Gajah Watu merasa takjub akan peruntungan
Geni. "Aku
pernah mendengar cerita guruku tentang
kehebatan pendekar
Lalawa itu. Ia hidup lebih dari seratus
tahun lampau, ilmunya
memang tinggi. Kau beruntung Geni, mewarisi
ilmunya itu."
"Tapi paman, aku mengalami kesulitan
yang tak bisa
kuatasi sampai saat ini. Setiap memainkan
jurus Garudamukha
Prasidha aku tak bisa menggunakan tenaga
Wiwaha.
Sepertinya tenagaku tersumbat Tapi kalau
menggunakan
Garudamukha tingkat biasa atau ilmu dari
guru Manjangan
Puguh, tenaga Wiwaha itu mengalir lancar
tanpa hambatan."
"Geni, kau beruntung memperoleh ilmu
paling handal dari
Lemah Tulis itu. Gurilmu Padeksa juga aku
bahkan kangmas
Bergawa dan kangmas Branjangan selalu
memimpikan ilmu
ini. Kalau saja kami terutama kangmas
Bergawa berjodoh
memperolehnya, aku yakin malapetaka di Lemah
Tulis itu tak
akan pernah terjadi."
Gajah Watu muram tiba-tiba ia sadar, mungkin
peruntungan Geni, merupakan pertanda awal
bangkitnya
Lemah Tulis?
"Geni, selalu dalam melatih ilmu
diperlukan pengenalan
mutlak terhadap ilmu itu sendiri. Apakah kau
sudah mengenal
Prasidha mutlak, utuh dan tuntas?"
"Paman, aku memang sudah mempelajari
tuntas Prasidha.
Tapi kau benar, paman, ada satu kalimat yang
sampai
sekarang tak bisa kumengerti Aku rasa
mungkin ini kunci
permasalahan mengapa tenagaku tak bisa
mengalir lantar saal
memainkan Garudamukha Prasidha. Bunyinya
begini,
Parahwanta Angentasana Dukharnawa,
(Hendaknya aku
menjadi perahilmu menyeberangi laut
kesusahan) mungkin
paman tahu artinya?"
Wisang Geni penuh harap kalimat itu akan
terpecahkan
maknanya. Tapi sayang Gajah Watu pun tak
bisa menembus
maksud kalimat itu. Gajah Watu memandang
Geni dengan
gundah. "Agaknya kalimat itu sebuah
perumpamaan yang
mengandung falsafah. Aku belum pernah
mendengar
sebelumnya. Aku juga tak tahuapamalmakalimat
itu, tapi akan
kupikirkan. Mungkin suatu hari kelak aku
bisa menjawabnya."
Tanpa terasa hari sudah senja. Tak lama lagi
matahari akan
tenggelam di peraduan. Baik Geni maupun
rombongan Gajah
Watu sama-sama bertujuan ke puncak Mahameru.
Ranggawuni mengajak Geni untuk melakukan
perjalanan
bersama. Tapi Geni menolak, dia lebih suka
melakukan
perjalanan sendiri.
---ooo0dw0ooo---
Dendam Turun Menurun
Begitu tiba di kaki gunung, Wisang Geni
pamitan pada
Gajah Watu dan rombongannya. Ada satu
perasaan yang sulit
dilukiskan yang membuat dia merasa enggan berjalan
bersama-sama tiga bangsawan itu. Dia merasa
lebih bebas
melakukan perjalanan sendiri. Apalagi dia
juga tidak perlu
bergegas mengingat hari pertemuan Mahameru
masih lama.
Malam itu ia tidur di atas pohon. Keesokan
harinya dia
terjaga pada saat matahari sudah agak
tinggi. Ia melanjutkan
perjalanan dengan melangkah santai. Siang
hari ia tiba di
Ngadas, sebuah desa kecil di timur laut
gunung Lejar dekat
kali Bango. Meski tergolong kecik tapi
Ngadas adalah desa
yang padat penduduk.
Ketika sedang mencari warung makan, di
tengah jalan
ilmum dia berpapasan dengan seorang lelaki.
Geni merasa tak
asing melihat wajah tampan lelaki berusia
lirnapuluhan itu.
Tapi ia lupa di mana pernah bertemu. Lelaki
itu sudah agak
jauh saat mana Geni teringat siapa orangnya.
Dialah lelaki
yang bergandengan mesra dengan Wulan di
keramaian pesta
tahunan gunung Lejar. Tanpa sadar Geni
berbalik arah,
mengikuti lelaki itu dari jauh.
Tak lama kemudian mereka tiba di luar desa.
Lelaki itu
melesat cepat menggunakan ilmu ringan tubuh.
Tak ayal Geni
pun menggelar Waringin Sungsang mengejar
lelaki itu. Mudah
bagi Geni karena ternyata ilmu ringan
tubuhnya masih satu
tingkat di atas lelaki itu. Namun ia tak
berani terlalu mendekat
Lelaki itu tiba di tengah hutan. Dari jauh
tampak
sekumpulan orang duduk-duduk. Khawatir
kehadirannya
kepergok, Wisang Geni melesat ke kerimbunan
pohon
menggunakan Waringin Sungsang yang paling
handal. Dia
melesat dari pohon ke pohon tanpa
menimbulkan suara yang
mencurigakan. Diam-diam dia bersyukur pernah
melatih ilmu
ringan tubuh dengan mencontoh gerakan kera
bermain di
pepohonan. Ternyata ilmu itu kini
bermanfaat. Ia mengendap
di salah satu pohon terdekat yang
memungkinkan dia melihat
dan mendengar dengan jelas.
Sampai saat itu dia masih belum sadar apa
dan mengapa
alasan dia membuntuti dan mengintip lelaki
itu. Pada awalnya
Geni hanya merasa ingin tahu, siapa lelaki
yang sanggup
membetot cinta Wulan darinya. Dia juga
berpikir adanya
kemungkinan lelaki itu menuntunnya ke tempat
Wulan berada.
Namun setelah melihat situasi di tengah
hutan itu, dia merasa
curiga Dia merasa aneh melihat banyak orang
berkumpul di
tengah hutan. Jumlahnya sekitar limapuluh
orang. Semua
mengenakan pakaian dan ikat kepala serba
hitam
Lebih lanjut dia memerhatikan, rupanya
lelaki yang
dibuntutinya adalah pemimpin. Orang-orang
itu bangkit dari
duduk. Mereka berdiri sambil memberi hormat
kepada lelaki
itu. Sesaat kemudian suasana lengang dan
sunyi Seorang
lelaki tua tampil ke depan. Setelah memberi
hormat kepada si
pemimpin, ia berseru, "Karena saudara
ketua sudah tiba dan
hari sudah agak siang maka pertemuan
dimulai. Silahkan
saudara ketua bicara"
Lelaki itu maju dan duduk di atas batu
besar. Orang-orang
itu mengucap salam dan memberi hormat kepada
ketuanya,
kedengarannya riuh. Suasana kembali hening
saat si ketua
mengangkat tangan dan mulai bicara, suaranya
tidak keras
tapi lantang dan jelas. "Saudara dan
kerabatku, pertemuan
hari ini tidak akan lama. Aku hanya ingin
mengetahui apakah
beberapa anggota sudah melaksanakan tugasnya
dan apa
hasilnya? Apakah sudah menghubungi Ki
Sempani dan
pendekar Sapikerep, dan juga bagaimana hasil
penyelidikan di
Alas Irengan, apakah si Padeksa itu masih
tinggal di sana?"
Tiga orang maju, mereka memberi hormat Salah
seorang
melapor. "Saudara ketua, kami bertiga telah
melaksanakan
tugas. Kami jumpa langsung dengan Ki Sempani
dan dua
pendekar Sapikerep. Mereka bertiga berjanji
menghadiri
pertemuan Mahameru dan mereka merasa gembira
telah
diajak serta dalam upaya membasmi perguruan
Lemah Tulis."
Setelah berkata demikian, mereka mundur ke
dalam barisan.
Beberapa orang lain maju. Salah seorang
melapor. "Kami
sudah menyelidik perdikan Lemah Tulis dan
Alas Irengan. Tak
sejengkal tanah pun yang lolos dari
pengamatan kami, tapi
Padeksa tak kami temukan. Di Lemah Tulis tak
ada lagi murid.
Hanya orang-orang desa biasa. Di perdikan
Alas Irengan, kata
orang di sana, sudah lima tahun lebih
Padeksa bepergian.
Sepanjang perjalanan pulang kami mencari
kabar, tetapi
Padeksa lenyap seperti ditelan bumi."
Ketua itu mengibas tangannya. Ia berseru,
"Baik,
terimakasih kalian telah melaksanakan tugas.
Rencana kita
tidak berubah. Aku harapkan Padeksa dan
Gajah Watu akan
muncul di Mahameru. Kalau mereka muncul,
kalian sudah tahu
bagaimana harus bertindak. Sekali ini mereka
tidak boleh
lolos, harus mati!" Dengan penuh
semangat dia melanjutkan,
"Kalian ingat, saat ini adalah saat
kebangkitan perguruan kita,
inilah saat menentukan bagi kita semua untuk
menebus malu
dan membayar hutang darah keluarga dan
perguruan kita.
Tapi satu hal yang kalian tidak boleh lupa,
perempuan
bernama Wulan itu sekali-sekali tak boleh
dilukai. Ingat siapa
melanggar perintah ini, akan menerima
pukulan Pitu Sopakara
dan itu berarti mati dengan tubuh
hancur!"
Setelah melalui pembicaraan singkat yang
hanya
menyangkut tata aturan perguruan, pertemuan
kemudian
diakhiri. Semua orang termasuk ketua
perguruan duduk
bersila dalam sikap semedi. Mereka seperti
menggumam,
mulanya terdengar suara mendengung, suara
makin lama
semakin keras sampai akhirnya mereka
berteriak membahana,
"Turangga jaya!" Mereka bubar,
satu demi satu meninggalkan
hutan.
Wisang Geni terpaku di atas pohon. Bulu
kuduknya berdiri.
Tanpa sengaja dia menemukan keuntungan.
Secara kebetulan
bisa menyaksikan sendiri pertemuan partai
Turangga yang
sedang menyusun rencana jahat menghancurkan
Lemah Tulis.
Bahkan secara tersembunyi orang-orang partai
Turangga ini
mengincar nyawa gurunya, Padeksa dan Gajah
Watu, dua
tokoh paling sepuh dari Lemah Tulis.
Untung Padeksa tidak ada di Alas Irengan.
Tetapi ke mana
perginya? Geni risau memikirkan keselamatan
Padeksa. Ia
berharap gurunya hadir di Mahameru supaya ia
bisa
memastikan keselamatannya. Tetapi hati
kecilnya berharap
Padeksa tidak hadir di Mahameru mengingat
ancaman partai
Turangga. Tetapi kenapa harus takut? Apa
hebatnya
Turangga? Dulu pun orang-orang hebat di
Turangga tak ada
yang lolos dari kematian ketika Rama Balawan
dan muridmurid
Lemah Tulis menyerbu dan membasmi habis
perguruan
sesat itu.
Tetapi yang ditakuti Wisang Geni adalah
musuh
bersembunyi dari tidak ketahuan
identitasnya. Musuh-musuh
itu pasti akan menyerang, tetapi kapan
waktunya dan di mana
tempatnya, adalah hal tersembunyi.
"Orang-orang itu tidak punya malu,
mereka bisa
menghalalkan segala cara meskipun melanggar
tatacarakependekaran.
Aku harus memberitahu guru dan semua
murid Lemah Tulis tentang ancaman
tersembunyi ini. Tetapi
apakah aku masih punya kesempatan
memberitahu mereka,
semoga aku akan bertemu guru dan paman Gajah
Watu di
Mahameru nanti."
Di balik ketakutan akan serangan gelap
musuh-musuhnya,
dia merasa gembira. Di Mahameru nanti
kemungkinan besar
Sempani dan sepasang pendekar Sapikerep akan
hadir. Dia
akan memanfaatkan pertemuan itu untuk balas
dendam.
Dengan ilmu Wiwaha dia yakin akan sanggup
mengalahkan
musuh-musuhnya. Geni tak pernah lupa cerita
Padeksa. Tiga
nama itu masuk dalam rombongan yang
membumighanguskan Lemah Tulis. Hutang darah
bayar
darah. Sempani, Bango Samparan dan
Tambapreto dibantu
para punggawa mengeroyok mati Gubar Baleman
dan Mahisa
Wlungan. Satu sudah mati, Tambapreto, tetapi
Sempani dan
Bango Samparan masih hidup. Begitupun
Sepasang Iblis
Sapikerep yang mengeroyok mati Kebo Jawa,
adik perguruan
ayah Geni.
Jantung Wisang Geni berdegup kencang. Hari
pembalasan
sudah dekat. Tubuhnya menggigil menahan
geram. Namun ia
sadar, ia belum tahu seluruhkekuatan lawan.
"Aku harus hatihati,
tidak boleh memandang enteng lawan."
Geni melihat sekeliling. Sunyi, tak ada
orang. Sesaat ia
berpikir, menculik salah seorang lawan yang
lemah untuk
diperas rahasianya atau membuntuti ketua
Turangga itu.
"Siapa tahu Wulan dalam bahaya
besar?"
Berpikir begitu Geni segera menggelar
Waringin Sungsang
mengejar ketua Turangga. Tak lama kemudian
ia melihat
sosok lelaki yang dicarinya. Rupanya ketua
Turangga itu tidak
bergegas. Geni membuntuti dari jauh. Ia sampai
di desa.
Lelaki itu menuju sebuah rumah besar di
pinggiran desa.
Rumah dikelilingi pagar bambuyang tinggi
sehinggakegiatan
apa pun yang terjadi di balik pagar itu,
tidak akan terlihat dari
jalanan.
Geni memandang keliling. Dekat rumah itu ia
melihat
sebuah pohon cemara besar yang menjulang
tinggi Tak ayal
lagi Geni melesat memanjat pohon. Dari
ketinggian itu ia bisa
leluasa melihat lintas pagar. Rumah itu
besar, pekarangannya
luas. Tak heran kalau banyak penghuninya.
Geni mencium
sesuatu yang kurang wajar. Semua orang
berpakaian rombeng
seperti pengemis.
Geni melihat dua pengemis keluar dari rumah.
Mereka
berlari menuju ke arah Timur. "Aku
punya akal," gumam Geni.
Cepat ia melompat turun membuntuti dua
pengemis. Dari
gerakannya tampak kepandaian mereka rendah.
Sesampai di
luar desa, di tempat sunyi, Geni menyerang.
Cepat dan
telengas. Hanya dalam satu gebrakan saja dua
pengemis itu
bisa dilumpuhkan. "Aku akan bertanya
dan kalian harus
menjawab jujur. Awas, kalau jawaban kalian
tidak sama, itu
berarti kalian berbohong. Hukumannya, kalian
mati tersiksa,
lihat ini!" '
Berkata demikian sambil mengerahkan tenaga
panas Geni
mencengkeram pohon kecil yang ada di situ.
Seketika saja,
pohon itu layu dan kering. Pengemis yang
muda usia
memandang dengan ketakutan sedang yang tua
tampaknya
tidak gentar.
Geni tersenyum dingin. Ia mencengkeram
lengan pengemis
tua yang seketika juga menggigil kedinginan.
Saat berikut
wajahnyamerah kepanasan, keringat membasahi
tubuhnya.
"Kamu rupanya mau menderita panas
dingin bergantian
seilmur hidupmu, tak akan ada obat
pemunahnya. Aku adalah
raja racun yang paling ganas di kolong
langit. Kalau itu
mailmu maka aku tak punya pilihan
lain."
Pengemis tua itu ketakutan. "Jangan,
jangan!"
Geni memisahkan dua orang itu, jaraknya
cukup jauh
sehingga satu sama lain tak bisa saling
mendengar. Dia
bertanya pertanyaan yang sama kepada dua
pengemis itu.
Dari jawabannya dia bisa meneliti mereka
berbohong atau
menceritakan hal yang benar. Setelah
memperoleh
banyakketerangan, Geni melepas dua pengemis
itu. Ketika
mereka melangkah, mendadak Geni melayangkan
pukulan.
Lawan jatuh tertelungkup. Dua pengemis itu
kaget. Geni
tertawa. "Tidak! Aku tidak membunuh
kalian. Itu pukulan
ringan, tapi kalian sudah kena racun panas.
Kalian bisa
sembuh dengan sendirinya apabila pergi dari
sini dan tinggal
di daerah dingin di lereng gunung, lebih
cepat lebih baik
sebelum racun itu mengganas."
"Tetapi kami..."
"Tidak perlu takut, kalian tidak akan
mati kalau menuruti
apa kataku. Pergilah ke lereng gunung,
tinggal di sana selama
satu bulan, maka kalian akan sembuh. Jika
tidak pergi
sekarang, aku khawatir terlambat dan kalian
akan mati
tersiksa."
Dua pengemis itu pergi bergegas. Geni
tertawa dalam hati.
Ia mengusir dua pengemis agar mereka tidak
membocorkan
rahasia. Dari keterangan yang diperoleh Geni
mengetahui
rumah itu milik Ki Demung Pragola, tokoh
sakti ketua
perguruan Daridra. Dua hari lagi di rumah
itu akan
diselenggarakan pesta kawin Pengantin pria
adalah Ki Jaranan
ketua partai Turangga, sahabat Ki Demung
Pragola.
Siapa si pengantin wanita, pengemis itu
tidak tahu karena
belum pernah melihat wajahnya. "Tetapi
menurut kawankawanku
si pengantin sangat cantik," tutur si
pengemis. Tapi
pengemis muda merasa ada yang aneh karena
sempat
mendengar isak tangis dari balik jendela
kamar pengantin.
Mendengar pengakuan pengemis itu, Geni
merasa ada sesuatu
yang tidak wajar. Ia bertekad menyelidiki.
Menanti sampai hari
gelap, Geni menyelinap lewat pagar.
Geni beruntung, malam itu bulan bersembunyi
di balik
awan tebal. Keadaan agak gelap. Dia
menggunakan Waringin
Sungsang menyelinap mendekati kamar
pengantin.
Sebagaimana cerita pengemis itu, ada dua
pengawal yang
menjaga di sekitar jendela kamar. Geni
menanti kesempatan.
Begitu dua pengawal berbalik badan, ia
melesat cepat Ia
menggunakan jurus paling handal dari
Waringin Sungsang
hingga gerakannya cepat bagai siluman serta
jurus
Garudamukha agar sekali gebrak dua lawan
roboh. Ia tak mau
ambil resiko. Dua lawan itu jatuh lemas. Ia
menahan tubuh
mereka agar tidak menimbulkan suara.
Dia mengendap di bawah jendela. Dia
mendengar
percakapan lelaki dan perempuan. Suara
lelaki dikenalnya
sebagai ketua partai Turangga. Tetapi dia
merasa seperti bumi
yang dipijaknya amblas, saking terkejutnya.
Dia mengenal
suara perempuan itu, suara Wulan, "Kangmas,
cukup, tapi...
oh... jangan."
Geni bergerak pelan-pelan menjaga agar tak
ada suara
sekecil apa pun, dia mengintip. Dilihatnya
lelaki itu sedang
menggilmuli perempuan yang dari suaranya
sudah pasti
Wulan. Keduanya berpelukan. Lelaki itu
menciumi wajah dan
leher Wulan. Perempuan itu menggeliat
Keduanya berciuman.
Tangan lelaki itu menjamah dan mengelus buah
dada Wulan.
Nafasnya memburu
Saat itu Geni merasa ulu hati seperti
ditikam belati Perlahan
ia beringsut dan mengendap pergi Ia tak
pernah
membayangkan Wulan bercinta dengan lelaki
lain. Dan lelaki
itu adalah orang yang sedang menyusun
rencana membunuh
Padeksa, Gajah Watu, serta menghancurkan
Lemah Tulis. Ia
sudah hampir ke luar pagar ketika
samar-samar mendengar
jeritan. Ia memasang telinga, suara datang
dari arah kamar
pengantin. Apakah Wulan? Ketika suara
terdengar lagi, dia
yakin itu suara Wulan. Kenapa? Apakah Wulan
dalam bahaya?
Apakah ia perlu kembali? Tanpa sadar Geni
kembali ke
jendela.
Ia melihat pemandangan aneh. Wulan berontak.
"Jangan
Mas, cukup, jangan dilanjutkan." Tetapi
ia tak berdaya, si
lelaki punya kekuatan lebih. Lelaki itu
menggilmuli, memeluk
kasar, tangannya merambah kasar tubuh Wulan.
Pakaian
Wulan sudah berantakan, tidak utuh lagi,
banyak bagian yang
sudah tercabik-cabik. Ia nyaris bugil.
Si lelaki terengah-engah berkata dengan nada
tinggi,
"Kenapa kau menolak, Wulan. Kau tahu
betapa cintaku
padamu, aku kasmaran, aku tak bisa hidup
tanpa kamu. Dari
dulu sejak masih di Lemah Tulis, aku sudah
mencintaimu, kau
tahu itu kan. Dulu kita pernah bercinta,
berulang kali aku
menidurimu, tetapi belakangan kamu selalu
menolak, kau
mengulur-ulur waktu, menunda-nunda! Kenapa?
Apakah ada
lelaki lain?"
"Kangmas, jangan berkata demikian.
Sekarang ini aku
belum siap, aku belum bisa...."
"Wulan aku tak bisa bersabar lagi,
sudah bertahun-tahun
rindu dan cintaku ini kupendam, dan ini
sangat menyiksaku,
Wulan maafkan aku, malam ini aku akan
mengambil hak
milikku atas tubuhmu meskipun aku harus
memaksamu."
"Kamu tak punya hak atas diriku, aku
belum menjadi
isterimu."
"Sebenarnya aku tak memerlukan upacara
Dunia
kependekaran tak memerlukan upacara kawin,
dan upacara
besok hanya untuk memperlihatkan kepada
semua orang
bahwa kamu sudah resmi milikku. Besok malam
kita rayakan
upacara, tapi malam ini aku bersenang-senang
dulu dan kamu
harus melayaniku Wulan, kamu tak perlu
pura-pura tidak mau
karena sebelumnya aku sudah berulangkali
menidurimu,
bahkan waktu itu kamu menjerit saking
bahagianya"
"Itu dulu, Mas. Sekarang tidak lagi.
Jika kau jamah tubuhku
lagi, aku akan bunuh diri, aku bersungguh
sungguh Mas"
"Kamu ngaco, bagaimana mau bunuh diri,
menggerakkan
tenaga saja kau tak bisa. Lagi pula setelah
malam ini aku akan
menjagamu siang dan malam, jika kebetulan
aku keluar
rumah maka ada anak buahku yang menjagamu,
dan agar
supaya kamu benar-benar jinak maka aku tak
akan memberi
obat pemunah, untuk selamanya tenagamu tak
bisa pulih "
"Mas, apa enaknya kamu mengawini aku
dalam keadaan
lemah tak punya tenaga seperti ini. Mengapa
tidak kau
sembuhkan aku, kemudian beri aku kesempatan
satu bulan
untuk berpikir."
"Tak ada waktu lagi. Malam ini aku
harus menikmati
tubuhmu, besok malam upacara kawin, setelah
itu kita berdua
menuju Mahameru sebagai pasangan suami
isteri. Opo ora
hebat?"
Geni melihat lelaki itu merobek kebaya Wulan
yang
memang sudah compang camping. Ketua Turangga
itu
tertawa,"Wulan kamu cantik dan sungguh
montok, aku makin
terangsang."
Tidak bisa menahan sabar Geni menghantam
jendela
menerobos masuk. Ia melihat pemandangan yang
membangkitkan amarahnya. Wulan terbaring di
dipan,
tubuhnya hampir bugil, dua tangannya
berusaha menutupi
buah dada. Celana panjangnya robek,
kelihatan pangkal
pahanya. Rambutnya yang panjang riap-riapan.
Wajahnya
pucat, airmata membasahi pipi. Ia gembira
melihat ada
seseorang yang menolongnya. Ia tak kenal
Geni, karena sejak
keluar dari jurang Geni belum memangkas
rambut, brewok
dan kumisnya yang acak-acakan tak terurus.
Geni tak sempat mengawasi lama-lama karena
saat itu
terdengar bentakan. Lelaki bernama Jaranan
itu gesit
melompat dan menyerang Geni. "Siapa
kamu, berani lancang
masuk kamarku!" Tak cuma membentak,
ketua partai
Turangga itu menyerbu dengan serangan ganas.
Geni
mencium hawa pukulan berbau busuk. Ini pasti
pukulan
beracun dan ganas. Tak ayal lagi Geni
menggelar Bang Bang
Alum Alum dengan tenaga inti Wiwaha.
Bentrokan tak
terhindar, keduanya mundur selangkah.
Ternyata ketua
Turangga ini ilmunya jauh lebih hebat dari
yang dibayangkan.
Tadinya Geni agak memandang enteng karena
melihat ilmu
ringan tubuhnya yang tak begitu handal.
Saat berikut keduanya terlibat tarung lagi.
Cepat, ganas
dan berkekuatan dahsyat. Sekejap saja kamar
itu dibuat
berantakan. Beberapa jurus sudah lewat
Pertarungan makin
beringas. Geni lebih unggul dalam ringan
tubuh dan tenaga
pukulan. Tetapi dari kematangan jurus, ketua
Turangga lebih
unggul.
Suara hingar bingar di kamar memancing orang
berdatangan. Seorang lelaki berjenggot putih
menerobos
masuk. Ia tertegun sesaat kemudian
membentak, suaranya
mengguntur, "Hentikan! Siapa orang
ini?" Dua lelaki itu
memisahkan diri. Geni mundur ke dekat Wulan
yang sibuk
menutupi tubuhnya dengan kain seprei.
Geni menatap orang tua itu dengan tajam
Wajah lelaki itu
tampak teduh dan berwibawa. Jenggot dan
kumisnya
menyatu, putih. Tubuhnya tinggi tegap.
Pakaian penuh
tambalan tetapi bersih. Dari sinar matanya
yang bening dan
sikap berdirinya, Geni yakin ilmu silat
orangtua itu cukup
tinggi. Geni memberi hormat "Maaf aku
terpaksa masuk kamar
ini karena mendengar suara jerit perempuan
minta tolong."
Tiba-tiba Wulan berteriak "Geni, kau
Wisang Geni, oh jagad
dewa batara terima kasih." Ternyata
sekilas menyaksikan
jurus Bang Bang Alum Alum dimainkan ia sudah
curiga.
Setahunya hanya tiga orang di dunia yang
mahir memainkan
jurus gunung Merapi itu, Ki Sagotra,
Manjangan Puguh dan
Wisang Geni. Tetapi penampilan Wisang Geni
yang mirip
pengemis berewok membuatnya bingung. Wulan
segera
mengenali Geni dari suaranya. Suara yang
sering
dikenangnya. Geni memandang Wulan dengan
sinar mata
bahagia Ia gembira karena meskipun pakaian
dan dandanan
kumal macam pengemis, Wulan bisa
mengenalinya Itu artinya
Wulan tak pernah melupakannya. Ingin Geni
memeluk
perempuan yang dicintainya itu. Tetapi ia
menahan diri.
Bahaya masih mengancam.
Wulan membalas tatapan Geni dengan sinar
mata berbinar
dan hati berbunga Tak sehari pun berlalu
tanpa ia memikirkan
Geni kekasihnya Malam ini, ia menolak si
pengantin pria juga
sebab teringat akan Geni. Di luar dugaan
justru lelaki yang
datang menolongnya adalah Wisang Geni. Ia
senang. Namun
berbarengan hatinya ketar ketir memikirkan
keselamatan Geni.
Setahu dia, ilmu silat Wisang Geni tak
mungkin bisa
menandingi kepandaian lelaki itu. Karena
lelaki itu adalah
paman guru Geni, yakni Lembu Agra Apalagi
orang-orang di
rumah itu semuanya pendekar berilmu tinggi.
Tidak mungkin
Geni bisa lolos begitu saja dari kepungan
orang-orang itu.
Pada saat itu seorang gadis kecil menerobos
masuk kamar.
"Kakek ada apa? Kenapa pengantin
berkelahi?"
Jaranan tadi sempat melihat bagaimana
pandangan Wulan
terhadap pengemis berewok itu. Ia juga
menangkap getar
suara Wulan ketika menyebut nama Wisang
Geni. Sesaat ia
tahu, Wisang Geni adalah putra Gajah Kuning
dan Sukesih.
"Rupanya laki-laki ini yang sering
disebut-sebut Wulan. Kurang
ajar!"
Tiba-tiba ia merasa tak bisa menahan diri
lagi, hatinya
dibakar cemburu. Ia menyerang Geni dengan
hebat
Pukulannya mengancam dada, ulu hati, pelipis
dan leher.
Semuanya titik kematian. Pukulannya ganas
dan telengas.
Sebelum serangan tiba, Geni telah menemukan
jalan keluar
dan situasi yang tak menguntungkan. Begitu
diserang, ia
justru melihat adanya kesempatan. Ia
bergerak secara
naluriah dengan jurus Antarlina dari
Waringin Sungsang,
tubuhnya seperti lenyap dari pandangan. Tak
berhenti di situ
saja, sambil mengelak ia menyerbu ke depan
dengan jurus
Warajangungas (Anak panah menembus) dari
Garudamukha,
sasarannya orang tua berjenggot putih itu.
Si orang tua mendengus dan menyampok sambil
balas
menendang. Angin pukulan dan tendangannya
mengeluarkan
hawa panas. Tetapi Geni tak meladeni.
Tujuannya lain,
serangan kepada si orangtua hanya siasat.
Geni berlaku
nekad. Kesempatan ini sangat kecil, tetapi
harus digunakan.
Geni mengelak dari tendangan lawan dan
sengaja menerima
sampokan orang tua itu di pundaknya.
Pada saat sampokan mengenai pundaknya, Geni
melempar
tubuh ke sisi orang tua. Ia menyergap si
gadis kecil! Orang
tua itu sadar tetapi sudah terlambat! Begitu
juga Ki Jaranan.
Gadis itu memapak Geni dengan tusuk konde
panjang yang
digenggamnya sejak memasuki kamar. Geni
mengibas.
Lengan si gadis kesemutan dan tusuk konde
itu terlempar.
Geni melejit ke samping dipan berada di
dekat Wulan, ia
mencekal leher si gadis. "Kalian mundur
semua, aku tak ingin
mencelakai gadis ini, jangan paksa aku
membunuh anak tak
berdosa ini!"
Orang tua itu marah besar, wajahnya merah marong.
"Hei
sedikit saja kau sakiti cucuku, jangan harap
kamu lolos dari
siksaanku! Aku Demung Pragola akan melumat
tubuhmu."
"Kamu tenang saja Ki Demung. Aku hanya
ingin membawa
kawanku ini pergi dari sini tanpa diganggu
anak buahmu
Kalian tak boleh menghalangi kami. Ki Demung
jika masih
mau melihat cucilmu hidup, sekarang juga
perintahkan anak
buahmu menjauh."
Demung Pragola segera memerintahkan anak
buahnya
keluar dan menjauh dari kamar. Saat itu
terdengar Jaranan
tertawa. "Kamu pasti Wisang Geni, putra
kangmas Gajah
Kuning dan mbakyu Sukesih. Kau sudah dewasa
bahkan
berpakaian macam pengemis, tentu saja aku
tak mengenali
keponakanku sendiri. Tentu saja kamu tak
mengenalku, aku
pamanmu, Lembu Agra. Nah, lepaskan gadis
kecil itu dan
semua urusan bisa kita selesaikan dengan
aturan"
Wisang Geni terkesiap. "Inikah Lembu
Agra, adik perguruan
ayahnya. Dan kakak perguruan Wulan? Lembu
Agra murid
Bergawa. Tetapi bagaimana mungkin ia bisa
jadi ketua partai
Turangga dan bernama Jaranan? Lantas apa
hubungannya
dengan musuh perguruan, Sepasang Iblis
Sapikerep dan
Sempani? Dan kenapa ia berniat membunuh guru
Padeksa?"
Ketika itu Lembu Agra alias Jaranan
melangkah maju. Geni
berseru "Awas, sekali pencet leher
gadis ini remuk!"
Demung Pragola berseru, "Ki Jaranan,
jangan mendekat!"
Lembu Agra berhenti dan mundur kembali ke
tempat ia
berdiri.
Pragola berkata perlahan namun sangat
berwibawa. "Kalian
semua diam di tempat, jangan bergerak. Ikuti
apa maunya.
Geni, namamu Geni ya, kamu putra Gajah
Kuning dan
Sukesih, mereka adalah sahabatku, lepaskan
cucuku itu, aku
jamin kalian berdua akan meninggalkan rumah
ini tanpa ada
yang menghalangi. Ini semua kan persoalan
Lemah Tulis, tak
ada hubungan dengan aku, hayo Wisang Geni
lepaskan
cucuku!"
Geni masih bingung, tapi cekalan pada si
gadis tetap erat
Malah sebelah tangannyayang lain berada di
atas ubun-ubun
kepala si gadis. Seperti ancaman! Sekali
tangan itu turun
maka batok kepala cucu Ki Demung Pragola
berantakan.
Melihat Geni dalam keadaan bingung, Lembu
Agra
mempersiapkan suatu serangan maut. Untuk itu
ia hanya
memerlukan kelengahan Geni. Lengah sesaat
saja! Itu saja
yang diperlukan. Ia berusaha memecah
perhatian Geni.
"Wisang Geni, kau harus tahu, yang kau
hadapi ini, Ki
Demung Pragola, sahabat baik ayah dan kakek
gurilmu Kamu
tak pantas mengancam cucunya, lepaskan saja.
Lagipula
urusanku dengan Wulan adalah urusan pribadi,
kami berdua
akan menikah, kamu sebagai keponakan murid
tak pantas ikut
campur."
"Omongan apa itu, aku memang putra
ayahku, tetapi kamu
murid paman Bergawa, aku murid guru Padeksa,
artinya kita
sederajat, aku bukan keponakanmu dan kamu
bukan
pamanku!"
Saat itu Wulan berseru, "Ki Demung, aku
tak mau tinggal di
sini, aku mau ikut Wisang Geni pergi dari
sini." Lalu ia berseru
kepada Geni. "Kamu jangan lepaskan gadis
kecil itu, dia
adalah kunci untuk kita meloloskan diri.
Sekarang bawa aku
keluar dari tempat ini."
Dalam keadaan bingung, tak bisa mengambil
keputusan,
Geni gembira mendengar perintah Wulan. Tak
ragu lagi, ia
membentak Lembu Agrayang dari tadi
bersiap-siap akan
menyerangnya. "Kamu menyingkir
jauh-jauh, kalian semua
menyingkir ke dinding sana. Wulan mendekat
kemari! Ki
Demung, aku mohon maaf atas kelancanganku,
aku hanya
membawa adik kecil ini sampai di batas desa,
tolong kamu
siapkan dua ekor kuda buat kami, begitu kami
sudah bebas
dan tidak diikuti, maka adik kecil ini akan
segera aku serahkan
padamu”
"Geni kamu jangan nuiu mani denganku,
seujung rambut
cucuku copot, nyawamu jadi ganti!"
"Tidak usah khawatir, akan kutepati
janjiku!"
Orang-orang itu patuh pada perintah Ki
Demung, mereka
tidak merintangi kepergian Geni dan Wulan.
Tiba di batas
desa, Geni memanggil empat orang anak buah
Ki Demung
yang membuntuti dari jauh. Ketika hendak
kembali ke
rombongan, si gadis kecil menatap Geni.
"Apakah benar kamu
akan membunuh aku seandainya keadaan tidak
menguntungkan kamu?"
Geni tersenyum, mengusap kepala si gadis.
"Aku belum
pernah membunuh orang tak berdosa, apalagi
adik kecil yang
manis seperti kamu. Jika keadaan tidak
menguntungkan
mungkin aku akan mendorong kamu kepada
kakekmu,
selanjutnya terserah pada nasib
keberuntunganku."
Gadis itu belum mau pergi. Ia bertanya pada
Wulan. "Bibi
kenapa kamu membatalkan perkawinan?"
Wulan memeluk si gadis. "Orang kawin
itu harus suka sama
suka, tak boleh main paksa."
"Jadi bibi tak suka pada paman itu,
lalu paman mau
memaksa bibi, kemudian paman yang ini datang
menolong
bibi?" Gadis kecil itu tersenyum Wulan
juga tersenyum dan
mengangguk. Si gadis kecil pergi diiringi
empat pengawal itu.
Suasana malam sepi dan lengang. Geni menatap
Wulan. Ini
dia perempuan yang paling ia rindukan selama
ini Wulan
menangkap pancaran kehangatan cinta dalam
sinar mata
Geni. Tanpa sadar ia menghela napas panjang.
Wulan
merunduk,
Geni memegang lengan perempuan itu.
"Kenapa Wulan,
kamu menyesal meninggalkan dia?"
Wulan memegang ujung kain seprei yang
membungkus
tubuhnya. "Sudah berapa lama kau berada
di luar jendela?"
Geni menatap Wulan "Lama. Aku tadinya
sudah pergi
setelah melihat kau berpelukan dan
berciuman, aku cemburu.
Tetapi aku kembali lagi karena mendengar
suara jeritanmu."
Wulan menatap Geni dengan mata yang
berkaca-kaca.
"Aku tak menyesal meninggalkan Lembu
Agra, lagipula setelah
kejadian itu aku tak akan bisa memaafkan
dia. Aku
berterimakasih padamu, Geni, nanti setelah
aku sembuh dan
tenagaku pulih, kamu boleh pergi tinggalkan
aku."
"Lho kenapa begitu?"
"Kamu kan sudah mendengar semua apa
yang diucapkan
Lembu Agra. Ia telah meniduri aku,
berulang-ulang."
Geni bertanya spontan, "Kamu
menyukainya?"
Wulan menggeleng kepala. Namun sebelum dia
menjawab,
Geni memegang lengannya. "Kita harus
cepat pergi dari sini,
sebelum mereka datang mengejar."
Keduanya melecut kuda menembus kepadatan
hutan. Sinar
rembulan samar menerobos pepohonan, namun
tak cukup
terang. Kuda tak bisa berlari cepat karena
Wulan yang
tenaganya belum pulih tampak kesulitan. Ia
bahkan
terhuyung-huyung. Melihat itu Geni tak
sampai hati Ia
menghentikan kuda. "Wulan, kita naik
seekor kuda saja,
satunya lagi dituntun, biar lebih
cepat"
Wulan diam saja ketika Geni membopongnya.
Berjalan
beberapa langkah, Geni memeluk lebih erat.
Ia merasakan
tubuh montok yang lunak, tubuh perempuan
yang sudah lama
ia rindukan. Ia memeluk lebih erat lagi.
Wulan membalik
tubuh, pahanya di atas paha Geni, tangannya
menggelayut di
leher Geni. Ia menatap lelaki itu dengan
sinar mata penuh
bara cinta. "Keadaan masih berbahaya,
sewaktu-waktu
mereka bisa mengejar kita, aku sekarang tak
punya tenaga
terkena racun pelemas tulang."
"Baik, kita cari tempat yang sunyi,
nanti aku akan
membantu mengeluarkan racun dari
tubuhmu."
"Peluk aku, Geni, bawalah ke mana kamu
mau membawa
diriku." .
Hati-hati dan waspada, Geni mengendalikan
kuda
menembus kegelapan hutan. Malam itu bagi
sepasang kekasih
itu suatu malam yang tak mungkin dilupakan.
Tengah malam
di tengah hutan Geni menghentikan kudanya,
mereka sudah
jauh dari desa tadi. Geni turun dari kuda
kemudian melecut
dua ekor kuda itu yang kontan berlari cepat.
Wulan tak
bertanya, ia mengerti Geni sedang
menyesatkan lawan. Jika
lawan mengejar, mereka akan melacak jejak
kuda dan
memburu kuda tanpa tunggangan itu.
Keduanya melanjutkan perjalanan dengan jalan
kaki, ke
arah lain dari yang ditempuh dua kuda tadi.
Geni membopong
kekasihnya. Wulan menggelayut manja,
kepalanya rebah di
dada bidang sang kekasih. Tak lama kemudian,
keduanya
istirahat Di tengah gelapnya hutan, Geni
memeluk dan
menciumi kekasihnya. Dua insan itu bergilmul
dalam panasnya
birahi.
"Apa kau merindukan aku, Geni?"
"Oh Wulan, tiada hari tanpa aku
merindukan kamu."
"Geni, apakah kamu masih mencintaiku
setelah mengetahui
kisahku dengan Lembu Agra?"
Geni mencium mulut Wulan. "Aku sangat
mencintaimu,
tetapi aku juga sangat cemburu dan
kesal."
Wulan berbisik lirih, "Geni, setelah
berpisah dengan kamu,
secara kebetulan aku bertemu Lembu Agra. Aku
ingin
melupakan kamu, itu sebab aku menjalin
hubungan dengan
Agra."
Dengan nafsu birahi membara, Geni memeluk
erat
kekasihnya. "Aku tak mau mendengar itu,
biarkan itu berlalu
Wulan."
"Tidak Geni. Kamu harus mendengarkan
ceritaku, agar
kamu bisa menentukan sikapmu. Dengarkan aku
Geni.
Sekarang ini aku sudah tahu, sudah yakin
bahwa aku hanya
mencintai kamu, tetapi kamu harus
mendengarkan ceritaku."
Ia berbisik di telinga kekasihnya.
"Wulan, masih banyak
waktu untuk menceritakan itu." Ia
melepas seprei yang
membungkus tubuh molek itu, mencium semua
bagian
tubuhnya. Perempuan itu menggelinjang,
bibirnya bergetar.
"Cintailah aku, oh betapa aku
merindukan kamu, Geni, aku
mengingatmu selalu."
Keduanya bergilmul dan berpelukan sampai
fajar
menyingsing. Malam itu mereka temukan lagi
pesona cinta
dan panasnya birahi yang tadinya pernah
diselimuti keraguan.
Geni pernah begitu sengsara dan cemburu
melihat Wulan
digandeng seorang lelaki di pesta tahunan
gunung Lejar.
Sampai tadi pun Geni masih bimbang dan
meragukan cinta
Wulan. Ketika ia melihat Wulan dan lelaki
itu berpelukan dan
berciuman di kamar pengantin, ia merasa
dunia kiamat Tetapi
keajaiban saja yang menuntunnya kembali ke
jendela dan tiba
pada saat yang tepat menolong Wulan yang
hendak
diperkosa.
Ketika fajar menyingsing. Udara dingin dan
lembab. Kedua
insan masih berpelukan dan berselimutkan
seprei. Wulan
menceritakan betapa sengsaranya dia setelah
berpisah dari
Geni. Ia memeluk Geni. "Dulu sewaktu
sama-sama berlatih di
Lemah Tulis, beberapa kali aku bercinta
dengan Lembu Agra,
ia memang kasmaran padaku, tetapi aku tak
pernah
mencintainya. Setelah Lemah Tulis hancur,
aku bertemu
dengannya satu kali, aku bersamanya selama
lima hari tapi
hanya sekali-sekali bercinta. Setelah itu,
aku tak pernah
bertemu lagi dengannya. Baru di pesta gunung
Lejar itu kami
bertemu lagi. Saat itu aku masih bingung,
aku ingin
melupakan kamu. Tapi aku tak bisa menipu
diri sendiri.
Semakin berupaya melupakan kamu, makin aku
sadar betapa
aku sangat mencintai kamu. Aku tak hanya
membiarkan Agra
merayu dan menggauliku, bahkan aku berusaha
agresif dalam
bercinta. Tetapi bayangan kamu selalu hadir
di antara desah
nafas Lembu Agra. Wajahmu seakan
menertawakan dan
mengejek aku."
"Jadi kamu tidak mencintai Lembu Agra,
kamu mencintai
aku."
"Kamu percaya sekarang ini, bahwa aku
sangat
mencintaimu?"
"Aku percaya, apalagi melihat semalaman
kamu begitu
kasmaran."
Wulan mencubit paha kekasihnya. "Kamu
yang gila Geni.
Kamu seakan hendak melumat habis tubuhku.
Tetapi aku
memang merindukan kamu, sudah lebih dari
tiga purnama aku
mendambakan pertemuan denganmu, bercinta
denganmu."
Ia menceritakan kisah pelarian asmaranya
dengan Lembu
Agra. Mereka bercinta hanya beberapa hari
setelah pesta
tahunan bukit Lejar. Kemudian mereka
berpisah. Saat itu ia
sudah sadar betapa ia sangat mencintai Geni.
Ia bertekad
mencari kekasihnya itu. Lima hari lalu,
ketika ia menginap di
desa Ngadas, beberapa orang masuk
menyergapnya. Ia heran
tenaganya seperti lenyap begitu saja, ia tak
mampu melawan.
Orang-orang itu membawanya ke hutan dan akan
memerkosanya. Tetap entah kebetulan atau
keajaiban, Lembu
Agra muncul sebagai penolong.
"Dia membawa aku ke rumah Demung
Pragola. Ia
membujuk aku, merayuku, tetapi aku tak bisa
lagi
meladeninya. Aku selalu ingat padamu. Ia
memaksa akan
mengawiniku dalam upacara resmi, tetapi aku
menolak.
Malam itu rupanya dia sudah tidak sabar
lagi, selanjurnya
kamu tahu apa yang terjadi"
"Aku melihat kamu berpelukan dan
berciuman, itu yang
membuat aku kabur karena cemburu"
"Ia memeluk dan menciumku, kuakui aku
memang sempat
terangsang. Tetapi hanya sesaat, kemudian
bayangan
wajahmu muncul membuat aku sadar. Ketika aku
menolak dan
meronta melepaskan diri, ia memaksa, hendak
memerkosaku,
ia merobek kebaya dan celanaku, itulah
kenapa aku menjerit,
jeritan yang membuat kamukembali dan menolongku.
Jika
kamu tidak kembali, aku tidak tahu apa yang
terjadi pada
diriku."
Fajar menyingsing, Geni mendukung
kekasihnya. Wulan
memeluk makin erat Geni melangkah tak tahu
ke mana arah
tujuan. Hutan itu lebat Ia berhenti, menatap
perempuan
dalam pondongannya. Wulan membuka mata.
"Geni, kalau
letih, biar aku berjalan saja, kalau hanya
berjalan aku masih
kuat"
Berkata demikian, bukannya melonggarkan
pelukan, Wulan
malah lebih erat memeluk kekasihnya. Ia
menciumi leher Geni.
"Kau tak perlu berjalan, biar aku
mendukungmu sampai
kita menemukan tempat berteduh." Tak
pernah sebahagia itu,
Geni melangkah terus. Ia keberatan melepas
Wulan berjalan.
Ia lebih suka memeluk menggendong
kekasihnya. Wulan pun
merasakan hal yang sama, ia tak mau turun
dari dekapan
lelaki yang dicintainya. Ia merasa aman
terlindung dalam
pelukan kekasihnya. Wulan membayangkan
betapa
perkasanya Geni ketika menolongnya dari
perkosaan Lembu
Agra. "Dia inilah lelaki yang akan
menjadi pelindungku, aku
tak akan mau berpisah lagi darinya,"
gumamnya dalam hati Ia
berbisik lirih. "Geni, aku ngantuk,
semalaman bercinta
denganmu, aku kelelahan, apalagi tenagaku
belum pulih,
kamu juga letih?"
Geni menggeleng kepala. "Aku tak pernah
letih bercinta
denganmu. Malahan membuat aku lebih
bersemangat dan
kuat"
Pagi itu Geni terus mengayunkan langkah. Ia
melangkah
teratur, khawatir Wulan dalam pondongannya
terbangun oleh
guncangan. Geni memandang kekasihnya yang
tidur lelap.
Wulan tampak cantik diterangi matahari pagi.
Geni merasa
bahagia. Bagaimana tidak, separuh malam dia
berdua Wulan
menunggang seekor kuda. Selama itu dia
memangku dan
memeluk Wulan. Lantas di tengah malam, ia
menggilmuli
tubuh montok, menciumi kaki dan buah dada
Wulan, dua
bagian tubuh yang paling indah milik
perempuan itu.
Malam itu ia tahu persis, ia tak mungkin
mencintai
perempuan lain. Hanya perempuan ini! Walang
Wulan inilah
yang paling ia maui. Ia merasa garis tangan
dan nasibnya
sudah ditentukan. Ia tahu hidupnya tak akan
bahagia tanpa
Wulan di sisinya.
Matahari siang sudah berada di titik paling
tinggi. Geni
melangkah terus, Wulan masih tertidur. Geni
memandang
keliling. Ia tak tahu berada di hutan bagian
mana. Di kejauhan
ia melihat bukit kecil. Ia membawa Wulan ke
sana.
Pemandangan di sekitar indah. Bukit itu
padat dengan
pepohonan dan ilalang yang tinggi dan kasar.
Tampaknya
jarang dilewati manusia. Ia menemukan tempat
persembunyian, sebuah goa kecil.
"Tempat ini bagus, Geni, kita nginap di
sini saja." Rupanya
Wulan sudah terjaga Ia meronta turun dari
pondongan Geni.
Wijahnya yang cantik tampak bersinar diterpa
matahari siang
yang agak terik. Geni terpesona memandang
kecantikan tubuh
perempuan di hadapannya. Wulan tersipu-sipu.
Ia merunduk.
Tiba-tiba ia menjerit. Seprei pembungkus
tubuhnya terbuka.
Tubuh bagian atasnya telanjang, hanya celana
sebatas lutut
itu pun compang camping.
Tampak buah dadanya menyembul. Tangannya
bergerak
mendekap dada. Tetapi kemudian ia tertawa
kecil ketika Geni
memegang dan menurunkan tangannya. Geni
memandang
buah dada montok itu dan menggumam,
"Sungguh indah,
kamu sungguh cantik, Wulan."
Tak tahan menahan keinginannya, Geni memeluk
perempuan itu, mencium mulutnya. Keduanya
berciuman
lama. Wulan mendorong Geni, melepaskan diri.
"Geni, goa itu
harus dibersihkan dulu, supaya bisa
dijadikan rumah kita, ayo
kau bantu aku."
Wulan melangkah, namun Geni menahannya.
"Biar aku
yang bekerja, kamu duduk saja di situ."
Wulan duduk bersandar di pohon memerhatikan
Geni yang
bekerja cepat Goa itu kecil di bagian mulut,
tetapi luas di
dalam. Kotor dan bau busuk. Bekas tinggal
binatang. Ia
mengumpulkan rumput dan dahan kering,
membakar
mengasapi agar bau busuk itu hilang.
Kemudian ia merancang
tempat tidur dengan menumpuk ranting kecil,
dedaunan dan
rumput kering.
Ia menutup mulut goa dengan batu besar yang
ditemukan
tak jauh dari situ. Kemudian menumpuk daun
dan ranting
sehingga tak terlihat dari luar.
Geni mengajak Wulan masuk goa, membiarkan
kekasihnya
istirahat Hari sudah senja, ia cepat mencari
daun obat dan
binatang buruan. Namun ia tak berani terlalu
jauh dari goa,
khawatir ada binatang atau manusia
mengganggu Wulan.
Sebab dengan keadaan tubuh yang belum pulih
tenaga
dalamnya, Wulan tak akan mampu bertarung.
Ia juga tidak terburu-buru mengobati Wulan.
Semalam
ketika bercumbu dengan kekasihnya ia
memastikan Wulan
hanya kena racun pelemas tulang yang ringan.
Tanpa diobati
pun tenaga Wulan akan pulih dalam beberapa
hari. Jika
dengan bantuan tenaga dalamnya mungkin tiga
hari sudah
pulih seluruhnya.
Tak lama kemudian Geni masuk goa. Wulan
sedang
memeriksa celananya yang robek. Samar-samar
dalam cahaya
matahari senja Geni terpesona akan
kecantikan tubuhnya.
Wulan tertawa. "Jangan melotot
memandangku, kamu kan
sudah sering melihatnya. Kamu lihat Geni,
kebaya dan celana
ini sudah tak mungkin bisa kupakai lagi,
sudah robek di
banyak tempat. Kurang ajar si Lembu
Agra," kata Wulan yang
tidak berusaha menutupi tubuhnya yang bugil.
"Aku sudah lapar, biar kusiapkan
makanan," Geni keluar.
Ketika ia sedang memanggang ayam hutan,
Wulan keluar
menemuinya. Ia menggunakan kain seprei menutupi
tubuh
bagian atasnya. Ia duduk berhadapan dengan
Geni, matanya
memandang dengan jenaka. "Biar aku saja
yang memanggang
ayam, ini kan pekerjaan perempuan, supaya
kamu bisa
membuat ramuan obat"
Geni tak puas-puasnya memandang Wulan. Ia
menyodorkan ayam tanpa mengalihkan mata dari
kecantikan
perempuan di hadapannya. Wulan memanggang
ayam. Ia
merunduk karena mengetahui Geni sedang
menatapnya.
Setiap matanya bentrok dengan mata
kekasihnya, ia
merunduk dan berkata lirih, "Geni,
kenapa kau memandangku
terus seperti itu, kamu seperti ingin
menelan aku."
"Kamu terlalu cantik untuk tidak
kupandang. Sudah lama
kita berpisah, hampir empat bulan
lamanya."
"Kapan kamu akan mulai menyembuhkan
aku?"
"Tak perlu tergesa-gesa, racun itu
racun ringan. Aku akan
membantilmu dengan tenaga dalam supaya lebih
cepat
sembuh." Setelah menyantap habis ayam
panggang, Geni
menyodorkan segenggam rumput yang siang tadi
sudah ia
kumpulkan. Kemudian ia mengajak Wulan masuk
goa. Agar
cepat sembuh, Geni melepas kain seprei yang
menutupi tubuh
bagian atas kekasihnya. Wulan bersila hanya
mengenakan
celana rombeng, tubuh atasnya bugil. Sesaat
Geni terganggu
pemandangan punggung kekasihnya yang mulus,
tetapi dia
kemudian memusatkan perhatian, dua tangannya
menempel
di punggung. Tenaga panas membanjir
menerobos tubuh
kekasihnya, kemudian ia mengurut punggung.
Ketika Geni mengurut bagian pingang, Wulan
merasa
perutnya mual. Rasanya ingin muntah.
Keringat mengucur
keluar dari seluruh pori tubuhnya. Mendadak
saja tenaga
panas itu lenyap begitu saja. Wulan merasa
seperti jatuh ke
jurang yang dalam. Ia hendak menjerit tetapi
belum sempat
suaranya keluar, ada tenaga dingin merembes
dari punggung
masuk ke tubuhnya. Makin lama makin dingin.
Tenaga itu
kemudian berpencar merambah ke seluruh
tubuh. Rasanya
enak, tetapi makin lama makin dingin. Saat
ia sudah tak tahan
lagi, tenaga itu lenyap dan berganti tenaga
panas. Demikian
seterusnya, Wulan tak mengerti dari mana
Geni memperoleh
tenaga batin sedahsyat itu.
Saat pengobatan selesai, hari sudah malam.
Di luar goa,
gelap gulita. Wulan merasa tubuhnya segar.
Ia mengerahkan
tenaga dalam, ternyata tenaganya sudah pulih
meski belum
seluruhnya. Wulan kagum, tak disangkanya
ilmu silat Geni
maju begitu pesat hanya dalam waktu empat
bulan
perpisahan. Dilihatnya Geni memejam mata,
semedi
mengembalikan tenaganya yang cukup terkuras
tadi.
Wulan memerhatikan wajah kekasihnya. Di
balik brewok
lebatnya terlihat raut wajah yang keras.
Tampak lebih tegas
dan lebih keras ckbanding saat pertama jumpa
di air terjun.
"Beberapa bulan berpisah telah
membentuk dia semakin
dewasa dan matang. Apa saja pengalaman
lelaki ini setelah
berpisah dulu, apakah ia merasa kehilangan
seperti yang
kurasakan?" gumamnya.
Hari-hari yang dilaluinya setelah perpisahan
dengan Geni
adalah saat-saat yang memeras perasaan dan
pikiran. Dari
hari ke hari ia tak bisa melupakan lelaki
ini. Bayangan Geni
tetap melekat di benaknya meski berulangkah'
ia berupaya
melupakan. Hari-hari itu ia masih tetap
bimbang. Tak bisa
memutuskan antara dua pilihan. Mengakui Geni
sebagai
keponakan murid dan melupakan cintanya. Atau
mengingkari
hubungan keponakan murid demi memperoleh
cinta yang
begitu diidamkan sejak dia masih gadis.
Dalam keadaan bimbang itu ia berjumpa Lembu
Agra,
kakak perguruannya. Ia memang merindukan
Agra, karena
sejak masih sama-sama menuntut ilmu silat di
Lemah Tulis,
Agra sudah menyatakan cinta dan bercinta
dengannya.
Bahkan melamarnya menjadi isteri. Tetapi ia
selalu menunda
dan belum bisa menerima cinta Agra. Entah
mengapa setiap
Agra mencium mulurnya, meraba bagian
tubuhnya, bercinta
dengannya, ia merasa sesuatu yang asing. Ada
sesuatu dalam
diri Agra yang tak disukainya, yang sulit ia
mengerti, membuat
seperti ada jarak antara dia dengan Agra. Ia
tak tahu.
Mungkin semacam firasat terselubung dan
penuh misteri.
Belakangan ia tahu, perasaannya terhadap
Lembu Agra hanya
kasihan, bukannya cinta.
Geni membuka mata, memandang Wulan yang
sedang
melamun. "Wulan, kamu sudah sembuh,
tetapi belum pulih
seluruhnya, mungkin empat atau lima kali
pengobatan dengan
tenaga dalam, tenagamu akan pulih."
"Bagus, Geni. Paling tidak jika
tenagaku sudah pulih, aku
merasa lebih percaya diri, tak ada orang
bisa sembarangan
menghinaku."
"Wulan, ada sesuatu yang ingin
kutanyakan, apakah dia
benar Lembu Agra, kakak perguruanmu dan adik
perguruan
ayahku?"
"Maksudmu dia palsu? Tidak. Tak mungkin
dia palsu. Aku
kenal betul. Dia Lembu Agra!"
"Tunggu! Ketika bertarung denganku,
kamu menyaksikan
sendiri ia begitu perkasa dan memiliki
pukulan ganas. Tenaga
dalamnya juga sangat besar. Padahal menurut
ceritamu dulu,
ia cacat, dia tak bisa mengerahkan tenaga
dalamnya secara
maksimal. Ia cuma bisa kerahkan separuh
kekuatannya.
Tetapi malam itu, aku rasa Agra sehat,
bahkan tenaga
dalamnya jauh lebih besar dari tenagamu yang
sebenarnya."
"Memang benar, cacat luka dalam itu
diperolehnya sebelum
kejadian Lemah Tulis dibumihanguskan.
Menurut ceritanya dia
kena pukulan dingin Kalayawana. Tetapi kau
benar Geni,
malam itu ia sangat perkasa, tak ada tanda
bahwa ia cacat
Mungkin ia menemukan keajaiban yang membuatnya
sembuh.
Ketika ia mengusir para penjahat, kemudian
membawaku ke
rumah Demung Pragola, ia mengaku cacatnya
belum
sembuh."
"Aku rasa dia bukan Lembu Agra yang
sebenarnya."
"Tak mungkin Geni, aku yakin dia Lembu
Agra yang asli,
tak mungkin keliru sebab ia bisa
menceritakan pengalamannya
di masa lalu, ketika kami masih sama-sama
belajar di Lemah
Tulis."
Geni menghirup nafas panjang kemudian
menghembus
perlahan, ia merasa gundah. Tetapi ia harus
menceritakan
pertemuan partai Turangga di hutan di luar desa
Ngadas itu.
Bagaimana secara kebetulan ia membuntuti
Lembu Agra yang
ternyata punya nama lain Ki Jaranan yang
juga ketua partai
Turangga dan rencana partai Turangga yang
berniat
membunuh Padeksa dan Gajah Watu serta
menghancurkan
Lemah Tulis sampai ludas dari muka bumi
Wulan menatap Geni dengan mimik penuh teka
teki. Ia
hampir tak percaya apa yang didengarnya.
"Geni, kamu
sungguh-sungguh? Tidak main asal
tuduh?"
Geni merasa tidak nyaman. "Kebenaran
harus diungkap
betapapun pahitnya. Aku tidak main-main, aku
menceritakan
sesuatu yang benar. Kau ingat jurus yang
dimainkan Lembu
Agra ketika tarung dengan aku? Coba
ingat-ingat dan katakan
jurus apa itu, apakah itu jurus Lemah
Tulis?"
Wulan membayang ulang pertarungan di kamar
pengantin
itu. Ia yakin jurus itu memang bukan jurus
Lemah Tulis.
Bahkan ia sempat mencium kesiuran angin
berbau bacin.
Jurus itu cenderung dari golongan kaum
sesat. Wulan
memandang Geni, menggeleng kepalanya,
"Itu bukan jurus
Lemah Tulis."
"Kamu perlu tahu, itulah jurus Pitu
Sopakara ilmu andalan
partai Turangga."
Wulan makin heran. Ia tahu ilmu silat Geni
kini sudah maju
pesat bahkan sudah melewati kemampuan
dirinya Diam-diam
ia bangga pada Wisang Geni. Tetapi baru
sekarang ia tahu
bahwa Lembu Agra sudah mewarisi ilmu dahsyat
Pitu
Sopakara. Ia sendiri belum pernah melihat
ilmu sesat itu
karena konon sudah puluhan tahun hilang dari
dunia
kependekaran. "Geni, ilmu dahsyat itu
sudah lama hilang,
bagaimana kau bisa mengenal bahwa itu Pitu
Sopakara?"
"Di pertemuan itu aku mendengar ia
menyebut ilmu itu
sebagai warisan leluhurnya para pendiri
perguruan Turangga.
Wulan, di belakang hari kamu akan mengetahui
apakah aku
berbohong untuk menjelekkan lelaki itu atau
memang berkata
benar."
Wulan tertawa. Ia merasa lucu melihat wajah
Geni yang
cemberut. Tapi Geni justru lebih
tersinggung, mengira Wulan
menertawakan. "Wulan, aku ini lelaki
sejati, aku tidak akan
mau menjelekkan lelaki lain dengan tujuan
supaya kau tidak
menyukai lelaki itu dan agar..."
Wulan memotong perkataan Geni. "Kamu
jangan salah
sangka Geni, aku tidak bermaksud demikian.
Aku percaya
padamu. Kamu mau buktinya? Kemarin malam itu
buktinya.
Apakah kau tidak melihat waktu bercinta,
bagaimana aku
melepas rinduku padamu." Selesai
berkata, Wulan membalik
tubuhnya. Ia menghadap dinding goa,
membelakangi Geni.
"Wulan, maafkan aku. Aku tidak
bermaksud menyakiti
hatimu." Geni mendekat dan memeluk
kekasihnya dari
belakang, menciumi lehernya Wulan berkata
lirih. "Aku tidak
meragukan ceritamu, aku ingin tahu lebih
jelas. Sejak dulu
Agra sudah mencintaiku, tetapi aku tak
pernah mencintainya,
apalagi sekarang setelah ia mau memperkosa
aku, aku tak
akan pernah memaafkan dia"
Geni membelai rambut kekasihnya
"Seharusnya aku yakin
kau mempercayai aku. Tetapi terus terang
saja, setiap
mendengar kau menyebut namanya, aku merasa
cemburu."
Geni tak melihat wajah Wulan yang berseri
mendengar
pengakuan cemburu itu. Perempuan itu
gembira, itu tanda
Geni sangat mencintainya. "Geni,
ceritakan bagaimana kamu
bisa sampai di rumah itu dan datang tepat
waktu menolong
aku."
"Semua serba kebetulan. Di pesta gunung
Lejar, aku
melihat kamu bergandengan dengannya Aku
sempat
memanggil namamu, tetapi kau tak mengenalku,
mungkin
mengira aku pengemis."
Wulan membalik tubuh, memandang Geni.
"Aku ingat
waktu itu ada seseorang memanggil namaku,
nama Sari,
kaukah itu?"
Geni mengangguk. "Aku cemburu dan sakit
hati, itu sebab
wajah lelaki itu kuingat terus. Kemarin
ketika aku berpapasan
dengannya di jalanan, seketika aku
mengenalnya Aku
membuntutinya dengan harapan barangkah dia
tahu climana
kamu berada Ternyata akhirnya aku
menemukanmu."
Wulan memandang dengan berbagai perasaan
dalam
sanubarinya. Ada rasa haru tapi ada juga
geli. "Kuperhatikan
selama ini, kamu tak pernah memanggil Lembu
Agra dengan
panggilan paman, bukankah dia adik
seperguruan ayah
ibilmu?"
Geni memandang lekat perempuan di
hadapannya. "Aku
tak akan pernah memanggil paman kepada
seseorang yang
punya niat buruk membunuh guru Padeksa dan
paman Gajah
Watu."
Wulan tertawa menggoda. "Kamu salah,
bagaimanapun
juga kau harus memanggilnya paman
perguruan."
"Lalu setelah itu aku harus memanggilmu
bibi, bukan?"
"Kenapa kamu takut memanggilku bibi,
aku kan sudah
milikmu, apakah kau takut kehilangan
aku?"
Geni mengangguk.
"Kamu tak perlu khawatir Geni, aku
mencintaimu, aku tak
akan pernah mencintai lelaki lain selain
dirimu. Kalau tak bisa
menjadi isterimu, aku tak akan pernah mau
menjadi isteri
lelaki lain."
Geni menatap mata kekasihnya. Sepasang mata
indah yang
memancarkan sinar ketulusan cinta. Wulan
telah
memperlihatkan cintanya dalam bercinta
kemarin malam,
namun baru saat ini ia mendengar langsung
dari mulurnya.
Geni bahagia. Malam gelap di goa, namun ia
bisa melihat sinar
mata yang gemerlap di mata Wulan. Ia memeluk
dan
menciumnya. Wulan mengimbanginya. Tangan
Geni mengelus
dan meraba. Jemari Wulan mengelus lembut.
"Geni aku ingin
mendengar kau memanggilku bibi, ucapkan
kata-kata bibi, aku
ingin mendengarnya, kekasihku."
"Kau aneh."
"Aku ingin mendengarnya."
Geni berbisik, "Bibi, aku mencintaimu,
aku mencintaimu
bibi."
"Aku bahagia. Aku mau setiap bercinta,
kau memanggilku
bibi, bibi guru, supaya ketakutan menjadi
bibi guru itu bisa
lenyap dari benakku."
"Baiklah. Aku laksanakan perintahmu,
bibiku yang cantik
dan montok."
Keduanya bergilmul Dua insan itu sangat
bernafsu.
Mencumbu, merayu, dengan cara lembut dan
kasar.
Mengarungi lautan cinta dan birahi, keduanya
terdampar.
Kelelahan. Wulan tertawa. "Aku senang
mendengar panggilan
bibi itu, coba ulangi lagi, sayangku."
Geni tertawa. "Bibiku, bibi aku
mencintaimu."
"Bibimu ini lebih tua usianya dari
kamu," katanya.
"Aku tak peduli. Lagi pula kamu masih
seperti gadis belasan
tahun, Cantik, montok dan segar."
Wulan cekikikan. "Hanya beberapa bulan
berpisah, kamu
sudah pandai merayu, pandai bicara, hayo
mengaku dari
mana kamu belajar jurus rayuan itu."
"Aku belajar dari kera-kera di lembah
kera."
Wulan tersenyum mendengar gurauan itu,
lantas ia teringat
jurus Geni yang aneh ketika bertarung lawan
Lembu Agra.
"Geni waktu bertarung lawan Lembu Agra,
kau menggunakan
jurus Bang bang Alum-alum dan Garudamukha
tetapi hawa
pukulanmu panas lalu sesaat kemudian berubah
dingin, tadi
mengobati aku, tenagamu juga panas lalu bisa
dingin. Tenaga
dalammu itu pasti bukan ajaran Lemah
Tulis."
"Cintaku padamu tulus dan sangat besar
sehingga aku
mendapat pertolongan, keajaiban. Dari
seorang yang sekarat
hampir mati berubah menjadi pendekar dengan
tenaga dalam
Wiwaha yang dahsyat kekuatannya."
Geni menutur pengalamannya sejak berpisah
dengan
Wulan. Hanya bagian ia bercinta dengan
Sekar, ia
sembunyikan. Ia hanya menceritakan bertemu
Sekar yang
membawanya berobat ke Dewi Obat di Lembah
Cemara.
Sesaat ia terdiam, teringat Sekar, tubuh
gadis itu begitu indah
dan permainan cintanya yang begitu
merangsang di Lembah
Cemara masih terbayang di matanya. Mata Geni
yang
berbinar-binar tidak luput dari penglihatan
Wulan meski gelap
malam menyelimuti goa.
"Kamu melamun, Geni, kamu ingat Sekar,
iya kan?"
Geni terkejut. Ia gugup, mencoba melanjutkan
cerita
namun lupa sampai di bagian mana.
"Tidak, tidak, aku hanya
lupa sampai di mana ceritaku tadi"
Wulan tertawa, mengingatkannya, "Kamu
keluar dari
Lembah Cemara, menuju ke mana?"
Geni melanjutkan cerita. Agak rikuh, sebab
Wulan memeluk
sambil mengusap dadanya. Wulan mendengar
dengan setia,
terkadang ia bertanya. Ketika Geni
menyelesaikan cerita,
Wulan mencium kekasihnya. Pengalaman Geni
sangat
dramatis. Ia terharu dan bangga. "Kamu
menjadi murid
Lemah Tulis paling berjasa karena telah
menemukan jurus
pusaka Garudamukha Prasidha. Sungguh luar
biasa
pengalamanmu."
Geni melihat sepasang matakekasihnya
berkaca-kaca. Ia
meraba, mata itu basah. "Kamu
menangis."
Wulan menengadah, mencium wajah kekasihnya
"Kau
sangat menderita, gara-gara aku, gara-gara
bibimu yang
bodoh ini."
Geni mengelus buah dada Wulan. "Tidak,
kau tidak
bersalah, memang jalan hidupku harus
demikian supaya aku
menemukan ilmu silat yang lebih tinggi dari
kamu."
Wulan menggoda, "Kamu yakin ilmu
silatmu lebih tangguh
dari aku?"
"Sudah tentu, supaya aku bisa
mengendalikan isteriku."
Mendadak Wulan bertanya, "Geni, tentang
gadis bernama
Sekar itu, kau pasti sudah bercinta
dengannya, menidurinya,
berulang kali dan sangat mengesankan, jangan
bohong
padaku!"
Bagai disambar halilintar, saking
terkejutnya. Geni merasa
bumi yang dipijaknya terbalik, langit-langit
goa runtuh. Dunia
kiamat! "Bagaimana dia bisa tahu!"
gumamnya dalam hati.
Sebelah kaki Wulan melingkar ke pinggang
Geni. "Ayo
ceritakan, aku ingin mendengarnya, hebat
enggak Sekar,
kekasihmu itu?"
0 komentar:
Posting Komentar