Kalau Pitu Sopakara tingkat lima, hanya
sedikit terguncang
oleh pukulan tenaga Wiwaha yang sempurna.
Bisa saja begitu
menyelesaikan tingkat tujuh, kekuatan Lembu
Agra akan lebih
unggul. Pemikiran ini sering mengganggunya
setiap malam.
Malam itu Geni duduk semedi melatih tenaga
Wiwaha.
Telinganya yang tajam mendengar sesuatu. Dia
membuka
mata, melihat sekeliling. Tak ada apa-apa.
Prawesti tidur
nyenyak. Suara itu datang dari Prawesti.
Geni memerhatikan
lebih cermat. Dia bergerak perlahan ke
tempat gadis itu.
Di bawah remang cahaya api unggun yang mulai
redup,
Geni memandang wajah Prawesti yang cantik.
Pucat Bibirnya
bergerak. Suara yang didengar Geni tadi
rupanya gemeletuk
gigi Prawesti yang kedinginan. Geni meraba
dahi gadis itu.
Panas. Gadis itu demam. Mata Prawesti
terbuka, menatap
Geni.
"Kamu tidak tidur?''
Gadis itu menggeleng kepala.
"Kamu sakit, Westi."
Gadis itu menggeleng kepala. Dia bangkit,
duduk dengan
lemas. Wisang Geni meraih tubuh Prawesti.
Memeluk erat.
Merapatkan dada perempuan itu ke dadanya.
Geni
merebahkan diri, tubuh Prawesti terkulai
lemas di atas
tubuhnya. Geni mengerahkan tenaga dalam.
Hawa panas
merasuk ke tubuh Prawesti.
Api unggun mati Goa itu gelap gulita. Hanya
terdengar
suara air terjun. Geni mencium mulut
Prawesti. Lama.
Prawesti tak lagi kedinginan. Pengobatan
dengan tenaga
dalam itu telah menyembuhkan demam. Prawesti
sembuh.
Suhu tubuhnya kembali normal. Demamnya
memang lenyap,
tetapi demam birahinya muncul. Dua insan itu
terbenam
dalam panasnya nafsu.
Geni memandang wajah Prawesti. Goa itu
gelap. Tetapi
Geni bisa melihat butir-butir keringat di
wajah cantik Prawesti.
Keduanya mandi keringat, meski di dalam goa
udara sangat
dingin. Tiba-tiba ada sesuatu berkelebat di
benak Wisang
Geni. Semacam cahaya yang benderang sesaat.
Apa itu? Dia
merasa menemukan sesuatu yang penting. Dia
berpikir.
"Kamu berkeringat, ketua. Padahal udara
sangat dingin."
"Kamu juga berkeringat. Tapi tunggu
dulu, apa itu?
Berkeringat itu artinya panas. Tubuh kita
panas padahal udara
sangat dingin. Panas tubuh muncul begitu
saja, tanpa
dikendalikan, tanpa diperintah."
Prawesti menatap kekasihnya, tidak mengerti
apa yang
dibicarakan lelaki itu. Dia memutuskan untuk
diam saja. Dia
yakin kekasihnya sedang memikirkan sesuatu
yang penting.
Geni bangkit duduk semedi. Dia memikirkan
sesuatu yang
muncul tiba-tiba di benaknya. Sesuatu yang
ada kaitan
dengan misteri tenaga Wiwaha. Panas tubuh
itu muncul begitu
saja, tanpa diperintah, tanpa dipaksa.
Tetapi panas itu bisa
dikendalikan. Bisa diatur. Tenaga Wiwaha
yang sempurna itu
juga muncul secara mendadak, tanpa
diperintah dan tanpa
dipaksa.
Dia yakin panas itu harus ada sebabnya,
harus ada asalusulnya
mengapa bisa muncul begitu saja. Panas tubuh
itu
muncul karena adanya gejolak birahi. Tubuh
akan semakin
panas dan akhirnya berkeringat, juga
disebabkan asal-usulnya
yaitu gerak. Makin banyak bergerak, makin
panas dan makin
berkeringat Tetapi pertanyaan tentang
asal-usul tenaga
Wiwaha yang sempurna itu, tetap tidak
terjawab. Mengapa
dan bagaimana caranya tenaga itu bisa muncul
dengan utuh
dan sempurna?
Ketika melihat Wulan dilukai Lembu Agra,
Wisang Geni
marah. Kemarahan yang luar biasa. Ketika
bertarung lawan
Sam Hong, pada saat kritis, dia pasrah. Dia
yakin bakal mati.
Itu sebab dan asal-usul munculnya tenaga
Wiwaha yang
dahsyat Pada situasi biasa, tenaga Wiwaha
itu muncul dan
tersalur dalam pukulan. Itu pun sudah sangat
ampuh. Namun
tenaga Wiwaha sempurna itu berlipat-ganda
kekuatannya,
jauh lebih dahsyat
Prawesti melihat Geni bersemedi. Merasa tak
ada lagi yang
perlu dikerjakan, dia melangkah keluar goa.
Bergabung
dengan murid lain, berlatih.
Wisang Geni mengingat-ingat pengalaman dua
tahun silam
di hutan dekat desa Wajak. Dia tidak bertemu
langsung
dengan Eyang Sepuh Suryajagad. Tetapi Eyang
Sepuh telah
memberi petunjuk melalui bisikan jarak jauh.
"Tidak sedih, tidak gembira, tidak
berani, tidak kuasa, tidak
birahi, tidak cinta, tidak selamat, tidak
mati. Delapan jalan
satu tujuan. Tidak sedih atau sedih, sama
saja. Ada atau tidak
ada, sama saja. Delapan dan satu, sama
saja."
Ternyata petunjuk itu berhasil memecah
kebuntuan
pemahaman rahasia jurus Garudamukha Prasidha
dan Jurus
Penakluk Raja. Pemahaman itu membuat tenaga
Wiwaha yang
diperolehnya di lereng gunung Lejar,
kekuatannya semakin
besar. Dengan pemahaman itulah dia
mengalahkan beberapa
jago kelas utama daratan Cina. Namun
pemahaman tersebut
belum bisa menyempurnakan tenaga Wiwaha menjadi
kekuatan yang utuh dan sempurna. Baru pada
saat kritis
ketika nyawanya di ujung tanduk, nyaris mati
oleh pukulan
Sam Hong, tenaga Wiwaha itu tersalur
sempurna dan
memukul balik Sim Hong. Belakangan dia
mencari tahu cara
penyempurnaan itu tapi sampai hari ini tetap
sia-sia. Ia
sendirian di goa. Ia masih merenung.
Ingatannya
menerawang ke Eyang Sepuh. "Jika Eyang
ada di sini
sekarang, aku yakin beliau bisa menjawab
rahasia ini."
Dia belum pernah bertatap muka dengan Eyang
Sepuh. Dia
pernah melihat Eyang dari jauh, itu pun
hanya punggungnya.
Ketika itu, usai dia mengalahkan dua
pendekar India, Malini
dan Kumara. Eyang berjalan menjauh. Eyang
Sepuh berjalan
seperti melenggang santai, tidak tampak
menggerakkan kaki
namun gerakannya sangat cepat. Dalam sekejap
orangtua itu
hilang dari pandangan mata. Hanya suara
kidungnya yang
masih terdengar, tanda tenaga dalam yang
sempurna.
Dia masih ingat kilasan peristiwa itu.
Kidung yang
dinyanyikan Eyang Sepuh Suryajagad, kidung
Penakluk Raja.
Mendadak Wisang Geni ingat bahwa kidung itu
merupakan
ciptaan Eyang Sepuh sendiri. Itulah yang
diceritakan para
tetua Lemah Tulis. Itu ciptaan Eyang, pasti
ada maknanya,
ada rahasianya. Ia mengingat syair kidung,
memahaminya
kata demi kata.
Ilmu dari seberang,
tak boleh tepuk dada di
tanah Jawa ini
Dari Gunung Lejar, jurus
Penakluk Raja.
Ilmu dari segala Ilmu
Melenggang ke Barat,
meluruk ke Timur
Merangsek ke Utara,
merantau ke Selatan
Tak ada lawan, tak ada
tandingan, ilmu dari segala ilmu
Tiba-tiba Wisang Geni berteriak girang. Tanpa
sadar ia
berkata kepada diri sendiri. "Bukankah
Utara adalah kepala,
Selatan itu kaki, Timur itu tangan kanan dan
Barat tangan kiri.
Lantas apa arti syair
ilmu dari seberang, tak boleh tepuk dada
di tanah Jawa ?. Apa
artinya dari Gunung Lejar, Jurus
Penakluk Raja, ilmu dari
segala ilmu?"
"Ketua, ilmu dari seberang tak boleh
tepuk dada di tanah
Jawa mungkin artinya serangan lawan tidak
boleh
mengalahkan pusat kekuatan diri. Tanah Jawa
itu kan pusat
kejayaan dan harga diri kita semua."
Geni menoleh. Dia melihat Prawesti duduk
bersila. Rupanya
gadis itu masuk ke goa tanpa diketahui Geni
yang sedang
tersita seluruh perhatiannya pada rahasia
kidung. Prawesti
tersenyum, seperti baru saja memecahkan
teka-teki mainan
anak-anak. Geni terkesiap. "Bagaimana
kamu bisa mengerti
itu? Apakah kamu tahu kidung itu?"
"Ketua, semua murid Lemah Tulis hafal
dan bisa
mendendangkan kidung Penakluk Raja, apanya
yang aneh."
Dia mengucapkan kata-kata itu seperti
sesuatu yang tidak
penting.
"Bagaimana kamu bisa memecahkan rahasia
itu?"
"Rahasia apa? Aku tak mengerti
maksudmu"
Sesaat Geni sadar dan mengerti. Dia tak bisa
menebak arti
syair karena dia berpikir dengan pemikiran
yang njelimet.
Prawesti tanpa sengaja bisa mengartikan
kalimat itu karena
dia berpikir secara sederhana.
Maksudnya memang sederhana. Memang harus
seperti itu,
serangan lawan tak akan bisa menembus pusat
kekuatan
selama kita menerapkan penguasaan Jurus
Penakluk Raja.
Dan kalimat "tak boleh tepuk
dada"artinya tidak boleh
membiarkan lawan menggoyahkan kepercayaan diri
sendiri.
"Tanah Jawa" artinya pusat
kekuatan diri. Pusat itu ada di
tengah, di dada. Jadi tenaga inti harus
dihimpun dan
dipusatkan di dada.
Mendadak laki-laki itu berlari memeluk
Prawesti,
menggendong dan melemparnya ke udara,
menangkap
kembali seperti mainan anak-anak Gadis itu
menjerit. Wisang
Geni berteriak girang. "Sempurna,
sempurna, luar biasa,
selama ini rahasia itu berada di ujung
hidung dan aku buta
tidak melihatnya, luar biasa. Terirnakasih
kekasihku."
Syair "dari Gunung LeJar, Jurus Penakluk
Raja, Ilmu dari
segala Ilmu", terpecahkan. Geni tahu,
di gunung Lejar itulah
rahasia Garudamukha Prasidha tersimpan
selama puluhan
tahun. Di gunung Lejar juga asal muasal ilmu
Garudamukha
diciptakan Baginda Raja Erlangga dan Empu
Barada. Dari
Garudamukha sebagai cikal bakal ilmu Lemah
Tulis lahirlah
Prasidha dan juga Jurus Penakluk Raja.
Geni secara kebetulan menemukan rahasia
Garudamukha
Prasidha di gunung Lejar. Dia temukan
rahasia itu sebelum dia
menemukan tenaga Wiwaha, juga di gunung
Lejar. Dan dua
penemuan itulah yang mengubah dirinya dari
seorang pesilat
biasa yang sedang terluka parah menjadi jago
nomor satu.
Dalam kidung ciptaannya, Eyang Sepuh
Suryajagad
memberitahu bahwa Garudamukha Prasidha hanya
bisa
sempurna menjadi Jurus Penakluk Raja jika berhasil
melalui
pengerahan seluruh tenaga dalam secara utuh.
Tenaga itu
dihimpun di pusat, di dada, kemudian
disalurkan ke kepala
dengan mulus sinambungan lalu menyalurkan ke
bagian kaki
dengan satu hentakan keras, begitu
sebaliknya. Demikian juga
penyaluran tenaga ke tangan kanan dan tangan
kiri, mengalir
perlahan mulus bersinambungan kemudian
dihentakkan ke
bagian tangan yang berlawanan.
Geni bangkit dari semedi, memainkan tujuh
jurus Prasidha
dengan pemahaman baru itu. Beberapa kali
mengulang
barulah dia berhasil menguasai dengan
lancar. Dia mengerti
kini hebatnya Garudamukka Prasidha. Tadinya
jurus Prasidha
yang dia gunakan dalam berbagai pertarungan,
hanya jurus
menghimpun tenaga serangan lawan kemudian
mengembalikan tenaga itu ke lawan. Sekarang
ini Prasidha
yang dia gunakan bisa jauh lebih hebat dari
itu. Dia bisa
menghisap dan menampung tenaga lawan,
kemudian dengan
tambahan tenaga sendiri, tenaga lawan itu
dikembalikan
menjadi serangan kepada lawan. Hebatnya
lagi, serangan
tidak terbatas pada lawan yang menyerang
tadi, tetapi bisa
juga kepada lawan lain. Artinya dalam
situasi dikeroyok,
Prasidha bisa menyedot tenaga lawan yang
satu untuk
dikembalikan dan dialihkan menjadi serangan
kepada lawan
yang lain. Kini Geni sadar, jurus
Garudamukha Prasidha
pemahaman baru inilah yang oleh Eyang Sepuh
Suryajagad
disebut Jurus Penakluk Raja. Jika tadinya ia
menggelar
Penakluk Raja dengan tenaga tidak penuh,
sekarang ia bisa
memainkan jurus itu dengan tenaga Wiwaha
yang penuh dan
total.
Dia sadar untuk melancarkan dan menyatukan
pemahaman
tenaga inti Wiwaha ke dalam tujuh jurus
Prasidha tidak bisa
dengan sekejap atau sekali coba. Butuh
waktu, tergantung
sering tidaknya berlatih. Semakin sering
dilatih memudahkan
jurus ini menyatu dengan pikiran dan
kemauan. Dia mengerti
sekarang alasan Eyang Sepuh menamai
kidungnya Jurus
Penakluk Raja.
Pengertiannya sederhana saja, raja adalah
penguasa
tertinggi yang punya kekuasaan atas pasukan
perang, punya
kekayaan tak terbatas. Raja memiliki
kekuasaan dan
kekayaan, dua hal yang membuat dia sebagai
penguasa di
muka bumi. Maka hanya "ilmu dari segala
ilmu" saja yang bisa
mengalahkan kekuasaan dahsyat itu. Artinya
jika ilmu itu bisa
menaklukkan raja yang begitu besar
kekuasaannya, maka bisa
juga mengalahkan lawan yang dahsyat sekali
pun.
Dengan penuh kegembiraan Geni memainkan
tujuh jurus
Prasidha dengan pengerahan tenaga Wiwaha.
Dia bersilat
dengan perasaan gembira Harta sesaat
kemudian berganti
suasana hati Glana (Sedih), Syura (Berani),
Prahhawa (Kuasa),
Raga (Nafsu), Kamuka (Cinta), Hayu (Selamat)
dan Kapejah
(Mati). Delapan suasana hati ini sebagaimana
petunjuk Eyang
Sepuh Suryajagad merupakan kunci memainkan
Jurus
Penakluk Raja. Pada mulanya masih agak kaku,
tetapi lambat
laun semakin lancar.
Sekilas Geni ingat cerita gurunya Manjangan
Puguh
bagaimana dalam perang Ganter, Eyang Sepuh
dengan
beberapa jurus sederhana berhasil melukai
pendekar
Lahagawe. Tanpa sadar Geni berkata.
"Mungkin saat itu Eyang
menggunakan rasa Harsa kemudian Syura dan
Prahhawa, dan
setelah Lahagawe terluka, Eyang dengan rasa
Glana (Sedih)
mendorong pergi pendekar Himalaya itu. Pada
tahapan usia
dan ilmu seperti itu Eyang merasa sedih jika
harus membunuh
seorang manusia."
Penemuan itu merupakan titik pencapaian
tertinggi bagi
Wisang Geni. Diawali kejadian mengobati
demam Prawesti,
berlanjut pada hubungan intim, keringat dan
panasnya birahi,
Geni kemudian hanyut dalam misteri
penyempurnaan Jurus
Penakluk Raja sebagai kunci ilmu leluhur
Lemah Tulis
Garudamukha Prasidha.
Selama tujuh hari melatih Jurus Penakluk
Raja Geni tak
pernah keluar goa. Dia makan dan minum
dilayani Prawesti.
Gadis ini tidak selalu berada di goa
melayani ketuanya, ia
sering berlatih bersama teman-temannya di
air terjun.
Hari kedelapan setelah penemuan misteri
Jurus Penakluk
Raja atau hari keempatpuluh tiga keberadaan
di air terjun,
Geni akhirnya bisa memainkan tenaga Wiwaha
secara utuh
dan sempurna. Jurus yang digunakan bertambah
matang dan
berkekuatan dahsyat, tujuh jurus Garudamukha
Prasidha,
empat jurus Wiwaha dengan delapan sikap
suasana hati.
Sekarang ini Geni bisa mengatur sendiri
kapan mau
memainkan tenaga Wiwaha secara utuh dan
sempurna.
Hari itu ketika dia keluar dari goa, berdiri
di atas batu cadas
agak jauh dari air terjun, terdengar tepuk
tangan ramai. Geni
melihat murid-murid Lemah Tulis yang tadinya
sedang
berlatih, berhenti semuanya dan bertepuk
tangan menyambut
ketuanya.
Dia melihat Prawesti berada di antara para
murid. Gadis ini
tersenyum. Dia yang memberitahu bahwa sang
ketua selama
beberapa hari ini tidak bisa hadir dalam latihan
bersama
karena sedang memperdalam ilmu pusaka Lemah
Tulis
Prasidha.
Seorang diantara mereka, Prastawana, murid
pertama
Branjangan, bergerak maju. Dia lebih tua
dari Geni baik usia
maupun silsilah. Branjangan murid kedua
Eyang Rama
Balawan, sedang guru Geni yakni Padeksa
murid ketiga Rama
Balawan. Meskipun demikian, Prastawana
sangat
menghormati Geni. Tak cuma lantaran dialah
ketua Lemah
Tulis, juga ilmu silatnya yang begitu
menakjubkan.
Prastawana memberi hormat. "Selamat
ketua, semoga dengan
ilmu itu kau bisa mengangkat nama Lemah
Tulis lebih harum
lagi. Maaf ketua, kami semua mohon kamu
memperlihatkan
ilmu pusaka dari leluhur kita itu."
Geni tertawa. "Kakang Prastawana, kau
mau menjajal
aku?"
Prastawana mundur dengan wajah pucat
"Jangan ketua,
jangan, aku tak akan tahan. Dan kami semua
tak akan bisa
melihat kehebatannya karena pasti kau hanya
mengerahkan
sebagian tenaga, jika seluruh tenaga maka
aku pasti binasa.
Ada lawan yang lebih hebat untukmu."
"Kamu licik, mau mengadu aku dengan
siapa?"
"Maaf Ketua, dia ada di
belakangmu"
Geni melihat ke belakang. Tak ada
siapa-siapa. Geni
membalik badan, tetapi Prastawana sudah
berada di tepi
sungai. Geni berseru, "Apa maksudmu,
kakang ?”
Semua murid tertawa, sambil menunjuk ke
belakang Geni.
Kini Geni mengerti. "Oh kalian semua
sudah sekongkol,
rupanya."
Geni menghela nafas panjang, memenuhi
parunya dengan
udara bersih pegunungan. "Baik,
perhatikan, aku akan
mainkan tujuh jurus Prasidha ilmu dari
leluhur kita, yang tiap
jurus bisa dimainkan dalam delapan suasana
hati, maka
seluruhnya ada limapuluh enam jurus
Prasidha, inilah yang
disebut Jurus Penakluk Raja. Jadi Jurus
Penakluk Raja adalah
jurus Prasidha yang dikembangkan. Ini
kuperoleh dari
wejangan Eyang Sepuh Suryajagad. Dan tenaga
dalam yang
kugunakan adalah tenaga Wiwaha warisan
guruku pendekar
Lalawa, ilmu ringan tubuh dari guru
Manjangan Puguh dari
perguruan Merapi. Perhatikan!"
Geni menggelar jurus lima Prasidha yakni
Prasada
Atishasba (Puncak menara tinggi) sambil
melompat ke sungai
dengan ilmu ringan tubuh Waringin Sungsang.
Tampak Geni
berjalan di permukaan air. Tiba di air
terjun, Geni melompat
menerobos curah air yang deras, menggunakan
jurus
Akwamatyana (Aku yang akan membunuh) dari
Prasidha, air
tersibak terbelah oleh tenaga dahsyat Lalu
jurus
Kacakrawartyan (Penguasaan bumi). Dua tangan
Geni
menjura ke atas. Geni memainkan dalam
suasana hati Harsa
(Gembira) berubah ke Syura (Berani) dan
Prahhawa (Kuasa).
Air terjun tersibak ke sana sini, di seputar
tubuh Wisang Geni.
.
Semua murid Lemah Tulis terkagum-kagum. Tak
seorang
pun bersuara. Rasanya tak mungkin ada
manusia yang
sanggup menahan bobot air terjun di atas
kepala. Tetapi
ketua mereka mampu melakukannya. Mungkin
jika hanya
mendengar cerita orang, mereka akan sulit
percaya. Setelah
puas memperlihatkan jurus Garudamukha
Prasidha, ketua Lemah Tulis itu melompat ke
air dan
berjalan santai ke tepi sungai. Berjalan
santai di atas
permukaan air, adalah jauh lebih sulit
ketimbang berlari di
atas air.
Semua murid Lemah Tulis, berlutut memberi
hormat.
Terdengar isak tangis. Geni menoleh, dia
mengenal dua murid
ayahnya, Gajah Nila dan Gajah Lengan Sambil
menahan isak,
Gajah Nila berkata, "Hari ini aku
bahagia, melihat ilmu silat
ketua yang begitu dahsyat. Pasti guruku yang
mulia akan
bangga di alam baka menyaksikan kehebatan
putranya.
Maafkan aku, kalau mendadak saja aku jadi
cengeng."
Latihan di air terjun berlanjut. Geni
terkadang berlatih di
dalam goa, terkadang melatih murid-muridnya.
Setelah dua
bulan bermukim dan berlatih di air terjun,
rombongan kembali
ke perdikan. Semua murid merasakan
semangatyang
bergelora dan rasa percaya diri serta
kebanggaan sebagai
murid Lemah Tulis.
Masih terngiang di telinga mereka, kata-kata
Geni. "Aku
bisa sampai ke tingkat ini, karena aku terus
berpikir dan
berlatih. Aku merasa yakin ilmu silat ini
begitu mulianya
sehingga pantaslah jika harus menyita
seluruh umur kita untuk
belajar dan berlatih. Camkan itu,
saudara-saudaraku!"
Suatu pagi, beberapa hari setelah kembali
dari air terjun,
Geni terjaga dari tidur karena ada tetesan
air mengenai
wajahnya. Dia membuka mata, melihat wajah
Prawesti,
sepasang mata gadis itu menatap nakal. Wajah
dan rambut
gadis itu masih basah. Prawesti baru selesai
mandi. Dia cantik,
kecantikan yang sangat menggoda.
"Ketua, sarapan pagi sudah siap, silahkan
makan."
Prawesti hendak beranjak tapi tangan Geni
memegang
lengannya, "Jangan pergi dulu."
Geni menarik gadis itu ke
dalam pelukannya. Tubuh Prawesti masih
basah, ada sisa-sisa
air bekas mandi. Dingin tetapi hangat
"Westi, kau membuat
aku tergila-gila, kau cantik dan menarik,
pagi ini aku seperti
melihat seorang dewi."
Tubuh Prawesti menggelinjang ketika tangan
Geni meraba
dan mengelus pahanya. "Ketua, kau masih
mau lagi, semalam
kau hampir membunuhku"
Geni berbisik. "Kau capek?"
Prawesti menggeleng, rambutnya yang basah
menyapu
wajah lelaki itu. "Aku sudah janji akan
selalu melayanimu"
Pagi beranjak ke siang, matahari mulai
terik. Geni
bersemedi, Prawesti berbaring, kepalanya di
pangkuan Geni.
Gadis itu selalu tertidur setelah permainan
nafsu selesai. Geni
membuka mata, membangunkan gadis remaja itu.
"Adik
Westi, ada tugas untukmu. Mulai hari ini kau
melapor
kepadaku apa saja yang dilakukan Raditin dan
Kirana. Selain
itu, kau juga melapor semua perkembangan di
perdikan. Ini
rahasia, kau sanggup?"
Mata gadis itu membelalak. "Ada apa
dengan dua kakang
mbok itu, ketua. Apakah ada ancaman
bahaya?"
Geni menggeleng. "Aku hanya ingin tahu
apakah dua murid
itu melakukan pekerjaan yang kutugaskan
kepada mereka,
bahaya memang selalu akan mengancam kita,
banyak musuh
yang ingin melenyapkan Lemah Tulis, jangan
lupa, tugas ini
rahasia!"
Prawesti bangkit, duduk berhadapan.
"Ketua, aku ingin
belajar dan melatih ilmu Wiwaha,
boleh?"
Geni diam. Dia ingat bahwa selama dua bulan
belakangan
ini dia sudah menurunkan hampir semua ilmu
silatnya kepada
gadis itu. Meski Prawesti belum menguasai
namun dia tetap
menjejalinya dengan pelajaran lisan yang
harus dihafal.
Menurut aturan hanya murid lapis pertama
yang boleh
mempelajari Prasidha. Prawesti beruntung, ia
satu-satunya
murid lapis dua yang boleh mempelajari
Prasidha. Ia
dibimbing langsung oleh ketua, bahkan juga
Jurus Penakluk
Raja. Hanya ilmu yang diperoleh Geni dari
Manjangan Puguh
yakni Bang Bang. Aum Alum dan Waringin
Sungsang yang
tidak diajarkan karena harus mendapat ijin
dari pemiliknya.
Hanya lantaran belum memiliki tenaga dalam
setangguh
Wiwaha maka gadis itu belum bisa memainkan
Prasidha
secara sempurna. Ia berlatih sampai batas
tertentu,
selebihnya ia dipaksa menghafal semua teori
secara lisan.
Saking heran pada suatu hari dia bertanya
pada Geni.
Waktu itu Geni menjawab, "Westi, aku
punya banyak musuh,
tak ada jaminan aku bisa hidup terus, jika
aku mati, aku tidak
ingin semua kepandaian ini ikut terkubur.
Aku ingin ada yang
meneruskan. Kamu kupilih, karena kau satu-satunya
orang
yang paling sering berada di dekatku
sehingga kapan saja aku
bisa mengajarimu Kau pun cerdas, bisa
mengingat semua
yang kuajarkan."
Geni masih diam. Prawesti menepuk pahanya.
"Kamu
belum menjawab permohonanku belajar
Wiwaha."
"Sulit, adik. Sulit sekali. Mungkin
bisa jika hanya berlatih
tenaga panasnya saja. Sebenarnya tenaga
dalammu sudah
banyak maju sejak berlatih Prasidha, tapi
kenapa kau ingin
sekali melatih Wiwaha, kenapa Westi?"
Prawesti merunduk, wajahnya merah, malu.
"Supaya sehat,
katamu Wiwaha membuatmu jadi perkasa. Aku
ingin bisa
melayanimu selama-lamanya."
Geni terharu Tak menyangka gadis ini sangat
menyintainya.
Geni memeluk dan mengelus-elus kepalanya.
"Akan kupikirkan
caranya, sekarang kau pergi jalan-jalan
mengawasi dua wanita
itu, aku mau semedi."
---ooo0dw0ooo---
Limabelas Purnama
Lembu Agra duduk semedi. Dua tangan
terentang ke
samping. Kepalanya tengadah. Nafasnya
lembut, nyaris tak
ada suara sedikit pun. Dari ubun-ubun kepala
tampak uap
tipis. Uap tipis itu melingkar-lingkar dan
melayang di atas
kepalakemudian lenyap. Uap tipis itu
bermunculan lagi,
demikian seterusnya.
Dia lelaki berusia separuh abad, tampan dan
agak kurus.
Wajahnya bulat telur, sepasang matanya
cekung dan sipit.
Rambutnya panjang dikuncir. Kumisnya tipis
tercetak di bawah
hidung yang agak bangir dan mulut yang
berbibir tebal.
Dia bersemedi di salah satu kamar dalam
lingkungan
keraton Kediri Kamar yang indah dan tertata
rapi. Dua gadis,
muda dan cantik, duduk di pojok kamar.
Keduanya dayang
yang siap melayani semua kemauan Lembu Agra.
Lelaki itu menggerakkan tangan. Posisi
tangannya berubah
menjadi terentang ke depan. Sesaat kemudian
wajahnya
berubah merah seperti kepiting direbus. Uap
tipis semakin
banyak dan tebal keluar dari mulut dan
hidungnya.
Tak lama kemudian wajahnya berubah lagi dari
merah
menjadi hijau lantas kelabu dan beralih ke
pucat Dia sedang
melatih tenaga dalam tingkat tinggi bagian
dari ilmu Pitu
Sopakara. Sudah dua bulan dia memperdalam
latihan
semedinya. Sejak matahari terbit sampai terbenam
Seharian ia
bersemedi. Menjelang malam Lembu Agra
membuka matanya.
Ia telah menyelesaikan latihannya.
Setelah pertarungan di hutan ketika ia
membunuh Walang
Wulan, ia berlatih keras. Ia tahu bahwa
Wisang Geni sangat
perkasa. Ilmu Pitu Sopakara tingkat lima
yang dikuasainya,
masih kalah. Hari ini tepat dua bulan sejak
peristiwa di hutan
itu, ia menyelesaikan tenaga Pitu Sopakara
tingkat enam.
Hanya tinggal satu tangga lagi menuju
tingkat tujuh yakni
kesempurnaan tenaga dengan sebelas jurus
Pitu Sopakara.
Ilmu Pitu Sopakara pada tingkatan awal
membutuhkan
waktu sampai dua tahun untuk mendalaminya.
Pada tingkat
dua sampai empat, pencerahan ilmu semakin
pelik sehingga
bagi orang yang cerdas dengan bakat istimewa
diperlukan
waktu sembilan tahun. Pada tingkat lima
dibutuhkan waktu
lebih lama lagi, lima tahun.
Pada tingkat berikutnya waktu yang
diperlukan sangat
singkat karena hanya merupakan pendalaman
dan
penyempurnaan apa yang sudah diperoleh pada
tingkat
sebelumnya. Tingkat enam, pendalaman tenaga
inti dan
meleburkannya ke sebelas jurus, bisa
diperoleh dalam waktu
sekitar dua bulan. Pada tingkat tujuh,
tingkat penyempurnaan
diperlukan waktu sekitar empatbelas sampai
duapuluh hari.
Untuk sampai pada penyempurnaan tingkat
tujuh
diperlukan persyaratan berat Selama tujuh
hari pertama,
harus dilakukan semedi melatih tenaga batin
terus menerus
tanpa henti. Tak boleh diganggu, bahkan
makan dan minum
pun harus dilupakan. Lulus dari tahapan
sulit ini, boleh
istirahat dan boleh melakukan apa saja.
Tahap berikutnya
mempersiapkan diri memasuki latihan yang
paling sulit.
Tahapan akhir, menggunakan tenaga batin
menerapkan daya
magis dan sihir ke dalam setiap jurus Pitu
Sopakara. Pada
tahapan ini seseorang bisa berhasil
menguasai ilmu ini dengan
sempurna, tetapi jika gagal maka dia bisa
gila bahkan bisa
kehilangan nyawa, karena tenaga inti yang
sudah dikuasainya
pada enam tingkatan sebelumnya akan berbalik
menghantam
diri sendiri.
Lembu Agra tahu persis bahaya ini, tetapi
dia telah
memutuskan menempuh jalan nekad. Dia yakin jika
telah
menguasai tingkat tujuh, bukan hanya Wisang
Geni yang bisa
dihadapinya, dia bahkan tak akan menemukan
tandingan di
rimba persilatan. Dan untuk mimpi besar
seperti itu layak jika
ia mempertaruhkan nyawa.
Begitu yang pernah dituturkan ayahnya ketika
menurunkan
ilmu ini secara lisan saat dia masih berusia
sepuluh tahun.
Selama satu tahun dia harus menghafal Pitu
Sopakara.
Ayahnya, ketua partai Tur angga, juga
pewaris tunggal ilmu
Pitu Sopakara. Ilmu ini memang hanya
diturunkan secara
turun-temurun. Dari kakek sampai ke ayahnya
dan kini dia
satu-satunya pewaris.
Lembu Agra sadar bahwa jika dia gagal di
tingkat tujuh,
bukan hanya nyawanya yang melayang bahkan
mungkin saja
ilmu Pitu Sopakara ikut terkubur bersamanya.
Tetapi dendam
itu telah membakar dirinya sepanjang hidup,
sejak masih kecil
ketika menyaksikan ayah dan keluarganya
serta hampir
seluruh murid Turangga mati mengenaskan.
Selama ini dia
hidup hanya karena dendam. Tidur, makan dan
berlatih silat
dibakar dendam. Dendam itu menjadi kawannya
paling setia,
menjadi bagian dari hidupnya, seperti
bayangan dirinya.
Peristiwa tragis itu terjadi ketika ia
berusia duabelas tahun.
Orang-orang Lemah Tulis dan beberapa
pendekar tangguh
dari perdikan lain datang meluruk dan
menghancurkan
perguruan Turangga. Alasannya, Turangga
adalah perguruan
sesat, murid-muridnya banyak melakukan
kejahatan.
Ayahnya mati di tangan Rama Balawan, ketua
Lemah Tulis.
Paman, ibu serta beberapa selir ayahnya mati
dalam tarung
dengan Bergawa dan kawan-kawannya. Dia masih
ingat
sebelum ajal, ayahnya memberi wejangan yang
selalu
diingatnya. "Anakku, aku mati lantaran
malas berlatih, aku
hanya sampai di tingkat lima. Maka kau harus
berlatih keras,
jika menyelesaikan tingkat tujuh, kau tidak
akan menemukan
tandingan, kau akan menjadi pendekar nomor
satu" Partai
Turangga punah. Semua murid-muridnya mati
atau lari cerai
berai. Sedikit yang berhasil meloloskan
diri. Seorang di
antaranya yang lolos, Lembu Agra. Dua
lainnya saudara
perguruan ayahnya, Jaran Dawuk dan Cakarwa
juga lolos.
Usai tragedi berdarah itu, ia mendatangi
Lemah Tulis. Ia
menyamar sebagai anak yang tak punya
orangtua dan
diterima sebagai murid Dia berlatih ilmu
andalan
Garudamukha namun diam-diam juga berlatih
Pitu Sopakara.
Belasan tahun, tak seorang pun di Lemah
Tulis yang curiga.
Sampai hari itu, ia mulai melancarkan balas
dendam. Ia
menabur racun pelemas tulang ke dalam
kendi-kendi air
minum
Racun itu membuat para tokoh Lemah Tulis dan
semua
muridnya keracunan sehingga mudah menjadi
korban
serangan pasukan dari keraton Ken Arok
Tetapi ia belum puas,
karena tidak semua orang Lemah Tulis mati.
Belakangan
orang Lemah Tulis mengetahui siapa dia
sebenarnya, tetapi ia
tak peduli. Sekarang ia tak perlu sembunyi
lagi.
Dua tahun belakangan ini Lemah Tulis menjadi
kuat
kembali. Semua murid-muridnyayang dulunya
cerai berai
kembali ke perdikan Wisang Geni diangkat
menjadi ketua. Di
perdikan itu juga masih ada dua u >koh
sepuh yang ilmunya
tak kalah dari Wisang Geni, yakni Padeksa
dan Gajah Watu.
Dan masih banyak murid angkatan kedua, yakni
murid
Bergawa, Branjangan, Padeksa dan Gajah Watu.
Tujuan hidup Lembu Agra, hanya balas dendam.
Dia telah
bersumpah akan menumpas habis Lemah Tulis
sampai lenyap
dari muka bumi Tak boleh ada yang tersisa.
Kematian
ayahnya, ibunya, kakak-kakaknya harus
dibalas. Matinya
Bergawa dan Branjangan serta sebagian besar
murid
utamanya, belum cukup. Lemah Tulis masih
berdiri bahkan
sekarang ini makin megah dan kuat. Ratusan
murid berlatih
silat di perdikan itu. Sekarang ini Lemah
Tulis bersama
Mahameru dan Brantas disebut sebagai tiga
perdikan besar di
Tanah Jawa.
Dendamnya bahkan lebih besar ketimbang cinta
dan
nafsunya terhadap Wulan, perempuan yang
bertahun-tahun
dicintainya. Dia begitu mencintai Walang
Wulan, tetapi ketika
perempuan itu memutuskan menjadi isteri
Wisang Geni,
perasaan cintanya berubah menjadi kebencian.
Dendam semakin membara. Sebagian dendam
terlampiaskan ketika dia menikmati saat-saat
membunuh
Wulan sekaligus melukai batin Wisang Geni.
Tetapi itu belum
cukup, dia berjanji akan membunuh lebih
banyak lagi murid
Lemah Tulis.
Lembu Agra tertawa puas. "Hari ini aku
selesai dengan
tingkat enam. Aku butuh duapuluh hari untuk
menyempurnakan tingkat akhir, jika gagal pun
aku tak
menyesal. Gila atau mati pun aku tak
menyesal. Aku hanya
mengharap arwah ayah, ibu dan saudaraku
membantuku.
Setelah itu hanya waktu dan nasib yang akan
menjadikan aku
pendekar nomor satu tanah Jawa."
Dia memberi isyarat kepada dua pelayan
wanita, minta
dipijat. Seorang memijat pundaknya, seorang
lainnya di
bagian betis dan telapak kaki. Tak hanya
memijat, pelayan itu
merangkap budak seks. Lembu Agra bebas
memilih dan
meniduri semua pelayan di bagian keraton
itu.
Malamku berlangsung jamuan makan di bangunan
sebelah
kanan keraton, bangunan mewah dan cukup
besar, tempat
tinggal Lembu Ampai Sebagai mapatih,
kekuasaan dan
kewenangannya sangat besar. Dia orang kedua
yang paling
dipercaya Raja Kediri Panji Tohjaya. Orang
pertama adalah
penasehat raja, Mahamenteri Pranaraja, tokoh
sakti yang
jarang muncul di depan umum
Di ruangan dalam di meja utama yang terletak
di pojok
bagian dalam, Lembu Ampai, Lembu Agra dan
Kalandara
sedang bersantap.
Di meja lain di bagian tengah ruangan, duduk
tiga murid
Kalandara yakni Kemara, Dumilah dan
Manohara. Empat lelaki
menemaninya. Dua di antaranya berusia lebih
dari separuh
abad adalah paman guru Lembu Agra yakni
Jaran Dawuk dan
Cakarwa Dua lainnya, kepala pasukan elit
keraton Kediri,
Patlikur Sinelir. Ketuanya adalah seorang
lelaki berusia
empatpuluhan, Senopati Samba, julukannya si
Pedang Hitam.
Ia duduk berdampingan dengan wakilnya,
Hanggada,
julukannya si Kera Sakti. Di serambi depan
sekitar tigapuluh
orang berjaga-jaga
Sambil menikmati santapan yang lezat, Lembu
Ampai
bertanya kepada Kalandara dan Lembu Agra,
siapa saja tokoh
silat yang bisa diajak kerjasama mengabdi
kepada Raja Kediri.
Setelah bertukar-pikiran akhirnya dicapai
kesepakatan
bersama. Tujuh pendekar utama yang
dipastikan mau
bergabung.
Karta dijuluki Si Gila dari Ujung Kulon,
pendekar aneh yang
suka mabuk-mabukan terkenal dengan senjata
cemeti
beracun. Pendekar Ujung Kulon ini diharap
datang bersama
dua saudara perguruannya yang sama hebat,
Parma dan
Sakerah. Seorang lainnya, pendekar yang
tidak dikenal
namanya, tetapi lebih dikenal dengan julukan
Belut Putih,
hebat tenaga dalam dan ilmu gulatnya. Dua
nenek kembar
dari Segoro Kidul, Prameswari dan Kameswari,
yang memiliki
ilmu tampar dan permainan keris
bersatu-padu. Bayangan
Hantu, pendekar baju hitam yang terkenal
ilmu ringan
tubuhnya sehingga dijuluki bayangan,
senjatanya pedang tipis
dan serbuk pasir beracun.
"Kita tak perlu mengajak mereka
bergabung ke Keraton
Kediri karena belum pasti mereka bersedia.
Tetapi mereka
mau gabung jika kita bangkitkan dendam
amarah dan rasa
permusuhan terhadap Lemah Tulis dan
Mahameru," kata
Kalandara tertawa
"Sambil menanti orang-orang itu, apa
yang harus kita
lakukan?" tanya Lembu Agra
Kalandara menyingsingkan lengan baju. Ia
melonjorkan
lengannya yang putih mulus. Tanpa menyentuh
apa pun,
sepotong paha ayam yang berada di ujung meja
tersedot ke
tangannya "Aku akan memulai perang
dengan Lemah Tulis,
membunuh setiap murid Lemah Tulis yang
kujumpai di tengah
jalan, mengirim mayatnya ke sana. Selain itu
aku akan
mengutus muridku menyelidiki keberadaan
Wisang Geni,
sampai hari ini aku tak mendengar sesuatu
pun tentang
pendekar itu, ia seperi lenyap ditelan
bumi."
Lembu Ampai memberi hormat kepada Kalandara.
"Nyi
Kalandara, jika engkau sudah memulai perang,
maka aku akan
sangat berterimakasih. Sementara ini aku dan
adik Lembu
Agra akan tetap di keraton, menanti
kedatangan para tamu
Jangan lupa, setiap waktu kau bisa datang ke
rumahku ini."
Usai jamuan makan, Kalandara bersama tiga
muridnya
diantar ke kamar masing-masing. Lembu Agra
berkata kepada
Lembu Ampai. "Kangmas Ampai, aku minta
bantuanmu, aku
akan mengunci diri selama duapuluh hari, tak
boleh ada
gangguan, apa pun yang terjadi di kamarku
tak boleh ada
orang yang masuk."
"Ah itu perkara gampang, aku akan
perintahkan orangorang
kuat untuk mengawal kamarmu Dinas."
Lembu Agra menyendiri di kamar. Lembu Ampai
menyusup
ke kamar Kalandara. Senopati Samba ke kamar
Dumilah.
Hanggada di kamar Kernara. Hanya Manohara si
perawan
cantik itu tidur bersama dua murid wanita.
Kalandara memang
menjaga ketat murid perawan ini yang
sebenarnya adalah
putri pungutnya. Ia memaksakan agar kamar
Manohara
bersebelahan dengan kamarnya.
---ooo0dw0ooo---
Keraton Tumapel sedang berpesta. Raja Sri
Jayawisnuwadhana Sang Mapanji Seminingrat
yang nama
kecilnya Ranggawuni hatinya sedang
berbunga-bunga. Karena
tujuh hari lalu dia baru saja dikaruniai
seorang bayi lelaki
Seorang putra mahkota.
Sudah tujuh hari tujuh malam Ranggawuni
menggelar
pesta rakyat dan membagi-bagi hadiah kepada
seluruh
rakyatnya. Hampir separuh dari seluruh beras
yang bertumpuk
di gudang keraton, dibagikan kepada rakyat.
Dan orang yang
dipercaya untuk melaksanakan amanah itu
adalah Narasing
amurti alias Mahisa Campaka, iparnya yang
setia.
Di dalam keraton, di keputren kamar
permaisuri, Waning
Hyun sedang dilayani beberapa pelayan. Minum
jamu, pijat
khusus, sampai pesolekan mempercantik diri
dikerjakan
dayang-dayang yang semuanya masih muda-muda
dan cantik.
Tiga dayang yang menjadi pimpinan berusia
sekitar
empatpuluhan.
Bagi dayang-dayang itu menjadi abdi dalem
yang khusus
melayani permaisuri adalah kebanggaan dan
kehormatan.
Apalagi junjungan mereka, sang permaisuri,
telah melahirkan
seorang putra mahkota. Semua dayang-dayang
itu mendapat
hadiah dari permaisuri.
Waning Hyun, perempuan muda yang cantik.
Tidak ada
tanda-tanda ia baru melahirkan. Tubuhnya
yang dibungkus
kulit putih mulus masih tampak indah.
Wajahnya cantik
bersinar-sinar memancarkan makna
kebahagiaan. Seperti
umumnya, permaisuri raja akan sangat bahagia
dan merasa
aman jika anak pertamanya adalah laki-laki.
Dapat dipastikan
anak itu akan menjadi putra mahkota. Itu
artinya kedudukan
permaisuri akan aman sepanjang usianya.
Apalagi jika saatnya
tiba, putranya menjadi raja.
Santapan malam sudah siap di meja besar.
Raja Sang
Mapanji Serniningrat duduk berdua
permaisuri. Tampak sekali
pasangan nomor satu keraton Tumapel berada
di puncak
kebahagiaan. Tetapi dalam rasa bahagianya,
Ranggawuni
tampak sedikit kesal.
Waning Hyun mengetahui ada sesuatu yang
mengganggu
pikiran suaminya. Sudah lima tahun dia
mengenal watak dan
sikap Ranggawuni meski baru satu tahun ini
menjadi isterinya.
Sejak petualangan mereka ketika
dikejar-kejar orang bayaran
Panji Tohjaya sampai saat-saat menjadi Yang
Dipertuan
Agung di keraton Tumapel ia selalu
mendampingi kekasihnya
itu. "Ada apa Mas, kamu kelihatan
kesal, pasti ada urusan
besar."
Memang selama ini Waning Hyun jika hanya
berduaan
dengan suaminya tak pernah menggunakan
bahasa keraton.
Mereka lebih suka berbahasa kasar
sebagaimana di dunia
kependekaran. "Gila benar, Lembu Ampai
orang kepercayaan
Panji Tohjaya semakin gila. Dia kini mengundang
banyak
tokoh silat kelas utama ke istana Kediri,
sepertinya dia
menyusun kekuatan. Terus terang aku merasa
khawatir."
"Sumber berita itu dari mana,
Mas?"
"Tentu saja sumber yang pasti
kebenarannya, kangmas
Mahisa Campaka yang menceritakan. Dia punya
mata-mata di
kalangan istana Kediri."
Waning Hyun terkejut mendengar berita itu.
Apalagi
suaminya menceritakan tidak lama lagi
orang-orang itu sudah
berkumpul di istana Kediri. Semuanya
pendekar kelas utama.
Sudah pasti Pranaraja, penasehat keraton
yang terkenal
cerdas dan menguasai ilmu silat tingkat
tinggi berada di balik
rencana itu. Juga ada Lembu Ampai, mapatih
yang ilmu
silatnya tinggi Para pendekar undangan itu
antara lain Lembu
Agra, Kalandara, Si Gila Ujung Kulon dan dua
saudaranya,
Belut Putih, Nenek Kembar dari Segoro Kidul,
Bayangan Hantu
"Kelihatannya kekuatan Kediri bukan
main-main, sekarang
apa rencanamu, Mas?"
"Aku berbincang dengan Dimas Mahisa
Campaka dan
paman Pamegat, kita juga akan menghimpun
para pendekar
kelas utama sahabat kita. Tetapi itu hal
yang tidak mudah
mengingat biasanya mereka tak mau terlibat
pertarungan
kekuasaan macam ini. Aku bingung."
Waning Hyun tersenyum, teringat seseorang.
"Ada orang
yang pasti mau membantu kita. Dia Wisang
Geni, kakak
perguruanku. Mungkin juga sebagian murid
utama Lemah
Tulis, juga guru Gajah Watu dan paman
Padeksa."
"Mana mau Wisang Geni membantu, sejak
dulu ia sudah
pasang jarak dengan keraton Tumapel. Kau
ingat kan dia
selalu kaku. Kita juga tak tahu bagaimana
keadaannya setelah
isterinya terbunuh dua bulan lalu. Aku
dengar dia bertapa
menyendiri, entah di mana."
"Aku tahu dia di mana, dia tidak pergi
ke mana-mana, dia
tetap di Lemah Tulis hanya tak mau ditemui
orang. Dia pasti
mau membantu kita."
"Diajeng, aku sedang berpikir apakah
perlu minta bantuan
dari perdikan Mahameru dan Brantas, selama
ini hubunganku
dengan dua perguruan itu berjalan
baik."
"Begitu pun bagus, pasti Mahameru dan
Brantas mau
membantu karena setahuku para pendekar yang
bergabung
ke Kediri punya hutang piutang darah dengan
Mahameru dan
Brantas. Tetapi tentang Wisang Geni, kau tak
usah khawatir,
suamiku. Kau tahu, Wisang Geni itu masih
punya hutang janji
padaku. Aku boleh minta apa saja dan akan
dia laksanakan,
itu janjinya padaku. Sekarang ini aku akan
menagihnya, dia
pasti mau. Lagipula hitung-hitung dia itu
kakak perguruanku,
wajib baginya membantu kesulitan
adiknya."
Ranggawuni meninggalkan keputren. Ia
memanggil
iparnya, Mahisa Campaka dan pembantu
setianya Panji
Patipati alias Sang Pamegat. Dia menuturkan
pembicaraannya
dengan isterinya. Terutama perihal minta
bantuan dari Wisang
Geni, Mahameru dan Brantas. Dua pembantunya
sangat
setuju terutama jika bisa memperoleh bantuan
Wisang Geni.
Untuk menemui Wisang Geni, diutuslah dua
pendekar
wanita, anggota dari delapanbelas pasukan
elit Tumapel. Trini
pendekar nomor tiga dan Ekadasa pendekar
kesebelas.
Keduanya membawa tusuk konde permaisuri.
Jika benda itu
diperlihatkan kepada Wisang Geni, pasti dia
akan
mengabulkan permintaan permaisuri. Untuk
menemui ketua
perdikan Mahameru dan Brantas, juga diutus
masing-masing
dua anggota pasukan istana Tumapel.
Diharapkan dalam
waktu satu bulan sudah ada kabar
kepastiannya.
Perahu layar itu merapat di pelabuhan
Jedung, di muara
sungai Porong. Ukurannya yang besar tampak
mencolok
dibanding semua perahu layar yang berlabuh
di pelabuhan.
Kapal itu datang dari Kuangchou, singgah di
Pucet dan
Malaka. Pelayaran ditempuh ligapuluh hari
lebih sejak dari
Kuangchou. Semua penumpang adalah pedagang
asing, dari
Cina, India, Melayu, Gujarat.
Pelabuhan tampak ramai. Kuli-kuli memanggul
barang
dagangan memindahkan ke perahu-perahu kecil.
Sebagian
pedagang memilih jalan sungai Porong untuk
mencapai desa
tujuan. Sebagian lain menggunakan kereta
kuda, tergantung
letak desa yang dituju.
Seorang lelaki berewok bertubuh tambun
berdiri di
jembatan kecil yang menghubungkan kapal
dengan dermaga.
Dia mempersilahkan semua penumpang untuk
makan siang.
Dia memberikan potongan kulit yang sudah
diberi tanda
sebagai alat bayar makan gratis di warung
makan di dermaga
yang berada tidak jauh dari kapal.
Serombongan orang asing, jumlahnya
empatbelas orang
memasuki rumah makan. Sebelas di antaranya,
tujuh lelaki
dan empat wanita, berpakaian celana longgar
dan baju lengan
panjang longgar, warnanya aneka macam. Dari
dandanannya
membedakan mereka datang dari daratan Cina.
Tiga orang
lainnya, wanita semua, pakaian serta
dandanan sangat beda.
Mereka mengenakan celana longgar. Bagian
atas hanya dililit
kain panjang sebatas perut, sehingga bagian
sekitar pusar
terbuka. Ketiganya berambut panjang
dibiarkan terurai
melewati bahu. Salah seorang mengenakan
pakaian warna
hitam, sangat kontras dengan kulit tubuhnya
yang putih. Dua
temannya sama berbusana warna hijau. Mereka
datang dari
India.
Dua rombongan itu duduk di meja berdekatan.
Rombongan
dari Kuangchou berkumpul di satu meja.
Kelompok tiga wanita
tadi ditempatkan di meja panjang bersama
lima pedagang
yang dari tampang serta pakaiannya adalah
penduduk
setempat. Salah seorang dari lima pedagang
itu,
memperlihatkan sikap genit. Tampaknya dia
pemimpin
rombongan. Empat orang lainnya adalah anak
bualan ya. Dia
menatap gadis berbaju hitam dengan penuh
kagum. "Aduh
cantiknya, aku mau satu malam bersamanya
ditukar dengan
separuh barang dagangan yang aku bawa."
Temannya yang berewok dengan golok panjang
di
dekatnya, tertawa kecil. "Pak Lurah,
tahu persis barang bagus.
Nanti aku yang menjadi mak comblangnya, tapi
aku mau pakai
bahasa apa, dia datang dari mana ya, dari
Malaka ya?"
Temannya yang seorang, kurus jangkung dengan
kumis
tebal, ikut tertawa. "Wah, kalau aku,
aku mau sama
perempuan kawannya yang berbaju hijau di
ujung sana,
lihatlah, dia tak kalah cantiknya."
Orang-orang itu terkejut ketika wanita
cantik yang berbaju
hijau itu berkata sinis, "Kau mau tahu
harga sewa majikanku,
harganya sama dengan nyawamu"
Berkata demikian, wanita itu menggerakkan
tangannya.
Pada saat sama, lelaki berewok menyambar
goloknya. Tetapi
sebelum dia sempat menggerakkan senjatanya,
seutas tali
tipis menyambar tangannya. Lelaki berewok
itu merasa
tangannya kesemutan. Goloknya terlepas
melayang ke wanita
itu yang dengan sekali menggerakkan jari
tangan, golok patah
dua.
Tidak berhenti di situ, tali tipis itu
bagaikan ular
menyambar dan mematok mulut lelaki pemimpin
itu. Tak
sempat menangkis, lelaki itu berteriak.
Mulurnya berdarah,
enam gigi bagian depan, copot.
Lelaki itu tak sempat berdiri. Empat
temannya pun tertegun
di kursi. Mereka takjub. Tanpa berdiri dari
duduknya, tanpa
dia menggerakkan tubuh, hanya dengan sebelah
tangan
memainkan seutas tali tipis, wanita itu telah
mempecundang
dua lelaki perkasa.
Wanita berbaju hitam mengangkat tangannya
memberi
tanda menghentikan kawannya. Dia tertawa
sinis. "Tak perlu
heran, sam tahun kami belajar bahasa negeri
ini. Aku belum
mau membunuh. Aku akan melepas kalian,
tetapi kalian harus
keluar dari warung ini dengan jalan
merangkak."
Kelima lelaki itu berdiri dan masih seperti
orang bingung.
Terdengar bentakan wanita baju hitam.
"Cepat atau...."
Lima lelaki itu cepat menjatuhkan diri,
merangkak keluar
warung.
Seorang dari rombongan Kuangchou, berdiri
dan memberi
hormat. "Pertunjukan ilmu yang hebat,
nona-nona juga tak
perlu heran, kami juga belajar bahasa negeri
ini. Rupanya kita
sama-sama mempersiapkan diri dengan baik.
Kalau boleh
tanya apa tujuan nona datang ke tanah Jawa
ini?"
Wanita baju hitam masih tetap duduk,
membalas hormat,
"Sejak kami naik dari pelabuhan Malaka,
aku sudah tahu
bahwa kalian adalah pendekar kelas utama
dari Cina. Kami
datang dan India, memang ada tujuan, tetapi
tidak sopan jika
aku harus memberitahukan apa tujuanku,
lagipula aku tidak
akan bertanya apa tujuan kalian. Kita tak
perlu berkenalan."
Lelaki Kuangchou itu memegang gelas berisi
tuak,
menawarkan minuman dengan membungkuk.
"Nona terimalah
hormatku, mari bersulang."
Gelas itu melayang ke nona baju hitam. Si
nona baju hitam
mengulurkan tangan, menyambut. Tetapi gelas
itu pecah
persis saat di sentuh jemarinya. Tuak di
dalam gelas muncrat.
Gadis baju hitam menggetarkan tubuh membuat
tetes tuak
menjauh darinya. Bajunya tidak terkena walau
setetes pun.
Pendekar Cina, sengaja memperlihatkan tenaga
dalam yang
tinggi. Tetapi gadis India juga memperagakan
kekuatan
tenaga dalam yang mumpuni. Nona baju hitam
tidak bereaksi.
Tidak marah. Dia menggamit dua anak buahnya.
"Di sini tidak
nyaman lagi, banyak orang iseng, ayo kita
pergi melancong."
Rombongan dari Cina itu tidak menyangka tiga
gadis India
itu mau mengalah dan pergi begitu saja.
Mereka diam,
memandang kepergian tiga gadis. Mendadak
terdengar suara
gemeretak, ternyata meja dan kursi yang tadi
diduduki tiga
gadis India itu patah berantakan. Itu
pertunjukan tenaga
dalam hebat. Meja kursi sudah dirusak tetapi
masih berdiri
tegar. Selang beberapa saat baru rubuh
berantakan. Di
ambang pintu, nona baju hitam berkata kepada
lima
pedagang lokal tadi. "Kalian bayar ganti
rugi meja kursi itu,
jika masih sayang nyawamu." Lima
pedagang itu hanya bisa
manggut.
---ooo0dw0ooo---
Prawesti mengerti mengapa Geni menyuruhnya
mengintai
gerak-gerik dua kakak perguruannya, Raditin
dan Kirana.
Keduanya mendapat tugas berat, mengawasi
perdikan. Itu
sebab ketua ingin memastikan dua perempuan
itu
melaksanakan tugas dengan baik.
Siang itu Prawesti pergi ke bilik Kirana,
tetapi justru
berjumpa Raditin di ujung jalan.
"Kangmbok, mau ke mana,
aku ikut ya."
"Aku mau ke gerbang, katanya ada dua
tamu yang
memaksa ingin ketemu ketua, lagaknya
memaksa."
Di pintu gerbang tampak dua tamu perempuan
sedang
berdebat dengan murid penjaga. Melihat dua
murid wanita
datang, dua tamu itu memberi hormat.
"Kami datang dari
jauh, aku Trini dan dia ini adikku Ekadasa.
Kami mau jumpa Ki
Wisang Geni."
"Maaf, apa perlunya menemui ketua
kami?"
Trini memandang adiknya. Ekadasa menjawab
dengan
nada kesal. "Tadi sudah kami beritahu
kepada penjaga ini
bahwa tujuan kami ini rahasia dan hanya bisa
kami ceritakan
pada Ki Wisang Geni."
Raditin dan Prawesti memerhatikan dua wanita
pendatang
itu. Trini berusia sekitar empat puluhan,
langkah dan geraknya
sigap. Wajahnya tampak kaku dan dingin.
Ekadasa, berusia
duapuluhan, cantik jelita, suka senyum
mempertontonkan
giginya yang putih dan mulutnya yang
menarik. Ada kesan
genit.
Raditin tertegun, menduga-duga apakah tetamu
ini kenalan
dekat ketua. Dia khawatir berlaku kasar yang
nantinya malah
ditegur sang ketua. Lain halnya Prawesti
yang mendongkol
melihat lagak genit Ekadasa. Prawesti
menduga mungkin
perempuan genit ini punya hubungan masa lalu
dengan
Wisang Geni, hal ini membuat dia makin
mendongkol
Cemburu
0 komentar:
Posting Komentar