Hari itu setelah kejadian di reruntuhan
rumah tua, Padeksa
menyerahkan Wisang Geni kepada Manjangan
Puguh untuk
menyempurnakan ilmu andalan Merapi, pukulan
Bang Bang
Alum Alum dan ilmu ringan tubuh Waringin
Sungsang.
”Geni, ada dua murid kakang Bergawayang
selamat, namun
entah berada di mana sekarang. Lembu Agra,
tak mungkin
mencapai kesempurnaan ilmu silat lantaran
cedera tenaga
dalam. Walang Wulan, ia seorang wanita
sehingga
kemajuannya terbatas. Mereka adalah adik
perguruan ayah
ibumu Dibanding keduanya, kamu calon paling
kuat untuk
menjadi ketua Lemah Tulis. Tapi kamu harus
berlatih keras.
Ingat kamu harus temukan rahasia Kinanti
Prasidha yang
berada di tangan keturunan Nyi Ageng Kili
Suci, kamu gabung
dengan tujuh jurus Garudamukha Prasidha yang
kuajarkan,
maka Garudamukha Prasidha akan sempurna dan
menjadi
jurus dahsyat, jurus yang menjadi pusaka
perguruan kita.
Kamu cari dan temukan pusaka itu!”
Padeksa sebenarnya adalah kakek guru bagi
Wisang Geni
namun belakangan justru menjadi guru
Orangtua Geni, Gajah
Kuning dan Sukesih, murid Bergawa yakni
kakak perguruan
Padeksa. Duapuluh lima tahun lalu, setelah
menyelamatkan
Geni dari kepungan pasukan Tumapel, Puguh
menyerahkan
Geni untuk dididik Padeksa. Itu sebab Geni
terbiasa
memanggil Padeksa dengan kakek meski
terkadang
menyebutnya guru Jika melihat hubungan lewat
orangtuanya,
Geni memang pantas memanggil kakek guru Tapi
jika melihat
bahwa selama duapuluh lima tahun Padeksa
mengajarinya
ilmu silat, maka Geni boleh saja memanggil
guru
”Kakek, kau sudah seperti kakek sungguhan
yang
memelihara aku sejak kecil, kamu juga
guruku, maka sudah
kewajibanku melayani dan meladenimu Setelah
selesai berlatih
dengan guru Puguh aku akan mencarimu Tetapi
guru, kamu
kan masih ketua Lemah Tulis, kenapa harus
mencari ketua
lain.”
”Aku hanya ketua sementara, itu peraturan
perguruan kita
bahwa ketua hanya diturunkan dalam setiap
generasi. Setelah
Bergawa dan aku, maka generasi berikut
adalah generasi
kamu, Agra dan Wulan. Tapi sudah kukatakan
tadi, kamu yang
paling berbakat, cerdas dan memang sudah
dipersiapkan sejak
kecil oleh orangtua dan paman-pamanmu Hanya
kamu harus
berjuang dan berlatih keras untuk jabatan
terhormat itu.”
Wisang Geni merunduk. Malu-malu dia berkata
lirih, ”Aku
belum tahu banyak asal-usul perguruan kita
juga perihal
Eyang Sepuh Suryajagad dan Nyi Ageng Kili
Suci, siapa
mereka?” dia melanjutkan. Garudamukha
Prasidha itu apakah
sedemikian hebatnya sehingga menjadi ilmu
pusaka
perguruan kita. Kek, cerita guru Puguh
tentang pertarungan
Eyang Sepuh Suryajagad di Ganter itu, tentu
beliau
menggunakan jurus Prasidha.”
”Benar. Itu sebab sangat penting untuk
menemukan
separuh Prasidha itu, sebab tanpa jurus
Garudamukha
Prasidha yang utuh sempurna sulit bag; kamu
menjadi
pendekar utama dan mengangkat kembali nama
dan citra
Lemah Tulis. Pergilah Geni, jangan ragu,
lelaki sejati hanya
punya satu tujuan hidup. Pandanganmu harus
ke depan,
jangan melihat belakang, jangan melihat
samping, tetapi
pandang ke depan, di situ tujuanmu ke situ
kamu pergi
Pergilah, gurumu Puguh sudah menantimu di
luar. Ada satu
yang penting, sekarang ini jangan mengaku
murid Lemah
Tulis, sebab banyak musuh, aku yakin suatu
waktu nanti kita
semua akan bangga sebagai murid Lemah Tulis
saat di mana
kita sudah memiliki seorang ketua yang ilmu
silatnya disegani
banyak orang. Sekarang pergilah.”
---ooo0dw0ooo---
Daerah belahan Timur di kaki gunung Arjuno
jarang
dikunjungi orang. Hutannya rapat padat
dengan pepohonan
yang menjulang tinggi. Pagi itu udara masih
dingin. Kabut pun
masih tebal. Suasana sunyi dan sepi. Hanya
terdengar suara
kicau burung dan gemuruh air terjun. Air
terjun mencurah dari
tempat yang cukup tinggi dan terjal. Curah
air itu bagai
tonggak langit, membentuk sungai yang airnya
mengalir
deras. Uap air menutupi pemandangan di
sekitar air terjun,
sehingga tidak terlihat adanya seorang
lelaki sedang berlatih
silat di pusaran air terjun. Dia Wisang
Geni.
Geni bergerak lincah berloncatan di
bebatuan. Sekali-sekali
ia menerjang curah air yang bagaikan tembok
tebal
Menerobos tirai air yang deras, sepertinya
ia tak mengalami
kesulitan. Padahal air yang terjun dari
tebing puluhan tombak
tingginya tentu sangat dahsyat kekuatannya.
Ia berlatih
seharian. Ketika matahari sudah bergeser ke
Barat, senja
semakin mendekat, Geni melompat ke sebuah
batu Ia semedi
di tengah uap air yang tebal, basah kuyup.
Ia bertelanjang
dada, hanya mengenakan celana sebatas lutut.
Setelah berpisah dari Padeksa, Manjangan
Puguh
membawa Geni berlatih di air terjun. Satu
minggu ia
mengajarkan ilmunya, Puguh kemudian
meninggalkan Geni.
"Kamu tinggal membiasakan jurus-jurus
itu menyatu dengan
gerakanmu Paling tidak kamu harus berlatih
satu bulan lagi di
sini. Dan aku tidak bisa menemanimu terus,
aku harus pergi
mencari Eyang Sepuh Suryajagad dan keturunan
Nyi Ageng
Kili Suci, jika ketemu, aku akan membawa
kamuke sana.
Sekarang kamu berlatih saja, setelah satu
bulan berlatih,
kamu boleh pergi mengembara ke mana kamu
mau. Tetapi
ingat pesan kakekmu Padeksa, jangan
memperkenalkan
dirimu sebagai murid Lemah Tulis."
Batas waktu satu bulan yang diberikan
Manjangan Puguh
malah menantang Geni untuk menambah waktu
latihannya.
Dua bulan Geni berdiam di kaki gunung
Arjuno. Meskipun
tidak sehebat gurunya, tetapi Geni sudah
menguasai ilmu
ringan tubuh yang tidak ada duanya di kolong
langit Waringin
Sungsang dan jurus tangan kosong Bang Bang
Alum Alum.
Ilmu andalan Manjangan Puguh, yang
ditenmanya dari guru
Sagotra, pendekar dari gunung Merapi.
Setelah semedi, Geni bangkit lagi meneruskan
lalihaiuiya.
Ia tidak melihat kehadiran seorang gadis di
tepi sungai.
Gadis itu melangkah santai di tepi sungai.
Ia duduk di
sebuah batu di pinggir sungai Kakinya
dijulurkan ke dalam air.
Ia menjerit kecil, dinginnya air terasa
nikmat. Ia berdiri sambil
merentang tangan, menengadah memandang air
terjun dan
menikmati pemandangan indah di
sekelilingnya. Ia tidak
melihat Geni yang berada di dalam kumpulan
uap air yang
tebal.
Gadis itu masih berdiri di batu di tepi
sungai merasakan
sejuknya angin pegunungan. Wajahnya yang
cantik basah
dielus angin sepoi yang membawa serta uap
air. Hidungnya
yang bangir kembang kempis menghirup nafas
panjang
seakan hendak menelan semua udara basah itu
ke dalam
parunya. Udara itu dihembuskan dari mulurnya
yang indah
berbentuk gondewa. Lehernya yang jenjang
tertutup rambut
yang basah yang terjulai sampai di
pundaknya. Ia seorang
gadis muda usia sekitar duapuluh tahun,
jangkung dengan
kaki langsing dan agak panjang. Tubuhnya
kuning sawo,
tampak langsing, sintal dan berisi. Ia benar-benar
cantik
alamiah.
Tak ada suara lain kecuali gemuruh air
terjun dan suara
binatang dari hutan sekitar. Mendadak
terdengar suara
tertawa keras diikuti kesiuran angin. Sosok
bayangan bergerak
pesat. Bagai turun dari langit seorang
lelaki sudah berdiri di
depan si gadis. Ia kurus, kepalanya botak.
Kumis dan
cambangnya lebat. Sikapnya kurang ajar.
Matanya jelalatan
menelusuri sekujur tubuh si gadis.
"Wong ayu, wong ayu, sudah lama
kubuntuti kamu Nah
sekarang hanya kita berdua di tempat sunyi
dan sepi ini.
Bagaimana dengan lamaranku tempo hari, kamu
jangan malumalu,
apalagi di sini kan tak ada orang, kangmas
ini sudah tak
sanggup menahan rindu."
Si gadis terkejut sesaat. Tetapi bagai
tersentak ia lantas
menyerang gencar. Dua jurus berturutan
dilepasnya. "Bangsat
keparat busuk, rupanya kamu belum mati waktu
itu. Hari ini
kubikin kamu menyesali hidupmu, matilah kamu
bangsat!" Ia
menyerang dengan serentetan pukulan dan
tendangan yang
mendatangkan angin keras pertanda besarnya
tenaga yang
digunakan.
Lelaki brewok itu tertawa. "Ajal belum
mau mencabut
nyawaku, wong ayu. Dewa maut itu berkata, ia
baru akan
mencabut nyawaku setelah aku mengawini kamu
yang cantik
dan montok. Sekarang saatnya aku mengawini
dan menikmati
tubuhmu, wong ayu"
Gadis itu tidak meladeni omongan lawan. Ia
terus
mencecer dengan serangan dahsyat. Tetapi
lelaki brewok itu
berkelit lincah meskipun batu besar tempat
ia berpijak, licin
dan berlumut. Lelaki itu juga tak bisa
berbuat banyak. Tampak
ilmu silat keduanya imbang. Si gadis lebih
unggul dalam
ringan tubuh, namun masih kalah dalam tenaga
pukulan.
"Tak usah heran wong ayu, sekarang ilmu
silat kangmasmu
ini, Kalamasura, makin maju. Sengaja aku
memperdalam
ilmu dari Romo Guru, supaya sebagai suami
aku bisa meladeni
kemauanmu tiap malam, iya kan wong ayu"
Tigapuluh jurus berlalu. Perkelahian
berlanjut ke dekat air
terjun, namun masih di tepi sungai Keduanya
basah kuyup,
kecipratan uap air. Baju si gadis basah
nempel ketat di tubuh
memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah.
Lelaki itu
semakin terangsang. "Hai wong ayu,
setahun kita berpisah,
ternyata kamu semakin montok, setahun aku
kasmaran
memikirkan kamu, sekarang aku harus memiliki
kamu Harus!
Oh wong ayu, aku makin kasmaran."
Dua kali tamparan menerpa bahu dan pundak
Kalamasura
membuatnya meringis kesakitan. Mendadak ia
mengubah
jurus silatnya, "Wong ayu, sudah cukup
kita main-main."
Berkata demikian ia menyambut pukulan si
gadis dengan
kepalan. Kalah tenaga dalam, si gadis tak
mau adu pukulan. Ia
mengubah jurus, kepalan berubah menjadi telapak
tangan
terbuka. Ia niat menampar pergelangan tangan
lawan. Tibatiba
si gadis melihat sinar gemerlap di tangan
Kalamasura
Paku yang berkilat oleh matahari senja.
Jarak sudah terlampau
dekat, ia sulit menghindar.
Si gadis dengan cerdik dan sebat menggerakkan
pergelangan tangan ke bawah lalu ke atas,
niat menyampok
tangan lawan. Kalamasura licik, ia sudah
memikirkan
perangkap ini. Ia membiarkan gerakan si
gadis. Saat yang
tepat ia menggentak telapak tangannya, dua
paku melayang
secepat kilat. Gadis itu tak pernah mengira
lawan akan
menyambit dengan paku. Ia mengelak, tetapi
terlambat. Satu
paku lolos, satu lainnya nancap di dada
dekat pundak.
Kalamasura berteriak girang, "Kena kamu
wong ayu, dan
ini paku berikutnya supaya kamu tak bisa
lari." Tiga paku
melayang ke arah kaki. Si gadis mengelak
dengan gerak tubuh
limbung. Dua lolos, satu lainnya nancap di
paha.
"Tak usah takut wong ayu, itu memang
paku racun labalaba,
tapi kangmas punya pemunahnya Tanpa obat
pemunah
kamu akan mati dalam waktu satu hari. Sekarang,
menyerah
saja. Memang tidak enak mengawini orang
pingsan, tetapi apa
boleh buat daripada membiarkan kamu lolos
lagi."
Gadis itu merasa gerak kakinya agak kaku,
rupanya racun
sudali mulai bekerja. Sungguh cepat sekali
proses kerja racun
itu. Gadis berpikir lebih baik mati daripada
diperkosa. "Aku
adu jiwa denganmu, lebih baik aku mati, kamu
bangsat
biadab." Sambil berkata ia melancarkan
dua jurus menyerang
tanpa mempedulikan pertahanan lagi.
Tujuannya cuma satu,
membunuh lelaki bernama Kalamasura itu.
"Lebih baik mati
daripada ternoda," gumamnya.
Meski ilmunya setingkat, mau tak mau
Kalamasura terdesak
hebat. Ia cuma bisa menangkis. Dua pukulan
menghantam
telak dadanya Terasa gejolak darah, rasanya
mual. Ia tahu ia
terluka dalam. Sebenarnya tak semudah itu ia
terluka
Keduanya imbang, si gadis sudah terluka kena
paku beracun
namun dengan serangan nekad justru
kekuatannya berlipat.
Di lain pihak Kalamasura tarung setengah
hati, tak mau
menurunkan tangan maut. Lelaki brewok ini
terhuyung
limbung. Dadanya sakit, nafas sesak. Tapi ia
tersenyum,
dilihatnya si gadis ikut terhuyung
sempoyongan. Racun sudah
bekerja. "Ia segera akan jatuh tak
berdaya," gumam
Kalamasura dengan menahan sakit di dadanya.
Racun sudah bekerja. Gadis itu merasa
pusing.
Pandangannya berputar dan kabur. Ia
menggigit bibirnya,
"Aku tak boleh pingsan, aku harus tetap
sadar."
Pada saat kritis bagi si gadis, mendadak
sebuah bayangan
masuk pertarungan. "Laki-laki pengecut.
Tidak pantas
bertarung dengan perempuan, menggunakan cara
membokong." Tanpa basa-basi Wisang Geni
melancarkan
jurus Gora Andaka (Banteng Besar Hamuk) dari
Bang Bang
Alum Alumyang sudah sempurna ia kuasai.
Hebat! Kalamasarura yang sudah terluka,
kaget setengah
mati, dia berupaya menangkis serangan Geni.
Tetapi sia-sia,
pukulan Geni menerpa bahunya. Ia kaget.
Belum sempat ia
bebenah diri, jurus susulan Geni Nyakra
Manggilingan (Selalu
Berputar Bagai Kincir) telak menghajar perut
dan lengannya.
Kalamasura muntah darah! Seketika nyalinya
terbang. Gila!
Hanya dalam dua jurus ia dihajar tanpa
sempat membela diri.
Lawan ini bisa membunuhnya. Ia tak berpikir
dua kali lagi, ia
kabur secepatnya.
Ada alasan mengapa Geni begitu cepat memetik
hasil,
hanya dua jurus, Kalamasura langsung terluka
dan kabur.
Pertama, Kalamasura sudah terluka oleh
pukulan si gadis.
Kedua, Geni menyerang ganas tanpa memberi
kesempatan.
Ketiga, hebatnya jurus Bang Bang Alum Alum
yang baru
selesai ia kuasai.
Wisang Geni terpesona akan ilmunya tadi. Ia
baru pertama
kali menggunakan jurus ciptaan pendekar
Merapi dan hasilnya
sungguh luar biasa. Dari gerakannya bisa
diukur bahwa
lawannya tadi bukan sembarang orang namun
toh bisa ia lukai
dalam dua jurus. Saat itu Geni melihat si
gadis sempoyongan.
Sebelum terjungkal ke dalam sungai, Geni
sigap menangkap
lengannya.
Mendadak gadis itu menyerangnya dengan
pukulan ganas,
mengarah mata. Geni terkesiap, sama sekali
tak menduga
akan diserang. Untung saja keracunan membuat
pukulan si
gadis tak bertenaga. Geni menangkis dengan
tenaga ringan,
takut si gadis terluka.
Si gadis sempoyongan. Pingsan. Geni meraih
pinggangnya,
mendudukkannya di atas batu dengan hati-hati
Ia menotok
beberapa titik jalan darah di punggung dan
leher. Gadis itu
sadar. Ia berontak. Geni berkata lirih.
"Nona, kamu tenang,
aku bukan musuhmu, musuhmu yang tadi sudah
kuusir pergi."
Gadis itu masih mengigau, "Aku tak mau
pingsan."
Geni menjawab sambil menyalurkan tenaga
dalam ke
punggungnya. "Iya, kamu tak boleh
pingsan, aku akan
membantumu dengan tenaga dalam"
Kesadaran si gadis mulai pulih. Ia mengerti
bahwa orang
yang berada di belakangnya sedang
menolongnya.
Kalamasura sudah pergi. Mendadak ia merasa
perutnya mual,
pusingnya makin memabukkan. Ia ingat terkena
serangan
paku Kalamasura "Aku, aku kena senjata
rahasia paku
beracun, katanya racun laba-laba."
Geni terkejut. Ia melompat ke depan si
gadis. "Di mana ?"
Gadis itu melihat samar-samar seorang lelaki
yang tidak
dikenalnya. Ia menunjuk dada dan pahanya. Ia
sudah
setengah sadar. Bibirnya pucat agak membiru
Di bawah
pelupuk matanya, agak gelap.
Memegang nadi dan memandang mata si gadis,
sekejap
saja, Geni mengenal racun yang menyerang si
gadis adalah
racun ganas. "Ulurkan dua
tanganmu" Katanya dalam nada
memerintah. Gadis itu mengikuti perintahnya.
Tanpa
membuang waktu lagi Geni segera mengempos tenaga
dalamnya. Tangannya bergetar penuh tenaga
menempel
tangan si gadis. Mereka duduk berhadapan di
atas batu besar
dekat air terjun. Keduanya saling menatap.
Lalu Geni
memejamkan mata
Gadis itu merasa tenaga yang hangat
menerobos
tangannya. Tenaga itu berputar dan
menyelusur seluruh
tubuhnya. Tadi agak pusing kini ia merasa
lebih baik. Tadi dia
sangat berkeinginan untuk tidur, kini rasa
kantuknya perlahanlahan
lenyap. Ia melihat darahnya yang warnanya
hitam
merembes keluar dari lukanya. Tidak lama
kemudian senjata
semacam paku meloncat keluar dari luka di
dadanya. Agak
lama kemudian satu paku lagi terlempar
keluar dari luka di
pahanya. Diam-diam dia memuji hebatnya
tenaga dalam lakilaki
penolong ini.
Gadis itu meneliti pemuda di hadapannya.
Lelaki itu basah
kuyup. Ia bertelanjang dada, tampak bulu
dadanya yang
lebat. Wajahnya penuh keringat bercampur air
sungai. Hidung
besar agak bangir. Mulurnya lebar, bibirnya
tipis. Tanda ia
punya semangat tinggi dan agak kejam. Rambut
setengah
keriting, gondrong sampai leher. Alisnya
tebal. Secara
keseluruhan ia tidak tergolong tampan,
tetapi punya daya
tarik. Dan dengan tubuhnya yang kekar
atletis, justru lebih
nampak jantan.
Geni membuka mata, si gadis menangkap
seberkas sinar
tajam. Ada kilatan yang membuat si gadis
bergidik. "Orang ini
kejam," pikirnya. Sesaat kemudian sinar
mata itu kembali
ramah dan penuh kedamaian. Ia mengubah
penilaian dalam
hatinya tadi, "Pemuda ini baik dan
luhur budi". Tanpa terasa
gadis itu merasa suka, "Terimakasih,
pendekar, kamu telah
menolong aku," katanya.
"Tunggu dulu, nona, kau belum sembuh
Racun masih
mengeram dalam tubuhmu, berbahaya. Racun
segera
mengganas lagi jika tidak cepat ditolong,
tetapi... bagaimana
ya."
"Kenapa? Katakan saja, aku tidak takut
mati, tadi memang
aku takut, aku takut diperkosa lelaki bejat
itu. Kalau mati, aku
tidak takut mati"
"Bukan mati, tetapi kamu bisa lumpuh.
Racun itu ganas,
harus dikeluarkan dari tubuhmu, setelah itu
kamu minum obat
untuk membersihkan darahmu"
"Bagaimana mengobatinya, apakah kamu
bisa? Apakah
kamu punya obatnya?" Saat itu si gadis
merasa perutnya
mual, "Aku mual, rasanya mau
muntah." Saat berikutnya ia
muntah. Lendir mengandung sedikit darah.
Geni merasa serba salah. "Racun mulai
mengganas. Aku
bisa menolongmu, aku murid seorang ahli pengobatan,
tetapi..."
Gadis itu semakin bingung. "Katakan,
apakah ada syarat
untuk pertolonganmu? Katakan!"
Wajah Geni memerah, agak tersinggung.
"Kamu salah,
nona. Aku menolongmu karena kebetulan ingin
menolong, itu
saja. Aku tidak minta apa-apa sebagai imbalan,
tetapi aku
khawatir kamu salah sangka. Soalnya aku
harus mengisap
darah dari luka kamu, dan luka itu ada di
paha dan dada"
Waktu menyebut paha dan dada, suara Gali
rnenjadi lirih.
"Tetapi kalau tidak ditolong, kamu bisa
lumpuh atau mati."
Wajah gadis ini memerah. Malu. Ia baru tahu
mengapa
pemuda itu kikuk. Lukanya tepat di
perbatasan payudara dan
bahu, untuk mengisap luka artinya pemuda itu
harus meraba
dan melihat buah dadanya. Luka di paha
tempatnya sejengkal
di atas lutut. Ini juga daerah tersembunyi
dari kaum wanita. Ia
berpikir, "Jika lelaki ini tidak datang
menolong tentu aku sudah
diperkosa Kalamasura, dan sudah tentu
harganya jauh
lebihmahal dibanding harus mati. Tetapi
memperlihatkan
bagian tubuh, itu juga perkara besar, aku
bisa malu setiap
ketemu dia."
Mendadak suara Geni terdengar tegas.
"Cepat ambil
keputusan nona, terlambat sedikit saja, akan
semakin sulit
menolongmu"
"Keputusan apa?"
"Mau ditolong atau tidak?"
"Mau, aku mau ditolong."
"Tetapi aku harus mengisap lukamu,
tidak ada jalan lain."
"Kalau begitu kerjakan cepat."
Gadis itu menutup mata.
Geni berkata, "Maaf, aku harus
membopongmu ke bawah
pohon." Ia menyambar tubuh si gadis,
melarikanke tepi hutan.
Senja sudah mulai beralih ke malam. Gadis
itu bersandar di
pangkal pohon, tangannya meraba baju di
bagian dada,
merobeknya sedikit, Ia menunjuk tempat luka
di dadanya,
"Lakukan, tepat di sini lukanya."
Geni menoreh luka dengan keris milik si
gadis. Tangannya
gemetar memegang bagian dekat buah dada,
menempelkan
mulutnya ke bagian yang terluka kemudian
mengisap
darahnya. Aroma keringat tubuh gadis itu dan
bentuk buah
dadanya yang montok kencang membuat perasaan
Geni
menjadi tidak karuan. Geni memantapkan
pikirannya,
mengisap dan menyemburkan darah warna hitam
dan bau
bacin. Dia lakukan itu berulang kali sampai
darah beracun itu
lenyap berganti darah merah normal. Geni
memegang tangan
si gadis, "Kau pijat dan urut di bagian
ini, supaya sisa-sisa
racun keluar semuanya."
Gadis itu memejam mata. "Lakukan
sendiri, kamu lebih
tahu caranya, toh kamu sudah melihat
semuanya, buat apa
aku harus malu-malu lagi. Lakukan saja, eh
siapa namamu
pendekar."
Geni tanpa sadar menjawab,
"Ambara." Geni saat itu
sedang menahan gelora birahinya. Ia menyebut
asal sebut.
Ambara, artinya angkasa. "Aku sedang melayang
di angkasa,
memegang dan mengurut luka di bagian buah
dada yang
kenyal ini," katanya dalam hati.
Gadis itu sedang memejam mata. "Namaku
Sari." Ia
berdiam Nafasnya mulai terasa panas. Sari
mulai terangsang
birahi Ia berusaha memikirkan hal lain untuk
mengalihkan
pikiran. Tiba-tiba Geni berbisik,
"Sudah selesai, kamu tunggu
di sini, aku mencari rumput obat, sebelum
hari gelap."
Sari melihat lelaki itu pergi. Hari memang
sudah hampir
gelap. Tak lama lagi malam akan tiba. Sari
memejamkan
mata. Bagian paling sulit telah dilaluinya.
Ia masih merasa
mukanya panas, nafasnya juga panas. Dadanya
bergemuruh.
Jantungnya berdegup kencang. Ia masih
membayangkan
wajah pemuda penolong itu. "Namanya
Ambara, orangnya
lugu, tidak tampan, tetapi kelihatan jantan,
perkasa." Tanpa
sadar Sari meraba lukanya, seakan mulut yang
panas itu
masih menempel di situ dan tangan itu masih
menekan buah
dadanya.
Dia mencoba mengusir wajah Ambara dengan
menghadirkan wajah pria lain, wajah seorang
lelaki berusia
limapuluhan. "Kangmas Agra, di mana
kamu sekarang, apakah
kamu tidak rindu kepada adikmu ini?"
bisiknya dalam hati.
Tetapi sia-sia, sesaat kemudian wajah Wisang
Geni hadir
kembali mengusir wajah lelaki tadi. Sari
menggumam "Untung
saja tadi aku belum nyebur mandi, kalau
tidak, wuah apa
jadinya."
Tiba-tiba saja ia teringat seseorang, muncul
wajah lelaki
botak, brewok dan berkumis lebat.
Kalamasura! Tanpa sadar
ia berseru "Laki-laki bejat, aku akan
mencarimu, kamu harus
membayar perbuatanmu Tak ada ampun, aku akan
menggunakan segala macam cara untuk
membunuhmu" Ia
bicara sendiri untuk mengusir bayangan Geni.
Tak sampai sepenanakan nasi, saat malam
sudah mulai
gelap, Wisang Geni muncul. "Aku agak
sulit menemukan
rumput yang dua jenis, tetapi untunglah
masih bisa
kutemukan. Ini kamu kunyah, airnya kautelan,
ampasnya
kamu balur di luka. Sekarang aku akan
mengisap luka di
pahamu"
Tanpa disengaja dua pasang mata saling
menatap. Hutan
sudah mulai gelap namun keduanya merasa
rikuh, jantung
berdegup kencang. Ada perasaan
tersembunyiyang dirasakan
keduanya. Geni mengalihkan bicara, "Aku
akan mengobati
luka di pahamu"
Berkata demikian, ia merobek celana di batas
paha,
mengisap lukanya. Seperti cara mengobati
luka di dada,
setelah menyedot darah beracun, ia melabur
dengan obat
dedaunan. "Ki Ambara, kau mahir dalam
ilmu pengobatan dan
juga ilmu silat, tentu guiumu bukan
sembarang orang. Dia
pasti pendekar bernama besar."
Geni merasa gugup. Ia masih terpesona
setelah memegang
paha mulus yang kenyal berotot. Ia berupaya
mengendalikan
birahinya. "Iya," jawabnya
sembarangan.
"Siapa nama gurumu yang hebat, kalau
aku boleh tahu."
Tanpa sadar Sari membekap mulutnya. Ia
merasa kelepasan
bertanya. Pada jaman itu, pergaulan di dunia
pendekar tidak
terikat norma adat istiadat bahkan juga
aturan agama,
hubungan intim lelaki dan wanita bisa
terjadi begitu saja.
Tetapi menanyakan guru seseorang yang baru
dikenal adalah
pertanyaan yang janggal dan aneh, bahkan
agak tabu "Maaf,
tak sengaja," katanya.
"Tidak apa-apa, nona." Mendadak
Geni ingat pesan
Padeksa. "Jangan sembarangan
memperkenalkan diri, jangan
juga memperlihatkan ilmu silatmu Ingat Lemah
Tulis banyak
diintai musuh gelap, musuh yang kita sendiri
tidak tahu."
Tetapi Geni tak mau mengecewakan si gadis,
apalagi si
gadis merasa bersalah menanyakan hal yang
buat sebagian
orang, masih tabu "Ilmuku ini kuperoleh
dari seorang
pendekar aneh, namanya Waragang. Kamu pasti
tak pernah
tahu nama itu sebab memang guruku tak pernah
muncul di
muka umum"
Ia memang tidak berbohong. Waragang, memang
gurunya,
seorang tabib ahli pengobatan di istana
Kediri. Ia mengajar
Geni ilmu pengobatan, meramu dan meminumkan
obat
padanya sejak bayi Itu sebab ketika dewasa,
darahnya
mengandung kekuatan anti racun. Karenanya
Geni tidak
merasa takut mengisap darah beracun dari
luka Sari.
Waragang memang tidak terkenal. Tetapi apa
yang diajarkan
belakangan baru diketahui sebagai ilmu
pengobatan kelas
atas. "Kamu sendiri berasal dari
perguruan mana?"
Sari merasa rikuh. Ia sedang menyembunyikan
jati diri.
"Seorang kakek pertapa dari desa Panawijen,
ia yang
mengajari ilmu silat padaku." Ia tidak
berbohong, ia belajar
ilmu Karma Amamadang dari pertapa itu.
Tetapi yang tidak ia
ceritakan, adalah bahwa ia murid dari
perguruan Lemah Tulis.
Suasana menjadi rikuh dan kaku. Dia
menyodorkan
ramuan, rumput dan daun-daunan. "Nona,
kamu sudah tahu
menggunakan obat ini, dua lembar daun
bersama satu
kumpulan rumput, kamu kunyah, airnya kamu
telan dan
ampasnya labur ke lukamu Ia akan
membersihkan sisa-sisa
racun jikalau memang masih ada."
Selesai menolong si gadis, Geni berpikir
untuk pergi. Tetapi
ada sesuatu yang menghalangi langkahnya. Ia
tak tahu apa
sebabnya. Namun sepertinya ia merasa berat
meninggalkan
gadis bernama Sari itu, atau lebih tepatnya
ia merasa enggan
berpisah.
Tampaknya Sari merasakan hal yang sama, ada
rasa
enggan berpisah. "Setelah ini, setelah
selesai menolong
mengobati aku, apakah dia akan pergi begitu
saja?"
Pertanyaan ini dijawabnya sendiri. "Ya
tentu saja dia harus
pergi, mungkin dia punya urusan yang harus
ia selesaikan,
sedang di sini tak ada lagi yang harus
diperbuatnya, dia sudah
selesai menolong aku, tetapikenapa dia harus
pergi?" Berpikir
begitu wajah Sari memerah. Ia malu. Dalam
hatinya ia
berharap, lelaki itu tetap di sini,
menemaninya.
Sari segera sadar dari pengembaraan pikirannya,
mendengar suara Geni. "Nona, seharusnya
aku pergi
sekarang, tetapi kata guruku, menolong orang
itu harus
sampai tuntas. Kamu memang sudah sembuh dari
keracunan,
namun tenaga dalam belum pulih, paling tidak
kamu butuh
dua hari lagi untuk memulihkan tenagamu Aku
khawatir
musuhmu akan kembali lagi. Apalagi hari
sudah gelap, jadi
kupikir aku akan temani kamu sampai besok
pagi, asal kamu
tidak keberatan dan tidak curiga
padaku."
Sari hampir berteriak saking gembiranya.
Untung saja
karena hari sudah gelap, air mukanya yang
girang tidak
terlihat. Namun tetap saja Sari merasa malu.
"Ki Ambara aku
sangat berterimakasih atas pertolonganmu
Jika kamu tidak
datang, entah apa jadinya aku diperlakukan
penjahat bejat
tadi. Terimakasih kamu telah mengobati
lukaku dan juga
bersedia menemani aku, tetapi apakah tidak
mengganggu
perjalananmu?"
"Ah tidak, aku tidak terburu waktu. Tak
ada sesuatu yang
harus kukerjakan dengan segera. Aku bisa
menemanimu
sepanjang kamu tidak keberatan. Lagipula
pertemuan
Mahameru masih lama, masih ada waktu lima
atau enam
purnama lagi."
Sari memandang lekat lelaki di hadapannya.
"Terus terang
saja aku sangat menyukai lelaki ini, apakah
aku sudah jatuh
cinta? Begitu mudahnya, padahal baru pertama
kali jumpa?"
Pikiran ini membuat wajahnya memerah. Ia
merunduk malu.
Tiba-tiba ia melihat baju di bagian dadanya
robek, hampir
separuh payudaranya nyembul keluar. Ia ingin
menutup
dengan tangannya. Tetapi batal, biarlah, toh
lelaki itu sudah
melihatnya. "Apakah ia menyukai aku,
jatuh cinta padaku?"
Tanpa sadar ia membantah pikirannya tadi,
kata-katanya
keluar begitu saja, "Gila, mana
mungkin!"
Geni terkejut. "Apanya yang gila?"
Sari juga terkejut. "Tidak, aku t.adi
mendengar kamu
hendak pergi ke Mahameru, benarkah? Sebab
aku juga
bertujuan yang sama, ke Mahameru?"
Kata-kata itu meluncur
begitu saja. Sari menatap tajam mata lelaki
itu.
Wisang Geni kaget melihat sinar mata si
gadis yang begitu
tajam, berkilat di tengah gelapnya malam
"Aku memang mau
ke Mahameru, benarkah Sari, kamu juga mau ke
sana?
Mendadak Sari merasa malu. Itu pertama kali
lelaki itu
menyebut nama Sari. Dan nama itu diucapkan
dengan lancar,
seperti sudah akrab. "Aku memang mau ke
Mahameru,
apakah kau diundang ke pertemuan itu?"
"Diundang? Aku bukan pendekar yang
dikenal orang, siapa
yang mau mengundang aku, tetapi Sari apakah
semua yang
hadir harus orang yang diundang artinya yang
tidak diundang
tak boleh hadir. Apakah kamu juga diundang,
Sari?"
Hatinya berbunga-bunga. Dua kali sudah
namanya disebut
begitu akrabnya. "Tidak. Aku tidak
diundang, aku juga bukan
pendekar terkenal, kalau aku hebat tentu
tidak akan terluka
sampai begini. Aku mendengar omongan orang,
pertemuan
Mahameru boleh dihadiri oleh semua orang,
tetapi perguruan
itu hanya melayani makan minum dan nginap
bagi mereka
yang diundang. Artinya bagi yang tidak
diundang, ya bawa
makanan sendiri."
Geni diam. Sari memecah kesunyian
"Ambara, hari sudah
gelap, apakah tidak lebih baik jika kita
menyalakan api." Sari
terkejut dengan dirinya sendiri, menyebut
nama lelaki itu
begitu saja, seperti sudah akrab.
Namun Geni tidak memerhatikan perubahan
sebutan itu.
"Kamu benar. Kita memang harus mencari
tempat untuk tidur.
Di situ di balik air terjun ada sebuah goa,
aku sudah
menempatinya selama beberapa hari. Kita ke
sana saja, ayo."
Sari berdiri, agak lemas ia melangkah
tertatih-tatih. Geni
tersenyum, menggoda. "Kelihatannya kamu
sulit melangkah,
kamu masih luka dan tenaga belum pulih. Biar
aku papah
saja." Geni membawa tangan Sari ke
pundaknya, sedang
tangannya memeluk pinggang si gadis.
Tiba-tiba Sari berteriak
pelan. Rupanya buah dadanya yang masih belum
sembuh
menimbulkan rasa sakit ketika bersinggungan
dengan tubuh
Geni. Lelaki itu berpindah, kini Sari di
kanan. Tetapi Sari juga
kesakitan ketika pahanya bersinggungan
dengan paha Geni.
Geni mengeluh, "Sari, kamu tak bisa
dipapah, dadamu luka di
bagian kanan, pahamu luka di bagian kiri,
bagaimanapun juga
akan tetap bersinggungan dan akan sakit.
Kalau kamu jalan
pelan begini, mungkin besok pagi baru sampai
di goa, aku
bopong saja, mau?"
Godaan Geni memperoleh sambutan. Gadis itu
tertawa
senang. "Kalau mau membopong aku,
bopong saja, tidak
perlu pura-pura bertanya?"
Tidak menunggu lagi, Geni menyambar tubuh
Sari.
Membopongnya ke air terjun Keduanya sama
merasakan
adanya kesenangan dalam persinggungan tubuh.
Tanpa sadar
Sari merapat tubuhnya ke dada Geni. Lelaki
ini memeluk erat.
Ada perasaan bahagia nyelip di hati dua
insan itu. Tanpa sadar
Sari memeluk dada Geni, berbisik, "Aku
tak bisa berenang."
Geni memindahkan Sari di punggungnya. Ia
merasakan
dada Sari yang lunak menghimpit punggungnya.
Sari merasa
luka dadanya sakit, tetapi kini ia diam.
Tangannya melingkar
erat di leher Geni. "Tahan napasmu,
kita akan menyelam,"
teriak Geni di antara gemuruh suara air
terjun.
Goa itu cukup besar. Selama dua bulan
berlatih di air
terjun, Geni telah membersihkan goa itu.
Tadinya basah,
lembab dan kumuh, Geni menjadikannya tempat
tinggal yang
bersih dan nyaman. Ada tumpukan kayu kering
untuk
menghangatkan tubuh. Ada obor damar untuk
penerangan.
Ada tumpukan jerami di atas papan dirancang
untuk tempat
tidur.
Ia menyalakan obor. Cahaya obor menerangi
goa, samarsamar.
Geni menatap Sari. Lekuk dan liuk tubuh
gadis itu
tampak jelas, pinggangnya yang kecil
ramping, buah dadanya
yang montok dan pinggulnya yang semok,
membentuk
bayangan indah. Geni tadinya sudah tahu Sari
seorang gadis
muda yang cantik. Namun di goa ini,
segalanya makin jelas.
Sari ibarat seorang dewi dengan kecantikan
yang membuat
lelaki mana pun bisa mabuk kepayang.
Mendadak saja Sari berseru "Ambara,
bajuku basah kuyup,
tadi gara-gara lelaki keparat itu, buntalan
pakaianku jatuh dan
hilang di sungai. Sekarang aku perlu api
unggun untuk
mengeringkan baju ini."
Geni tersadar dari lamunan dan perhatiannya
pada tubuh
molek Sari. "Aku punya beberapa baju di
sini, kamu boleh
pakai salah satunya, sedang kepunyaanmu bisa
dikeringkan.
Kau mau?"
Gadis itu mengangguk. Geni menuju pojokan
goa,
membuka buntalan dan mengeluarkan celana
panjang sebatas
lutut dan baju dari kain kasar. Sari mencium
pakaian itu,
teruar bebauan lelaki seperti bau yang
diciumnya waktu Geni
mengisap darah dari luka di dadanya.
"Kamu balik badan,
jangan lihat, aku mau ganti baju."
Geni memalingkan tubuh, ia tidak melihat
namun
pikirannya seakan bisa melihat tubuh Sari.
Ia membayangkan
tubuh molek gadis itu. Untuk menghilangkan
pikiran liarnya,
Geni berkata, "Sari, kamu pasti sudah
lapar, aku juga lapar,
kamu tunggu di sini, aku akan cari makanan
untuk santap
malam"
"Hei, kamu pergi ke mana, aku tak mau
sendirian di sini."
"Aku tidak jauh dan tidak lama. rianya
menangkap ikan, di
luar."
Tak lama kemudian Geni kembali ke dalam goa
membawa
enam ekor ikan yang besarnya setelapak
tangan. "Kamu
makan ikan ini, bagus untuk memulihkan
tenagamu" Geni
memerhatikan. Sari sudah ganti baju. Ia
mengenakan baju
milik Geni. Tubuhnya lebih kecil, maka
pakaian itu nampak
besar dan kedodoran. Sari tertawa melihat
Geni memerhatikan
pakaiannya. "Pakaianmu besar, lihat,
aku kelihatan kecil."
Sari meraut sepotong ranting dengan pisau
kecilnya. Geni
memerhatikan. "Mau kau panggang
ikannya?" Sari
mengangguk.
"Jangan, Sari. Maksudku tadi, kamu
makan mentah-mentah
saja, rasanya enak, manis dan segar."
Sari memandang Geni dengan perasaan geli.
"Aku belum
pernah makan ikan mentah, amis."
"Namanya, ikan marong. Khasiatnya
merangsang tubuh
memperbanyak darah. Kamu banyak kehilangan
darah, itu
sebab kamu lemas dan untuk memulihkan
tenagamu biasanya
perlu waktu cukup lama. Kalau ikan itu kau
masak, khasiat
ikan marong itu akan hilang. Coba dulu, enak
dan segar!"
Geni memberi contoh. Ia mencomot seekor,
melahapnya
dengan enak. Darah ikan meleleh dari
mulutnya. Sudah dua
bulan berlatih di air terjun, setiap hari
Geni melahap ikan
marong. Sari nyengir melihat Geni melahap
ikan. Hati-hati dia
membawa ikan itu ke mulutnya. Digigitnya
dengan enggan.
Rasanya enak. Manis dan hangat. Sari
tertawa, Geni pun
tertawa.
Ia merasa perutnya hangat Tanpa malu-malu,
saking
laparnya, ia tertawa lepas sambil melahap
tiga ekor ikan. Geni
terpesona memandang wajah Sari yang tampak
cantik saat
tertawa tadi. Cahaya api unggun yang agak
redup, sudah
cukup untuk menonjolkan kecantikan alamiah
itu. Tanpa sadar
Geni menghela nafas.
"Kenapa kamu ?" tanya Sari.
Geni terkejut. Seakan ia takut isi
pikirannya terbaca Sari. Ia
menggeleng kepala. "Tidak ada apa-apa.
Tidurlah. Aku akan
menjagamu."
Sari merebahkan diri di tumpukan jerami
dekat api unggun.
Baju Geni yang dikenakannya terlalu besar,
menyembunyikan
semua keindahan tubuhnya. Tak lama kemudian
ia tertidur.
Nafasnya teratur. Lama Geni meneliti wajah
cantik itu. Bulu
matanya lentik, sepasang matanya agak sipit,
alis mata yang
juga tipis. Hidungnya bangir dan mungil.
Mulutnya berukuran
sedang berbentuk busur gendewa dengan bibir
penuh dan
tebal. Cantik, sangat cantik. "Ia jujur
dan polos, buktinya ia
percaya kepadaku, orang yang baru
dikenalnya. Ia masih
muda dan cantik, alangkah bahagianya aku
seandainya bisa
menyuntingnya menjadi isteri," bisiknya
dalam hati.
Tiba-tiba saja sepasang mata Sari terbuka,
menatap Geni
dengan sinar yang teduh. Ia tersenyum
kemudian merapatkan
mata lagi. "Kamu suka memandangi
aku," katanya. Geni tidak
tahu apakah gadis itu sedang bermimpi atau
dalam keadaan
sadar.
"Iya Sari, aku suka menikmati
kecantikanmu" Sambil
menjawab, Geni melompat ke ayunan yang membentang
tegang dari dinding ke dinding lain. Ayunan
itu terbuat dari
kulit pohon yang keras dan kasar. Ia biasa
tidur di ayunan.
Pada mulanya ia hampir tak bisa bergerak,
sebab begitu
bergerak, ia langsung jatuh. Lama kelamaan
ia bahkan bisa
tidur lelap. Itu memang cara melatih ilmu
ringan tubuh
Waringin Sungsang.
Sejak mewarisi ilmu itu Geni selalu tidur di
atas ayunan
atau dahan pohon. Untuk menguasai Waringin
Sungsang
seseorang harus bisa menyatukan antara
syaraf otak, batin
dan jasad kasar. Karenanya keseimbangan
tubuh harus tetap
terpelihara meskipun saat tidur, misalnya.
Itu sebab siapa
yang sedang memperdalam Waringin Sungsang
harus tidur di
atas pohon.
0 komentar:
Posting Komentar