Apa yang kudapat ini adalah pengembangan
dari dua ilmu
dahsyat itu. Terus terang, tidak ada jurus
yang namanya Jurus
Penakluk Raja, kau sendiri sudah tahu, kau
sudah menemukan
intinya. Apa nama jurus ini, Jurus Angin
atau Jurus Langit atau
Jurus Awan, terserah padamu namanya. Jurus
itu kosong, jadi
namanya pun kosong. Eh, aku hampir lupa
sesuatu yang
penting, apa pendapatmu tentang Sekar, apa
kau sungguhsungguh
mencintainya?"
Pertanyaan itu mendadak dan tak pernah
disangka. Wisang
Geni terkejut tetapi hanya sesaat. Ia
menjawab mantap,
"Eyang, aku mencintai Sekar. Ia paling
cantik, tubuhnya
molek, ia perlihatkan bahwa ia mencintai
aku, tergila-gila
padaku, selalu mendahulukan kepentinganku,
membuat aku
puas dan bahagia. Dia perempuan nomor satu
dalam
hidupku." Geni heran akan jawabannya
yang begitu mantap
dan pasti. "Eyang, aku memang mencintai
Sekar, meski
banyak perempuan lain di sampingku, tetapi
hanya gadis itu
yang aku cintai. Tetapi di mana dia
sekarang? Eyang pasti
tahu dia berada di mana?" sambungnya
lagi.
"Kamu pasti akan bertemu dengannya,
tidak lama lagi.
Camkan ini, Geni, jangan kamu sia-siakan
dia!"
"Kenapa Eyang? Ada apa dengan
Sekar?"
"Dia itu cucuku, putri dari anakku! Aku
titip cucuku itu
padamu, Geni. Aku tak minta apa pun dari
kamu, hanya
tolong kamu jangan sia-siakan dia, kasihani
dan cintailah
Sekar. Dan sekarang Geni, selamat
tinggal!"
Wisang Geni menatap bayangan Eyang Sepuh
sampai
menghilang di kerimbunan hutan. Tanpa terasa
air mata
menitik. Geni menangisi Eyang Sepuh.
"Jadi Sekar adalah cucu
Eyang. Itu artinya nenek Tongkat Sapu Lidi
adalah isteri
Eyang. Apa yang terjadi pada diri Eyang?
Mengapa Eyang
memilih hidup sendiri, mengapa tidak berdiam
di Lemah Tulis
berkumpul bersama murid dan teman. Atau
hidup bersama
isterinya itu?"
Akhirnya Geni mengetahui, justru dalam
kesendirian itu
Eyang Sepuh menemukan dan mendalami ilmu
silat bebas
merdeka bagaikan angin dan awan. Tanpa
merasa
kesendirian, seseorang tidak akan menemukan
kebebasan dan
kemerdekaan. "Aku rasa, aku tak mungkin
bisa hidup sendiri,
aku tak perlu mengasingkan diri. Cukup jika
aku bebas dan
merdeka dalam setiap langkah. Tidak terikat,
tidak terkekang
oleh siapa pun. Mungkin lebih baik jika aku
tinggal di suatu
tempat sunyi berdua isteriku Sekar."
---ooo0dw0ooo---
Gayatri tiba di desa Gondang dua hari
setelah pertemuan di
hutan. Dia menunggu selama tujuh hari tetapi
lelaki yang
dinanti tak juga muncul. Ia uring-uringan,
merasa
dipermainkan. Siang itu Gayatri bertiga
duduk di warung
makan. Ia tampak kesal, ia menggerutu kepada
dua
pembantunya. "Lelaki itu mempermainkan
aku, tujuh hari aku
sudah menunggu di desa ini. Apakah harus
menunggu sampai
aku tua. Dia benar-benar kurang ajar, akan
aku hajar dia,
kubuat dia menyesal pernah dilahirkan di
dunia."
Dua pembantunya, Urmila dan Shamita,
menghiburnya
bergantian. "Kami akan membalas dendam
sakit hatimu."
"Kalian berdua, tak boleh ikut campur
soal ini. Kamu ingat
itu, lelaki itu urusanku sendiri, mengerti
?!"
Dua gadis itu diam, tak berani buka mulut
lagi. Mereka tahu
persis jika Gayatri sedang kesal dan
marah-marah, lebih
selamat jika mereka diam
Tidak lama kemudian amarah gadis itu reda,
dia bertanya
dengan kesal, "Ke mana aku harus
mencari lelaki itu?"
Urmila memberanikan diri. "Putri, di
desa tadi aku
mendengar cerita adanya binatang sakti wisah
yang akan
muncul di akhir bulan Cakra di gunung
Argowayang. Kata
orang, darah binatang itu berkhasiat
menyempurnakan tenaga
dalam. Sebaiknya kita pergi ke sana, kata
orang itu hampir
semua pendekar tanah Jawa akan datang ke
Argowayang,
mungkin lelaki yang kau cari akan datang
juga. Jadi kalau kita
mau ketemu dia, kita ke sana!"
Gayatri setuju. Sepuluh hari lagi, adalah
hari akhir bulan
Cakra. Masih ada waktu untuk sampai di
gunung itu.
Perjalanan biasa dari desa Gondang ke Argowa
yang
diperkirakan enam hari. Jika jalan cepat
biasa empat hari.
Teringat Geni, dia merasa sangat kesal.
"Dia membodohi aku,
menunggu di sini membuat aku seperti orang
bodoh, dasar
lelaki bangsat, nanti kuhajar dia."
Pada hari itu kekesalannya mencapai puncak
karena Geni
belum juga muncul. Ia sedang dalam suasana
hati marah.
Kebetulan tiga lelaki iseng menggodanya
dengan kata-kata
kotor. Gayatri yang sedang kesal menemukan
sasaran
pelampiasan amarahnya.
Tiga lelaki iseng itu adalah pedagang yang
hanya mengerti
ilmu silat sekadar membela diri dari
gangguan pejahat. Mereka
mengira gadis India itu tidak mengerti
bahasa Jawa. Tidak
dinyana, Gayatri mengerti semua olok-olok
kotor yang mereka
bincangkan. Kemarahan Gayatri terhadap Geni,
tumpah habis
atas tiga orang pedagang itu. Senjata bornya
melayang
menghantam batok kepala lawan. Tiga orang
itu mati
Terdengar suara sinis, "Huh perempuan
asing berani jual
lagak di sini, beraninya membunuh orang yang
tak punya
kepandaian."
Gayatri menoleh. Seseorang memakai caping
sehingga
wajahnya tidak tampak. Orang itu duduk di
pojok warung
makan. Gayatri menjawab ketus. "Kamu
siapa, mengapa ikut
campur urusanku, tiga orang itu kurangajar,
mereka menghina
aku!"
"Mereka hanya kurang ajar dan
mengolok-olok kamu,
lantas kamu bunuh begitu saja, kamu
memandang murah
nyawa manusia!"
Kendati caping itu menutupi wajahnya, namun
dari
perawakan tubuh dan tonjolan di dadanya,
Gayatri merasa
pasti dia seorang wanita. "Kenapa? Kamu
mau membela
mereka, kamu juga mencari mati?"
"Aku tak suka cari perkara. Aku hanya
tertarik pada
senjatamu, apa hubunganmu dengan perempuan
bernama
Malini?"
Gayatri terkejut. "Perempuan ini bukan
sembarang orang.
Ia tahu tentang senjata Malini dan Kumara.
Siapa dia?"
katanya dalam bahasa India kepada dua
pembantunya. Ia
menatap tajam perempuan tak dikenal itu.
"Mereka kerabat
dekatku, bibi dan pamanku! Aku ulangi
kata-kataku, jangan
mencari perkara, apakah kamu mencari
mati?"
"Urusan apa kamu datang ketanah Jawa,
mau membalas
dendam kekalahan Lahagawe seperti halnya
Malini? Kamu
mencari orang Lemah Tulis?"
Gayatri terkejut, tetapi sesaat kemudian
justru gembira.
"Kamu tahu banyak urusan ini, kamu
pasti orang Lemah Tulis,
ayo antar aku kepada Wisang Geni!"
"Mau apa kamu mencari Wisang
Geni?"
"Kenapa tanya lagi, ya untuk tarung dan
mengalahkan dia!"
Perempuan itu mendorong capingnya ke atas
sehingga
tampak wajahnya yang cantik jelita. Gayatri
terkesiap. "Dia
masih muda, dan cantik." Tanpa sadar
dia bertanya, "Siapa
kamu?"
Perempuan itu berdiri. "Namaku Sekar,
aku isteri Wisang
Geni!"
Sekali lagi Gayatri terkejut tetapi sesaat
kemudian ia
tertawa. "Kebetulan, kebetulan sekali.
Kamu mewakili dosa
suamimu, aku akan memaksa kamu membawa aku
kepada
Wisang Geni."
Sekar tertawa sinis. "Kamu pikir bisa
mengalahkan aku?"
Sekar melompat keluar warung. Ia berdiri di
jalanan. Gayatri
dan dua pembantunya menyusul. Saat
berikutnya dua
pendekar wanita itu siap-siap tarung.
Sungguh pemandangan
langka, nonton dua macan betina bertarung.
Semua orang
menghindar, nonton dari pinggiran. Sekejap
kemudian,
terbentuk lingkaran luas sebagai arena
tarung.
Urmila maju ke sisi Gayatri. Ia berbisik
dalam bahasa India.
Gayatri mundur ke belakang. Urmila
berhadapan dengan
Sekar. "Untuk menghadapi orang usil
macam kamu, tidak
perlu majikanku yang maju."
Sekar mendengus dengan suara hidung. Ia diam
saja,
menanti serangan Urmila. Tanpa menunggu,
pendekar India
ini maju menyerang. Ia menggunakan kumpulan
jurus aneh
dari ilmu Teri Sanson Mein Jevan Mein Sirf
Teri Kusbu Hai
(Dalam hidup dan nafasku hanya ada harum
cirimu).
Terjangan pukulan dan tendangan berantai
datang bagai
angin ribut, tetapi Sekar tidak gentar.
Sekali melihat, ia tahu
bahwa Urmila tidak terlalu hebat baik tenaga
maupun ringan
tubuhnya.
Sekar berkelebat dengan ringan tubuh
Menunggang Ombak
disertai gerak jurus Mawunyangken (Menyakiti
hati) dan
disusul Hasmaratura (Kesenangan cinta).
Terjadi bentrokan
tangan lima kali beruntun, Sekar masih
melaju terus sedang
Urmila terdesak mundur. Urmila terkejut, ia
kalah tenaga. Ia
berusaha menebusnya dengan pengerahan
kekuatan besar
serta jurus lebih tajam. Namun Sekar semakin
unggul dan
lebih mendesak.
Pada jurus duapuluh tangan Sekar molos dari
tangkisan
dan menghajar pundak Urmila. Gadis India ini
mengeluh, ia
mundur sambil mencabut senjatanp, bor maut.
Saat itu juga
Sekar melejit ke pohon kembang karet. Ia
memotes ranting
kecil yang banyak cabangnya. Pertarungan
meningkat seru
Senjata bor dikendalikan tali panjang
mengincar titik kematian
di tubuh Sekar. Tetapi murid Nenek Sapu Lidi
tertawa sinis.
"Ini bor mainan anak-anak, kamu
lihat." Sambil mengelak, ia
memutar dan melempar ranting ke arah tali,
.sementara
tangan lainnya menampar bor baja.
Tidak berhenti di situ, Sekar malahan
menyerbu maju.
Ranting itu, melibat tali bor membuat simpul
mati sehingga
Urmila tak bisa lagi mengendalikan
senjatanya. Saat berikut
Sekar menampar pipi Urmila, tiga kali. Pipi
gadis India itu
merah bengkak. Gayatri terkejut, hendak
maju. Tetapi
dilihatnya Sekar mundur. "Tak usah
khawatir aku tidak
menggunakan tenaga, aku tidak kejam seperti
kamu yang
main bunuh semaunya, aku juga tak mau
giginya rontok,
kasihan gadis cantik seperti dia giginya
ompong." Sekar
tertawa geli. Dia merasa lucu melihat Urmila
meraba pipi dan
memeriksa mulurnya.
Saat itu tangan Sekar menggapai Gayatri,
mimiknya seperti
mengejek "Kamu maju, jangan cuma bisa
memerintah anak
buahmu saja!”
Ejekan ini memancing kemarahan Gayatri yang
lantas
melompat maju dengan senjata bor. Suara mencicit
terdengar
lebih keras, pertanda tenaga Gayatri lebih
besar dari Urmila.
Sekar tak mau memandang enteng. Ia
mengerahkan tenaga
Segoro (Samudera) dan memainkan jurus Sapwa
Tanggwa
yang lugas dan tegas.
Dalam beberapa jurus Sekar kewalahan
menangkis dan
mengelak. Ia kemudian merogoh senjatanya,
sebuah sapu lidi
kecil yang disembunyikan di balik
punggungnya. Pertarungan
jadi imbang, sapu lidi itu berkali-kali
menampar pergi bor maut
itu. Pertarungan imbang. Pada jurus
limapuluh, Sekar
melompat mundur. "Aku tak punya waktu
mam-main dengan
kamu, tetapi kalau hanya kepandaian semacam
itu, sebaiknya
jangan coba menantang Wisang Geni, kamu akan
dipermalukan olehnya, dia terlalu tanggguh
buat kamu lawan."
Dua perempuan itu saling pandang. Ada kesan
baik dari
keduanya. Orang-orang melihat dua wanita
yang sama-sama
cantik jelita. Ketika Sekar hendak pergi,
Gayatri berseru,
"Tunggu! Benarkah kamu isteri Wisang
Geni? Di mana aku
bisa bertemu dengannya?"
"Aku pun sedang mencarinya."
Sekelebatan Sekar
menghilang di keramaian penonton.
Gayatri diam mematung. Ia berpikir keras.
Pasti ilmu silat
Wisang Geni sangat tinggi. Jika isterinya
saja begitu tangguh,
apalagi suaminya. "Gila! Gadis itu
cantik jelita dengan ilmu
silat yang tinggi, hebat juga si Wisang Geni
bisa memperisteri
pendekar wanita itu"
Tiga gadis Hirnalaya siap-siap berangkat ke
gunung
Argowayang. Tetapi mendadak Gayatri berubah
pikiran. "Aku
pikir sebaiknya kita tinggal di sini dua
hari lagi, aku mau
istirahat dan berpikir. Masih belum
terlambat untuk pergi ke
gunung itu."
Urmila dan Shamita tidak membantah.
Hari sudah hampir gelap ketika Wisang Geni
tiba di desa
Gondang. Ia menghentikan kudanya di depan
warung makan.
Ia memesan makan. Sambil melahap makanan, ia
memanggil
pelayan dan bertanya apakah pernah melihat
tiga gadis asing
yang cantik. Pelayan itu manggut. Setelah
Geni memberinya
uang receh, ia rnemberitahu di mana tiga
gadis India itu
nginap. Dia juga menceritakan gadis India
itu telah
membunuh tiga orang iseng yang menggodanya
dan
bertarung seru dengan seorang pendekar
wanita lain.
Malam itu Geni menyatroni penginapan. Ia
mengetahui
Urmila dan Shamita berada dalam satu kamar.
Artinya Gayatri
sendirian di kamar sebelahnya. Geni membuka
jendela dan
menerobos masuk kamar. Ia disambut serangan
tajam
mengarah leher dan selangkangan. Sambil
menangkis, Geni
berbisik, "Ini aku, Gayatri!"
Gayatri tertegun, ia mengenal suara Geni.
Samar-samar
lewat cahaya bulan dari jendela, ia melihat
Wisang Geni
berdiri di depannya. Tiba-tiba Gayatri
bangkit amarahnya.
"Kenapa kamu membohongi aku?" Ia
memukul dada Geni.
Lelaki itu tidak mengelak. "Dess!"
Geni terpelanting, jatuh telentang di
lantai. Gayatri terkejut.
"Kenapa kamu tidak mengelak?"
Sambil memegangi dadanya, ia mengeluh.
"Memang aku
bersalah. Tetapi sebenarnya aku terlambat
karena ada
halangan. Di ibukota kerajaan sedang ribut,
jadi semua jalan
ditutup pasukan, orang tak boleh masuk
keluar. Aku tertahan
empat hari."
Gadis India itu luluh marahnya. Ia berlutut
dan memegang
dada Geni yang masih telentang di lantai.
"Dadamu sakit?"
Tangan Geni memegang tangan Gayatri,
menuntunnya ke
bagian jantung. "Di sini sakitnya,
sakit cinta. Dengarkan detak
jantung orang yang mencintaimu dan yang rela
mati untukmu,
Gayatri."
Ia hendak menarik kembali tangannya, tetapi
Geni
menahannya. Geni menarik tubuh Gayatri.
Tangannya
memeluk, tangan satunya memegang kepala si
gadis. Ia
melumat bibir si gadis.
Gayatri tak berdaya, karena sebenarnya sejak
ciuman
pertama di hutan, gadis India itu sudah
takluk. Dia merasakan
tangan jahil Geni merambah ke balik baju
tidurnya yang
longgar. Dia terangsang, nafasnya memburu
Dia berusaha
mencegah tangan nakal dan mulut nakal lelaki
itu. Tetapi dia
tak berdaya karena dia menyukainya. Dia hanp
berbisik pelan,
"Jangan, jangan diteruskan, aku masih
perawan, kita harus
kawin dulu."
Geni menggelitik telinga si gadis dengan
bisikan halus, "Aku
mencintaimu, aku sungguh-sungguh, aku akan
mengawinimu,
itu pasti."
Gayatri mulai bereaksi. Ia menjambak rambut
Geni,
sementara mulutnya memagut mulut Geni Ia
membiarkan
tangan lelaki itu melucuti pakaian tidurnya.
Ia bertanya,
"Siapa namamu?" Dalam hati dia
merasa sudah gila, kenapa
baru sekarang dia menanyakan nama lelaki
itu. Tetapi dia
puas, karena sudah menemukan pendekar yang
pantas
menjadi suaminya. "Kalaupun aku harus
mati dihukum ayah,
aku toh sudah merasakan kenikmatan
ini," gumamnya dalam
hati
"Ambara." Sekenanya Geni menyebut
nama samaranyang
pernah ia gunakan ketika pertama kali
berkenalan dengan
Wulan.
"Ambara kamu harus mengawini aku, kamu
janji?"
"Aku bersumpah demi dua orangtuaku yang
sudah mati,
aku janji akan mengawinimu, kekasihku."
Geni memeluk.
Gayatri memeluk Keduanya berpelukan dalam
deru birahi.
Gayatri menangis. Geni menghibur. Mereka
bercinta. Sampai
fajar menyingsing keduanya lelap, berpelukan
dalam keadaan
bugil.
Di kamar sebelah, Shamita dan Urmila saling
pandang. "Dia
sudah gila! Dia jatuh cinta, sampai
perawannya pun ia
berikan," bisik Urmila. Temannya
menyahut bisik-bisik,
parasnya agak ketakutan. "Gawat, guru
bisa membunuh kita
berdua karena dinilai gagal melindungi
putrinya. Tetapi kita
tak berdaya, mana berani kita membantah
kemauan Gayatri."
Matahari pagi mulai muncul. Gayatri
menggigit pundak
Geni. "Ambara, aku percaya padamu, kamu
harus mengawini
aku, jangan ingkar. Kamu sudah bersumpah
akan
mengawiniku."
"Aku akan mengawinimu, itu janjiku dan
aku bersumpah
demi kehormatan ayah dan ibuku aku akan
mengawinimu.
Kalau aku ingkar, biar aku mati digigit
seribu ekor ular," kata
Geni dengan penuh keyakinan.
"Seribu ekor tambah satu ekor yang
paling besar. Yang
satu itu adalah aku," bisik perempuan
itu. Keduanya bercinta
lagi.
Gayatri berbisik, "Ambara, kamu benar
mencintai aku?"
Geni mengangguk
Perempuan itu mengelus wajah Geni.
"Begitu cepat kamu
jatuh cinta? Kita baru ketemu."
"Pertemuan dan perkenalan ini aneh.
Pertemuan pertama
aku sudah jatuh cinta. Sepanjang jalan ke
keraton, aku
membayangkan wajah dan tubuhmu yang indah,
itu jatuh
cinta yang kedua. Dan sekarang ini aku jatuh
cinta yang
ketiga. Aku pikir aku harus mendapatkan kamu
sebagai isteri,
biar selamanya aku bisa memeluk dan mencium
kamu"
Wisang Geni mengutarakan dengan bisik-bisik
sambil
mengelus lembut wajah Gayatri.
Perempuan itu menyembunyikan wajahnya di
dada Geni.
"Kamu adalah laki-laki pertama yang
kucintai, aku sudah
serahkan cinta dan tubuhku padamu, padahal
kita baru
berkenalan, ini memang aneh," Gayatri
menggigit pelan
lengan Geni. "Ambara, jangan bohongi
aku, jangan
permainkan cintaku, jangan menyakiti hatiku,
ya?"
Siang itu di warung makan, Shamita dan
Urmila
memerhatikan wajah Gayatri yang
berseri-seri. Geni
tersenyum. Tapi senyumnya lenyap, mendengar
cerita
pertarungan kemarin siang. Ada gadis cantik
jelita, berilmu
tinggi yang sanggup mengalahkan Urmila dan
meladeni
Gayatri limapuluh jurus. Gadis itu mengaku
bernama Sekar
dan adalah isteri Wisang Geni. Mendengar
ciri-ciri si gadis,
Geni merasa gembira, ia yakin gadis itu tak
lain Sekar
isterinya. Gayatri heran, "Kamu
kelihatan gembira, kamu kenal
gadis itu?"
Geni mengangguk. "Tentu saja, katamu
dia isteri Wisang
Geni. Nah sekarang kamu tahu, kira-kira
sampai di mana
tingkat kepandaian pendekar itu setelah kamu
tarung dengan
isterinya."
Mereka berangkat ke Argowayang. Sepanjang
jalan Gayatri
manja mendampingi Geni. Mereka menjauh dari
Urmila dan
Shamita. Malam itu mereka nginap di desa
kecil. Setelah usai
bercinta, Geni berbisik, "Aku mau
mampir di suatu tempat
rahasia lagipula perlu cepat, jadi kamu
terus ke Argowayang,
kita akan jumpa di sana."
Gayatri tak mau. Namun setelah dibujuk rayu,
gadis itu
akhirnya bersedia mengikuti rencana Geni. Ia
mencium Geni.
"Kamu jangan terlambat lagi, Ambara aku
percaya padamu,
jangan tinggalkan aku, ingat kamu sudah
bersumpah."
---ooo0dw0ooo---
Lembu Ampai dan rombongan tiba di hutan
batas desa
Gurah dalam perjalanan menuju Argowayang. Di
samping
Lembu Ampai, tampak Lembu Agra dan empat
pengawalnya
dari perguruan Turangga. Selain itu para
pendekar utama
seperti Si Gila Ujung Kulon bersama dua
saudaranya Parma
dan Sakerah, Si Belut Putih, Nenek Kembar
Segoro Kidul
Prameswari dan Kameswari, Si Bayangan Hantu.
Juga sepuluh
anggota Patlikur Sinelir bersama duabelas
punggawa pilihan.
Seluruhnya, tigapuluh lima orang. Mereka
menuju
Argowayang, selain niat berburu binatang
sakti widali juga
menyerang orang Lemah Tulis. Mereka yakin
para murid
Lemah TuLs akan hadir, termasuk juga Wisang
Geni.
"Sayang Kalandara tidak hadir. Kabar
yang kudengar,
Kalandara dan tiga muridnya telah
dipermalukan Wisang Geni.
Mungkin itu sebabnya Kalandara mengundurkan
diri,'' kata
Lembu Ampai.
"Sayang sekali, padahal aku ingin
mengawini Manohara,
muridnya yang cantik itu. Tak bisa jumpa
sekarang, mungkin
suatu hari nanti aku harus mengunjungi
Lembah Bunga,"
tukas si Belut Putih.
"Jika mengunjungi Manohara, sebaiknya
kamu bawa emas
kawin kepala Wisang Geni, pasti dia senang,"
kata Lembu
Agra.
"Wah mana bisa aku membunuh Wisang Geni
seorang diri,
jika dia bisa mengalahkan Kalandara bersama
tiga muridnya,
pertanda ilmu silatnya tinggi, lain hal jika
kita rame-rame
mengeroyok"
Lembu Ampai tertawa. "Tak perlu
mengeroyok, karena
adikku ini Ki Jaranan yang dulunya bernama
Lembu Agra akan
menantang tarung Wisang Geni. Adikku ini
ketua partai
Turangga."
"Kudengar Turangga punya ilmu andal
Pitu Sopakara,
bagaimana hebatnya kita saksikan nanti,
mungkin bisa
mengalahkan Wisang Geni. Aku pikir lebih
baik kita keroyok
saja ketua Lemah Tulis itu, habis
perkara," potong Si
Bayangan Hantu.
Lembu Agra melihat sekeliling. Dia melihat
pohon kayu
yang batangnya sebesar dua pelukan manusia.
Dia menuju ke
pohon itu sambil berkata lantang, "Kalian
lihat ini, jurus Pitu
Sopakara”. Dia memukul. Semua orang
tertegun. Mereka tidak
melihat kehebatan Pitu Sopakara. Apa
hebatnya? Pohon tetap
tegar, tak ada perubahan balikan kulit pohon
sedikit pun tidak
lecet. Lembu Agra berkata kepada seorang
punggawayang
tubuhnya paling kurus. "Punggawa, coba
kamu sentuh pohon
itu."
Punggawa memegang pohon. Mendadak terdengar
suara
gemuruh. Pohon besar itu patah dan roboh.
Semua kaget,
juga Lembu Ampai. Mereka mendekat. Tampak
bagian dalam
pohon itu hancur. "Pukulan itu tidak
merusak kulit luar, lecet
pun tidak, tetapi bagian dalamnya hancur
seperti bubuk, bisa
dibayangkan jika menimpa tubuh
manusia," kata Lembu
Ampai.
Nenek kembar Prameswari tertawa senang.
"Melihat
hebatnya Ki Jaranan, aku yakin kita akan
menyaksikan tarung
hebat di gunung Argowayang, Wisang Geni
hebat ilmunya
tetapi masih dari cerita orang, aku belum
menyaksikan dengan
mata sendiri, tetapi pukulan Pitu Sopakara
kuakui sungguh
hebat."
Lembu Ampai menjelaskan siasat dan maksud
tujuannya ke
gunung Argowayang. Yang utama, berburu
binatang sakti
widah. Maksud lain yang tak kalah penting,
menghantam dan
membunuh orang Lemah Tulis terutama Wisang
Geni.
---ooo0dw0ooo---
Rombongan pendekar Cina siang itu tiba di
desa Bareng,
sekitar tiga hari perjalanan dari desa
Bangsal. Mereka
menunggang kuda. Paling depan pemimpin
rombongan Ciu
Tian, diikuti Liong Kam berdampingan dengan
sastrawan
Siauw Tong, kemudian Sio Lan dan Kim Mei, Li
Moy
berpasangan dengan Sian Hwa, Sin Thong
dengan Pak Beng,
Mok Tang dengan saudaranya Mok Kong.
Ciu Tian berpesan pada rekannya. "Kita
istirahat di sini,
habis makan siang kita lanjutkan perjalanan,
jangan lupa kita
semua harus tetap kumpul dalam rombongan,
jangan ada
yang terpisah. Jika kita bersatu, semua
kesulitan akan bisa
diatasi."
Warung makan itu tidak begitu besar. Begitu
sampai di
pintu masuk, mendadak Sian Hwa berseru
kaget, "Mei Hwa!"
Di meja pojokan, sepasang lelaki dan wanita
sedang
makan. Keduanya terkejut. Mei Hwa menoleh,
wajahnya pucat
saking kaget, lalu ia berteriak girang.
"Ibu," sambil berlari
memeluk Sian Hwa. MeiHwa membawa ibunya ke
meja,
memperkenalkan lelaki itu. "Ibu, ini
suamiku, Manjangan
Puguh dari perguruan Merapi"
Sian Hwa kaget. Inikah sebab anaknya tidak
pulang ke Cina
dan memilih menetap di tanah Jawa. "Oh,
jadi kamu sudah
nikah."
"Iya, ibu maafkan aku. Sudah lebih satu
tahun kami
menikah, kami sudah punya anak, seorang
putri, sekarang ini
aku titipkan pada guru suamiku di pulau
Sempu. Kau harus
lihat cucumu, kulitnya putih, cantik,
matanya sipit persis aku,
cuma rambutnya ikal seperti ayahnya,"
kata Mei Hwa sambil
melirik suaminya.
Sian Hwa memerhatikan menantunya. Manjangan
Puguh,
lelaki separuh baya, rambut panjang, kumis
tipis dengan
tubuh jangkung dan berotot. Lelaki ini
tampak segar, matanya
bersinar terang, pertanda tenaga dalam cukup
tinggi.
Manjangan Puguh membungkuk memberi hormat
"Terimalah
hormat saya, ibu mertua. Maafkan saya, kalau
baru sekarang
kita bertemu."
Sian Hwa termenung. Sekonyong-konyong
terdengar suara
Ciu Tian, "Toaci, terimalah ucapan
selamat dari aku dan
kawan kawan, kamu telah bertemu anakmu,
malahan
sekarang kamu sudah punya menantu dan cucu,
selamat,
selamat"
Mereka mengucap selamat dengan menjura. Sian
Hwa
membalas. Mei Hwa salaman dengan Pak Beng,
Sin Thong
dan Liong Kam
"Dulu kiia penuh sama-sama, kami pulang
ke Cina, tetapi
kamu memilih tinggal. Kami baru tahu
sekarang ternyata ada
lelaki yang sudah kamu pilih, selamat Mei
Hwa," tegur Liong
Kam.
Sian Hwa duduk bertiga anak dan menantunya.
Sedangkan
Ciu Tian dan rombongan memilih meja yang
agak jauh.
Tampaknya mereka sengaja menjauh dan tidak
mau
mengganggu pembicaraan Sian Hwa dengan anak
dan
menantunya.
Mei Hwa menjelaskan kepada ibunya, kematian
Sam Hong,
pemimpin rombongan terdahulu terjadi dalam
pertarungan
resmi yang disaksikan banyak orang. Tak ada
yang curang.
Sam Hong mati, di lain pihak Wisang Geni
terluka parah.
"Sebenarnya kami hampir menang, semua
pendekar tanah
Jawa sudah kalah, lalu muncul Wisang Geni
dan segalanya
berubah. Ia seorang diri bergantian
mengalahkan Pak Beng,
Sin Thong, kemudian Sam Hong. Hanya paman
Liong Kam
yang tak sempat menghadapi Wisang Geni,
kalaupun punya
kesempatan juga pasti kalah, karena dari
lima orang dalam
rombongan, paman Liong Kam termasuk paling
rendah
kepandaian silatnya."
Sian Hwa menatap Mei Hwa. "Wisang Geni
itu ilmunya
setinggi apa, sampai bisa mengalahkan
pendekar paling
dihormati di Cina, Sam Hong. Ceritamu lain
dengan kabar
yang dibawa Pak Beng dan Sin Thong, bahwa
Sam Hong kalah
dalam tarung yang tidak adil, bahwa ada yang
membokong
Sam Hong dengan jarum beracun."
"Tidak benar cerita itu, tak ada yang
curang dalam tarung
itu, Sam Hong dan Wisang Geni sesungguhnya
sama kuat dan
imbang, sayang salah seorang harus kalah,
dan kebetulan
Sam Hong yang kalah. Seharusnya tarung
selesai tanpa ada
yang terluka, sayang pada saat akhir Sam
Hong memaksakan
adu tenaga mati atau hidup," tukas
Manjangan Puguh. "Ibu
mertua, kalian datang kembali ke Jawa,
apakah mencari
Wisang Geni?"
Sian Hwa menghela nafas. "Aku cuma
ingin mencari anakku
Mei Hwa Tetapi Ciu Tian ingin balas kematian
Sam Hong. Dan
Ciu Tian itu kakak seperguruan Sam Hong,
selama ini dia
menyepi di gunung Wuthan, dia turun gunung
melanglang ke
tanah Jawa karena kematian Sam Hong. Orang
lain, juga ingin
tarung dengan Wisang Geni. Sekarang ini aku
terangsang
ingin menjajal Wisang Geni, sampai di mana
hebatnya dia?"
Sian Hwa melanjutkan, "Mei Hwa dan kamu
menantuku,
aku datang ingin menengok anakku, dan jika
Mei Hwa memilih
tetap tinggal di negeri ini, aku tidak
keberatan begitupun jika
ingin pulang ke negeri leluhur. Apapun
pilihan Mei Hwa, jika
pilihan itu membuatnya bahagia, aku pasti
mendukung."
"Maafkan aku, ibu Aku bahagia tinggal
di negeri ini, semua
orang ramah. Aku bahagia bersama suami dan
anak, maafkan
aku, ibu"
"Tidak apa. Toh juga sewaktu di Cina,
kamu tidak selalu
bersama ibumu, aku sibuk menyepi memperdalam
ilmu silat,
sedang kamu suka bepergian. Tak apa Mei, ibu
menghargai
pilihanmu"
"Sekarang ini, ibu dan rombongan sedang
menuju ke
mana?"
"Kami sedang menuju ke gunung Argowayang,
katanya ada
binatang sakti widah yang akan muncul, siapa
yang minum
darahnya bisa memperoleh tambahan tenaga
dalam, kamu
berdua mau ke mana, ke Argowayang
juga?"
Mei Hwa mengangguk. Mei Hwa berbisik pada
ibunya, "Ibu
tahu, dulu itu Wisang Geni pernah jadi murid
suamiku, tapi
belakangan dia memperoleh tambahan ilmu
silat dari berbagai
aliran, sekarang ini mungkin silatnya sudah
jauh lebih unggul
dari suamiku."
Sian Hwa menatap menantunya. Rasanya ingin
menjajal
silat anak menantunya itu. Sian Hwa menghela
napas. "Aku
harus membela dia, demi kebahagiaan Mei
Hwa."
---ooo0dw0ooo---
Pertarungan Argowayang
Setelah berpisah dengan Gayatri, Wisang Geni
melanjutkan
perjalanan ke Lemah Tulis. Dia ingat
janjinya mengajak
Prawesti ke gunung Argowayang. Bulan Cakra
masih
menyisakan enam hari, dia melakukan
perjalanan cepat ke
Lemah Tulis. Dari Lemah Tulis ke gunung
Argowayang bisa
dicapai tiga atau empat hari. Senja itu ia
tiba di Lemah Tulis.
Dia tampak letih. Tanpa istirahat lebih
dahulu diamenemui
Padeksa dan Gajah Watu. Tetapi dia tidak
menceritakan
pertemuannya dengan Eyang Sepuh.
Gajah Watu menceritakan bahwa tadi pagi
rombongan
Prastawana beserta lima murid berangkat ke
Argowayang.
"Mereka takut terlambat, juga mengira
kamu langsung ke
Argowayang. Baiknya kamu istirahat dulu,
besok pagi baru
berangkat," kata Gajah Watu.
Dia cepat menuju rumahnya. Dia tidak
menemukan
Prawesti. Rasa letih dan kantuk membawa Geni
cepat pulas.
Malam hari, Geni terbangun. Ada orang yang
mengguncang
tubuhnya. Ternyata Prawesti. "Ketua
bangun, makanan sudah
siap, makan dulu."
"Kamu tidak ikut rombongan ke
Argowayang?"
Prawesti menggeleng kepala. "Tidak. Aku
menunggu
ketua."
"Siapa saja yang menyertai
Prastawana?"
"Selain paman Prastawana dan Dyah
Mekar, ada Gajah
Lengar, Daraka, Kebo Lanang dan juga paman
Jayasatru
Ketua kapan kita berangkat?"
"Besok pagi, tetapi aku pergi sendiri,
kau tunggu aku di
rumah."
Prawesti menggeleng kepalanya. "Aku
ikut, kamu sudah
berjanji mengajak aku."
Geni memeluk gadis itu dan mencium rambutnya
"Aku
hanya guyon, besok kita pergii berdua.
Tetapi di sana, kamu
harus hati-hati, ada kemungkinan kita ketemu
musuh, pasti
terjadi pertarungan." Geni meraih tubuh
Prawesti. Memeluk
dan mencumbu.
Prawesti tak kalah bernafsunya. "Ketua,
aku rindu,
padamu."
Malam itu dilalui dua insan dengan permainan
cinta.
Ketika Prawesti pulas di sampingnya, Geni
menatap si gadis
yang tidur lelap. Malam gelap, tetapi dia
bisa mengamati jelas
tubuh Prawesti yang bugil. Tanpa sadar ia
membuat
perbandingan di antara tiga kekasihnya.
Ketiganya cantik dan
memiliki kelebihan sendiri-sendiri. Gayatri
sangat cantik,
kecantikan seorang wanita asing yang berbeda
dengan
kecantikan perempuan Jawa, potongan tubuhnya
indah.
Prawesti kalah segala-galanya, kecantikan
wajah dan tubuh,
termasuk hubungan seks, Gayatri lebih
merangsang.
Dibanding Sekar? Sekar menang
segala-galanya.
Perempuan yang satu ini sangat luar biasa.
Ia cantik dengan
potongan tubuh sangat molek. Ia langsing,
pinggang, bokong
dan buah dada yang sangat padu dan imbang.
Perpaduan
antara kecantikan wajah dan kemolekan tubuh
menampilkan
perwujudan Sekar bagai seorang dewi dalam
dongeng. Ia
hangat dalam pendekatan, panas dalam
hubungan seks, lebih
dari itu ia selalu mengutamakan kepentingan
Geni di atas
kenikmatan dirinya. Geni tahu persis ia
sangat mencintai
Sekar. Dia teringat, ketika nyawanya berada
di ujung tanduk,
Sekar berani melawan Kalayawana tanpa
menghiraukan
keselamatan jiwanya. Saat itu Sekar rela
berkorban jiwa
untuknya. Mendadak Geni merindukan Sekar,
tubuhnya,
ketawanya dan cintanya yang begitu hangat
dan panas. "Di
mana kamu Sekar, apakah kamu masih seperti
Sekar yang
dulu, yang mencintai aku, yang membuat aku
tergila-gila
padamu?"
Keesokan paginya Geni dan Prawesti berangkat
ke
Argowayang. Kegiatan di Lemah Tulis berjalan
seperti biasa,
dipimpin Padeksa dan Gajah Watu serta murid
lapis atas. Di
tengah jalan Geni sering melamun,
membayangkan wajah
Gayatri juga Sekar. "Aku sudah rindu
pada Sekar dan aku
sudah berjanji mengawini Gayatri, tetapi aku
harus temukan
cara mendamaikan dua perempuan itu, keduanya
sudah
tarung meski pun belum saling kenal,
celakanya lagi aku tak
bisa meninggalkan salah seorang dari
keduanya," gumamnya.
---oo0dw0ooo---
Gayatri bersama dua pembantunya tiba di desa
Limo tiga
hari sebelum akhir bulan Cakra. Suasana desa
sangat sepi,
sebagian penduduk sudah meninggalkan rumah,
mengungsi.
Sebagian lain sedang bersiap siap akan
meninggalkan desa.
Gayatri heran.
Seorang penduduk, perempuan tengah baya
menuturkan
penduduk lakui karena widali sakti sudah menelan
banyak
korban. Sudah empat kali terjadi dalam
sepuluh tahun
terakhir, setiap akhir bulan Caitra, semua
penduduk desa Limo
mengungsi menjauh dari malapetaka. Sebelum
itu banyak
penduduk menjadi korban. Tidak terhitung
lagi jumlahnya
termasuk juga para pendekar pendatang.
Cerita mengenai para pendekar yang memburu
widali,
memang benar. Hari-hari mendatang, puncaknya
di malam
menjelang pergantian bulan Caitra ke bulan
Waisaka, banyak
pendekar akan hadir. Niat mereka membunuh
widali tak
pernah surut meski tahu sudah banyak korban
berjatuhan.
Bahkan sebagian orang percaya widali itu
mustahil bisa
dibunuh. "Widali itu sakti, ia muncul
tiba-tiba dan menghilang
cepat setelah membunuh korban. Sebaiknya
kalian pergi,"
kata perempuan tua itu kepada Gayatri bertiga.
Tetapi tiga perempuan itu memutuskan tetap
di desa, ingin
nonton keramaian. Meskipun heran kenekatan
tamunya,
perempuan itu dengan sukarela meminjamkan
rumahnya pada
Gayatri. Ia bersama tujuh anggota keluarga,
anak dan
cucunya, berangkat dengan pedati yang
ditarik lembu.
Widali itu peranakan musang jantan liar
dengan kucing
betina berbulu lima warna. Perkawinan yang
tidak lazim itu
melahirkan widali yang konon darahnya
berkhasiat
membangkitkan tenaga dalam membuat seseorang
menjadi
sakti mandraguna. Cerita ini berasal dari
pendekar peramal Ki
Panarupan tigapuluh tahun lalu. Cerita
kemudian berkembang,
konon dia sering bertualang mencari korban
di tempat lain.
Khusus di Argowayang, ia muncul tiga tahun
sekali dan tepat
di ujung bulan Caitra, seakan ia menantang
seluruh pendekar
tanah Jawa. Ia muncul mendadak, menggigit
leher dan
menghirup darah korban dengan satu isapan
kuat dalam
sekejap mata. Kecepatan geraknya luar biasa.
Ia selalu
muncul menjelang tengah malam dan menghilang
sebelum
fajar. Dia muncul hanya untuk membunuh atau
dibunuh,
setelah itu jika masih hidup dia akan
menghilang dan
bertualang ke tempat lain. Ia akan muncul
lagi tiga tahun
berikut.
Rumah yang ditempati Gayatri berada di
tempat tinggi,
menghadap ke jalan setapak di lereng gunung.
Dari rumah itu
Gayatri bisa mengawasi para pendatang.
Selama dua hari ia
bersama dua pengawalnya berlatih tenaga
dalam. Mereka
merencanakan siasat menghadapi para
pendekar. "Kita jangan
menggunakan jurus andalan Himalaya, kecuali
jika sudah
terpaksa. Aku mau sekali digunakan di depan
umum, jurus itu
bisa mengalahkan Wisang Geni.”
Urmila dan Shamita mengangguk. Jurus itu
memang
mematikan, Atehai Zaminepar Kabehiyeh Chande
Sitare
(Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi)
jika digelar
biasanya memakan korban. Jurus ini bisa
dimainkan seorang
diri, bisa oleh dua orang. Bahkan jika tiga
orang bekerjasama
maka kehebatan jurus ini diumpamakan seperti
kekuatan
menarik bulan dan bintang turun ke bumi
Hari itu, dua hari menjelang berakhirnya
bulan Caitra,
matahari siang sangat terik, tetapi udara
sejuk pegunungan
membuat suasana sepi desa Limo semakin sepi.
Rasanya
orang ingin tidur. Gayatri semedi di dalam
rumah, ia
terbangun ketika mendengar bisikan Shamita.
"Putri, ada
rombongan datang, mereka kelompok Cina yang
ketemu kita
di pelabuhan Jedung. Jumlahnya tigabelas
orang, rupanya ada
tambahan dua orang lagi. Tadi hanya empat
orang wanita,
sekarang ada lima wanita, juga seorang
lelaki jangkung yang
melihat tampangnya pasti pendekar negeri
ini."
Rombongan yang dipimpin Ciu Tian memang
mendapat
tambahan Manjangan Puguh dan Mei Hwa.
Rombongan itu
melewati rumah Gayatri. Melihat dua
perempuan yang duduk
di serambi rumah, Ciu Tian dan rombongan
tidak begitu
peduli. Mereka mengenali, dua perempuan itu
pendekar asal
Himalaya.
Sejenak mereka heran mendapatkan desa itu
kosong.
Semua rumah kosong, tak ada penghuni.
Manjangan Puguh
menjelaskan bahwa semua penduduk sudah
mengungsi. Tidak
lama, mereka akhirnya menemukan sebuah rumah
kosong
yang cukup besar, cocok untuk tempat tinggal
sementara.
Beberapa saat kemudian banyak orang
berdatangan. Ada
yang datang sendiri, berdua bahkan
rombongan. Yang paling
menyolok adalah rombongan keraton Kediri
yang terdiri dari
tigapuluh lima orang dipimpin Mapatih Lembu
Ampai
Rombongan Lemah Tulis berjumlah enam orang.
Murid
perguruan Mahameru juga datang, dipimpin
Bragalba adik
seperguruan Macukunda, bersama empat murid
angkatan
pertama, Narapati, Aryaka, Matangga dan Ayu
Rahayu. Dari
perguruan Rrantas sepuluh orang dipimpin
langsung ketuanya
Warok Sampang, isteri-isterinya dan enam
murid utama
termasuk kepala murid Prabowo dan Santiyaki
Rombongan Tumapel datang berjumlah tujuh
orang
dipimpin
Panji Patipati alias pendekar Pamegat dengan
enam
pendekar keraton, Dwi, Trini, Catur, Panca,
Sapta dan
Ekadasa. Selain rombongan terkenal itu,
banyak pendekar dari
berbagai aliran dan bermacam tingkat
kepandaian ikut berjudi
dengan nasib, mendapatkan darah widali yang
berkhasiat atau
mati dibunuh bintang sakti itu.
Urmila dan Shamita menghitung pendatang,
jumlahnya
mencapai seratus orang lebih. "Luar
biasa jumlah sebanyak
ini, jika terjadi kekacauan dalam perburuan
widali bisa
dibayangkan hiruk pikuknya. Pasti ramai dan
seru," tukas
Urmila.
"Kamu belum melihat lelaki itu?"
tanya Gayatri.
”Lelaki yang mana Putri, di sini banyak
laki-laki, hampir
semuanya laki-laki, aku tidak tahu yang mana
yang dimaksud
tuan Putri," goda Urmila.
"Urmila, kau tahu siapa yang kumaksud,
dia sudah datang,
belum?"
Urmila tak berani menggoda lagi.
"Belum, aku belum
melihatnya. Tetapi tunggu dulu, oh itu dia,
dia datang
bersama seorang gadis."
Dari bawah lereng gunung tampak Wisang Geni
berlari
kencang, tangannya menggandeng Prawesti.
Keduanya seperti
terbang. Geni tidak melihat Urmila dan
Shamita yang berada
di beranda rumah di pinggir jalan. Geni
memang sangat
bergegas, khawatir terlambat.
Dari jendela rumah Gayatri melihat Geni.
"Kurangajar, dia
membawa perempuan kekasihnya."
Gayatri bergerak pesat, menerobos jendela,
mengeluarkan
senjata bor maut. Tanpa basa-basi ia
menerjang dengan
senjata mautnya. Wisang Geni terkejut.
"Gayatri, tunggu dulu,
tahan."
Geni senang menemukan Gayatri namun ia harus
mengelak
dari serangan bor maut. Saat yang sama
Urmila dan Shamita
menyerang Prawesti. Dua pembantu ini mengira
ilmu silat
Prawesti sama hebat dengan Wisang Geni.
Karenanya mereka
menyerang bersamaan dengan jurus paling
handal. Tetapi
mereka keliru, ilmu Prawesti tidak sehebat
perkiraan.
Prawesti berupaya mengelak dan membalas
menyerang
dengan pukulan keras Garudamukha Prasidha.
Tetapi
menghadapi seorang Urmila saja mungkin
Prawesti tidak
ungkulan, apalagi ditambah keroyokan
Shamita. Dalam lima
jurus, Prawesti sudah kelabakan. Geni
melihat Prawesti
terancam. Khawatir Prawesti luka, Geni
berniat menerjang dua
pembantu itu. Tetapi mana mau Gayatri
melepas Geni. Dia
menyerang gencar.
"Hayo, keluarkan jurusmu yang paling
hebat, jika tidak,
nyawamu akan hilang percuma," seru
Gayatri yang tampak
sangat marah.
"Kamu ini galak sekali, sedikit-sedikit
mengancam
membunuh aku, kamu sama dengan Malini dan suaminya
yang suka membunuh orang tak berdosa, di
desa Gondang
kamu sudah membunuh tiga orang."
"Mereka kurang ajar, kamu membela
mereka?"
"Aku kan tidak ingkar janji, kita sudah
ketemu di Gondang,
juga janjiku bertemu di sini, mengapa kamu
marah begini?"
Saat itu Gayatri sedang kesal, cemburu
melihat Geni
menggandeng Prawesti yang cantik. Tetapi
keduanya terus
bercakap sambil tarung. Dalam duapuluh jurus
tampak
keduanya seperti berlatih, serangan memang
ganas tapi saat
kritis serangan ditahan. Mereka tak mau
saling melukai.
"Kamu tega mempermainkan aku, Ambara,
kamu jahat.
Apakah kamu lupa malam itu di desa Gondang,
kamu
mengatakan mencintaiku." Gayatri makin
kesal melihat Geni
sering melirik Prawesti. Padahal Geni hanya
tak mau Prawesti
celaka, ia takut dua pembantu Gayatri
menurunkan tangan
jahat
"Aku tidak mempermainkan kamu, aku
mencintaimu, buruburu
aku mengejarmu kemari karena tak tahan
menahan
rindu."
Gayatri gembira, dia tersenyum,
"Benarkah, kamu
merindukan aku?" Keduanya terus
bertempur, seperti sedang
berlatih.
Hal ini tidak luput dari lirikan Urmila,
Shamita dan Prawesti.
Gadis Lemah Tulis ini bergumam,
"Rupanya mereka sudah
saling mengenal."
Melihat majikannya aman, Urmila dan Shamita
juga tidak
berniat melukai Prawesti. Cukup melumpuhkan
gadis itu. Pada
jurus duapuluh, pukulan Urmila mengena
pundak Prawesti
yang jatuh duduk. Geni terkesiap, namun lega
mengetahui
gadis itu hanya ditotok jalan darahnya.
"Tahan dulu Gayatri, aku perlu cepat
menolong anak
buahku, jiwa mereka terancam."
Gayatri tertawa, menggoda. "Baik, kamu
boleh pergi, tetapi
perempuan itu tetap di sini, sebagai jaminan
supaya kamu
tidak lari lagi." Ia tertawa senang.
---ooo0dw0ooo---
Agak jauh ke dalam desa, rombongan Lemah
Tulis sedang
istirahat di rumah kosong salah seorang
penduduk. Mereka
dipimpin Prastawana.
Sekonyong-konyong terderigar suara keras dan
lantang dari
luar rumah. "Hai orang-orang Lemah
Tulis, keluar kalian
semua untuk menerima kematian." Suara
itu menggema di
lereng gunung sampai ke hutan di kaki
gunung. Pertanda
orang itu memiliki tenaga dalam yang sangat
kuat
Tidak sempat berembuk enam murid Lemah Tulis
keluar. Di
depan rumah berdiri sekelompok orang.
Seorang di antaranya,
Lembu Agra. Sekilas Prastawana mencium
adanya bahaya.
Padeksa dan Gajah Watu pernah berpesan agar
menjauhi
Lembu Agra. "Ia berbahaya, ilmunya
tinggi, ganas dan keji.
Jangan melayani dia. Hanya ketuamu, Wisang
Geni yang bisa
menandinginya."
Prastawana ingat pesan ini, dia juga tak mau
mencelakakan
adik-adiknya. "Kalian jangan ikut
bicara, biar aku yang
tangani, paman Padeksa sudah memberi
wejangan padaku
sebelum berangkat, jangan membantah
perintahku!"
Prastawana memberi hormat. "Rupanya
Lembu Agra,
pendekar kesohor yang membelot dari Lemah
Tulis. Ada
urusan apa?"
"Aku bukan Lembu Agra, aku Jaranan
ketua partai
Turangga, aku akan membunuh semua murid
Lemah Tulis,
tanpa kecuali."
"Lembu Agra, kamu pernah menjadi murid
paman
Bergawa, sedang aku murid bapak Branjangan,
kita
sesungguhnya pernah saudara seperguruan.
Tetapi kamu
sudah membunuh saudara kita, Walang Wulan,
artinya kamu
bukan murid Lemah Tulis lagi, kita tak punya
urusan.
Sekarang apa urusannya kamu mencari murid
Lemah Tulis,
kebetulan kami memang sedang mencari kamu.
Tetapi kami
masih menunggu ketua Wisang Geni yang sedang
dalam
perjalanan kemari. Sebaiknya kamu pergi,
mumpung masih
punya waktu untuk lari!"
Lembu Agra tertawa keras. "Kau banyak
bacot,
Prastawana, maut sudah di ujung hidung masih
buka mulut
besar. Terimalah ajalmu," tegasnya
sambil melancarkan dua
pukulan jurus Pitu Sopakara.
Pukulan itu membawa angin keras dan bau
bacin.
Prastawana tak berani menangkis, ia
menghindar. Tanpa ragu
sedikit pun Prastawana memainkan jurus
Prasidha. Meski
pernah berguru di Lemah Tulis tetapi Lembu
Agra belum
sempat mempelajari Prasidha. Karenanya untuk
sementara
pertarungan imbang.
Setelah memperoleh bimbingan langsung dari
Wisang Geni
dan berlatih di air terjun, Prastawana sudah
hampir sempurna
menguasai Prasidha. Dia mengelak dengan
cekatan, jika
terpaksa dia mengalihkan tenaga serangan
lawan ke tempat
lain. Duapuluh jurus berlalu. Agra tertawa,
"Hanya ini
kehebatan Prasidha, kini terimalah Pitu
Sopakara tingkat
tujuh."
Terdengar bunyi otot di sekujur tubuh Agra,
wajah lelaki ini
berubah merah berganti hijau. Pada saat itu
sekonyongkonyong
terdengar suara tertawa keras Wisang Geni.
Tertawa
itu menggema di seluruh gunung. Semua
pendekar yang
masih istirahat di dalam rumah, keluar
saking terkejut. Mereka
menuju ke pusat keramaian.
Belum habis pantulan gema suara, tampak
Wisang Geni
berlari dengan kecepatan luar biasa.
Kecepatan larinya
membawa serta angin keras, debu dan
daun-daun kering.
Sesaat kemudian Gayatri datang, bersama dua
pembantunya.
Urmila menggandeng Prawesti.
Begitu tiba di tempat tarung, Geni mendorong
Prastawana.
Ia menatap Lembu Agra. "Hutang nyawa
bayar nyawa. Kamu
membunuh isteriku, sekarang aku menagihnya.
Aku akan
membunuhmu, sudah banyak dosamu terhadap
Lemah Tulis."
Rombongan Lemah Tulis gembira. "Ketua
datang."
Saat berikut Jayasatru berteriak, "Hei
itu Prawesti."
Geni menoleh ke Gayatri. "Gayatri
tolong bebaskan gadis
itu."
Seperti kena sihir Gayatri mengikuti
perintah Geni. Dalam
bahasa India dia memerintah Urmila mengantar
Prawesti ke
rombongan Lemah Tulis. Gayatri masih
diliputi teka-teki diri
Wisang Geni. "Siapa Ambara ini, dari
perguruan mana dia,
tenaga yang dipamerkan lewat tertawa tadi
sangat tinggi.
Orang dengan tenaga seperti dia hanya ayah
dan kakek yang
bisa mengimbangi," katanya dalam hati.
Terdengar suara Lembu Agra. "Sudah tiba
saatnya kamu
mati, Wisang Geni!"
Saking terkejutnya Gayatri berdiri terkesima
mendengar
Lembu Agra menyebut nama lelaki itu, Wisang
Geni.
"Mengapa Ambara dipanggil Wisang Geni?
Apakah dia benarbenar
Wisang Geni, orang yang kucari-cari selama
ini?"
gumamnya dalam hati.
Lembu Agra melanjutkan dengan suara yang
cukup keras,
ada warna jumawa dalam suaranya.
"Wisang Geni, sudah
suratan dewa kita harus tarung mati atau
hidup, kamu juga
punya dosa padaku. Tidak ada tempat di bumi
ini bagi kamu
Bersiaplah ke neraka menemui isteri
pelacurmu itu."
Wisang Geni tertawa sinis. "Jangan
marah, tenang saja,"
katanya dalam hati "Semakin tenang,
semakin kamu bisa
menguasai angin, menunggang angin dan
menjadi angin."
Sekonyong-konyong Gayatri menyela di antara
dua
pendekar itu. Dia mendekat,
berhadap-hadapan, menantang
mata Geni. "Kamu ini Wisang Geni?
Mengapa kamu
membohongi aku? Mengapa kamu tidak mengaku
dirimu
sebenarnya Wisang Geni."
Meskipun kata-kata Gayatri diucapkan
perlahan, namun
telinga Lembu Agra yang peka mendengarnya.
"Betul nona,
Wisang Geni ini pembohong, sudah banyak
gadis yang dia
nodai, dulu calon istriku pun dia rebut dan
bawa kabur, dia
memang pantas mati"
Gayatri menoleh. Dia kesal dan marah
mendengar Wisang
Geni punya banyak perempuan. Bahkan dia
sudah melihat
buktinya, ketika Geni menggandeng Prawesti.
"Siapa kamu
berani campuri urusanku, belum tentu moralmu
lebih baik dari
moralnya?"
Lembu Agra jengkel, tangannya mengibas.
"Persetan
perempuan asing." Maksudnya membuat
Gayatri terpental.
Tetapi dia kecele. Gayatri membalas dengan
tamparan
selendang. Agra terkejut, gesit ia
menghindar. Ia lolos tetapi
dipaksa mundur satu langkah.
Geni memegang lengan Gayatri, berbisik
dengan nada
halus dan rendah. "Gayatri, maafkan
aku, jika aku
mengatakan terus terang siapa aku, kamu
pasti akan
memusuhi aku, dan itu aku tidak mau. Karena
aku
mencintaimu sejak pertama memandangmu. Dan
setelah
malam itu kamu sudah menjadi isteriku, aku
makin
mencintaimu. Sekarang kamu mundur dulu, aku
mau tarung.
Urusan itu nanti aku minta maaf
padamu."
Gayatri menatap mata Geni. Dari sinar
matanya memancar
rasa khawatir dan ragu. "Urusanmu
dengan aku akan kita
bereskan nanti, tetapi sekarang ini apakah
kau memerlukan
bantuanku?"
0 komentar:
Posting Komentar