingin tahu
penjelasannya.
Ia kemudian menceritakan pertemuannya dengan
Geni. Ketika
ia nyaris diperkosa penjahat, "Aku tahu
aku cantik, tubuh
atasku telanjang, tetapi Geni bisa
mengendalikan diri, jika saja
moralnya rendah pasti dia sudah memerkosaku.
Jika aku saja
yang lebih cantik dengan kesempatan sebesar
itu tidak ia
perkosa, maka aku tidak percaya mengapa ia
memerkosa
perempuan di luar sana yang sama sekali
tidak cantik dan
entah berasal dari mana. Ini sebabnya aku
yakin suamiku
tidak melakukan perbuatan terkutuk itu.
Pasti ada orang lain
yang sengaja merusak nama Wisang Geni."
Sekali lagi Gajah Watu dan Padeksa mengakui
kecerdasan
Gayatri. Sekar ikut mendukung alasan
Gayatri. "Aku juga tidak
percaya suamiku memperkosa perempuan. Itu
jelas fitnah dan
omong kosong besar!"
Geni gembira bahwa Gayatri dan Sekar percaya
kepadanya.
"Jadi bagaimana aku harus hadapi
mereka?" katanya pada
Gayatri. Gayatri tertawa geli. "Kamu
semakin banyak
berhutang padaku. Hutang yang lalu belum
kamu bayar
sekarang sudah berhutang baru lagi.”
"Sudahlah Gayatri, aku sudah katakan
bahwa sampai mati
pun aku tetap masih berhutang padamu.
Katakan sekarang
jalan keluarnya."
Gayatri berkata kepada dua kakek,
"Ketika kami datang,
perguruan ini sunyi. Aku sempat melihat
beberapa murid yang
menghindari kami, mereka sembunyi. Kakek
bisa bantu
memecahkan persoalan ini dengan mencari tiga
murid,
perawakan harus beda satu sama lain. Seorang
harus mirip
suamiku termasuk rambutnya dicat mirip uban.
Dua lainnya,
satu tinggi, satu pendek, dengan rambut
hitam. Usianya
tigapuluhan dan limapuluhan. Ajak
perempuan-perempuan itu,
satu per satu, menemui ketiga murid,
katakan, ada tiga
Wisang Geni, yang mana yang kalian cari.
Lantas kita lihat
sampai di mana kebenaran sandiwaranya?"
Gajah Watu mempersiapkan rencana Gayatri.
Tiga murid
mengaku Wisang Geni. Tujuh perempuan itu
bingung. Empat
perempuan mengaku ketiga murid itu bukan
Wisang Geni.
Tiga lainnya menuding murid dengan rambut
beruban sebagai
Wisang Geni. Semua disaksikan Gayatri.
Sementara Geni
menanti di kamarnya.
Dibantu beberapa murid, Gayatri memisahkan
dua
kelompok. "Jelas, empat wanita itu
tidak mengenal Wisang
Geni, berarti bukan suamiku yang melakukan
perbuatan itu
tetapi orang lain yang mengaku sebagai
Wisang Geni. Tiga
lainnya juga tidak mengenal Wisang Geni,
hanya mengetahui
ciri rambut ubanan saja. Nah tugasku
membersihkan nama
suamiku sudah selesai, aku pamit menemui
suamiku."
Gayatri berdua Sekar meninggalkan pendopo,
menemui
Geni di biliknya. Sementara Padeksa dan
Gajah Watu serta
beberapa murid melakukan pemeriksaan.
Kesimpulannya, ada
orang yang sengaja memerkosa wanita-wanita
itu sambil
memperkenalkan diri sebagai Wisang Geni
ketua Lemah Tulis.
Pemerkosaan terhadap empat perempuan dilakukan
lelaki
berusia limapuluhan, di dadanya ada tanda
rajah bergambar
kuda. Kejadiannya sekitar sembilan bulan
lalu. Lelaki itu
berpesan agar pergi ke Lemah Tulis. Siapa
lelaki itu tidak ada
yang tahu. Tiga perempuan lain punya kisah
berbeda. Mereka
punya suami dan sedang hamil besar, berasal
dari desa
Gadang. Seorang wanita cantik berpakaian
mewah membayar
ketiganya untuk mengaku diperkosa dan
dihamili Wisang Geni.
Dia menggambarkan ciri Wisang Geni,
rambutnya penuh uban.
Itu sebabnya tiga wanita ini menuding murid
yang rambutnya
dicat uban sebagai Wisang Geni. Siapa
perempuan cantik ini,
tak seorang pun yang tahu.
Wisang Geni sedang duduk termenung ketika
Gayatri dan
Sekar masuk. Ia menyongsong isterinya.
"Bagaimana
hasilnya?"
"Beres, semua ketahuan bohong, ada
orang yang merusak
namamu Tetapi mengapa wajahmu kusut, apakah
kau takut
mereka mengenal wajahmu?" Gayatri
menggoda. Sekar
tertawa mendengar godaan nakal itu.
"Tidak. Bukan itu. Aku kecewa karena
ternyata semua
murid termasuk kakek percaya aku melakukan
perbuatan
terkutuk itu. Mengapa bisa begitu? Itu sebab
begitu melihat
aku datang, semua murid menghindar, rupanya
mereka
percaya aku seburuk itu. Anehnya kakek juga
tidak percaya
padaku. Kalau begini, kalau tak ada
kepercayaan yang tulus
kepada seorang ketua, maka ketua itu tidak
akan bisa
memimpin anak buahnya dengan baik,"
kata Geni dengan
nada kecewa.
Gayatri memegang tangan suaminya.
"Jangan berpikir
demikian, mereka bukannya tidak percaya
padamu, tetapi
mungkin berita itu sangat mengejutkan, aku
yakin mereka
masih percaya padamu"
"Gayatri, Sekar, kalian berdua lebih
suka aku sebagai ketua
Lemah Tulis atau aku meninggalkan jabatan
ketua ini?"
Sekar terkejut mendengar pertanyaan ini.
"Aku senang
dengan apa saja keputusanmu Kamu sebagai
ketua Lemah
Tulis atau bukan ketua, bagiku sama saja.
Yang penting
bagiku, aku tetap di sisimu Ke mana kamu
pergi, ke situ aku
mendampingimu." Gayatri mengangguk
sependapat.
Saat itu Wisang Geni telah mengambil
keputusan penting
dalam hidupnya. "Aku tak mau lagi menjadi
ketua Lemah
Tulis, dalam beberapa hari ini aku akan
menyerahkan jabatan
ketua ini kepada kakek, biar mereka mencari
ketua yang baru
Aku akan bereskan hutang dendam dengan
pendekar Cina
sebagai Wisang Geni pendekar biasa bukan
sebagai ketua
Lemah Tulis. Aku lebih suka berkelana
seperti Eyang Sepuh,
tetapi berbeda dengan Eyang Sepuh yang
sendirian, aku akan
ditemani dua isteriku yang cantik dan
cerdas, Sekar dan
Gayatri." Pikiran ini tidak ia
utarakan.
Malam itu Geni merasa ada yang kurang.
Biasanya Prawesti
yang menyediakan santap malam, terkadang
mengambilnya
dari dapur, pada kesempatan lain gadis itu
sendiri yang
masak.
Kali ini ia bingung. Sementara Geni bingung,
Sekar
mengajak Gayatri ke dapur. Keduanya menolak
ketika Geni
menawarkan diri mengantar. "Tidak
perlu, kamu tunggu di sini
saja, ini urusan perempuan."
Dua isteri itu gembira melihat suaminya
makan dengan
lahap. Keduanya tidak menceritakan sikap
murid-murid wanita
sewaktu bertemu di dapur. Mereka tidak
menegur sapa,
bahkan satu per satu meninggalkan dapur
sambil mencibir
mulut. Sekar jengkel, namun Gayatri memegang
tangannya.
"Kita tak perlu meladeni mereka. Aku
pikir, mereka kecewa
karena Geni meninggalkan Prawesti. Dikiranya
kita berdua
yang membuat ulah atau memengaruhi
Geni," kata Gayatri.
Sesaat kemudian dia menambahkan, "Itu
sangat manusiawi
bagaimanapun juga mereka patut membela
saudara
perguruan sendiri, kita berdua kan orang
luar, apalagi aku,
orang asing."
Malam itu Gayatri merasa nyaman dan tenteram
dalam
pelukan suaminya. Rasanya aman. "Tak
ada siapa pun yang
bisa memisahkan lelaki ini dariku,"
pikirnya.
Sesaat ia teringat ibunya pernah berkata
kepadanya, "Jika
ada lelaki mencintaimu, tugasmu yang paling
utama adalah
menjaga dan memelihara cinta itu dengan
perilaku dan
pelayanan memuaskan. Dengan demikian ia
tidak akan bisa
meninggalkan kamu. Yang penting, kau harus
pandai dan
cerdas menempatkan diri sehingga lelaki itu
merasa selalu
membutuhkan dirimu. Ingat itu Gayatri."
Saat Geni, Sekar dan Gayatri berenang dalam
birahi cinta di
biliknya, saat itu rombongan Prastawana
tiba. Ia melapor
peristiwa di gunung Argowayang, sepakterjang
Wisang Geni
membunuh Lembu Agra, Lembu Ampai dan para
pendekar
yang hendak menyerang Lemah Tulis,
tujuhbelas pendekar
termasuk Kebo Lanang dimangsa widali, tantangan
pendekar
Cina kepada Geni dan semua pendekar tanah
Jawa,
pernikahan Geni dengan Gayatri dan Sekar.
Kematian Kebo
Lanang sempat membuat Padeksa dan Gajah Watu
kecewa
terhadap Geni. "Jika Geni bersama
mereka, mungkin Kebo
Lanang tak dimangsa widali," pikir
Gajah Watu.
Mereka berpencar menuju bilik masing-masing.
Prawesti
tadinya melangkah ke bilik ketua, namun dia
teringat bahwa
Geni sudah punya isteri. Ia berbelok menuju
dapur. Ia resah
namun memaksa diri makan. Ketika itu tiga
murid perempuan
mendekatinya. "Mbak Westi, ketua sedang
berdua di biliknya
bersama dua isterinya. Kamu tidur bersama
kami saja."
Prawesti tak peduli apakah sindiran atau
maksud baik, ia
menatap gadis itu dan mengucap terimakasih.
Ia
menyelesaikan makan lalu keluar ruangan tanpa
menoleh lagi
kepada tiga gadis itu. Ia berpikir akan
nginap di rumah paman
Jayasatru, rumah tempat tinggalnya sebelum
ia menjadi
kekasih Wisang Geni.
Di tengah jalan ia mengubah pikiran, ia
merasa malu. Apa
yang harus ia katakan kepada bibinya. Dalam
perjalanan dari
Argowayang, Jayasatru memperlihatkan
perhatian kepadanya,
melayani dan mengajaknya bicara namun tidak
bicara soal
pernikahan Geni. Ia merasa semua orang
seperti meremehkan
dan mengasihani dirinya. Ia tak sanggup
menghadapi
kenyataan ini.
Sekonyong-konyong Prawesti berlari pesat ke
gerbang,
menerobos keluar menuju kegelapan malam. Ia
tak tahu
menuju ke mana, tetapi langkahnya menuntun
ia menuju ke
arah hutan dawuk di lereng gunung Arjuno.
Tengah malam
ketika Geni bertiga Sekar dan Gayatri meneguk
cinta yang
penuh birahi menuju puncak kenikmatan, saat
itu Prawesti
berlari dikejar nestapa cinta dalam pekatnya
malam.
Esok hari saat matahari terbit, Lemah Tulis
tampak sibuk
Terlihat murid lelaki maupun wanita sedang
berlatih. Teriak
dan bentakan mewarnai kesibukan. Wisang Geni
meninggalkan Gayatri dan Sekar yang masih
terbaring letih. Ia
menuju rumah Gajah Watu dan Padeksa.
Ia sudah memutuskan mundur dari jabatan
ketua Lemah
Tulis. Namun baru saja ia duduk, Padeksa
memberitahu kabar
buruk "Geni, sejak tadi malam Prawesti
menghilang dari
perguruan. Ada yang melihatnya tengah malam
berlari ke luar
gerbang. Sampai sekarang, Jayasatru dan
isterinya sudah
mencari ke semua bilik dan rumah, tetapi
gadis itu tak
diketemukan."
Wisang Geni terkejut. "Ke mana dia
pergi?"
Padeksa berkata dengan nada sendu,
"Kasihan gadis itu, ia
patah hati dengan perkawinanmu, hatinya
hancur, aku tidak
tahu ke mana dia pergi, ia tak punya
keluarga, tak punya
siapa-siapa."
Kata-kata Padeksa itu mengena tepat sanubari
Geni. Lelaki
ini bereaksi cepat. "Aku akan cari
dia."
Geni balik ke rumahnya, mengajak Sekar dan
Gayatri.
Isterinya balik bertanya, "Kamu tahu ke
mana dia pergi?"
"Barangkali aku tahu. Perjalanan makan
waktu satu atau
dua hari."
Gayatri menolak. "Kau pergi sendiri,
aku capek, tadi malam
kamu meniduriku habis-habisan, hampir
membunuhku." Sekar
juga menolak, alasannya letih. Mereka
menyuruh suaminya
cepat pergi.
Tetapi Geni masih berdiri di situ, tampaknya
hendak
mengatakan sesuatu. Gayatri memandang dengan
kocak,
"Geni, ajak ia tinggal bersama kita,
Prawesti itu tak punya
siapa-siapa lagi, di luar sana dia sendirian
tak punya keluarga.
Bagaimana pendapatmu mbakyu Sekar?"
Sekar memandang Gayatri dengan penuh haru.
"Gayatri,
kamu wanita istimewa, kamu tidak dendam
malahan
mengajak Prawesti bergabung dengan kita,
kalau kamu sudah
memaafkan dia, aku tak punya alasan lagi
menolak," dia
menoleh ke suaminya. "Geni, ajak dia
pulang secepatnya.
Kami tunggu di sini."
---ooo0dw0ooo---
Selamat Tinggal
0 komentar:
Posting Komentar