"Ilmu apa itu," kata seorang
rekannya.
"Ilmu siluman," kata rekannya yang
lain.
Dari rombongan, hanya Arjun dan Susmita yang
meladeni
lawan, Satyawati dan yang lain sibuk
mengurusi rumah, kereta
kuda dan semua barang-barangnya. Dua
penunjuk jalan,
terpesona dan kagum melihat sepak terjang
Susmita. Wanita
cantik itu kelihatan lemah gemulai, tak
disangka geraknya
begitu cepat dan kejam
Lelaki tua berbadan kekar dan kepala botak
tahu gelagat, ia
sedang berhadapan dengan orang-orang yang
sangat lihai.
"Siapa kalian, aku adalah Lawungwesi
julukanku Tengkorak
Putih."
Arjun menjawab ramah dan sopan, "Kami
orang asing di
negeri ini, kami pedagang, kami tidak
mencari musuh, tetapi
kami tidak suka orang-orang jahat, kami
adalah pengusir
kejahatan. Kami tidak kenal tuan, tetapi
kami tahu bahwa tuan
orang jahat"
"Eh kamu tidak kenal Ki Lawungwesi,
tetapi kamu pasti
kenal muridnya yang kenamaan julukannya si
Bayangan
Hantu. Cepat berlutut minta ampun dan semua
salahmu akan
diampuni," kata lelaki lainnya.
Si Bayangan Hantu adalah pendekar yang mati
di tangan
Wisang Geni dalam pertarungan di Argowayang.
Rupanya
Lawungwesi turun gunung mencari Wisang Geni
untuk
menuntut balas. Ia mendengar muridnya itu
mati oleh Wisang
Geni.
"Aku tak perlu minta maaf, karena tak
lama lagi Tengkorak
Putih benar-benar akan menjadi tengkorak di
dalam
kuburnya," kata Arjun melangkah
mendekati Lawungwesi.
Berbarengan, Susmita menghampiri enam
begundalnya. Saat
berikut terjadi tarung, Arjun lawan
Lawungwesi yang
bersenjata tombak pendek, Susmita menerjang
enam
begundalnya.
Arjun menyerang dengan tangankosong,
Lawungwesi
membalas dengan tombak pendek. Pada saat
sama isteri
Arjun dikeroyok enam begundal, termasuk si
lelaki yang
mulutnya sudah nyonyor nyaris hancur.
Susmita dengan
leluasa bergerakke sana kemari, gerakannya
cepat tangkas
dan tak kenal ampun.
Dalam sepuluh jurus ia sudah melumpuhkan
seorang
lawan, tangan dan kakinya patah. Berturutan
satu per satu
lawannya terpental dengan anggota tubuh yang
patah.
Empatpuluh jurus, pekerjaan Susmita selesai.
Saat yang sama jurus empatpuluh, Arjun
menampar
Lawungwesi, pundaknya terluka. Lima jurus
berikut, paha dan
lengannya kena tamparan keras, Lawungwesi
tersungkur. Ia
berupaya bangkit tetapi gagal. Enam
begundalnya dengan
tertatih bangkit berusaha menolong ketuanya.
Mereka pergi
dengan sumpah serapah.
Pada saat itu beberapa perempuan dan lelaki
yang ditawan
berhamburan keluar dari rumah, begitu juga
penduduk
lainnya. Semua mereka datang dan mengucap
terimakasih
sambil berlutut. Satyawati dan anggota
rombongan menolong
mereka. Beberapa perempuan bekas tawanan menangis
berpelukan dengan orangtua atau suaminya.
Suasana haru
namun semua penduduk gembira. Malam itu para
penduduk
menyediakan makanan untuk tetamunya.
Dua hari menetap di desa itu. Susmita,
Ayeksha dan ibu
mertua sibuk membantu orang-orang itu,
memberi mereka
barang dagangan yang masih tersisa, bahkan
sebagian
pakaian dan perhiasan juga dibagi-bagikan
kepada penduduk
miskin itu. Para penduduk mengiringi
kepergian mereka
dengan tangis terimakasih.
Hari itu, tepat pada tengah hari, rombongan
tiba di desa
Bangsal. Penunjuk jalan itu bergerak gesit,
dalam waktu
singkat ia sudah mendapatkan rumah kosong
untuk disewa
dan warung makan. Malam hari di dalam bilik
tidur, sambil
memijit tubuh suaminya, Satyawati berkata
lirih, "Suamiku,
entah mengapa sejak tiba di Karangplosos,
aku selalu
bermimpi Gayatri, aku khawatir sesuatu
menimpa dirinya.
Sungguh baru sekarang ini selelah berpisah
dengannya baru
aku tahu betapa aku sangat
menyintainya."
"Itu perasaan seorang ibu, tak ada
apa-apa yang menimpa
dirinya, ia memiliki ilmu silat tinggi, juga
ada Urmila dan
Shamita yang mengawalnya."
"Suamiku, hukuman apa yang akan kau
berikan kepada
putriku?"
"Aku belum tahu, nanti saja kita lihat
apa saja
kesalahannya."
"Suamiku, selama hidup aku tidak pernah
membantah dan
selalu patuh padamu. Kali ini aku mohon
padamu, ampuni
Gayatri. Dia belahan jiwaku. Jika dia mati,
aku juga akan mati.
Aku sangat menyintainya, aku mohon ampuni
dia. Lagipula
Wasudeva itu lelaki yang buruk, tidak pantas
untuk Gayatriku."
"Tentang Gayatri, aku akan pertimbangkan
kesalahannya,
aku juga sangat menyintainya, setelah
kehilangan Manisha
aku tidak mau kehilangan Gayatri. Kamu
tenang saja, aku mau
tidur."
"Wasudeva itu...."
Yudistira memotong ucapan isterinya,
"Aku tak mau bicara
tentang Wasudeva, aku mau tidur."
---ooo0dw0ooo---
Pertarungan bergengsi di desa Bangsal itu
ramai
dibincangkan orang, kaum awam dan para
pendekar memuji
kehebatan Wisang Geni. Bahkan Macukunda pun
mengaku
seumur hidup ia belum pernah menyaksikan
sepak-terjang
dan ilmu silat sedahsyat yang diperlihatkan
Wisang Geni ketika
mengalahkan Ciu Tan dan Mok Tang. Jurus apa
itu, macam
angin puyuh yang bisa menghancurkan apa
saja. Tak seorang
juga yang mengetahui persis jurus yang
digunakan Wisang
Geni.
Manjangan Puguh, yang pernah menjadi guru
Wisang Geni
juga tak tahu apa-apa tentang perkembangan
muridnya itu.
"Jelas dia muridku, tetapi
kepandaiannya sekarang sudah jauh
di atas aku," kata Manjangan Puguh
kepada isterinya Mei
Hwa.
Bahkan para murid Lemah Tulis pun semakin
takjub akan
kehebatan ketuanya. "Sayang sekali,
ketua sudah tak mau lagi
memimpin kita," kata salah seorang
murid Lemah Tulis. "Aku
yakin, ketua masih mau memimpin Lemah Tulis,
mungkin dia
hanya marah sesaat," kata seorang
lainnya.
Hari itu usai pertarungan yang mencekam,
Wisang Geni
sungkem pada Manjangan Puguh. "Guru,
aku tak pernah
melupakanmu, kau menyelamatkan aku dari
perang Ganter,
kau mendidik aku sejak kecil, menyuapi obat
sehingga
tubuhku kuat. Aku tak bisa membalas budimu,
guru"
"Kamu tidak perlu membalas apa-apa, aku
sudah sangat
bahagia jika kamu tetap menjalankan
kewajiban sebagai
pendekar sejati yang berjalan di jalan
benar, selalu melindungi
kaum lemah dan yang memusuhi
kesewenang-wenangan,"
kata Manjangan Puguh yang memeluk erat
muridnya itu.
Geni tak lupa memberi hormat kepada Mei Hwa
yang
sedang terlibat pembicaraan dengan Sekar dan
Gayatri.
Mereka sudah berkenalan ketika sama-sama
hadir di gunung
Argowayang.
Wisang Geni dan rombongannya tidak tinggal
lama di desa
Bangsal. Dua hari setelah pertarungan,
mereka pulang ke
gunung Welirang. Gajah Nila dan Gajah Lengar
beserta isteri
memisahkan diri menuju Lemah Tulis. Mereka
mau pamitan
pada Padeksa dan Gajah Watu, karena akan
tinggal menetap
bersama Geni. Putra putri mereka sudah
diangkat murid oleh
Geni. Murid lain ikut Geni pulang ke
Welirang, berlatih silat
dan melanjutkan pembangunan beberapa rumah
yang belum
selesai.
Bulan Iyestha sudah berlalu Wisang Geni
hidup berempat
dengan Sekar, Gayatri dan Prawesti. Mereka
bahagia. Hari itu
tengah bulan Asadha, rumah yang dibangun
sudah rampung.
Rumah yang agak besar untuk Wisang Geni dan
tiga isterinya.
Dua rumah agak mungil, untuk Gajah Lengar
dan Gajah
Nila masing-masing bersama isteri dan
anak-anaknya. Gajah
Nila punya seorang putra bernama Sasro
berusia sekitar
delapan tahun. Gajah Lengar punya sepasang,
putra bernama
Saty aki usia tujuh tahun dan putri bernama
Sundari usia 4
tahun.
Selain itu ada beberapa rumah untuk tetamu
dan murid
yang datang berlatih.
Senja itu Gayatri menyendiri di biliknya.
Sudah tiga hari dia
gelisah. Pikirannya bimbang, apakah dia
tetap merahasiakan
kehamilannya atau memberitahu Geni. Dia juga
merindukan
ibunya yang lemah lembut dan penuh kasih
sayang.
Ia tak pernah tahu, bahwa senja itu ibu dan
keluarganya
tiba di desa Karangplosos. Ia tak tahu bahwa
dalam beberapa
hari ini ibunya juga merindukan dia. Gayatri
menangis.
Prawesti menghampiri, berbaring di samping,
memeluk
mengelus kepalanya. Saat itu Geni berdua
Sekar sedang
berlatih silat di dekat danau.
"Kakak, kenapa kamu kak?" tanya
Prawesti dengan lirih.
Gayatri semakin terisak. "Kenapa Kak,
ada apa, ceritakan, aku
pasti akan membantumu, apa saja akan
kukorbankan
untukmu"
"Aku bingung, aku tidak tahu harus
mengambil jalan yang
mana, di depanku terbentang banyak jalan
bercabang, aku
bingung." Suara Gayatri lirih dan
sendu.
"Katakan saja pada Geni."
"Katakan apa?"
"Katakan bahwa kamu hamil!"
"Kamu... kamu tahu?"
"Kakak Gayatri, aku tahu, aku melihat
perubahan tubuhmu,
kamu makin montok, makin cantik dan mulai
muntah-muntah.
Itu gejala orang hamil. Aku mulai curiga
ketika harus
membalut perutmu dengan stagen khusus waktu
kamu mau
tarung."
"Tetapi kamu tidak cerita pada Geni,
kan?"
Prawesti menggeleng, ia duduk dan
memijit-mijit paha
Gayatri. "Tidak. Geni tidak tahu
apa-apa, malah dia tidak
curiga. Aku baha gia melihat kamu hamil,
seharusnya kamu
bahagia, kakak. Karena sesungguhnya Geni
sangat ingin
punya keturunan. Ceritakan saja padanya,
kak."
"Resikonya besar. Geni pernah melihat
isterinya mati dalam
keadaan hamil, anaknya ikut mati Jika aku
juga mati bersama
anaknya yang kukandung, hatinya pasti
hancur. Ia bisa kalap,
ia akan ngamuk melawan siapa saj a. Dan
orang yang akan
dia lawan adalah ayah dan keluargaku, aku
bingung dan tak
berdaya."
Prawesti terharu Ia memeluk Gayatri.
Keduanya
bertangisan. "Tidak Kakak, kamu tak
akan mati, selalu akan
ada jalan keluar, kita harus percaya
itu." Dalam hati Prawesti
bertekad. "Aku akan korbankan diriku di
depan ayahnya.
Gayatri telah memberi aku kehidupan
terindah. Hidup bersama
dia, Sekar dan Geni membuat aku bahagia.
Kini giliranku
membalas budinya, memberi dia kehidupan dan
kebahagiaan."
Mendadak saja Prawesti bangkit dan menepuk
bokong
Gayatri. "Kakak, kita tidak boleh lemah
dan menyerah, kita
harus berusaha. Pada saatnya nanti aku akan
bongkar semua
kebusukan Wasudeva di depan ayah dan ibumu,
aku tidak
takut meski misalnya aku dihantam mati"
Prawesti memang
sudah mengetahui seluruh kisah Gayatri,
Manisha dan
Wasudeva.
Saat itu terdengar suara Geni memanggil
Gayatri dan
Prawesti. Tak lama kemudian ia berdua Sekar
muncul di dekat
isterinya. Heran melihat mata dua perempuan
itu basah
dengan airmata. "Kenapa? Kenapa kalian
berdua menangis?"
Prawesti menepuk pantat Gayatri.
"Katakan Kak Gayatri,
katakan sekarang ini, katakan, ayo ini
saatnya."
Geni bingung, "Katakan apa, ada
apa?"
Gayatri berkata lirih, "Aku
hamil."
Wisang Geni terpaku di tempat berdirinya.
"Apa?"
Dia mengulanginya, malu-malu, "Aku
hamil, Geni."
"Hamil, kamu hamil. Sekar juga
hamil." Geni melompat
sambil teriak. "Dua isteriku hamil, aku
akan segera punya
anak, Gayatri hamil, Sekar hamil," Ia
lari keluar rumah,
melompat-lompat dan bersiul keras.
Ia lari menuju hutan, mengelilingi danau,
menanjak tebing.
Siulannya memantul tebing menjadi gema
bergaung ke manamana.
Para murid yang sedang berlatih bingung
melihat
kelakuan Geni. Tetapi kemudian ikut gembira
mendengar
kabar Sekar dan Gayatri hamil. "Ya
tentu saja ia merasa
sangat gembira."
Tadi waktu berlatih silat berdua Sekar, di
hutan jauh dari
rumah. Tiba-tiba saja Sekar merasa lemas, ia
merunduk dan
muntah-muntah. Geni bingung. "Kenapa?
Ada apa? Kamu
sakit?"
Perempuan itu memeluk Geni. "Suamiku,
aku semakin
mencintai kamu Aku bahagia menjadi isterimu
Rasanya aku
akan segera memberimu seorang anak."
"Apa? Kamu hamil?"
Sekar mengangguk, "Ya kekasihku, aku
hamil!"
Geni memeluk dan menciumi isterinya.
Tangannya meraba,
mengelus dan menciumi perut sang isteri. Ia
merasakan
rangsangan birahi. Sekar melayani dengan
bernafsu.
Keduanya berlari mendaki tebing. Di dalam
goa, terengahengah
Sekar berbisik, "Geni, suamiku.
Pelan-pelan."
Itu sebab mengetahui Gayatri juga hamil,
Geni gembira
seperti orang kesetanan. Setelah
melampiaskan rasa
senangnya dengan teriak-teriak di hutan,
Geni menerobos
masuk bilik. Sekar dan Gayatri berangkulan.
Prawesti ikut
bergembira.
Wisang Geni menghampiri Gayatri dan Sekar.
Ia meraba,
mengelus dan menciumi perut dua isterinya,
bergantian. "Ini
dia anakku, kapan kamu keluar jumpa dengan
bapakmu?"
kata Geni sambil tertawa. Dua perempuan itu
tertawa geli
melihat tingkah laku Geni yang macam orang
kesurupan.
"Gayatri dan Sekar, sesungguhnya kapan
kalian mengetahui
diri hamil?"
Gayatri memegang lengan Prawesti yang hendak
beranjak
dari duduknya. "Kamu jangan pergi, kamu
harus temani aku."
Ia tertawa kepada Geni. "Waktu
pertarungan di desa Bangsal,
aku mulai mual dan muntah-muntah Aku curiga
mungkin aku
hamil."
Prawesti ikut nimbrung. "Aku pun
curiga, ketua, ketika
kakak minta bantuanku membalut perutnya
dengan stagen
berlapis-lapis."
Dahi Geni berkerut, "Kamu sudah tahu
dirimu hamil,
kenapa nekad mau bertarung, bisa-bisa kamu
celaka. Kamu
juga Sekar, mau saja tarung Benar-benar
gila." Ia teringat
sesuatu, "Pantas hari-hari belakangan
ini kalian berdua cepat
lelah, aku lihat pinggul kalian dan juga
buah dada makin
montok."
Gayam tertawa. "Kamu cuma ingatyang
montok-montok
saja."
"Tetapi kalian terlalu nekad, mulai
sekarang kalian berdua
tak boleh tarung atau melakukan pekerjaan
yang berat-berat."
"Waktu itu aku nekad, karena ingin
membantu suamiku, itu
kan kewajiban isteri. Tetapi aku tidak tahu
ilmu silatmu
setinggi itu, jika tahu buat apa aku berlaku
nekad ikut tarung.
Sekarang jawab pertanyaanku, mengapa kamu
merahasiakan
kepandaianmu itu?" tanya Gayatri.
"Kamu tidak bertanya padaku, lagipula
sudah beberapa kali
kamu bertarung denganku, kamu pasti sudah
tahu
kepandaianku."
"Kamu bohong, kamu tak pernah
sungguh-sungguh tarung
dengan aku, kamu tidak mengeluarkan seluruh
kepandaianmu"
"Kau bukan musuh, kau kekasihku, mana
bisa aku
bertarung sungguh-sungguh dan melukai
kamu," Geni
memeluk Gayatri. Isterinya itu
menggelinjang.
Gayatri menarik tangan Sekar dan Prawesti.
"Ayo, kita
keroyok dia" Ia menciumi leher
suaminya. "Geni, sekarang ini
setelah aku dan Sekar hamil, kamu harus
pelan-pelan jangan
sampai mengusik anakmu yang sedang tidur
ini."
Seperti biasa kalau sedang gembira, Sekar
tertawa
cekikikan. "Mulai hari ini Prawesti
akan lebih sering diperkosa.
Oh ya Westi, kamu jangan hamil dulu,
giliranmu hamil nanti
setelah kami berdua melahirkan, setuju
Westi?"
Sambil memeluk menciumi punggung Sekar,
Prawesti
menggoda, "Aku siap ikuti semua
perintah mbakyu. Jadi
sekarang aku harus lebih sering melayani mas
Geni, ya
mbak?"
Semalaman mereka berempat bercanda ria,
bercinta dan
bergurau Ketika fajar tiba, keempatnya
tertidur pulas.
Siang hari itu setelah makan siang. Geni
duduk bersama
Gayatri, Sekar dan Prawesti di tepi danau.
Gayatri memegang
tangan suaminya. "Geni kamu harus
berjanji padaku, Sekar
dan Westi yang menjadi saksi, kamu berjanji
bahwa kamu
tidak bertarung melawan ayah, ibu dan
kakakku."
"Kamu ini aneh, mana mungkin aku
bertarung melawan
mereka, tetapi aku mengerti kekhawatiranmu
Kamu khawatir
jika tiba saatnya ayah menghukummu, aku
pasti membelamu,
kamu khawatir aku menantang berkelahi
melawan
keluargamu"
Geni menepuk pipi isterinya. "Tidak
Gayatri, aku hanya
akan menjelaskan perihal cinta kita berdua,
tentang Wasudeva
yang tidak layak jadi suamimu, aku hanya
akan menjelaskan.
Dan aku berjanji tidak akan bertarung lawan
mereka."
"Aku punya firasat, ayah dan ibu serta
dua kakakku sudah
tiba di negeri ini. Tak lama lagi mereka
akan menemukan
aku!"
"Itu cuma firasat dan rasa takutmu
saja, aku tidak yakin
keluargamu akan datang ke tanah Jawa, aku
juga tidak yakin
ayahmu lega menghukum kamu Percayalah
padaku, semua
persoalanmu akan selesai dengan baik."
Prawesti ikut nimbrung. "Aku punya
firasat sama dengan
Mas ( rt-ni, ayahmu pasti tak tega menghukum
kamu, Kak." Ia
berhenti sejenak kemudian melanjutkan.
"Kakak, aku pikir
sebaiknya jangan mengikat Mas Geni dengan
janji semacam
itu, bagaimana jika ayah ?i bu kakakmu
memaksa dan
menyerang Mas Geni, apakah dia harus diam
juga dan tnanda
digebuk?"
Gayatri terdiam, kemudian menangis. 'Tidak,
aku tidak mau
suamiku dilukai, tetapi aku juga tak mau dia
melukai
keluargaku."
"Aku janji padamu Kakak, ilmu silatku
memang cetek
namun aku akan membantu dengan caraku
sendiri." Prawesti
menoleh ke Sekar yang menggamit lengannya.
"Westi, tolong
kamu pijit aku," kata Sekar sambil
menggandeng Prawesti.
Belakangan ini Sekar bersama Prawesti dan
Gayatri sering
pijit-memijit bergantian. Keduanya berlari
menuju rumah.
Tinggal Geni berdua Gayatri.
Geni mengelus-elus kepala isterinya.
"Kamu tak perlu
ketakutan dengan apa yang belum tentu
terjadi, jika ayah dan
keluargamu datang biar aku yang
menyelesaikan, jangan
khawatir, aku tahu apa yang harus aku
perbuat."
Gayatri memeluk erat suaminya. "Aku
percaya dan yakin,
kamu tidak akan melukai keluargaku, tetapi
aku tidak yakin
apakah ayah dan kakak mau untuk tidak
melukai kamu Oh aku
takut, Geni."
Geni tidak menjawab. Ia balas memeluk serta
mengelus
perut isterinya. Gayatri merasakan jari dan
tapak tangan yang
hangat penuh cinta dan sayang, ia berbisik,
"Suamiku, kamu
tahu betapa aku menyintaimu Jangan
tinggalkan aku, bawalah
aku bersamamu, jika kamu mati bawalah aku,
aku
mengikutimu ke mana kamu pergi, itu adalah
kewajibanku
namun lebih dari itu adalah karena aku
menyintaimu"
"Aku juga sangat menyintaimu, Gayatri.
Aku hampir tak
punya keinginan lain kecuali hidup
bersamamu. Tahukah kau
bahwa saat-saat seperti ini, aku ingin
memeluk dan bercinta
denganmu tanpa pernah berhenti. Tetapi
sekarang ini kamu
sedang hamil, jadi aku harus membatasi
diri."
"Geni jangan berhenti menyintaiku,
karena pada saat kau
berhenti menyintaiku pada saat itulah aku
mati" Gayatri
menangis dalam pelukan suaminya. Keduanya
kembali ke
rumah.
Dua hari bermalam di desa Bangsal, rombongan
Yudistira
sudah mengumpulkan keterangan lengkap
mengenai
pertarungan para pendekar itu. Di pihak
negeri Jawa ada
seorang wanita asing, cantik berasal dari
India. Ia bisa
bertarung karena ia adalah isteri dari
pendekar utama negeri
ini, Wisang Geni. Nama wanita itu Gayatri
dan ilmunya sangat
tinggi. Selama tarung Gayatri tidak
terkalahkan oleh para
pendekar Cina. Tetapi ilmu silat yang
dimiliki Wisang Geni,
yang belakangan dijuluki Pendekar Tanah Jawa
dari Lemah
Tulis, sangat luar biasa. Pada akhir
pertarungan Wisang Geni
seorang diri mengalahkan dua jago utama kubu
Cina, Ciu Tan
dan Mok Tang. Dan ilmu silat yang digunakan
sangat luar
biasa dan aneh. Cerita tentang kehebatan
Wisang Geni
berkembang dari mulut ke mulut ditambah
bumbu penyedap
apalagi julukannya sebagai Pendekar Nomor
Satu Tanah Jawa.
Berita itu bagai halilintar di siang bolong,
sangat
mengejutkan sehingga reaksi pun
bermacam-macam. Yudistira
diam, tidak mau memberi keterangan sepotong
pun mengenai
putrinya. Wasudeva yang marah sempat berkata
kasar kepada
Yudistira, "Lihat putrimu, ia berani
melangkahi adat istiadat
Himalaya dan kawin diam-diam dengan orang
luar. Dia harus
dihukum berat Khusus buat lelaki yang
bernama Wisang Geni
itu, dia harus dibunuh."
Yudistira menggebrak meja sehingga hancur
lebur.
"Wasudeva, jangan sekali-kali berani
menista dan menjelekkan
keluargaku, urusan putriku adalah urusanku.
Jika kamu masih
mau menjadi menantuku, silahkan. Jika kamu
tidak mau, aku
juga tak peduli. Sekarang kamu pergi dari
hadapanku." Itulah
pertama kali dia berkata kasar dan tegas
kepada Wasudeva.
Satyawati menangis semalaman. Keesokan hari,
wajah
cantiknya tampak sayu, matanya sembab.
"Airmataku sudah
habis. Tak ada lagi yang bisa kulakukan
untuk membelanya,
oh Gayatri mengapa kaulakukan kesalahan
besar itu, kamu tak
mungkin lolos dari hukuman ayahmu"
Perkataan Satyawati
didengar putra dan menantu. Yudistira
mendengar namun
tetap diam
Sekonyong-konyong Susmita menyela dengan
lirih,
"Maafkan aku ibu, seandainya aku pada
posisi Gayatri, aku
akan melakukan hal yang sama asalkan lelaki
itu cocok
dengan kata hatiku"
Arjun terkejut mendengar ucapan isterinya.
"Susmita, kamu
bicara sembarangan."
Susmita merangkap dua tangannya. "Maaf
ayah dan ibu,
maaf suamiku, jangan menganggap aku bicara
begini karena
sayangku pada Gayatri atau lantaran
hubunganku sangat
dekat dengan adik ipar itu. Tidak. Bukan
sebab itu. Tetapi
cobalah ayah, ibu, suamiku dan iparku,
cobalah berpikir
sederhana."
Ia mengumpulkan segenap keberanian, kemudian
melanjutkan, "Gayatri, seorang gadis
berilmu tinggi dan
sangat cerdas. Aku tahu persis bahwa aku
tergolong cerdas,
tetapi Gayatri lebih cerdas, banyak akal dan
sangat waspada,
ia bahkan bisa menghitung sesuatu yang orang
lain belum
memikirkannya. Aku yakin, Gayatri punya
alasan kuat, aku
hanya mohon pada ayah, ibu dan kalian semua,
dengarkan
alasannya lebih dahulu, baru memutuskan apa
kesalahannya."
Semua terdiam Yudistira memecah kesunyian,
"Dengarkan,
besok kita ke Lemah Tulis, kita berkunjung
dengan baik-baik,
karena menurut kabar, Lemah Tulis perguruan
besar, banyak
murid dan unggul ilmu silatnya. Lagipula
kita datang ke tanah
Jawa tidak untuk mencari permusuhan."
Wasudeva masuk ruangan. Ia heran melihat
seluruh
keluarga kumpul bersama. Ia memberi hormat
kepada
Yudistira. "Maaf ayah mertua. Aku sudah
pikir matang.
Pertama, aku akan tarung dan membunuh Wisang
Geni.
Setelah itu aku menikahi Gayatri. Ini
keputusanku, aku mohon
restumu, ayah mertua." Ia berlutut di
hadapan Yudistira.
"Aku merestuimu, Wasudeva," kata
Yudistira.
Semua terkejut, heran akan keputusan
Wasudeva. Mereka
tidak tahu niat dalam hati lelaki itu
"Gayatri telah menghina
aku, tetapi demi kepentingan ayah yang
menginginkan jurus
silat andalan Yudistira, aku rela berkorban.
Tetapi aku akan
ciptakan neraka untuknya, memperlakukan dia
seperti
binatang, meniduri ia tiap malam dan
memukulinya setiap
siang."
Malam harinya di bilik tidur, Satyawati
berkata dengan isak
tangis, "Suamiku, apa yang kaupikirkan
tentang Gayatri? Dan
kenapa kamu memberi restu kepada
Wasudeva?"
Yudistira berkata lirih, "Istriku,
biarkan persoalan ini
berjalan seperti bola salju. Saat bola
berhenti menggelinding,
akan terungkap kejadian sebenarnya, saat
itulah aku akan
tetapkan keputusan yang paling bijaksana.
Sekarang ini aku
mau tidur."
Malam itu di bilik tidur, Wisang Geni
membangunkan tiga
isterinya. "Besok pagi aku akan pergi
ke gunung Bromo, kalau
kuhitung hitung mungkin aku akan kembali
setelah enam
hari."
Tiga perempuan itu heran. Geni menjelaskan,
kemarin ia
teringat pesan Dewi Obat beberapa waktu lalu
ketika ia
mengantar Wulan yang sedang hamil. Namun
pesan itu
kemudian menjadi tidak penting dan
dilupakan, karena Wulan
mati, begitu juga anak yang dikandungnya.
"Supaya kandunganmu kuat dan tidak
mudah keguguran,
juga memberi si bayi daya tahan tubuh yang
kuat, carilah
bunga talasari yang hanya terdapat di Lembah
Bunga di kaki
gunung Bromo. Bunga itu tidak terdapat di
tempat lain," tutur
Dewi Obat waktu itu.
Gayatri memaksa suaminya mengajak mereka
bertiga.
Tetapi Wisang Geni tetap pada pendiriannya.
"Dewi Obat
berpesan obat itu hanya bisa dipakai jika
kandungan belum
mencapai tiga bulan, aku khawatir masa tiga
bulan segera
tiba. Karenanya aku perlu cepat. Perjalanan
akan sulit dan
berat sebab aku belum tahu letak Lembah
Bunga dan
bagaimana bentuk bunga talasari. Kalian
bertiga tinggal di
rumah. Sebab jika aku sendiri, aku bisa
bergerak cepat Dalam
waktu enam hari aku sudah kembali. Aku harus
pergi karena
obat ini sangat perlu untuk kalian berdua
dan bayinya."
Keesokan hari setelah berpesan kepada Gajah
Lengar dan
Gajah Nila, ia berangkat. Ia melecut kuda
jantan hitam yang
tangguh itu ke arah tenggara menuju gunung
Bromo. Geni tak
pernah menduga bahwa pada saat yang sama,
jauh sana di
desa Bangsal, rombongan Yudistira
bersiap-siap melakukan
perjalanan menuju Lemah Tulis. Jikalau saja
Geni tahu,
mungkin dia tak akan berani beresiko
meninggalkan Gayatri di
rumah.
Rombongan Yudistira tiba di Lemah Tulis.
Susmita dan
Arjun mengaku sebagai saudara Gayatri ingin
jumpa dengan
Wisang Geni dan Gayatri. Melihat tamu datang
dan bicara
dengan sopan, para murid menerima dengan
baik.
Prastawana, Dyah Mekar dan murid utama
lainnya sama
sepakat, para tamu benar-benar keluarga dari
Gayatri. Apalagi
melihat wajah Satyawati yang mengaku sebagai
ibu, seperti
pinang dibelah dua dengan Gayatri.
Itu sebab mereka tidak ragu memberitahu
bahwa Geni dan
isterinya sudah satu bulan lebih pindah ke
hutan di lereng
gunung Welirang. "Maaf, kami tidak bisa
mengantar, karena
kami masih punya kesibukan, aku yakin
penunjuk jalan itu
bisa membawa anda semuanya ke gunung
Welirang," tutur
Prastawana.
Tanpa istirahat lagi, rombongan melanjutkan
perjalanan
menuju gunung Welirang.
Pada saat yang sama, Wisang Geni tiba di desa
kecil di
batas hutan di kaki gunung Bromo. Desa kecil
itu hanya dihuni
beberapa keluarga. Hari masih siang, Geni
bertanya kepada
seorang penduduk, di mana Lembah Bunga Orang
itu
menunjuk ke arah hutan. "Lewat hutan
itu. Tetapi lebih baik
batalkan saja niat sampean, tempat itu
sangat angker dan
jarang didatangi manusia karena banyak
dedemit."
Geni menitip kuda hitamnya di rumah penduduk
yang
memiliki kandang kuda. Kemudian dengan ilmu
ringan tubuh,
ia menerobos hutan lebat. Saking lebarnya
hutan, hanya
sebagian kecil sinar matahari yang bisa
menerangi. Tidak sulit
untuk menetapkan arah, Geni memilih jalan
yang menanjak.
Beberapa saat kemudian ia sampai di suatu
tempat yang
luas. Sebatas mata memandang tampak hamparan
ilalang
setinggi tubuh manusia membentang di depan
matanya Geni
dengan ilmu ringan tubuhnya berjalan di atas
pucuk ilalang.
Tetapi ia temukan keanehan. Tadinya ia yakin
menuju ke
depan, ke arah Selatan. Tetapi herannya ia
bahkan tak pernah
bisa sampai di tepian padang ilalang yang
luas itu. Ia
berputar-putar di padang itu. Matahari sudah
hampir
tenggelam tetapi Geni belum juga bisa lolos
dari padang
ilalang. Mendadak saja sesosok bayangan
berkelebat jauh di
depan. Bayangan itu berhenti dan menggapai
memanggilnya
Geni mengejar. Begitu mendekat, ia terkejut,
mengenal
perempuan itu adalah Manohara, murid paling
buncit dari
Kalandara, si ketua Lembah Bunga
"Mengapa si Manohara
berada di sini?"
Pertanyaan itu tak sampai tercetus karena
Geni teringat
bahwa Kalandara dijuluki Dewi Lembah Bunga,
artinya dia
memang tinggal dan menetap di lembah ini.
"Selamat jumpa
Manohara, kebetulan kamu datang, mungkin
kamu bisa
membantu aku keluar dari padang ilalang
ini."
Manohara berdiri agak jauh Tampaknya ia
tidak merasa
takut. "Wah, hebat sekali, Wisang Geni
Pendekar Nomor Satu
Tanah Jawa datang secara diam-diam ke Lembah
Bunga, ia
kesasar dan minta tolong padaku. Hei Geni,
kamu tentu masih
ingat, dulu kamu mempermalukan aku di depan
orang banyak,
meremas bokongku merobek celanaku sehingga
sepanjang
jalan aku terpaksa menutupi bokongku agar
tidak terlihat
orang. Kamu kurang ajar. Kenapa kamu lakukan
itu?"
Wisang Geni menjawab sekenanya, "Aku
gemas, melihat
bokongmu yang semok?
Wajah Manohara memerah, malu, tetapi dalam
hatinya ada
rasa senang. "Kalau memang gemas, kamu
tak perlu lakukan
itu."
"Seharusnya bagaimana?"
Sekali lagi wajah pendekar cantik itu
memerah "Kamu kan
bisa memintanya dengan baik-baik."
Geni berpikir satu-satunya jalan, menawan
Manohara,
memaksa dia menjadi penunjuk jalan. Geni
tersenyum "Baik,
kalau begitu, sekarang aku minta ijin."
Manohara tertawa. "Kamu pura-pura
merayu, mau
menawan aku? Ini daerah milik perguruanku,
kamu tak bisa
keluar dari sini, kamu juga tak bisa menawan
aku, kalau tak
percaya cobalah."
Geni tidak menunggu lagi. Ia bergerak cepat,
sangat cepat,
melompat ke depan menjambret tangan
Manohara.
Perempuan itu bergerak, namun terlambat.
Geni berhasil
menangkapnya Takut ia lepas, Geni memeluk
erat-erat
Tubuhnya terasa lunak dan menebar bau harum
yang segar.
Geni menekan titik jalan darah di punggung
membuat
perempuan itu lemas. "Sekarang
tunjukkan jalan menuju
Lembah Bunga."
Tubuh Manohara lemas, tak bertenaga. Tetapi
lidahnya
masih tajam. "Geni, kamu bodoh, daerah
ini namanya Lembah
Bunga, cuma sekarang ini kita berada di
padang ilalang. Kamu
mau ke dalam atau mau keluar?"
Geni terpaksa membopong perempuan cantik
itu. "Antarkan
aku ke tempat yang banyak bunganya."
"Baik, kalau itu maumu, kau tak boleh
berjalan cepat,
sebab harus mengikuti hitungan langkah.
Tujuh langkah ke
depan, kiri empat, tujuh ke depan, kanan
duapuluh, tunggu
dulu, aku peringatkan kamu Geni, percuma
kamu menghafal
hitungan langkah ini, sebab selalu berubah,
jalan masuk dan
jalan keluar juga berbeda, semuanya
berpatokan pada posisi
matahari. Dan kamu harus ingat, sekali kamu
masuk, kamu
tak bisa keluar jika tidak diantar. Apa yang
kamu cari?"
"Kau sama sekali tidak takut, padahal
sudah menjadi
tawananku."
"Aku tak perlu takut, aku aman dalam
pelukan lelaki
perkasa yang pernah meremas bokongku.
Lagipula hanya aku
yang bisa menjadi penunjuk jalanmu Hei, kamu
belum
menjawab, apa yang kau cari di Lembah Bunga
ini?"
"Ya, kamu antarkan aku mendapatkan
bunga talasari."
"Setahuku talasari itu bagus untuk
perempuan hamil,
apakah dua isterimu hamil sampai kamu
jauh-jauh datang
kemari untuk bunga obat itu. Geni, lepaskan
totokanmu biar
aku bisa bergerak."
Manohara berusaha berontak dari pelukan
Geni. Tetapi
usahanya sia-sia, tubuhnya lemas tak
bertenaga.
Saat itu, mereka sudah keluar dari padang
ilalang, tiba di
daerah luas yang terdiri dari pepohonan
kamboja. Geni
memencet jalan darah di punggung Manohara,
perempuan itu
bisa berdiri. Geni menatap wajah gadis
cantik itu. "Bagaimana
kau tahu, aku sudah kawin dan punya dua
isteri?"
"Aku menyaksikan pertarungan di desa
Bangsal, kamu
hebat, perkasa dan tampan. Gayatri dan
Sekar, keduanya
cantik dan ilmu silatnya tinggi. Kamu memang
penakluk
perempuan, aku pikir semua wanita yang
mengenalmu pasti
jatuh cinta padamu"
Gadis itu mengeluarkan sekuntum bunga dan
mengunyahnya.
"Termasuk kau?" Geni memerhatikan
mulut indah yang
sedang mengunyah bunga itu.
"Ya termasuk aku. Sejak kau meremas
bokongku, aku
sudah jatuh cinta padamu Kebetulan sekarang
ini kamu
datang ke rumahku, dan kebetulan guru serta
dua kakakku
sedang turun gunung. Semuanya serba
kebetulan. Sekarang
ini kau menjadi milikku."
Berkata demikian, Manohara yang berdiri di
dekatnya,
bergerak cepat, merangkul leher Geni dan
mencium lelaki itu.
Geni terkesiap tetapi hanya sesaat, ia
kemudian menikmati
bibir basah dan lembut itu Keduanya larut
dalam nikmat
ciuman.
Mendadak Geni merasa tubuhnya lemas,
kepalanya agak
pusing. Ia kaget. Manohara melepas ciuman,
berontak dari
pelukan. Geni limbung dan jatuh terkapar di
tanah. Kepalanya
terasa pusing dan berdenyut sakit.
"Racun apa ini?"
Manohara tersenyum puas melihat Wisang Geni
terkulai
lemas. "Aku tahu, kamu memiliki tenaga
dalam yang tinggi,
kamu bisa mengusir pengaruh bunga ini, jika
orang lain bisa
lemas sepanjang hari, tetapi kamu pasti bisa
pulih jauh lebih
cepat. Aku beri kamu racun tambahan, tak
usah takut, racun
ini hanya membuat kamu tidak bisa
mengerahkan tenaga
dalam saja, kamu tidak akan mati."
Gadis itu mengambil tiga kuntum bungayang ia
simpan di
belahan dadanya. Ia mengunyah bunga itu,
membuka paksa
mulut Geni. Ia membungkuk dan mencium mulut
Geni. Ia
menekan hidung Geni sehingga ampas dan
cairan bunga itu
tertelan oleh Geni. Baunya harum, rasanya
manis.
Manohara tersenyum "Geni, apakah pernah
terpikirkan
olehmu, suatu waktu nyawamu berada di
tanganku, sekarang
ini kalau aku mau, aku bisa membunuhmu"
Geni berkata lirih, "Lakukan saja,
kenapa harus banyak
omong."
"Kamu pernah mengancamku, akan melucuti
pakaianku di
depan umum, mempermalukan aku. Itu kan sudah
kelewatan,
mengapa kamu membenciku sedemikian
rupa?"
"Aku tidak membencimu, aku hanya
menakut-nakuti kamu,
supaya kamu jangan lagi membunuh murid Lemah
Tulis yang
tidak berdosa. Aku tidak punya permusuhan
denganmu, lantas
kenapa harus membencimu?"
"Kamu tidak membenciku? Benarkah?"
Wisang Geni menatap gadis cantik itu, menggeleng
kepala.
'Tidak, aku tidak membencimu Ayo Manohara,
bunuhlah aku,
jika memang itu maumu, mumpung aku lagi tak
berdaya."
"Aku tak pernah berpikir akan
membunuhmu Apakah kau
tuh, tadi aku sudah mengaku menyintaimu,
bagaimana
mungkin aku tega membunuhmu "
"Jika demikian bebaskan aku."
Manohara menggeleng kepalanya. "Tidak
bisa, jika
kubebaskan kamu akan pergi, kabur."
"Tadi katamu, sekali masuk orang tidak
bisa keluar dari
lembah ini jika tidak diantar, bagaimana aku
bisa kabur?
Lagipula aku masih membutuhkan bunga
talasari."
Manohara diam sejenak. Tampak ia berpikir.
Sesaat
wajahnya memerah. Ia membungkuk hendak
membopong
tubuh Geni, membawanya ke tempat
tersembunyi. Tetapi
mendadak saja, tangan Geni merangkulnya. Ia
terjerembab di
atas tubuh Geni yang lalu menjambak
rambutnya sehingga
wajah Manohara tengadah. Geni mencium
mulurnya. Gadis
cantik itu terperanjat. Namun ia tak perlu
berpikir lagi. Ia
balas memeluk erat tubuh Geni Keduanya larut
dalam birahi,
bercinta di bawah pohon kamboja.
Manohara terengah-engah, ia menutupi
tubuhnya yang
telanjang. "Kamu memang lihai, bisa
begitu cepat mengusir
racun bunga cinta," Ia menatap Geni
dengan penuh cinta dan
birahi. Geni bertanya saking herannya
mendapatkan wanita itu
masih perawan. "Aku memang masih
perawan, kenapa
heran?"
Geni menjawab penuh penyesalan, "Aku
salah sangka, aku
pikir kamu wanita sembarangan, penggoda
lelaki dan mau
saja ditiduri laki-laki, maafkan aku,
Manohara."
"Aku mau kau tiduri karena aku
menyukaimu Sekarang apa
lagi maumu?" Manohara bangkit, lari
sambil memegang
bajunya. Ia setengah bugil.
Geni mengejar, "Kamu jangan lari!"
Manohara lari dan berhenti di sebuah batu
besar. Di balik
batu itu, ada sebuah goa kecil, bagian
dalamnya bersih, di
pojokan ada bale untuk tidur. Manohara
berbaring di bale.
"Goa ini tempat aku bermain-main waktu
masih kecil."
Keduanya bergelut lagi dengan bernafsu.
Manohara
menceritakan asal-usulnya. Ia ditemukan
gurunya sejak bayi
dididik, disayang seperti anak sendiri.
Untuk Manohara,
gurunya memelihara sapi. "Sejak bayi
aku minum susu, waktu
dewasa seminggu sekali aku mandi susu
dicampur bunga
warna-warni."
Baru sekarang Geni mengerti mengapa Manohara
masih
perawan dan bau keringatnya harum macam
bunga.
Malamnya Geni menggeluti si gadis. Esok
harinya, mereka
mencari bunga talasari. Ternyata tak mudah,
baru senja hari
mereka temukan.
Bunga talasari besarnya setengah tapak
tangan, bersusun
aneka warna. Sangat indah. Geni memilih
sepuluh kuntum
yang segar. Ia menghunus pisau, mengeluarkan
tabung
bambu kecil. Ia melumat sepuluh kuntum
berbarengan
menoreh tangannya. Darahnya menetes di atas
bubuk bunga,
ia menghitung sampai sebelas tetes. Aneh,
darah dan bunga
menggumpal menjadi satu Geni cepat
memasukkan ke dalam
tabung sebelum gumpalan mengeras. Selesai
sudah.
Menurut Dewi Obat, gumpalan itu akan menjadi
keras.
Nantinya dikunyah dan ditelan Sekar dan
Gayatri selama
sepuluh hari. Anehnya, jika darah yang
menjadi campuran itu
bukan darah ayah kandung si bayi, maka obat
itu tak akan
bermanfaat.
Geni menatap Manohara, mengucap terimakasih.
Gadis itu
diam. Geni berkata ia harus pergi secepatnya
sebelum waktu
tiga bulan itu terlewati. "Kalau
terlambat, obat ini tak
bermanfaat."
Manohara memegang ujung bajunya sendiri. Ia
menatap
Geni. "Kamu mau pergi begitu saja?
Tidak lama lagi matahari
terbenam, kalau tak ada matahari aku tak
punya pedoman
untuk jalan keluar, tetapi apakah kau tak
ingin nginap
semalam lagi, berdua bersamaku Geni?"
Suaranya memelas.
Geni diam, ia menghitung hari. Ia berjanji
kepada Gayatri,
enam hari. Sekarang baru hari keempat, jika
esok pagi pulang,
bisa tiba tepat di hari keenam Masih ada
waktu. Geni
memutuskan nginap lagi semalam di goa kecil
itu.
Semalaman keduanya bercinta dan bergurau.
Namun Geni
tak pernah menyangka, pada malam hari saat
ia menggumuli
tubuh molek Manohara, pada saat yang sama di
rumahnya di
kaki gunung Welirang, Gayatri sedang
menangis dalam
dekapan sang ibu Gayatri menumpahkan segala
kerinduan dan
ketakutan, ia menelungkup di pangkuan
ibunya. Satyawati ikut
menangis. Saat-saat mengerikan yang ditakuti
Gayatri, sudah
tiba.
---oo0dw0ooo---
Memburu Cinta
Hari itu akhir dari bulan Asadha. Senja yang
sejuk di lereng
gunung Welirang. Prawesti masuk bilik tidur
memberitahu
Sekar dan Gayatri adanya serombongan orang
datang. Bertiga
mereka menuju beranda rumah, berdiri
memandang ke kaki
gunung. Seketika itu juga Gayatri tahu
"Itu rombongan
orangtuaku," katanya lirih. Jantungnya
berdebar-debar.
Dua pendekar Lemah Tulis, Gajah Nila dan
Gajah Lengar
mendengar ucapan Gayatri. Keduanya merasakan
kejanggalan
melihat air muka perempuan itu muram padahal
seharusnya
gembira bertemu dengan orangtua dan
keluarganya. Gayatri
menoleh kepada dua lelaki itu,
"Kangmas, mbakyu Sekar dan
adik Westi, ada beberapa permohonanku kepada
kalian." Dia
menghirup udara dengan tarikan panjang,
melepasnya
perlahan, kemudian melanjutkan bicaranya,
suaranya
bergetar.
"Satu, apa pun yang terjadi kalian
jangan bentrok dengan
siapa pun dari rombongan itu. Mereka adalah
keluargaku,
kalian juga keluargaku, aku tak mau terjadi
tarung.
"Dua, tujuan orangtuaku kemari adalah
membawa aku
pulang ke Himalaya dan aku tidak berani
menentang
keinginan mereka, aku harap kalian tidak
ikut campur.
"Tiga, apa pun yang terjadi pada
diriku, sampaikan pesan
pada suamiku bahwa aku menyintainya sampai ajalku.
Katakan pada Geni cepat susul aku ke
pelabuhan Jedung,
jangan sampai terlambat, karena sesungguhnya
aku tidak rela
pulang ke Himalaya." Begitu teringat
suaminya, Gayatri tak
sanggup lagi membendung tangis.
"Aku sangat menyintainya"
Setelah mengutarakan permintaan dan
pesannya, Gayatri
tampak lemas bagaikan baru saja
menyelesaikan pekerjaan
yang sangat berat. Air mata masih membasahi
pipinya, Gayatri
berpegang pada pagar beranda. Sekar dan
Prawesti memeluk,
mengelus punggung dan bahu Gayatri. Mereka ikut
menangis.
Rombongan tamu makin mendekat.
Gayatri melepas diri dari pelukan dua
sahabatnya. Dia
menghapus dan membersihkan airmata di
pipinya, memaksa
senyum gembira Dia menoleh pada Sekar dan
Prawesti.
"Jangan perlihatkan bahwa kita baru
saja menangis." Lalu
kepada Gajah Lengar, "Kangmasberdua
ingat pesanku tadi,
jikalau kangmas menyayangi aku, kangmas tak
akan
melupakan atau melanggar pesanku tadi."
Ia tersenyum puas
ketika Gajah Lengar dan Gajah Nila
mengangguk mengiyakan.
Rombongan itu berhenti di depan rumah. Dua
kereta kuda
dan sembilan kuda tunggang. Gayatri setengah
berlari
menghampiri ayahnya Ia merunduk menyentuh
kaki ayahnya
Sang ayah memeluk sambil mengelus punggung
dan mencium
kepalanya Kemudian berkata dengan nada penuh
kasih
sayang dan rindu. "Pergilah kepada
ibumu, dia sangat
merindukan kamu"
Dia menghampiri dan melakukan yang sama pada
ibunya,
menyentuh ujung kaki kemudian menghambur ke
dalam
pelukan ibunya. Dia memeluk erat ibunya.
Tidak tertahankan
lagi, dia menangis tersedu-sedu.
Sekar dan Prawesti masih berdiri terkesima
menatap wajah
Satyawati, tidak ada bedanya dengan Gayatri,
sama cantik,
kulit sama putih, seperti pinang dibelah
dua. Bahkan tubuhnya
pun sama tinggi dan sama langsing. Perbedaan
mencolok
hanya pada pengaruh usia. Satyawati
merenggangkan
pelukan, menatap wajah putrinya.
"Gayatri, kamu tampak
sehat, malah agak gemuk, kau bahagia?"
Dia menghapus
airmata putrinya
"Iya ibu, aku bahagia, sangat
bahagia." Gayatri menciumi
wajah ibunya, dan berusaha tersenyum
"Eh pakaianmu itu, pakaian pendekar
Jawa, iya?" Satyawati
tersenyum Gayatri juga senyum malu-malu.
"Kamu pergilah
jumpai kakak-kakakmu, mereka juga merindukan
adiknya, si
bontot yang kabur," kata ibunya
Dia beranjak menyalami semua keluarganya,
kakak dan
iparnya Tapi dia tidak mau memandang
Wasudeva yang
berdiri kaku memerhatikannya Dia menggandeng
Susmita dan
Ayeshak, dua kakak iparnya. Mereka
bisik-bisik, "Kakak,
apakah ayah sudah memberitahu apa yang akan
dia lakukan
padaku?"
Susmita menjawab, "Belum."
Lantas Ayeshak berbisik agak keras,
"Kami berdua pasti
akan membelamu, jangan khawatir adik
ipar."
Berdiri di depan rumah Yudistira memandang
sekeliling.
Pemandangan yang luar biasa. Dia takjub dan
terpesona
melihat keindahan danau dan air terjun.
Mendadak saja, dia
berlari-lari sambil bersiul. Siulannya keras
melengking,
gaungnya menggema di mana-mana. Ia berlarian
ke danau,
air terjun, mendaki tebing. Tanpa dia
sadari, dia telah
memperlihatkan kepandaiannya yang tinggi.
Kakinya kelihatan
tidak menyentuh tanah. Dia berlari di atas
permukaan danau,
langkahnya cepat dan ringan. Melihat tingkah
laku ayahnya,
Gayatri tertawa kecil, tanpa sadar ia
menggumam, "Aneh,
kelakuan ayah itu mirip yang dilakukan
Wisang Geni."
Ibunya mendengar. "Mirip? Apanya yang
mirip?"
"Iya Bu, mirip sekali, ketika Wisang
Geni sangat bergembira
akan sesuatu kejadian, dia akan bersiul
keras dan berlarian
seperti orang kesurupan, persis seperti apa
yang ayah
lakukan. Bahkan sampai menyelam ke dalam
danau. Ketika ia
selesai dan masuk rumah, pakaiannya basah
kuyup."
Satyawati memandang keliling, mencari-cari.
"Gayatri,
mana suamimu, mengapa ia tidak keluar
berkenalan?"
Gayatri merunduk. Ia berkata lirih, "Ia
pergi ke gunung
Bromo, mencari obat, katanya dalam waktu
enam hari ia
sudah akan kembali. Hari ini baru hari
keempat."
"Siapa yang sakit, kamu sakit
Gayatri?"
"Tidak ibu, aku tidak sakit,"
Gayatri menggeleng, tetap
merunduk, tak berani menatap mata ibunya.
Didesak akhirnya Gayatri mengaku, bahwa Geni
mencari
jamu untuk penguat kandungan dan menambah
kekuatan
pada sang bayi Ibunya terkejut, lalu
wajahnya gembira "Kamu
hamil? Oh anak bodoh, mengapa tidak dari
tadi kau katakan."
Keduanya berpelukan. Mendadak seperti
teringat sesuatu,
Satyawati memegang tangan putrinya.
"Ibu pikir, sebaiknya
kita rahasiakan dulu, jangan beritahu siapa
pun, ayah atau
kakakmu"
Selang beberapa saat kemudian Yudistira
masuk ke dalam
rumah. Pakaiannya basah kuyup, masing-masing
tangannya
menggenggam ikan yang cukup besar dan yang
masih
menggelepar. Satyawati tertawakecil melihat
suaminya,
"Benar juga katamu, memang mirip,
ayahmu juga basah
kuyup." Gayatri menundukkan kepala,
tidak menjawab namun
dalam hatinya ia tertawa.
Tampak Yudistira tertawa senang. Istrinya
takjub, sebab
belakangan ini, selama perjalanan ke tanah
Jawa, dia jarang
melihat suaminya tertawa. "Pemandangan
sangat indah.
Udara sejuk. Air danau dingin dan banyak
ikan. Ini dia, aku
tangkap dua ekor yang paling besar, biar
Ayeshak yang
memanggang."
Wasudeva berkeliling rumah. Dia tadi melihat
Gayatri.
Hatinya terbetot melihat perempuan itu yang
begitu cantik,
montok dan menggairahkan. Nafsu birahinya
berkobar melihat
lekuk tubuh dan lenggang Gayatri. "Aku
bisa gila memikirkan
perempuan itu. Sekarang dia bahkan lebih
cantik dan lebih
montok. Aku harus dapatkan dia, suaminya
harus kubunuh,
harus!" Suara hatinya itu seperti bara
apiyang makin
membakar kebenciannya terhadap suami
Gayatri. "Bagaimana
mungkin, lelaki lain bisa mendapatkan
Gayatri yang begitu
cantik, sungguh tidak adil. Ini tak boleh
terjadi, aku harus
merebutnya kembali."
Dia berkehling mencari-cari lelaki yang
bernama Wisang
Geni. Kata orang, rambut lelaki itu semuanya
ubanan, putih
keperakan. Dia melihat Gajah Lengar dan
Gajah Nila serta
beberapa murid lelaki, tak ada yang cocok.
Ia menenangkan
diri, tak perlu tergesa-gesa, pasti nanti
akan ketemu lelaki itu.
"Sebaiknya sekarang aku melakukan
pendekatan pada
Gayatri," gumamnya.
Memasuki ruangan, dilihatnya Gayatri duduk
berempat
Satyawati, Susmita dan Ayeshak. "Ibu
mertua, aku ingin
bicara dengan Gayatri di luar ruangan,
boleh?" Pertanyaan
Wasudeva itu setengah mendesak dan sangat
mendadak
membuat Satyawati gugup.
Sebelum ibunya menjawab, Gayatri mendahului
dengan
ketus, "Maaf, aku tidak boleh bicara
dengan tuan, sebab aku
sekarang sudah menjadi isteri Wisang Geni.
Aku juga tak mau
bicara dengan tuan, lagipula aku tak punya
urusan dengan
tuan."
Wajah Wasudeva merah seperu kepiting
direbus. Ia marah
dan malu "Aku perlu bicara dengan kamu,
sebab tidak lama
lagi kamu akan menjadi janda, dan aku akan
menikah dengan
kamu"
"Siapa bilang aku akan menjadi
janda?"
"Aku! Aku memastikan kamu akan menjadi
janda, karena
aku akan membunuh Wisang Geni. Tidak ada
yang bisa
mencegah aku membunuh suamimu itu."
Gayatri menjawab dengan berani. "Kamu
tak akan
ungkulan menghadapi suamiku, ilmu silatnya
tinggi dan ia
pendekar tanpa tandingan. Lagipula, aku
hanya menikah satu
kali dalam hidupku. Ada yang lebih penting
lagi yang tuan
harus tahu, aku hanya mencintai seorang
lelaki dan dia adalah
suamiku Wisang Geni."
Laki-laki itu menatap tajam, pandangannya
penuh dendam
dan amarah. Sesaat kemudian ia berbalik dan
melangkah
keluar kamar.
Dari ruangan dalam Yudistira muncul dengan
tersenyum Ia
senyum misterius. Rupanya ia mendengar
seluruh
pembicaraan. "Gayatri, kamu membuat
laki-laki itu marah."
Dia memandang keempat wanita itu,
"Malam nanti kita
sekeluarga kumpul semua, istriku, anakku dan
menantuku."
Malam itu saat Wisang Geni menggeluti tubuh
Manohara di
gunung Bromo, saat yang sama Gayatri gelisah
berhadapan
dengan ayahnya.
"Aku sangat menyintai anak-anakku.
Barangkah aku terlalu
berlebihan memanjakan kamu, sehingga kamu
berani
mencoreng arang di wajahku, berani mengotori
nama dan
kehormatanku. Gayatri, kau sudah kujodohkan
dengan
Wasudeva Lalu kau kabur ke tanah Jawa, kau
kawin sembunyi
tanpa restu orangtua. Kau kawin dengan
lelaki dari golongan
luar. Begitu banyak keburukan yang telah
kaubuat, coba
berikan alasanmu, ayah ingin tahu,"
katanya dengan sungguhsungguh.
Gayatri pernah membayangkan suatu waktu
nanti ia akan
menghadapi saat-saat mencekam seperti malam
ini. Saat di
mana ia diadili dan hukuman ayahnya akan
dijatuhkan. Ketika
ia memutuskan kabur dari Himalaya, ia sadar
hukumannya
berat. Ketika ia memastikan menikah dengan
Wisang Geni, ia
juga tahu hukumannya akan lebih berat. Mungkin
saja
hukumannya adalah mati.
Tetapi ia telah menjatuhkan keputusannya,
rela mati
ketimbang menikah dengan Wasudeva yang telah
menghamili
kakaknya dan yang kemudian tidak mau
bertanggungjawab.
Ia tahu pasti dia akan dihukum. Tadinya ia
pasrah, bahkan
bertekad mengikuti jejak Manisha, bunuh
diri. Tapi keadaan
sudah berbeda dibanding saat tekad ia
cetuskan. Sekarang ia
telah merasakan nikmatnya cinta, bahagianya
menyinta dan
dicinta Wisang Geni. Bahkan dia kini hamil,
ada bayi dalam
kandungannya, buah dari percintaan dan
kebahagiaannya.
Sekarang ini keinginan hidup bergejolak
dalam dirinya. Ia
ingin hidup lebih lama lagi bersama Geni.
Dia ingin mencicipi
kebahagiaan hidup lebih lama lagi, bahkan
jika mungkin
selama-lamanya. "Aku tidak mau
mati!" Tekadnya dalam hati
Dia mengumpulkan segenap keberaniannya,
sesaat
kemudian menjawab tegas, "Aku kabur
dari Himalaya, karena
aku tak mau kawin dengan Wasudeva, jikalau
aku dipaksa
kawin, lebih baik aku menyusul kakak
Manisha, bunuh diri.
Aku senang bisa kabur, jadi aku tak perlu
terjun dari tebing
yang tinggi, bunuh diri, karena sebenarnya
aku takut
melakukannya."
Selanjutnya dia menceritakan asal muasal
kisah
perkenalannya dengan Wisang Geni. Semuanya.
Tak ada yang
ia tutup-tutupi. Dan perkenalan di gubuk
reyot saat ia hendak
diperkosa penjahat sampai pertemuan di
gunung Argowayang
yang berakhir dengan pernikahan. Tetapi dia
tidak
menceritakan malam di desa Gondang ketika
Wisang Geni
merenggut perawannya. Rahasia percintaan
yang begtuu
indah di malam itu disimpannya untuk diri
sendiri.
Dia meyakinkan ayahnya bahwa keputusannya
itu sangat
tepat untuk dirinya sendiri. "Ayah, dia
sangat menyintai aku,
dia rela melakukan apa saja demi aku, dia
lelaki yang
bertanggungjawab, dia menghargai aku sebagai
wanita dan
sebagai isteri, tetapi pada saatnya dia bisa
tegas. Ia juga telah
memenuhi syarat sumpahku, ilmu silatnya jauh
lebih tinggi di
atas aku, ia seorang suami idaman."
"Mengapa kamu tidak mau menikah dengan
Wasudeva?"
Gayatri berpikir, kini saatnya dia
berterusterang
menceritakan kisah sedih Manisha, tentang
Wasudeva
menghamili kakaknya kemudian meninggalkan
Manisha begitu
saja tanpa niat bertanggungjawab. Itu
sebabnya Manisha
bunuh diri melompat dari tebing.
Tetapi ia belum sempat membuka mulut,
Satyawati
memotong pembicaraan. Putri kepala suku
Namcha ini
berbicara dalam bahasa Namcha. Cuma dia dan
suaminya saja
yang mengerti bahasa salah satu suku
terbesar di gunung
Bharwa di Timur Himalaya. Tak seorangpun di
ruangan itu
yang mengerti pembicaraan Satyawati dan
suaminya, tidak
juga Wasudeva yang sembunyi-sembunyi nguping
di balik
dinding.
Satyawati bicara dengan nada rendah,
"Ada seseorang
nguping di balik dinding, lagipula rahasia
ini sebaiknya tidak
diketahui oleh kedua putramu Laki-laki itu
memang putra
sahabatmu, tetapi...... tidak tahu bahwa
putrimu yang tertua,
mati akibat ulah laki laki itu" Dia
menatap suaminya yang
mendengar dengan seksama, kemudian
melanjutkan. "Dia
memerkosa putrimu, satu kali, dua kali.
menjanjikan akan
mengawini anakmu itu, putrimu jatuh cinta dan
bersedia
melakukan hubungan intim berulangkali,
buntutnya hamil.
Tetapi laki-laki itu ingkar janji, ia tidak
datang melamae, dia
bahkan menghilang. Makin hari perut Manisha
makin besar,
empat bulan hamil putrimu kemudian
menceritakan seluruh
kejadian padaku. Terus terang saja, aku tak
berani melapor
padamu, kamu tahu mengapa, sebab setiap aku
membuka
percakapan tentang laki-laki itu, kau selalu
menjawab bahwa
dia itu putra sahabatmu, dan harus
diperlakukan istimewa."
"Tunggu!" Yudistira memotong
penuturan isterinya. "Waktu
itu, aku memberitahu Manisha bahwa aku sudah
menerima
lamaran Mahesh dan segera merundingkan hari
pernikahan.
Aku ingat wajah putriku pucat, tubuhnya
gemetar. Itulah
terakhir kali aku melihat wajahnya yang
cantik. Esok harinya,
aku menerima kabar buruk dia mati bunuh
diri, terjun dari
tebing." Dia berhenti sesaat lantas
melanjutkan, "Aku pikir,
ada sesuatu yang ganjil yang tidak aku
ketahui. Kamu tahu-,
beberapa hari sebelumMahesh datang melamar,
aku
memenuhi undangan Arjapura bertemu di suatu
tempat, dia
menjelaskan akan melamar Gayatri menjadi
isteri Wasudeva,
dan Manisha akan dijodohkan dengan Mahesh,
putra
sahabatnya. Pernikahan akan dirayakan
bersama-sama."
Dia berhenti sejenak kemudian melanjutkan
dengan mimik
wajah yang keras. "Sekarang ini aku
bisa mereka-reka cerita
selengkapnya, kira-kira begini, Wasudeva
menghamili
Manisha, setelah itu dia jatuh cinta pada
Gayatri, ia batal
mengawini Manisha, dia memaksa ayahnya
melamar Gayatri
dan menjodohkan Mahesh dengan Manisha.
Putriku Manisha
malu karenanya dia bunuh diri. Gayatri
mengetahui keburukan
lelaki itu, kabur ke tanah Jawa."
Melihat isterinya mengangguk tanda
membenarkan
ceritanya, Yudistira melanjutkan bicara,
"Tetapi kulihat
Wasudeva itu sangat menyintai Gayatri,
buktinya dia masih
mau mengawini Gayatri meski putri kita itu
sudah menjadi
isteri orang lain."
Isterinya menggelengkan kepala. "Bukan
lantaran
menyintai Gayatri, lebih tepatnya dia ingin
mewarisi ilmu silat
andalanmu Atehai Zaminepar Kabehiyeh Chande
Sitare
(Kadang bulan dan bintang pun turun ke
bumi), sekarang
kamu terkejut kan?"
Melihat suaminya terdiam, Satyawati
melanjutkan,
"Ayahmu menceritakan ini padaku, dia
berpesan agar aku dan
putrimu waspada menjagamu. Katanya, kamu
terlalu jujur dan
percaya diri, kamu tak akan pernah percaya
siapa pun yang
memperingatkan adanya bahaya yang mengancam,
sampai
bahaya itu datang sendiri baru kamu percaya.
Tetapi pada
saat itu mungkin sudah terlambat, bahaya itu
telah
membunuhmu"
Yudistira berkata lirih, "Sebenarnya
aku sudah tahu
sebagian dari penuturanmu, aku tahu Wasudeva
tidak layak
menjadi suami Gayatri, terutama setelah aku
pelajari sifat dan
kelakuannya selama perjalanan, aku tahu ia
memerkosa dan
menganiaya wanita di tengah perjalanan.
Tetapi persoalan
Gayatri kabur dan kawin secara diam-diam,
itu merupakan
kesalahan tersendiri."
"Tetapi semua berpangkal pada kisah
Wasudeva dan
Manisha, itu yang membuat Gayatri terpaksa
berbuat
kesalahan. Aku mohon padamu, suamiku,
ampunilah Gayatri,
dia adalah belahan jiwaku."
Setelah pembicaraan dengan isterinya yang
memakan
waktu cukup lama, Yudistira menatap Gayatri.
"Aku bicara
dengan ibumu dalam bahasa yang tidak kalian
mengerti,
karena memang tidak perlu kalian tahu.
Sekarang ini aku
belum tetapkan hukuman bagi Gayatri yang
telah berbuat
kesalahan besar." Dia menoleh pada dua
putranya. "Besok kita
berangkat ke Jedung, jika ada perahu tujuan
Malaka atau
Puchet, kita langsung pulang. Besok pagi
semua sudah harus
siap. Satu hal penting, kalian semua
bertanggungjawab jika
Gayatri kabur lagi, aku tak mau hal itu
terjadi. Gayatri akan
dihukum setiba kita di perguruan Himalaya.
Dan mengenai
laki-laki itu, dia harus membayar semua
kesalahannya, aku
tidak akan mengampuni orang yang telah
menghina dan
menganiaya anakku."
Tanpa sadar, Gayatri menyahut spontan,
"Dia tidak
bersalah, suamiku tidak bersalah. Ayah, kami
menikah karena
suka sama suka, dan aku rela menjadi
isterinya." Selesai
bicara, Gayatri merasa heran atas
keberaniannya. Dari mana
datangnya keberanian tadi?
Yudistira tersenyum misterius. "Kamu
tak mengerti apa
yang ayah katakan." Dalam hatinya ia
berkata, "Daki-laki yang
kumaksud itu Wasudeva, dia harus membayar
kesalahannya."
Sampai tengah malam Yudistira duduk
menyendiri di tepi
danau. "Wasudeva harus membayar dosanya
terhadap
Manisha, mungkin aku akan bentrok dengan
Arjapura, dan
pasti banyak korban berjatuhan. Tetapi apa
boleh buat Lakilaki
itu tetap harus dihukum, dia telah melanggar
kehormatan
keluarga dan harga diriku. Tetapi, Wisang
Geni, apa salahnya?
Ia tak bersalah, ia menyintai Gayatri dan
mereka kawin karena
saling menyinta. Hanya sehebat apa ilmu
silatnya? Ia cucu
murid Suryajagad, ia Pendekar Nomor Satu
Tanah Jawa, pasti
silatnya sangat unggul. Aku ingin
menjajalnya. Apakah
sebaiknya aku menunggu dia kembali dari
Bromo?"
Semalaman itu Gayatri berada di bilik
bersama ibu dan dua
kakak iparnya. "Ibu katakan kepada
ayah, aku akan menyusul
ke Jedung bersama suamiku, aku tak kan
ingkar janji. Biarkan
aku tetap di sini menanti suamiku."
Ibunya menggeleng kepala. "Tidak bisa
begitu putuku!
Sebenarnya ayahmu sudah melunak, jika
didesak lagi dengan
permintaan itu dia bisa berbalik keras dan
kaku, sabarlah
Gayatri, jika suamimu itu menyintaimu
seperti katamu, dia
pasti akan menyusul."
Sekembali dari danau, Yudistira didatangi
Wasudeva yang
mohon keberangkatan ditunda, dan mereka
sebaiknya
menanti Wisang Geni pulang. Karena dia ingin
tarung
sekaligus membunuh lelaki itu. Yudistira
menolak. "Esok, hari
pertama bulan Srawana, ada perahu ke Puchet,
berangkat hari
lima bulan Srawana. Kita bisa tepat waktu
tiba di Jedung,
langsung pulang ke Himalaya. Kau ikut
bersama kita. Tetapi
aku peringatkan kamu, jangan kamu coba
mengganggu
wanita-wanita yang ada di rumah ini."
Wasudeva terkejut, bertanya-tanya, apakah
Yudistira tahu
selama ini ia sering memerkosa wanita.
0 komentar:
Posting Komentar