Geni memeluk kekasihnya. "Supaya aku
lebih mencintaimu,
menjaga dan melindungimu sampai hari
tua."
Dua sejoli itu bermalam di desa. Pembicaraan
masih
berkisar pada keraguan Walang Wulan akan
hubungan bibi
guru dan keponakan mund. Ia masih merasa
bahwa
percintaan ini salah. Namun di malam hari ia
tak kuasa
menolak ketika Geni memeluk, melucuti
pakaian dan
menciumi sekujur tubuhnya. Ia tak kuasa
menahan gejolak
birahi dan api cintanya yang membara.
Esok paginya, masih di kamar penginapan,
Walang Wulan
sambil memeluk Geni, berbisik di telinga
"Geni, kita berpisah
untuk sementara. Biarkan aku berpikir
sendirian, beri aku
kesempatan memikirkan bagaimana tanggapan
orang
terutama sesama murid Lemah Tulis, tentang
hubungan kita
ini. Kita pasti akan bertemu lagi."
Wajah Geni berubah. "Bagaimana mungkin
aku harus
berpisah dengan kamu Wulan, aku tak sanggup
berpisah
denganmu, jangan Wulan, jangan lakukan itu,
mengapa kamu
harus peduli dengan tanggapan orang, tidak,
aku tak mau
berpisah." Geni memeluk erat tubuh
kekasihnya "Wulan,
sebaiknya kita berdua mencari guruku,
Padeksa, minta dia
mengawinkan kita."
Wulan menciumi leher Geni. "Kita
berpisah untuk
sementara, biarkan aku sendiri, kita akan
jumpa lagi. Tentang
perkawinan, aku pasti mau jika sudah tiba
saatnya. Geni,
ijinkan aku pergi, tidak lama lagi kita akan
berjumpa di
Mahameru"
'Wulan, kamu harus tahu, tidak ada kekuatan
apa pun yang
bisa menghentikan aku mencintaimu Aku tahu
kamu juga
mencintaiku, jadi aku akan mencarimu, aku
akan mengawini
kamu, menjadikan kamu isteriku. Ingat itu
Wulan," ujar Geni
Wulan menjawab lirih, "Aku ingat, akan
selalu kuingat."
Pagi itu Walang Wulan pergi. Ia tidak
memberitahu
tujuannya Wisang Geni sangat terpukul. Dia
tak pernah
membayangkan kejadian seperti itu. Beberapa
hari hidup
bersama di dalam goa air terjun di kaki
gunung Arjuna,
kemudian bercinta berkasih mesra di atas
perahu. Pada saatsaat
itu rasanya Wulan sudah menjadi bagian dari
hidupnya.
Lalu mendadak saja perempuan itu pergi,
rasanya seperti ada
bagian tubuhnya yang hilang terbawa pergi
bersama Wulan.
Sepanjang hidupnya, Geni tak pernah mendapat
perhatian
seorang perempuan, apalagi dicintai. Bahkan
kasih sayang ibu
pun hanya mengelusnya di masa kecil. Dan
ketika nasib
mempertemukan dia dengan perempuan yang
begitu
memerhatikan dan mencintainya, ia merasa
dialah lelaki paling
bahagia di kolong langit. Dicintai dan
mencintai. Tak ada yang
lebih bahagia dari itu.
Sepanjang perjalanan berperahu ia sangat
bahagia.
Mendadak saja kebahagiaan itu sirna begitu
saja. Hanya
lantaran Sari perempuan yang dicintai dan
mencintainya itu
adalah Walang Wulan, adik perguruan dari
ayah dan ibunya.
Akal sehatnya mengakui Walang Wulan sebagai
bibi guru,
tetapi kekerasan hati dan dahaganya akan
kasih sayang dan
cinta seorang perempuan membuatnya tidak
bisa menerima
kejadian itu dengan wajar. Ia menolak
kenyataan itu!
"Itu tidak adil! Tidak bisa! Kau bukan
bibi guruku, Wulan,
kau adalah Sari kekasihku!" Wisang Geni
berteriak sambil
berlari. Ia berlari terus, berlari dan
berlari.
Ketika senja berubah menjadi malam. Ketika
hutan menjadi
pekat ditelan gelapnya malam, dia berhenti
di tengah hutan.
Ia tidak tahu berada di mana. Tetapi Geni
tak peduli. Karena
sebenarnya dia hanya ingin lari menjauh dari
persoalan yang
begitu meng goncang hatinya. "Mengapa
kita harus berpisah,
Wulan?"
Malamnya dia tidur di atas pohon. Dia
berpikir dan
merenung. Terjadi pertentangan dalam
dirinya. Di satu sisi dia
mengakui Wulan adalah bibi guru, di sisi
lain dia menolak
keras.
"Memang Wulan adalah adik perguruan
ayah dan ibuku.
Wulan juga adik dari guruku Manjangan Puguh.
Dari dua
alasan ini, benarlah Wulan adalah bibi guru
Tetapi setahuku
tak ada aturan yang melarang perkawinan
antara keponakan
murid dengan bibi guru Hanya memang aneh dan
janggal
apalagi jika usia bibi guru lebih tua
beberapa tahun. Dan itu
tidak seluruhnya benar, guruku adalah
Padeksa, sedang guru
Wulan adalah Bergawa, maka jelas aku dan
Wulan adalah
saudara seperguruan. Jadi sebenarnya tak ada
sesuatu yang
menjadi hambatan, lalu mengapa tiba-tiba
Wulan begitu panik
dan memutuskan untuk pergi meskipun hanya
sementara. Dia
pergi hanya sementara waktu, sampai aku
menemuinya nanti
di pertemuan Mahameru"
Di atas pohon itu, Geni tidak bisa tidur.
Wajah Sari alias
Wulan terbayang-bayang. Tubuhnya yang molek,
bibirnya
yang basah dan cintanya yang hangat membara,
membuat
Geni hampir gila. Tetapi diam-diam Geni
merasa kagum. Ilmu
tenaga dalam Karma Amamadang membuat Wulan
awet
muda, tubuhnya masih sintal seperti gadis
remaja. Padahal
menurut pengakuannya usianya sekitar
empatpuluh dua
tahun. Ilmu apa itu, yang bisa membuat dia
begitu awet
muda?
Selama beberapa hari Wisang Geni melangkah
tak tentu
arah, tak punya tujuan yang jelas. Suatu
siang ia tiba di desa
kecil Tajinan. Ia mencari warung makan.
Warung itu sepi saja,
ketika ia masuk. Di pojok dekat pintu
belakang duduk empat
orang. Di meja dekat jendela duduk sepasang
lelaki
perempuan.
Geni tidak memerhatikan orang-orang di situ.
Ia langsung
memilih tempat duduk dekat jendela. Agak
lama ia menanti
pesanannya. Saat itu ia melihat seorang
wanita muda
melangkah masuk warung. Seorang lelaki
pendek gemuk,
rupanya pemilik warung menghentikan langkah
si gadis di
depan pintu "Kamu tak boleh masuk,
tolong nona jangan
masuk, nanti semua orang pergi takut karena
penyakitmu itu
bisa menular, nanti warung makan ini sepi
tak ada yang
makan."
"Siapa bilang aku membawa penyakit. Aku
sehat," kata
wanita muda itu.
Empat orang yang duduk di dekat pintu
belakang, tertawa.
Salah seorang berseru. "Gadis itu
cantik, sayang wajahnya
burik." Temannya tertawa, lalu berseru
kepada pemilik
warung. "Pak Tua, biarkan gadis itu makan
bersama kami, biar
wajahnya burik tetapi aku kan butuh tubuhnya
bukan
wajahnya, ayo kemari sini, kamu dekat sama
kangmas-mu
ini." Lelaki itu menghampiri si gadis,
tangannya terjulur
hendak mencengkeram lengan.
Geni melihat itu, ia membungkuk mencari-cari
batu kerikil.
Geni menjentik kerikil. Tiba-tiba laki-laki
itu menjerit, batu
kerikil menghantam siku tangannya. Ia
menoleh ke sana
kemari. Tak ada siapa-siapa. Sepasang lelaki
perempuan
sedang asyik ngobrol. Di dekat jendela,
Geni. Ia masih hendak
meneruskan niatnya ketika kerikil yang kedua
menghantam
dahinya yang langsung bocor darah.
"Gila, pasti ada dedemit
atau pendekar lihai yang melindungi gadis
ini," katanya sambil
melangkah kembali ke teman-temannya.
Geni melangkah mendekati gadis burik itu.
"Ayo adik,
makan bersamaku, kebetulan aku tak punya
kawan ngobrol."
Geni menatap dengan mata melotot ke pemilik
warung. "Adik
ini makan bersamaku, atas undanganku, kamu
keberatan?"
Gadis itu masih muda. Tubuhnya langsing
dengan dada
yang agak menonjol. Benar kata lelaki
penggoda tadi,
tubuhnya cukup molek hanya wajahnya burik.
Gadis itu bekas
terkena penyakit cacar. Bekas cacar berupa
bintik-bintik hitam
menghiasi sekujur tubuh dan wajahnya.
Rambutnya panjang
tidak terawat.
Pemilik warung itu geleng-geleng kepala.
Gadis burik itu malu-malu menatap Geni.
"Tuan,
terimakasih, kamu sudah menolong aku. Tetapi
aku tidak
pantas duduk bersama kamu, biar aku pergi
saja, sekali lagi
terimakasih."
Geni memegang tangan gadis itu.
"Jangan, jangan pergi,
makan dulu, baru kamu pergi. Ayolah."
Gadis itu memang lapar. Ia makan dengan
lahap. Geni ikut
terbawa suasana, juga makan dengan lahap.
"Namaku Wisang
Geni, kalau aku boleh tahu namamu siapa,
adik?"
"Namaku Sekar."
Geni hendak bicara, tetapi batal Karena pada
saat itu ia
melihat tiga lelaki memasuki warung. Ia
mengenal salah
seorang adalah lelaki yang melukai Wulan di
air terjun,
Kalamasura.
Kalamasura juga mengenal Geni. "Ha...
ha... ha... dicaricari
tak ketemu, tidak dicari justru bertemu Hari
ini kamu
harus membayar hutangmu!"
Tidak menanti sampai Kalamasura mendekat,
Geni
melompat keluar lewat jendela. Ia tak mau
melibatkan Sekar
dalam urusannya. Kalamasura ikut menerobos
jendela, diikuti
dua temannya. Tak jauh berlari, Geni
berhenti. Karena ia
memang tak berniat melarikan diri. Ia
tertawa. "Hari itu kamu
merengek minta ampun, jadi kubiarkan kau
pergi, sekarang
kamu malah mencari aku minta digebuk"
Olok-olok Geni itu menyulut amarah
Kalamasura. Ia
menggeram hebat sambil menerjang dan melepas
pukulan
yang mendatangkan angin kencang. Geni
menghindar.
Kalamasura mendesak hebat. Tetapi Geni
dengan Waringin
Sungsangmudah. saja mengelak. Ia juga tidak
manda
diserang, mulai membalas. Tanpa terasa
puluhan jurus
berlalu.
Kalamasura makin berang karena semua
jurusnya dengan
mudah bisa dikelit. Malahan serangan balik
Geni mulai
mempersulitnya. Melihat posisi Kalamasura
terdesak, dua
temannya ikut mengepung dan mengeroyok Geni.
"Dimas
Sura, hayo kita hajar rame-rame."
Karuan saja Geni kewalahan. "Hei mana
ada aturan begini,
main keroyokan."
Tetap mengepung dengan serangan terarah,
salah seorang
kawan Kalamasura berseru, "Kita bertiga
selalu bersatu, tak
peduli lawan hanya satu orang atau sepuluh
orang. Kamu
siap-siap saja mati di tangan kami."
Perlawanan Geni hampir tak ada artinya. Di antara
tiga
lawan itu, Kalamasura adalah yang paling
rendah ilmu
silatnya. Tak heran hanya dalam beberapa
jurus saja, Geni
sudah jatuh di bawah angin. Geni mencium
bahaya. Harus ada
jalan keluar. Kabur! Itu perbuatan rendah.
Tetapi kalau tidak
kabur, ia bisa mati.
Ia bimbang. Perhatian terpecah. Akibatnya
fatal! Pukulan
lawan telak menghajar pundaknya. Dalam
keadaan
sempoyongan Geni melihat tendangan
Kalamasura
mengancam pinggangnya. Lawan lain memukul
batang
lehernya. Geni mengelak. Sikunya ditekan di
samping
pinggang, menangkis tendangan. Kepala
ditekuk sampai rapat
ke dada. Tangan kanan melingkar ke belakang
leher. Dua
kakinya merentang rapat di tanah. Tanpa
sadar Geni telah
memainkan jurus Nanawidha (Beraneka Warna)
dari Bang
Bang Alum Alum yang digabung dengan jurus
Mangapeksa
(Menanti) dari Garudamukha.
Memainkan dua jurus dari dua ilmuyang
berlainan ini
sebelumnya tak pernah dipelajari Geni. Namun
dalam keadaan
darurat di mana jiwanya terancam ia justru
memainkannya
dengan sempurna.
Terjadi benturan, siku tangan Geni bergetar
menerima
tendangan Kalamasura. Sikap
"menanti" dari jurus
Mangapeksa berhasil meredam tendangan lawan,
lalu
meminjam tenaga lawan, tangan Geni menyampok
lutut
lawan. Kalamasura menjerit. Masih untung
bagi Kalamasura,
tenaga Geni telah hilang sebagian akibat
benturan di siku.
Kalau tidak, lututnya bisa remuk
Saat berikut dua kaki Geni yang merentang
rata di tanah,
membuat posisi tubuhnya turun sehingga
tebasan lawan ke
leher tidak mengena. Tetapi lawan yang
ketiga yang tadi
memukul dadanya kembali berhasil menggampar
punggung
Geni.
"Duuukkk!" Geni terlempar. Darah
dalam tubuhnya
bergolak. Mulut berasa asin. Keadaannya
kritis, karena dua
lawannya memburu dengan sengit.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
mendatangi. Tiga ekor
kuda berlari cepat menuju arena pertarungan.
Ketiga kuda
dalam formasi berjajar, kuda yang di tengah
ditunggangi
Sekar si gadis berwajah burik tadi. Gadis
itu berseru, "Cepat
lompat!"
Geni tak membuang waktu lagi, dengan
Waringin Sungsang
ia melontarkan diri ke atas punggung kuda.
Semua serba
cepat, sukar diikuti mata. Lari kuda sangat
cepat, tetapi gerak
Wisang Geni tak kalah cepatnya. Begitu duduk
di punggung
kuda, Geni muntah darah. Tetapi ia tetap
bertahan di
punggung kuda. Ia terkejut melihat
penolongnya tak lain
adalah Sekar.
"Tak salah dugaanku kau pasti dari
kalangan pendekar,"
kata Geni. Ketika menyaksikan Geni dikeroyok
tiga orang,
Sekar tahu gelagat tidak menguntungkan bagi
pemuda itu.
Diam-diam ia menyelinap ke istal di belakang
warung dan
mencuri tiga ekor kuda. Sigap ia menggiring
tiga ekor kuda itu
ke arena pertarungan. Dan ia tiba pada saat
yang tepat.
Kalamasura tergeletak di tanah. Lututnya
parah, nyaris
remuk Dua kawannya hendak mengejar Geni dan
Sekar,
namun urung karena memikirkan Kalamasura.
Tiga orang ini
memandang kepergian Geni dengan mendongkol.
Tampaknya
memang Geni dan Sekar akan lolos. Tetapi
belum jauh
berkuda, mendadak Sekar berteriak, "Hei
minggir, pak tua,
minggir!"
Geni melihat seorang tua kurus menyeberang
jalan. Karena
begitu mendadak, kuda-kuda itu tak bisa
dikendalikan.
Tampaknya kuda akan menabrak si orangtua.
Namun ketika
kuda-kuda itu hanya terpaut tiga tombak,
orangtua membalik
tubuhnya Dua tangannya terkembang macam
burung
membentang sayap.
Debu beterbangan di depan Sekar dan Geni.
Kuda kuda itu
seperti menabrak tenaga misterius.
Kaki-kakinya tertekuk.
Sesaat kemudian tiga kuda tersuruk Sekar dan
Geni
terpelanting. Dalam keadaan luka parah dan
tidak siap, Geni
tak mampu menguasai tubuhnya sehingga
terbanting keras ke
tanah. Sekar bersalto dengan lincah dan
mendarat dalam
posisi berdiri.
"Ha... ha... ha...," Orangtua itu
tertawa Suaranya kering,
nyaring dan bergelombang seperti ringkik
kuda. Ia
memandang Geni dan Sekar dengan mimik aneh.
"Kamu anak
ingusan, tetapi kamu bisa lolos dari tiga
muridku, artinya
kamu cukup jago. Siapa kamu, sebut gurumu
supaya aku
tidak kesalahan membunuh orang."
Pada saat itu terdengar teriakan.
"Guru!" Ternyata
Kalamasura dan dua temannya sudah tiba di
situ.
Geni mengeluh. "Celaka, tiga muridnya
saja aku tak
ungkulan, apalagi ditambah gurunya Mungkin
sudah takdir
dewata, aku harus mati di sini." Tahu
dirinya tak bakal lolos
dari maut, Geni berdiri tegap. Lukanya tak
lagi dirasakan.
Kalau memang harus mati, matilah sebagai
laki laki. Dia
menatap orangtua kurus itu. Tak ada rasa
gentar sedikit pun.
Orangtua itu kurus kering seperti tengkorak
hidup.
Pakaiannya serba hitam, celana sebatas
lutut, telanjang dada
dengan jubah longgar yang terjulai sampai
batas lutut
memperlihatkan tubuhnya yang kurus tinggal tulang
dibalut
kulit. Rambutnya panjang riap-riapan.
Wajahnya tiris dihiasi
kumis dan jengot jarang. Sebelah matanya
hanya tinggal
kelopak tanpa bola mata Tampangnya seram dan
tak enak
dipandang.
Geni berkata lantang, "Semua ini
urusanku sendiri, tidak
ada sangkut pautnya dengan temanku
ini." Ia menoleh
memandang Sekar dan mendorong gadis itu
pergi, "pergilah
kamu"
Orangtua itu tertawa "Baru hari ini
kutemui orang yang
berani memerintah di hadapanku Bocah gila,
kamu belum tahu
bahwa semua orang yang pernah ketemu aku,
hanya boleh
pergi jika kusuruh dia pergi."
Di luar dugaan Sekar bukannya pergi malah
tertawa
mengejek. "Huh Kalayawana yang hebat,
Penguasa Kegelapan
dari Gondomayu yang kesohor dan ditakuti,
ternyata cuma
cacing kurus yang tak punya malu, beraninya
cuma menghina
orang muda yang tak punya nama. Kamu
memalukan,
Kalayawana sebaiknya kau pulang ke Gondomayu
dan kubur
namamu yang hebat itu."
Semua orang terkejut. Wisang Geni terkesiap
lantaran tidak
menyangka ketemu Kalayawana pembunuh dua
orangtuanya.
"Kau pembunuh orangtuaku, kau punya
hutang pada Lemah
Tulis, kamu harus mati di tanganku!"
Kalayawana dan tiga muridnya terkejut.
Rupanya pemuda
itu orang Lemah Tulis. Dan si gadis punya
nyali harimau,
berani mengolok-olok meski sudah tahu
hebatnya
Kalayawana. Ejekan itu membangkitkan amarah
Kalayawana
yang menghentak kakinya ke tanah. Tanah
bergetar bagai
dilanda gempa. Itulah pameran tenaga dalam
yang dahsyat.
"Kamu mulut lancang, dan kamu orang
Lemah Tulis, harus
kupelintir batang lehermu, biar mampus."
Kalayawana mengangkat tangan hendak
mencengkeram
Sekar, tetapi tangannya terhenti di udara.
Sekar tertawa.
"Benar kataku, Kalayawana itu pengecut,
hanya berani tarung
lawan orang kecil, kalau memang jago kamu
cari lawan yang
sepadan."
Kalayawana kalap. "Gadis mulut busuk,
coba siapa
pendekar yang kau hadapkan padaku, panggil
kakek
moyangmu, panggil gurumu, biar kupecahkan
batok
kepalanya, ayo bawa dia kemari."
"Huh, kamu pintar dan licik, sudah tahu
aku sendirian,
kamu gembor-gembor nantang guruku, jangan-jangan
matamu yang tinggal sebelah akan copot lagi
atau kepalamu
yang kecil kayak kepala udang itu pecah
berantakan digebuk
guruku." Sekar mengejek dengan
pemikiran Kalayawana akan
malu turun tangan dan membiarkan mereka
pergi. Tetapi
ejekannya kelewat batas.
Kalayawana tak bisa menahan diri lagi Selama
ini tak ada
orang berani menghina dirinya sepertiyang
dilakukan Sekar. Ia
marah dan berteriak keras, tubuhnya melayang
ke arah Sekar.
Pada saat itu Wisang Geni sudah memutuskan
akan adu
jiwa. Orang ini adalah musuh utamanya yang
membunuh
orangtuanya. Hutang nyawa bayar nyawa. Ia
tak memikirkan
lagi keselamatan diri. Juga tak peduli ilmu
silat musuh lebih
tinggi di atasnya. Dalam keadaan terluka,
Geni menggigit
lidahnya sendiri. Itu cara menghimpun
seantero tenaga dalam.
Tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Sikap
ini sangat
berbahaya. Hampir sama dengan bunuh diri.
Tak ada tenaga
cadangan dalam tubuh, akibatnya fatal. Jika
terluka, sulit
untuk sembuh. Geni memang nekad, "Kamu
mati atau aku
yang mati," teriaknya sambil menyerang
dengan jurus
Shuhdrawa (Hancur Luluh) dari Garudamukha.
Sekar sejak awal sudah menggenggam pasir di
tangannya.
Ketika datang serangan Kalayawana, ia
mengelak sambil
melempar wajah lawan dengan pasir.
Kalayawana terkesiap. Serangan dua anak muda
itu cukup
berbahaya. Tetapi dasar dia memang lihai. Ia
menggerakkan
tangan kiri menolak serangan Geni, adu
tenaga. Tangan
kanan mengibas pasir mengembalikan kepada
Sekar. Ia
bergerak seperti ayal-ayalan tetapi
akibatnya luar biasa. Pasir
itu kembali menyerang Sekar yang terpaksa
bergulingan.
Sebagian pasir menerpa tubuhnya, rasanya
panas. Geni
menerima akibat yang jauh lebih parah. Adu
tenaga itu berat
sebelah. Tenaga dingin Kalayawana menghantam
telak Geni,
menerobos sampai ke tulang sumsum. Mata Geni
melotot. Ia
muntah darah, tiga kali. Tubuhnya bergetar
kedinginan.
"Kalian akan mati dengan
perlahan-lahan, karena aku tadi
hanya menggunakan sebagian tenaga
saja." Ia lalu tertawa
keras, lengking suaranya bergelombang,
nyaring tajam dan
kering. Suara ku menusuk telinga Sekar dan
Geni. Itulah
tertawa Begananta yang bisa membuat lawan
hilang ingatan
atau mati Dalam keadaan sehat pun belum
tentu Sekar dan
Geni bisa mengatasi tertawa iblis apalagi
dalam kondisi luka
parah. Sesaat kemudian jantung mereka
berdegup kencang,
wajah kemerahan karena sedikit demi sedikit
darah mulai
berkumpul di kepala.
Wajah Sekar merah membara, keringat
membasahi
tubuhnya. Dari mata mengalir air. Pada
puncaknya nanti,
bukan air yang keluar dari pori dan lubang
tubuh melainkan
darah. Wisang Geni lebih sengsara, ia rubuh.
Ia merasa ribuan
semut menggerogoti tubuh terutama kepala. Ia
memusatkan
pikiran, kalau harus mati maka matilah
sebagai laki-laki.
Jangan menjerit, jangan mengeluh dan jangan
mengemis
kepada lawan.
Pada saat kritis itu terdengar suara
perempuan tertawa.
Tawa itu menindih tawa Kalayawana, terdengar
merdu dan
meringankan penderitaan Geni dan Sekar.
"Memang hebat
tertawa Begananta dari kuburan Gondomayu,
mana bisa dua
orang muda itu melawanmu," seru
perempuan itu.
Suasana mendadak lengang. Kalayawana
menghentikan
tawanya. Sepasang lelaki dan perempuan
mendatangi. Geni
mengenalnya sebagai dua orang yang duduk di
warung makan
tadi. Kalayawana bercekat hatinya. Tawa
perempuan itu telah
mampu menerobos dan mengganggu lengkingnya.
Itu saja
sudah hebat. Apalagi itu dilakukan dari
jarak jauh. Tak
disangkal menilik ukuran tenaga dalamnya,
orang itu jelas
pendekar dari kalangan atas.
"Siapa sampean?"
Kalabendana dan Kalayuda tadinya hendak
memaki dan
menghajar perempuan itu. Tetapi mendengar
nada
pertanyaan sang guru, mereka urung. Kalau
gurunya sampai
peduli siapa orang itu, artinya cuma satu,
ilmu silat orang itu
cukup tinggi.
"Selamat bertemu Kalayawana, aku Malini
dan ini suamiku
Kumara. Kami orang asing di tanah Jawa ini,
sengaja kami
datang untuk berkenalan dengan para pendekar
tanah Jawa."
Dua orang asing itu melangkah santai.
Langkahnya ringan
namun geraknya pesat. Saat berikut mereka
sudah berdiri dua
tombak dari Kalayawana. Ilmu ringan tubuh
mereka nyaris
sempurna. Malini berusia sekitar tigapuluh,
suaminya mungkin
lima tahun lebih tua.
Kalayawana memandang tajam. Malini
berpakaian aneh.
Bagian bawah, celana longgar. Bagian atas
sepertinya dililit
kain sutera berlapis-lapis. Kulit tubuhnya
putih pucat kontras
dengan warna pakaiannya yang hijau tua. Ia
cantik,
hidungnya mancung, mulut agak lebar, rambut
panjang
disanggul rapi dan bergelung di atas
pundaknya. Matanya
bening dan berkilat-kilat. Suaminya yang
bernama Kumara
juga berdandan aneh. Celana longgar, panjang
sekilas kaki.
Bajunya sempit tanpa lengan dan terbuka di
bagian dada
memperlihatkan bulu dada yang hitam.
Rambutnya hitam
keriting digelung di atas kepala. Kulit
tubuhnya sawo matang.
Ia juga berhidung mancung, wajahnya
membersit kekerasan.
Diam-diam Kalayawana mengatur pernafasannya.
Kalau
terjadi pertarungan, jelas dua orang itu
bukan lawan ringan.
Tiba-tiba ia teringat seseorang. "Apa
hubungan kalian dengan
Lahagawe?"
"Bagus kamu masih ingat akan paman
guruku. Ia kini
bertapa di kaki gunung Himalaya. Meskipun
kamu mengaku
kenal dengan paman guruku itu, tetapi jika
kamu
menyombongkan diri, tetap akan
kuhajar."
Kalayawana penasaran. "Tetapi bagaimana
bisa kamu
mengetahui aku Kalayawana dan jurus ketawa
Begananta,
kamu juga bisa bahasa Jawa, sudah lama
tinggal di Jawa?"
Malini tertawa melihat Kalayawana penasaran.
"Aku enam
bulan belajar bahasa Jawa, aku tahu semua
nama pendekar
kosen di negeri Jawa berikut ilmunya. Aku
sudah satu tahun di
tanah Jawa, nah kini kamu serahkan dua anak
muda ini
kepadaku, aku punya urusan dengan mereka.
Serahkan, itu
lebih baik bagimu"
"Tidak bisa semudah itu Anak muda
perguruan Lemah Tulis
ini adalah urusanku, tak ada sangkutan
dengan kamu,
pergilah!"
Berkata demikian Kalayawana menoleh ke Geni
dan Sekar.
Dua muda mudi ini dalam keadaan luka parah.
Sekar berusaha
mengatur pernafasan, meski pun agak sesak
namun bisa
berjalan lancar. Adapun Geni, luka tenaga
dalamnya sangat
parah. Bangkit atau bergerak pun sulit. Ia
tak lagi punya
tenaga. Jalan darahnya sudah tidak karuan.
Menurut tata cara
dan ilmu pengobatan yang dipelajarinya dari
guru Waragang,
ia tahu lukanya sulit untuk bisa
disembuhkan. Tenaga
dalamnya rusak. Awalnya tenaga dalamnya
terluka kena hajar
Kalayuda. Tetapi paling parah adalah pukulan
Kalayawanayang menggunakan jurus Ghandarwapati
pada
saat Geni mengeluarkan seluruh tenaga
dalamnya.
Tiba-tiba Malini tertawa, lengkingnya tinggi
dan nyaring.
Makin lama makin bergelombang. Udara di
sekitar terasa
bergetar. Itu pameran tenaga dalam tingkat
tinggi.
Kalayawana terkesiap, belum tentu ia bisa
mengungguli
tenaga Malini. "Aku sebenarnya ingin
menguji pukulan
Ghandarwapati dan ketawa Begananta tetapi
aku tidak yakin
kamu akan bersedia, mungkin kamu letih
setelah tarung
dengan dua anak muda ini." Malini
menghentikan tertawanya.
Tampaknya Kalayawana tersinggung, tetapi
belum juga
memutuskan sikap, terdengar suara Kumara.
"Kalayawana si
jago tua, berbaik hati kepada isteriku
adalah bijaksana."
Selesai kata-katanya ia merogoh saku,
mengeluarkan gelang
perak, melemparnya dengan asal-asalan ke
udara Gelang
meluncur pesat mengeluarkan suara mencicit
dan tepat
membelenggu seekor burung yang sedang
terbang. Burung
jatuh agak jauh. Kumara menggerakkan tangan,
burung itu
tersedot ke telapak tangannya. Ia membuka
belenggu gelang
kemudian melepas burung itu mengudara lagi.
"Itu mainan
anak-anak di kampung kami," kata Kumara
dingin.
Kalayawana terdiam "Gila, mereka
sengaja ingin
membentur aku, tetapi terus terang belum
tentu aku bisa
menang meski seandainya tiga muridku ikut
bertarung.
Lagipula, mereka inginkan dua anak muda itu,
apa peduliku,"
katanya dalam hati Kalayawana menoleh ke
tiga muridnya.
"Ayo kita pergi, masih ada urusan lain
yang lebih penting,
kebetulan aku sudah tak ada kepentingan lagi
dengan dua
anak muda itu, Malini kamu ambillah."
Geni melotot menatap Kalayawana. "Suatu
hari kelak, kau
akan menyesal tidak membunuhku hari ini,
karena pada hari
itu aku akan membunuhmu"
Orangtua yang dijuluki Iblis Gondomayu itu
tertawa keras.
"Kamu harus menghindar jangan sampai
ketemu aku lagi.
Akan kucincang tubuhmu dan kuberikan kepada
anjing. Kamu
jangan mimpi melawanku, meski sepuluh tahun
kamu
berlatih!"
Geni melihat semua kejadian. Ia tahu ilmu
silat dua
pendekar asing ini telah membuat Kalayawana
ciut nyalinya.
Ia tidak kenal kedua suami isteri itu.
"Katanya ia ada urusan
dengan aku, urusan apa? Aku belum pernah
jumpa dengan
keduanya."
Malini menghampiri Geni. Ia berjongkok
memeriksa denyut
nadi. Saat berikut ia memeriksa Sekar. Geni
memandang
Malini. Tadi ketika wanita itu jongkok di
dekatnya ia mencium
aroma harum Bau tubuh perempuan. Anehnya bau
itu seperti
tak asing, ia merasa pernah mencium bau yang
sama. Tetapi
di mana, ia lupa.
"Anak muda, temanmu cuma luka ringan,
tidak sulit
mengobatinya. Tetapi lukamu parah, tenaga
dalammu luka
berat, kukira tak ada tabib yang bisa
mengobatimu Kupikir
kamu sudah mendekati ajalmu, kasihan,
padahal kamu masih
muda."
Suara Geni nadanya getir. "Aku
tahu."
Kumara berkata dalam bahasa India. Suaranya
ketus dan
kasar. Malini membalas tak kalah sengitnya.
Dua orang itu
bertengkar. Sesaat kemudian keduanya diam.
Malini
menghampiri Geni. "Kata suamiku, ia
bisa mengobati kamu'"
Wisa Geni berseri, "Terimakasih, mau
menolong aku."
Suami isleri itu diam. Geni heran. Suasana
lengang. Tibatiba
Sekar memecah kesunyian. "Kamu mau
menolong
kawanku, tetapi tidak secara cuma-cuma,
begitu kan? Katakan
apa bayarannya?"
Malini senyum "Adik kecil ini cerdas.
Memang kami akan
minta kau menolong kami, setelah kamu sembuh
nanti, kamu
bersedia?"
Wisang Geni memandang Malini. Ia mengagumi
kecantikannya, yang tampak makin cantik jika
tersenyum Saat
dia akan mengiyakan, Sekar mencegah.
"Jangan sembarang
janji, tanya dulu, apa yang ia maui dari
kamu"
"Siapa gadis ini, apa dia
isterimu?"
Geni menggeleng. "Kami hanya teman
biasa. Memang
begitu lebih adil, kamu katakan apa yang
harus kukerjakan
jika kamu sudah menyembuhkan aku."
"Baiklah!" kata Malini, mulurnya
kemudian komat-kamit.
Sekar melihat Geni memerhatikan penuh
perhatian. Ia hendak
bersuara tetapi batal, teringat sesuatu.
"Rupanya ia bicara
menggunakan ilmu memendam suara, baru hari
ini aku
menemui orang yang menguasai ilmu hebat ini.
Jelas ia hanya
mau bicara dengan Geni, dia tidak mau aku
mendengar."
Geni mendengarkan. "Tak usah heran aku
tahu, namamu
Wisang Geni, kamu murid Lemah Tulis. Kami
sedang mencari
tokoh sakti Lemah Tulis, Ki Suryajagad. Dia
kawan karib
paman guruku, Lahagawe. Ada pesan yang harus
kusampaikan pada tokoh sakti Suryajagad. Kau
bantu
mengantar kami menemuinya, itu saja."
Hanya sekilas mendengar Geni lantas mengerti
persoalannya. Ia merasa ada sesuatu yang
disembunyikan
Malini. Dalam hati ia tertawa, "Dia
pikir bisa menipuku.
Lahagawe adalah orang yang dikalahkan Eyang
Sepuh
Suryajagad di perang Ganter, tak mungkin dia
seorang
sahabat. Ini pasti urusan dendam. Ternyata
mereka adalah
musuh Lemah Tulis."
Wisang Geni menjawab ia tak bisa membantu.
Kontan
wajah Malini berubah. Kulit mukanya yang
putih berubah
merah lantaran marah. Kumara menghampiri
Geni. 'Jika kamu
tak mau membantu maka telanlah racun ular
salju ini." Ia
menjejalkan satu butir obat ke mulut Geni.
Malini juga
menjejalkan obat serupa ke mulut Sekar. Dua
anak muda ini
tak kuasa menolak
Dengan logat asing, Kumara menjelaskan racun
itu mulai
bereaksi besok, penderitaan akan meningkat
setiap hari. Pada
hari ketujuh sudah tak bisa ditolong lagi
dan akan mati pada
hari kedelapan.
"Kami menunggu di warung makan tadi,
sampai malam
nanti. Esok pagi kami sudah pergi jauh, jika
mau memenuhi
syarat, kamu boleh datang menemuiku dan akan
kuobati,
bukan cuma menyembuhkan racun ular salju
juga luka
dalammu Jika tidak datang artinya kamu
memilih mati sendiri,
jangan salahkan kami!"
Matahari mulai doyong ke barat. Geni dan
Sekar masih
terkapar di hutan. Geni memandang Sekar
dengan iba. "Gadis
ini tak tahu apa yang terjadi, tapi ia sudah
terlibat urusanku
Bahkan nyawanya kini terancam, bakal mati
sengsara jika tak
memperoleh obat penawar racun."
Sebenarnya Geni sudah bulat tekad tak mau
menerima
pertolongan dua pendekar asing itu, apalagi
dengan syarat
seperti itu. Itu kan sama dengan
mengkhianati perguruannya.
Lagipula mengemis pertolongan bukan sikap
pendekar. Tetapi
bagaimana dengan keselamatan Sekar yang tak
berdosa?
Geni bimbang. "Biarlah aku tak perlu
diobati, Sekar saja
yang diberi penawar. Sebagai gantinya aku
akan mengajak
mereka ke suatu tempat terpencil di bukit
Lejar. Dalam
perjalanan mungkin aku bisa menemukan jalan
lolos.
Pokoknya aku tidak akan mengkhianati
perguruan, lagipula
mana aku tahu di mana tempat Eyang Sepuh
Suryajagad."
Berpikir demikian Geni memaksa berdiri.
Sekujur tubuhnya
sakit dan nyeri. Susah payah ia bisa juga
berdiri meski harus
bersandar di pohon. "Ayo kita jalan,
tak perlu menunda-nunda
waktu lagi."
"Kemana kita ?"
"Pergi menemui orang asing itu, kan
mereka yang punya
obat penawar." Geni tak hirau keheranan
kawannya, ia
berusaha berjalan meski tulang-tulangnya
seakan menjerit
sakit, nyeri dan ngilu. Tetapi Geni memaksa
diri, ia melangkah
sempoyongan.
"Pergilah sendiri, aku di sini
saja," suara Sekar ketus. Geni
menoleh ke belakang, dilihatnya Sekar masih
tak beranjak dari
duduknya. "Ayo Sekar kita ke warung
tadi."
"Kamu pergi sendiri, aku tidak. Aku tak
sudi mengemis
pada musuh, itu tidak pernah ada dalam
benakku. Bagiku mati
lebih terhormat ketimbang mengemis minta
ampun."
Wajah Geni merah seketika. Ia malu dan
tersinggung.
Ditatapnya Sekar dengan tajam. Wajah yang
penuh bekas
cacar itu meringis kesakitan. Geni diam-diam
memuji sikap
kawannya. "Aku juga tak bermaksud
mengemis belas kasihan
musuh. Mati bagiku urusan kecil, kehormatan
buatku
urusannya besar. Tetapi aku memikirkan
keselamatanmu,
Sekar."
"Ada apa dengan aku?"
"Kamu masih muda. Kau tak tahu urusan,
kau cuma
terbawa-bawa dalam urusanku karenanya aku
bertanggungjawab atas keselamatanmu Kau
terluka gara-gara
menolongku."
"Kamu salah. Kau juga masih muda. Kita
berdua luka
karena ilmu silat kita yang rendah, jangan
salahkan orang lain.
Kamu telah berbuat baik kepadaku, orang lain
biasanya jijik
melihatku, tetapi kamu malah mengajak aku
makan. Kamu
duluan yang berbuat baik, jika setelah itu
aku menolongmu,
kukira itu wajar saja."
Geni takjub akan sikap kawan barunya. Ia
memerhatikan
lebih teliti. Sekar tidak kurus. Tubuhnya
berisi, dibungkus
pakaian agak ketat menonjolkan potongan
tubuhnya yang
langsing. Wajahnya boleh dikata cantik jika
saja tak ada
bercak hitam bekas cacar. Hidung tak terlalu
bangir. Mulut
kecil berbentuk bulat dengan bibir penuh.
Geni merasa
kasihan, "Kalau tak ada bercak bekas
cacar, pasti dia kelihatan
cantik."
Sesaat dua anak manusia itu saling tatap.
Ditatap demikian
tajam oleh seorang lelaki, Sekar merasa
darahnya mengalir
cepat. Ia merunduk malu, rambutnya yang
hitam lebat
menutup wajahnya. "Kenapa kau
memandangku begitu?"
Sekar gadis yang polos. Apa yang dipikirnya,
itu yang dia
ucapkan. Tak ada tedeng aling-aling, dan
pertanyaan itu
sungguh mengena.
Tanpa pikir panjang Geni mengatakan apa yang
ada di
benaknya. "Kamu sebenarnya gadis yang
cantik, Sekar."
Tiba-tiba saja Sekar menengadah menatap Geni
dengan
marah. Matanya berkilat-kilat Ia melompat
bangun, kemudian
menerjang Geni. "Bangsat, kamu sama
saja dengan yang
lain!"
Meski melihat datangnya serangan tetapi Geni
tak punya
tenaga untuk menangkis atau mengelak.
Pukulan mendarat di
bahu Geni yang dengan susah payah berhasil
menangkap
tangan si gadis. Ia memeluk Sekar.
"Kenapa kamu marah, aku
mengatakan sesuatu yang benar."
Seketika Sekar sadar. Ia memberontak, tetapi
Geni tetap
memeluk. Akhirnya gadis itu diam membiarkan
tubuhnya
dipeluk. Hari sudah malam Selama ini Sekar
kenyang dihina
orang karena bekas cacarnya. Ia senang
berkenalan dengan
Geni yang tampak tidak jijik berada di
dekatnya. Geni bahkan
mengajaknya makan bersama. Namun pujian Geni
tadi
dikiranya sindiran seperti halnya
orang-orang sering
mengejeknya.
Suara Geni terdengar merdu di telinganya.
"Sekar, aku
memujimu dengan tulus, kamu memang cantik,
aku sungguhsungguh."
"Aku tahu. Tetapi Geni, apakah kamu
tidak jijik memeluk
aku, kamu tidak takut terjangkit
cacar?"
Geni memeluk erat tubuh Sekar yang ternyata
sintal dan
lembut. "Tidak, aku tidak jijik. Banyak
orang tidak tahu bahwa
cacar yang sudah sembuh, tidak bisa menular.
Dan kamu
sudah sembuh total, hanya bekasnya yang
tertinggal, Sekar."
Tangan Sekar melingkar ke punggung Geni.
Gadis itu balas
memeluk. Geni merasakan lunaknya buah dada
menghimpit
dadanya. Ia juga merasa nafas Sekar yang
panas dan
tersengal-sengal. "Geni, kita berdua
akan mati oleh racun ular
salju, apakah kamu benar-benar tidak jijik
padaku?"
"Tidak!" Geni lalu mencium mulut
si gadis, ciuman panjang.
Ia melucuti pakaian si gadis.
"Geni, aku masih perawan," Sekar
berbisik setengah
mendesis.
Wisang Geni sibuk menggerayangi tubuh Sekar
yang
ternyata montok dan sintal. Sepanjang malam
dua insan itu
merenangi nikmatnya bercinta di kegelapan
hutan.
Ketika fajar menyingsing, matahari mulai menerangi
hutan,
burung dan binatang hutan lainnya bangun
mulai mencari
makan, dua insan itu masih tidur saling
berpelukan. Sekar
terjaga. Ia sadar tubuhnya bugil dan masih
dalam pelukan
Wisang Geni. "Hei Geni, bangun, sudah
pagi!" Ia bereaksi
melepas diri dari pelukan. Tetapi lelaki itu
malah memeluknya
lebih erat.
"Aku pikir, tenagaku sudah hilang
seluruhnya, ternyata
tidak, mungkin saja racun itu belum
bekerja"
Geni menatap wajah Sekar, "Adik Sekar,
apakah kamu
menyesal dengan kejadian tadi malam?"
Sekar menggeleng. "Tidak, aku tak
menyesal, aku justru
sangat menikmati, tapi Geni tak lama lagi
hari akan terang,
sebaiknya berpakaian sebelum dilihat orang,
malu."
Geni tidak menyahut, ia memandangi tubuh
bugil Sekar.
Tidak banyak bekas cacar di tubuh molek itu,
masih tampak
dominasi kulit yang kuning sawo. "Kau
memang cantik, Sekar.
Aku mengerti ilmu pengobatan, setahuku,
bekas cacarmu itu
bisa hilang, ada obatnya meskipun ramuannya
agak sulit
diperoleh."
Sekar hendak mengenakan pakaian, Geni
mencegah. Ia
memeluk dan menciumi tubuh molek itu.
Sekar terengah-engah. "Geni, hari sudah
siang, nanti dilihat
orang."
Geni tidak peduli. Akhirnya Sekar pun ikut
tidak perduli.
Keduanya bergelut di tengah matahari pagi
yang mulai
menerobos pepohonan lebat.
Dua anak manusia yang sedang diamuk birahi,
bagaikan
berenang di alam maya aldiirnya terhempas
kembali ke alam
nyata. Geni tertawa, Sekar tertawa. Ia
memeluk Geni seperti
tak mau melepas lelaki itu. "Geni,
sekarang ini mati pun aku
siap, tetapi aku masih mau hidup lebih lama
lagi, hidup
bersamamu, Geni. Alasan itu mendorong aku
harus pulang ke
rumah nenek."
"Mengapa pulang ke rumah nenekmu?"
"Nenek adalah pendekar wanita yang
dikenal sebagai Dewi
Obat, ia sudah mengundurkan diri dari dunia
kependekaran. Ia
mampu mengobati bekas cacar di kulit wajah
dan tubuhku.
Tetapi waktu itu aku tidak mau, aku belum
bersedia. Sekarang
aku mau."
"Mengapa kamu tak mau, bukankah setiap
wanita ingin
kelihatan cantik?"
"Karena tak ada lelaki yang menyukai
aku, tak ada yang
bersedia menjadi kekasihku."
Geni tertawa. Ia menganggap Sekar, gadis
yang aneh.
Sekar seperti bisa membaca pikiran Geni.
"Kamu benar,
memang sulit mencari lelaki yang tidak jijik
padaku. Tetapi
alikirnya kan aku menemukan lelaki
itu," dia menatap dengan
sinar mata mencinta. Dia melanjutkan sambil
memeluk Geni.
"Menurutku, jika lelaki itu tidak jijik
padaku, atau dia
menyayangiku, tentu dia akan lebih sayang
dan lebih
mencintaiku jika wajah dan tubuhku sembuh
dari bercak cacar
ini. Itu sebabnya, aku ingin pulang
secepatnya ke Lembah
Cemara agar nenek menyembuhkan bekas cacar
ini."
"Jauhkah Lembah Cemara?"
"Tidak jauh, jika perjalanan cepat
dengan kuda bisa dua
hari, jika jalan kaki dalam keadaan luka
seperti sekarang
mungkin bisa enam han. Geni, kita harus ke
sana, nenek akan
mengobati lukamu dan juga mengobatiku, kita
berdua bisa
menetap di sana bercinta setiap hari, oh aku
akan bahagia."
Geni teringat Walang Wulan, kekasihnya itu.
"Tetapi Sekar,
aku sebenarnya punya kekasih, aku sedang
mencarinya."
Geni heran melihat Sekar tersenyum Gadis itu
memeluk
Geni dan berbisik, "Aku tak akan
menyuruh kamu mengusir
dia, kamu tahu Geni, ayahku hidup bersama
tujuh isteri. Aku
tak peduli berapa perempuan yang menjadi
isterimu, yang
penting aku salah seorang di antara
mereka." Sekar tertawa.
Mendadak Sekar diam, Geni juga diam Suasana
lengang.
Sesaat kemudian sayup-sayup terdengar derap
kuda
mendatangi. Dua muda-mudi itu bergegas
mengenakan
pakaian. Seperti bisa membaca pikiran
masing-masing,
keduanya cepat bersembunyi di belakang batu
besar,
berhimpitan.
Saat berikut rombongan berkuda berhenti di
dekat batu
besar itu. Delapan orang. Dari dandanan
tampaknya mereka
hulubalang keraton. Geni dan Sekar tak
berani bergerak
sembarangan, takut ketahuan.
"Kita istirahat di sini." Yang
berkata itu seorang lelaki
bertubuh tinggi kekar. Tampaknya dia
pimpinan rombongan.
Mereka melompat dari tunggangan Gerakannya
sebat,
dipastikan mereka memiliki ilmu silat yang
handal. "Kangmas
Dwi, apa rencanamu Sudah empat hari kita
belum juga
menemukan Gusti Puteri Waning Hyun Kurasa
kita kehilangan
jejak."
Dwi duduk tepat menghadap batu besar tempat
Geni dan
Sekar bersembunyi "Aku tak tahu Dimas
Walu. Sebenarnya
dengan ilmunya yang tinggi, puteri Hyun tak
perlu terlalu
dikhawatirkan, apalagi ia selalu didampingi
gurunya Ki
Bhojana yang aneh. Tetapi yang membuat aku
was-was
adalah berita duabelas anggota regu Sinelir
keraton Kediri
sedang bertualang di luaran." Ia
menoleh ke samping kanan.
"Diajeng Trini, apa pendapatmu?"
Wanita bernama Trini diam sejenak,
"Kangmas, kupikir
sebaiknya kita menyebar dalam dua kelompok,
siapa lebih
dulu menemukan Paduka Puteri atau ketemu
regu Sinelir,
segera memberi tanda."
Usul Trini disetujui semua kawannya. Salah
seorang yang
duduk berhadapan dengan Dwi dan Trini,
bertanya, "Apa
tanda yang kita gunakan ?" Sambil
berkata ia menggores
tanah di dekat kakinya. Ia menulis pesan.
"Ada orang di
belakangku."
Ia memang duduk paling dekat dengan batu
besar tempat
sembunyi Wisang Geni dan Sekar. Sekitar lima
tombak. Ia
mendengar desah nafas muda-mudi, namun ia
tak mau
gegabah. Semua kawannya membaca tulisan itu,
mereka
memandang Dwi. Rupanya dalam segala hal, ia
yang
memutuskan "Soal tanda itu, nanti saja
kita tetapkan di
tengah jalan. Kita tidak punya banyak waktu,
ayo berangkat
sekarang. Dimas Panca kamu paling
depan," katanya kepada
lelaki yang menulis pesan.
Semua bergerakke kuda masing-masing. Panca
sambil
menjawab, "Baik Mas" ia memutar
tubuh, maju dua langkah,
dua tangannya mendorong ke depan Tiga
gerakan hampir
serempak. Tenaganya membanjir keluar dan
menerpa batu.
Batu besar terdorong membentur Geni, dan
Sekar yang
terkejut karena tak menyangka akan diserang.
Keduanya
terjengkang kebelakang. Panca tidak berhenti
sampai di situ.
Ia merangkak maju. Dua tangannya
mencengkeram pundak
dan tengkuk Geni.
Wisang Geni merasa angin tajam mengiris
kulitnya. Dalam
keadaan biasa serangan itu bisa dikelitnya.
Tetapi tubuhnya
tak lagi menyimpan tenaga, membuat ia tak
kuasa
menghindar. Lehernya pasti akan patah.
"Tak nyana aku mati
di sini." Dalam hati Geni mengeluh.
Tetapi sepasang matanya
menatap lawan tanpa kedip. "Mati
sekarang atau satu tahun
lagi, sama saja, mengapa harus takut?"
Jari tangan Panca sudah membenam di leher
Geni. Sedikit
mengerahkan tenaga, leher akan patah.
Mendadak ia
mendorong. Geni terlempar. Ketika serangan
pertamanya
dengan mudah menjatuhkan lawan, Panca yakin
Geni dan
Sekar bukan orang dari kalangan silat Tapi
ia menguji lebih
lanjut. Ternyata Geni bukan saja tak mampu
mengelak,
bahkan tenaga menolak dari dalam pun tidak
ada. Karenanya
pada saat alehir Panca batal menyerang.
"Kau siapa, berani
mengintai kami?"
Sekar cepat menjawab. "Siapa bilang
kami mengintai. Kami
lebih dulu berada di sini. Kalian datang
belakangan. Kami
bersembunyi karena tak mau jumpa dengan
orang. Lalu kalian
berhenti istirahat di sini, apakah kami yang
salah?"
Delapan punggawa itu mengurung Sekar dan
Geni.
Perempuan yang bernama Trini mendekat dengan
ketus
bertanya pada Sekar. "Bocah, kau belum
menjawab
pertanyaan tadi, siapa kalian?" Tak
kalah ketus, Sekar
menjawab. "Apa perlu tahu nama kami.
Kami cuma orang
biasa yang tak beruntung, yang akan mati
dibunuh hanya
sebab tidak sengaja mendengar pembicaraan
kalian."
Lelaki bernama Dwi itu tertawa. "Hebat,
mulutmu tak kalah
tajam dari pedang. Nduk, kami tak pernah
membunuh orang
tak berdosa, kami tak akan membunuh
kalian." Ia menoleh
memandang Geni. "Sampean tampaknya luka
berat, siapa
namamu dan mengapa berada di sini?"
Dalam hati Geni memuji pandangan jeli lelaki
itu. "Namaku
Ambara, dan kawanku ini Suti, kami tidak
beruntung ketemu
lawan yang lebih tinggi ilmu silatnya, kami
kalah dan terluka."
Dwi tertawa. "Baiklah. Siapa pun
namamu, aku mohon
padamu, anggap saja kalian tak pernah
melihat kami, tak
pernah mendengar apa yang kami bicarakan,
aku yakin kalian
akan penuhi permintaan ini." Ia memberi
isyarat kepada
kawan-kawannya. "Kita pergi."
Delapan orang itu menghilang di kejauhan.
"Siapa mereka?
Tampaknya mereka pendekar kelas satu. Mereka
tak
mengganggu kka, kelihatannya mereka
menjunjung tinggi
sikap ksatria," Geni berkata lirih.
Ternyata delapan pendekar tadi para
hulubalang
kepercayaan raja Anusapati dari keraton
Tumapel. Seluruhnya
ada delapanbelas. Mereka tak lagi
menggunakan nama asli
atau nama julukan. Tetapi menggunakan urutan
angka satu
sampai delapanbelas sesuai tingkat
kepandaian masingmasing
Delapan hulubalang tadi, Dwi, Trini, Panca,
Walu,
Ekadasa, Molas, Sodasa dan Pitulas.
”Tampaknya mereka bergegas mencari puteri
Waning
Hyun, putri kesayangan Baginda Raja
Parameswara. Ia kini
sedang diburu oleh pihak keraton Kediri.
Sudah bukan rahasia
lagi adanya perebutan kekuasan antara
keraton Kediri dengan
keraton Tumapel, padahal masih sesama
saudara. Tetapi itu
bukan urusan kita, kita harus cepat pergi ke
Lembah Cemara."
Geni kagum akan pengetahuan Sekar. "Katamu
jika jalan
kaki bisa sampai enam hari, mungkin kita
sudah mati di
tengah jalan, kata orang asing itu racun
akan membunuh kita
dalam tujuh hari. Buat apa ke sana?"
Sekar memandang Geni. Ia tertawa. "Kau
tunggu di sini."
Ia bergegas ke dalam hutan. Ia bersiul. Tak
lama kemudian ia
datang menunggang kuda sambil menuntun
seekor lainnya.
---ooo0dw0ooo---
Lembah Cemara
Keduanya melakukan perjalanan cepat ke
Lembah Cemara.
Sekar sebagai penunjuk jalan berpatokan pada
matahari.
Mereka beristirahat hanya waktu siang untuk
makan. Sekar
menangkap ayam hutan dan memanggang.
Keduanya makan
lahap. Tanpa istirahat lagi mereka
melanjutkan perjalanan.
Hari sudah senja, mereka tiba di bagian
hutan pepohonan jati
Ketika Sekar sedang mencari-cari tempat yang
layak untuk
bermalam, dia mendengar suara keluhan. Ia
menoleh,
ternyata Geni sudah terbaring di tanah.
Lelaki itu terjatuh dari
kudanya. Dia terkesiap mendapatkan Geni
menggigil hebat. Ia
menghampiri. "Geni kenapa kamu?"
Geni tak kuasa menjawab. Bibirnya gemetar.
Butiran
keringat membasahi wajahnya yang pucat pasi
Tampak ia
sangat kesakitan. Sekar ingat akan ancaman
Kumara.
"Rupanya racun ular salju mulai
bekerja," kata gadis itu.
Sekar hendak menolong, tetapi mendadak saja
ia merasa
seperti ribuan semut merambat dalam
tubuhnya. Rasa dingin
itu datang menusuk sampai ke tulang, ia
menggigil hebat Rasa
sakit juga datang berbarengan. Nyeri dan
ngilu. Sekar
berguling-guling di tanah, dari mulurnya
keluar rintihan lirih.
Racun ular salju mulai bekerja. Seperti yang
dikatakan
Kumara dan Malini, racun mulai bekerja satu
hari kemudian.
Serangan racun di tubuh Sekar tidak begitu
lama, hanya
sepenanakan nasi. Ketika serangan di tubuh
Sekar sudah reda,
Geni masih menderita sakit. Geni memang
lebih parah
disebabkan selain keracunan dia juga
mengalami luka dalam
akibat pukulan Kalayawana. Serangan sudah
mereda, namun
Geni masih merasa dingin. "Aku
kedinginan."
Sekar yang sudah normal kembali, memeluk
Geni. Ia
mengharap panas tubuhnya bisa menghangatkan
tubuh lelaki
itu. "Geni, kamu harus bertahan, besok
kita akan tiba di
rumah nenek."
Lelaki itu masih menggigil. Sekar memeluk
lebih erat,
mencium mulut lelaki yang dicintai itu.
"Geni, jangan mati, aku
mencintaimu"
Tak lama kemudian Geni merasa normal
kembali. Sekar
bangkit. "Tunggu di sini." Ia
pergi mengikat kuda di pohon.
Tak lama dia kembali menenteng dua ekor ayam
hutan. "Aku
sudah menemukan tempat yang bagus untuk
bermalam. Ayo
kita ke sana."
Geni hanya kehilangan tenaga dalam namun
masih punya
tenaga macam lelaki biasa. Dia membantu
Sekar
membersihkan tempat bermalam kemudian
mengumpulkan
ranting dan kayu untuk membuat api. Keduanya
duduk
bersanding berdampingan sambil menikmati
ayam panggang.
Selesai makan, Sekar berbisik, "Geni,
lukamu tampaknya lebih
parah."
"Aku luka dalam, kena pukulan
Kalayawana dan juga racun
ular salju. Kalau menurut ucapan Kumara pada
hari ketujuh,
racun akan membunuhku. Tapi melihat parahnya
luka, aku
yakin kematianku akan lebih cepat, mungkin
pada hari
keempat. Celakanya serangan rasa sakit lebih
cepat
datangnya, mungkin besok siang racun akan
menyerangku
lagi, begitu seterusnya. Serangan berikut
mungkin besoknya di
pagi hari."
"Kalau aku, bagaimana? Parah
juga?"
"Kamu tak begitu parah, racun akan
menyerangmu pada
senja hari, sama seperti sekarang ini. Kau
masih bisa hidup
sampai hari kemjuh seperti ancaman
Kumara."
Keduanya berpelukan. Geni mencium leher si
gadis. "Sekar,
tadi kau berkata, kau mencintaiku,
benarkah?"
0 komentar:
Posting Komentar