Di belakang hari putranya
yang bernama Nanggala mendirikan partai
Turangga. tapi
kegiatan partai ini tak banyak diketahui
ilmum Belakangan dua
putranya Pasek dan Tampi sering muncul dan
membuat
kejahatan. Akhirnya guruku, Rama Belawan
bersama kami
berempat dan beberapa pendekar menyerbu dan
menghancurkan sarang partai Turangga."
Wisang Geni mengerutkan dahi. "Tetapi
guru, aku tak
mengerti kenapa Lembu Agra bisa menjadi
murid di Lemah
Tulis, apakah tak seorang pun
mengenalnya?"
"Bagaimana sampai Lembu Agra bisa
menyusup menjadi
murid Lemah Tulis, itu cerita lain. Suatu
hari kakang Bergawa
mendapat kunjungan seorang bocah berusia
sepuluh tahun
yang ngotot minta diterima sebagai murid
Lima hari lima
malam ia tidak beranjak ditimpa panas dan
hujan, tidak
makan dan tidak minum Ia bertekad mati di
pintu masuk
perdikan Lemah Tulis apabila tak diterima
sebagai rnund
kakang Bergawa. Memang benar kata pepatah,
kalau mau
menerima murid kita harus tahu latar
belakang dan sejarah
keluarganya. Bocah itu dikenal kemudian
sebagai Lembu
Agra." Padeksa menghela nafas panjang
menyesali masa lalu.
"Paman, kita harus memberitahu paman
Gajah Watu agar
terhindar dari bokongan Lembu Agra."
"Tapi di mana menemukan dimas Gajah
Watu? Semoga kita
menemukannya di pertemuan Mahameru."
"Guru, kau ikut ke Mahameru?"
"Ya kenapa tidak? Semua orang ingin
menyaksikan
pemenang yang menyandang gelar lima pendekar
paling agul
di tanah Jawa. Kenapa? Kamu khawatir akan
keselamatanku?"
"Tetapi kalau jumpa musuh-musuhmu,
sedang kau belum
sembuh, hal ini bisa menyulitkanmu,
guru."
"Geni, semua yang hidup ini akan mati.
Tak ada kecualinya.
Aku sudah lama hidup. Aku tidak menyesal
kalau harus mati
sekarang, apalagi setelah tahu Lemah Tulis
sudah punya ahli
waris sejati. Aku ingin menyaksikan adu ilmu
silat itu, kupikir
semua pendekar akan tumpah ruah di Mahameru.
Tak usah
khawatir akan diriku. Biarlah, apa yang
harus terjadi,
terjadilah."
Apa yang dikatakan Padeksa benar semata.
Seluruh
pendekar tanah Jawa akan tumpah ruah di
Mahameru
menyaksikan perebutan gengsi yang paling
jago di tanah
Jawa. Para pendekar kalangan atas sejak jauh
hari
mempersiapkan diri untuk tarung adu ilmu.
Semua orang yang
bergelut di dunia persilatan akan hadir,
baik dari kalangan
lurus maupun golongan hitam.
Bagi pendekar sejati, pertemuan Mahameru
bukan hanya
ingin menjadi yang paling jago di tanah
Jawa, juga untuk
menyumbang darma bakti membela gengsi tanah
Jawa dari
tantangan pendekar daratan Cina.
Perdikan Mahameru sudah berusia lebih dari
dua abad dan
yang selalu melahirkan pendekar-pendekar
ternama. Murid
Mahameru tidak hanya dikenal sebagai
pendekar berilmu
tinggi, tetapi dilengkapi budi pekerti luhur
yang menjunjung
nilai kependekaran di atas segalanya.
Mahameru adalah
perguruan besar dengan anak murid yang
terbilang ratusan
orang. Namun sebesar apa kekuatan yang
sebenarnya, orang
sulit menduga.
Hampir selama duaratus tahun
pendekar-pendekar
Mahameru malang melintang tanpa tandingan
dan menjadi
yang paling disegani di tanah Jawa. Seiring
berkembang dan
makin harumnya perguruan
Mahameru, muncul perguruan Lemah Tulis yang
didirikan
oleh pendeta Mpu Bharadha.
Persaingan antara dua perguruan ini makin
hari makin
memuncak. Hal ini dimanfaatkan oleh sebagian
orang dari
kalangan hitam, terutama mereka yang pernah
merasakan
pahitnya dihajar para pendekar dua perguruan
tersebut. Intrik
dan siasat licik dirancang khusus untuk
mengadu dua
kekuatan besar itu makin lama makin tampak hasilnya.
Tanpa
sadar murid-murid dua perguruan itu makin
hari makin
tersuruk masuk ke lubang permusuhan yang
sulit dicari jalan
keluarnya.
Klimaksnya terjadi kira-kira empatpuluh
tahun lalu. Pendeta
Mahisa Lanang, guru besar Mahameru
mengundang Rama
Bakwan dari Lemah Tulis untuk adu ilmu
silat. Waktu itu
hampir semua pendekar ternama di tanah Jawa
hadir untuk
menyaksikan siapa yang lebih piawai di
antara dua pendekar
hebat itu. Tapi semua orang kecewa, ternyata
Mahisa Lanang
dan Rama Balawan justru menjalin
persahabatan.
Sejak itu ada semacam perjanjian tak
tertulis, anak murid
Lemah Tulis dilarang tarung lawan murid
Mahameru, begitu
sebaliknya. Siapa melanggar aturan ini, akan
dihukum oleh
gurunya sendiri. Perjanjian itu masih
berlaku sampai hari-hari
di masa kepemimpinan pendeta Macukunda dan
Bergawa.
Tetapi malapetaka yang menghancurkan Lemah
Tulis telah
mengubah jalan sejarah. Maliameru merasa
menjadi
perguruan tanpa tanding. Hal itu pun tak
dapat dipungkiri oleh
sekalian ahli silat. Tak seorang pun yang
ragu bahwa di balik
kerimbunan pepohonan di gunung Mahameru
bersembunyi
banyak pendekar jago. Itu sebab, mereka
menganggap
Mahameru pantas menjadi pelopor pertemuan
sesama
pendekar tanah Jawa untuk mencari lima
pendekar paling jago
yang mewakili tanah Jawa menghadapi
tantangan jago-jago
daratan Cina.
Dari jauh tampak gunung Mahameru bagai
menyundul
langit. Seperti gunung tak bermahkota,
puncaknya
tersembunyi di antara semaraknya awan, ada
suatu kekuatan
raksasa yang terpendam di dalamnya. Mahameru
hanya
sebuah gunung, tapi bukan sekedar gunung.
Hari itu Mahameru dikunjungi banyak tamu.
Tak pernah
sebanyak itu sebelumnya. Orang-orang itu
mendaki lereng
Selatan dengan membisu seribu bahasa. Kawan
dengan
kawan tak saling tegur. Kawan dan lawan pun
pura-pura tak
kenal. Dari dandanan maupun gerak, lak salah
lagi hampir
semua tamu adalah mereka yang menguasai ilmu
silat.
Meskipun ada beberapa orang awam ikut datang
untuk
menonton keramaian atau pedagang yang
menjual makanan
dan minuman.
Hampir seluruh penjuru tanah Jawa mengetahui
adanya
perang tanding adu kepandaian untuk memilih
lima pendekar
paling jago di tanah Jawa. Hari itu orang
mulai berdatangan,
meskipun hari pertarungan baru akan dimulai
dua hari lagi.
Wisang Geni bertiga Padeksa dan Wulan
mendaki lereng
dengan tak bergegas. Keadaan Padeksa yang
belum bisa
mengerahkan tenaga berlebihan membuat
perjalanan tiga
orang itu cukup lambat. Banyak orang yang
mendahului
mereka terutama yang bergegas.
Selama dua hari berkumpul bersama, baik
Wisang Geni
maupun Wulan tak berani menampakkan perasaan
cinta.
Takut ketahuan Padeksa. Tetapi mata Padeksa
tak bisa
tertipu. Ia lebih menangkap getaran cinta
yang terpancar dari
mata dua sejoli itu. Padeksa merasa gundah
dan agak bingung
begitu ia yakin bahwa Wisang Geni dan Wulan
saling
mencintai.
Hubungan ini tidak biasanya, Wisang Geni
adalah putra
Gajah Kuning dan Sukesih. Sedang Walang
Wulan adalah
saudara perguruan dengan Gajah Kuning dan
Sukesih. Itu
artinya Wisang Geni adalah keponakan
muridnya Wulan.
Padeksa penasaran. Tangan kanannya meraih
tangan
Wisang Geni, satu lainnya memegang Wulan.
Sambil tetap
berjalan ia bertanya, "Aku tahu kalian
saling mencintai, tapi
sadarkah kalian, hubungan karian sebagai
bibi guru dan
keponakan murid, bagaimana mungkin bisa
menjalin
percintaan, ini tidak lazim, sesuatu yang
akan menjadi bahan
gunjing dan tertawaan orang?"
Wisang Geni tidak menyangka pertanyaan itu
begitu
langsung dan mendadak ditanyakan. Apalagi
Wulan. Keduanya
tergugu, tak bisa menjawab. "Wulan, kau
sebagai yang lebih
tua, jawablah!"
"A...a ...aku..." Wulan gugup
sehingga tak mampu
menjawab. Ia memang sudah lama membayangkan
kejadian
seperti ini, bahwa guru dan sesepuh
perguruan Lemah Tulis
akan mempertanyakan hubungan ini. Tetapi
ketika menjadi
kenyataan, ia bahkan tak siap untuk
menjawabnya.
Secara naluriah timbul keberanian Wisang
Geni melihat
kekasihnya dipersalahkan. "Guru, aku
yang bertanggung
jawab. Wulan sekarang sudah menjadi
isteriku. Maafkan aku,
ampuni aku, karena belum minta restu dari
guru. Kalau itu
salah, aku terima salah, hukum atau bunuhlah
aku. Tapi
menurutku tidak salah, hubungan itu bisa
ada, dan bisa juga
tiada. Tergantung dari mana kita
memandangnya."
Padeksa menghentikan langkahnya sejenak
kemudian
melangkah lagi. "Bisa ada, bisa juga
tiada, Geni, coba jelaskan
padaku!"
Semangat Geni tergugah melihat gurunya
bersikap biasa.
Tadinya ia membayangkan Padeksa akan marah.
"Hari ini aku
harus jelaskan semuanya, hari ini aku menang
atau aku kalah.
Kalau saja ia merestui hubungan ini, maka
segalanya akan
mudah," pikirnya.
Geni mengumpulkan segala keberaniannya. Di
dunia ini
hanya Padeksa saja yang ia segani. Padeksa
sudah seperti
ayah, kakek, guru, sahabat dan teman
sepermainan. Padeksa
yang mendidiknya sejak kecil.
Tiba-tiba Geni menjatuhkan diri, sungkem
"Guru, aku tak
mengingkari jasa ayah dan paman Gubar
Baleman mendidikku
dari kecil. Tapi sesungguhnya, hanya kau dan
guru Manjangan
Puguh yang resmi sebagai guruku. Sewaktu
kecil aku
memanggilmu kakek, bahkan sampai sekarang
pun terkadang
menyebutmu kakek. Tetapi yang sebenarnya kau
adalah
guruku, aku selalu harus memanggilmu guru,
kau adalah
guruku meski kau lebih suka mengakui aku
sebagai cucu
murid. Aku mohon demi ayah dan ibuku,
akuilah aku sebagai
muridmu dan ilmumkan kepada semua murid
Lemah Tulis
termasuk kepada paman Gajah Watu, bahwa
secara resmi aku
adalah muridmu, murid tunggal."
Padeksa tercengang ia tak mengerti maksud
permohonan
Geni. Tetapi Wulan mengerti. Ia bisa menebak
jalan pikiran
Geni. Ia ikut berlutut di samping Geni.
"Paman guru, Wisang
Geni pantas dan layak menjadi muridmu,
terimalah
permohonannya. Dia tak akan mengecewakanmu,
paman."
Awal mulanya heran, lama-lama Padeksa mulai
mengerti.
Ia tahu dengan mengakui Geni sebagai
muridnya, berarti
hubungan dua orang muda itu berubah. Dari
hubungan bibi
guru dan keponakan murid berubah menjadi
hubungan
sesama saudara perguruan. Padeksa tertawa.
Ia terpingkalpingkal
sampai keluar airmata.
Orang-orang yang lalu lalang di sekitar
lereng gunung
memandang heran. Geni dan Wulan tak berani
mengangkat
kepala meski tak mengerti apa sebab Padeksa
tertawa.
Setelah puas tertawa, Padeksa kemudian
memegang kepala
Geni. "Seilmur hidupku, baru hari ini
aku tertawa puas. Baiklah
Wsang Geni mulai hari ini kamu resmi menjadi
muridku dan
kamu adalah satu-satunya murid Padeksa, kamu
adalah satusatunya
murid Pradheksa karena aku tidak punya murid
lain."
Bukan kepalang senangnya Geni dan Wulan.
Serentak
keduanya memegang dan mencium tangan
Padeksa.
Sekonyong-konyong terdengar orang bertepuk
tangan.
Padeksa menoleh. Geni dan Wulan melompat,
berdiri dan
bersiap. Padeksa berseru perlahan, setengah
tak percaya
siapa yang dilihatnya. "Dimas
Watu!"
Ada belasan orang berjajar di pinggir jalan.
Seorang di
antaranya, Gajah Watu maju, menghambur dan
merangkul
Padeksa. Tiba-tiba Gajah Watu mundur
selangkah,
memandang kakak perguruannya. "Kangmas,
kau luka?"
"Ya, aku dibokong Lembu Agra!"
"Apa katamu? Lembu Agra?"
"Ya, Lembu Agra murid kangmas Bergawa,
dialah
pengkhianat yang disebut-sebut meracuni
gudang makanan
dan air minum perguruan kita. Ceritanya
panjang, adikku."
Pertemuan yang tak disangka-sangka itu cukup
menggembirakan semua orang. Bersama Gajah
Watu adalah
Ranggawuni, Mahisa Campaka dan Waning Hyun
serta
delapan pendekar Tumapel. Yang seorang lagi
dikenal sebagai
Sang Pamegat, tokoh sakti yang serba
misterius.
Geni dan Wulan memberi hormat kepada Gajah
Watu.
Tampak oleh Geni mata Gajah Watu yang penuh
penyesalan
bercampur malu ketika menerima sungkem
Walang Wulan.
Agak serak suara Gajah Watu ketika mengucap
kata maaf.
"Sudah lama tak pernah ketemu, Wulan,
maafkan aku,
maafkan pamanmu ini."
Walang Wulan tetap merunduk, tak berani dan
enggan
melihat wajah paman gurunya itu. Ia masih
membayang
perlakuan lelaki itu setiap menikmati
pelampiasan birahi atas
tubuhnya. Ada rasa jijik di mata Wulan dan
ia tak ingin
memperlihatkan rasa jijik itu kepada paman
gurunya itu. Ia
tetap merunduk dan tak bersuara. Adalah Geni
yang berkata,
"Paman Gajah Watu, sekarang ini aku
adalah murid resmi
guru Padeksa dan Walang Wulan sudah menjadi
isteriku, aku
minta restilmu paman."
Gajah Watu memandang Padeksa yang tampak
manggutmanggut.
Tak ayal lagi, Gajah Watu pun memberi restu.
"Aku
merestui kalian, Wisang Geni dan Walang
Wulan sebagai
suami isteri. Semoga kalian hidup berbahagia
selamanya." Tak
hanya dua sesepuh itu, Waning Hyun dan
rombongan juga
memberi ucapan selamat berbahagia.
Wisang Geni menggenggam tangan Walang Wulan.
Pada
akhirnya semua beres, semua persoalan yang
mengganjal
telah disingkirkan.
Mereka kini resmi diakui sebagai suami
isteri. Restu dari
Gajah Watu juga sangat penting dan kuat
secara tradisi.
Hubungan suami isteri, Geni dan Wulan,
sesama saudara
seperguruan, itu semakin kuat dan absah
karena mendapat
restu dari dua sesepuh perguruan. Bagi
Wulan, restu dari
Gajah Watu sedikitnya mulai mengurangi rasa
benci dan
jijiknya terhadap paman gurunya itu. Ia
bahkan
berterirnakasih atas restu itu.
Rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju
Mahameru.
Wulan cepat akrab dengan WaningHyun.
Sedangkan Padeksa,
Gajah Watu dan Geni berjalan sambil saling
menutur
pengalaman.
Karena perjalanan dilakukan dengan tidak
terburu-buru,
maka baru sore hari mereka tiba di pelataran
perguruan
Mahameru. Sambutan cukup hangat dari tuan
rumah setelah
Padeksa memperkenalkan diri sebagai ketua
rombongan
Lemah Tulis. Penerima tamu mengantar dan
mempersilahkan
mereka menuju sebuah lapangan terbuka. Di
situ tersedia
banyak kemah, sebagian sudah diisi, sebagian
lain masih
kosong.
Malam itu sunyi sepi. Semua tamu benar-benar
menggunakan waktunya untuk istirahat. Wisang
Geni semedi.
Esok harinya masih banyak tamu lain yang
berdatangan.
Dari pagi sampai sore tak pernah putus.
Senja itu Wisang Geni
seorang diri berkeliling di sekitar kaki
gunung. Tiba-tiba ia
terkejut melihat empat orang berjalan
berpapasan dengannya.
Tanpa sadar ia berseru, "Sekar!"
Gadis itu memang Sekar. Gadis itu lari
menyongsong Geni.
Ia melompat memeluk Geni. "Geni, kamu
masih hidup!"
Sesaat kemudian Sekar sadar, ia melepas
pelukannya. Geni
takjub melihat kecantikan gadis di depannya.
Tak ada lagi
bekas penyakit cacar di wajahnya. Wajahnya
berseri semakin
membias kecantikan alaminya, rambutnya ikal
terurai sebatas
bahu. Ia cantik, sangat cantik dengan kulit
kuning sawo dan
tubuhnyayang kurus, langsing namun montok.
"Sekar kamu
cantik sekali, kamu sudah sembuh, eh katamu
dulu perlu
waktu satu tahun."
Ia masih saja segar dan ceria. Ia tertawa
senang. "Nenek
menyembuhkan aku dalam waktu tiga bulan,
lagipula aku tak
jadi dipingit satu tahun sebab aku berhasil
membujuk nenek
untuk melihat keramaian Mahameru."
Tawanya membuat
kecantikannya bersinar. Geni mendelong
memandang
kekasihnya yang seakan salin rupa menjadi
seorang dewi yang
mempesona.
Geni memberi hormat kepada Dewi Obat.
"Kamu
penolongku, Dewi Obat, tanpa pertolonganmu
aku mungkin
sudah mati. Terimalah hormat
sungkemku."
Ketika memerhatikan dua orang dalam
rombongan Sekar,
ia terkesiap. Ia ingat benar. Dua orang itu,
si gadis penari dan
satu lainnya Ki Dalang. Sungguh suatu
kebetulan, dua orang
itu adalah orang yang ia cari selama ini.
Tetapi saat itu ia
memutuskan membiarkan Sekar dan rombongan
istirahat
dulu.
Ia berbisik kepada Sekar, "Aku kenal
dua kawanmu itu, si
gadis penari dan Ki Dalang. Nanti malam aku
akan
mengunjungi kemahmu, kamu tunggu saja."
Gadis itu berkata lirih, "Kamu datang
untuk aku atau untuk
urusan Kinanti Prasidha itu?"
"Kamu tunggu saja."
Malam harinya, setelah makan malam, Geni
keluar kemah.
Wulan mengikutinya, "Mau ke mana
kamu?"
Geni diam sesaat. "Aku ada urusan, kamu
tunggu di sini
saja!" Tanpa menanti jawaban Wulan, ia
menggelar Waringin
Sungsang dan lenyap ke pekatnya malam.
Sekar dan Dewi Obat terkejut melihat Geni
berdiri di luar
kemah. Gadis itu hampir lupa diri saking
gembiranya, tapi ia
cepat menguasai diri. Geni mengucap
terimakasih kepada
Sekar dan Dewi Obat yang telah menolongnya.
"Kau sudah
ucapkan tadi sore, tetapi apakah hanya itu
maksud
kedatanganmu anak muda?" Dewi Obat
berkata tanpa
berusaha supaya ramah.
Geni menatap tajam Ki Dalang dan si gadis
penari. Ki
Dalang berusia limapuluhan. Sedang si penari
seorang gadis
usia sekitar duapuluh lima tahun. Cantik,
segar dengan
potongan tubuh agak gemuk. Raut wajahnya
mirip Sekar.
"Namaku Wisang Geni. Aku murid tunggal
Padeksa dari
Lemah Tulis. Aku sangat beruntung memperoleh
pertolongan
dan petunjuk Dewi Obat sehingga bisa
menemukan kisanak
berdua dalam pesta tahunan di lereng gunung
Lejar. Dan
cerita Ghatotkacasraja sangat menarik
perhatianku. Aku
beruntung bisa menyaksikan tari Kinanti
Prasidha yang kucaricari
selama ini."
Empat orang itu terdiam. Ki Dalang mendehem
kemudian
bertanya, "Aku tak mengerti, apa
maksudmu?"
Geni bisa menebak pikiran orang tua itu. Ia
berdiri
kemudian memperlihatkan separuh dari jurus
Agniwisa
sebelum digabung dengan sepenggal tari
Kinanti.
"Ini namanya jurus Agniwisa tetapi
belum sempurna. Jurus
ini baru sempurna setelah digabung dengan
salah satu gerak
tari Kinanti yang kau mainkan malam
itu." Berkata demikian
Geni mempertontonkan gerak tari yang
merupakan perpaduan
jurus tadi. Geni melanjutkan penjelasannya.
"Sekarang coba
bandingkan dan perhatikan jurus Agniwisa
yang lengkap, hasil
gabungan separuh jurus tadi dengan tarian
Kinanti".
Kemudian ia duduk kembali dan menatap empat
orang itu.
Ia lantas menanyakan arti kalimat Parahwanta
Angentasana
Dukharnawa. Kini mereka benar-benar percaya.
Empat orang
itu serempak mengucap selamat. Mereka
gembira, pada
akhirnya ada seorang pendekar Lemah Tulis
yang berjodoh
dan menguasai Prasidha dari manfaat tari
Kinanti itu.
Ki Dalang menghela nafas, wajahnya kelihatan
muram
"Maaf pendekar Wisang Geni, sebenarnya
kami tidak tahu apa
arti tari Kinanti tersebut, kami juga tak
mengerti arti kalimat
itu. Yang diajarkan kepada kami hanya gerak
tubuhnya saja,
tak ada keterangan apa pun perihal sikap
mental. Maaf, kami
benar-benar tidak tahu, jika tahu pasti akan
kami jelaskan."
Kepala Wisang Geni ibarat disiram air
dingin. Hilang sudah
harapannya. Sebenarnya dua orang inilah yang
diharapkan
bisa membuka tabir rahasia Prasidha. Tapi
ternyata lagi-lagi ia
membentur tembok karang, Jalan buntu.
Menghampiri Geni,
Sekar berbisik di telinga kekasihnya,
"Geni, aku akan
membantilmu, tetapi kamu harus ingat janjimu
dan kamu
harus menepati janjimu itu, aku lihat
kekasihmu Wulan sudah
berada di sampingmu, pantas saja kamu lupa
padaku."
Memeluk pinggang gadis itu, Geni berbisik, "Aku
tidak
ingkar janji, tetapi apa mungkin aku mencium
kamu di depan
kerabatmu ini atau bercinta sekarang
juga?"
Sekar menampar pundak Geni. "Kamu
ngaco!" Ia menoleh
kepada Ki Dalang dan si gadis penari.
"Geni mungkin kamu
perlu tahu bagaimana sikap tubuh, kaki,
tangan dan kepala
waktu kalimat itu diucapkan Mbakyu, apakah
kalimat itu setiap
diucapkan selalu pada ayunan tubuh dan
langkah serta gerak
tangan yang sama?"
"Benar, selalu pada posisi dan gerak
tubuh yang sama.
Pertama aku ucapkan kalimat itu waktu
tubuhku doyong ke
kanan, yang kedua kali ketika doyong ke
kiri, kemudian
doyong ke depan dan ke belakang." Gadis
penari itu kemudian
memberi contoh dengan menari Kinanti. Tetapi
Geni masih
saja tak bisa menembus arti dan maknanya.
Mereka berusaha
membantu Geni, tetap sia-sia, Garudamurkha
Prasidha tetap
jadi misteri.
Menghampiri Geni yang sedang bingung, Sekar
berkata
lirih, nadanya menggoda. "Maaf kekasih,
aku gagal
membantilmu, jadi terserah kamu mau menepati
janji atau
ingkar." Ia menarik Geni keluar tenda.
Geni memegang lengan Sekar, "Aku akan
memperkenalkan
kamu dengan Walang Wulan, Aku sudah bicara
dengannya
tentang kamu, jadi tak akan ada
masalah."
"Kamu bicara apa saja?"
"Aku cerita bagaimana hebatnya kamu
memasang
perangkap cinta, membuat aku kasmaran dan
mencintaimu
habis-habisan." Geni memandang mata
Sekar yang kedipkedip
bercahaya, ada rasa bangga dan cinta di
situ.
"Terus, kamu bilang apa lagi?"
"Aku katakan bahwa aku akan hidup
bersama dua
perempuan yang kucintai dan mencintai aku,
Wulan sebagai
isteri pertama, Sekar isteri kedua, begitu
dulu yang kamu
katakan padaku, iya kan?"
Saat itu Dewi Obat sudah berdiri di samping
Sekar. Ia
muncul begitu saja. Ia mendengar sebagian
perkataan Wisang
Geni. Ia berkata tawar. "Wisang Geni,
aku peringatkan kamu,
jangan kamu mempermainkan cucuku, aku akan
mengejar
kamu!"
Geni tersenyum. Ia melihat sepasang mata
Dewi Obat
menatapnya dengan bersinar ceria. Nenek itu
tidak marah,
malah memperlihatkan wajah gembira.
"Sejak bertemu
cucilmu, aku sudah kasmaran, mana mungkin
aku
mempermainkan dia. Dewi, seharusnya kau
mengancam
cucilmu agar tidak meninggalkan aku."
Sekar menarik tangan Geni, menghindar dari
neneknya.
"Ayo Geni, ajak aku temui dia, mbakyu
Wulan, sekarang juga!"
"Jangan sekarang, besok pagi, sekarang
kita kabur ke
hutan, aku sudah rindu padamu." Geni
mencekal lengan
Sekar, membawanya kabur turun gunung. Di
gelapnya malam,
mereka menemukan tempat tersembunyi jauh
dari daerah
perdikan Mahameru.
Geni memeluk kekasihnya, mencium mulutnya
dengan
bernafsu. Gadis cantik itu bergerak liar. Ia
terengah-engah
menahan gejolak nafsunya "Geni, peluk
aku erat-erat, aku tak
tahan lagi, lima purnama aku merindukan
kamu, tak ada lelaki
lain yang bisa mengobati rindu ini, apalagi
aku cuma ditemani
pepohonan cemara."
Geni menanggalkan pakaian Sekar. Keduanya
bugil di
tengah hutan, dan gelapnya malam. Memadu
cinta
mengarungi lautan birahi yang tertunda
selama lima bulan.
Keduanya berangkulan, kelelahan. Geni
menciumi buah dada
kekasihnya, "Sekar kamu masih saja
hebat mempesonia
seperti saat perpisahan di hutan cemara
dulu."
Sambil mengelus dan menjambak rambut
kekasihnya,
Sekar menangis bahagia. "Aku takut kamu
sudah mati, Geni.
Tetapi aku sangat yakin, bahwa kamu masih
hidup dan pasti
akan ketemu aku di Mahameru"
Geni memeluk tubuh montok dan molek itu.
"Kamu sangat
cantik, seperti kataku dulu, kamu memang
cantik."
"Aku tahu itu, dulu aku tak mau diobati
nenek, tetapi
setelah aku bertemu kamu, bercinta dengan
kamu, aku malah
ngotot minta diobati nenek, karena aku ingin
mempersembahkan kecantikanku ini hanya untuk
kamu,
kekasihku."
"Bagaimana kamu begitu yakin aku akan
sembuh dan
hidup?"
Sekar berbisik di telinga. "Aku yakin,
karena aku yakin akan
cintaku, aku yakin masih ada hari esok dan
banyak lagi hari
esok yang tersedia untuk membuatmu
bahagia."
"Kenapa, kamu mengatakan membuat aku
bahagia, kenapa
kamu tidak mengatakan membuat kamu
bahagia?"
Sekar menindih tubuh Geni, dua tangannya
memegang
wajah kekasihnya. Ia mengecup mulut Geni.
"Sebab, aku akan
bahagia jika kamu bahagia. Jadi harus kamu
yang bahagia
dulu, baru aku merasa bahagia"
Geni menggilmuli tubuh Sekar. Sekali lagi
dan berulangulang,
tak pernah bosan. Seperti ketika perpisahan
di Lembah
Cemara, di hutan Mahameru gelapnya malam
menjadi saksi
jerit halus dan deru nafas serta degup
jantung dua kekasih itu
mengarungi lautan asmara. Keduanya kembali
ke kemah
masing-masing menjelang munculnya cahaya
merah matahari
pagi.
Pagi itu sekembalinya ke kemah, Geni
mendapatkan Wulan
sedang menunggunya. "Geni, kamu pergi
ke mana
semalaman?"
Ia tak menjawab. Dalam perjalanan pulang
tadi, pikirannya
seperti menemukan suatu rahasia menyangkut
Garudamukha
Prasidha. Ada sesuatu melintas di benaknya.
Ia coba
menangkapnya tetapi sia-sia. Ia masih
terbenam dalam pikiran
itu ketika dikejutkan suara keras Wulan.
"Aku bertanya
padamu, Geni, kamu sedang melamun apa?"
Geni menoleh. Ia minta maaf karena tidak
mendengar
pertanyaan tadi, pikirannya masih memikirkan
jurus pusaka
itu. Wulan bertanya lagi. "Siapa
orang-orang yang kau temui
tadi malam?"
Geni menceritakan pertemuannya dengan empat
orang itu,
Dewi Obat, Ki Dalang, si penari dan Sekar.
Mereka berusaha
membantu menemukan makna kalimat misterus,
tapi gagal.
Tak ada yang tahu apa itu arti dan makna
kalimat Parahwanta
Angentasana Dukharnawa.
Wulan ikut berduka. Ia merunduk kemudian
berkata lirih.
"Aku tahu kamu pergi berdua Sekar,
bercinta semalaman,
kenapa harus takut berkata jujur
kepadaku?"
Geni menatap Wulan lekat-lekat di matanya.
"Aku tidak
takut mengatakan sesuatu padamu, aku memang
bercinta
dengan Sekar, semalaman. Aku pikir hal ini
tak perlu
kuceritakan padamu sebab kamu sudah tahu
hubunganku
dengan Sekar. Lagipula aku tidak akan
melapor kepadamu
untuk apa saja yang akan kulakukan dan yang
telah
kulakukan. Aku suamimu. Kamu yang harus melapor
tentang
apa saja yang telah dan yang akan
kauperbuat, karena itu
kewajiban seorang isteri yang setia."
Tak menduga akan mendapat jawaban tegas
seperti itu,
Wulan terkejut. Tanpa sadar matanya
berkaca-kaca. Ia belum
menemukan kata-kata untuk menjawab. Ia masih
diam. Geni
memecah kesunyian pagi. "Wulan,
isteriku, aku punya
penyakit buruk yakni aku tidak suka didesak.
Mengertilah
Wulan, jangan desak dan menyudutkan aku, apa
saja yang
aku suka akan kulakukan, kemarin kamu sudah
berkata
padaku bahwa kamu bersedia menerima Sekar
sebagai
isteriku. Kamu isteri utama, Sekar yang
kedua. Nah, kenapa
sekarang ini kau mendesak aku?"
"Aku cemburu." Diam-diam Wulan
terkesima, merasa keder
dan takut melihat ketegasan serta wibawa
suaminya.
"Buang saja jauh-jauh rasa cemburilmu,
kamu malah
menyiksa diri sendiri. Bagaimanapun juga
kamu harus
menerima Sekar. Besok aku akan
memperkenalkan dia
kepadamu, kuharap tak ada lagi persoalan
menyangkut
Sekar."
Esok paginya, Geni memperkenalkan Sekar pada
Wulan.
Mulanya Wulan seperti hendak menerkam Sekar.
"Ia sangat
cantik, pantas saja Geni kasmaran
padanya." Tanpa sadar
wajahnya cemberut, dingin dan kaku.
Gadis muda ini terkejut melihat sikap Wulan,
namun ia juga
pasang kuda-kuda. "Katanya usianya
lebih tua dari Geni,
tetapi ia tampak seperti gadis remaja,
cantik dan montok.
Tetapi kenapa ia galak, apa dia pikir aku
takut, wuah kalau
untuk berebut cinta Wisang Geni, jangankan
satu, sepuluh
Wulan pun akan kuladeni."
Dua wanita itu seperti mau saling terkam,
persis dua macan
betina sedang berebut pejantan. Tetapi
ketegangan mencair
setelah Geni menegaskan keduanya harus
saling bantu.
Wulan, isteri utama, Sekar yang kedua.
"Tak boleh ada
pertengkaran! Jika ada pertengkaran, aku
tidak mencari siapa
benar siapa salah, itu kesalahan kalian
berdua, kalian isteri
Wisang Geni jadi harus ikuti aturan Wisang
Geni. Camkan itu!"
Dua perempuan itu memandang Geni dengan rasa
tak percaya
bahwa laki-laki itu bisa bicara begitu
tegas.
Sekar memandang Wulan dengan ramah.
"Mbakyu Wulan,
aku mohon maaf, kalau sikapku tadi kurang
ajar."
"Dik Sekar, aku juga minta maaf,
seharusnya aku
menyambutmu dengan gembira." Wulan
membentang dua
tangan, Sekar menghampirinya. Keduanya
berpelukan.
Sekar berbisik, "Baru hari ini aku
melihat sikap Geni yang
tegas dan wibawa."
Wulan tertawa lirih, "Sejak dia
menguasai ilmu dahsyat
Wiwaha itu sikapnya jadi tegas dan sangat
jantan."
"Ilmu apa itu, mbak?"
"Namanya ilmu Wiwaha, tenaga dalamnya
maju sangat
pesat dan dalam urusan bercinta dia makin
perkasa dan
beringas. Benar demikian Sekar?"
"Memang, dia lebih perkasa dibanding
sebelum berpisah
dengan aku lima bulan lalu." Sekar
tertawa geli.
---ooo0dw0ooo---
Nyawa Bayar Nyawa
Pagi itu embun masih bergayut di udara. Hawa
dingin
pegunungan menusuk sampai tulang sumsum. Di
lapangan
terbuka di depan pintu gerbang perguruan
Mahameru di situ
tersehat puluhan tenda tempat nginap para
tamu undangan.
Bahkan mereka yang tak diundang, asalkan
punya nama yang
cukup dikenal akan diberi tempat nginap di
tenda.
Puluhan tenda diatur dalam lingkaran
berlapis. Di tengah
lingkai.m sebuah tanah lapang dikosongkan,
untuk arena
tarung. Tenda-tenda yang berada di lingkaran
dalam, di
pinggir arena tarung disediakan bagi
perguruan besar dan
pendekar perorangan yang punya nama besar.
Tenda-tenda
itu terdiri tiga macam ukuran, yang paling
bcsa i untuk
rombongan yang anggotanya banyak. Tenda
ukuran sedang
untuk rombongan yang sedikit anggotanya.
Selain itu
disediakan tenda kecil untuk satu atau dua
pendekar
perorangan.
Pagi itu semua tenda sudah terisi. Suasana
sunyi dan sepi.
Para pendekar duduk di luar tenda menghadap
gelanggang.
Mereka memperlihatkan wajah yang tegang. Tak
ada yang
bicara apalagi tertawa. Kalaupun ada yang
bicara dengan
rekannya, dilakukan dengan suara rendah dan
bisik-bisik.
Terdengar suara trompet tanduk. Semua mata
memandang
ke pintu utama perguruan Mahameru. Dari situ
keluar
beberapa orang dengan langkah tegas menuju
sebuah tenda
paling besar dan yang mencolok warnanya. Itu
tenda tuan
rumah, perguruan Mahameru yang terkenal.
Seorang bertubuh tinggi besar berjalan
paling depan.
Dialah ketua perguruan Mahameru, pendeta
Macukunda yang
kesohor. Empat pengawal dengan langkah
jumawa mengiringi
dari belakang. Mereka saudara perguruan sang
ketua,
Antasena, Rawaja, Bragalba dan Matangkis. Di
belakang
empat orang ini, delapanbelas murid angkatan
pertama
melangkah dalam barisan yang tidak teratur.
Begitu tiba di depan tendanya Macukunda
memberi hormat
kepada semua tamu kemudian duduk di kursi
yang disediakan.
"Selamat datang semua tamu. Maaf kalau
beberapa hari ini
sampean semua tidak dilayani dengan baik.
Maklum banyak
orang yang hadir, melebihi perkiraan, dan
kami tak punya
makanan. Sekali lagi aku mohon maaf, jika
ada kekurangan
selama berada di Mahameru. Aku sangat
bahagia bisa
bertemu dengan begini banyak pendekar yang
sudi
berkunjung atas undangan aku yang
rendah."
Ia berhenti sejenak, memandang semua tamu,
tatapannya
berwibawa. "Semua pendekar di tanah
Jawa mengetahui
adanya tantangan dari para pendekar daratan
Cina. Mereka
nantang adu ilmu silat, lima jago Cina lawan
lima jago tanah
Jawa. Nah, untuk itulah aku mengundang
sampean semua,
untuk sama-sama kita memilih lima jago kita
yang akan
mewakili gengsi tanah Jawa menghadapi
pendekar Cina."
Suara pendeta Mahameru tidak keras namun
semua
mendengarnya jelas. Bisa menjangkau jarak
jauh namun tidak
memantulkan suara Wisang Geni berbisik pada
Wulan dan
Sekar yang duduk di sampingnya "Hebat
tenaga dalam
pendeta itu."
Terdengar suara tertawa "Sudah jelas,
salah satu dari lima
jago adalah pendeta Macukunda. Siapa sanggup
menghadapi
jurus Brahmanagrha hanya bisa dihitung
dengan jari. Setelah
Lemah Tulis tak terdengar lagi, perguruan
Mahameru boleh
dibilang kini tak ada tandingan. Aku
pastikan pendeta
Macukunda sudah terpilih, tetapi sisa yang
empat orang harus
diadu! Siapa paling jago, dia boleh mewakili
tanah Jawa!"
Semua orang memandang lelaki pembicara itu.
Dia lelaki
kekar bercambang, baju dan ikat kepalanya
serba merah.
Sesaat kemudian seorang lelaki botak
berteriak, "Aku tak
setuju dengan Jayawikata Aku tidak ragu akan
kehebatan
pendeta Macukunda, tetapi lebih adil jika
semua orang ikut
tarung. Lebih banyak peserta kan lebih
seru!"
Di sana sini terdengar suara bisik-bisik.
Rupanya orang
terpancing untuk memilih satu dari dua
usulan tadi. "Tidak
usah khawatir, dan memang supaya adil, aku
setuju dengan
usul Ki Sawung, kebetulan aku sudah lama
ingin mendapat
lawan tarung," tukas Macukunda.
Seorang wanita tua bangkit dari duduk.
"Sebelum adu ilmu
silat dimulai sebaiknya kita tentukan aturan
mainnya. Aku
usul, seorang pendekar yang sudah
memenangkan
pertandingan maka dia memperoleh hak
istirahat. Ia boleh
istirahat atau jika ia mau boleh saja tarung
terus. Sebab tidak
mungkin seorang itu bertarung terus,
lagipula lawan bisa
memanfaatkan tenaganya yang sudah terkuras
dan lelah."
"Bagus, bagus aku setuju usul Nyi
Pujawati. Itu usul bagus.
Kutambahkan lagi, pertarungan harus satu
lawan satu dan
bebas. Siapa terbunuh tidak perlu disesali,
hitung-hitung ilmu
silatnya yang dangkal."
Wulan berbisik kepada Geni, "Dia itu
Sempani!" Mendengar
itu Geni mengepal tinjunya. Sudah dua lawan
yang
dipergokinya di sini, Jayawikata dan
Sempani. Dua orang ini
bertanggungjawab atas pembantaian di Lemah
Tulis. Hutang
nyawa bayar nyawa!
Peraturan tarung telah disepakati bersama.
Tarung bebas
dengan menggunakan senjata apa saja, tak ada
batasan.
Keroyokan pun boleh jika lawan tidak
keberatan. Siapa
menang, ia boleh istirahat. Lawan yang kalah
dan
meninggalkan gelanggang tidak boleh dikejar.
Lawan yang
sudah menyerah tak boleh dibunuh. Harus
memilih lawan
sepadan, seangkatan dan sederajad. Dan untuk
menyingkat
waktu agar tidak sembarang orang masuk arena
maka hanya
pendekar undangan yang boleh masuk arena
menantang.
Sebagai pimpinan pertemuan, Macukunda berhak
menghentikan pertarungan apabila dianggap
perlu.
Seorang lelaki berusia empatpuluh tahun
lompat ke tengah
arena, ia memutar sepasang pedang pendek.
"Aku Sindu dari
Ujung Pangkah, aku menantang Kalabendana si
licik dari
kuburan Gondomayu Hayo Kalabendana keluar
kamu, jangan
sembunyi di balik jubah gurilmu. Hayo
keluar, hadapi aku!"
Terdengar tertawa keras. Sesosok bayangan
berkelebat
masuk arena, "Sindu kamu cari mati!
Dulu kamu kulepas agar
usiamu panjang tetapi kamu sendiri yang
memperpendek
ilmumu." Tanpa basa-basi Sindu menyerbu
Kalabendana.
Keduanya bertarung rapat. Sindu bersenjata
pedang pendek.
Kalabendana menghadapinya dengan keris luk
tujuh.
Pertarungan imbang. Sampai jurus limapuluh
Sindu di atas
angin. Kalabendana keteter. Pundaknya
berdarah kena sabet
pedang pendek. Beberapa jurus berikut paha
Kalabendana
tertusuk. Kalabenda kritis. Gerakannya tidak
leluasa, ia
pincang di lengah serangan gencar Sindu.
Mendadak Sindu
limbung. Permainan pedangnya kacau. Mendadak
Macukunda
berseru, "Kalayawana hentikan ilmu
Begananta itu, kamu telah
berbuat curang!"
Ketika itu di tengah gelanggang terjadi
perubahan besar.
Sindu melepas pedangnya dan membekap
telinganya.
Keadaannya aneh. la bukan hanya terdesak
bahkan jiwanya
terancam. Meski pincang namun keris
Kalabendana sigap
mencari lubang kematian di tubuh Sindu. Tiga
tusukan makin
membuat pendekar Ujung Pangkah itu limbung.
Tusukan
keempat, Sindu jatuh terduduk. Tubuhnya
bersimbah darah.
Macukunda meledak marahnya.
"Kalayawana! Kamu berani
mengaco pertemuan yang
kuselenggarakan!"
Terdengar suara tawa yang datang dari kemah
yang
berada di lingkaran dua. Seorang lelaki tua
kurus kering dan
tirus. Dia Kalayawana! "Ah Macukunda,
tak perlu sampai
marah. Aku tak melanggar aturan, tadi aku
cuma tertawa dan
kebetulan ilmu Begananta keluar begitu saja.
Lagi pula kan tak
ada aturan yang melarang orang tertawa, iya
kan?"
Macukunda terdiam. Kalayawana benar, memang
tak ada
aturan yang melarang seseorang dari luar
gelanggang
membantu rekannya yang sedang tarung. Tak
ada aturan
melarang ia membantu muridnya dengan tertawa
dari luar
gelanggang. Dua anak murid Mahameru melompat
ke dalam
arena menggotong mayat pendekar Ujung
Pangkah itu.
Kalabendana melompat keluar arena sambil
berseru, "Aku
mau istirahat dulu."
Seorang lelaki botak, Tongkat Besi dari Gunung
Limas
menerobos arena menantang Kebo Bantala.
Pertarungan
berlangsung imbang dan ketat, tongkat besi
lawan golok.
Setelah tarung puluhan jurus, Kebo Bantala
berhasil melukai
dada lawan Darah mengucur dan lukanya tetapi
Tongkat Besi
tak mau menyerah. Makin lama k makin
melemah, di pihak
lain Kebo Bantala tak mau turun tangan
kejam. Akhirnya
Macukunda memerintah adik perguruannya
melerai
perkelahian.
Pertarungan berlanjut. Ada perkelahian
lantaran dendam,
ada yang memang ingin adu kepandaian semata.
Waktu
berjalan cepat. Matahari makin condong ke
barat dan para
pendekar yang masuk gelanggang makin lihai.
Pendekar yang
bertarung makin terpilih dan makin sedikit.
Dari tadi Wisang Geni duduk terpaku. Tanpa
disadarinya
matanya sering memandang ke dua tempat,
tenda Jayawikata
dan Sempani. Dilihamya seorang lelaki
menghampri Sempani.
Meski agak jauh tetapi Wisang Geni bisa
mengenalinya. Dia
Lembu Agra, rupanya murid pengkhianat itu
baru muncul.
Sekonyong-konyong Sempani masuk gelanggang.
Ia bertolak
pinggang. Suaranya bening dan lantang.
"Aku Sempani dari
Tanjung Ligit, aku punya hutang piutang
darah dengan
Padeksa, maka aku menantang Padeksa dari
Lemah Tulis, ayo
cepat keluar, kita bikin perhitungan, kamu
atau aku yang
mati!"
Wisang Geni berkata lirih, "Bangsat,
pasti pengkhianat itu
yang memberitahu keadaan guru yang belum
sehat." Lalu
kepada Padeksa ia berkata dengan nada
khawatir. "Guru,
kamu tak boleh masuk, biar aku saja,
sekalian kulunasi hutang
darah Lemah Tulis."
Suara Sempani terdengar lagi. "Mana
Padeksa? Kenapa
tidak berani keluar, apa kamu sudah tak
punya kehormatan
lagi?"
Wisang Geni dan rombongan, serba salah. Tak
mungkin
Padeksa masuk gelangang dalam keadaan tubuh
belum pulih,
sama dengan mengantar nyawa percuma. Waning
Hyun
menghampiri Geni, ia berbisik halus.
"Kalau aku menolongmu
sekarang ini, apa terhitung kamu berhutang
budi padaku,
suatu saat aku akan minta tolong padamu maka
kau harus
bersedia, ya atau tidak?"
Wisang Geni memandang Waning Hyun dengan
penuh
tanda tanya. Tetapi ia tak punya pilihan.
Geni mengangguk.
Waning Hyun bertanya lagi, "Kamu yakin
bisa mengatasi
Sempani?" Sekali lagi, Geni mengangguk
mantap.
Tak ayal lagi Waning Hyun berteriak.
Suaranya nyaring
namun cukup jelas didengar semua orang.
"Hai Sempani,
kamu belum berharga untuk menantang Ki
Padeksa. Semua
orang tahu kamu adalah penjahat cabul,
pemerkosa, mana
bisa disejajarkan dengan Ki Padeksa. Satu
syarat dan aturan
tarung di sini adalah sepadan. Kau tidak
sepadan dengan Ki
Padeksa. Kamu orang jahat, penjahat cabul,
dan entah apalagi
kejahatanmu. Sedang Ki Padeksa adalah orang
jujur yang
selalu menjaga kehormatannya."
Orang-orang yang mendengar ucapan Hyun
tertawa keras.
Riuh tawa itu membuat Sempani meluap
amarahnya. "Jangan
banyak bacot, bilang saja Padeksa takut. Itu
saja yang aku
perlukan bahwa Padeksa tidak punya
kehormatan. Biar semua
orang tahu kini bahwa Lemah Tulis memang
sudah tak punya
kehormatan lagi. Ayo Padeksa, keluar
kau!"
Waning Hyun berteriak lagi, "Sempani
goblok, aku sudah
katakan bahwa Ki Padeksa itu tidak sepadan
dengan kamu.
bukan karena takut tetapi ia merasa jijik
berhadapan
denganmu Begini saja, biar muridnya saja
yang tarung lawan
kamu. Sebenarnya ia juga tidak sepadan
dengan kamu, ia
masih perjaka dan belum kawin, tetapi kamu,
toh semua
orang tahu kelakuan penjahat cabul macam
Sempani si
pendekar gadungan."
Bagaikan kebakaran jenggot saking marahnya,
Sempani
berteriak, "Mana dia, biar muridnya
dulu yang kupatahkan
batang lehernya, nanti baru menyusul
gurunya. Mana dia?"
Waning Hyun tertawa nyaring. "Jangan-jangan
tangan dan
kakimu yang patah."
Sempani teriak lagi, suaranya mengguntur.
"Mana dia?"
Wisang Geni berdiri. Ia melirik Wulan dan
Sekar. Ia
mengucap terimakasih kepada Waning Hyun. Tak
lupa ia
mohon diri pada Padeksa. Dua perempuan itu,
Wulan dan
Sekar hampir berbareng mengingatkan agar
hati-hati.
Pada saat itu sesosok bayangan berkelebat.
Orang hanya
merasa kesiuran angin, tahu-tahu di tengah
gelanggang telah
berdiri seorang lelaki jangkung dan tampan
dengan jubah
hijaunya bergerai ditiup angin. Dialah
Manjangan Puguh. Ia
memberi hormat kepada Macukunda. "Maaf,
aku terlambat
datang karena ada yang harus
kukerjakan."
Macukunda berdiri membalas hormat. "Ho,
ho, ho, kau
sudah datang, merupakan kehormatan bagiku,
Ki Manjangan
Puguh, silahkan kamu istirahat dulu."
Sambil ia memerintah
dua anak muridnya untuk mengantar Manjangan
Puguh.
Manjangan Puguh menoleh pada Sempani.
"Maaf Ki
Macukunda, sudah bertahun-tahun aku mencari
orang ini yang
namanya Sempani, ia tak boleh tarung dengan
siapa pun , ia
harus membayar hutang darah padaku!"
Berkata demikian Manjangan Puguh langsung
menyerbu
Sempani dibuat kalang kabut menangkis. Dalam
gelanggang
tarung terjadi perkelahian sengit. Macukunda
berteriak keras.
"Ki Manjangan kuharap dengan segala
hormat, pandanglah
mukaku, jangan merusak jamuanku, semua
pertarungan harus
ada tata kramanya. Hentikan dulu amarahmu
Ki."
Bersamaan dengan itu empat pendekar yang
dari tadi
berdiri di belakang Macukunda melesat ke
dalam gelanggang.
"Tahan!"
Manjangan Puguh menghentikan serangannya
Tadi orang
hanya melihat bayangan berkelebat mengurung
Sempani.
Tahu-tahu bayangan itu hilang dan Manjangan
Puguh terlihat
berdiri tenang lima tombak dari Sempani yang
masih kalang
kabut menangkis. Hebat gerakan Manjangan
Puguh. Sebagian
orang meleletkan lidah, kagum, melihat ilmu
ringan tubuh
yang begitu tinggi
"Benar-benar nama Manjangan Puguh bukan
nama
kosong." Hanya itu yang diucapkan empat
pendekar
Mahameru itu. Selanjutnya mereka diam
menanti perintah
Macukunda.
"Apa maksudmu Ki Macukunda? Bukankah
jamuan ini kau
selenggarakan untuk pertarungan. Nah aku
sudah memilih
Sempani sebagai lawan, kenapa kamu
mengatakan aku
mengaco jamuanmu?"
Macukunda tertawa. "Kau terlambat
datang makanya kamu
tidak tahu bahwa Sempani sudah menantang Ki
Padeksa dari
Lemah Tulis. Kubu Ki Padeksa menganggap
Sempani tidak
sepadan dan menyodorkan murid Padeksa untuk
menghadapi
Sempani. Maka pertarungan ini sudah resmi,
tak bisa diubah
lagi kecuali memang Ki Sempani mau tarung
denganmu lebih
dahulu tapi kulihat Ki Sempani sudah
kewalahan melawanmu
tadi, mana berani dia menerima
tantanganmu." Macukunda
tertawa geli "Eh Ki Sempani apakah kamu
mau berganti
musuh, kini menghadapi Ki Manjangan
Puguh?"
Sempani tertawa keras. "Manjangan Puguh
boleh menanti
giliran. Sebenarnya aku ingin juga menjajal
ilmu dari
perguruan Merapi, tetapi sekarang biar
kuminum darah murid
Padeksa itu, aku memang sedang haus, hayo
mana dia
orangnya, keluar kamu."
Wisang Geni melangkah lebar memasuki
gelanggang. Ia
tidak menggunakan ilmu ringan tubuh, tetapi
mengerahkan
tenaga Wiwaha di setiap langkahnya. Setiap
ia melangkah,
tanah bergetar dibuatnya. Begitu sampai di
dekat Manjangan
Puguh, ia berlutut menyentuh ujung kaki
gurunya. Tentu saja
sang guru terkejut, "Geni mengapa kamu
yang maju?"
"Tidak usah khawatir, guru, aku bisa
menjaga diri." Sambil
berkata Geni mengerahkan tenaga maha dingin
melalui ujung
kaki Manjangan Puguh. Gurunya terkejut
ketika ada tenaga
maha dingin merembes kuat dari kakinya. Ia
tak mengerti dari
mana Geni memperoleh tenaga dalam sehebat
itu. Jelas itulah
tenaga dalam pendekar kelas satu. Manjangan
Puguh tak bisa
berbuat sesuatu pun. Itu pertarungan resmi.
Ia hanya bisa
berpesan agar muridnya hati-hati dan
waspada.
Wisang Geni menatap Sempani. Wajah lelaki
itu dipenuhi
bintik warna hitam Ketika ia tertawa tampak
giginya jarang
dan kuning.
Rambutnya jarang tetapi panjang bergerai
sampai pundak
sehingga tampak lucu. Wajah yang buruk.
Pendekar buruk rupa itu tertawa keras.
"Ini caranya
Padeksa dari Lemah Tulis menghindar dari
tantangan. Dia
takut menerima tantanganku sampai rela
mengorbankan
muridnyayang masih begini muda dan berbau
kencur."
Geni tertawa keras. Lebih keras dari tawa
Sempani.
Tertawa khas yang dipelajarinya di lembah
kera Tawa itu
dikerahkan dengan tenaga Wiwaha tingkat
paling tinggi. Suara
tawa itu mengalun dan bergelombang, panjang
dan
mendirikan bulu roma yang mendengarnya Itu
memang tawa
khas kera apabila sedang marah.
Tertawa Sempani terhenti. Ia mendelong
menatap Geni. Ia
cukup terkejut mendengar pameran tawa Geni
yang begitu
menakjubkan. Bahkan hampir semua orang di
situ tercengang
akan tenaga dalam Geni. Hampir tak masuk
akal ada seorang
muda yang memiliki tenaga dalam setinggi
itu. Kalau muridnya
saja sudah begitu jago, bagaimana lagi
dengan Padeksa
gurunya, gumam sebagian orang.
Sempani menatap wajah anak muda di depannya
Ia
melihat sinar mata yang tenang, bening dan
sangat dalam.
Tiba-tiba ia sadar, anak muda ini memiliki
kepandaian yang
sulit diukur tingginya Melihat dari sinar
matanya maka
pameran tenaga dalam lewat tertawa tadi itu
bukan isapan
jempol belaka. Ada rasa enggan menyeruak
dalam
sanubarinya, ia merasa gentar. Sempani cepat
mengusir dan
mengubur perasaan enggan dan takut itu.
"Aku harus
waspada, tak boleh main-main, kalau perlu
satu tak kemplang,
ia modar, itu lebih baik!"
Berpikir demikian, ia merogoh senjata dari
balik jubahnya
yang longgar. Sebatang tongkat dihiasi
kepala burung elang.
Mulut elang itu terbuka, mengkilap ditimpa
sinar matahari
siang. "Hayo keluarkan senjatamu, bocah
jelek, sebelum kukepruk
kepalamu!"
"Guruku memerintah aku agar bertarung
dengan tangan
kosong, jika hanya melawanmu saja aku harus
menggunakan
senjata maka itu akan mengurangi harga diri
dan kehormatan
Lemah Tulis." Kata-kata Geni sengaja
diucapkan keras agar
didengar semua orang. Tentu saja orang-orang
yang hadir di
situ geger, ucapan Geni itu agak sombong,
namun melihat
tenaga clalamnya ketika tertawa tadi, jelas
Geni punya ilmu
silat yang sangat mumpuni.
Sempani tersenyum dingin. Ia tahu anak muda
itu
memancing dia agar kalap. Itu siasat kuno
sebab orang kalap
akan kehilangan banyak tenaga dan berkurang
konsentrasinya
Sempani tak banyak omong. Langsung menyerang
ke bagian
tubuh yang mematikan. Dalam beberapa
gebrakan awal, Geni
bisa mengukur kehebatan lawan. Tak begitu
hebat, masih bisa
diatasi, begitu pikirnya.
Geni tak ragu lagi, mengeluarkan jurus Bang
Bang Alum
Alum bergantian Garudamukha dengan ilmu
ringan tubuh
Waringin Sungsang dan tenaga Wiwaha,
semuanya jurus
andalan. Dua puluh jurus berlalu, tongkat
pendek Sempani tak
bisa mendesak Geni. Bahkan dilihat lebih
teliti, sedikit demi
sedikit Geni mulai menguasai pertarungan.
Sempani sendiri
terkejut. Tak disangkanya ilmu silat Geni
setinggi itu Ia sadar
kini ia dalam kesulitan. Ini pertarungan
paling berbahaya
seumur hidupnya. Ketika bertarung dalam
perang Genter
maupun ketika menyerbu memorakporanda Lemah
Tulis, ia
tak sendirian. Banyak kawan. Tetapi sekarang
ini ia harus
bertarung sendirian. Dan lawan yang dihadapi
meski muda
usia namun ilmu silat dan tenaga dalamnya
sangat tinggi.
Tiba-tiba Wisang Geni menarik diri, melompat
mundur agak
jauh ke belakang. Bukan hanya Sempani yang
kaget, semua
yang hadir merasa heran. Tidak biasanya
seorang yang sudah
unggul dan berada atas angin melompat mundur
memberi
kesempatan lawan berbenah diri. Ada apa?
Sambil memandang sekeliling, Geni menengadah
langit dan
berkata dengan pengerahan tenaga Wiwaha,
kedengarannya
seram "Hari ini satu lagi dari musuh
Lemah Tulis akan kukirim
ke kuburan. Kamu Sempani, kamu
bertanggungjawab atas
kematian orangtuaku dan ikut menyerbu Lemah
Tulis. Kamu
akan mati hari ini, hutang darah bayar
darah, hutang nyawa
bayar nyawa!"
Suara Geni terdengar menyeramkan. Sempani
merasa
keder. Untuk mengatasi rasa takutnya, ia
berteriak. "Kamu
siapa? Apa kamu pikir kamu sudah mengalahkan
aku?"
Geni berkata keras, nada dingin.
"Namaku Wisang Geni,
ayahku adalah Gajah Kuning, ibuku Sukesih.
Hari ini kamu
harus mati, hutang nyawa bayar nyawa!"
Perasaan keder itu kembali menghantuinya,
untuk
mengatasinya Sempani berteriak keras.
"Bukan aku yang mati,
tetapi kau yang akan kukirim ke neraka, anak
bangsat!"
Geni menyerbu dengan jurus Gongkrodha. Hawa
panas
keluar dari sepasang tangannya. Sempani
terkejut, mundur
dengan menggelinding ke belakang.
Orang-orang terkejut
melihat Sempani begitu terdesak. Hebat anak
muda ini, begitu
gumam penonton.
Pukulan Geni tegas mengarah kepala Sempani
yang mau
tidak mau harus menangkis dengan tongkat.
Sempani
mengeluh, karena kalah tenaga. Sedang Geni
merasa senang
dan yakin akan segera menghabisi lawannya.
Ia tak tahu
bahwa Sempani sedang memasang perangkap.
Ketika terjadi
benturan tangan dengan tongkat, kaki Sempani
naik ke atas.
Ia bukan menendang, tetapi menyaruk tanah
dengan kaki dan
menghantamkannya ke wajah Geni. Sementara
tangan yang
memegang tongkat mengemplang kepala Geni.
Dalam sekejap saja, dari posisi terdesak,
Sempani berubah
menjadi unggul mutlak. Kini posisi berbalik.
Geni dalam
bahaya. Matanya terancam buta, kepalanya
bisa remuk! Geni
sendiri tak menyangka keadaan bisa berbalik
seperti itu. Tapi
ia tidak gugup. Ia mengerahkan tenaga Wiwaha
dan meniup
keras tanah yang mengarah wajahnya. Tangan
menyampok
menangkis tongkat lawan. Tetapi serangan
Sempani masih
berlanjut. Saat tongkatnya ditangkis, ia
sengaja menghentak
ujung tongkat. Mulut elang di ujung tongkat
itu seperti
menghembus asap halus. Itu bubuk racun!
Sempani berteriak,
"Mampus kamu!"
Geni terkesiap. Tongkat hanya sejengkal dari
wajahnya.
Tak ada ruang untuk mengelak. Apalagi
Sempani masih
menyusul dengan serangan lain, tendangan
mematikan ke
selangkangan dan pukulan tangan mengancam
dada Geni.
Geni berlaku nekad. Ia yakin tenaga Wiwaha
bisa
mengendalikan asap racun itu, seganas apa
pun racun itu.
Tiga gerakan dilakukan Geni berbarengan. Ia
meniup sekuat
tenaga membuyarkan asap beracun, mengangkat
kaki kiri
menangkis tendangan dan dua tangannya
berputar di depan
dada. Itulah jurus Nyakra Manggilingan
(Berputar seperti
kincir) dari Bang Bang Alum Alum. Ada lagi
gerak lanjut Geni
dan yang sangat mengejutkan Sempani.
Setelah meniup satu kali, Geni masih
menambah lagi tiupan
susulan yang lebih bertenaga. Asap racun
bergerak dengan
tenaga besar ke wajah lawan. Sempani
bukannya takut akan
asap racun itu, karena ia tadi sudah menelan
pemunahnya.
Tetapi ia terkejut karena tak menyangka Geni
dalam keadaan
tarung, masih bisa meniup dengan tenaga
besar. Hampir tak
masuk akal.
Bagi lain orang mungkin tak masuk akal dan
mustahil,
tetapi bagi Geni yang telah menguasai Wiwaha
hal itu tak
terlalu sulit. Semua berlangsung ringkas dan
cepat. Tiga
gerakan Geni itu bukan cuma meloloskan diri
dari ancaman
bahaya, malahan berbaik mencelakakan
Sempani.
Terdengar teriakan Sempani. Tangannya
seperti masuk ke
dalam pusaran berkekuatan tenaga dahsyat. Ia
lak berdaya
mengatasinya. Tulang tangannya patah di
beberapa bagian.
Tetapi itu belum semua! Tangan Geni yang
berputar
mendadak diluruskan ke depan. Sekali lagi
Sempani berteriak.
Beberapa tulang dadanya remuk.
Sempani terlempar ke tanah. Darah keluar
dari mulutnya.
Matanya melotot memandang tak percaya kepada
Wisang
Geni. Mulutnya serasa terkunci. Dia sudah
malang melintang
di dunia persilatan selama bertahun-tahun
dan telah
mengalami banyak pertarungan dahsyat, tapi
kini terbaring
sekarat. Ia memandang tak percaya.
Geni tertawa sinis. "Kamu tadi mengatakan
ingin menjajal
ilmu dari gunung Merapi. Itu salah satu
jurus dari Bang Bang
Alum Alum. Kau juga mengatakan Lemah Tulis
tak punya
kehormatan lagi, asal kamu tahu itu tadi
jurus Garudamukha.
Pergilah ke neraka, Sempani. Aku sudah
melunasi hutang
nyawa orangtuaku!"
Sempani membuka mulut. Suaranya pelan tapi
terdengar
jelas, karena ketika itu suasana lengang,
tak ada suara.
Semua orang terdiam
"Bunuh aku, bunuh aku, jangan biarkan
aku begini!"
Wisang Geni menggelengkan kepala. "Aku
tak bisa
membunuh lawan yang sudah tak berdaya. Lagi
pula kau tidak
punya kehormatan lagi untuk meminta sesuatu
dari murid
Lemah Tulis!"
Saat itu dua murid Mahameru melompat ke
arena. Mereka
menghampiri dan akan menggotong Sempani
keluar arena.
"Jangan, jangan angkat aku. Bunuhlah
aku, bunuh aku!"
Suara Sempani memelas. Ia lebih ingin mati
di dalam arena
daripada digotong keluar sebagai pecundang.
Dua murid
Mahameru itu memandang kepada Macukunda.
Melihat ketua
Mahameru manggut, seorang diantaranya
menunduk dan
menekan dada Sempani. Pendekar itu mati!
Semua mata memandang Wisang Geni dengan
kagum
Orang tak pernah menyangka ia bisa menang.
Pertarungan
berlangsung singkat tapi begitu mencekam dan
dipenuhi saatsaat
berbahaya. Bahkan disebut yang paling seru
dan bahaya
sejak tadi pagi.
0 komentar:
Posting Komentar