Tenaga dua pendekar Jawa itu tersedot
diseret arus tenaga
lingkaran. Keadaan kritis. Sebab begitu
Lahagawe menyibak
dua tangannya disusul tenaga mendorong maka
tulang dada
dua pendekar Jawa itu terancam berantakan.
Benar saja!
Tampak jari-jari tangan Lahagawe lurus
merapat, dua
tangannya mengubah lingkaran menjadi gerakan
seperti
menyibak air. Tenaga dua pendekar Jawa
terpental ke kiri dan
kanan. Dua siku Lahagawe ditekuk. Keadaan
kritis. Maut
mengancam dua pendekar Jawa.
Sekonyong-konyong datang menyeruak bayangan
serba
putih, seorang pendekar usia enampuluh,
rambut, jenggot,
kumis dan alis semua serba putih. Kakinya
tidak terlihat
karena tertutup jubah pulihnya. Jubah itu
menjuntai sampai ke
tanah berkibar ditiup angin.
Persis dewa yang turun dan kahyangan ke
bumi. Ia bagai
terbang, ringan bagai kapas, sungguh ilmu
ringan tubuh yang
sulit diuari bandingannya. Masih dalam
keadaan melayang,
pendekar itu melonjor dua tangan dalam gerak
berputar. Siku
dibengkokkan. Jari tangan seperti meraup,
kemudian tapak
tangannya dihadapkan ke arah dua pendekar
Jawa. "Jangan
gunakan tenaga, kosongkan tubuhmu !"
Suara pendekar jubah
putih itu merdu dan akrab di telinga Puguh
dan Baleman.
Pada saat Lahagawe meluruskan dua tangannya,
memukul
dahsyat ke dada dua pendekar Jawa, pada saat
yang sama
angin pukulan si jubah putih menerpa Baleman
dan Puguh.
Dua pendekar Jawa ini tanpa rasa curiga
sedikit pun mengikuti
bisikan si jubah putih. Keduanya
mengosongkan tubuh dan
tidak menggunakan tenaga Pukulan pendekar
itu mengangkat
dua pendekar Jawa seperti terbang melayang
beberapa depa
dari sasaran pukulan Lahagawe. Pukulan
Lahagawe menerpa
tanah kosong. Debu berterbangan Ada semacam
bebauan
tanah terbakar.
Lahagawe murka melihat pukulannya mengena
tempat
kosong. "Siapa orang yang berani mati
mencampuri urusanku
?"
Pendekar jubah putih tertawa. "Karena
menyangkut gengsi
dan kehormatan tanah Jawa, aku terpaksa ikut
campur. Ilmu
seberang tak boleh tepuk dada di tanah Jawa.
Orang asing tak
boleh temberang di negeri ini."
Dua pendekar itu kemudian terlibat
pertarungan dahsyat Si
jubah putih bertarung seperti orang tidak
bertenaga
Gerakannya aneh. Semua anggota tubuhnya
bergerak namun
aneh kakinya tidak bergerak. Memang kakinya
tertutup jubah,
namun bisa dilihat bahwa kakinya tidak
memijak bumi Ia
melayang, ujung jubahnya pun tak menyentuh
tanah.
Mengetahui lawan berilmu silat tinggi,
Lahagawe memukul
dengan jurus mematikan. Semua pukulan
tertuju ke titik
kematian. Si jubah putih mengelak dan balas
menyerang.
Limapuluh jurus berlalu. Lahagawe mulai
terdesak, ia
memutuskan menyerang dengan jurus paling
mematikan Teri
sanson Mein Jevati Mein Sirf teri kusbu hai
(Dalam Hidup dan
Nafasku Hanya Terdapat Harum Dirimu), jurus
adu jiwa
Lahagawe selama ini belum menemukan
tandingan yang
membuatnya kelewat sombong. Tapi kehebatan
si jubah putih
telah mengusik harga dirinya, itu sebab ia
melancarkan jurus
adu jiwa
Pendekar jubah putih tersenyum, seperti
main-main, ia
menepuk dua tangannya. Benturan tenaga
terdengar.
"Desss.". Tepukan itu telah
membuat pukulan Lahagawe
melenceng jatuh di ruang kosong. Si jubah
pulih menjulurkan
satu tangan ke depan bagai hendak
mencengkram. Lahagawe
terdesak, surut dua langkah sambil
melontarkan pukulan
Banjao kisi ke kisi ko aapna banalo (Jadilah
Milik Seseorang
dan Milikilah Seseorang).
Tapi si jubah putih tak berhenti. Tangan
kiri seperti
menggaruk belakang kepala. Tangan kanan
ditekuk dan
diputar mengarah bumi. Pinggul dihentak ke
kiri dan kanan.
Tangan kirinya mendorong menangkis pukulan
dua tangan
Lahagawe. Tangan kanannya menjulur dan
menyusup ke
depan menggaruk dada Lahagawe.
Lahagawe terkesiap. Ia terpental surut dua
langkah.
Wajahnya pucat. Ia tak berdaya ketika si
jubah putih bergerak
maju. Lahagawe memasang kuda-kuda, berdiri
dengan wajah
pucat tetapi mata bersinar penuh amarah. Ia
menggeram dan
menghimpun segenap tenaga, dua tangannya
membuat
lingkaran besar dan kecil. Ia mengulang
jurus andalan Banjao
kisi ke kisi ko aapna banalo (Jadilah Milik
Seseorang dan
Milikilah Seseorang) dalam sikap sama-sama
mati.
Mendadak pendekar jubah putih seperti
menangis, lengan
kiri disapukan ke matanya, tangan kanan
membuat lingkaran
kecil mengarah ke depan, tangan kiri
menjulur ke depan.
Berbarengan tangan kanannya digentak dengan
tarikan
dahsyat ke dadanya. Kuda-kuda Lahagawe
gempur dan
tubuhnya bergetar, terombang ambing didorong
dan ditarik
tenaga si jubah putih. Sesaat kemudian si
jubah putih berkata
lirih. "Ah tidak ada gunanya membunuh
kamu, pulanglah ke
negerimu, jangan pernah kembali lagi ke
tanah Jawa!" Dua
tangannya seperti mengusir ayam, tetapi angin
pukulannya
membuat Lahagawe terpental ke belakang.
Pendekar Himalaya itu muntah darah. Matanya
melotot, dia
sungguh tak percaya bahwa dia bisa kalah dan
terluka sampai
muntah darah. Dia berkata lirih dalam bahasa
Jawa yang
fasih, "Terimakasih, tuan sudah
mengampuni jiwaku. Aku
akan pulang ke Himalaya, tak akan datang
lagi ke tanah
Jawa."
Pendekar jubah putih tanpa menoleh
meneruskan
geraknya, melayang pergi begitu saja.
Geraknya ringan seperti
terbang. Hebatnya lagi, seluruh gerakan
sejak awal sampai
akhir, semua dalam satu gerak sinambungan
yang harmonis
dan mulus. Seperu tak ada paksaan dalam
geraknya. Bagai
terbang ia menuju ke bagian di mana Raja
Kertajaya sedang
dalam kepungan.
Sepak terjangnya membuat para pengepung
pontangpanting,
ia membelah kumpulan manusia semudah
menyibak
air dalam kolam. Ia menggandeng lengan
Baginda Raja
kemudian berdua menerobos keluar, meloloskan
diri.
Semudah itu, bagaikan tak menemukan
perlawanan. Ia masuk
kepungan, menggandeng lengan Baginda Raja,
menerobos
keluar dengan mendendangkan kidung Penakluk
Raja, kidung
yang kemudian menjadi populer dan
dibincangkan orang di
dunia kependekaran.
Ilmu dari seberang,
Tak boleh tepuk dada,
Di Tanah Jawa ini,
Dari Gunung Tejar,
Jurus Penakluk Raja,
Ilmu dari segala ilmu,
Melenggang ke Barat,
Meluruk ke Timur,
Merangsak ke Utara,
Merantau ke Selatan,
Tak ada lawan,
Tak ada tandingan,
Ilmu dari segala ilmu
Gubar Baleman dan Manjangan Puguh terpesona
oleh
sepak terjang pendekar jubah putih itu.
Siapa dia? Pada saat bersamaan, telinga Gubar
Baleman
mendengar kesiuran angin. Dia merunduk.
Tombak itu lewat
di atas kepalanya, dia melihat Tambapreto
dan beberapa
pendekar lain melur ukke arahnya. Manjangan
Puguh tak
tinggal diam, dia bergerak cepat bagai
siluman. Itulah
Waringin Sungsang tingkat paling tinggi.
Tidak cuma bergerak
dia juga menampar ke kanan kiri. Terdengar
teriak kesakitan,
tiga pendekar lawan memegang kepala kemudian
roboh, mati,
tanpa suara. Tapi satu mati, datang lima,
mati dua muncul
duapuluh. Sepertinya pasukan Tumapel tak pernah
habis.
Di pihak Kediri, hanya beberapa gelintir
yang masih
bertahan. Gajah Kuning dan Sukesih sudah
bersimbah darah,
keduanya masih melawan dan membunuh beberapa
lawan.
Kalayawana tertawa sadis seperti ringkik
kuda, membuat
sepasang suami isteri makin terdesak hebat.
Manjangan
Puguh melayang hendak menolong. Tapi Sukesih
justru
berteriak keras padanya, "Puguh pergi
cepat selamatkan
anakku. Cepat pergi, ingat janjimu"
Pada saat itu juga sebatang tombak nancap di
dada
Sukesih. Mata Puguh membelalak. Perempuan
itu berteriak
lagi. "Pergi Mas Puguh, pergilah, tak
ada gunanya bertahan,
kita sudah kalah."
Manjangan Puguh melesat pergi, amarahnya
meluap. Dia
bagaikan terbang, menghajar siapa saja lawan
yang
menghadangnya. Dia melewati banyak mayat
musuh, tapi dia
juga menyaksikan teman-temannya mati satu
per satu Mahisa
Walungan, Gubar Baleman, Kebo Jawa, Gajah
Kuning dan
perempuan yang dicintainya. Dia meloloskan
diri menuju
keraton, memenuhi janji dan ikrarnya untuk
menyelamatkan
putra kecintaan Sukesih. Puguh berlari
sambil menangis.
Tangis seorang pendekar tangguh.
---ooo0dw0ooo---
Tanah perdikan Lemah Tulis yang tadinya
selalu ramai
dengan latihan ilmu silat serta kegiatan
bercocok tanam dan
aktifitas lain, hari itu tampak porak
poranda. Di sana sini
mayat bergelimpangan. Tak ada sisa makhluk
hidup. Kerbau,
sapi, ayam, babi dan semua binatang ternak,
mati Yang ada
hanya burung pemakan bangkai, terbang
melayang dan
hinggap di sana-sini. Bau busuk mayat
manusia dan bangkai
binatang tercium di mana-mana.
Padeksa, adik seperguruan Bergawa menerobos
masuk
pekarangan. Dia mendengar berita hancurnya
Lemah Tulis
serta kekalahan pasukan Kediri dalam perang
Ganter. Dia
bergegas menuju Lemah Tulis. Dia tiba di
perdikan Lemah
Tulis tiga hari setelah serangan yang membumihanguskan
perguruannya. Dia melihat berkeliling.
Amarahnya meluap
kesedihannya memuncak.
”Hancur, semua hancur, tidak ada sisa,”
desisnya.
Dia berlari ke sana kemari, berteriak
memanggil orang.
Suasana sepi, lengang, hanya terdengar gema
suaranya
memantul. Tak ada orang yang menjawab
panggilannya. Ia
memeriksa mayat-mayat. Banyak yang
dikenalnya, banyak
juga yang tak dikenalnya, pasti para
penyerang. Semua murid
mati dalam pertarungan, bekas darah kering
tercecer di manamana.
Dia tak merasakan sengatan terik mentari. Ia
lari
menuju kamar Bergawa. Tertutup rapat. Tak
mungkin bisa
dibongkar atau dibuka dari luar. Selamanya
hanya satu orang
saja yang bisa membuka pintu rahasia itu
dari luar, yakni
ketua Lemah Tulis, tak ada orang lain.
Tiba-tiba matanya
melihat mayat tertelungkup agak jauh dari
pintu kamar. Ia
menghampiri dengan jantung berdegup kencang.
Ia membalik
mayatnya. Padeksa berteriak, ”Kangmas,
kangmas Branjangan
!”
Dia juga menemukan mayat Ranggaseta. Dua
mayat itu
sudah dingin, kaku dan berbau busuk. Padeksa
memeriksa di
sekitarnya. Ia tak menemukan kakaknya,
Bergawa. ”Kangmas
pasti ada di sini, aku tahu dia tidak ikut
berperang di Ganter.
Ia masih di sini!” Tiba-tiba terlintas di
benaknya, mungkin
Bergawa masih hidup dan berada di dalam kamar
rahasia. Dia
mengetuk pintu dengan pengerahan tenaga
dalam, mengetuk
dengan isyarat rahasia, ”Kangmas, kangmas,
ini aku Padeksa.”
Sesaat kemudian terdengar balasan dari
dalam, ketukan
yang tidak keras namun cukup jelas. Padeksa
gembira, pasti
orang yang di dalam itu Bergawa, tidak
mungkin lain orang.
Dia mengetuk lebih keras. ”Kangmas, buka
pintunya.”
Pintu kamar terbuka perlahan. Padeksa
mendorong. Dia
menerobos masuk, mendapatkan Bergawa
bersandar di
dinding dekat pintu.
Padeksa memeluk Bergawa, ”Kangmas, oh,
untung kamu
masih hidup.” Dia merasakan tubuh Bergawa
dingin. Dari luar
tidak terlihat adanya luka.
”Kangmas, kau luka dalam? Kangmas Branjangan
mati,
perguruan hancur, banyak murid mati,
perbuatan siapa
kangmas, apa benar pasukan Arok?”
Bergawa luka parah, tenaga intinya musnah
kena pukulan
Lahagawe. Dia tak mungkin pulih bahkan
ajalnya sudah
merapat. Tetapi ia masih sempat menceritakan
kehancuran
Lemah Tulis. Ada pengkhianat dalam
perguruan, semua murid
dari yang rendah sampai murid utama bahkan Bergawa
dan
Branjangan pun terkecoh. Air minum dalam
gudang diracun
dengan racun pelemas tulang. Itu sebab, para
penyerbu tak
menemukan perlawanan berarti. Bergawa
menyebut nama
para penyerbu antara lain pendekar kosen
dari I Iimalaya
Lahagawe, Tambapreto, Sepasang Sapikerep,
Sempani,
Jayawikata, Palot, Kalayawana, Samparan.
”Seharusnya aku ikut tarung sampai mati,
itulah
kehormatan bagi seorang pendekar, tetapi
Branjangan
memaksa aku sembunyi di kamar rahasia ini
dan sebisa
mungkin bertahan hidup untuk menyampaikan
tragedi ini
kepada kamu dan Gajah Watu. Dia yakin kalian
akan datang
meskipun terlambat. Ternyata harapannya
terpenuhi, kau
datang tepat saat ajalku sudah dekat.”
Bergawa berpesan bahwa Padeksa harus
menjabat ketua
Lemah Tulis sampai metemukan seorang murid
yang tepat
dan layak sebagai ketua penerus. Dua tugas
lain, menemukan
ilmu pusaka Garudamukha Prasidha yang konon
rahasianya
dipegang keturunan Kanjeng Paduka Nyi Kili
suci
”Kamu harus temukan murid pengkhianat iiu,
selanjutnya
masa depan perguruan ada di tanganmu”
Sebelum mati, Bergawa sempat memberitahu
kunci kamar
rahasia.
Padeksa melangkah lunglai keluar. Dia agak
kaget melihat
beberapa orang desa menghadang jalannya.
Lalu seorang di
antaranya membuka caping sambil memberi
hormat. ”Paman
Padeksa, terimalah hormat kami.”
Padeksa mengenalnya, dia Prastawana, murid
langsung
kakaknya Branjangan. Semuanya enam orang.
Prastawana
dan Dipta, keduanya murid Branjangan Dua
pemuda murid
Gajah Kuning yakni Gajah Nila dan Gajah
Lengar. Dua lainnya,
Jayasatru, murid Ranggaseta dan Dyah Mekar,
gadis kecil
putri tunggal Ranggaseta.
Prastawana menceritakan pada malam menjelang
serangan
mematikan itu, beberapa murid yang keracunan
disuruh pergi
oleh guru ketua. Sekarang ini mereka hidup
berpencar dan
sementara menyamar sebagai orang desa.
Mereka
memberanikan diri kembali ke perdikan untuk
menyelidiki
keadaan. ”Kami datang berniat mengubur
teman-teman,”
katanya sendu.
Mendadak saja, Padeksa berbisik, ”Cepat
sembunyi, ada
orang datang!”
Terdengar suara derap kuda masuk pekarangan.
Seorang
laki-laki melompat turun. Manjangan Puguh
dan bocah berusia
delapan tahun, Wisang Geni. Padeksa mengenal
Puguh,
karenanya lantas keluar menemui Pertemuan
cukup
mengharukan, Puguh menceritakan apa yang
dilihatnya di
Ganter. Dan mengapa dia bisa lolos dan
menyelamatkan putra
Gajah Kuning.
”Aku sudah berjanji pada kedua orangtua
Geni, bahwa aku
harus kembali ke keraton menyelamatkan Geni
sebab keraton
bakal jatuh ke tangan musuh. Gajah Kuning
dan Sukesih tak
mau anaknya menjadi tawanan atau dibunuh
musuh. Demi
persaudaraan aku rela menjadi pengecut hina
yang lari dari
medan perang. Itu pilihan yang sulit.”
Terdengar suara Padeksa menghibur. ”Jangan
menyesali
apa yang sudah terjadi.”
---ooo0dw0ooo---
25 Tahun Kemudian
Tahun 1247 suatu malam di tengah bulan
Margasirsa.
Duapuluh lima tahun kemudian setelah perang
Ganter yang
menelan banyak korban jiwa itu. Bulan
purnama menerangi
hutan di pinggir desa Mlarak. Tampak sebuah
bangunan tua di
antara pepohonan jati. Reruntuhan rumah tua
itu hampir tidak
beratap. Hanya satu sisi dinding yang
terbuat dari batu hitam
yang masih utuh. Dinding lainnya sudah tidak
utuh. Daun
pintu sudah tak ada, rusak dan lapuk
termakan rayap.
Di ruangan dalam yang terbuka dan luas mirip
bangsal
beberapa orang sedang istirahat. Rumah tua
itu sering
dijadikan tempat menginap perantau yang
kemalaman di
jalan. Suasana sunyi dan sepi. Hanya
terdengar suara jengkrik
dan kodok sahut-sahutan. Gerimis membuat
malam makin
dingin.
Terdengar suara orang mendendangkan kidung.
Suaranya
sinis dan dingin. Suaranya tidak keras namun
terdengar jelas
oleh semua orang di rumah besar. Suara
jengkrik dan kodok
mendadak senyap ditelan suara yang membawa
suasana
magis.
Dari Gunung Lejar,
Jurus Penakluk Raja.
Ilmu dari segala ilmu,
Melenggang ke Barat,
Meluruk ke Timur,
Merangsak ke Utara,
Merantau ke Selatan,
Tak ada lawan,
Tak ada tandingan,
Ilmu dari segala ilmu
Kidung itu seakan menyihir semua orang.
Semua diam.
Saling pandang. Sebagian wajahnya pucat.
Sebagian lainnya
waspada. Kidung dinyanyikan dengan tenaga
dalam tinggi,
membuat jantung orang berdegup kencang.
Suara itu juga
menebar pengaruh magis.
Pelan-pelan gema suara menghilang. Suara
jengkrik dan
kodok mulai lagi bersahutan. Gerimis masih
menyiram bumi.
Seorang lelaki paruh baya bersandar di
dinding tertawa dingin,
menghentakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya
gembul, kepala
botak.
”Kidung hanya satu kali dinyanyikan, berarti
ia akan
membunuh satu orang di antara kita di
ruangan ini, siapa?
Aku pasti akan melawannya, aku akan adu jiwa
dengannya,
sudah lama aku mencarinya,” kata si lelaki
botak itu. Semua di
ruangan saling pandang. Semuanya, sebelas
orang, tujuh
lelaki dan empat wanita.
Seorang anak muda berusia sekitar
tigapuluhan sedang
melahap nasi bungkus. Ia menunda makannya, memandang
lelaki gembul botak itu dengan heran. Ia
menoleh kepada
kakek tua berusia enampuluhan yang duduk di
sampingnya.
”Guru, mengapa harus ada yang mati terbunuh?
Apa anehnya
kidung tadi.”
Sebelum kakek itu menjawab, lelaki botak
mendahului
dengan tertawa dingin. ”Anak muda, itu tadi
namanya
tembang Jurus Penakluk Raja tapi belakangan
lebih dikenal
orang dengan sebutan Kidung Maut. Dan si
penyanyi adalah
dedemit kejam yang doyan membunuh. Kalau
kidung
dinyanyikan satu kali, artinya ia akan
mencabut nyawa satu
orang sebelum fajar menyingsing. Kalau dua
kali, ya artinya
dua nyawa.”
”Siapa si pembunuh itu ?”
”Siapa? Selama ini tak seorang pun pernah
melihat
tampangnya. Orang rimba persilatan
menjulukinya si Kidung
Maut. Ia muncul tiba-tiba dan dengan ilmunya
yang tinggi
mudah baginya untuk membunuh siapa saja. Ia
muncul tibatba
dan menghilang tiba-tiba persis siluman.
Agaknya
benarlah syair kidungnya, tak ada lawan, tak
ada tandingan!”
”Apakah tuan pernah memergoki kejadian
seperti malam
ini?” Pemuda itu masih penasaran.
”Ini yang pertama kali. Waktu isteriku jadi
korban
kekejamannya, aku tak ada di situ. Istriku
memang mati
dibunuh dedemit itu. Dan
Sesaat Manjangan Puguh tertegun. Kemudian
ali mukanya
berubah cerah, ia tertawa lepas. ”Kamu pasti
Wisang Geni,
wah kamu sudah dewasa, aku pangling, kalau
bertemu di
jalan aku pasti tak bisa mengenalmu
Berdirilah dan kembali ke
samping kakek gurumu, nanti kita ngobrol.”
Ia memberi
hormat dengan dua tangannya kepada orangtua
yang
disebutnya kakek itu. ”Ki Padeksa, terimalah
hormatku”
Wisang Geni kembali ke tempat duduknya.
Tetapi
langkahnya terhenti karena pada saat
bersamaan terdengar
kembali kidung Jurus Penakluk Raja
ditembangkan. Suara
penyanyinya sama, tetap jernih dan bening.
Dari suaranya
sulit diduga, dia itu perempuan atau lelaki.
Dari Gunung Tejar, Jurus
Penakluk Raja, Ilmu dari segala
ilmu,
Melenggang ke Barat,
Meluruk ke Timur, Merangsak ke
Utara, Merantau ke
Selatan,
Tak ada lawan, Tak ada
tandingan, Ilmu dari segala ilmu
Semua orang di ruangan saling pandang. Tidak
ada suara
lain kecuali kumandang kidung itu. Suaranya
mendengung dan
bergema di segala penjuru Sesaat kemudian
suara lenyap.
Belum juga orang-orang itu hilang rasa
tegangnya, kidung
berkumandang lagi. Begitu seterusnya sampai
empat kali
beruntun. Semua orang tegang. Pendekar
wanita separuh
baya yang dikenal sebagai Nyi Pujawati
bangkit. Ia tampak
kesal. ”Rupanya satu saja tak cukup bagi si
Kidung Maut,
malam ini ia menginginkan lima nyawa.
Benar-benar
kurangajar, apa dia pikir kita semua ini
batang pisang yang
manda digorok begitu saja. Di ruangan ini
juga hadir dua
tokoh kelas atas, Ki Manjangan Puguh dan Ki
Padeksa. Aku
ingin tahu apa yang mau dilakukan si
pembunuh itu.”
Sambil berkata, Pujawati dengan geram
menggerakkan
tangannya. Sekejap saja sebilah pedang sudah
dalam
genggaman. Gerakannya sebat dan sulit
diikuti pandangan
mata orang biasa. Itu suatu bukti perguruan
Goranggareng
kesohor dengan ilmu pedangnya, bukan bualan
semata.
Manjangan Puguh memandang semua orang di
ruangan.
”Kita tak punya waktu, setiap saat pembunuh
itu bisa
menyerbu Kupikir sebaiknya kita semua
berkumpul di tengah
ruangan dalam bentuk lingkaran, setiap orang
menghadap
keluar lingkaran. Dengan demikian serangan
dari arah mana
saja bisa kita ketahui. Cepat!”
Tak perlu diulang, semua orang bergerak
mengikuti saran
Manjangan Puguh. Sepasang suami isteri yang
usianya sudah
tua, beringsut keluar menuju pintu. ”Kami
hanya dua orangtua
pedagang kecil yang tak mengerti silat. Kami
juga bukan dari
dunia kependekaran. Pasti bukan kami yang
dimaui penyanyi
kidung itu. Kami mohon pamit, para
pendekar.”
Tertatih-tatih dua orangtua itu melangkah
keluar
reruntuhan rumah tua dan menghilang di
kegelapan malam
Semua pendekar memandang dengan mata
mendelong tanpa
bisa berbuat apa-apa. Wisang Geni tetap
berdampingan
dengan Padeksa. ”Kakek, keadaan tampaknya
gawat
Pembunuh misterius itu rupanya memiliki ilmu
silat yang
tinggi. Aku lihat guru Puguh dan kakek juga,
tampak tegang.”
Padeksa diam saja. Mulutnya komat-kamit.
Rupanya ia
bicara kepada muridnya menggunakan ilmu
memendam suara
lewat tenaga perut. Hebat! Orang lain tak
mungkin bisa
mendengar. Pertanda tenaga dalamnya sudah
mencapai
tingkat tinggi ”Geni, tenaga dalam orang itu
cukup aneh dan
sulit diukur tinggi rendahnya. Pasti dia
pendekar kelas atas.
Kita harus hati-hati, kamu jangan
sekali-sekali menjauh dari
sisiku.”
”Geni, aku sudah tua, sudah lebih dari
separuh abad. Aku
hidup dalam penyesalan sejak Bergawa mati
Kalau saja dulu
aku tak menuruti katahatiku, kalau saja dulu
aku dan dimas
Gajah Watu mau menetap bersama kakang
Bergawa dan
kakang Branjangan mungkin kita masih bisa
bahu-membahu
menyelamatkan Lemah Tulis, atau kalau pun
harus mati, mati
dalam tarung adalah pilihan paling mulia
bagi pendekar.
”Tapi nasi sudah jadi bubur. Aku menyesal,
merasa
bersalah. Meski hatiku agak terhibur karena
sempat menemui
kakang Bergawa sebelum ajalnya. Ia mati
meram karena aku
berjanji akan melaksanakan tiga perintahnya.
Jika aku mati
malam ini, maka tiga tugas itu harus kamu
laksanakan sebab
itu perintah perguruan.”
Cerita Padeksa terhenti. Saat itu terdengar
jeritan dua
orang saling susul. Suaranya mendirikan bulu
roma. Saat
berikut, dua sosok bayangan menyerbu masuk,
mendatangkan
angin kencang. Manjangan Puguh dan Pujawati
bergerak
sebat, hampir berbarengan ”Kena kamu
dedemit!” teriak
Pujawati
Makian itu disusul teriak girang Pujawati
karena pedangnya
mengena sasaran tubuh manusia. Pukulan
melingkar
Manjangan Puguh yang berisi tenaga dalam
dahsyat mengena
telak dada lawan yang lain. Darah muncrat ke
mana-mana.
Dua musuh itu sudah dipecundangi, begitu
mudahnya. Semua
mata melotot memandang dua sosok mayat yang
tergeletak di
ruangan. Ternyata mereka dua orangtua
pedagang kecil tadi.
Luka menganga di dada tepat bagian jantung.
Darah
membasahi seluruh tubuhnya. Mereka dibunuh
dengan keji
kemudian mayatnya dilempar ke dalam, itu
yang membuat
Pujawati dan Manjangan Puguh kecele.
”Bangsat kejam!” Dua murid Pujawati membuang
muka,
tak tahan melihat mayat mengerikan itu.
Apalagi dua orangtua
itu bukan dari kalangan pendekar. Mereka
orang awamyang
tak bisa silat. Pujawati menggamit dua
muridnya, Rorokunda
dan Rorowangi. ”Kalian jangan jauh-jauh dari
gurumu”
Padeksa dan Wisang Geni tak begitu peduli.
Sekilas melihat
dua mayat, Padeksa menggamit Wisang Geni.
Namun sebelum
ia buka mulut, terdengar suara Manjangan
Puguh. ”Ki
Padeksa, Nyi Pujawati, coba perhatikan ini,
senjata apa ini
yang bisa membuat lubang di dada manusia,
mungkin
semacam bor.”
Dua pendekar itu mendekat dan memerhatikan
mayat.
Lukanya sama, tepat di bagian jantung.
Tampak seperti
senjata itu menembus dada, berputar dan
melumat hancur
tulang dan daging di seputar dada sebelah
kiri. ”Mungkin
benar, senjatanya semacam bor namun jelas
sekali
dikendalikan dengan tenaga dalam yang besar,”
tukas
Padeksa.
”Setahuku, belum pernah ada pendekar di
tanah Jawa yang
menggunakan senjata aneh seperti ini,”
tambah Pujawati
Lelaki botak alias Si Tangan Besi menyela,
”Menurut cerita
orang, sepanjang beberapa bulan belakangan
ini, si Kidung
Maut selalu meninggalkan saksi hidup. Dan
mereka yang ikut
menyaksikan pembunuhan keji itu tak pernah
menyebut
adanya senjata, mereka mengatakan orang itu
berkelebat
macam siluman, geraknya sangat cepat dan ia
selalu beraksi
dengan tangan kosong. Mungkin saja, malam
ini malam
istimewa sehingga dia menggunakan senjata”
Saat itu semua orang lengah. Mereka
terpencar dan tidak
berada lagi di dalam lingkaran. Tiba-tiba
saja terdengar suara
mencicit yang bising. Manjangan Puguh
berteriak. ”Kembali ke
lingkaran semula!”
Terlambat!
Suara mencicit sudah memenuhi ruangan.
Senjata itu
hampir tak terlihat. Bor maut berbentuk
kerucut sebesar ibu
jari, dikendalikan dengan tali yang saking
tipisnya hampir tidak
terlihat. Semuanya ada empat bor maut.
Senjata itu berputar
bagai gasing dan menyambar ke sana kemari
dengan
kecepatan tinggi
Semua orang panik. Sibuk berkelit dari
serangan senjata
maut itu. Caci maki dan sumpah serapah
keluar dari mulut
para pendekar. Tidak lama. Tidak sampai
sepeminuman teh,
terdengar jerit dan lengking kesakitan.
Saat berikutnya senjata itu menghilang.
Datang secara
mendadak, pergi pun sangat tiba-tiba.
Suasana lengang.
Kidung Maut tetap tak kelihatan batang
hidungnya.
Dua mayat tergeletak di tanah. Darah segar
masih
mengucur dari lubang di dadanya. Warsakumara
dan Tangan
Besi! Dua pendekar yang saling bermusuhan,
kini mati
bersamaan tanpa pernah mengenal wajah
pembunuhnya.
Semua saling pandang. Seperti tak pernah ada
sesuatu yang
terjadi karena berlangsung begitu cepat.
Semua sependapat
ilmu iblis itu teramat tinggi. Tanpa
memperlihatkan diri ia
sanggup mencabut nyawa dua pendekar di depan
mata
delapan pendekar lainnya.
Manjangan Puguh memandang Padeksa dan
Pujawati.
Teror bor maut itu masih terbayang Suaranya
seakan masih
mencicit di telinga Pujawati membanting
kaki, saking kesal.
”Gila, sungguh pembunuh licik dan keji” Tak
bisa kuasai
dirinya lagi, pendekar pedang Goranggareng
itu berteriak,
”Bangsat licik, keluar kau, hadapi aku.”
Suara Pujawati bagai guntur di tengah malam
sunyi Gema
suara itu dipantulkan ke sana kemari. Suatu
pameran tenaga
dalam dari seorang pendekar kelas satu
Suasana kembali
sunyi
Seorang lelaki muda tampan dan tampaknya
serombongan
dengan Pujawati, berkata sambil memberi
hormat kepada para
pendekar. ”Sebaiknya kita jangan terpancing,
serangan iblis
itu akan datang lagi. Sudah empat nyawa
melayang, masih
ada satu lagi yang diincarnya sebelum fajar,
salah satu di
antara kita. Maka lebih baik kita siap-siap
menghadapinya.”
”Benar apa yang dikatakan Setawastra,
sebaiknya kita
semua siap dalam kelompok.” Berkata demikian
Pujawati
menarik dua muridnya yang cantik, mendekat
kepadanya.
Setawastra memegang lengan temannya.
”Kangmas
Matangga, kita harus bahu-membahu untuk
selamat.” Lelaki
bertubuh kekar itu manggut. Ia mencabut
pedang dari balik
punggung ”Sebaiknyakita tetap berdampingan,
dimas. Apa
pun yang terjadi, jangan sampai kita
terpisah.”
Manjangan Puguh bergabung dengan Padeksa dan
Wisang
Geni. Delapan pendekar itu terbagi dua
kelompok tetapi tak
berjauhan satu sama lain. Semua bersiap.
Menanti!
Sepi dan lengang. Tak ada suara apa pun
kecuali suara
kodok dan jengkrik. Saat demi saat berlalu.
Fajar semakin
dekat. Dari jauh terdengar suara kokok ayam.
Belum ada
tanda-tanda Kidung Maut akan menyerang.
Tanpa terasa
suasana ini mendebarkan semua orang. Mereka
tetap siaga.
Mendadak terdengar suara gedubrakan.
”Bruuaaakkk!”
Tembok rumah tiba-tiba runtuh dijebol orang.
Dihantam
dengan pengerahan tenaga dalam sangat tinggi
Bunyikeras itu
disusul bebatuan tembok yang beterbangan ke
sana kemari
dengan kecepatan tinggi dan serabutan. Debu
beterbangan
memenuhi ruangan. Sinar rembulan purnama dan
penerangan
obor tak mampu menembus kumpulan debu. Obor
pun mati.
Orang sulit melihat datangnya bebatuan yang
begitu banyak
jumlahnya. Hanya menggunakan ketajaman
pendengaran
membuat para pendekar pontang-panting
mengelak terjangan
batu. Salah hitung, kepala bisa pecah.
”Bangsat pengecut, perlihatkan dirimu!’’
teriak Pujawati
marah. Matangga dengan suaranya yang keras
kasar
membentak. ”Ayo hadapi aku secara jantan,
jangan main
sembunyi!’’
Dari balik debu yang masih memenuhi ruangan,
sosok
bayangan berkelebat. Gerakannya gesit,
bahkan teramat gesit.
Seakan berlomba adu cepat dengan
batu-batuyang
beterbangan. Tangannya mengibas menyemburkan
tenaga
dalam dahsyat ke Manjangan Puguh dan
Padeksa. Dua
pendekar kawakan ini terkejut. Tenaga lawan
sungguh besar.
Tak ayal lagi keduanya membalas dengan
seluruh kekuatan
tenaga dalam. Tak terhindar adanya benturan
tenaga.
”Dukk ! Dessss!”
Padeksa terdorong surut satu langkah,
Manjangan Puguh
juga. Bayangan lawan bagai tak mendapat
rintangan, tetap
menyerbu Kini sasarannya Wisang Geni!
Wisang Geni sejak awal sudah siaga penuh. Ia
merentang
dua tangan dalam sikap Mangapeksa (Menanti)
dari jurus
andalan Lemah Tulis Garudamukha. Ini sikap
pasrah dan
menanti yang menyimpan banyak perubahan tak
terduga.
Geni mengerahkan segenap tenaga dalamnya. Ia
tahu situasi
kritis mengancam hidupnya.
Padeksa dan Manjangan Puguh terkesiap. Kalau
mereka
saja terdesak mundur oleh tenaga dalam
lawan, bagaimana
lagi nasib Wisang Geni. Tanpa pikir lagi
keduanya menerjang
lawan sambil mengirim pukulan jarak jauh.
Saat itu Kidung Maut sudah sampai di depan
Geni. Ia
mengibas dengan tangan kiri, tangan kanan
mencengkeram
batuk kepala. Tenaga kibaran itu sangat
besar membuat
tubuh Geni serasa kaku. Saat berikutnya
kepalanya terasa
dingin. Geni tahu jiwanya berada di ujung
tanduk, namun ia
tidak gentar. Ia bergerak dengan dua jurus
susulan
Angluputana (Yang Akan Membebaskan) dan
Sumpetutit
(Jungkir dan Berputar). Saat itu Geni
berpikir sederhana, jika
ia harus terluka atau bahkan binasa, maka
lawannya pun
harus mengalami kerugian besar. Pukulan dan
tendangannya
mengarah pelipis dan selangkangan lawan.
Pada saat itu dua
pukulan Padeksa dan Manjangan Puguh ikut
mengancam
punggung Kidung Maut.
Terdengar suara lawan ”iiihhh!” Kidung Maut
terkejut,
diam-diam ia memuji gerakan Geni. Jika ia
meneruskan
serangan, Geni pasti mati, namun ia pun akan
terluka parah.
Begitu juga pukulan dua pendekar kawakan
yang mengarah
punggungnya.
Dia membatalkan serangan pada Geni, sambil
merentangkan dua tangannya ia menerima
pukulan Padeksa
dan Manjangan Puguh. ”Deeeesss!” Punggungnya
kena telak.
Pakaian di bagian punggungnya pecah dan
robek. Namun
Kidung Maut itu tampak tidak terluka. Saat
pukulannya
mengena telak punggung lawan, Padeksa dan
Manjangan
Puguh merasa tenaganya amblas di ruang
kosong. Memang
terasa adanya benturan, namun tidak ada daya
tolak dari
punggung lawan sebagaimana mestinya.
Ternyata sebenarnya Kidung Maut meminjam
tenaga
lawan, pukulan itu tidak melukainya bahkan
tubuhnya dengan
kecepatan tinggi melayang ke arah Pujawati
Ketua Goranggareng ini menyambut dengan
kibasan
pedang Kembangtehn (Bunga Tiga Warna) satu
jurus
mematikan dari ilmu andalannya Kemayangan
(Bahagia dan
Beruntung). Berbarengan dengan itu Matangga
dan
Setawastra bersama-sama mengirim pukulan
gabungan
yhmjilakmi (Menghasilkan) salah satu jurus
tangan kosong
handal dari perguruan Mahameru Sergapan tiga
pendekar ini
sepertinya menebar hawa kematian. Kidung
Maut tak punya
peluang untuk lolos.
Kenyataan tidak demikian. Kidung Maut
membuat gerakan
putar, tubuhnya melintir dan meliuk ke
samping, menghindari
pedang Pujawati. Ternyata geraknya bukan
hanya
menghindar. Tetapi sekaligus menyedot dan
menarik tubuh
Pujawati sampai terhuyung ke depan Dua
tanggannya
kemudian membentur pukulan dua murid
Mahameru
”Duuukkk... dukkk!”
Malangga dan Setawastra terhuyung empat
langkah ke
belakang. Pujawati hilang keseimbangan dan
tersuruk dua
langkah ke depan.
Kidung Maut benar-benar pamer kepandaiannya.
Meminjam
tenaga lawan, ia melejit dan melenting ke
atas melewati tiga
lawannya. Kini dua gadis Goranggareng yang
terancam!
Pujawati yang terpisah agak jauh dan dalam
keadaan
limbung tak bisa berbuat apa-apa. Begitu
juga dua murid
Mahameru
Tidak demikian Wisang Geni yang cerdik. Ia
bisa membaca
jalan pikiran Kidung Maut. Saat Kidung Maut
menempur
Pujawati, saat itu juga Geni menerjang ke
arah Rorowangi dan
Rorokunda. Sehingga waktu dua gadis cantik
itu diserang,
Geni ikut membantu dengan jurus Sumpetutit
(Jungkir dan
Berputar).
Dua gadis cantik ini juga bukan orang lemah,
dua kilatan
pedang berkelebat mengibas udara
Terdengar suara menggumam dari balik topeng
Kidung
Maut, suara yang tidak jelas. ”Hmmmmm.’’ Ia
memainkan
ilmu pinjam tenaga, menangkis pukulan Geni,
ia melenting
dan melesat meloloskan diri dari kibasan
pedang dua gadis itu.
Gerakan menangkis itu dilakukan sambil ia
melayang pergi ke
luar ruangan menghilang di kegelapan malam.
Sepertinya ia
lari karena gagal.
Mendadak terdengar suara mencicit saling
susul. Dua bor
menyerbu masuk. Semua terkejut. Geni sehabis
bentrok
tenaga dan surut empat langkah dengan dada
sesak sempat
melihat bor itu mengancam Rorowangi. Tanpa
sadar Geni
melesat ke arah gadis itu memotong jalan bor
maut. Padeksa
dan Manjangan Puguh ikut meluruk ke arah
sama, begitu juga
Pujawati Tiga pendekar kawakan ini bergerak
pesat menolong
Rorowangi. Tetapi Kidung Maut lebih cepat
lagi. Saat itu juga
terdengar suara mencicit lainnya, dua bor lain
menyerang
pesat.
Terdengar jeritan maut. Rorokunda yang
sendirian dan
tidak dilindungi menjadi korban. Dadanya
bersimbah darah.
Tewas mengerikan. Saat itu juga suasana sepi
dan lengang.
Fajar mulai menyingsing.
Semua terpana. Pertarungan berlangsung singkat.
Serba
cepat dan telah menebar detik-detik kematian
yang
mengancam semua pendekar. Hanya nasib baik
saja yang
meloloskan mereka dari kematian. Rupanya
sambil melayang
pergi, menuju kegelapan malam, Kidung Maut
menyerang
dengan senjata bor mautnya. Tak seorang pun
menyangka
keadaan seperti itu.
Lawan juga berlaku licik, menyerang
Rorowangi namun
yang yang di incarnya adalah Rorokunda.
Sehingga begitu
semua perhatian dan pertolongan mengarah
pada Rorowangi,
saat itu juga ia menyerang Rorokunda. Lihai,
sungguh lihai.
Lihai dan licik!
Rorowangi memeluk mayat adiknya, menjerit
dengan
tangis memilu. ”Adikku, kenapa kamu
tinggalkan aku, maafkan
mbakyu ini karena gagal melindungi adiknya.”
Pujawati merunduk, selama ini belum pernah
ia
dipecundangi orang setelak itu. Muridnya
mati di depan
hidungnya tanpa ia sanggup menolong.
Lawannya pun hilang
begitu saja.
Malangga, Setawastra dan Wisang Geni
merasakan
jantungnya berdegup kencang. Benturan tenaga
dengan
Kidung Maut membuat tenaga dalam mereka jadi
tidak
karuan. Mereka duduk semedi mengatur kembali
tenaga
intinya. Padeksa dan Manjangan Puguh masih
bingung dan
takjub. Mereka heran, sebab jelas-jelas
Kidung Maut kena
pukulan telak di punggungnya, pukulan yang
sanggup
menghancurkan gajah sekali pun ternyata tidak
mempan
terhadap tubuh lawan. Mereka takjub akan
ilmu pinjam
tenagayang dimainkan Kidung Maut. Jelas,
tenaga dalam dan
ringan tubuh lawan sangat tinggi, ditambah
lagi dengan jurusjurus
aneh, membuat orang bertopeng itu tampak
sangat
digdaya.
Drama berdarah itu selesai persis fajar
menyingsing.
Seperti kebiasaan yang diceritakan dari
mulut ke mulut,
Kidung Maut menepati janjinya. Lima kali
kidung dinyanyikan,
lima nyawa melayang
Hebatnya lagi, ia menyisakan saksi hidup
agar dunia
kependekaran mengetahui kehebatan Kidung
Maut.
”Tak ada lawan. Tak ada
tandingan. Ilmu dari segala Ilmu.
”
---ooo0dw0ooo---
Suasana pagi di sekitar bangunan tua itu
sepi dan lengang.
Tak terdengar kicau burung. Seakan makhluk
unggas itu ikut
berdukacita. Seakan ikut sedih atas malapetaka
yang ditabur
Kidung Maut tadi malam.
Wisang Geni masih membayangkan Rorowangi
yang cantik.
Rorowangi yang menangisi kematian adiknya.
Rorowangi yang
memandangnya dengan penuh rasa terimakasih.
Ia juga tak
bisa melupakan pengalaman mengerikan itu.
Selama ini ia
telah melewati banyak pertarungan namun
sepak terjang
musuh seperti Kidung Maut tak akan pernah
bisa ia lupakan.
Telengas, keji dan sangat lihai.
Geni masih memandangi rombongan Pujawati,
Rorowangi
dan dua murid Mahameru yang menghilang di balik
hutan.
Geni merasa ada sesuatu dari dirinya yang
terbawa
Rorowangi. Ia kesengsem akan kecantikan
gadis itu.
Wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang
montok. Geni punya
perasaan kuat si gadis punya perhatian
padanya. Ia sering
memergoki Rorowangi sedang memandangnya. Dan
saat mata
mereka bentrok, gadis itu melempar senyum
dengan mata
yang berkedip-kedip. ”Ia juga ada perhatian
padaku, tetapi
apakah ia sudah punya hubungan dengan
Setawastra, murid
Mahameru itu?” gumamnya dalam hati.
Dalam keadaan termenung, Geni dikejutkan
panggilan
Padeksa. ”Geni, tadi saat kau diserang,
tiba-tiba dia
membatalkan serangannya padamu, apa yang
terjadi ?”
Wisang Geni tak bisa menjawab. Ia sendiri
tak mengerti
mengapa Kidung Maut membatalkan serangannya.
Kalau saja
serangan itu dilanjutkan, ia tak yakin bisa
menghindari maut.
”Waktu itu aku siap dengan kuda-kuda
Mangapeksa (Menanti)
dan siap menyerang dengan jurus Angluputana
(Yang Akan
Membebaskan) dan Sumpetutit (Jungkir dan
Berputar), tetapi
aku tak mengerti mengapa ia batal menyerang,
ia
mengeluarkan suara ’iiihhh’ seperti orang
terkejut. Aku tak
tahu apa yang membuat ia terkejut.”
Manjangan Puguh memotong penuturan Geni.
”Coba, nak,
kamu ingat-ingat suara orang itu, suara
lelaki atau
perempuan?”
”Orang itu memakai topeng, wajahnya tak
terlihat,
potongan tubuh pun tersembunyi dalam jubah
panjangnya.
Waktu ia menyanyikan kidung agak sulit
membedakan
suaranya, tetapi tadi malam aku yakin
mendengar suara
kaget, suaranya mirip suara perempuan. Dia
pasti seorang
perempuan, guru.”
Manjangan Puguh mengerutkan kening, tampak
ia berpikir
keras. ”Waktu benturan tenaga jarak jauh aku
mencium
bebauan yang biasa dipakai kaum wanita,
wewangian bunga,
apakah kau juga mencium bebauan serupa, Ki?”
Padeksa yang ditanya tertawa lirih. ”Aku tak
pernah tahu
bagaimana bebauan perempuan, tetapi memang
aku sempat
mencium wangi-wangian segar semacam bebauan
bunga.”
”Tak salah lagi, ia pasti perempuan!” teriak
Manjangan
Puguh.
”Benar guru, aku juga mencium wewangian itu.
Tetapi apa
bedanya perempuan atau lelaki, yang pasti ia
seorang
pembunuh keji yang berilmu tinggi.”
”Ada bedanya bagiku, Geni. Itu bukti bahwa
Kidung Maut
bukan seseorang yang kukenal dan yang sangat
kuhormati!”
”Siapa yang kau maksud, guru ?”
Manjangan Puguh memandang langit. Suaranya
agak
serak. ”Kejadiannya duapuluh lima tahun
silam di tengah
perang Ganter. Berdua kakang Gubar Baleman,
aku bertarung
lawan jago kepercayaan Ken Arok, pendekar
Himalaya,
Lahagawe dari India.
”Hebat ilmu pendekar itu, kami berdua
terdesak hebat
Nyawa kami sudah di ujung rambut. Mendadak
datang
pendekar penolong itu. Keduanya kemudian
terlibat tarung,
sungguh perkelahian pendekar kelas utama.
Sebelum dan
sesudahnya aku tak pernah melihat ada
pertarungan tingkat
tinggi seperti itu lagi. Tidak sampai limapuluh
jurus penolong
itu sudah menghajar pendekar Lahagawe muntah
darah.
Pendekar penolong kemudian seperti terbang
melayang pergi
membawa serta Baginda Raja lolos dari
kepungan lawan. Dia
berlalu sambil mendendangkan kidung Jurus
Penakluk Raja
itu.”
”Syairnya sama, guru ?”
”Syairnya sama persis. Hanya ada satu bait
awal yang
dinyanyikan pendekar penolong tetapi yang
tidak
ditembangkan si Kidung Maut tadi malam.
Kidung itu sangat
terkenal pada masa itu tetapi belakangan,
setelah duapuluh
lima tahun berlalu, orang mulai lupa.
Lengkapnya begini,
Ilmu dari seberang,
Tak boleh tepuk dada,
Di Tanah Jawa ini,
Dari Gunung Lejar,
Jurus Penakluk Raja,
Ilmu dari segala ilmu,
Melenggang ke Barat,
Meluruk ke Timur,
Merangsak ke Utara,
Merantau ke Selatan,
Tak ada lawan,
Tak ada tandingan.
Ilmu dari segala ilmu
”Tadi malam Kidung Maut tidak menembangkan
bait awal
Ilmu dari seberang, tak boleh tepuk dada, di
Tanah Jawa ini.
Selain itu pembunuh tadi seorang perempuan,
berarti ia bukan
pendekar penolongku. Nah pertanyaannya
sekarang, kalau ia
bukan penolongku itu, lantas siapa dia ?
Mengapa ia selalu
menembang kidung Penakluk Raja setiap
melakukan
pembunuhan keji?”
Suasana lengang seketika, Padeksa kemudian
angkat
bicara. ”Sebenarnya kidung Penakluk Raja itu
konon gubahan
kakek Sepuh Suryajagad, tokoh sepuh dan
legenda hidup
perguruan kami. Dan hanya sedikit orang
terutama di
kalangan murid utama saja yang mengerti dan
hafal kidung
Penakluk Raja.” Padeksa berhenti sejenak
lalu melanjutkan.
”Ki Manjangan, penting sekali mengetahui
pendekar penolong
itu, kau satu-satunya saksi hidup yang
pernah menyaksikan
sepak terjangnya dalam perang Ganter,
mungkin dari jurus
ilmu silatnya bisa kita ketahui apakah dia
Eyang Sepuh
Suryajagad atau bukan, dan apa hubungannya
dengan si
pembunuh itu?”
”Sudah duapuluh lima tahun berlalu, setiap
kupikirkan tetap
tak ada jawaban. Aku Cuma merasa ilmu silat
kakek penolong
itu sangat tinggi dan sulit diukur.
Terkadang aku merasa tak
asing dengan gerak silatnya, tapi makin
kupikir makin aku tak
mengenalnya.”
Kening Padeksa berkerut, tanda ia berpikir
keras.
”Tampaknya ini rahasia besar yang menyangkut
dunia
kependekaran kita. Coba kau pusatkan pikiran
dan mengingat
kembali kejadian itu dan menceritakannya
secara rinci.
Mungkin bisa terpecahkan.”
Manjangan Puguh duduk bersila, dua tangannya
sedekap
dengan sepasang telunjuk menempel ujung
hidungnya yang
mancung. Ia memejamkan mata. Tidak mudah
mengingat
kejadian yang sudah duapuluh lima tahun
berlalu. Kecuali jika
kejadiannya memang sangat berkesan. Sebab
jika kejadiannya
sangat berkesan akan menempel ketat di alam
bawah sadar.
Untuk mengingatnya seseorang memerlukan
konsentrasi
penuh menggali ingatan atas kejadian itu.
Kejadiannya
memang sangat berkesan bagi Manjangan Puguh.
Ada
seorang wanita cantik terlibat di dalamnya,
wanita yang
sangat dicintainya, Sukesih. Wanita itu
tewas bersama semua
sahabat dan kenalan dekatnya, bahkan mereka
yang sudah
dianggap saudara
Pendekar jangkung ini kemudian menceritakan
apa yang
dilihatnya. Pertarungan itu sangat dahsyat.
Kedua pendekar
itu memeragakan ilmu silat yang sulit dicari
tandingannya.
Pendekar penolong berjubah putih dengan
anggun
mengalahkan pendekar Lahagawe yang beringas
dan penuh
amarah. Pertarungan itu seperti terpampang
kembali di depan
matanya. Dia menceritakan dengan rinci
setiap gerak yang
dimainkan pendekar jubah putih itu.
Padeksa mendengar dengan serius, keningnya
berkerut.
Orangtua ini tampak berfikir keras.
Tiba-tiba dia bangkit dari
duduk melangkah, tangan dan kakinya
memainkan jurus.
”Gerak menepuk dua tangan lalu satu tangan
mencengkeram ke depan itu pasti gerak awal
jurus Sumujug
Tundaghata (Menukik dan Menyerang Mematuk).
Tangan kiri
menggaruk belakang kepala dan tangan kanan
ditekuk dan
diputar mengarah bumi itu jurus Parasada
Atishasha (Menara
Menjulang). Pinggang digoyang, tangan kiri
mendorong
pukulan lawan, tangan kanan menyusup ke
depan mengelus
dada lawan, itu gerakan akhir dari Sumujug
Tundaghata. Itu
peragaan jurus biasa ilmu Garudamukha,
tetapi karena digelar
dengan tenaga dalam yang tinggi luar biasa,
maka jurus
menjadi sangat ampuh. Siapa lagi jikalau
bukan Eyang Sepuh
Suryajagad, satu-satunya orang yang bisa
menggelar
Garudamukha sehebat itu”
Wisang Geni tak bisa menyembunyikan
keinginan tahunya.
”Siapa beliau, siapa Eyang Sepuh
Suryajagad?”
Padeksa tak menjawab. Ia berdiri seperti
patung,
pandangan menerawang jauh. Manjangan Puguh
menarik
lengan muridnya. ”Geni, biarkan dia
sendirian, ia sedang
memikirkan jurus tadi.”
Keduanya duduk. Geni menatap gurunya
lekat-lekat
Manjangan Puguh menghela napas. ”Geni, hidup
memang
banyak tantangan, apalagi hidup di dunia
kependekaran yang
serba keras dan kejam di mana hanya hukum
rimba yang
berlaku, siapa kuat dia jadi raja, siapa
lemah dia jadi budak
atau mati ditindas. Sering kita dilanda
keresahan, bentrokan,
marah, kecewa karena dua hal pokok.Tidak
memperoleh apa
yang kita inginkan. Atau memperoleh sesuatu
yang tidak kita
inginkan.
”Geni, aku dan ayahmu, beserta kangmas Gubar
Baleman
dan kangmas Mahisa Walungan sudah angkat
saudara. Kami
bertiga menjadi inti pasukan elit keraton
yang dipimpin
kangmas Mahisa Walunganyang tidak lain
adalah adik Baginda
Raja Kertajaya. Kami punya rencana besar
yakni mencetak
seorang pendekar yang sangat hebat dan
menjadi nomor satu
di dunia kependekaran. Kami sepakat memilih
kamu Sejak
bayi, tubuhmu dibentuk dengan memberimu
bekal kekuatan,
jamu unggul dari gurumu Waragang, jamu dan
makanan
khusus menjadi santapanmu sehari-hari, obat
anti racun,
dasar tenaga dalam, dasar ilmu ringan tubuh.
Kamu dilatih
khusus.”
”Aku masih ingat, guru, waktu kau melatih
aku berlari dan
gelantungan di atas pohon. Ayah mengajari
aku latihan tenaga
dalam Paman Baleman melatih kuda-kuda. Aku
ingat
semuanya.”
Manjangan Puguh melanjutkan, ”tetapi perang
Ganter telah
mengubah semuanya, jalan hidupmu, jalan
hidupku, semua
berubah, tidak seperti yang kita rencanakan.
Ayahmu dan
pamanmu Gubar Baleman, juga ibumu dan
saudara lainnya,
semua tewas di Ganter.”
Wajah Geni tampak keras, ia memandang tajam
gurunya,
”Guru, aku sudah tahu orangtuaku tewas di
Ganter, tetapi
siapa orang yang membunuh mereka?”
Manjangan Puguh memandang Geni. Dalam mata
muridnya
ia melihat pancaran bara api. Percikan marah
dan dendam
kesumat yang tak terukur besarnya. Manjangan
Puguh
menghela napas gundah. ”Sebelumnya tidak
pernah
terpikirkan bahwa kita akan kalah dalam
perang. Sebelum
menuju Ganter, kami mendengar berita Lemah
Tulis
dibumihanguskan pasukan musuh. Kamu tahu
Geni, sebagian
besar hulubalang keraton adalah murid Lemah
Tulis, sehingga
berita itu sangat memukul mental pasukan
keraton. Dendam
dan kekhawatiran berbaur dalam diri kami.
Ternyata pasukan
Arok sangat tangguh, banyak pendekar berilmu
silat tinggi
yang membelanya. Satu demi satu hulubalang
Kediri mati
Tetapi kami pantang menyerah. Meskipun
terdesak, kami
merasa tenang sebab Baginda Raja sudah lolos
ditolong Eyang
Sepuh Suryajagad. Kami akan tarung sampai
tetes darah
terakhir.”
Kejadian itu berputar kembali di depan mata
Manjangan
Puguh. Ia melihat Sukesih, ibu Wisang Geni,
bersama
suaminya Gajah Kuning bertarung bahu
membahu. Satu hal
yang tidak akan pernah ia ceritakan kepada
Geni bahkan
kepada siapa pun, percintaannya dan
perselingkuhannya
dengan Sukesih. Ia mencintai wanita cantik
itu saat masih
gadis belia dan tak pernah luntur sampai
ajal menjauhkan
kekasihnya dari dekapannya.
Dia melihat panah nancap di pundak
kekasihnya. Dia
melihat tombak yang nancap di dada
kekasihnya, dada yang
sering dibelai dandikecupnya. Dia mendengar
kembali seruan
kekasihnya. ”Puguh pergi cepat selamatkan anakku.
Cepat
pergi, ingat janjimu.” Kemudian seruan yang
kedua, ”Pergi
Mas Puguh, pergilah, tak ada gunanya
bertahan, kita sudah
kalah.”
Ketika dia melesat pergi dia masih menoleh
ke belakang.
Dia melihat Kalayawana menghantam kepala
Gajah Kuning.
Sekali lagi dia menoleh dan melihat tinju
Kalayawana
menghantam dada Sukesih. Dia berlari sambil
menangis. Dia
menangis sepanjang tahun, dia sedih lantaran
tak bisa
berbuat apa-apa dan hanya bisa menyaksikan
perempuan
yang dicintainya itu mati.
”Aku mencari-cari pembunuh ibumu itu. Tapi
dia seperti
hilang dari bumi. Semula dia berada di
Tumapel, aku juga
mencarinya di kuburan Gondomayu tetapi tak
pernah bisa
menemukannya.”
”Guru, kamu menyebut kuburan Gondomayu,
apakah dia si
Penguasa Kegelapan dari Gondomayu yang bernama
Kalayawana?”
”Benar, Kalayawana!”
”Baik, aku akan mencari balas, hutang darah
bayar darah,
hutang nyawa bayar nyawa.”
”Geni kamu tak boleh membalas dendam
sekarang, itu
sama dengan mengantar nyawamu, ilmu silatnya
sangat
tinggi. Itu sebabnya kakek gurumu Padeksa
tidak
memberitahumu tentang Kalayawana.”
Wisang Geni tertawa lirih.
”Tetapi kamu telah memberitahu, terimakasih
guru!”
”Geni, aku tadi kelepasan bicara Sebenarnya
belum saatnya
kuberitahu. Kamu harus janji padaku, jangan
balas dendam
sebelum ilmu silatmu maju pesat.
Berjanjilah!”
”Soal itu, aku tak bisa menjanjikan apa-apa,
guru”
Wisang Geni melihat ada penyesalan di mata
gurunya, dia
bertanya lirih sambil memegang tangan
gurunya. ”Guru, kamu
mencintai ibuku dan ibu mencintaimu,
benarkah?”
Puguh terkejut. Bagaikan disambar petir. Dia
gagap
menjawab, ”Kamu tahu? Dari mana kamu tahu?”
Geni tersenyum, menjawab dengan senyum ”Aku
pernah
melihat kalian berdua memasuki goa itu.”
”Kamu membuntuti kami? Lalu kamu memberitahu
ayahmu?”
Melihat Geni menggeleng kepala, Puguh
bertanya lagi,
”Mengapa tidak lapor pada ayahmu?”
Geni menggeleng sambil senyum menggoda. ”Itu
biasa.
Ayah dan ibu saling menyintai, jika tidak
mana mungkin aku
lahir. Ibu dan guru saling mencintai, jika
tidak mana mungkin
mau berduaan dan bercinta di goa itu.
Drupadi mencintai lima
Pandawa sedangkan ibu mencintai dua
pendekar, jadi kupikir
itu hal yang biasa. Lagipula aku menyayangi
ayah, ibu dan
juga kamu guru”
Manjangan Puguh memandang muridnya dengan
kagum.
Dia melihat seorang muda yang jujur, cerdas
dan berpikir
jernih. Dia mengalihkan pembicaraan. ”Kamu
ingat, selain
Kalayawana, juga Tambapreto mengeroyok
kangmas Gubar
Baleman. Dua musuh lainnya Bango Samparan
dan Sempani
membunuh kangmas Mahisa Walungan dan
Sepasang Iblis
Sapikerep membunuh pamanmu Kebo Ijo.”
Sepasang mata Wisang Geni memancarkan sinar
penuh
dendam.
Tangannya terkepal, menahan amarah. Dia
meyakinkan
dirinya ”Aku harus rajin berlatih, karena
banyak hutang nyawa
yang harus kutagih. Aku akan mencari kalian,
Kalayawana,
Tambapreto, Sempani, Bango Samparan, Iblis
Sapikerep.
Hutang darah bayar darah, hutang nyawa bayar
nyawa!”
-ooo0dw0ooo-
Cinta Pertama
Padeksa menghela napas, ia gundah. Sampai
hari ini,
duapuluh lima tahun berlalu, ia belum bisa
menyelesaikan
tugas yang diembankan Bergawa padanya. Ia
belum
menemukan adik perguruan Gajah Watu dan juga
keturunan
Nyi Ageng Kili Suci. Ia belum tahu bagaimana
caranya bisa
mendapatkan jurus pusaka Garudamukha
Prasidha. Ia juga
belum menemukan murid pengkhianat yang
menabur racun
pelemas tulang. Ia belum membalas dendam
meski setiap
mengingat tragedi berdarah itu, amarahnya
berkobar. Cuma
satu hal yang membuatnya senang, Wisang Geni
telah
menguasai seluruh ilmu silatyang dia
ajarkan, duabelas jurus
Garudamukha yang berintikan tenaga gama
(amarah) dan
tujuh jurus Garudamukha Prasidha.
0 komentar:
Posting Komentar