Wulan memotong, "Geni, jangan bicara
terus. Kau perlu
merawat lukamu!"
Saat itu matahari senja tenggelam Semua
orang sudah
bubar turun gunung. Pendeta Macukunda dan
para pendekar
lain, memberi selamat dan terimakasih kepada
Geni yang telah
menyelamatkan gengsi tanah Jawa "Ki
Wisang Geni, kamu
sekarang sudah pantas disebut Pendekar Tanah
Jawa.
Memang masih banyak pendekar lain yang
barangkali berilmu
lebih tinggi dari kamu, tetapi gebrakanmu
tadi telah
menyelamatkan kita semua, aku beri kamu
gelar Pendekar
Tanah Jawa, dan siapa orang yang tak setuju
usulku ini boleh
berhadapan dengan Mahameru!"
Geni membalas hormat para pendekar.
"Jangan paman
pendeta memberi aku gelar itu, aku belurn
pantas
menerimanya!"
Semua pendekar menyatakan setuju. Pendekar
Merapi
Sagotra, Nyi Pancasona, Grajagan, Manjangan
Puguh, Gajah
Watu, Dewi Obat, Sang Pamegat menyambut baik
gelar yang
memang pantas diberikan kepada Geni
mengingat jasanya
yang besar. Kemudian satu per satu mereka
bubar turun
gunung.
Wisang Geni dipapah dua isterinya. Ia
memegang tangan
Wulan dan Sekar. "Kalian berdua takut
aku mati kenapa?"
Mendadak tubuh Wisang Geni menggigil. Luka
dalam
membuat ia lemah, karenanya ia tak tahan
angin dingin yang
tiba-tiba berhembus dengan kerasnya. Ia
memaksa duduk sila,
semedi dengan memejamkan mata. Tetapi tak
ada gunanya,
ia tetap menggigil kedinginan. Wulan dan
Sekar menggandeng
lengan Geni memasuki desa dekat lereng
gunung.
Mereka menemukan sebuah rumah penduduk yang
bersedia disewa. Wulan dan Sekar memeluk
untuk
menghangatkan tubuh kekasihnya. Geni
berbisik, "Aku
memang luka dalam, tetapi aku masih kuat
memberi kalian
berdua kepuasan seperti biasa." Tiga
insan itu tertawa geli.
Saat berikut Geni tak lagi merasa dingin.
Esok paginya seharian, Wisang Geni semedi
mengatur
kembali tenaga Wiwaha yang sudah semrawut
berkeliaran tak
teratur di seluruh tubuhnya. Ia tahu, kalau
saja tak pernah
berlatih Wiwaha nama Wisang Geni saat ini
sudah terkubur.
"Terimakasih guru Lalawa. Kamu sudah
lama mati, tapi kamu
telah memberi kehidupan pada muridmu yang
paling
beruntung ini!"
Tujuh hari mereka tinggal di desa. Malam
hari mereka
bercinta, siang hari Geni semedi
menyembuhkan luka
dalamnya. Di hari pertama Geni mengajari dua
kekasihnya
mencari rumput dan akar pohon untuk ramuan.
Mendadak
saja di hari kedelapan muncul Lembu Agra di
depan rumah. Ia
didampingi empat orang anak buahnya dari
perguruan
Turangga.
Lembu Agra tertawa keras, "Ha, ha, ha,
mau lari ke mana
kamu Wisang Geni, kamu tak pernah menyangka
aku bisa
menemukan kamu di sini. Kamu hebat bisa
mengalahkan
orang-orang Cina itu, tetapi kamu sekarang
luka parah, kamu
tak berdaya."
Geni tak pernah menyangka bakal ada kejadian
seperti ini.
Dia menyesal meminta Manjangan Puguh dan
teman-teman
lain pergi.
Pikirnya wakiu itu dia ingin menyendiri
bertiga isterinya.
Sekarang Jia lak berdaya, jangankan Lembu
Agra,
menghadapi penjahat kelas teri pun sekarang
ini ia tak
sanggup. "Kau memang tak punya
malu!"
Wulan dan Sekar pasang kuda-kuda di samping
suaminya.
Wulan memaki, "Kamu mau apa ke
sini?"
"Sudah tentu membunuh Wisang Geni.
Tetapi sebelum itu
aku ingin melihat penderitaannya. Aku akan
memperkosa
kamu berdua di depan matanya. Nah, bagaimana
pendapatmu?"
"Kamu memang bejat, pengkhianat busuk,
aku akan adu
jiwa denganmu!" Wulan hendak menyerang,
tetapi tangan
Sekar memegang erat lengannya. "Tahan
dulu, mbak. Dia
sengaja memancing amarah kita."
Seorang nenek tua, tubuhnya agak bungkuk,
rambut putih
seluruhnya, dengan tongkat sapu lidi di
tangan, mendekat.
"Jangan, jangan berkelahi di sini,
rumah ini nanti roboh!"
Tetapi mana mau Lembu Agra menuruti omongan
si nenek.
Ia membentak si nenek, "Diam kamu tua
bangkotan, cepat
kamu minggir!"
Nenek tua itu ketakutan dan melangkah
terseok-seok
keluar ke pekarangan.
Lembu Agra berkata kepada anak buahnya,
"Jangan bunuh
Wisang Geni, biarkan dia hidup beberapa saat
lagi sampai aku
selesai bercinta dengan dua isterinya yang
montok"
Empat murid Turangga menyerang Sekar dan
Wulan.
Sedang Lembu Agra menyerang Wisang Geni. Saking
terkejutnya Sekar dan Wulan berseru,
"Bangsat pengecut!"
Tetapi dua perempuan ini tak mampu
melepaskan diri dari
keroyokan empat lawannya yang juga memiliki
ilmu silat kelas
atas. Wulan mengandalkan Garudamukha
Prasidha menyerang
gencar dengan jurus Agniwisa (Bisa api) dan
Silmujugtundaghata (Menukik ke bawah)
berhasil
menghantam salah seorang lawan. Ia membuka
jalan menuju
Geni, tetapi tiga lawan lainnya menghalangi
dengan serangan
serentak. Apalagi saat itu Sekar sedang
dalam bahaya,
membuat Wulan terpaksa menolongnya.
Pada saat berbarengan, hanya dengan satu
gebrakan
Lembu Agra berhasil menghajar Wisang Geni
yang tenaga
dalamnya belum pulih. Geni terjengkang
dengan muntah
darah. Dadanya sakit. Dua isterinya,
menggeram marah, ingin
membantu suarninya, namun tiga lawannya
tidak memberi
kesempatan.
Setelah menaklukkan Wisang Geni dengan tawa
puas
Lembu Agra menghampiri pertarungan.
Tiba-tiba ia
menerobos masuk dan menyerang Sekar,
sementara tiga anak
buahnya tetap mengeroyok Wulan. "Jangan
kalian lukai dia,"
seru Agra.
Beberapa jurus berlangsung, Lembu Agra
berhasil menotok
titik lemah Sekar yang langsung jatuh
terduduk. Setelah itu ia
menyerang Wulan dengan jurus dari Pitu
Sopakara. Dikeroyok
banyak orang, Wulan akhirnya tak berdaya
ketika pukulan
Agra membuat dia terjungkal. Tubuhnya lemas
tak bertenaga
karena urat besarnya ditotok, ia lumpuh
untuk sementara.
"Kau bunuh saja kami, jangan melakukan
penghinaan ini."
Lembu Agra tertawa sinis. "Aku senang
melakukan ini,
pertama aku akan memerkosa Sekar, berikutnya
nanti
giliranmu, dan semua ini disaksikan
kekasihmu Wisang Geni
yang tak berdaya itu!"
Berkata demikian, Lembu Agra menghampiri
Sekar yang
ketakutan. Sekar tak berdaya, membayangkan
yang akan dia
alami membuatnya pucat pasi ketakutan. Dia
gemetar
ketakutan ketika tangan Lembu Agra meraba
pinggul dan
bokongnya, merobek baju di dadanya. Melihat
payudarayang
montok, dia mengelusnya. "Kamu sungguh
montok, pantas
Geni tergila-gila padamu!"
Sekar menangis, "Jangan lakukan itu,
lebih baik kamu
bunuh aku saja!"
Wisang Geni berseru, "Lembu Agra, ini
urusan kamu
dengan aku, selesaikan sekarang, bunuh aku,
tetapi sebagai
pendekar kamu tak pantas memperlakukan
perempuan
dengan caramu yang hina."
"Aku gembira dan menikmati permainan
ini, kamu saksikan
kehebatanku." Lembu Agra memegang
lengan Sekar yang
terbaring di tanah. Ia berupaya mencium
leher dan mulut
Sekar namun gadis ini menggeleng kepalanya
menghindar.
Agra memegang kepala Sekar. Geni menutup
mata, darahnya
bergolak, tetapi ia tak berdaya. Tenaga
Wiwaha masih tak
beraturan, tak bisa dihimpun.
Sekar menangis. Pada saat Lembu Agra hampir
mencium
Sekar, tiba-tiba saja ada bayangan
berkelebat. Lembu Agra
terlempar. Ia bereaksi cepat, tubuhnya
melenting bangkit.
Namun bayangan itu yang ternyata nenek tua
bungkuk sudah
berada di dekatnya. Tanpa bisa dikelit,
tangan si nenek
menampar pipi Lembu Agra, enam kali. Pipi
itu bengkak,
beberapa giginya rontok.
Semua di ruangan itu terperanjat. Siapa
nenek tua yang
memegang tongkat sapu lidi itu? Betapa hebat
ilmu silatnya, ia
bisa menampar Lembu Agra berulang kali,
tanpa lelaki itu bisa
menangkis atau mengelak. Empat orang
begundal Lembu Agra
maju menyerang, tetapi nenek itu memutar
tongkat sapu
lidinya, dalam tiga gebrakan cmpat lawan itu
tci jengkang.
Baju ili bagian dada robek, kulit dada ikut
tersayat, darah
mengucur.
Nenek itu mengambil tabung kecil dari saku
kebayanya, ia
bergerak cepat, sangat pesat. Ia menuang
beberapa tetes
cairan dari tabung, mengoles ke luka di dada
lawan. Empat
lelaki menjerit lengking mengerikan. Luka
itu perih dan
bertambah menganga lebar. Mereka
melompat-lompat untuk
mengurangi rasa perih.
Lembu Agra mencabut keris panjang, berseru,
"Siapa
kamu?"
Nenek tua itu tertawa terkekeh. "Kamu
goblok!" Ia
bergerak lebih cepat dari serangan Agra. Tangannya
menampar pipi, telinga lalu menggaruk dada
Lembu Agra
dengan tongkat sapu lidi. Setelah itu ia
mengolesnya dengan
cairan. Semua dilakukan dengan cepat tanpa
Lembu Agra
mampu menghindar atau menyerang balik. Saat
berikut
Lembu Agra menjerit kesakitan. Melihat
mudahnya ia
menghajar Lembu Agra dan empat anak buahnya,
jelas nenek
tua itu memiliki ilmu silat tingkat tinggi
yang sulit diukur.
"Kamu laki-laki binatang! Gadis itu
cucuku! Beraninya kamu
mau memperkosa dia, seharusnya kubunuh kamu
Beruntung
kamu, hari ini aku pantang membunuh. Tetapi
luka di dada
kalian tak mungkin akan sembuh, cacat itu
tanda-mata atas
kejahatan kalian yang mau memperkosa cucuku.
Camkan
bangsat-bangsat busuk, suatu waktu jika
kalian berani
mengganggu cucuku ini, ke mana kamu pergi
akan kukejar.
Dan tak ada orang yang bisa menolong kalian
dari hajaranku!
Sekarang pergi, sebelum aku berubah
pikiran." Lembu Agra
dan begundalnya pergi dengan menanggung
malu.
Nenek itu menghampiri Sekar. Menepuk pundak
dan
punggung, membebaskan Sekar dari totokan.
"Terimakasih
nenek, tetapi tadi nenek katakan aku cucumu,
kamu salah,
sebenarnya aku sudah punya nenek sendiri,
namanya Dewi
Obat, aku tak punya nenek lain."
"Dengar nduk, kamu memang cucuku, waktu
berusia
empat tahun, kamu kena penyakit cacar, aku
titipkan kamu
pada Kunti? Hebat dia bisa menyembuhkan
burik di tubuhmu,
kamu kini cantik luar biasa. Tetapi dia
patut kuhajar karena
bersalah membiarkan kamu jalan sendirian
padahal ilmu
silatmu masih sangat cetek!"
"Nenekku tak bersalah, aku saja yang
malas berlatih. Hai
Nek, kamu tahu persis nama kecil nenekku
padahal tidak
banyak orang mengetahui nama itu."
Nenek tua itu menolong Walang Wulan dan
Wisang Geni.
"Sekar bocah goblok kamu itu cucuku,
Dewi Obat atau si Kunti
itu adik perguruanku. Tetapi dia lebih suka
mempelajari
pengobatan. Itu sebab ilmu silatnya rendah,
maka ilmu
silatmu juga rendah. Kamu memang cucuku,
kamu anak
putraku, orangtuamu mati muda, itu sebab
kamu dipelihara si
Kunti. Mana dia si Kunti?"
"Jadi aku harus bagaimana, memanggilmu
apa?"
"Bocah goblok, ya panggil aku nenek.
Jadi kamu punya dua
nenek sekarang," ia tertawa geli,
membuat Sekar ikut ketawa.
"Tetapi kamu harus ikut aku, belajar
ilmu silat dari aku. Sini
kamu bocah bodoh!"
Sekar menghampiri neneknya. Wajah neneknya tampak
tua, tetapi tidak banyak keriput, masih
tampak bekas
kecantikan masa muda. Rambutnya putih semua,
persis
kapas. Tubuhnya bungkuk namun masih tampak
segar.
Kulitnya kuning. Mereka saling rangkul.
"Kamu harus ikut aku,
akan aku ajari ilmu silat paling dahsyat,
supaya tak ada orang
lagi yang berani menghinamu"
"Nek, tidak bisa, aku sudah punya
suami, aku harus tinggal
bersama suamiku."
Nenek tua terkejut. Ia menoleh memandang
Wisang Geni.
"Diakah suamimu?" Ia bertanya pada
Geni. "Kamu murid
siapa?"
"Aku murid Padeksa dari Lemah
Tulis."
"Hah? Lemah Tulis? Eh kamu tahu di mana
Suryajagad
sembunyi, aku sudah belasan tahun mengejar
kakek genit itu.
Lantas perempuan ini siapa?" sambil ia
menunjuk Wulan.
Wulan menjawab, "Aku juga
isterinya."
Nenek tua itu tertawa. "Kurang ajar
memang Suryajagad.
Bukan cuma ilmu silat saja yang ia wariskan
pada muridmuridnya,
sampai pada cara memelet perempuan pun
diwariskan. Sekarang ini kamu luka parah,
benar?"
Nenek tua itu kemudian membantu Wisang Geni.
Ia
menotok, mengurut dan menepuk beberapa titik
di punggung,
dada dan perut kemudian menyalurkan tenaga
dalam. Geni
merasa suatu tenaga besar menerobos dan
merambah ke
seputar tubuhnya. Ia takjub, nenek tua ini
memiliki tenaga
dalam sangat tinggi Sepenanakan nasi
kemudian si nenek
menyudahi pertolongannya. Wisang Geni merasa
segar, ia
berusaha mengerahkan tenaga dalam. Ternyata
tenaga
Wiwaha langsung bereaksi. Ia gembira dan
cepat
mengucapkan terimakasih.
"Kau tahu di mana kakek gurumu
Suryajagad sembunyi?"
Geni menggeleng kepala. "Nenek kenal
Eyang Sepuh?"
Nenek itu tersenyum, seperti seorang gadis
yang senang
dipuji kekasihnya. "Kami saling
kasmaran, bercinta sampai
tahunan. Kami kawin. Ketika putra kami mati,
ia putus asa
lantas menghilang bagai ditelan bumi,
puluhan tahun ia
lenyap. Aku ditinggalkan begitu saja, kurang
ajar dia tapi
meskipun demikian aku tak bisa melupakan
dia."
Ia menoleh menatap Geni dengan tajam, ia
mengepal
tangannya dan mengacungkan di depan wajah
Geni. "Awas
kamu Geni, jangan perlakukan cucuku seperti itu,
awas, akan
kuhajar babak belur kamu! Eh apa kamu
sungguh-sungguh
mencintai Sekar?"
Geni mengangguk. Nenek tua memegang lengan
Sekar.
"Kamu harus ikut nenekmu, aku akan
melatihmu jadi
pendekar wanita nomor satu seperti aku,
sudah puluhan tahun
aku tak punya tandingan. Hanya suamiku
seorang yang
mampu mengalahkanku. Dan ilmu silatku ini
harus ada yang
mewarisi sebelum aku mati!"
"Nek, tunggu dulu, biar aku pamit pada
suamiku!"
Sekar berlari ke dalam pelukan kekasihnya.
Ia tak merasa
sungkan, mencium mulut Geni dengan bernafsu.
Tiba-tiba ia
menggigit pundak dekat leher Geni. Keras.
Geni terkejut, ingin
berteriak saking sakitnya namun ditahannya.
Sekar menjilati
darah di bibirnya, berbisik, "Mas, aku
sudah mengisap
darahmu, darahmu manis, darahmu sudah campur
dalam
darahku, itu tanda aku tak akan lupa padamu,
tak akan ada
laki-laki lain dalam hidupku. Dan luka bekas
gigitanku itu
jangan kamu obati, supaya kamu tidak lupa
padaku. Geni,
suamiku, aku tak mau kehilangan kamu."
Memeluk erat isterinya, Geni merasa berat
untuk berpisah.
Ia sadar sekarang, ternyata ia sangat
mencintai Sekar. "Aku
tak akan lupa padamu, aku akan
mencarimu." Geni menoleh
pada nenek tua, "Nek, berapa lama kau
bawa isteriku? Dan di
mana tempatmu, biar nanti aku menyusul ke
sana."
"Duabelas purnama, tidak lama anak
muda! Sekarang ini
aku ke Lembah Cemara setelah itu aku pergi
ke suatu tempat,
lalu kembali lagi ke Lembah Cemara. Duabelas
purnama, aku
sempurnakan ilmu silat isterimu. Setelah
duabelas purnama,
kamu jemput isterimu di Lembah Cemara, awas
jika kamu
ingkar janji!"
Sekar pamitan pada Wulan. Mereka berpelukan.
"Mbakyu,
kamu jaga suami kita, awasi dia. Sedikit
alpa saja, dia akan
lari dengan gadis lain."
Wulan mencium pipi Sekar. "Ilmu silat
nenekmu itu tidak
terukur tingginya, Sekar kamu berlatih yang
rajin supaya
menjadi pendekar wanita nomor satu. Aku akan
menjaga
Wisang Geni, dan mengingatkan dia selalu
bahwa isterinya
yang bernama Sekar adalah perempuan cantik
yang setia. Aku
jamin dia tak akan lupa padamu, dan setelah
duabelas
purnama aku bersama suami kita akan
menjemputmu di
Lembah Cemara. Dan hari itu kamu akan
berduaan dengan dia
sehari semalam, bahkan jika perlu dua hari
dua malam, asal
kamu tahan, adikku."
Sekar tertawa cekikikan. "Gila, mbak.
Bisa mati aku.
Mbakyu Wulan, kamu salah seorang yang paling
kusayang di
dunia, jangan lupa padaku, mbak. Sekarang
aku pergi." Sekar
memeluk erat Wulan, menciumi pipi dan
lehernya. Dia
menangis.
Wulan memeluk dan memandangi wajah Sekar
yang cantik.
"Aku juga sangat menyayangimu, adikku.
Jangan menangis,
Sekar adikku, pergilah." Sekar
memandang Wulan, dia
mencoba senyum. Kemudian tanpa menoleh lagi
dia berlari
pergi sambil menangis.
---ooo0dw0ooo---
Wulan dan Sekar
Hari itu, pertengahan bulan Kartika tahun
1248, tiga belas
purnama setelah kepergian Sekar mengikuti
nenek Tongkat
Sapu Lidi. Wisang Geni dan Wulan sesuai
janji menjemput
Sekar di Lembah Cemara. Tetapi mereka hanya
menemukan
Dewi Obat sendiri. Tidak ada Sekar. Bahkan
Dewi Obat pun
tidak tahu mengapa Sekar belum juga datang.
Geni masih
ingat janji nenek Tongkat Sapu Lidi saat
membawa pergi
Sekar. "Nanti duabelas purnama kamu
jemput isterimu di
Lembah Cemara." Sekarang sudah lewat
duabelas purnama,
bahkan sudah lebih dari tigabelas bulan
Sekar belum juga
pulang ke Lembah Cemara Apa yang terjadi?
Geni penasaran. Ia menanyakan di mana
kediaman nenek
tua sakti itu. Dewi Obat menggeleng kepala
"Kakak
perguruanku itu tak punya kediaman tetap, ia
selalu berpindah
tempat. Bertahun-tahun ia memburu suaminya
Ia tak pernah
berhenti mencari suaminya"
Pada kesempatan itu Dewi Obat memeriksa
Wulan yang
hamil memasuki masa tiga bulan. Pertumbuhan
janin tidak
sehat. Dewi Obat memberi ramuan khusus.
Namun ia
berpesan agar Geni cepat mencari bunga
talasari guna
memperkuat kandungan dan juga perkembangan
si bayi
Bunga itu hanya ada di Lembah Bunga di kaki
gunung Bromo.
"Jangan sampai melewati batas tiga
bulan masa hamil,"
pesannya
Dalam perjalanan pulang keduanya tiba di
desa Gadang
yang letaknya di tepi kali Bangu. Seperti
biasa desa itu selalu
ramai. Para pedagang singgah bermalam lalu
melanjutkan
perjalanan esok harinya. Di desa terdapat
banyak warung
makan dan rumah penginapan. Dan warung makan
yang
paling laris adalah warung Mbok Lemu. Siang
itu warung
dipenuhi pengunjung. Di pojokan dekat jendela,
Wisang Geni
dan isterinya sedang menikmati makanan.
Tampak sekali
wajah dua insan itu kecewa terutama Wisang
Geni yang
tampak murung.
"Kau ingat Geni, dulu kita sedang makan
di meja ini lalu
muncul Waning Hyun yang dikejar
Tambapreto."
Melihat suaminya diam, Wulan melanjutkan
upaya
menghibur. "Waktu itu kita masih
bersembunyi di balik nama
Ambara dan Sari. Kita juga tidak mengenal
gadis itu,
belakangan baru tahu dia Waning Hyun putri
keraton, bahkan
dia murid paman Gajah Watu."
Dia menatap suaminya yang tetap diam
"Suamiku, aku tahu
kamu gelisah memikirkan Sekar, aku prihatin.
Dari sini ke
Lemah Tulis hanya dua hari perjalanan, kamu
antar aku
pulang, kemudian kau pergi mencari Sekar.
Sebenarnya aku
bisa pulang sendiri, tetapi entah mengapa
tiba-tiba saja aku
merasa takut."
"Tidak, kamu tak boleh pulang
sendirian, aku akan
mengantar kamu pulang, setelah itu baru aku
pergi mencari
Sekar. Aku pikir itu jalan terbaik."
"Geni, aku tahu kamu sangat mencintai
Sekar, aku bahkan
merasa kamu lebih mencintai Sekar ketimbang
mencintai aku,
benar kan?"
Wisang Geni tak pernah menyangka akan datang
pertanyaan seperti itu. Sesaat dia gugup dan
terdiam.
"Aku tidak cemburu, aku berupaya jujur
pada diriku. Aku
tahu tidak ada laki-laki yang bisa mencintai
dua wanita
sekaligus dengan sama besarnya, harus ada
yang lebih. Dan
kamu pantas memberi Sekar cinta yang lebih
besar. Sungguh
aku belum ketemu perempuan secantik Sekar
selama ini. Dia
punya segala persyaratan untuk mendapatkan
cintamu, aku
legowo Geni."
Wulan menatap Geni dengan pandangan penuh
cinta.
"Kamu memperlakukan aku dengan baik,
kamu mencintai aku
meski cintamu lebih besar kepada Sekar, itu
sudah cukup
bagiku, aku bahagia menjadi isterimu."
Terdengar suara gaduh. Beberapa orang
bergegas
meninggalkan warung dengan bersungut-sungut.
Wulan yang
duduk menghadap ke bagian dalam, melihat
dengan jelas.
Serombongan orang datang. Bangku yang
tersedia tidak
cukup, karenanya mereka mengusir beberapa
tamu. Sikap dan
tingkah laku mereka kasar.
Wajah Wulan berubah ketika dia bertatap mata
dengan
salah seorang di antaranya. Wulan berbisik.
"Geni, rombongan
yang baru datang itu duduk dekat jendela di
pojok. Aku
melihat Lembu Agra di antara mereka."
Wisang Geni tidak menoleh ke arah yang
dimaksud
isterinya. Dia memerhatikan wajah Wulan yang
agak pucat.
"Oh si pengkhianat, apakah dia melihat
kita? Kau jangan
khawatir, berapa orang jumlahnya?"
"Aku yakin Lembu Agra telah mengenal
kita." Wulan
menghitung. "Semuanya sepuluh
orang." Dia memandang
suaminya dengan perasaan yang sulit dilukiskan.
Ada sedih,
bahagia dan cinta yang sangat dalam.
"Entah mengapa, saat
ini perasaanku agak lain, aku merasa takut
kehilangan kamu"
"Kamu benar, aku memang sangat
menyintai Sekar, tetapi
aku juga menyintaimu Dulu ketika kau lari
meninggalkan aku,
rasanya aku hampir gila, aku tak tahu apa
yang harus
kuperbuat tanpa engkau di sisiku."
"Hidup tidak selamanya nyaman, orang
tidak selalu
memperoleh mimpinya. Dalam hidup ada
pertemuan ada juga
perpisahan, suatu waktu jika terjadi
perpisahan di antara kita,
kamu harus terus hidup. Tanpa aku di sisimu
kamu tetap
harus hidup."
"Wulan, kita tak akan pernah berpisah,
kecuali dipisahkan
ajal."
"Ya kecuali ajal memisahkan kita."
"Tapi buat apa bicara hal yang tak
masuk akal, kau masih
akan hidup panjang ilmur, kita hidup
bersama, berkumpul
dengan anak-anak kita." Geni berpikir
mungkin isterinya takut
melahirkan, dia menghibur." Kau tak
perlu takut berlebihan,
banyak perempuan yang berhasil melahirkan
dengan baikbaik."
"Kau benar, tetapi mendadak saja aku
punya firasat buruk
saat ketemu Lembu Agra tadi. Dia jahat,
sangat jahat dan
orang-orang yang bersamanya pasti jahat
semuanya."
"Selama aku di sampingmu tidak akan ada
seorang pun
yang bisa mencelakaimu."
"Memang dengan ilmu silat yang kau
miliki sekarang ini,
rasanya tak ada orang bisa menandingimu.
Tetapi Geni di atas
langit masih ada langit yang lebih tinggi,
lagipula kini aku tak
sekuat biasanya, hamil ini membuat sebagian
tenagaku hilang,
bahkan rasa-rasanya aku makin malas dan
selalu ingin tidur."
Geni memegang tangan isterinya. "Aku
akan
melindungimu" "Sebaiknya kita
pergi dari sini, bukannya takut,
tetapi saat ini lebih baik menghindari
perkelahian, ayo pergi"
Geni diam sesaat, kemudian merogoh saku,
mengeluarkan
sekeping uang, meletakkan di meja, lalu
memegang tangan
isterinya. "Baiklah, kita pergi."
Ketika melangkah keluar warung, Geni sempat
memerhatikan rombongan yang diceritakan
Wulan. Dia
melihat Lembu Agra. Tetapi lelaki itu,
barangkah sengaja
berpura-pura tidak melihat Geni. Persis yang
dikatakan Wulan,
mereka berjumlah sepuluh orang.
Geni memegang tangan isterinya. Dingin dan
basah. "Tidak
biasanya dia gentar, mungkin lantaran
hamil," pikir Geni.
Esok harinya Geni dan Wulan tiba di desa
Tumbas. Dari
desa itu menuju ke perdikan Lemah Tulis
hanya satu hari
perjalanan. Keduanya istirahat di sebuah
warung makan.
Selepas makan siang, pasangan pendekar itu
melanjutkan
perjalanan.
Keduanya tiba di hutan yang sepi dan
lengang. Terik
cahaya mentari tak seluruhnya bisa menerobos
kerimbunan
pepohonan. Di antara pepohonan, Wulan
melihat samar-samar
bayangan beberapa orang bergerak mendekat.
Dia
menggenggam erat tangan suaminya. Geni
merasa tapak
tangan isterinya, dingin dan basah.
Bayangan itu ternyata Lembu Agra bersama
sembilan orang
temannya. Mereka menghadang di depan
pasangan suami
isteri itu. Lembu Agra tertawa sinis sambil
merentang dua
tangan seperti menyambut sahabat lama.
"Ha... ha., kita jumpa lagi. Ini dia,
ketua Lemah Tulis yang
kesohor Wisang Geni pendekar nomor satu
tanah Jawa, dan
perempuan itu isterinya, Walang Wulan, dulu
pernah menjadi
kekasihku dan calon isteriku tetapi dia
mengkhianatiku. Kalian
berdua hari ini aku perkenalkan dengan
seorang terhormat
dari keraton Kediri, Ki Lembu Ampai pembantu
utama Sri
Baginda Raja Tohjaya"
Wisang Geni menatap lelaki separuh baya yang
diperkenalkan sebagai Lembu Ampai Tinggi
kurus, kumisnya
tipis, pelipisnya menonjol dan mengkilat,
mulurnya lebar, mata
agak sipit. Yang luar biasa dari orang ini
adalah sinar matanya
yang tajam, berkilat dengan tatapan yang
dingin.
Wajah Lembu Ampai tak memperlihatkan
ekspresi ketika ia
merangkap tangan memberi hormat. "Sudah
lama aku
mendengar nama besar Wisang Geni, ilmu silat
sampean saat
mengalahkan jago-jago daratan Cina telah
menggegerkan
tanah Jawa Tanganku ini gatal, aku ingin menguji
kepandaianmu."
Memerhatikan Wisang Geni dengan seksama,
Lembu Ampai
hampir tak percaya bahwa orang muda berusia
sekitar
tigapuluh lima yang berdiri di depannya
adalah pendekat
nomor satu tanah Jawa, yang namanya telah
mengguncang
dunia persilatan dua tahun belakangan ini.
Wisang Geni memang tidak istimewa, tingginya
sedang,
tubuhnya ramping berotot. Wajahnya tampan
dengan mulut
lebar dan bibir tipis. Yang mencolok dari
sosoknya adalah
rambutnya putih beruban. Gondrong dan
beruban. Sinar
matanya bening dan sangat tajam, pertanda
memiliki tenaga
dalam cukup tinggi.
"Ki Geni, sampean masih muda tapi
rambut sampean
seluruhnya beruban, konon cerita orang hanya
dalam satu hari
uban itu tumbuh disebabkan sampean
menciptakan jurus silat
tingkat tinggi, boleh aku tahu benarkah
itu?" kata pendekar
keraton Kediri itu. Wisang Geni balas
memberi hormat "Cerita
tentang diriku terlalu dilebih-lebihkan
orang, tentang uban ini
memang sudah maunya tumbuh sendiri, tak ada
hubungan
dengan jurus silat" Ia lalu menyambung
dengan tegas. "Tetapi
kalau boleh aku bertanya, sampean sebagai
pendekar
terhormat keraton Kediri mengapa menghadang
perjalananku...?"
Dia menjawab dengan jumawa, "Aku punya
dua maksud.
Pertama ingin menjajal kepandaian pendekar
utama tanah
Jawa. Kedua mengajak sampean bergabung
dengan keraton
Kediri karena Paduka Raja Tohjaya sedang
mencari pendekar
handal untuk dijadikan punggawa
pembantunya."
Meraih dan menggenggam tangan isterinya,
Wisang Geni
berbisik dengan ilmu pendam suara. Ilmu itu
hanya bisa
didengar Wulan seorang. "Wulan, jangan
jauh-jauh dariku." Ia
menatap kesepuluh orang itu. Ia melihat
Lembu Ampai
menggerak-gerakan otot tubuh
"Ki Lembu Ampai, aku sedang tak punya
waktu untuk
mengadu jurus silat, lain kali saja. Tentang
maksud kedua,
aku merasa mendapat kehormatan tetapi aku
butuh waktu
untuk berpikir."
Mendadak punggawa di samping Lembu Ampai
membentak. "Tidak bisa! Apa yang
diminta Paduka Patih
adalah sabda raja, tidak boleh
ditolak!"
"Maaf aku bukan orang keraton, jadi aku
tidak terikat
aturan keraton, sampean pasti orang penting
maaf kalau aku
tidak kenal."
Lembu Ampai tertawa. "Ki Wisang Geni,
orang seperti
sampan tidak perlu mengenal orang karena
semua orang
mengenal siapa sampean si Pendekar Tanah
Jawa. Baik, aku
perkenalkan tujuh orang ini adalah punggawa
Patlikur Sinelir
keraton Kediri dan dua lainnya pasti sampean
sudah kenal, Ki
Lembu Agra dan murid keponakannya Ki
Wirotama."
Sambil menggandeng isterinya, Geni
melangkah. Tetapi dia
dihadang serangan. Punggawa itu menyerang
dengan dua
tangan mencengkram, jurus Cakar Elang.
Serangan itu
menguarkan bau bacin. Geni melihat jari-jari
tangan lawan,
kukunya berwarna hitam. Pasti racun ganas.
Geni tidak
menghentikan langkahnya. Tangan kirinya
menggenggam
tangan Wulan, tangan kanannya mengibas ke
arah lawan.
Pukulan Geni membawa angin keras berhawa
dingin. Itulah
jurus Bahni Anempuh Toya dari ilmu Bang Bang
Alum Alum.
Punggawa Sinelir itu terkejut, tak menyangka
kalau tenaga
dalam Geni sebesar itu. Sesaat dia
menggigil. Apa lacur,
kejadian sudah sampai di situ, dia tak boleh
mundur. Dia
mengelak dengan mendekam dilanjutkan
serangan mengarah
selangkangan Geni.
Wisang Geni memainkan jurusnya yang paling
handal. Dia
bergerak sambil tetap menggandeng isterinya.
Geni dan
Wulan sama menggunakan Waringin Sungsang
ilmu ringan
tubuh yang paling handal. Gerakan Geni
bagaikan siluman,
sesaat dia seperti menghilang, pindah
tempat.
Punggawa Sinelir kehilangan lawan. Sebelum
sadar apa
yang terjadi, mendadak ia diterjang angin
keras yang panas.
Ia memutar tubuh sambil memukul dengan
tenaga panas.
Tampaknya dia terpaksa adu tenaga dalam Pada
saat-saat
akhir, tenaga panas Geni berubah dingin,
sangat dingin.
Punggawa itu terkejut, tak pernah menyangka
ada orang yang
sanggup menukar tenaga panas dan dingin
dalam sekejap dan
di tengah-tengah suatu gerak serangan.
Geni tak mau berlama-lama, ingin pertarungan
cepat
selesai agar segera bisa meloloskan diri.
Itu sebab dia
menyerang dengan menggunakan tenaga Wiwaha
dalam jurus
Sanakanilamatra (Sebesar angin yang
terkecil) jurus kedua
dari tujuh jurus Garudamukha Prasidha.
Pada saat bersamaan tiga bayangan berkelebat
ke arah
Geni. Tiga punggawa Sinelir bermaksud
menolong rekannya.
Terlambat. Tenaga Wiwaha Geni mengena dan
menerobos
tubuh punggawa itu yang terlempar ke
belakang. Ia menggigil
hebat Darahnya beku, sesaat kemudian
tubuhnya kejang,
mati.
Suara Geni perlahan namun tajam dan dingin.
"Hmmm,
main keroyok, begini rupanya tata cara
orang-orang keraton
Kediri...."
Tak cuma bicara. Geni bergerak terus,
melepas tangan
isterinya, memutar dua tangan menerapkan
jurus Makanjaran
(Menari dengan lengan terkembang) dari
Garudamukha.
Gerakan itu bersinambung dengan Prasada
Atishasha (Menara
tinggi bukan main) dari jurus Garudamukha
disalurkan dengan
tenaga Wiwaha dan perasaan Prabhawa
(Kekuasaan). Itulah
Jurus Penakluk Raja.
Gerakan itu sangat indah dalam rangkaian Asi
yang mulus.
Namun tenaga yang keluar sangat menakjubkan.
Lembu
Ampai yang berdiri di luar gelanggang
merasakan desir angin
dingin berganti panas. Ia terkejut, tak pernah
menyangka ada
orang yang memiliki tenaga istimewa seperti
yang
diperlihatkan Geni. Tidak menanti lagi,
Lembu Ampai ikut
menerjang. Dia berniat menolong anak
buahnya. Tubuhnya
seperti terbang. Dia juga memiliki ilmu
ringan tubuh yang
sangat unggul. "Kalian mundur
semua...!"
Tetapi peringatan itu terlambat Tiga
punggawa itu meski
telah mengerahkan tenaga penuh, tetap tak
mampu
menandingi tenaga Geni. Terjadi benturan
tenaga di udara.
Geni tetap tegar, dia tertawa sinis. Tiga
punggawa itu
terpental, jatuh di tanah dengan kuda-kuda
limbung.
Ketiganya berusaha menenangkan diri, tetapi
tenaganya
seperti terkuras, ada tenaga dingin yang
menerobos membuat
mereka menggigil. Untuk mengatasi luka dalam
ketiganya
duduk bersila mengerahkan tenaga inti
mengusir rasa dingin.
Saat itu Lembu Ampai menerjang dengan dua
tangan
berputar macam kitiran menebar angin keras
dan panas. Geni
mendorong isterinya dengan bahu agar
menjauh. Ia tahu
tenaga Lembu Ampai sangat ampuh. "Orang
ini memiliki
kepandaian tinggi, aku tak boleh memandang
enteng...."
Berpikir demikian, Geni mengerahkan tenaga
Wiwaha
dalam sikap empat Pethuk A/i Golong Pikir
(Bersatunya hati,
pikiran dan tekad) menggunakan jurus
berturutan
Warayangungas (Anak panah tembus) dan
Sbuhdrawa
(Hancur luluh) yakni jurus ke-sepuluh dan
keempat dari ilmu
Gantdamukba.
Lembu Ampai mengerahkan seantero tenaganya,
angin
panas menerjang Geni. Tak terhindarkan angin
pukulan itu
bentrok di udara. Suara keras membahana. Dua
pendekar itu
sepertinya hendak menguji tenaga dalam
masing-masing.
Keduanya melanjutkan adu pukulan, beruntun.
Pukulan Geni
makin lama makin keras, tenaga Wiwaha
semakin dibentur
semakin bertenaga. Adu pukulan berlangsung
cepat, tak ada
selang istirahat meski sesaat pun. Pada
pukulan kesepuluh,
wajah Lembu Ampai merah macam kepiting
direbus. Geni
biasa-biasa saja bahkan masih bisa
memerhatikan isterinya
yang berdiri tak jauh dari arena. Pada
benturan kesebelas Iembu
Ampai semakin terdesak, dia mundur sampai
lima
langkah. Jika adu pukulan diteruskan dia
pasti akan luka
parah.
Pada saat itu lima bayangan bergerak
serentak ke dalam
arena. Lembu Agra, Witotarna dan tiga
pendekar Sinelir.
Kelimanya bergerak serentak menolong Lembu
Ampai. Mereka
menyerang dengan jurus ganas andalan
masing-masing.
Berganti Geni yang terancam. Saat itu ia
sedang
konsentrasi pada pukulan keduabelas. Lembu
Ampai juga
sudah siap melanjutkan adu pukulan, meski
agak terpaksa.
Ternyata datangnya serangan lima orang itu
membuat
pertarungan menjadi ricuh. Saat bersamaan
terdengar
teriakan Walang Wulan. "Curang, kalian
bajingan kotor!"
Serangan Wulan diarahkan kepada Lembu Agra,
yang
menurutnya adalah lawan paling berbahaya,
ganas dan licik.
Wulan bergerak dengan ringan tubuh Waringin
Sungsang
dan melancarkan dua pukulan dari dua aliran
berbeda,
Garudamukha Prasidha dari Lemah Tulis dan
Na^/wjw
warisan ayahnya, pendekar Nagapasa. Dua
pukulan telengas
yang tak kenal ampun.
Lembu Agra melihat datangnya serangan Wulan.
Batal
menerjang Geni, dia membalik tubuh menangkis
serangan
Wulan. Keduanya terlibat pertarungan cepat
Dalam beberapa
jurus terlihat Lembu Agra masih lebih unggul
dari Walang
Wulan.
Pada saat yang sama Wisang Geni batal
memukul Lembu
Ampai. Ia menggeser kuda-kuda dan
mengalihkan serangan
dahsyat itu ke lima lawan baru. Namun takut
pukulannya
tampias mengena isterinya, maka dia
menujukan serangannya
kepada dua lawan yang paling jauh dari
posisi Wulan.
Lembu Ampai melihat peluang. Pertahanan Geni
terbuka
lebar. Sesaat ia bimbang. Menyerang Geni
saat itu sama
dengan laku seorang pengecut rendah. Namun
hanya dengan
cara ini dia bisa memenangkan tarung. Dia
menerjang dengan
pukulan paling dahsyat, jurus ampuh dari
Gelap Ngampar.
Geni sudah memperhitungkan kemungkinan ini,
bahwa
lawan akan menyerang dengan curang, itu
sebab dia telah
mempersiapkan diri dengan menggeser
kuda-kuda. Dua
punggawa Sinelir lainnya merasa gembira
mengira
serangannya akan mengena sasaran. Demikian
juga pikiran
Lembu Ampai, pukulan Gelap Ngampar]ika
mengena pasti
Geni akan luka parah.
Dalam posisi terdesak Geni memperlihatkan
kehebatannya.
Sekali lagi dia menggeser kuda-kuda. Tangan
kanannya tetap
meneruskan memukul dua lawan sekaligus,
Wirotama dan
seorang punggawa. Ia menggunakan tenaga
dingin. Tangan
kirinya memainkan jurus Sikepdehak (Tangkap,
dorong) dan
Dekungpulir (Bengkok, putar) dengan
mengerahkan tenaga
panas Wiwaha sepenuhnya. Iangau kanan dengan
tenaga
dingin, tangan kiri dengan tenaga panas.
Akibatnya luar biasa. Dua lawan yang
diserang Geni,
menggigil diterpa angin dingin. Keduanya
terdorong mundur
empat langkah. Sementara dua punggawa
Sinelir lainn ya
merasa tenaganya memasuki pusaran kekuatan
panas yang
misterius. Keduanya tersedot dan terpental
ke arah datangnya
pukulan Lembu Ampai. Dua orang itu
berteriak. "Celaka...."
Wisang Geni memainkan Jurus Penakluk Raja,
memukul
melukai Wirotama dan seorang punggawa
Sinelir, menyedot
dan menghimpun tenaga dua lawan lain
kemudian
mendorongnya ke arah Lembu, Ampai.
Lembu Ampai terkesiap. Tak pernah menyangka
akan
menemukan kejadian seperti itu. Kedua pihak
tak bisa
menghindar. Terjadi bentrok pukulan Tenaga
Lembu Ampai
membentur tenaga dua anak buahnya. Dia
merasa dadanya
sesak. Tenaganya sudah terkuras setelah
sebelas kali adu
pukul dengan Geni. Benturan dengan tenaga
pukulan dua
anak buahnya ini membuat tenaga dalamnya kacau
dan tidak
terkendalikan. Keadaan dua punggawa Sinelir
lebih parah.
Tenaga dalam mereka satu tingkat di bawah
tenaga Lembu
Ampai. Keduanya terdorong mundur empat
langkah, dan
mulutnya muntah darah segar.
Wisang Geni tahu pertarungan ini antara
hidup atau mati
Dia hanya berdua Wulan, di pihak lawan
jumlahnya sepuluh.
Seorang sudah mati, sisa sembilan. Dia harus
secepat
mungkin mengurangi jumlah musuh. Tak boleh
ada rasa
kasihan. Berpikir demikian, Geni memburu
Wirotama dan
punggawa yang seorang, dengan pukulan keras,
dingin dan
panas lewat jurus Agniwisa dan Prasidha. Dua
orang itu yang
sudah terluka sebelumnya, tidak punya cukup
tenaga untuk
menangkis. Keduanya kena telak, terlempar
dan mati sebelum
tubuhnya menyentuh tanah.
Pertarungan itu sangat singkat. Pada awalnya
seorang
punggawa Sinelir mati Lalu Wirotama dan satu
punggawa
lainnya mati Lima punggawa lainnya semedi
memulihkan
tenaga. Juga Lembu Ampai sedang menata
kembali tenaga
dalamnya.
Saat itu tiga punggawa Sinelir lainnya telah
pulih. Dua
lainnya yang berbentur tenaga dengan Lembu
Ampai juga
mulai pulih. Kelimanya berdiri siaga di
samping Lembu Ampai.
Pertarungan Wulan dan Lembu Agra berlangsung
berat
sebelah. Dari perbendaharaan ilmu Lemah
Tulis, Lembu Agra
sebagai kakak sc|xi guru.m jelas lebih
menguasai. Tapi Wulan
dengan menggunakan jurus-jurus Garudamukha
Prasidha,
ilmu Lemah Tulis yang belum sempat
dipelajari Agra dan
jurus-jurus Nagapasa masih bisa bertahan
meskipun dalam
keadaan terdesak. Lembu Agra tanpa rasa
kasihan menggelar
jurus andalannya Pitu Sopakara dengan tujuan
membunuh.
Sambil bertempur Lembu Agra memerhatikan
sepak-terjang
Geni. Dia melihat kehebatan Geni dan
menyadari keadaan tak
menguntungkan pihaknya. Ia cepat menetapkan
keputusan. Ia
harus cepat menyelesaikan tarung dengan
Wulan agar bisa
membantu mengeroyok Wisang Geni. Ia juga tak
peduli
apakah jurusnya nanti akan membunuh Wulan,
adik
seperguruan yang dicintainya. Tak kenal
kasihan ia menggelar
Sambartaka (Rusak, kiamat) dan Sarwakrura
(Perbuatan yang
buas) dua jurus ganas Pitu Sopakara.
Pada saat itu Geni baru menyelesaikan
serangan yang
membunuh Wirotama dan satu punggawa. Dia
berada agak
jauh dari isterinya dan melihat ancaman
terhadap isterinya.
Geni bergerak pesat menolong. Namun di
tengah jalan dia
mendengar suara mendesis. Beberapa pisau
terbang menuju
dirinya.
Lembu Ampai menyambit dengan lima pisau
terbang. Geni
tak berani menangkis, khawatir pisau melejit
ke arah isterinya.
Ia berkelit yang menyebabkan gerakan
menolong Wulan, jadi
terhambat Tidak cuma itu Lembu Ampai juga
menerjang
dengan keris terhunus. Ia merasa tak mampu
mengimbangi
Geni dengan tangan kosong, tanpa malu lagi
ia menyerang
dengan senjata keris, menggunakan jurus
Keris Tujuh
Kembang.
Lima punggawa Sinelir juga menggunakan
senjata, dua
orang menerjang dengan pedang, seorang
lainnya dengan
golok panjang dan dua lainnya dengan keris.
Serangan lawan
ini membuat Geni tak bisa mendekati dan
menolong isterinya.
Terpisah dari Wisang Geni sekitar sepuluh
tombak, Lembu
Agra menyerang gencar Walang Wulan sambil
berseru, "Kau
membuat keputusan keliru, mencampakkan aku
dan memilih
Wisang Geni, kau membuat aku hampir gila
memikirkan
dirimu, kau perempuan jalang, pengkhianat
cinta." Lembu
Agra menyerang sambil memaki. Wulan tak bisa
membuka
mulut. Setiap hendak mencaci maki lawannya,
dadanya sesak
ditekan tenaga Lembu Agra sehingga tak bisa
bersuara.
Geni sibuk menghadapi serangan gencar Lembu
Ampai
bersama lima punggawa Sinelir. Ia tak bisa
menolong
isterinya, hanya bisa menyaksikan dari jauh.
Geni khawatir
keselamatan isterinya.
Lembu Agra menyerang gencar. "Aku
tadinya hendak
menculik membawa lari dan memerkosamu.
Tetapi daya
tarikmu sudah hilang. Kamu harus tahu bahwa
apa yang
sudah menjadi milikku tak boleh direbut
orang. Aku
mencintaimu, itu artinya kau sudah menjadi
milikku, karena itu
kau tak boleh menjadi milik orang lain. Kau
benar-benar
perempuan jalang."
Geni tahu isterinya dalam keadaan terancam,
kritis. Tetapi
dia tak bisa menolong, serangan enam
lawannya makin
gencar, tak ada ruang sedikit pun untuk lolos.
Geni cuma bisa
menyaksikan ketika dua pukulan beruntun
menerpa pundak
dan lambung isterinya.
Wulan menjerit lirih. Semangat Geni terbang.
Mendadak Geni merasa tenaga Wiwaha membakar
tubuhnya. Kecintaannya terhadap Wulan,
melihat isterinya
dilukai tanpa dia sanggup menolong telah
membangkitkan
tenaga dalam Wiwaha merambah ke seluruh
tubuhnya, utuh
dan sempurna. Tenaga Geni menjadi berlipat
ganda dari
sebelumnya. Munculnya tenaga istimewa Whvaha
ini tanpa
melalui suatu proses lagi, muncul secara
mendadak,
menghasilkan tenaga Wiwaha yang dahsyat.
Reaksi spontan Geni yang paling awal adalah
teriakan keras
disertai bentakan. Itulah pelampiasan dari
kemarahan yang
amat sangat. Amarah membakar dirinya
dilampiaskan lewat
bentakan dengan tenaga Wiwaha yang dahsyat
membuat
Lembu Ampai dan lima punggawa terperanjat.
Mereka merasa
otot-otot dalam tubuh serasa kejang, gendang
telinga seakan
pecah. Berbarengan Geni mainkan jurus
Prasada Atishasha
(Menara sangat tinggi) dari Prasidha dengan
rasa Hayu
(Keselamatan). Dia memikirkan keselamatan
isterinya. Inilah
Jurus Penakluk Raja, ilmu dari segala ilmu.
Gebrakan Geni kali ini tidak memerlukan
jurus yang khusus.
Jurus apa pun yang digunakan Geni akan
menjadi dahsyat.
Jurus paling sederhana pun menjadi jurus
serangan ampuh.
Apalagi Geni menggelar jurus dari
Garudamukha Prasidha,
sehingga kibasan tangan dan gerak kaki Geni
yang tegar dan
pegas, membuat enam lawannya terpental.
Lembu Ampai meski seorang pendekar kelas
satu tetap saja
merasa tangannya tergetar. Keris di tangannya
terlempar.
Sadar jiwanya dalam bahaya, Lembu Ampai
melompat ke
belakang. Dia selamat, lolos dari bahaya
maut. "Gila... ilmu
apa ini?" gerutunya.
Dua punggawa Sinelir melepas senjata di
tangan, mengikuti
dorongan gelombang tenaga Geni, melempar
diri ke belakang.
Keduanya selamat. Tiga punggawa lainnya yang
menghadang
di depan Geni menerima akibat paling parah.
Geni yang
menerjang membuka jalan ke arah isterinya
menerkam tiga
lawannya itu.
Geni tidak mengelak dari tebasan senjata
lawan. Dia yakin
tubuhnya tak mungkin dilukai senjata. Geni
menghantam
sekerasnya disertai bentakan keras. Tanpa
ampun tiga
punggawa itu terlempar, mati dengan dada
remuk
Lembu Agra melihat sepak terjang Geni yang
kesurupan,
bersiap. Geni tiba secepat angin, pukulannya
melanda. Lembu
Agra menangkis dengan jurus
Panahuraninghulun
(Pembalasan) dan Pitu Sopakara tingkat lima.
Dua tenaga
bentrok hebat, debu mengepul. Laju gerak
Geni tak terhenti
oleh benturan itu. Lembu Agra terpental
sambil mendesah. Dia
limbung, pijakannya goyah. Lembu Agra
sempoyongan diikuti
dengan muntah darah. Ia terluka. Ia melompat
mundur,
berdiri di samping Lembu Ampai.
Geni tertawa sinis. "Huh cuma sebegini
saja hebatnya jurus
Pitu Sopakara, bangsat pengkhianat hari ini
kau kuantar
bertemu nenek moyangmu di neraka."
Pada saat hendak menyerang Lembu Agra, saat
bersamaan
Geni mendengar Wulan mengeluh kesakitan. Ia
sadar Wulan
terluka. Ia melihat isterinya limbung
sempoyongan. Sesaat ia
bimbang, hendak menyerang Lembu Agra atau
menolong
isterinya.
Lembu Agra dan Lembu Ampai berdiri agak jauh
bersama
dua punggawa Sinelir yang masih hidup.
Keempatnya
memasang kuda-kuda mengerahkan tenaga dalam,
bersiap
untuk pertarungan akhir dengan taruhan hidup
atau mati
Dia memutuskan menolong isterinya. Saat itu
Wulan jatuh,
tapi sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Geni
dengan
Waringin Sungsang seperti terbang berhasil
memeluk tubuh
isterinya.
Lembu Agra tertawa sinis. "Kau membuat
keputusan bagus,
kau masih punya sedikit waktu untuk bicara
dengan
perempuan jalang itu, karena tak lama lagi
dia akan mati dan
kau akan merasakan bagaimana pedihnya
ditinggal mati oleh
kerabat dekatmu Kau jangan mimpi bisa
menolong perempuan
itu, dia tak tertolong, itu ilmu Pitu
Sopakara tingkat lima,
orang yang kena pukulan itu sudah pasti akan
mati"
Geni tak mempedulikan ocehan lawan. Ia
menahan marah
dan berusaha mengendalikan tenaga serta
pikirannya. Telapak
tangan menempel di punggung isterinya, ia
menyalurkan
tenaga dalam
Lembu Agra tertawa. "Isterimu akan
mati, dan kau akan
terbakar rasa dendam, kau pasti ingin
membunuhku, tapi
kuberitahu kau Geni, bahwa kau tak perlu
mencari aku, sebab
aku juga akan mencarimuu, hutang Lemah Tulis
yang
membabat habis keluargaku masih harus kau
bayar. Kau
masih ada waktu untuk hidup sampai aku
menyelesaikan Pitu
Sopakara tingkat tujuh, saat itu baru kau
bisa merasakan
hebatnya Pitu Sopakara... ha... ha...
ha...."
Wisang Geni yang memeluk isterinya, hanya
bisa
memandang empat lawannya menghilang di
kejauhan. Geni
merasa tubuh isterinya dingin berkeringat.
Darah merembes
dari mulut dan kemaluan isterinya. Geni
terkesiap. Parah.
Isterinya luka parah. Muntah darah artinya
paru-paru dan
jantung terluka. Isterinya juga mengalami
keguguran, perut
dan seisinya terluka berat
Nafas Geni seakan terhenti. Terkejut.
Dia mengerti ilmu pengobatan, meraba denyut
nadi
isterinya. Kacau tak beraturan. Sinar mata
yang biasanya
gemerlap, kini redup. Nafasnya tak teratur,
kadang
bunyikeras, kadang tak terdengar. Geni tahu
luka isterinya
sangat parah. Peluang hidup isterinya sangat
tipis. Tetapi Geni
tak peduli, ia tetap mengirim tenaga dalam
ke tubuh Wulan.
Jika masih ada peluang hidup, mungkin tenaga
Wiwaha masih
bisa menolong.
Wulan membuka matanya. "Geni, suamiku,
tak ada
gunanya. Pukulan Pitu Sopakara sangat ganas,
telah merusak
bagian dalam tubuhku, tak ada obatnya Geni,
jangan
membuang waktu dan tenagamu... sekarang aku
ingin
manfaatkan sisa waktuku, cium aku, peluk
aku...."
Geni dengan berlinang air mata menciumi
seluruh wajah
dan mulut isterinya. Memeluk erat tubuh
isterinya. "Geni, aku
menyintaimu." "Aku juga sangat
menyintaimu."
"Geni, aku menyesal anakmu ikut mati,
jangan salahkan
dewa. Yang bersalah Lembu Agra. Kau harus
balas dendam
tetapi hati-hati dia jahat, telengas dan
sangat licik" Wulan
berhenti, nafasnya sesak, tersendat-sendat.
Geni memeluk terus. "Wulan, aku tak
tahu harus
bagaimana, selama ini kita tak pernah
berpisah meski satu
hari pun."
"Geni, aku sudah puas hidup bersamamu
selama ini. Kau
tahu apa kata Dewi Obat, katanya anak kita
itu perempuan
cuma sayang dia ikut mati"
"Dia pasti akan secantik ibunya."
'Ya kalau dia hidup, dia memang akan cantik
kasihan kamu
Geni, hari ini kamu kehilangan dua orang
sekaligus, isterimu
dan anakmu.
Kau harus membalas hutang darah ini."
"Aku pasti akan menagih hutang darah
ini, Lembu Agra dan
Lembu Ampai akan menanggung akibatnya. Aku
akan mencari
dan memburu mereka ke mana pun, sampai ke
neraka pun."
Dia merasakan tubuh Wulan semakin dingin.
Dia memeluk
tubuh isterinya, merapatkan dada dengan dada
kemudian
menyalurkan tenaga dalam.
Wulan menatap suaminya dengan sinar mata
menyinta.
"Geni sepeninggalku kau harus mencari
Sekar. Entah berada
di mana si Sekar, dia sangat mencintaimu Kau
tak boleh sedih
berlebihan, sudah takdir dewa, aku harus
mati. Tapi kau harus
hidup terus, cepat temukan Sekar, kau
membutuhkan dia."
"Wulan, aku akan menemukan Sekar, tapi
kamu tak boleh
mati."
"Tidak Geni, aku tak tertolong. Dengar
Geni, waktuku tak
banyak lagi. Masih ada seorang gadis yang
pantas menjadi
isterimu, kau mengenalnya, Prawesti, cucu
kakang Gubar
Baleman, ia masih muda, sangat cantik dan
dia pasti akan
setia melayanimu"
Geni diam, memandang isterinya dengan sinar
mata
menyinta.
"Oh suamiku, pandanganku gelap, tubuhku
dingin. Geni
peluk aku lebih erat, ajalku sudah dekat,
selamat tinggal
suamiku, cium aku Geni. Peluk dan cium
aku."
Dia memeluk isterinya, serasa ingin menyatu
dengan tubuh
molek itu. Tapi tubuh itu makin dingin. Geni
mencium mulut
isterinya. Tadinya mulut itu hangat. Bibir
itu dulunya lembut
dan hangat, penuh birahi. Kini dingin. Makin
lama makin
dingin.
Tubuh itu sudah dingin. Geni sadar isterinya
mati. Tetapi
perasaannya mengatakan Wulan masih hidup.
Dia tak percaya
isterinya sudah mati Dia memandangi wajah
yang cantik itu.
Tak ada tanda-tanda hidup. Airmata membasahi
pipi Geni.
"Istriku yang malang. Tapi tak mungkin
kamu mati, tak
mungkin. Wulan masih hidup."
Tiba-tiba ada suara merdu di telinganya.
Geni merasa ada
sentuhan tangan yang lembut di pundaknya.
"Kangmas Geni,
relakan dia pergi. Dia sudah mati"
Geni menoleh. Seorang gadis, muda dan cantik
berdiri di
sampingnya. Tangannya menepuk pundak Geni.
"Kau siapa, kenapa ada di sini? Apakah
kau datang untuk
menolong isteriku, kau bisa menolong
isteriku?"
Perempuan itu memandang dengan airmuka yang
sedih.
Dia menggeleng kepala. "Maaf Kangmas,
namaku Rahayu,
panggil saja Ayu, aku murid Mahameru, aku
kebetulan lewat
di sini, maaf Kangmas, isterimu sudah mati,
kamu harus rela."
Geni mengawasi perempuan muda itu dengan
curiga. "Kau
murid siapa, murid pendeta Macukunda?"
"Bukan. Aku cucu muridnya. Guruku
adalah Nyi Minasih,
murid paman sepuh Macukunda."
Geni kembali menatap tubuh isterinya. Meraba
wajah
Wulan. "Kenapa isteriku harus mati,
kenapa mereka
membunuh isteriku, kenapa, apa salah
isteriku?"
Rahayu melihat mayat berserakan. Pasti sudah
terjadi
pertarungan hebat. Enam mayat itu pasti mati
di tangan
Wisang Geni. Rahayu pernah mengenal Wisang
Geni dan
Walang Wulan di Mahameru saat diadakan
pertarungan
memilih lima pendekar tanah Jawa. Waktu itu
sepak terjang
Geni sangat luar biasa. Dari seorang tak
dikenal, dia melejit
menjadi pendekar kelas utama. Ilmu silatnya
dikagumi orang
ketika membunuh tokoh hitam Sempani, dan
Kalayawana
berserta tiga muridnya.
Sejak saat itu, Rahayu tak pernah melupakan
Geni.
Sekarang, tanpa rencana, ia bertemu Wisang
Geni di hutan ini
dalam situasi yang sangat berbeda.
Tadi siang Ayu bersama tiga saudara
seperguruannya
dalam perjalanan pulang ke Mahameru Di
tengah jalan Ayu
terpisah. Ketika ia sedang bingung
mencari-cari saudaranya, ia
mendengar suara bentakan orang yang sedang
bertarung.
Dia tiba pada saat Wisang Geni baru saja
menghantam
mati tiga punggawa Sinelir keraton. Dia
menyaksikan ketika
Lembu Agra terpental oleh hantaman Geni. Dia
melihat dan
mendengar semua kejadian sejak itu. Dia
mendengar katakata
Lembu Agra. Dia menyaksikan kaburnya Lembu
Agra dan
tiga rekannya.
Rahayu meski pernah menyaksikan kehebatan
Geni, namun
tetap saja kagum. Pertarungan singkat tadi
memperlihatkan
tingkat kelihaian Geni yang sulit diukur
tingginya.
Dia menyaksikan pemandangan mengharukan saat
maut
merenggut nyawa Wulan. Juga mendengar
pembicaraan
suami isteri itu yang mesra penuh rasa
cinta. Rahayu makin
teng gelam dan larut dalam kesedihan. Tanpa
terasa air mata
mengalir di pipinya. Dia bisa memaklumi
betapa batin Geni
terpukul dan goncang dan merasa berkewajiban
menolong.
"Mas, mari aku bantu kubur."
"Sssssshhhh, jangan, isteriku belum
mati Aku masih harus
menolongnya, masih ada harapan."
Rahayu melihat sinar mata Geni yang
ngambang.
"Kangmas, isterimu sudah mati, relakan
dia pergi, Mas."
Geni menggoyang-goyang tubuh Wulan.
"Aku masih bisa
mengobatinya, ayo Wulan bangun, jangan mati
Oh Wulan
jangan mati, jangan tinggalkan aku...."
Hutan itu masih sepi. Wisang Geni meratapi
kematian
isterinya. Rahayu bingung, tak tahu harus
berbuat apa.
Mendadak ia teringat sesuatu. "Kangmas
Geni, lebih baik kita
antar Mbakyu Wulan ke Lemah Tulis, di sana
mungkin ada
yang bisa menolongmu."
Sepasang mata Geni memandang tajam gadis di
depannya.
"Ya kau benar, kita bawa dia ke Lemah
Tulis, ayo kamu ikut."
Hanya sesaat Rahayu bimbang. "Baik. Aku
ikut."
Perjalanan dilakukan dengan cepat. Wisang
Geni sambil
memeluk tubuh isterinya, berlari menggunakan
ilmu Waringin
Sungsang yang tentu saja membuat Rahayu
kedodoran
mengejarnya.
Geni mengendurkan lari. "Kamu kurang
cepat, mari
kubantu."
Tangan kanan Geni menggendong Wulan, tangan
kiri
memegang tangan Rahayu. Gadis itu merasa
sekujur
tubuhnya dirasuki tenaga hangat yang berasal
dari tangan
Geni. Gerak langkah Ayu menjadi lebih
bertenaga dan lebih
cepat. Malam tiba. Hutan gelap. Samar-samar
sinar rembulan
menerobos pepohonan tapi tidak cukup
menerangi jalan,
apalagi untuk menentukan arah. Geni dan
Rahayu terpaksa
istirahat. Geni masih memeluk jenazah
isterinya. Malam itu
Rahayu berhasil meyakinkan lelaki itu bahwa
Wulan sudah
mati dan tak mungkin hidup kembali.
Perlahan namun pasti, Wisang Geni menemukan
kembali
kesadarannya. Walang Wulan isterinya sudah
mati, tak
mungkin hidup kembali. Kini yang bisa ia
lakukan adalah
membawa jenazah Wulan ke perdikan Lemah
Tulis dan
menguburnya di sana.
Geni berterimakasih kepada gadis itu. Malam
itu Geni tidak
tidur. Dia menjaga jenazah isterinya dan
Rahayu yang tidur
pulas. Esok paginyakokok ayam dan kicau
burung mewarnai
suasana sejuk hutan. Rahayu terbangun. Dia
melihat Geni
yang sedang duduk bersila di dekat jenazah
Wulan. Lama
Rahayu menatap wajah pendekar yang
dikaguminya itu.
Di Mahameru, dia tak punya kesempatan
berkenalan.
Namun meski hanya mengenal dari jauh, Rahayu
sangat
terkesan. Geni tidak tergolong lelaki
tampan, tetapi punya
daya tarik kelaki-lakian yang membuat Ayu
tak pernah bisa
melupakannya.
Tiba-tiba Geni terjaga. Rahayu gugup ketika
matanya
bertatapan.
"Kamu sudah bangun Ayu"
"Aku, aku baru saja bangun." Sinar
mentari pagi menyinari
wajah Rahayu. Geni melihat seorang gadis
yang cantik dan
matang. Rahayu berusia duapuluhan. Kulit
sawo matang,
bersih dan mulus. Rambut lurus sebatas
pundak. Hidungnya
agak pesek dengan mulut yang indah. Bibirnya
tebal
membentuk busur gandewa. Sepasang matanya
berbinar,
agak nakal. Mata itu tak menyembunyikan rasa
kagum pada
lelaki di hadapannya.
Kemarin Geni tidak memerhatikan kehadiran
gadis
Mahameru itu. Tetapi setelah semalaman
bersemedi dan
menghimpun tenaga Wiwaha, kesadaran Geni
sudah kembali
seperti sediakala.
Dia sedih kehilangan isterinyayang sangat
dicintainya.
Tetapi dia masih harus menjalani hidup. Dia
adalah ketua
Lemah Tulis. Kehormatannya sebagai ketua
Lemah Tulis,
sebagai suami Walang Wulan, sebagai pendekar
yang disegani
orang di tanah Jawa, telah diinjak-injak
oleh Lembu Agra dan
orang-orang keraton Kediri. Isteri dan
anaknya, mati Dendam
ini harus diperhitungkan. Hutang darah,
bayar darah. Hutang
nyawa bayar nyawa.
Pagi itu Rahayu melihat Geni yang berbeda
dengan Geni
yang kemarin. Geni dengan rendah hati
mengucap terimakasih
atas bantuan Rahayu yang menyadarkan dirinya
dari
kesedihan. Perjalanan dilanjutkan. Geni
membopong jenazah
Wulan, Rahayu berjalan di sampingnya. Siang
hari keduanya
tiba di Lemah Tulis.
Kontan saja, suasana perdikan diliputi duka
yang amat
sangat, di sana sini terdengar isak tangis
para wanita. Hampir
semua murid Lemah Tulis mengenal dan
menyayangi Walang
Wulan. Mereka tak pernah menyangka Walang
Wulan yang
cantik dan ramah itu akan mengalami kematian
mengenaskan.
Padeksa dan Gajah Watu, dua tokoh sepuh dari
Lemah
Tulis menghibur dan menenangkan Geni Siang
itu Walang
Wulan dikubur di pekuburan Lemah Tulis.
Semua orang larut
dalam duka. Semua murid Lemah Tulis mengutuk
kejahatan
Lembu Agra, murid pengkhianat itu. Esok
harinya Rahayu
pamit dan kembali ke Mahameru.
Semua murid Lemah Tulis sepakat akan
membalas
dendam, Lembu Agra harus mati Semua murid
menunggu
perintah. Tetapi ketua Lemah Tulis belum
mengeluarkan
perintah. Bahkan Geni masih belum mau keluar
dari
kamarnya.
Pada hari pertama sepertinya Wisang Geni
belum bisa
menerima kenyataan matinya Wulan. Terkadang
sadar, sesaal
kemudian ia seperti linglung mencari-cari
Wulan. Seharian itu
Padeksa dan Gajah Watu bergantian menjenguk
dan
menghiburnya.
Murid-murid wanita bergantian melayani
ketuanya,
membujuknya makan minum Di antaranya
Prawesti, yang
disebut-sebut kembang perdikan, muda dan
cantik. Pada hari
ketiga hanya Prawesti yang melayani, murid
lainnya sepakat
menarik diri, memberi kesempatan Prawesti
melayani sang
ketua.
Suatu siang, ketika Prawesti sedang berada
di sumur,
melamun. Jayasatru, lelaki berusia
limapuluhan,
menghampirinya. "Westi, kau belakangan
ini gelisah, apakah
keadaan ketua tidak begitu menggembirakan
?"
Gadis itu terkejut, tersentak dari lamunan.
"Oh paman
Jayasatru"
"Bagaimana keadaan ketua kita?"
"Oh ketua semakin membaik, hanya
kesedihannya masih
belum hilang. Ia sering melamun dan menyebut
nama
isterinya, pernah suatu saat ia memanggilku
Wulan. Paman
Jaya, aku tidak tahu sampai kapan ia baru
bisa melupakan
isterinya."
"Kau amat gelisah, Westi. Kau mencintai
ketua?"
Kembang Lemah Tulis itu gugup, tidak
menyangka
datangnya pertanyaan itu. "Ah tidak.
Mengapa paman
bertanya seperti itu?"
"Beberapa hari ini aku memerhatikanmu,
tak perlu malu
Westi, kau tak perlu malu padaku, aku
mengenalmu karena
aku yang merawatmu sejak kecil, hubungan
kita seperti ayah
dan anak."
"Paman, aku berterimakasih kepadamu dan
juga bibi, kalian
berdua sudah seperti orangtua bagiku, tapi
aku tak tahu
perasaanku pada ketua, mungkin aku hanya merasa
kasihan."
"Westi, menyinta adalah suatu rasa yang
sulit ditebak dan
sulit diduga. Sulit mengetahui apakah kita
menyinta seseorang
atau hanya merasa kasihan. Tapi aku cuma mau
berpesan
padamu, jika kau merasa yakin menyintai
ketua, jangan ragu
dan jangan malu."
0 komentar:
Posting Komentar